revisi kti
DESCRIPTION
sTRANSCRIPT
Peranan Exenatide sebagai Salah Satu Golongan Analog GLP-1
dalam Terapi Diabetes Melitus Terkini
Debora Takaliuang, Karina Marcella, Ayu Natalia, Michael Susanto, Ivan Laurentius, Brian
Angelo, Nico Michael, Catherine Oswari, Celine Martino, Epifania
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jakarta Barat, 11510, Indonesia
Abstrak
Diabetes Melitus tipe II (DMT2) adalah salah satu penyakit metabolik kronik
terbanyak di Indonesia. Jumlah penderita sudah mencapai 9 juta kasus pada tahun 2014 dan
diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai pilihan terapi tersedia di pasaran, seperti
golongan sulfonilurea, biguanid, acarbose, thiazolidindion, penghambat dipeptidil peptidase-
IV (DPP-IV), insulin dan lain-lain. Namun obat-obatan masing-masing memiliki manfaat dan
risiko yang berbeda-beda. Saat ini obat-obat yang digolongkan sebagai hormon inkretin telah
banyak digunakan untuk DMT2, hormon ini dilepaskan sebagai respon adanya makanan di saluran
cerna dengan menstimulasi pelepasan insulin dari pankreas. Ada 2 hormon yang digolongkan sebagai
hormon inkretin yaitu Gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan Glucagon-like peptide-1 (GLP-1).
GLP-1 bekerja dengan mensekresi insulin berdasarkan adanya glukosa di dalam saluran cerna,
sayangnya hormon ini cepat dimetabolisme oleh enzim dipeptidil peptidase-IV (DPP-IV), sehingga
pendekatan pengobatan DMT2 dapat dilakukan dengan menghambat metabolism DPP-IV yaitu
dengan obat-obat penghambat DPP-IV ataupun dengan obat-obat yang bekerja menyerupai GLP-1
yaitu analog GLP-1. Salah satu obat analog GLP-1 yang relatif baru di Indonesia adalah. Liraglutide
dan Exenatide. Tinjauan pustaka ini membahas penelitian-penelitian yang sudah
dipublikasikan oleh berbagai jurnal mengenai Exenatide sebagai salah satu obat analog GLP-
1. Exenatide adalah obat anti diabetes yang digunakan sebagai terapi tambahan yang dapat
digunakan bersama oral anti diabetes (OAD) lainnya. umumnya ditoleransi tubuh dengan
baik. Namun ada beberapa laporan yang menyebutkan dapat terjadi mual, hipoglikemi dan
penurunan berat badan. Terapi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
mengendalikan diabetes melitus di Indonesia.
Kata kunci: DMT2, Exenatide, analog GLP-1
Abstract
Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) is one of the most chronic metabolic disorder in Indonesia. The
number of its patients has reached 9 million cases in 2014 and it is expected this number will grow.
Several medications have been made available, such as sulfonylurea, biguanid, acarbose,
thiazolidindion, dipeptidyl peptidase inhibitor (DPP-IV), insulin, etc. However, each of these
medications has its own risk and benefit. These days drugs that is grouped as incretin hormone have
been widely used for T2DM treatment, this hormone is secreted as a respone when there is food in
digestive tract by stimulating insulin release from the pancreas. There are two hormones included as
incretin hormone, they are Gastric Inhibitory Polypeptide (GIP) and Glucagon Like Peptide-1 (GLP-
1. GLP-1 regulates insulin secretion by determining the level of glucose in digestive tract,
unfortunately this hormone is metabolized rapidly by enzyme DPP-IV, thus T2DM therapy approach
is done by inhibitting DPP-IV metabolization with DPP-IV inhibitor or with GLP alike drug called
GLP-1 analouge. One of the relative new GLP-1 analog in Indonesia are Liraglitude and Exenatide.
This article uses recent published studies about Exenatides as one of the GLP-1 analog drugs.
Exenatide is an antidiabetic drug which is used in conjunction with other oral anti diabetic (OAD)
drugs.Generally, Exenatide is well-tolerated, however there are reports of adverse effects such as
nausea, hypoglicemic, and weight lose. It is expected this therapy may help contributing in controlling
T2DM in Indonesia.
