revisi bab 12-09-09

49
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Masa kini pasangan suami istri bekerja bukanlah suatu hal yang langka lagi. Indonesia yang dianggap masih mengadopsi pandangan keluarga tradisional, dimana masih terdapat perbedaan gender dalam membagi pekerjaan rumah dan mengasuh anak (Nancy, Margaret, & Alicia, 2004), pun sudah mulai mengadopsi pasangan yang suami dan istrinya bekerja. Pasangan dual earner ini bahkan menurut artikel di Kompas (2008), memenuhi sebagian populasi pasangan suami istri muda yang baru menikah. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh kondisi ekonomi yang mengalami krisis, sehingga pasangan pun sepakat untuk saling bahu membahu dalam hal ekonomi. Alasan lainnya adalah kepekaan wanita terhadap isu feminisme dan persamaan jender yang semakin tumbuh di antara masyarakat (Ferre, 1991). Apapun alasannya, semua pasangan pekerja berusaha keras untuk membangun sebuah keluarga yang sehat, kuat, dan juga seimbang dalam hal mengatur waktu untuk pekerjaan dan keluarga (Saginak dan Saginak, 2005). Sama-sama berkarir di luar rumah, maka sama-sama berbagi tugas di rumah adalah suatu hal yang wajar (www.ayahbunda.com/info_ayahbunda/info_detail.asp.274). Di dunia Barat, menurut Pleck (1985 dalam Ferree, 1991), bahkan 1

Upload: angga-yah

Post on 01-Jul-2015

1.710 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: revisi bab 12-09-09

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa kini pasangan suami istri bekerja bukanlah suatu hal yang langka lagi.

Indonesia yang dianggap masih mengadopsi pandangan keluarga tradisional, dimana

masih terdapat perbedaan gender dalam membagi pekerjaan rumah dan mengasuh anak

(Nancy, Margaret, & Alicia, 2004), pun sudah mulai mengadopsi pasangan yang suami

dan istrinya bekerja. Pasangan dual earner ini bahkan menurut artikel di Kompas (2008),

memenuhi sebagian populasi pasangan suami istri muda yang baru menikah. Hal ini

sangat mungkin disebabkan oleh kondisi ekonomi yang mengalami krisis, sehingga

pasangan pun sepakat untuk saling bahu membahu dalam hal ekonomi. Alasan lainnya

adalah kepekaan wanita terhadap isu feminisme dan persamaan jender yang semakin

tumbuh di antara masyarakat (Ferre, 1991). Apapun alasannya, semua pasangan pekerja

berusaha keras untuk membangun sebuah keluarga yang sehat, kuat, dan juga seimbang

dalam hal mengatur waktu untuk pekerjaan dan keluarga (Saginak dan Saginak, 2005).

Sama-sama berkarir di luar rumah, maka sama-sama berbagi tugas di rumah

adalah suatu hal yang wajar (www.ayahbunda.com/info_ayahbunda/info_detail.asp.274).

Di dunia Barat, menurut Pleck (1985 dalam Ferree, 1991), bahkan istri telah mengurangi

jam kerja di rumah sehingga dapat bekerja di luar rumah dan suami telah meningkatkan

jumlah waktu untuk merawat anak. Berdasarkan kebutuhan pasangan inilah masing-

masing pihak harus secara aktif membuat pembagian tugas rumah yang sesuai dengan

sumber daya dan waktu yang ada (Ferree, 1991). Masing-masing pihak dari satu

1

Page 2: revisi bab 12-09-09

pasangan dapat membagi tugas rumahnya dengan cara membicarakannya secara jujur dan

terbuka mengenai tugas rumah yang diinginkan. Contohnya, mengasuh anak, menemani

anak bermain, dan melakukan pembayaran tagihan rumah setiap bulannya. Selain itu,

pasangan suami istri juga dapat melakukan negosiasi dan kompromi sehingga dapat

terjalin kerja sama yang baik dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Pembagian

tanggung jawab urusan pekerjaan rumah tidak hanya berdampak positif bagi suami dan

istri, namun juga bagi anak. Pembagian tugas rumah dapat membuat suami terlibat dalam

pengurusan dan pengasuhan anak, sehingga hubungan ayah-anak menjadi lebih erat.

Tentunya untuk mencapai hal-hal di atas diperlukan kesetaraan fungsi marital

bagi kedua belah pihak. Hal inilah yang biasanya tidak terlalu diperhatikan oleh

pasangan, sehingga salah satu dari mereka merasakan beban yang berlebihan. Padahal

kesetaraan fungsi marital dapat menyeimbangkan antara kerja dan keluarga (Burley,

1995, dalam Saginak dan Saginak, 2005; Zimmerman et al., 2003). Ketika membicarakan

keseimbangan fungsi marital, maka tidak akan mungkin lepas dari usaha pasangan untuk

mencapai pembagian tugas keluarga yang adil. Pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa yang

melakukan apa?” dan “berapa sering atau berapa banyak?” akan sering dijumpai pada

pasangan pekerja. Fungsi marital sendiri dapat dilihat dalam bentuk tugas rumah. Tugas

rumah dapat diartikan sebagai tanggung jawab yang berhubungan dengan rumah –baik

itu yang berada di dalam dan di luar rumah dan yang kelihatan dan tidak terlihat

(Zimmerman et al., 2003).

Sebagai bagian dari pembagian tugas rumah, pasangan pekerja juga dipertemukan

oleh masalah lain, yaitu parenthood. Parenthood atau yang dapat diterjemahkan sebagai

tugas mengasuh anak pada kebanyakan pasangan Indonesia lebih sering ditumpahkan

2

Page 3: revisi bab 12-09-09

kepada istri. Hal ini juga yang dapat membuat istri merasa terlalu terbebani, terutama jika

mempunyai anak yang masih berumur di bawah satu tahun sampai tiga tahun. Istri yang

bekerja harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan kalau pun tidak, ia harus

bersiap-siap untuk bekerja. Kemudian ketika pulang ke rumah, ia harus dapat

meluangkan waktunya untuk bermain dan merawat anaknya. Di malam hari, di saat

semuanya telah tertidur, ia harus siap untuk dibangunkan oleh anaknya yang menangis

karena haus, buang air kecil, atau alasan lainnya. Sang istri pun harus bersedia untuk

menyusui anaknya dan kalau pun tidak, ia harus ada di saat anaknya membutuhkannya,

kecuali di waktu kerja.

Dengan adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih banyak

menunjuk istri sebagai pengasuh anak, seperi mengganti popok, membuat susu, dan

mengantarnya tidur, maka peneliti berasumsi bahwa pembagian tugas rumah cenderung

dibebani pada satu pihak. Menurut Saginak dan Saginak (2005), hal tersebut nantinya

akan membuat pihak yang lebih dibebani merasa kepuasan pernikahan mereka tidak

setinggi pada saat di awal pernikahan. Bahkan perasaan mengenai kepuasan pernikahan

ini dapat memprediksi masa depan pernikahan. Ditambahkan, menurut Ballard-Reisch

dan Weigel (1999, dalam Weigel et al., 2006) pasangan yang merasa pembagian tugas

rumah mereka adil, pasangan tersebut akan merasa lebih puas dengan pernikahannya.

Di sisi lain, jika pembagian tugas rumah tidak dilakukan secara adil maka salah

satu dari pasangan akan berpotensi untuk merasa lebih sering lelah. Lalu jam tidurnya

pun akan menurun secara drastis, dan hal ini dapat mengganggu kesehatannya.

Ketidakadilan dapat memberi dampak yang negatif pada pernikahan, termasuk kepuasan

pernikahan. Pihak yang mengalami atau mempersepsikan ketidakadilan cenderung

3

Page 4: revisi bab 12-09-09

merasa tertekan secara psikologis (Weigel et al., 2006). Selain itu, kualitas pernikahan

akan menurun dan akan memengaruhi motivasi untuk bercerai. Hal ini pun dibenarkan

oleh artikel dari Kompas (2008) yang mengatakan bahwa salah satu alasan pasangan

muda bertengkar adalah karena masalah dalam pembagian tugas untuk masing-masing

pihak. Ditambahkan, artikel di harian Tribun Jabar (2008) mengatakan bahwa salah satu

alasan mengapa pasangan bercerai adalah ketidakadilan dalam pembagian tugas rumah..

Namun banyak juga studi yang mengungkapkan bahwa walaupun salah satu

pasangan, biasanya istri, dibebani oleh pekerjaan rumah yang banyak ia tidak merasa

bahwa pembagian tersebut tidak adil dan tetap merasa puas dengan pernikahannya (Benin

dan Agostinelli, 1988 dalam Baxer dan Western, 1998; DeMaris dan Longmore, 1996

dalam Baxter dan Western, 1998). Baxter dan Western (1998) menjelaskan beberapa

alasan mengapa pekerjaan rumah yang lebih banyak tidak dianggap tidak adil bagi istri.

