revisi

48
LAPORAN KASUS “SINUSITIS” Oleh : Rannie Kusuma 2011730086 Pembimbing : Dr. Dian Nurul A A, Sp.THT KEPANITERAAN KLINIK THT RSIJ PONDOK KOPI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA TAHUN 2015 1

Upload: rannie-nayoko

Post on 15-Apr-2016

220 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

THT

TRANSCRIPT

Page 1: revisi

LAPORAN KASUS

“SINUSITIS”

Oleh :

Rannie Kusuma

2011730086

Pembimbing :

Dr. Dian Nurul A A, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK THT RSIJ PONDOK KOPI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN 2015

1

Page 2: revisi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT penulis panjatkan karena dengan rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik THT RSIJ Pondok

Kopi yang berjudul “SINUSITIS”.

Adapun tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi

tugas kepaniteraan klinik THT di RSIJ Pondok Kopi, serta meningkatkan pemahaman

mengenai ilmu THT,khususnya mengenai Sinusitis.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

rasa hormat dan terima kasih kepada Dr. Dian Nurul A A, Sp.THT selaku

pembimbing atas segala kesabarannya dalam mengarahkan, memberikan saran,

kemudahan dan membagi pengalaman yang berharga dalam penyusunan laporan ini.

Dan kepada kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan spiritual

maupun material, serta rekan-rekan dikepaniteraan klinik ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.Hal ini

disebabkan keterbatasan pengetahuan, waktu dan pengalaman penulis dalam

menyusun presentasi kasus ini.Oleh karena itu, penulis mengaharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca kasus ini. Dan

semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 23 Desember 2015

Penulis

2

Page 3: revisi

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi

Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot. Kerangka tulang terdiri dari: os

nasalis, prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago

alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago

septum.

Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

3

Page 4: revisi

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang

letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut

vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi

mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer,

krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan

adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi

oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,

sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding

lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-

konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral

terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka

inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah

konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka inferior

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,

sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin

etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus

superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

4

Page 5: revisi

Batas Hidung

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os

maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan

dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari

rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os

etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa= saringan) tempat masuknya

serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung

dibentuk oleh os sfenoid.

5

Page 6: revisi

Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anterior

dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris

interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang

keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga

hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat

pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat

anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis

superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus

Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering

menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai

nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di

vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan

dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial.

Persarafan Hidung

6

Page 7: revisi

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal

dari n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion

sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima

serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus

superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior

konka media. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun

melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian

berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah

sepertiga atas hidung.

Sinus Paranasal

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.

Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: Sinus frontal kanan dan kiri, sinus

ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri

(antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi

oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua

7

Page 8: revisi

bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius

yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung

terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus

maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Pada meatus superior yang

merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus

ethmoid posterior dan sinus sfenoid.

a. Sinus Maksilaris; Sinus maksilaris merupaka sinus paranasalis yang terbesar.

Sinus ini sudah ada sejak lahir dan mencapa ukuran maksimum (+ 15 ml)

pada saat dewasa. Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus

maxilla adalah: Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1,

dan M2; Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnya. Sinus maksilaris

(antrum of highmore) adalah sinus yang pertama berkembang. Struktur ini

pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini

adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.

Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana

gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya dapat sangat

luas sampaiakar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang

mencakup mereka. Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan

mempunyai volume kira-kira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida

adalah dinding nasal dengan puncak yang menunjuk ke arah processus

zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada

pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbital berjalan di atas atap sinus

dan keluar melalui foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah

sedikit diatas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi

oleh n.infraorbita. dinding posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dari

dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan a.maksilaris interna,

ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina mayor dan foramen

rotundum.

b. Sinus Ethmoidalis; Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi

yang baru dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior

diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12

tahun. Sel ini tidak dapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa

yang ada secara berangsur-angsur menipis dan pneumatisasi berkembang

8

Page 9: revisi

sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid

lateral, ke atap maksila dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Peyebaran

sel etmoid ke konka disebut konka bullosa. Gabungan sel anterior dan

posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14mm). Bentuk ethmoid

seperti piramid dan dibagi menjadi sel multipel oleh sekat yang tipis. Atap

dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior

posterior agak miring (15°). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os

frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan

sebelahmedial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan

berat antara atapmedial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid

posterior berbatasandengan sinus sfenoid. Sinus etmoid mendapat aliran

darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana a.sfenopalatina dan

a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti arterinya.

Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagiansuperior

sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. Persarafan parasimpatis

melaluin.vidianus, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal.

Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus

mediamelalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus

superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya

lebih sedikit dalam jumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan

dengan sel bagian anterior. Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan

permukaan lateral inferiornya, dan tepi superior prosesus uncinatus

membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior yang

terbesar. Infundibulum etmoid perkembanganya mendahului sinus. Dinding

anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentuk oleh

prosesus frontalis os maksila dan lamina papyracea.

c. Sinus Frontalis; Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas

dari sebagian besar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan

membran pada saatkelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun.

Perkembangan sinus mulai usia 5tahun dan berlanjut sampai usia belasan

tahun. Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus

frontalis sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk

seperti corong. Dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari

fosa kranium anterior lebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai

9

Page 10: revisi

bagian dari atap rongga mata. Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari

a.oftalmika melalui a.supraorbitadan supratrochlear. Aliran pembuluh vena

melalui v.oftalmica superior menuju sinuskavernosus dan melalui vena-vena

kecil di dalam dinding posterior yang mengalir kesinus dural. Sinus frontalis

dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi

cabang supraorbita dan supratrochlear.

d. Sinus Sfenoidalis; Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari

kantong ronggahidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari

hidung janin. Tidak berkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun

pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada

usia 18 tahun. Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh

dengan volume 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Pneumatisasi sinus ini, seperti sinus

frontalis, sangat bervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang

terletak posterosuperior dari rongga hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi

ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm).

Dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan

anatominya tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis

bermuara ke recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya 0,5 -4 mm dan letaknya 10

mm di atas dasar sinus. Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid

posterior, sedangkan bagian lainnya mendapat aliran darah dari

a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus

pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 danV.2. n.nasociliaris

berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang

n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus.

Komplek Osteomeatal

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior

yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus

paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media

dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah

prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger

nasi dan ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).

10

Page 11: revisi

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang

keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal

sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai

serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung

menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus

dan konka media

Sinusitis

Definisi dan Klasifikasi

Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus paranasal. Sinusitis

bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis,

frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis lebih sering terkena pada sinus maksilaris

dikarenakan merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi

dari dasar, sehingga aliran sekret tergantung dari gerakan silia, dasarnya adalah akar

gigi, ostium sinus maksilaris terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris

yang sempit, sehingga mudah tersumbat. Apabila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.

Sinusitis dapat dibagi berdasarkan letak anatomi (sinusitis maksilaris,

frontalis, etmoid, dan sfenoidalis), berdasarkan organisme penyebab (virus, bakteri

dan fungi), berdasarkan ada tidaknya komplikasi ke luar sinus (seperti adanya

11

Page 12: revisi

komplikasi osteomyelitis pada tulang frontal) dan secara klinis sinusitis dapat

dikatagorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari

sampai 4 minggu, sinusitis subakut berlangsung lebih dari 4 minggu tapi kurang dari 3

bulan dan sinusitis kronik bila lebih dari 3 bulan.

Berdasarkan beratnya penyakit, rhinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan, sedang

dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10cm):

- Ringan = VAS 0-3

- Sedang = VAS >3-7

- Berat= VAS >7-10

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas :

1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang

menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya

rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.

2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering

menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan

molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus

influenza, Steptococcusviridans, Staphylococcus aureus, Branchamella

catarhatis

Epidemiologi

Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di

tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi

pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis

maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun

2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari

50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah

sakit.

Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah

penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial

adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima

12

Page 13: revisi

milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60

milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.

Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis

sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi

yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.

Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.

Etiologi

Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam

terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang

akhirnya menyebabkan sinusitis.

Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel virus

sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu sistem mukosiliar

rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan masuk ke sel tubuh

dan menginfeksi secara cepat. Bentuk dismorphic dari silia tampak lebih sering pada

tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal. Virus penyebab sinusitis antara lain

rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus.

Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti

oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan

hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk

perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu

bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut yang sering ditemukan ialah

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella

kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.

Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang

menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan

dengan drainase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka

agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri

anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain Staphylococcus aureus,

Streptococcus viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus

epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk

Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran

antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.

13

Page 14: revisi

Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan

kimia. Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan kavitas sinus yang menghasilkan edema

dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade

dalam pembukaan kavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan

jamur, bakteri, atau virus. Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi

infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang oedem yang

dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan

timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus

seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. Pada keadaan kronis

terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi, memenuhi

rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. Selain faktor alergi, faktor predisposisi

lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan

aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat

menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.

Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan

juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau rhinoskleroma) juga

dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan

perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis

dengan mengganggu pengeluaran mukus.

Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk

infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan

berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan

adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering

menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,

dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai

penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan

jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan

sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang

menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor,

Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.