Keywords:T2DM, Exenatide, GLP-1 analog
Pendahuluan
Diabetes Melitus tipe II (DMT2) merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan
peningkatan glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa dalam darah dapat disebabkan karena
gangguan sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya. Menurut International Diabetes
Federation, di Indonesia penderita DMT2 mencapai 9 juta kasus pada tahun 2014 dan
diperkirakan mencapai 21.3 juta pada tahun 2030.1
Saat ini, lini pertama obat oral untuk DMT2 adalah metformin dan sulfonilurea.
Pilihan terapi lainnya termasuk thiazolidindion dan insulin. Ini menimbulkan masalah karena
banyak obat lini kedua dan lini ketiga yang dapat menyebabkan kenaikan berat badan,
hipoglikemia, dan efek samping lainnya.2
Inkretin adalah salah satu hormon gastrointestinal yang menginduksi sekresi insulin
dalam responnya terhadap konsumsi makanan. Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan
salah satu hormon inkretin. Waktu paruh GLP-1 endogen hanya beberapa menit sehingga
harus terus diberikan secara subkutan atau intravena. Salah satu obat dalam golongan ini
adalah Exenatide. 2 Makalah ini akan membahas lebih detail mengenai Exenatide.
LiraglutideTaspoglutide
Human GLP-1 backbone
GLP-1 receptor agonistsSC administered peptides
Exendin-4 backbone
Lixisenatidede
Exenatide ExenatideAlbiglutide
GLP-1 Analog
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) adalah hormon inkretin yang digunakan untuk
pengobatan diabetes. Selain pada sel pankreas, reseptor GLP-1 dapat ditemukan di jantung,
ginjal, sistem saraf pusat, sistem saraf tepi, hati, dan saluran cerna. Karena itu, GLP-1 dapat
memediasi berbagai aksi pengaturan glukosa. GLP-1 menstimulasi sekresi insulin,
meningkatkan neogenesis sel beta, menghambat apoptosis sel beta, menghambat sekresi
glukagon dan memperlambat pengosongan lambung. Oleh karena itu, GLP-1 dapat
mengurangi asupan makanan dan menyebabkan penurunan berat badan suatu hal yang
menguntungkan bagi penderita DMT2.3
GLP-1 diinaktivasi oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), hal ini menyebabkan
pemendekan sirkulasi bentuk aktif dari GLP-1 itu sendiri (< 2 menit). Golongan agonis GLP-
1 berasal dari hormon inkretin. Hormon inkretin adalah peptida dengan sekuens asam amino
yang mirip dengan GLP-1 manusia sehingga dapat berkaitan dan mengaktifkan reseptor
GLP-1.3 Hormon ini merupakan agonis reseptor GLP-1 yang dapat memperpanjang waktu
paruh untuk mereduksi degradasi DPP-4. Agonis reseptor GLP-1 tersebut antara lain adalah
Exenatide dan Liraglutide.4
Namun yang akan dibahas lebih lanjut pada makalah ini adalah Exenatide. (Lihat
gambar 1)
Gambar 1. Klasifikasi Analog GLP-1.4
Exenatide
Exenatide adalah bentuk sintetis dari exendin-4, yaitu peptida yang ditemukan pada
saliva sejenis cicak, yaitu Gila Monster (Heloderma suspectum) pada tahun 1992. Exendin-4
memiliki 53% kesamaan sekuens asam amino dengan GLP-1 manusia dan merupakan GLP
agonis yang kuat.5,6
Struktur molekul exendin-4 ini lebih resisten terhadap degradasi oleh enzim DPP-4
dibandingkan GLP-1 manusia. Exenatide berikatan dengan reseptor GLP-1 dan menunjukkan
potensi yang sangat tinggi dan durasi yang relatif lebih lama dibandingkan dengan GLP-1
manusia. Layaknya GLP-1 manusia, Exenatide merangsang sekresi insulin tergantung kadar
glukosa, memperlambat pengosongan lambung, dan mengurangi asupan makanan. Saat ini
Exenatide telah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai terapi tambahan dengan
metformin, sulfonilurea, thiazolidindion, dan kombinasi OAD.6
Farmakokinetik
Absorbsi Exenatide mencapai konsentrasi puncak plasma 2,1 jam setelah pemberian
secara subkutan. Mean peak concentration (C-max) Exenatide adalah 211 pg/mL setelah
pemberian secara subukutan dengan dosis 10 mcg. Paparan Exenatide meningkat secara
proporsional selama rentang dosis terapi dari 5 mcg sampai 10 mcg. Nilai Cmax meningkat
kurang dari proporsional selama rentang yang sama. Paparan yang sama dicapai dengan
pemberian subkutan dari Byetta (Exenatide injeksi) di perut, paha, atau lengan atas.7,8
