revisi kti

15
Peranan Exenatide sebagai Salah Satu Golongan Analog GLP-1 dalam Terapi Diabetes Melitus Terkini Debora Takaliuang, Karina Marcella, Ayu Natalia, Michael Susanto, Ivan Laurentius, Brian Angelo, Nico Michael, Catherine Oswari, Celine Martino, Epifania Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta Barat, 11510, Indonesia Abstrak Diabetes Melitus tipe II (DMT2) adalah salah satu penyakit metabolik kronik terbanyak di Indonesia. Jumlah penderita sudah mencapai 9 juta kasus pada tahun 2014 dan diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai pilihan terapi tersedia di pasaran, seperti golongan sulfonilurea, biguanid, acarbose, thiazolidindion, penghambat dipeptidil peptidase-IV (DPP-IV), insulin dan lain-lain. Namun obat-obatan masing- masing memiliki manfaat dan risiko yang berbeda-beda. Saat ini obat-obat yang digolongkan sebagai hormon inkretin telah banyak digunakan untuk DMT2, hormon ini dilepaskan sebagai respon adanya makanan di saluran cerna dengan menstimulasi pelepasan insulin dari pankreas. Ada 2 hormon yang digolongkan sebagai hormon inkretin yaitu Gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan Glucagon-like peptide-1 (GLP-1). GLP-1 bekerja dengan mensekresi insulin berdasarkan adanya glukosa di dalam saluran cerna, sayangnya hormon ini cepat dimetabolisme oleh enzim dipeptidil peptidase-IV (DPP-IV), sehingga pendekatan pengobatan DMT2 dapat dilakukan dengan menghambat metabolism DPP-IV yaitu dengan obat-obat penghambat DPP-IV ataupun dengan obat-obat yang bekerja menyerupai GLP-1 yaitu analog GLP-1. Salah satu obat

Upload: alexandro-wiyanda

Post on 05-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

s

TRANSCRIPT

Page 1: REVISI KTI

Peranan Exenatide sebagai Salah Satu Golongan Analog GLP-1

dalam Terapi Diabetes Melitus Terkini

Debora Takaliuang, Karina Marcella, Ayu Natalia, Michael Susanto, Ivan Laurentius, Brian

Angelo, Nico Michael, Catherine Oswari, Celine Martino, Epifania

Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Jakarta Barat, 11510, Indonesia

Abstrak

Diabetes Melitus tipe II (DMT2) adalah salah satu penyakit metabolik kronik

terbanyak di Indonesia. Jumlah penderita sudah mencapai 9 juta kasus pada tahun 2014 dan

diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai pilihan terapi tersedia di pasaran, seperti

golongan sulfonilurea, biguanid, acarbose, thiazolidindion, penghambat dipeptidil peptidase-

IV (DPP-IV), insulin dan lain-lain. Namun obat-obatan masing-masing memiliki manfaat dan

risiko yang berbeda-beda. Saat ini obat-obat yang digolongkan sebagai hormon inkretin telah

banyak digunakan untuk DMT2, hormon ini dilepaskan sebagai respon adanya makanan di saluran

cerna dengan menstimulasi pelepasan insulin dari pankreas. Ada 2 hormon yang digolongkan sebagai

hormon inkretin yaitu Gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan Glucagon-like peptide-1 (GLP-1).

GLP-1 bekerja dengan mensekresi insulin berdasarkan adanya glukosa di dalam saluran cerna,

sayangnya hormon ini cepat dimetabolisme oleh enzim dipeptidil peptidase-IV (DPP-IV), sehingga

pendekatan pengobatan DMT2 dapat dilakukan dengan menghambat metabolism DPP-IV yaitu

dengan obat-obat penghambat DPP-IV ataupun dengan obat-obat yang bekerja menyerupai GLP-1

yaitu analog GLP-1. Salah satu obat analog GLP-1 yang relatif baru di Indonesia adalah. Liraglutide

dan Exenatide. Tinjauan pustaka ini membahas penelitian-penelitian yang sudah

dipublikasikan oleh berbagai jurnal mengenai Exenatide sebagai salah satu obat analog GLP-

1. Exenatide adalah obat anti diabetes yang digunakan sebagai terapi tambahan yang dapat

digunakan bersama oral anti diabetes (OAD) lainnya. umumnya ditoleransi tubuh dengan

baik. Namun ada beberapa laporan yang menyebutkan dapat terjadi mual, hipoglikemi dan

penurunan berat badan. Terapi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

mengendalikan diabetes melitus di Indonesia.