Patofisiologi

14

Page 15: revisi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran

klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus

juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai

pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga

mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan

lendir tidak dapat dialirkan karena ostium sinus tersumbat. Maka terjadi tekanan

negatif di dalam rongga sinus terjadinya transudasi, yang mula-mua cairan serosa.

Gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif

dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media

yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Kondisi inilah yang disebut

rhinosinusitis non-bacterial.

Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir

sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan

menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi

manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana

stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi

polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar

dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga

terjadilah polip.

Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang

menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:

15

Page 16: revisi

1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya kering.

Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.

2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan

pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada

kelainan epitel.

3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui

epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris,

epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah

bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit, kemudian

menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.

4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya

pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.

5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe

purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih

mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum

menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan menjadi

permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat

memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.

Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi melalui :

- tromboflebitis dari vena yang perforasi

- Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau

nekrotik

- terjadinya defek

- melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.

Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara

limfatik.

Manifestasi klinis

American Academy of Otolaryngology membagi kategori gejala untuk menegakan

rinosinusitis, yaitu kategori gejala mayor dan minor. Menurut durasi gejala,

rinosinusitis didefinisikan sebagai akut bila gejala berlangsung 4 minggu atau kurang,

subakut bila gejala hadir selama 4 sampai 12 minggu, atau kronis untuk gejala yang

berlangsung lebih dari 12 minggu.

Sinusitis akut

16

Page 17: revisi

Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh virus

yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut termasuk

Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis.

Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh

virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari.

Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi

virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang biasanya

sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi

bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan

media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.

Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan

interval bebas penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan sebagai

memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis secara tiba-

tiba, dengan kembali ke gejala awal setelah perawatan. Untuk mendiagnosis

rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor mayor 2 faktor minor. Jika

hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam diagnosis

diferensial.

Gejala dan tanda yang berhubungan dengan diagnosis Rhinosinusitis berdasarkan

publikasi Taks Force 1996

Gejala Mayor Gejala Minor

  Nyeri atau rasa tertekan pada muka

  Kebas atau rasa penuh pada muka

  Obstruksi hidung

  Sekret hidung yang purulen, post

nasal drip

  Hiposmia atau anosmia

  Demam (hanya pada rinosinusitis

  Sakit kepala

  Demam (pada sinusitis kronik)

  Halitosis

  Kelelahan

  Sakit gigi

  Batuk

  Nyeri, rasa tertekan atau rasa penuh

17

Page 18: revisi

akut) pada telinga

Sinusitis kronik

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama

eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut, selain itu gejala berupa suatu

perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali

mukopurulen. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala dibawah ini

yaitu : sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,

gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru

seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasi, dan yang penting adalah serangan

asma yang meningkat dan sulit diobati.

Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor

predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang

menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami

hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak

memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting dalam patogenesis

rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang umum terisolasi pada

sinusitis kronik termasuk Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan gram negatif

seperti Pseudomonas aeruginosa.

Kriteria diagnosis Rhinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan hasil pemeriksaan berdasarkan

publikasi Taks Force Tahun 2003

Durasi Gejala Pemeriksaan Fisik

> 12 minggu

gejala terus

menerus

Satu atau lebih dari

gejala tersebut

1. perubahan pada hidung, polip,

atau polypoid pembengkakan

pada rhinoskopi anterior

(dengan decongestion) atau

hidung endoskopi

2. Edema atau eritema di meatus

18

Page 19: revisi

tengah pada hidung endoskopi

3. Generalized atau lokal edema,

eritema, atau jaringan granulasi

di cavum hidung. Jika tidak

melibatkan meatus tengah,foto

diperlukan untuk diagnosis

4. Foto untuk memperjelas

diagnosis (foto polos atau

computerized tomography)

Kennedy mengklasifikasikan rhinosinusitis kronik menjadi 4 bagian berdasarkan area

yang terlibat :

Stadium Area

I

II

III

IV

kelainan anatomi Semua penyakit sinus unilateral Penyakit

Bilateral terbatas pada sinus ethmoid

ethmoid bilateral dengan keterlibatan satu sinus lainnya

ethmoid bilateral dengan keterlibatan 2 atau lebih sinus lainnya

Poliposis sinonasal Diffuse

19

Page 20: revisi

Diagnosis

A. Sinusitis akut

Anamnesis

Gejala mayor Gejala minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala

Sekret nasal purulen Batuk

Demam Rasa lelah

Kongesti nasal Rasa lelah

Obstruksi nasal Halitosis

Hiposmia atau anosmia Nyeri gigi

Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik

ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang

kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung

tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus,

sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.

Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.

Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila

peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.

Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak

pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak

mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan

sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada

rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

20

Page 21: revisi

Pemeriksaan fisik

Pada Inspeksi yang diperhatikan adalah ada tidaknya pembengkakan pada

muka, pipi sampai kelopak mata atas/bawah yang berwarna kemerahan. Pada palpasi

dapat sinus paranasal ditemukan nyeri tekan dan tenderness.

Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari

mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar. Kelainan anatomis juga

dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila

dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian

dinyatakan tidak spesifik.

Gambar Pus pada meatus medius Gambar Pembengkakan pipi pada pasien

sinusitis

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau

gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak

lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.

Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak

perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada

sinus yang sakit.

21

Page 22: revisi

Gambar Gambaran suatu sinus yang opak

Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan dengan

mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri

yang merupakan flora normal atau kuman patogen, seperti Pneumokokus,

Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan

juga virus atau jamur.

B. Sinusitis Kronis

Anamnesis

Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya

adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise, nyeri

kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) , gangguan

penciuman dan pengecapan.

Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus

medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke

tenggorok.

Pemeriksaan penunjang

22

Page 23: revisi

Transluminasi

Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus

frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan

transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh

pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila

terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan tampak terang pada

pemeriksaan transluminasi.

Radiologi

Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan, penggunaannya

dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau sinusitis frontalis.

CT scan

Gambar CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.

CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan

mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.

Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini

sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan sinusitis

kronis. Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging

didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi

atas:

- stage I : satu fokus penyakit

23

Page 24: revisi

- stage II : penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid

- stage III : difuse yang responsif terhadap pengobatan

- stage IV : difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.

Penatalaksanaan

PENATALAKSANAAN

Mikrobiologi pada sinusitis orang dewasa

Terapi

Sinusitis Akut

Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus

pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa

berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni

golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat

dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan

analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan

antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian

antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan

maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin

klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi

tambahan. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14

hari.

Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau

naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka

24

AKUT KRONIKStreptococcus pneumonia Staphylococcus aureusHaemophilus influenza Streptococcus pneumoniaMoraxella catarrhalis AnaerobesAnaerobes Enteric gram-negative bacilliStaphylococcus aureus Coagulase-negative staphylococcusOther streptococci Haemophilus influenzae

Pseudomonas aeruginosaAlpha streptococcusMoraxella catarrhalii

Page 25: revisi

dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi

diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah

terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat

karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

Sinusitis Subakut

Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan

tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.

Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang

sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat

simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika,

anti histamin dan mukolitik.

Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short

Wave Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk

memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan

pencucian sinus.

Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis

ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan

tindakan pencucian sinus cara Proetz.

Sinusitis Kronis

Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang

sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian

antibiotik mencukupi 10-14 hari.

Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut

lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,

diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan

teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi

kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak

membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan

bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka

evaluasi diagnosis.

25

Page 26: revisi

Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis

ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini

untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah

menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan

hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.

Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi

adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip

ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur. Prinsipnya dengan

membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

26

Page 27: revisi

Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2007

Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah

nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral. Ekmoidektomi dilakukan pada

sinusitis etmoidalis. Frontoetmoidektomi eksternal dilakukan pada sinusitis frontalis.

Eksplorasi sfenoid dilakukan pada sinusitis sfenoidalis. Pembedahan sinus

endoskopik merupakan suatu teknik yang memungkinkan visualisasi yang baik dan

Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat

Edema periorbita Pendorongan letak bola mata Penglihatan ganda Oftalmoplegi Penurunan visus Nyeri frontal unilateral atau bilateral Bengkak daerah frontal Tanda meningitis atau tanda fokal

neurologis

Gejala menetap atau memburuk setelah 5 hari

Berat

Antibiotik + steroid topikal

Tidak ada perbaikan dalam 48 jam

Rujuk ke dokter spesialis

Sedang

Steroid topikal

Perbaikan dalam 48 jam

Teruskan terapi untuk 7-14 hari

Rujuk ke dokter spesialis

Tidak ada perbaikan setelah 14 hari

Pengobatan simtomatik

Common cold

Gejala kurang dari 5 hari atau membaik setelahnya

Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di wajah;

Penghidu terganggu/ hilang

Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior

27

Page 28: revisi

magnifikasi anatomi hidung dan ostium sinus normal bagi ahli bedah, teknik ini

menjadi populer akhir-akhir ini.