Alasan pertama menyangkut ideologi jender, dimana istri merasa beberapa pekerjaan

rumah, terutama mengasuh anak sudah seharusnya dikerjakan oleh wanita. Hal ini sejalan

dengan Duvall (1977), dimana ia mengutarakan bahwa wanita memang harus menerima

dan menyesuaikan dengan situasi dimana ia menjadi ibu muda. Ia harus bersedia untuk

menyusui anaknya dan harus dapat menyeimbangkan antara permintaan anaknya dan

ekspektasi suaminya. Hal ini pula yang dapat dilihat jelas di Indonesia, dimana

kebanyakan dari urusan yang berhubungan dengan anak seperti mengganti popok atau

memandikannya dilakukan oleh sang istri.

Alasan kedua adalah istri lebih senang mengerjakan tugas rumah dibandingkan

suami (Ferree, 1991). Oleh karena itu, mereka yang puas dengan pekerjaan rumah yang

lebih banyak mungkin karena mereka memang senang melakukannya. Contohnya,

4

Page 5: revisi bab 12-09-09

memasak untuk suaminya. Di Indonesia kebanyakan istri memasak karena senang

melakukannya dan bahkan menjadi salah satu media untuk memuaskan suaminya.

Bahkan banyak juga istri yang senang mendapatkan pekerjaan rumah yang lebih banyak

karena dengan demikian ia memiliki wewenang yang lebih besar di rumah. Ia dapat

melakukan pengaturan sendiri di rumah. Ia juga dapat memilih barang-barang rumah

tangga sesuai dengan keinginannya.

Alasan terakhir adalah jumlah waktu yang dihabiskan di luar rumah untuk

bekerja. Kebanyakan wanita tidak akan memilih lembur dan cenderung tidak memikirkan

penghasilan sampingan. Dengan keadaan dimana suaminya lebih banyak menghabiskan

waktunya untuk bekerja, maka istri bersedia untuk melakukan kebanyakan pekerjaan

rumah. Maka mereka pun tidak melihat adanya ketidakadilan dengan banyaknya tugas

yang dilimpahkan kepada mereka

Meski pembagian tugas antara suami dan istri sudah dikompromikan dan mulai

berjalan, namun kadang-kadang timbul masalah karena perbedaan pandangan istri dan

suami (www.ayahbunda.com/info_ayahbunda/info_detail.asp.274). Suami, misalnya,

keberatan kalau harus melakukan kegiatan rumah tangga yang menurutnya seharusnya

adalah tugas dan tanggung jawab istri. Sementara istri merasa suami tidak rela dan tidak

mau membantu urusan rumah tangga. Hal menarik inilah yang menjadi isu-isu sosial

yang bertentangan dalam pembagian tugas rumah, yaitu antara isu feminisme dengan isu

jender tradisional.

Isu feminisme mengatakan bahwa wanita seharusnya setara dengan pria dalam hal

pekerjaan dan karir (Ferree, 1991). Bahkan dalam buku kurikulum pendidikan dasar dan

menengah di Indonesia, dikatakan bahwa seorang ibu hanya berkewajiban melakukan

5

Page 6: revisi bab 12-09-09

hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Hal-hal yang bersifat

diluar kodrati itu dapat dilakukan oleh seorang bapak, seperti mengasuh, menyusui (dapat

diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan

minum dan menjaga keselamatan keluarga. (Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan

Dasar dan Menengah).Maka wanita juga dapat bekerja di luar rumah, walaupun ia telah

menikah dan mempunyai anak. Bagi wanita yang sangat memegang prinsip feminisme

ini, ia akan merasa sangat terbebani oleh pembagian tugas rumah yang tidak adil dan

akhirnya merasa kurang puas dengan pernikahannya.

Di sisi lain, isu jender tradisional mengatakan bahwa sudah sepatutnya wanita

lebih banyak berurusan dengan hal-hal yang menyangkut rumah, termasuk mengasuh

anak, dibandingkan dengan pria. Bagi wanita yang menganut pandangan seperti ini, maka

mereka cenderung tidak akan merasa terbebani dengan adanya penumpukan pekerjaan

yang lebih banyak pada dirinya (Weigel, Bennett, dan Ballard-Reisch, 2006). Mereka

bersedia untuk mengemban tugas-tugas tradisional sang istri, seperti mencuci baju dan

piring, membersihkan rumah, memasak, mengasuh anak, dan mengatur urusan-urusan

rumah seperti membayar listrik dan telepon.

Faktor lain selain isu jender yang memengaruhi pembagian tugas rumah adalah

bagaimana cara pasangan suami istri berkomunikasi (Saginak dan Saginak, 2005; Weigel,

bennet, dan Ballard-Reisch, 2006). Jika pasangan suami istri dapat berbicara bersama

dalam kondisi yang nyaman dan dapat menemukan keputusan bersama, maka pasangan

tersebut cenderung akan memiliki pembagian tugas rumah yang adil. Walaupun pada saat

pelaksanaannya tidak terlalu sesuai dengan keputusan di awal, namun pasangan ini dapat

memecahkan masalah secara bersama-sama. Beberapa cara komunikasi yang dapat

6

Page 7: revisi bab 12-09-09

menjalin kerjasama yang baik adalah tidak menggunakan nada tinggi pada saat terjadi

masalah tugas rumah, berbicara dengan jujur dan terbuka, dan secara tulus memuji lawan

pasangannya.

Komunikasi yang positif mengijinkan pasangan untuk beradaptasi sesuai dengan

kebutuhan yang ada (Rhoden, 2003). Hal ini juga membantu pasangan mengatur konflik

yang terjadi dengan cara negosiasi. Bagi wanita yang mengadopsi ideologi jender non-

tradisional atau feminisme, maka komunikasi sangatlah dibutuhkan untuk dapat membuat

rutinitas yang sesuai dengan kebutuhannya. Di sisi lain, bagi wanita tradisional mereka

akan lebih menekankan pada hubungan dan kepuasan pernikahan pasangannya dan lebih

mengalah dalam hal mengutarakan keinginan-keinginannya yang berhubungan dengan

pekerjaannya di dalam rumah (Henderson dan Cunningham, 1993 dalam Rhoden, 2003).

Lepas dari kedua faktor di atas, peneliti memandang bahwa pembagian tugas

rumah merupakan hal yang esensial dalam kepuasan pernikahan. Hal ini karena tugas

rumah dianggap sebagai hal yang merupakan tanggung jawab dari kedua belah pihak

(Duvall, 1977). Suami biasanya bekerja di luar rumah untuk membiayai ekonomi

keluarga dan istri, yang tidak bekerja, mengurus hal-hal yang menyangkut dengan rumah.

Akan tetapi, jika istri yang tidak bekerja dibebani oleh semua urusan rumah setiap hari,

maka ia pun akan mengalami kelelahan, terutama dalam hal mengurus anak yang berusia

di bawah lima tahun. Kelelahan inilah yang akhirnya menimbulkan persepi ketidakadilan

dalam pernikahan. Ketidakadilan ini lalu akan melahirkan rasa ketidakpuasan terhadap

pernikahannya. Ketidakpuasan inilah yang akhirnya menimbulkan gangguan pada

kesehatan, kurangnya penghargaan terhadap pasangan, dan terganggunya komunikasi

dalam keluarga (Saginak dan Saginak, 2005).

7

Page 8: revisi bab 12-09-09

Bagi pasangan dual earner, tentunya pembagian tugas rumah yang merata sangat

diperlukan agar masing-masing dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Jika terdapat

penumpukan pekerjaan rumah pada satu pihak, maka pihak tersebut akan merasa

terbebani baik secara psikologis maupun biologis. Hal ini tentunya berhubungan dengan

kepuasan pernikahan, dimana pihak yang terbebani akan merasa tidak puas dengan

pernikahannya.

Berdasarkan survey awal yang berisikan 10 responden, peneliti melihat bahwa

lebih dari setengahnya mengatakan bahwa mereka sering merasa lelah dan kepuasan

pernikahan tidak seperti di awal pernikahan. Ditambahkan, istri merasa lebih lelah

dibandingkan suami karena lebih sering terbangun di dini hari untuk mengasuh anaknya

yang menangis. Peneliti juga melihat pembagian tugas rumah yang lebih banyak

dialokasikan kepada istri. Akan tetapi, 3 dari 10 responden mengungkapkan bahwa

dengan mempunyai anak mereka merasa lebih puas dengan pernikahannya. Mereka

memang merasa lebih lelah dengan adanya aktifitas baru, namun hal tersebut tidak

mengurangi kepuasan pernikahan mereka.