Kata kunci: DMT2, Exenatide, analog GLP-1

Page 2: REVISI KTI

Abstract

Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) is one of the most chronic metabolic disorder in Indonesia. The

number of its patients has reached 9 million cases in 2014 and it is expected this number will grow.

Several medications have been made available, such as sulfonylurea, biguanid, acarbose,

thiazolidindion, dipeptidyl peptidase inhibitor (DPP-IV), insulin, etc. However, each of these

medications has its own risk and benefit. These days drugs that is grouped as incretin hormone have

been widely used for T2DM treatment, this hormone is secreted as a respone when there is food in

digestive tract by stimulating insulin release from the pancreas. There are two hormones included as

incretin hormone, they are Gastric Inhibitory Polypeptide (GIP) and Glucagon Like Peptide-1 (GLP-

1. GLP-1 regulates insulin secretion by determining the level of glucose in digestive tract,

unfortunately this hormone is metabolized rapidly by enzyme DPP-IV, thus T2DM therapy approach

is done by inhibitting DPP-IV metabolization with DPP-IV inhibitor or with GLP alike drug called

GLP-1 analouge. One of the relative new GLP-1 analog in Indonesia are Liraglitude and Exenatide.

This article uses recent published studies about Exenatides as one of the GLP-1 analog drugs.

Exenatide is an antidiabetic drug which is used in conjunction with other oral anti diabetic (OAD)

drugs.Generally, Exenatide is well-tolerated, however there are reports of adverse effects such as

nausea, hypoglicemic, and weight lose. It is expected this therapy may help contributing in controlling

T2DM in Indonesia.

Keywords:T2DM, Exenatide, GLP-1 analog

Pendahuluan

Diabetes Melitus tipe II (DMT2) merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan

peningkatan glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa dalam darah dapat disebabkan karena

gangguan sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya. Menurut International Diabetes

Federation, di Indonesia penderita DMT2 mencapai 9 juta kasus pada tahun 2014 dan

diperkirakan mencapai 21.3 juta pada tahun 2030.1

Saat ini, lini pertama obat oral untuk DMT2 adalah metformin dan sulfonilurea.

Pilihan terapi lainnya termasuk thiazolidindion dan insulin. Ini menimbulkan masalah karena

banyak obat lini kedua dan lini ketiga yang dapat menyebabkan kenaikan berat badan,

hipoglikemia, dan efek samping lainnya.2

Inkretin adalah salah satu hormon gastrointestinal yang menginduksi sekresi insulin

dalam responnya terhadap konsumsi makanan. Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan

salah satu hormon inkretin. Waktu paruh GLP-1 endogen hanya beberapa menit sehingga

harus terus diberikan secara subkutan atau intravena. Salah satu obat dalam golongan ini

adalah Exenatide. 2 Makalah ini akan membahas lebih detail mengenai Exenatide.

Page 3: REVISI KTI

LiraglutideTaspoglutide

Human GLP-1 backbone

GLP-1 receptor agonistsSC administered peptides

Exendin-4 backbone

Lixisenatidede

Exenatide ExenatideAlbiglutide

GLP-1 Analog

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) adalah hormon inkretin yang digunakan untuk

pengobatan diabetes. Selain pada sel pankreas, reseptor GLP-1 dapat ditemukan di jantung,

ginjal, sistem saraf pusat, sistem saraf tepi, hati, dan saluran cerna. Karena itu, GLP-1 dapat

memediasi berbagai aksi pengaturan glukosa. GLP-1 menstimulasi sekresi insulin,

meningkatkan neogenesis sel beta, menghambat apoptosis sel beta, menghambat sekresi

glukagon dan memperlambat pengosongan lambung. Oleh karena itu, GLP-1 dapat

mengurangi asupan makanan dan menyebabkan penurunan berat badan suatu hal yang

menguntungkan bagi penderita DMT2.3

GLP-1 diinaktivasi oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), hal ini menyebabkan

pemendekan sirkulasi bentuk aktif dari GLP-1 itu sendiri (< 2 menit). Golongan agonis GLP-