Sinusitis kronis

Pikirkan diagnosis lain :

Gejala unilateral Perdarahan Krusta Gangguan penciuman Gejala Orbita Edema Periorbita Pendorongan letak bola mata Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Bengkak daerah frontal Tanda meningitis atau tanda fokal

neurologis fokal

Investigasi dan intervensi secepatnya

Tidak ada perbaikan

Rujuk spesialis THT

Steroid topikal

Cuci hidung

Reevaluasi setelah 4 minggu

Perbaikan

Lanjutkan terapi

Endoskopi tidak tersedia

Pemeriksaan Rinoskopi Anterior

Foto Polos SPN/ Tomografi

Komputer tidak direkomendasikan

Tidak ada polip

Ikuti skema Rinosinusitis kronik

Dokter Spesialis THT

Ikuti skema polip hidung Dokter Spesialis THT

Rujuk Dokter Spesialis THT jika Operasi Dipertimbangkan

Polip

Tersedia Endoskopi

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di wajah;

Penghidu terganggu/ hilang

Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior

Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak direkomendasikan

28

Page 29: revisi

Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip hidung pada dewasa untuk

pelayanan kesehatan primer dan dokter spesialis non THT berdasarkan European Position Paper on

Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2007

Skema penatalaksanaan berbasis bukti rinosinusitis kronik tanpa polip hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau pilek yang tidak jernih; ± nyeri bagian frontal, sakit kepala;

Gangguan Penghidu

Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Pertimbangkan Tomografi Komputer

Tes Alergi

Pertimbangkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit penyerta; misal

Pertimbangkan diagnosis lain :

Gejala unilateral Perdarahan Krusta Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Edem frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis

fokal

Perlu investigasi dan intervensi cepat

Operasi

Tomografi Komputer

Gagal setelah 3 bulan

Steroid topikal

Cuci hidung

Kultur & resistensi Kuman

Makrolid jangka panjang

Sedang atau berat VAS >3-10

Tindak lanjut Jangka Panjang + cuci hidung

Steroid topikal

± Makrolide jangka panjang

Perbaikan

Gagal setelah 3 bulanSteroid topikal Intranasal cuci hidung

Ringan VAS 0-3

29

Page 30: revisi

Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

Pertimbangkan diagnosis lain :

Gejala unilateral Perdarahan Krusta Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Edem frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis

fokal

Perlu investigasi dan intervensi cepat

Tindak lanjut

Cuci hidung

Steroid topikal + oral

Operasi

Tomografi Komputer

Tidak membaikPerbaikan

Evaluasi setelah 1 bulan

Steroid oral jangka pendek

Steroid topikal

Berat VAS > 10

Tidak membaik

Evaluasi setiap 6 bulan

Lanjutkan Steroid Topikal

Perbaikan

Dievaluasi setelah 3 bulan

Steroid topikal tetes hidung

Steroid topikal (spray)

Sedang VAS 3-7Ringan VAS 0-3

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau sekret hidung berwarnar; ± nyeri bagian frontal, sakit kepala;

Gangguan Penghidu

Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Pertimbangkan Tomografi Komputer

Tes Alergi

Pertimbangkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit penyerta

30

Page 31: revisi

Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis

dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah:

Komplikasi Orbita

Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan

dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita

yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan

terjadinya komplikasi orbita ini.

a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan

b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi

orbita namun pus belum terbentuk

c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita

menyebabkan proptosis dan kemosis

d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur

dengan isi orbita

e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran

bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya

terbentuk suatu tromboflebitis septic.

Gambar 6. Komplikasi penyakit sinus pada orbita

31

Page 32: revisi

Komplikasi Intrakranial

Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses

otak.

Gambar 7. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial

Kelainan Paru

Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut

sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis.

Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.

32

Page 33: revisi

REFERENSI

1. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: FKUI,2010: h. 152

2. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane GA, penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side Publication;1991. p. 253-5.

3. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

4. Waguespack R, 1995, Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic Sinus Surgery, Laryngoscope(Supplement):p 1-40

5. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company, 1990.p49 – 270

6. Busquets JM. 2006. Nonpolypoid Rhinosinusitis : Classification, Diagnosis

and Treatment. In : Head and Neck Surgery-Otolaryngology, Vol I, 4th Ed. Byron J.Bailey, Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, pp : 405-16.

7. Fokkens W, Lund V, et al, 2007. Evidence – Based Management Scheme for Adults with Chronic Rhinosinusitis without and with Nasal Polyps, In : Pocket Guide European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007. p: 8-13.

8. Nizar NW. 2000. Anatomik Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofiologi Sinusitis. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF, Makassar, 1-11.

9. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi 6 .Jakarta: FKUI. 2007.

10. Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI, hal : 118-122.

33