Dengan adanya hasil yang berbeda-beda dari studi-studi sebelumnya, maka

peneliti tertarik untuk melihat kondisi yang ada di Indonesia. Peneliti tertarik untuk

melihat kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner berusia dewasa awal yang

mempunyai anak di bawah empat tahun. Hal ini sangat menarik banyak perhatian

peneliti, karena melihat kondisi di Indonesia dimana istri harus dapat melakukan banyak

hal di dalam rumah walaupun ia bekerja. Hal ini tentunya memengaruhi kondisi biologis

dan psikologis istri secara langsung.

8

Page 9: revisi bab 12-09-09

Sehubungan dengan pekerjaan yang lebih sering dibebani pada satu pihak, maka

pihak tersebut dapat merasa kurang puas dengan kondisi pernikahannya. Oleh karena itu,

peneliti berasumsi bahwa pembagian tugas rumah mempunyai hubungan dengan

kepuasan pernikahan, terutama pada pasangan muda dual earner yang juga sudah

mempunyai anak. Kemudian peneliti membandingkan kepuasan pernikahan pasangan

dual earner dengan kepuasan pernikahan pasangan single earner. Hal ini patut

diperhatikan agar dapat melihat apakah pasangan dual earner yang dapat membagi tugas

rumahnya dengan adil dapat merasa puas dengan pernikahannya. Kemudian jika

pasangan dual earner merasa tidak puas dengan pernikahanya, bagaimana dengan

pasangan single earner yang sudah jelas pembagian tugas maritalnya, karena yang satu

bekerja di luar rumah dan satunya lagi bekerja di dalam rumah?

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan dua masalah penelitian:

1. Apakah pembagian tugas rumah mempunyai hubungan dengan kepuasan pernikahan

pada pasangan dual earner yang berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak berusia

1-3 tahun?

2. Bagaimanakah perbandingan kepuasan pernikahan pasangan dual earner dengan

pasangan single earner yang juga berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak

berusia 1-3 tahun?

9

Page 10: revisi bab 12-09-09

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud

Penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan antara pembagian tugas rumah

dengan kepuasan pernikahan pada pasangan dual earner yang berusia dewasa awal dan

telah mempunyai anak berusia 1-3 tahun. Lalu penelitian ini juga bermaksud untuk

melihat perbadingan kepuasan pernikahan pasangan dual earner dengan pasangan single

earner yang juga berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak berusia 1-3 tahun.

1.3.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana derajat hubungan antara

pembagian tugas rumah dengan kepuasan pernikahan pada pasangan dual earner yang

berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak berusia 1-3 tahun. Kemudian penelitian

ini juga bertujuan untuk melihat derajat perbadingan kepuasan pernikahan pasangan dual

earner dengan pasangan single earner yang juga berusia dewasa awal dan telah

mempunyai anak berusia 1-3 tahun.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

1.4.1.1 Penelitian ini berguna untuk memberikan masukan baru bagi perkembangan

psikologi keluarga di Indonesia mengenai pentingnya pembagian tugas rumah dan

faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pernikahan.

1.4.1.2 Sehubungan dengan budaya yang cukup berbeda antara Indonesia dengan negara-

negara Barat lainnya, maka penelitian ini akan berguna bagi perkembangan

psikologi indigeneous, terutama dalam bidang psikologi keluarga. Penelitian ini

10

Page 11: revisi bab 12-09-09

dapat berguna untuk mendorong peneliti-peneliti lain untuk meneliti masalah

keluarga di Indonesia dan bagaimana meningkatkan kualitas pernikahan dengan

melihat budaya dan nilai sosial yang ada di Indonesia.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1.4.2.1 Penelitian ini berguna untuk memberikan masukan dan informasi baru pada

konselor pernikahan dalam menangani kasus-kasus yang kurang bahagia karena

terbebani oleh tugas-tugas yang melelahkan. Konselor juga dapat menggunakan

penelitian ini untuk memberitahukan kepada pasiennya dampak-dampak yang

dapat terjadi jika salah satu dari pasangan merasa terbebani oleh pembagian tugas

yang berlebihan.

1.4.2.2 Penelitian ini juga berguna bagi seminar dan/atau kursus pernikahan agar dapat

memberitahukan sejak dini mengenai hubungan antara pembagian tugas rumah

dengan kepuasan pernikahan.

11

Page 12: revisi bab 12-09-09

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pernikahan

Pernikahan mempunyai prosedur yang berbeda-beda dalam setiap budaya, namun

memiliki fungsi fundamental yang sama, yaitu untuk melahirkan generasi baru dalam

sejarah manusia (Gardiner et al., 1998 dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Bagi

kebanyakan masyarakat, pernikahan dianggap sebagai cara terbaik untuk membesarkan

anak. Hal ini dikarenakan adanya pembagian tugas rumah dalam keluarga. Selain itu

pernikahan juga menawarkan intimasi, komitmen antara kedua pasangan, pertemanan

antara kedua pasangan, pemenuhan kebutuhan seksual, dan tempat untuk pertumbuhan

emosi dan identitas (Papalia et al., 2004).

Transisi menuju kehidupan pernikahan menimbulkan perubahan-perubahan besar

dalam sehari-hari, meliputi aktifitas seksual, pengaturan hidup, hak dan tanggung jawab,

dan kesetiaan (Papalia et al., 2004). Pada tahap ini suami dan istri sudah mengerahkan

seluruh atensinya pada hubungan interpersonal dalam pernikahan (Duvall, 1977).

Ditambahkan, pasangan yang baru menikah mempunyai tiga tugas perkembangan:

1. Proses maturasi fisiologi: koordinasi untuk pemenuhan kebutuhan seksual.

2. Ekspektasi dan tekanan dari budaya: bagaimana pasangan tersebut berperilaku

sebagai pasangan yang sudah menikah dengan tetap menghargai nilai-nilai sosial

yang ada dalam suatu komunitas.

12

Page 13: revisi bab 12-09-09

3. Aspirasi pribadi mengenai pernikahan: bagaimana mereka bekerja sama

menciptakan apa yang mereka impikan sebagai keluarga.

Biasanya pasangan muda akan mengalami kesulitan di tahap awal dimana mereka

mulai menyesuaikan diri dengan apa yang budaya inginkan, apa yang pasangannya

inginkan, dan apa yang mereka inginkan (contohnya, masalah mengenai suami istri yang

bekerja).

2.1.1.1 Tugas Perkembangan

Tugas Perkembangan Suami Baru

Tugas perkembangan utama sang suami adalah ia harus berperilaku sebagai pria

yang telah menikah kepada siapa pun dan dengan siapa pun (Duvall, 1977). Ia diharapkan

mempunyai pekerjaan tetap dan bertanggung jawab atas urusan finansial keluarga. Tidak

ada cara yang baku untuk menjadi suami yang baik, selama apa yang ia lakukan dapat

memuaskan istrinya. Ia pun tidak boleh lupa akan tugasnya dalam komunitas –hal ini

bergantung pada norma yang berlaku.

Tugas Perkembangan Istri Baru

Tugas perkembangan utama istri adalah menjadi wanita dewasa dan istri bagi

suami secara seksual, finansial, dalam komunikasi, dan emosional. Ia juga biasanya

diharapkan melakukan tugas rumah. Walaupun ia bekerja, istri tetap diharapkan untuk

menjaga rumahnya agar tetap bersih dan teratur (Duvall, 1977).

13

Page 14: revisi bab 12-09-09

Tugas Perkembangan Komplementari dan Conflicting

Tugas perkembangan ini meliputi membagi tanggung jawab dalam hal merawat

rumah. Seorang istri diharapkan dapat menghibur suaminya yang terliha lelah sepulang

dari kerja. Jika pasangan tersebut adalah dual earner, maka diharapkan mereka dapat

membantu satu sama lain dalam hal ekonomi. Istri pun diharapkan tidak mengancam

status suaminya sebagai pencari nafkah. Kemudian kedua belah pihak harus dapat

berkomunikasi satu dengan lainnya secara intim (Duvall, 1977).