1 berasal dari hormon inkretin. Hormon inkretin adalah peptida dengan sekuens asam amino

yang mirip dengan GLP-1 manusia sehingga dapat berkaitan dan mengaktifkan reseptor

GLP-1.3 Hormon ini merupakan agonis reseptor GLP-1 yang dapat memperpanjang waktu

paruh untuk mereduksi degradasi DPP-4. Agonis reseptor GLP-1 tersebut antara lain adalah

Exenatide dan Liraglutide.4

Namun yang akan dibahas lebih lanjut pada makalah ini adalah Exenatide. (Lihat

gambar 1)

Gambar 1. Klasifikasi Analog GLP-1.4

Exenatide

Page 4: REVISI KTI

Exenatide adalah bentuk sintetis dari exendin-4, yaitu peptida yang ditemukan pada

saliva sejenis cicak, yaitu Gila Monster (Heloderma suspectum) pada tahun 1992. Exendin-4

memiliki 53% kesamaan sekuens asam amino dengan GLP-1 manusia dan merupakan GLP

agonis yang kuat.5,6

Struktur molekul exendin-4 ini lebih resisten terhadap degradasi oleh enzim DPP-4

dibandingkan GLP-1 manusia. Exenatide berikatan dengan reseptor GLP-1 dan menunjukkan

potensi yang sangat tinggi dan durasi yang relatif lebih lama dibandingkan dengan GLP-1

manusia. Layaknya GLP-1 manusia, Exenatide merangsang sekresi insulin tergantung kadar

glukosa, memperlambat pengosongan lambung, dan mengurangi asupan makanan. Saat ini

Exenatide telah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai terapi tambahan dengan

metformin, sulfonilurea, thiazolidindion, dan kombinasi OAD.6

Farmakokinetik

Absorbsi Exenatide mencapai konsentrasi puncak plasma 2,1 jam setelah pemberian

secara subkutan. Mean peak concentration (C-max) Exenatide adalah 211 pg/mL setelah

pemberian secara subukutan dengan dosis 10 mcg. Paparan Exenatide meningkat secara

proporsional selama rentang dosis terapi dari 5 mcg sampai 10 mcg. Nilai Cmax meningkat

kurang dari proporsional selama rentang yang sama. Paparan yang sama dicapai dengan

pemberian subkutan dari Byetta (Exenatide injeksi) di perut, paha, atau lengan atas.7,8

  Distribusi Exenatide setelah pemberian secara subkutan dari dosis tunggal Byetta

adalah 28,3 L. Studi menunjukkan bahwa Exenatide sebagian besar dieliminasi oleh filtrasi

glomerulus dan degradasi proteolitik.8

 Farmakodinamik

Insulin serum meningkat pada semua dosis Exenatide dan mencapai puncaknya pada

sekitar 1 jam (4,2 mg/kg), 1-2 jam (42 mg/kg), dan 2 jam (210 mg/kg). Dosis yang lebih

tinggi menyebabkan waktu paruh yang lebih lama. Dalam penelitian tersamar ganda, didapat

bahwa Exenatide menurunkan gula darah puasa, gula darah post prandial, dan gula darah

sewaktu pada pasien penderita DMT2.9

Interaksi Obat

Reseptor GLP-1 adalah reseptor protein G yang mempengaruhi sintesis dan regulasi

insulin. Studi menunjukkan pemberian 25 mg dosis oral warfarin pada periode pertama

bersamaan dengan 10 mcg Exenatide subkutan dua kali sehari pada periode kedua diketahui