Distribusi Exenatide setelah pemberian secara subkutan dari dosis tunggal Byetta
adalah 28,3 L. Studi menunjukkan bahwa Exenatide sebagian besar dieliminasi oleh filtrasi
glomerulus dan degradasi proteolitik.8
Farmakodinamik
Insulin serum meningkat pada semua dosis Exenatide dan mencapai puncaknya pada
sekitar 1 jam (4,2 mg/kg), 1-2 jam (42 mg/kg), dan 2 jam (210 mg/kg). Dosis yang lebih
tinggi menyebabkan waktu paruh yang lebih lama. Dalam penelitian tersamar ganda, didapat
bahwa Exenatide menurunkan gula darah puasa, gula darah post prandial, dan gula darah
sewaktu pada pasien penderita DMT2.9
Interaksi Obat
Reseptor GLP-1 adalah reseptor protein G yang mempengaruhi sintesis dan regulasi
insulin. Studi menunjukkan pemberian 25 mg dosis oral warfarin pada periode pertama
bersamaan dengan 10 mcg Exenatide subkutan dua kali sehari pada periode kedua diketahui
tidak mengubah secara drastis farmakokinetik dari kedua obat tersebut. Akan tetapi,
Exenatide dapat mengurangi sedikit efek antikoagulan dari warfarin.10,11
Banyak dari pasien DMT2 penderita dislipidemia yang memerlukan terapi dari 3
hidroksi-3-metil glutaril coenzim (HMG-CoA) reductase inhibitor. Exenatide menurunkan
ambang batas bawah dari rata-rata kadar maksimum konsentrasi waktu plasma lovastatin dari
nol sampai tak terhingga dan maksimum konsentrasi plasma sekitar 40% dan 28% dan
meningkatkan waktu paruh dari maksimum konsentrasi plasma sekitar 4 jam. Exenatide tidak
memberikan efek negatif jangka panjang pada profil lipid terhadap pasien dengan terapi
statin.12
Dosis dan Sediaan
Exenatide diberikan melalui suntikan secara subkutan pada daerah abdomen, paha,
dan lengan atas dengan dosis 10 mcg. Pada kisaran dosis tersebut, Exenatide dapat
mengurangi kadar glukosa dalam plasma serta mengurangi kelebihan berat badan. Obat ini
dapat diberikan sebanyak dua kali sehari ataupun seminggu sekali.13
Dosis yang direkomendasikan untuk terapi adjuvant pada DMT2 adalah 5 mcg yang
diberikan secara subkutan sebanyak dua kali sehari dan diberikan 60 menit sebelum makan
pagi dan makan malam. Jika masih belum berespon, dosis dapat dinaikkan menjadi 10 mcg
diberikan dua kali sehari, setelah satu bulan terapi. Pada pasien dengan terapi metformin,
tidak diperlukan adanya penyesuaian dosis. Sedangkan pada pasien dengan terapi
sulfonilurea diperlukan adanya pengurangan dosis untuk mengindari resiko terjadinya
hipoglikemia. Terdapat dua bentuk sediaan Exenatide, yakni: 5-mcg/dose 1.2 mL pen dan 10-
mcg/dose 2.4 mL pen. Dalam satu pen mengandung 60 dosis.14
Exenatide Extended Release (ER) tersedia dalam karton dengan 4 single dose yang
digunakan sekali dalam seminggu. Dosis dari Exenatide ER adalah 2 mg, yang disuntikkan
secara subkutan sekali seminggu. Lokasi penyuntikkan adalah pada abdomen, lengan bagian
atas, atau paha. Exenatide ER tidak boleh diberikan pada pasien dengan creatin clearance
<30mL/menit atau pada pasien dengan penyakit ginjal stadium ahir karena eliminasi obat ini
adalah di ginjal.15
Menurut hasil penelitian, pemberian Exenatide seminggu sekali memilik efek lebih
baik ketimbang pemberian dua kali sehari. Efek yang dimaksudkan adalah dalam hal
mengendalikan kadar glukosa plasma dan mengurangi kelebihan berat badan.13
Apabila pasien ingin mengganti dari Exantide dua kali sehari menjadi Exenatide ER
maka, Exenatide dua kali sehari harus dihentikan dalam waktu 24 jam sebelum dimulai
pemberian Exenatide ER. Sebagai contoh, seorang pasien dengan Exenatide dua kali sehari
yang akan memulai terapi Exenatide ER pada hari minggu pagi maka, pasien tersebut harus
menyuntikkan dosis Exenatide terakhir pada hari Sabtu pagi. Ketika berubah dari Exenatide
dua kali sehari, pada awalnya akan ada peningkatan sedikit pada kadar gula darah sebesar 13
mg/dL sampai 2 minggu kedepan. Kebanyakan pasien akan mengalami penurunan gula darah
puasa setelah 2 minggu.15
Efek Samping
Exenatide umumnya ditoleransi tubuh dengan baik. Efek samping Exenatide paling
sering mengenai sistem gastrointestinal seperti mual dengan intensitas ringan hingga sedang.