Tugas Perkembangan Keluarga dari Pasangan Menikah

Sebuah pasangan harus menjalankan tugas keluarga dasarnya sebagai pasangan

menikah. Beberapa adalah tugas dasar keluarga menurut Duvall (1977):

1. menemukan, merenovasi, dan menjaga rumah pertamanya

2. menetapkan cara-cara yang dapat memuaskan mereka

3. membagi tanggung jawab yang dapat dilakukan oleh rekannya dan rekannya pun

bersedia melakukannya

4. menetapkan tugas pribadi, emosional, dan seksual secara bersama-sama

5. berinteraksi dengan sepupu ipar, relatif, dan komunitas

6. merencanakan untuk mempunyai anak

7. menjaga motivasi dan moral pasangan

Apa yang diharapkan dari pernikahan kebanyakan bergantung pada status sosial pasangan

tersebut, etnis dan ras, dan latar belakang keluarga.

14

Page 15: revisi bab 12-09-09

2.1.1.2 Faktor-faktor dalam Kesuksesan atau Kegagalan Pernikahan

Menurut Papalia dan rekan-rekannya (2004), sukses dalam pernikahan sangat erat

hubungannya dengan bagaimana kedua pihak berkomunikasi, membuat keputusan, dan

menangani masalah. Berargumentasi dan secara terbuka mengungkapkan amarah dinilai

lebih bagus dalam pernikahan dibandingkan dengan mengeluh, tertutup, keras kepala,

dan kabur dari masalah (Gottman dan Krokoff, 1989 dalam Papalia et al., 2004).

Banyak kasus kegagalan pernikahan dikarenakan oleh ketidaksamaan persepsi

antara suami dengan istri dalam hal berumah tangga. Suami ingin istrinya dapat

menghibur ketika ia pulang dari kantor dan menyiapkan makanannya. Di sisi lain istri

juga ingin mendapatkan kebebasan untuk bekerja dan mungkin tidak dapat melakukan

beberapa tugas rumah. Hal inilah yang, jika tidak diatasi, dapat membuat pasangan

menjadi kurang komit terhadap pernikahannya (Kirk, Eckstein, Serres, Helms, 2007).

2.1.1.3 Menjadi Orang Tua

Menjadi orang tua dan membangun keluarga termasuk dalam siklus kehidupan

berkeluarga (Santrock, 1997). Memasuki tahap ini membutuhkan komitmen terhadap

waktu sebagai orang tua, pengertian mengenai tugas-tugas orang tua, dan menyesuaikan

dengan perubahan perkembangan anak. Pada tahap ini biasanya pasangan akan

mengalami banyak penyesuaian dan membutuhkan pembagian tugas yang lebih efisien

dari sebelumnya. Menurut Baxter dan Western (1998), salah satu dari pasangan muda

yang dual earner akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dengan kondisi baru.

Mereka yang mengalami kesulitan biasanya disebabkan oleh pekerjaan rumah yang lebih

15

Page 16: revisi bab 12-09-09

banyak dibebani pada mereka. Akan tetapi, banyak juga salah satu dari pasangan muda

yang juga dual earner merasa baik-baik saja walaupun pekerjaan rumah mereka lebih

banyak dibandingkan pasangannya. Biasanya mereka adalah wanita yang senang dengan

pekerjaan rumah dan menganggap bahwa kebanyakan dari pekerjaan rumah, termasuk

mengurus anak yang baru lahir, adalah bagian dari tanggung jawab sebagai istri.

Tugas Perkembangan Ibu yang Mempunyai Bayi dan Anak yang berusia di bawah 4

tahun

Duvall (1977) telah membuat daftar tugas perkembangan ibu untuk merawat

anaknya:

1. Menyesuaikan konsep akan tugasnya sebagai ibu

2. Menerima dan menyesuaikan dirinya pada tekanan dan keterikatan sebagai ibu

muda

3. Belajar merawat anaknya secara kompeten dan dengan keyakinan

4. Membuat dan menjaga rutinitas yang sehat bagi keluarga

5. Menyediakan kesempatan yang penuh bagi perkembangan anak

6. Berbagi tanggung jawab dalam mengasuh anak dengan suaminya

7. Menjaga hubungan yang memuaskan dengan suaminya

8. Membuat penyesuaian yang memuaskan terhadap kehidupan yang praktis

9. Tetap menjaga otonomi pribadinya

10. Menjelajahi dan mengembangkan pembentukan keluarga

16

Page 17: revisi bab 12-09-09

Tugas Perkembangan Ayah yang Mempunyai Bayi dan Anak yang berusia di bawah 4

tahun

Duvall (1977) juga telah membuat daftar mengenai tugas perkembangan ayah

dalam merawat anaknya:

1. Menyesuaikan konsep akan tugasnya sebagai ayah

2. Membiarkan tekanan baru sebagai ayah mudah masuk ke dalam dirinya

3. Belajar mengenai bayi dan bagaimana merawatnya

4. Menyesuaikan rutinitas baru yang didesain untuk anggota keluarga baru

5. Mendorong perkembangan anak sepenuhnya

6. Menjaga hubungan yang memuaskan dengan istri

7. Menerima asumsi bahwa ia adalah pencari nafkah terbesar dalam keluarga

8. Menjaga rasa sebagai dirinya

9. Merepresentasikan keluarganya dalam komunitas

10. Menjadi ayah dalam istilah yang sebesar-besarnya

2.1.1.4 Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat dirangkum sebagai persepsi masing-masing pasangan

mengenai seberapa jauh pasangannya memenuhi komitmen pernikahannya dan seberapa

jauh apa yang dilakukan pasangannya memenuhi apa yang diimpikannya (Saginak dan

Saginak, 2005; Baxter dan Western, 1998; Papalia et al., 2004; Kirk et al., 2007).

Kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi status sosial, kondisi

ekonomi, cara pasangan berkomunikasi, kehidupan seksual, pembagian tugas rumah dan

17

Page 18: revisi bab 12-09-09

masih banyak lagi faktor-faktor lainnya. Akan tetapi, penelitian ini tertarik untuk melihat

kepuasan pernikahan dari sudut pandang pembagian tugas rumah.

Sudah banyak studi mengenai hubungan antara pembagian tugas rumah dengan

kepuasan pernikahan. Banyak yang menunjukkan bahwa pasangan dual earner yang

telah mempunyai anak mengalami rasa kurang puas terhadap pernikahannya, yang

mungkin disebabkan oleh rutinitas baru yang melelahkan (Papalia et al., 2004). Banyak

juga yang mengatakan bahwa istri lebih sering melaporkan rasa kurang puas terhadap

pernikahannya, karena terbebani oleh pekerjaan yang sangat banyak –baik itu di luar

rumah maupun di dalam rumah (Ferree, 1991). Walaupun hasil studi ini masih belum

menunjukkan grup atau subgrup dari wanita yang merasa pekerjaan di luar rumah dan di

dalam rumah adalah beban yang berlebihan.

Kepuasan pernikahan tentunya bukanlah sesuatu yang sifatnya statis. Hal ini

bahkan lebih sering berfluktuasi. Contohnya, menurut Papalia dan rekan-rekannya

(2004), kepuasan pernikahan cenderung menurun pada fase merawat dan membesarkan

anak. Akan tetapi ada juga pernikahan yang bahkan mejadi lebih kuat setelah adanya

bayi.

Bagi kepuasan pernikahan yang menurun, hal ini lebih banyak dialami oleh istri.

Hal ini dimungkinkan bagi istri yang juga bekerja di luar rumah. Mereka tidak hanya

harus bekerja dengan jam kerja yang penuh, tetapi juga ketika kembali ke rumah mereka

harus membersihkan rumah dan mengasuh anak (Saginak dan Saginak, 2005). Perasaan

tertekan pun akan sering bermunculan pada istri yang juga bekerja di luar rumah. Namun

perasaan terbebani ini dapat dikurangi dengan adanya diskusi mengenai evaluasi

18

Page 19: revisi bab 12-09-09

pembagian tugas rumah dan kesediaan suami untuk membantu istrinya dalam

melaksanakan pekerjaan rumah.

2.1.2 Pembagian Tugas Rumah

Pembagian tugas rumah dapat diartikan sebagai pembagian hak dan tanggung

jawab mengenai pekerjaan yang berurusan dengan rumah yang dapat dilakukan oleh

masing-masing pihak dan pihak tersebut pun bersedia melakukannya, seperti mencuci

baju dan piring, memasak, mengasuh anak, dan memastikan tagihan-tagihan rumah

dibayar tepat pada waktunya (Duvall, 1977; Zimmerman et al., 2003; Papalia et al.,

2004). Banyak studi yang mengatakan pentingnya persepsi keadilan dalam pembagian

tugas rumah, sehingga masing-masing merasa terbantu oleh kehadiran pasangannya

(Saginak dan Saginak, 2005).