Page 5: REVISI KTI

tidak mengubah secara drastis farmakokinetik dari kedua obat tersebut. Akan tetapi,

Exenatide dapat mengurangi sedikit efek antikoagulan dari warfarin.10,11

Banyak dari pasien DMT2 penderita dislipidemia yang memerlukan terapi dari 3

hidroksi-3-metil glutaril coenzim (HMG-CoA) reductase inhibitor. Exenatide menurunkan

ambang batas bawah dari rata-rata kadar maksimum konsentrasi waktu plasma lovastatin dari

nol sampai tak terhingga dan maksimum konsentrasi plasma sekitar 40% dan 28% dan

meningkatkan waktu paruh dari maksimum konsentrasi plasma sekitar 4 jam. Exenatide tidak

memberikan efek negatif jangka panjang pada profil lipid terhadap pasien dengan terapi

statin.12

Dosis dan Sediaan

Exenatide diberikan melalui suntikan secara subkutan pada daerah abdomen, paha,

dan lengan atas dengan dosis 10 mcg. Pada kisaran dosis tersebut, Exenatide dapat

mengurangi kadar glukosa dalam plasma serta mengurangi kelebihan berat badan. Obat ini

dapat diberikan sebanyak dua kali sehari ataupun seminggu sekali.13

Dosis yang direkomendasikan untuk terapi adjuvant pada DMT2 adalah 5 mcg yang

diberikan secara subkutan sebanyak dua kali sehari dan diberikan 60 menit sebelum makan

pagi dan makan malam. Jika masih belum berespon, dosis dapat dinaikkan menjadi 10 mcg

diberikan dua kali sehari, setelah satu bulan terapi. Pada pasien dengan terapi metformin,

tidak diperlukan adanya penyesuaian dosis. Sedangkan pada pasien dengan terapi

sulfonilurea diperlukan adanya pengurangan dosis untuk mengindari resiko terjadinya

hipoglikemia. Terdapat dua bentuk sediaan Exenatide, yakni: 5-mcg/dose 1.2 mL pen dan 10-

mcg/dose 2.4 mL pen. Dalam satu pen mengandung 60 dosis.14

Exenatide Extended Release (ER) tersedia dalam karton dengan 4 single dose yang

digunakan sekali dalam seminggu. Dosis dari Exenatide ER adalah 2 mg, yang disuntikkan

secara subkutan sekali seminggu. Lokasi penyuntikkan adalah pada abdomen, lengan bagian

atas, atau paha. Exenatide ER tidak boleh diberikan pada pasien dengan creatin clearance

<30mL/menit atau pada pasien dengan penyakit ginjal stadium ahir karena eliminasi obat ini

adalah di ginjal.15

Menurut hasil penelitian, pemberian Exenatide seminggu sekali memilik efek lebih

baik ketimbang pemberian dua kali sehari. Efek yang dimaksudkan adalah dalam hal

mengendalikan kadar glukosa plasma dan mengurangi kelebihan berat badan.13

Page 6: REVISI KTI

Apabila pasien ingin mengganti dari Exantide dua kali sehari menjadi Exenatide ER

maka, Exenatide dua kali sehari harus dihentikan dalam waktu 24 jam sebelum dimulai

pemberian Exenatide ER. Sebagai contoh, seorang pasien dengan Exenatide dua kali sehari

yang akan memulai terapi Exenatide ER pada hari minggu pagi maka, pasien tersebut harus

menyuntikkan dosis Exenatide terakhir pada hari Sabtu pagi. Ketika berubah dari Exenatide

dua kali sehari, pada awalnya akan ada peningkatan sedikit pada kadar gula darah sebesar 13

mg/dL sampai 2 minggu kedepan. Kebanyakan pasien akan mengalami penurunan gula darah

puasa setelah 2 minggu.15

Efek Samping

Exenatide umumnya ditoleransi tubuh dengan baik. Efek samping Exenatide paling

sering mengenai sistem gastrointestinal seperti mual dengan intensitas ringan hingga sedang.