Dalam beberapa studi, lebih dari 20% pasien mengeluh mual. Umumnya, pasien akan
mengalami keluhan mual pada awal terapi (0-8 minggu), kemudian rasa mual ini akan
mereda.16
Efek samping lain yang dapat timbul adalah hipoglikemia. Keadaan hipoglikemia
didefinisikan dengan kadar gula darah dibawah 54 mg/dL. Keadaan ini ditemukan pada 15%
partisipan dalam sebuah studi efek Exenatide selama 28 hari. Insiden hipoglikemia meningkat
bila Exenatide ditambahkan pada terapi sulfonilurea. Walau efek samping ini cukup sering
ditemukan, hipoglikemia yang terjadi umumnya relatif ringan. Insiden dari hipoglikemia ini
sebanyak 28% pada dosis 10 mcg dan 19% pada dosis 5 mcg.17,18
Efek samping lainnya yang dapat terjadi adalah penurunan berat badan. Dalam sebuah
studi yang berlangsung selama 30 minggu, pasien yang menggunakan Exenatide mengalami
penurunan berat badan yang bermakna. Penurunan berat badan rata-rata yang terjadi sebesar
1,55 kg pada dosis 5 mcg dan 2,1 kg pada dosis 10 mcg. Dalam sebuah studi yang lain,
penggunaan 10 mcg Exenatide dan metformin memberikan penurunan berat badan yang lebih
besar (22,8 kg) bila dibandingkan dengan terapi metformin saja.16
Indikasi
Exenatide digunakan sebagai obat pengendali gula darah pada pasien DMT2 yang
gagal mendapatkan perbaikan saat menggunakan dosis maksimal dari metformin. Di Jepang,
GLP-1 analog digunakan untuk pengobatan pasien DMT2 dengan kadar glukosa yang belum
dapat dikontrol setelah pemberian obat-obatan, olahraga, dan diet yang ketat. Sementara di
Eropa, analog GLP-1 boleh digunakan dengan kombinasi dua obat (Exenatide +
metformin/sulfonilurea) atau kombinasi tiga obat (Exenatide + metformin + sulfonilurea).14
Kontraindikasi
Exenatide termasuk obat kategori C yaitu obat-obat yang harus dihindari pada masa
kehamilan. Karena Exenatide dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fetus dan neonatal
serta menyebabkan kerusakan pembentukkan tulang pada kisaran dosis 20mcg/hari.17
Selain itu, obat-obat analog GLP-1 dapat mengaktivasi sel C tiroid. Sehingga dapat
meningkatkan sekresi kalsitonin. Pajanan terus menerus dapat menyebabkan hiperplasia sel C
pada beberapa hewan percobaan. Meskipun hubungannya belum jelas pada manusia, riwayat
kanker sel medula tiroid pada pasien maupun keluarga merupakan kontraindikasi pemberian
Exenatide.17
Studi yang dilakukan pada Exenatide
Dua fase uji klinis telah membandingkan penggunaan exenatide sebagai terapi
tambahan untuk metformin dan sulfonilure. Penelitian ini dilakukan selama 30 minggu.