Walaupun biasanya istri akan dilimpahkan tugas yang lebih banyak, Perry dan

Maureen (2004) sepakat bahwa suami pun tetap harus membantu apa yang dikerjakan

istrinya. Hal ini yang terkadang dilupakan oleh beberapa keluarga, sehingga istri merasa

suami hanya bertindak sebagai atasan dimana ketika ia sedang melakukan tugas rumah

pasangannya hanya duduk diam. Tugas rumah sangatlah penting untuk dibagikan secara

merata agar masing-masing pihak tidak merasa tertekan dan akhirnya tidak merasa

terbebani oleh pekerjaan-pekerjaan rumahnya.

Menurut Saginak dan Saginak (2005), pasangan yang dapat membagikan tugas

rumah secara adil dapat melalui transisi menuju kondisi menjadi orang tua dengan

sukses. Mereka yang seperti ini mempunyai rasa hormat dan pengakuan bagi

pasangannya, dan merasa didukung dan dihargai oleh pasangannya. Hal inilah yang

19

Page 20: revisi bab 12-09-09

membuat mereka senang dan merasa tidak terbebani oleh pekerjaan rumah, walaupun dua

duanya bekerja di luar rumah. Sedangkan mereka yang tidak membagi tugas rumah

dengan adil dan tidak mau mengevaluasi pembagian tugasnya ketika mulai menjadi orang

tua, maka mereka akan cenderung untuk sulit menyeimbangkan antara kerja dengan

urusan rumah. Mereka merasa bahwa mereka selalu dikejar oleh pekerjaan-pekerjaan

yang ada di luar dan di dalam rumah. Mereka inilah yang biasanya mempunyai tingkat

stres tinggi dan akhirnya sering menyalahkan satu sama lainnya (Perry dan Maureen,

2004).

Ditambahkan, suami istri yang dapat melaksanakan tugas rumahnya dengan baik

dan tidak merasa terbebani oleh pekerjaan rumah yang terlalu banyak biasanya akan

menjadi orang tua yang aktif dalam mengasuh anak (Saginak dan Saginak, 2005).

Pasangan seperti ini tidak merasa takut akan pekerjaan rumahnya dan lebih fleksibel

dalam hal pengaturan tugas rumah. Istri biasanya juga merasa mendapat dukungan ketika

suami mau ikut andil dalam mengasuh anak (Papalia et al., 2004). Suami yang mau

berkompromi untuk meluangkan waktunya untuk mengasuh anak akan sangat membantu

istrinya berisitirahat. Hal ini kemudian yang tetap menjaga kondisi kesehatan istri tetap

baik, karena ia tidak bekerja terlalu keras. Pembagian tugas rumah tidak hanya sekedar

membagi waktu kerja dengan rata, dan bahkan terkadang bukan itu, yang penting adalah

ketersediaan suami untuk tetap ada dan memberikan masukan atau bantuan kepada

pekerjaan rumah istrinya (Baxter dan Western, 1998).

20

Page 21: revisi bab 12-09-09

2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Pembagian Tugas Rumah dan akhirnya Memengaruhi

Kepuasan Pernikahan

1. Ideologi Jender

Bagi pasangan yang masih menganut pandangan tradisional, dimana istri harus

dan sepantasnya lebih banyak melakukan pekerjaan rumah, maka istri pun tidak akan

merasa terbebani walaupun ia memiliki pekerjaan rumah yang mungkin tiga kali lipat

lebih banyak dibandingkan suaminya (Saginak dan Saginak, 2005). Istri bahkan merasa

senang dengan mempunyai pekerjaan rumah yang lebih banyak, walaupun ia juga bekerja

di luar rumah, karena ia merasa mempunyai wewenang atas apa yang dapat dilakukan di

dalam rumah. Pengaturan furnitur rumah, contohnya, akan lebih banyak dilakukan oleh

istri (Duvall, 1977; Baxter dan Western, 1998).

Menurut Berg (1985 dalam Baxter dan Western, 1998) dan Komster (1989 dalam

Baxter dan Western, 1998) bahkan istri mendapatkan kesenangan dan rasa kepercayaan

diri melalui pelaksanaan pekerjaan rumah yang memenuhi standar kedua pasangan

tersebut. Mereka tidak hanya senang melakukannya, namun juga sudah membuat

pekerjaan rumah menjadi bagian dari diri mereka sehingga mereka memang harus

melakukannya. Dalam kasus ini, istri tidak akan merasa terbebani walaupun setelah

pulang dari kantor ia harus membersihkan rumah, memasak, dan mengasuh anak.

Sedangkan bagi istri yang menganut kesetaraan jender, maka ia pun akan

mempunyai perasaan yang terbalik dengan istri yang di atas. Ia akan merasa

ketidakadilan dalam pernikahannya, karena ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk

bekerja di luar –untuk membantu ekonomi keluarga- dan di dalam rumah (Ferree, 1991).

21

Page 22: revisi bab 12-09-09

Kemudian menurut feminis (Thompson dan Walker, 1989 dalam Ferree, 1991) wajar jika

istri mengurangi jumlah pekerjaan rumahnya, karena keterbatasan kemampuan.

Contohnya, bukanlah masalah jika istri tidak memasak karena ia memang tidak bisa

memasak. Pandangan ini mengungkapkan bahwa istri tidak langsung mengurangi jumlah

pekerjaan rumah atau jam kerja di rumah, namun ia hanya mempertimbangkan kembali

kemampuan apa saja yang dimilki untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tertentu.

Oleh karena itu, pekerjaan rumah dibagi sesuai dengan apa yang diungkapkan Duvall

(1977), yaitu berdasarkan kemampuan dan ketersediaan pasangan.

2. Komunikasi Pasangan atau Keluarga

Kebanyakan teoris mendefinisikan komunikasi keluarga sebagai proses kognitif

yang melibatkan simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pembicara dan lawan

bicaranya (Koerner & Fitzpatrick,1993). Simbol-simbol yang digunakan ini tentunya

merupakan hasil kesepakatan bersama sehingga dapat dimengerti oleh kebanyakan orang.

Dalam membahas komunikasi keluarga terdapat dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu

intersubjectivity dan interactivity. Intersubjectivity merujuk pada berbagi pikiran dalam

kejadian yang komunikatif. Ada tiga cara intersubjectivity memengaruhi komunikasi:

a. Komunikasi membutuhkan makna yang sama antara pembicara dengan lawan

bicaranya.

b. Komunikasi dapat terjadi dalam konteks hubungan bersama.

c. Komunikasi dapat menghasilkan ide yang sama tentang suatu lingkungan atau apa

yang ada di sekeliling pembicara dan lwan bicara.

Di sisi lain, interactivity merujuk pada seberapa besar interpretasi masing-masing

22

Page 23: revisi bab 12-09-09

pihak yang sedang berkomunikasi berhubungan. Tentunya hal ini membutuhkan

encoding (mengirim simbol) dari pembicara dan decoding (menginterpretasi simbol) oleh

pendengar (Koerner dan Fitzpatrick,1993).

Menurut Koerner dan Fitzpatrick (1993), ada dua dimensi yang dapat

membedakan bagaimana sebuah pasangan atau keluarga berkomunikasi. Dua dimensi

tersebut yaitu:

a. Orientasi Percakapan

Hal ini didefinisikan sebagai seberapa besar salah satu pihak dari pasangan

mengajak pihak lainnya untuk berpartisipasi dalam percakapan. Jika suami istri

berada pada tingkat yang tinggi dalam dimensi ini, maka kedua belah pihak sering

berinteraksi dengan satu sama lain secara bebas dan spontan. Pasangan ini

menghabiskan banyak waktu berbagi perasaaan dan pikirannya masing-masing.

Akibatnya kebanyakan aktifitas didiskusikan bersama-sama dan pembagian tugas

rumah cenderung lebih adil. Sebaliknya, jika suami istri berada pada tingkat yang

rendah dalam dimensi ini maka mereka jarang menghabiskan waktu bersama

berbagi perasaan dan pikiran mereka. Akibatnya yang terjadi adalah salah satu

pihak dari pasangan akan lebih sering mendikte apa yang harus dilakukan dan

siapa yang melakukannya di rumah.

b. Orientasi Konformitas

Hal ini didefinisikan sebagai seberapa besar pasangan suami istri membicarakan

sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan mereka. Pasangan yang berada pada tingkat

tinggi dalam dimensi ini sering berinteraksi dalam bentuk konformitas,

menghindari konflik, dan ketergantungan pada masing-masing pihak. Tingkat

23

Page 24: revisi bab 12-09-09

tinggi dalam dimensi ini biasanya terdapat pada pasangan suami istri yang

mengadopsi ideologi jender tradisional, dimana istri lebih mementingkan

hubungan keluarga dibandingkan negosiasi mengenai hal-hal yang dia inginkan.