Dalam beberapa studi, lebih dari 20% pasien mengeluh mual. Umumnya, pasien akan

mengalami keluhan mual pada awal terapi (0-8 minggu), kemudian rasa mual ini akan

mereda.16

Efek samping lain yang dapat timbul adalah hipoglikemia. Keadaan hipoglikemia

didefinisikan dengan kadar gula darah dibawah 54 mg/dL. Keadaan ini ditemukan pada 15%

partisipan dalam sebuah studi efek Exenatide selama 28 hari. Insiden hipoglikemia meningkat

bila Exenatide ditambahkan pada terapi sulfonilurea. Walau efek samping ini cukup sering

ditemukan, hipoglikemia yang terjadi umumnya relatif ringan. Insiden dari hipoglikemia ini

sebanyak 28% pada dosis 10 mcg dan 19% pada dosis 5 mcg.17,18

Efek samping lainnya yang dapat terjadi adalah penurunan berat badan. Dalam sebuah

studi yang berlangsung selama 30 minggu, pasien yang menggunakan Exenatide mengalami

penurunan berat badan yang bermakna. Penurunan berat badan rata-rata yang terjadi sebesar

1,55 kg pada dosis 5 mcg dan 2,1 kg pada dosis 10 mcg. Dalam sebuah studi yang lain,

penggunaan 10 mcg Exenatide dan metformin memberikan penurunan berat badan yang lebih

besar (22,8 kg) bila dibandingkan dengan terapi metformin saja.16

Indikasi

Exenatide digunakan sebagai obat pengendali gula darah pada pasien DMT2 yang

gagal mendapatkan perbaikan saat menggunakan dosis maksimal dari metformin. Di Jepang,

GLP-1 analog digunakan untuk pengobatan pasien DMT2 dengan kadar glukosa yang belum

dapat dikontrol setelah pemberian obat-obatan, olahraga, dan diet yang ketat. Sementara di

Page 7: REVISI KTI

Eropa, analog GLP-1 boleh digunakan dengan kombinasi dua obat (Exenatide +

metformin/sulfonilurea) atau kombinasi tiga obat (Exenatide + metformin + sulfonilurea).14

Kontraindikasi

Exenatide termasuk obat kategori C yaitu obat-obat yang harus dihindari pada masa

kehamilan. Karena Exenatide dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fetus dan neonatal

serta menyebabkan kerusakan pembentukkan tulang pada kisaran dosis 20mcg/hari.17

Selain itu, obat-obat analog GLP-1 dapat mengaktivasi sel C tiroid. Sehingga dapat

meningkatkan sekresi kalsitonin. Pajanan terus menerus dapat menyebabkan hiperplasia sel C

pada beberapa hewan percobaan. Meskipun hubungannya belum jelas pada manusia, riwayat

kanker sel medula tiroid pada pasien maupun keluarga merupakan kontraindikasi pemberian

Exenatide.17

Studi yang dilakukan pada Exenatide

Dua fase uji klinis telah membandingkan penggunaan exenatide sebagai terapi

tambahan untuk metformin dan sulfonilure. Penelitian ini dilakukan selama 30 minggu.

Kedua studi ini menggunakan metode triple-blinded.14

Kombinasi Exenatide dengan Metfromin

Subjek penelitian antara umur 19-78 tahun. Kriteria inkulsi adalah pasien yang telah

menerima terapi metformin dengan dosis ≥1.5 g/hari selama 3 minggu sebelum screening.