Kedua studi ini menggunakan metode triple-blinded.14
Kombinasi Exenatide dengan Metfromin
Subjek penelitian antara umur 19-78 tahun. Kriteria inkulsi adalah pasien yang telah
menerima terapi metformin dengan dosis ≥1.5 g/hari selama 3 minggu sebelum screening.
Kriteria eksklusi adalah pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 3 bulan sebelum
screening. Titik akhir utama yang dicapai adalah kadar gula darah terkontrol yang diukur
dengan hemoglobin A1C ( HbA1C ). Titik akhir sekunder adalah persentase pasien dengan
HbA1C < 7 %.14
Adapun obat yang diberikan: metformin, metformin + exenatide 5 mcg dua kali
sehari, dan metformin + exenatide 10 mcg dua kali sehari (5 mcg dinaikkan menjadi 10 mcg
setelah 4 minggu terapi). Terapi dengan Exenatide menunjukkan penurunan bermakna pada
HbA1C, P < 0.001. Terapi pada kelompok dengan 5 mcg menunjukkan penurunan sebesar 0.4
± 0.1%. Sementara pada kelompok dengan 10 mcg menunjukkan penurunan sebesar 0.8 ±
0.1% HbA1C pada minggu ke-30.14
Pada grup dengan pemberian 5 mcg memiliki perubahan berat badan rata-rata –1.6 ±
0.4 kg (P ≤ 0.05), dan pada grup dengan pemberian 10 mcg memiliki perubahan berat badan
rata-rata –2.8 ± 0.5 kg (P ≤ 0.001).14
Kombinasi Exenatide dengan Sulfonilurea
Subjek penelitian antara umur 22- 76 tahun. Kriteria inkulsi adalah pasien yang telah
diterapi dengan dosis maksimal sulfonilurean selama 3 minggu sebelum screening. Kriteria
eksklusinya adalah pasien yang mengkonsumsi obat-obat selain OAD yang dapat mengubah
kadar gula plasma selama 3 bulan sebelum screening.14
Sulfonilurea yang dipakai meliputi: glimepiride 4 mg/hari, glipizide 20 mg/hari,
glipizide XL 10 mg/hari, glyburide 10 mg/hari, micronized glyburide 6 mg/hari,
chlorpropamide 350 mg/hari, and tolazamide 500 mg/hari. Titi akhir utama dalam studi ini
adalah kadar gula darah terkontrol yang diukur dengan HbA1C.14
Adapun terapi yang diberikan: sulfonilurea, sulfonilurea + exenatide 5 mcg dua kali
sehari, dan sulfonilurea + exenatide 10 mcg dua kali sehari (5 mcg dinaikkan menjadi 10 mcg
setelah terapi 4 minggu. Pada kedua terapi dengan Exenatide menunjukkan penurunan pada
HbA1C, P < 0.001. Nilai dasar HbA1C pada sebesar 0.46 ± 0.12%, pada semua kelompok
adalah 8,2 %. Pada kelompok yang diberikan 5 mcg Exenatide menunjukkan penurunan
HbA1C pada sebesar 0.46 ± 0.12%, pada grup yang diberikan 10 mcg Exenatide
menunjukkan penurunan HbA1C pada sebesar 0.86 ± 0.11%.14
Nilai dasar dari berat badan pada setiap kelompok adalah 96 kg. Pada grup yang
diberikan Exenatide 5 mcg memiliki penurunan berat badan rata-rata sebesar 0.9 ± 0.3 kg.
Pada grup yang diberikan Exenatide 10 mcg memiliki penurunan berat badan rata-rata
sebesar 1.6 ± 0.3 kg. Tidak ditemukan adanya kejadian hipoglikemia berat. Secara
keseluruhan, kejadian hipoglikemia ringan-sedang sebesar 36% pada kelompok yang
diberikan 10 mcg Exenatide, sebesar 14% pada grup yang diberikan 5 mcg Exenatide.14
Ringkasan
Berdasarkan data tingginya angka prevalensi penderita DMT2 di dunia, dan
terbatasnya kemampuan obat-obat DMT2 yang ada dalam mengendalikan gula darah, maka
analog GLP-1 merupakan alternatif terapi terkini bagi para penderita DMT2. Exenatide
bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin dengan adanya makanan di saluran cerna,
memperlambat pengosongan lambung.