2.1.3 Perkembangan Dewasal Awal

Ada tiga dimensi yang dapat dijelaskan dalam tahap perkembangan dewasa awal,

yaitu:

1. Perkembangan Fisik

Ada dua kriteria perkembangan bagi status dewasa awal, yaitu kemandirian

ekonomi dan kebebasan membuat keputusan (Santrock, 1995). Dengan adanya kondisi

fisik yang berada di kondisi puncak, antara usia 18-30 tahun, dewasa awal ternyata

mengembangkan gaya hidup yang tidak sehat. Mereka biasanya makan makanan yang

tidak bergizi atau melakukan diet untuk menjaga tubuh yang ideal -hal inilah yang

mengembangkan pola makan yang tidak sehat.

Melihat perkembangan biologisnya, wanita dewasa awal mulai mengalami siklus

menstrual. Hal ini yang dapat memengaruhi emosinya, sehingga hal ini pun perlu

diperhatikan ketika sedang melakukan tugasnya. Pasangannya harus mengerti apa yang

istrinya alami, sehingga tidak ada perselisihan yang tidak perlu di saat siklus menstrual

terjadi.

2. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif yang paling penting adalah berpindahnya tipe pemikiran

dualistik menjadi tipe beragam atau multiple (Perry, 1970, dalam Santrock, 1995).

Mereka dapat mengerti bahwa terkadang pendekatan evaluatif diperlukan untuk

24

Page 25: revisi bab 12-09-09

menganalisa suatu kejadian, teori, atau pengetahuan. Ditambahkan kemampuan kognitif

dewasa awal sangatlah kuat dan dapat beradaptasi lebih cepat dan efisien (Santrock,

1995). Selain itu, konsep terpenting dalam dewasa awal datang dari Schaie (1977, dalam

Papalia, Olds, & Feldman, 2003) yang mengatakan bahwa terdapat tahapan pencapaian

(achieving stage) pada masa dewasa awal, dimana orang dewasa awal mengaplikasikan

inteligensinya untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan tujuan

jangka panjang, seperti karir dan bahkan pernikahan atau hubungan dekat dengan lawan

jenis. Lalu ada juga tahapan tanggung jawab (responsibility stage) pada masa ini, dimana

atensi diberikan lebih kepada keluarga, yaitu kebutuhan pasangan dan anak. Dengan

adanya perkembangan kognitif seperti ini, maka pria dan wanita dewasa awal dapat

mengambil keputusan yang sesuai bagi pasangannya untuk mempertahankan kualitas

pernikahan.

3. Perkembangan Emosi

Sehubungan dengan perkembangan sosio-emosi pada masa dewasa awal, kognisi

hubungan (relationship cognition) juga berkembang (Santrock, 1995). Sesuai dengan

Berscheid (1994, dalam Santrock, 1995), konsep ini mengatakan bahwa kognisi berperan

penting dalam memberikan pengertian terhadap hubungan dekat dan kepuasan

pernikahan. Banyak studi yang telah mengungkapkan bahwa atribusi, yang dimediasi

melalui kognisi, yang diberikan kepada pasangannya sangat berhubungan dengan

kepuasan pernikahan. Secara spesifik, pasangan yang kurang bahagia cenderung

mengatribusikan masalah pernikahan dan perilaku negatif pasangannya sebagai

karakteristik yang stabil dari pasangannya, dan pasangannya melakukan kesalahan karena

kesengajaan dan keegoisan.

25

Page 26: revisi bab 12-09-09

Masih sehubungan dengan kognisi hubungan, terdapat juga perbedaan gender.

Dalam hal ini, wanita lebih akurat dalam mengingat memori hubungan dan lebih aware

tentang pola interaksi mereka dengan pasangannya (Ross & Holmberg, 1990, dalam

Santrock, 1995). Oleh karena itu, perkembangan kogntif dan sosio-emosi sangat berperan

penting untuk menentukan apakah sebuah pasangan muda bahagia dengan keadaan

keluarga mereka atau tidak.

Inteligensi emosi juga merupakan produk dari berkembangnya kognitif dan sosio-

emosi. Dengan memiliki tingkat inteligensi emosi yang tinggi, maka orang dewasa aawal

akan dapat merasakan dan menangani perasaannya dan perasaan orang lain (Papalia,

Olds, & Feldman, 2003). Seperti yang diungkapkan oleh Daniel Goleman (2001), orang

yang memiliki inteligensi emosi yang tinggi akan memiliki tingkat empati yang tinggi

terhadap sesama. Oleh karena itu, tingkat inteligensi emosi yang tepat dibutuhkan dalam

sebuah pernikahan. Hal ini terutama sangat penting ketika kedua pasangan sama-sama

bekerja dan harus mengurus rumah tangganya, termasuk mengasuh anak. Dengan

mengerti perasaan orang lain, maka sebuah pasangan akan dapat lebih sensitif untuk

melakukan tindakan atau membuat suatu keputusan. Contohnya, jika sang suami telah

mengetahui bahwa istrinya selalu pulang di atas jam 7 malam setiap hari Senin, maka

sang suami tidak akan banyak mengeluh untuk menjaga anaknya terlebih dahulu sampai

sang istri tiba di rumah. Hal-hal kecil seperti ini memang sederhana, namun merupakan

faktor penting dalam pembagian tugas mengasuh anak. Jika pembagian tugas

menghasilkan win-win solution maka kedua pasangan pun akan menunjukkan tingkat

kepuasan yang tinggi terhadap pernikahannya (Belsky & Hsieh, 1998).

26

Page 27: revisi bab 12-09-09

2.2 Kerangka Pemikiran

Hubungan antara Pembagian Tugas Rumah dengan Kepuasan Pernikahan pada Pasangan

Muda Dual Earner

Pasangan muda yang baru memasuki tahap menjadi orang tua cenderung

mengalami kesulitan dalam menangani tugas-tugas rumah yang ada (Duvall, 1977).

Mereka biasanya belum terbiasa dengan kebiasaan bangun di jam 2 atau 3 pagi untuk

mengganti popok atau diaper. Mereka juga harus membiasakan dirinya meluangkan

waktu untuk bermain, mengasuh, dan menjaga anaknya. Dengan adanya anggota

keluarga baru maka aktifitas rumah pun akan berubah. Perubahan dalam tugas-tugas

rumah ini yang biasanya menurunkan kepuasan pernikahan, terutama bagi mereka yang

mempunyai anak di bawah 1 tahun- 3 tahun (Papalia et al., 2004).

Masalah pun cenderung semakin bertambah karena suami dan istri bekerja di luar

rumah. Oleh karena itu, mereka harus dapat berkompromi dalam mengatur tugas

rumahnya masing-masing. Pasangan yang dua-duanya bekerja biasa mengalami

penurunan dalam aktifitas seks, yang kemudian biasanya mulai diasosiasikan dengan

menurunnya kepuasan pernikahan (Santrock, 1995; Papalia et al., 2004).

Penambahan anggota baru berarti penambahan tugas-tugas rumah. Jika pasangan

muda dapat bersedia mengevaluasi pembagian tugas rumahnya, maka transisi akan

berjalan dengan baik (Saginak dan Saginak, 2005). Tidak ada pihak yang merasa tidak

adil karena terbebani oleh pekerjaan yang lebih banyak. Walaupun banyak istri yang

merasa senang dengan mengasuh anak dan melakukan tugas rumah, suami pun juga

diharapkan ada di samping istri untuk memberi masukan dan membantu di kala istri tidak

dapat melakukan tugas rumahnya.

27

Page 28: revisi bab 12-09-09

Sehubungan dengan kondisi pasangan yang dua-duanya bekerja dan mereka pun

harus membagi waktunya untuk tugas rumah, maka peneliti berasumsi bahwa hal tersebut

mempunyai dampak pada kepuasan pernikahan. Oleh karena itu, pembagian tugas rumah,

termasuk mengasuh anak, mempunyai hubungan langsung dengan kepuasan pernikahan –

apapun ideologi jender yang dianut oleh pasangan tersebut.

Berikut bagan yang menggambarkan kerangka pikir penelitian ini:

Bagan 2.1. Bagan Kerangka Pikir

2.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara pembagian tugas rumah dengan kepuasan pernikahan pada

pasangan muda dual earner.

2. Pembagian tugas rumah memiliki hubungan negatif dengan kepuasan pernikahan pada

pasangan muda dual earner.