Kriteria eksklusi adalah pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 3 bulan sebelum

screening. Titik akhir utama yang dicapai adalah kadar gula darah terkontrol yang diukur

dengan hemoglobin A1C ( HbA1C ). Titik akhir sekunder adalah persentase pasien dengan

HbA1C < 7 %.14

Adapun obat yang diberikan: metformin, metformin + exenatide 5 mcg dua kali

sehari, dan metformin + exenatide 10 mcg dua kali sehari (5 mcg dinaikkan menjadi 10 mcg

setelah 4 minggu terapi). Terapi dengan Exenatide menunjukkan penurunan bermakna pada

HbA1C, P < 0.001. Terapi pada kelompok dengan 5 mcg menunjukkan penurunan sebesar 0.4

± 0.1%. Sementara pada kelompok dengan 10 mcg menunjukkan penurunan sebesar 0.8 ±

0.1% HbA1C pada minggu ke-30.14

Pada grup dengan pemberian 5 mcg memiliki perubahan berat badan rata-rata –1.6 ±

0.4 kg (P ≤ 0.05), dan pada grup dengan pemberian 10 mcg memiliki perubahan berat badan

rata-rata –2.8 ± 0.5 kg (P ≤ 0.001).14

Page 8: REVISI KTI

Kombinasi Exenatide dengan Sulfonilurea

Subjek penelitian antara umur 22- 76 tahun. Kriteria inkulsi adalah pasien yang telah

diterapi dengan dosis maksimal sulfonilurean selama 3 minggu sebelum screening. Kriteria

eksklusinya adalah pasien yang mengkonsumsi obat-obat selain OAD yang dapat mengubah

kadar gula plasma selama 3 bulan sebelum screening.14

Sulfonilurea yang dipakai meliputi: glimepiride 4 mg/hari, glipizide 20 mg/hari,

glipizide XL 10 mg/hari, glyburide 10 mg/hari, micronized glyburide 6 mg/hari,

chlorpropamide 350 mg/hari, and tolazamide 500 mg/hari. Titi akhir utama dalam studi ini

adalah kadar gula darah terkontrol yang diukur dengan HbA1C.14

Adapun terapi yang diberikan: sulfonilurea, sulfonilurea + exenatide 5 mcg dua kali

sehari, dan sulfonilurea + exenatide 10 mcg dua kali sehari (5 mcg dinaikkan menjadi 10 mcg

setelah terapi 4 minggu. Pada kedua terapi dengan Exenatide menunjukkan penurunan pada

HbA1C, P < 0.001. Nilai dasar HbA1C pada sebesar 0.46 ± 0.12%, pada semua kelompok

adalah 8,2 %. Pada kelompok yang diberikan 5 mcg Exenatide menunjukkan penurunan

HbA1C pada sebesar 0.46 ± 0.12%, pada grup yang diberikan 10 mcg Exenatide

menunjukkan penurunan HbA1C pada sebesar 0.86 ± 0.11%.14

Nilai dasar dari berat badan pada setiap kelompok adalah 96 kg. Pada grup yang

diberikan Exenatide 5 mcg memiliki penurunan berat badan rata-rata sebesar 0.9 ± 0.3 kg.

Pada grup yang diberikan Exenatide 10 mcg memiliki penurunan berat badan rata-rata

sebesar 1.6 ± 0.3 kg. Tidak ditemukan adanya kejadian hipoglikemia berat. Secara

keseluruhan, kejadian hipoglikemia ringan-sedang sebesar 36% pada kelompok yang

diberikan 10 mcg Exenatide, sebesar 14% pada grup yang diberikan 5 mcg Exenatide.14

Ringkasan

Berdasarkan data tingginya angka prevalensi penderita DMT2 di dunia, dan

terbatasnya kemampuan obat-obat DMT2 yang ada dalam mengendalikan gula darah, maka

analog GLP-1 merupakan alternatif terapi terkini bagi para penderita DMT2. Exenatide

bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin dengan adanya makanan di saluran cerna,

memperlambat pengosongan lambung.

Exenatide diberikan melalui suntikan secara subkutan pada daerah abdomen, paha,

dan lengan atas dengan dosis 10 μg. Obat ini dapat diberikan sebanyak dua kali sehari

ataupun seminggu sekali. Exenatide umumnya ditoleransi tubuh dengan baik. Adapun efek

samping dari terapi Exenatide antara lain: mual, hipoglikemia, dan penurunan berat badan

yang cukup signifikan.