Exenatide diberikan melalui suntikan secara subkutan pada daerah abdomen, paha,
dan lengan atas dengan dosis 10 μg. Obat ini dapat diberikan sebanyak dua kali sehari
ataupun seminggu sekali. Exenatide umumnya ditoleransi tubuh dengan baik. Adapun efek
samping dari terapi Exenatide antara lain: mual, hipoglikemia, dan penurunan berat badan
yang cukup signifikan.
Pemberian Exenatide harus dihindari pada pasien yang sedang hamil ataupun pasien
dengan riwayat kanker sel medula tiroid. Saat ini Exenatide telah disetujui oleh FDA untuk
digunakan sebagai terapi tambahan dengan metformin, sulfonylurea, thiazolidindion, dan
kombinasi OAD.
Daftar Pustaka
1. Chao EC. SGLT-2 inhibitors: A new mechanism for glycemic control. Clinical
Diabetes 2014; 73(32):1.
2. Reedy NJ, King TL. Pharmacology for women’s health. Mississauga: Jones and Brlett
Publishers; 2011. p 524-6.
3. Ahren B, Schmitz O. GLP-1 receptor antagonists and DPP-4 inhibitor in the treatment
of type 2 diabetes. Hormon metabolic research 2004; 36(11-12):867-6.
4. Freeman JS. A physiologic and pharmacological basis for implementation of incretin
hormones in the treatment of type 2 diabetes mellitus. Mayo Clinic Proceedings
2010;85(12):5-14.
5. Reid T. Choosing GLP-1 receptor agonists or DPP-4 inhibitors:weighing the clinical
trial evidence. Clinical Diabetes 2012;30(1):3-12.
6. Lahiri SW. Management of type 2 diabetes:what is the next step after metformin?
Clinical Diabetes 2012;30(2):72-5.
7. Burchum JR, Rosenthal LD. Lehne’s pharmacology for nursing care. 9th Ed. St. Louis :
Elsevier Saunders, 2014. p. 692-3.
8. Lee YS, Shin S, Shigihara T, Hahm E, Liu MJ, Han J, et al. Glucagon-like peptide-1
gene therapy in obese diabetic mice results in long-term cure of diabetes by improving
insulin sensitivity and reducing hepatic gluconeogenesis. Diabetes 2007; 56(6): 1671-
9.
9. Li XG, Li L, Zhou X, Chen Y, Ren YP, Zhou TY, et al.
Pharmacokinetic/pharmacodynamic studies in exenatide in diabetic rats. Acta
Pharmalogica Sinica 2012;33:1379-86.
10.Kirkpatrick A, Heo J, Abrol R. Predicted structure of agonist-bound glucagon-like
peptide 1 receptor, a class B G protein-coupled receptor. National Academy of
sciences of the United States of America 2012;109(49):106.
11.Soon D, Prajakti A, Kothare. Effect of exenatide on the pharmacokinetics and
pharmacodynamics warfarin in healthy Asian men. The Journal of Clinical
Pharmacology 2013;46:1179-87.
12.Kothare PA, Linnebjerg H, Skrivanek Z. Exenatide effect on statin pharmacokinetics
and lipid response. Europe PubMed Central 2007;45:114-20.
13.Kolterman OG, Kim DD, Shen L, Ruggles JA, Nielssen LL. Pharmacokinetics,
pharmacodynamics, and safety of exenatide in patients with type 2 diabetes melitus.
American Journal of Health-System Pharmacy 2005;62(2):173-81.
14.Bond A, Pharm D. Exenatide (byetta) as a novel treatment option for type 2 diabetes
melitus. Bayl Med Univ Center 2006;19(3):281-4.
15. Painter NA, Morello CM, Singh RF, McBane SE. An evidence-based and practical
approach to using Bydureon in patients with type 2 diabtes. J Am Board Fam Med
2013;26(2):203-10.
16.Garber AJ. Long-Acting Glucagon-Like Peptide 1 Receptor Agonist. Diabetes Care
May 2011;34(2):279-84.
17.Ahren B. Exenatide: a novel treatment of type 2 diabetes. Therapy 2005;2(2):207-22.
18.John LE, Kane MP, Busch RS, Hamilton RA. Expanded use of exenatide in the
management of type 2 diabetes. Diabetes Spectrum 2007;20(1):59-63.