28

Perkembangan Dewasa Awal

Pasangan MudaDual Earner

1. Ideologi Jender 2. Cara pasangan berkomunikasi

Pembagian Tugas Rumah

1.Mengurus rumah2.Mengasuh anak

1.status sosial, 2.kondisi ekonomi, 3.kehidupan seksual

Kepuasan Pernikahan

1.Kesesuai dengan harapan2.Dukungan dari pasangan

Page 29: revisi bab 12-09-09

3. Terdapat perbedaan antara kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner

dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda single earner, dimana pasangan muda

dual earner memiliki kepuasan pernikahan yang lebih rendah dibandingkan dengan

pasangan muda single earner.

4. Terdapat perbedaan antara kepuasan pernikahan istri pasangan muda dual earner dan

single earner dengan kepuasan pernikahan suami pasangan dual earner dan single

earner, dimana istri memiliki kepuasan pernikahan yang lebih rendah pada pasangan

muda dual earner dan single earner.

5. Dimensi tugas mengasuh anak memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan

kepuasan pernikahan dibandingkan dengan dimensi tugas mengurus rumah pada

pasangan dual earner

29

Page 30: revisi bab 12-09-09

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi perbandingan dimana peneliti melihat hubungan

antara variabel x dengan variabel y. Kemudian penelitian ini juga membandingkan grup 1

dengan grup 2 untuk melihat perbandingan hasil. Kedua grup diberikan kuesioner yang

sama. Berikut adalah rancangan penelitian:

Dual Earner

Korelasi

Single Earner

Bagan 3.1. Bagan Rancangan Penelitian

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.2.1. Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas: pembagian tugas rumah didefinisikan sebagai pembagian hak dan

tanggung jawab mengenai pekerjaan yang berurusan dengan rumah yang dapat dilakukan

oleh masing-masing pihak dan pihak tersebut pun bersedia melakukannya, yang terdiri

dari mencuci dan menyetrika baju, mencuci piring, membersihkan rumah, memasak,

30

Pembagian Tugas Rumah

Kepuas an Pernikahan

Dibandingkan

Page 31: revisi bab 12-09-09

membayar tagihan-tagihan keperluan rumah. Hal ini juga meliputi kegiatan mengasuh

anak seperti, menggantikan baju anak, popok atau diaper, memberi makan pada anak,

bermain dengan anak, dan menghiburnya di saat anak terbangun di malam hari (Duvall,

1977; Zimmerman et al., 2003; Papalia et al., 2004).

b. Variabel Bergantung: kepuasan pernikahan diartikan sebagai persepsi masing-masing

pasangan mengenai seberapa jauh pasangannya memenuhi komitmen pernikahannya dan

seberapa jauh apa yang dilakukan pasangannya memenuhi apa yang diimpikannya

(Saginak dan Saginak, 2005; Baxter dan Western, 1998; Papalia et al., 2004; Kirk et al.,

2007).

3.2.2 Definisi Operasional

a. Pembagian tugas rumah didefinisikan sebagai jumlah aktifitas atau pekerjaan yang

dilakukan oleh suami atau istri di dalam rumah yang berkaitan dengan mengurus rumah

dan mengasuh anak.

a.1. Mengurus rumah didefinisikan sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh suami

atau istri di dalam rumah yang berkaitan dengan membersihkan rumah, mencuci piring,

mencuci dan menyeterika baju, dan membayar tagihan-tagihan rumah.

a.2. Mengasuh anak didefinisikan sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh suami

atau istri di dalam rumah yang berkaitan dengan merawat anak, seperti memberinya

makan, menggantikan diaper, menghiburnya, dan bermain dengannya.

b. Kepuasan pernikahan diartikan sebagai derajat tinggi rendahnya kesesuaian suami atau

istri dengan kegiatan rumah yang dilakukannya dan dukungan yang diterima dari

pasangannya.

31

Page 32: revisi bab 12-09-09

b.1. Kesesuaian suami atau istri didefinisikan sebagai derajat keadilan dalam pembagian

tugas rumah dan mengasuh anak

b.2. Dukungan dari pasangan didefinisikan sebagai derajat komitmen suami atau istri

dalam membantu pasangannya melakukan pekerjaan mengurus rumah dan mengasuh

anak.

3.3. Populasi dan Karakteristik Sampel

3.3.1. Populasi Sampel

Populasi yang digunakan adalah pasangan yang sudah menikah dan baru

mempunyai bayi.

3.3.2. Karakteristik Sampel:

Sampel pasangan dual earner

a. Subyek adalah pasangan yang sudah menikah maksimal selama 5 tahun dan

selama pernikahan tinggal di kota Bandung

b. Telah memiliki anak berusia 1-3 tahun dengan kondisi mental yang sehat

c. Pasangan suami dan istri berusia 18-30 tahun dan masih tinggal di rumah orang

tua atau mertua, tanpa memiliki pembantu rumah tangga

d. Pasangan menikah untuk pertama kalinya

e. Pasangan sama-sama bekerja di luar rumah

f. Pendapatan kedua pasangan per bulan berkisar antara Rp. 2 juta – Rp. 3.5 juta

Sampel pasangan single earner

a. Salah satu dari pasangan bekerja di luar rumah

32

Page 33: revisi bab 12-09-09

b. Karakteristik lainnya sesuai dengan karakteristik sampel di atas

3.3.3. Jumlah Sampel

Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 30 pasangan

untuk masing-masing grup. Maka total dari kedua grup adalah 60 pasangan.

3.4. Alat Ukur dan Prosedur Pengambilan Data

3.4.1. Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang dibuat oleh

peneliti berdasarkan teori-teori yang digunakan dalam penelitian. Ada dua kuesioner

yang digunakan, yaitu kuesioner pembagian tugas rumah dan kuesioner kepuasan

pernikahan. Kuesioner ini akan diuraikan pada tabel berikut,

1. Kuesioner Pembagian Tugas Rumah

Tabel 3.1. Kisi-kisi Kuesioner Pembagian Tugas Rumah

No Dimensi Indikator Item (+) Item (-)

1 Mengurus

rumah

a. Mencuci dan menyeterika baju, mencuci piring

b. Membersihkan rumah

c. Memasak

d. Membayar tagihan-tagihan keperluan rumah

1, 8, 11, 23, 29

6, 12, 18, 21, 56,

19, 34, 44, 47

9, 17, 36, 41, 52,

10, 62, 30, 59

5, 32, 43, 54

25, 49, 63, 69

38, 46, 50, 58

2 Mengasuh

anak

a. Menggantikan baju anak dan popok atau diaper

22, 39, 57, 68 20, 35, 40, 53

33

Page 34: revisi bab 12-09-09

b. Memberi makan pada anak

c. Bermain dengan anak

d. Menghiburnya sebelum dan di saat anak terbangun di malam hari

2, 7, 14, 37, 60

24, 31, 33, 48, 5113, 15, 26, 28, 64

55, 61, 67, 70

4, 16, 42, 45

3, 27, 65, 66

Berikut adalah pilihan jawaban yang diterapkan pada kuesioner pembagian tugas rumah:

Item Positif: Item Negatif:

5 = Selalu Istri 1 = Selalu Istri

4 = Biasanya Istri 2 = Biasanya Istri

3 = Seimbang 3 = Seimbang

2 = Selalu Suami 4 = Selalu Suami

1 = Biasanya Suami 5 = Biasanya Suami

2. Kuesioner Kepuasan Pernikahan

Tabel 3.2. Kisi-kisi Kuesioner Kepuasan Pernikahan

No Dimensi Indikator Item (+) Item (-)

1 Kesesuaian

dengan

harapan

a. Pembagian tugas mengurus rumah

b. Pembagian tugas mengasuh anak

4, 8, 10, 11, 24, 25, 31, 35, 39, 40,

26, 36, 41, 50, 53, 58, 59, 63, 66, 68

1, 6, 14, 17, 42, 57, 62

2, 27, 28, 37, 38, 47, 70

2 Dukungan dari

pasangan

a. Pembagian tugas mengurus rumah

b. Pembagian tugas

3, 22, 23, 49, 52, 54, 60, 64, 65, 67

9, 18, 30, 32, 34, 43, 46,

34

Page 35: revisi bab 12-09-09

mengasuh anak 5, 7, 12, 13, 29, 33, 48, 51, 55, 61

15, 16, 20, 21, 45, 56, 69

Berikut adalah pilihan jawaban yang diterapkan pada kuesioner kepuasan

pernikahan:

Item Positif: Item Negatif:

5 = Sangat Setuju 1 = Sangat Setuju

4 = Setuju 2 = Setuju

3 = Biasa Saja 3 = Biasa Saja

2 = Tidak Setuju 4 = Tidak Setuju

1 = Sangat Tidak Setuju 5 = Sangat Tidak Setuju

3.4.1.2. Teknik Skoring

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala likert dengan

lima pilihan jawaban. Skala likert biasanya memiliki skala pengukuran interval, yaitu

skala yang tidak memiliki nilai not mutlak, hanya menunjukkan jarak antar masing-

masing pilihan jawaban, dan skala pengukuran yang biasanya digunakan dalam tes sikap

(Riduwan, 2008, dan Kerlinger, 1973). Sehubungan dengan skala pengukuran interval,

maka teknik skoring yang digunakan adalah:

Skor terendah = 1 x 200 (responden) = 200

Skor tertinggi = 5 x 200 (responden) = 1000

Maka jarak interval dari masing-masing kuesioner adalah

0 200 400 600 800 1000

STS/SS TS/BS B/S S/BI SS/SI

35

Page 36: revisi bab 12-09-09

Dengan jarak interval di atas, maka dapat disimpulkan interpretasi skor responden untuk

masing-masing kuesioner:

a. Kuesioner pembagian tugas rumah

0 – 200 = Istri memiliki tugas yang sangat sedikit

201 – 400 = Istri memiliki tugas yang sedikit

001 – 600 = Suami dan istri memiliki tugas yang seimbang

601 – 800 = Suami memiliki tugas yang sedikit

801 – 1000 = Suami Memiliki tugas yang sangat sedikit

b. Kuesioner kepuasan pernikahan

0 – 200 = Memiliki kepuasan yang sangat sedikit

201 – 400 = Memiliki kepuasan yang sedikit

001 – 600 = Memiliki kepuasan yang cukup

601 – 800 = Memiliki kepuasan yang banyak

801 – 1000 = Memiliki kepuasan yang sangat banyak

3.4.2. Langkah Penelitian

Penelitian ini terbagi ke dalam dua langkah penelitian, dimana langkah pertama

mengkorelasikan variabel pembagian tugas rumah dengan variabel kepuasan pernikahan.

Setelah itu penelitian ini membandingkan hasil korelasi antara kedua variabel tersebut

pada kedua grup sampel. Berikut adalah bagan langkah penelitian:

36

Page 37: revisi bab 12-09-09

Langkah 1.

Langkah 2.

Bagan 3.2. Bagan Langkah Penelitian

3.4.3. Prosedur Pengambilan Data

Data diambil melalui teknik purposive sampling atau sampling pertimbangan,

dimana peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan

sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan, 2008). Setelah mendapatkan dua grup yang

berbeda, barulah dapat dilakukan penyebaran kuesioner ke masing-masing pasangan.

Kuesioner diisi oleh suami dan istri pada waktu yang sama.

3.5. Rancangan Uji Hipotesis

37

Kuesioner Pembagian Tugas Rumah Pasangan muda

dual earner

Total skor pembagian tugas rumah

Total skor kepuasan pernikahan

Kuesioner Kepuasan Pernikahan

Korelasi

Koefisien korelasi antara pembagian tugas rumah dan kepuasan pernikahan

Kuesioner Kepuasan Pernikahan

Pasangan muda single earner

Total skor kepuasan pernikahan

Total skor kepuasan pernikahan

Hasil perbandingan kepuasan pernikahan antara pasangan single earner dan dual earner

Pasangan muda single earner

Dibandingkan

Page 38: revisi bab 12-09-09

Berikut adalah beberapa hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini:

1. H0: Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara pembagian tugas rumah

dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner.

H1: Tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara pembagian tugas

rumah dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner.

2. H0: Terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan pada

pasangan muda dual earner dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda

single earner.

H1: Tidak Terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan pada

pasangan muda dual earner dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda

single earner.

3. H0: Dimensi tugas mengasuh anak secara signifikan memiliki hubungan negatif

yang lebih kuat dengan kepuasan pernikahan dibandingkan dengan dimensi tugas

mengurus rumah.

H1: Dimensi tugas mengasuh anak tidak memiliki hubungan negatif yang lebih

kuat dengan kepuasan pernikahan dibandingkan dengan dimensi tugas mengurus

rumah.

4. H0: Terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan istri

pasangan muda dual earner dan single earner dengan kepuasan pernikahan suami

pasangan dual earner dan single earner.

5. H1: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan istri

pasangan muda dual earner dan single earner dengan kepuasan pernikahan suami

pasangan dual earner dan single earner.

38

Page 39: revisi bab 12-09-09

3.6. Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan adalah uji korelasi Pearson untuk melihat adanya

hubungan antara pembagian tugas rumah dengan kepuasan pernikahan. Kemudian uji

statistik t-test juga dilakukan untuk membandingkan kepuasan pernikahan pada kedua

grup. Lalu dilakukan juga tabulasi silang pada grup dual earner untuk melihat pihak

mana yang merasakan pekerjaan rumah terlalu banyak. Terakhir dilakukan uji korelasi

parsial untuk melihat dimensi mana dari variabel pembagian tugas rumah yang sangat

erat hubungannya dengan kepuasan pernikahan.

3.6. Uji Validitas

Peneliti melakukan beberapa uji validitas terhadap kedua kuesioner penelitian.

Pertama, peneliti melakukan validitas konstruk bersama ahli untuk meyakinkan bahwa

setiap item yang ada dalam kuesioner memang sesuai dengan teori yang digunakan.

Kemudian peneliti melakukan uji validitas tatap muka bersama ahli untuk melihat secara

kasat mata apakah setiap itemnya sesuai dengan apa yang ingin diukur.

Uji validitas yang terakhir adalah inter-item correlation. Pengujian ini mengukur

secara statistik apakah kuesioner yang digunakan memang benar-benar mengukur apa

yang ingin diukur (Guilford, 1956). Peneliti melakukan uji validitas ini dengan cara

mengkorelasikan dimensi tugas mengasuh anak dengan dimensi tugas rumah. Kemudian

total dari setiap item kuesioner pun dikorelasikan dengan hasil total item kuesioner.

Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menafsirkan koefisien korelasi

(Guilford, 1956):

39

Page 40: revisi bab 12-09-09

r hitung = n (∑XY) – (∑X) (∑Y)

√[n.∑X2 – (∑X) 2] x [n.∑Y2 – (∑Y) 2]

r hitung = koefisien korelasi

∑Xi = jumlah skor item

∑Yi = jumlah skor total (seluruh item)

n = jumlah responden

Kemudian validitasnya dihitung dengan uji-t dengan rumus:

t hitung = r √n-2

√1-r 2

Untuk α = 0,05 dan derajat kebebasan (n-2) maka jika t hitung > t tabel hasilnya adalah

valid, sedangkah jika t hitung < t tabel hasilnya adalah tidak valid. Ketika didapatkan

hasil yang valid, baru dapat dilihat seberapa besar indeks korelasinya dengan

menggunakan kriteria Guilford (1956):

0,00 – 0,19 : korelasi sangat rendah (tidak valid)

0,20 – 0,39 : korelasi rendah

0,40 – 0,69 : korelasi sedang

0,70 – 0,89 : korelasi tinggi

0,90 – 1,00 : korelasi sangat tinggi

3.7. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepercayaan

atau hasil suatu pengukuran dengan menggunakan korefisien reliabilitas Alpha Cronbach.

40

Page 41: revisi bab 12-09-09

Tolak ukur untuk menafsirkan tinggi derajat reliabilitas alat ukur juga berdasarkan tolak

ukur dari Cronbach, yaitu jika rc 0,5, berarti alat ukur tersebut reliable.

Langkah-langkah dalam menghitung derajat reliabilitas adalah sebagai berikut:

1. Tentukan banyaknya item yang akan dianalisis

2. Setelah diperoleh skor untuk masing-masing respon dan mencari item ambang,

jumlahkan total skor dari seluruh item yang ada

3. Hitung varians untuk masing-masing item

4. Hitung varians untuk skor keseluruhan

5. Tentukan nilai derajat reliabilitas “Alpha cronbach”

Keterangan:

= Derajat reliabilitas “Alpha Cronbach”

S2 = Varians skor keseluruhan

S12 = Varians item ke-1

N = Banyaknya item

Semakin besar nilai koefisien alpha (mendekati 1), maka antar pernyataan dalam

setiap item mempunyai hubungan baik. Kriteria yang digunakan untuk menentukan

reliabilitas alat ukur adalah kriteria Guilford (1956),yaitu:

0,00 – 0,19 : reliabilitas sangat rendah

0,20 – 0,39 : reliabilitas rendah

41

Page 42: revisi bab 12-09-09

0,40 – 0,69 : reliabilitas sedang

0,70 – 0,89 : reliabilitas tinggi

0,90 – 1,00 : reliabilitas sangat tinggi

.

42