Page 9: REVISI KTI

Pemberian Exenatide harus dihindari pada pasien yang sedang hamil ataupun pasien

dengan riwayat kanker sel medula tiroid. Saat ini Exenatide telah disetujui oleh FDA untuk

digunakan sebagai terapi tambahan dengan metformin, sulfonylurea, thiazolidindion, dan

kombinasi OAD.

Daftar Pustaka

1. Chao EC. SGLT-2 inhibitors: A new mechanism for glycemic control. Clinical

Diabetes 2014; 73(32):1.

2. Reedy NJ, King TL. Pharmacology for women’s health. Mississauga: Jones and Brlett

Publishers; 2011. p 524-6.

3. Ahren B, Schmitz O. GLP-1 receptor antagonists and DPP-4 inhibitor in the treatment

of type 2 diabetes. Hormon metabolic research 2004; 36(11-12):867-6.

4. Freeman JS. A physiologic and pharmacological basis for implementation of incretin

hormones in the treatment of type 2 diabetes mellitus. Mayo Clinic Proceedings

2010;85(12):5-14.

5. Reid T. Choosing GLP-1 receptor agonists or DPP-4 inhibitors:weighing the clinical

trial evidence. Clinical Diabetes 2012;30(1):3-12.

6. Lahiri SW. Management of type 2 diabetes:what is the next step after metformin?

Clinical Diabetes 2012;30(2):72-5.

7. Burchum JR, Rosenthal LD. Lehne’s pharmacology for nursing care. 9th Ed. St. Louis :

Elsevier Saunders, 2014. p. 692-3.

8. Lee YS, Shin S, Shigihara T, Hahm E, Liu MJ, Han J, et al. Glucagon-like peptide-1

gene therapy in obese diabetic mice results in long-term cure of diabetes by improving

insulin sensitivity and reducing hepatic gluconeogenesis. Diabetes 2007; 56(6): 1671-

9. 

9. Li XG, Li L, Zhou X, Chen Y, Ren YP, Zhou TY, et al.

Pharmacokinetic/pharmacodynamic studies in exenatide in diabetic rats. Acta

Pharmalogica Sinica 2012;33:1379-86.

10.Kirkpatrick A, Heo J, Abrol R. Predicted structure of agonist-bound glucagon-like

peptide 1 receptor, a class B G protein-coupled receptor. National Academy of

sciences of the United States of America 2012;109(49):106.

Page 10: REVISI KTI

11.Soon D, Prajakti A, Kothare. Effect of exenatide on the pharmacokinetics and

pharmacodynamics warfarin in healthy Asian men. The Journal of Clinical

Pharmacology 2013;46:1179-87.

12.Kothare PA, Linnebjerg H, Skrivanek Z. Exenatide effect on statin pharmacokinetics

and lipid response. Europe PubMed Central 2007;45:114-20.

13.Kolterman OG, Kim DD, Shen L, Ruggles JA, Nielssen LL. Pharmacokinetics,

pharmacodynamics, and safety of exenatide in patients with type 2 diabetes melitus.

American Journal of Health-System Pharmacy 2005;62(2):173-81.

14.Bond A, Pharm D. Exenatide (byetta) as a novel treatment option for type 2 diabetes

melitus. Bayl Med Univ Center 2006;19(3):281-4.

15. Painter NA, Morello CM, Singh RF, McBane SE. An evidence-based and practical

approach to using Bydureon in patients with type 2 diabtes. J Am Board Fam Med

2013;26(2):203-10.

16.Garber AJ. Long-Acting Glucagon-Like Peptide 1 Receptor Agonist. Diabetes Care

May 2011;34(2):279-84.

17.Ahren B. Exenatide: a novel treatment of type 2 diabetes. Therapy 2005;2(2):207-22.

18.John LE, Kane MP, Busch RS, Hamilton RA. Expanded use of exenatide in the

management of type 2 diabetes. Diabetes Spectrum 2007;20(1):59-63.