resus 1
DESCRIPTION
efek kemoterapi pada sistem sarafTRANSCRIPT
![Page 1: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/1.jpg)
EFEK KEMOTERAPI PADA SISTEM SARAF
Pada Sistem Saraf Pusat
Beberapa obat sitostatika dapat berbahaya bagi system saraf pusat setelah
pemberiannya secara sistemik (intravena, oral) maupun topical (intratekal, intraventrikular,
intraarterial). Otak dapat berada pada resiko tertentu dari efek samping obat yang dapat
muncul sebagai akut, subakut dan kronik ensefalopati. Kejang, gejala neurologic fokal seperti
afasia, atau hemiparesis, dan kebutaan kortikal dapat muncul sebagai gejala terpisah. Gejala-
gejala ini dapat timbul segera setelah pemberian kemoterapi maupun dapat tertunda (delay).
Meningitis aseptik merupakan komplikasi tipikal dari terapi intratekal; obat-obat tertentu dapat
menyebabkan ataksia serebelar, sering akibat dosis kumulatif tertentu yang berlebihan.
Toksisitas terhadap korda spinalis jarang namun cukup berat dan sebagian besar merupakan
akibat dari obat-obat yang diberikan secara intratekal.
Komplikasi neurotoksikdari kemoterapi seringkali muncul dengan gejala khas dan perlu
dibedakan dari gejala akibat lain (metastasis), infeksi ataupun metabolic yang dapat
menyebabkan disfugsi SSP pada onkologi. Kesembuhan total maupun partial dapat dicapai,
namun kerusakan yang irreversible atau bahkan kematian juga dapat terjadi. Karena terapi
yang terukur masih terbatas, pencegahan adalah penting dan memerlukan pengetahuan
mengenai efek neurotoksik pada pasien dengan resiko. Penghentian kemoterapi seringkali
menjadi cara satu-satunya untuk mencegah toksisitas SSP yang lebih jauh. Toksisitas SSP
bergantung pada pilihan obat, dosis tunggal atau kumulatif, durasi treatment, dan ada tidaknya
resiko tambahan, seperti morbiditas neurologic sebelumnya. Sitostatik yang umumnya
berhubungan dengan toksisitas SSP adalah metotrexate (MTX), cytarabine (Ara-C) dan
ifosfamide. Tabel 1 menunjukkan komplikasi neurotoksik yang diinduksi kemoterapi dan agen
penyebabnya.
![Page 2: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/2.jpg)
1. Ensefalopati Akut
Ensefalopati akut berkembang dalam beberapa jam hingga hari setelah kemoterapi dan
muncul dalam bentuk disorientasi, confusion, agitasi, hingga koma. Bangkitan mioklonik,
kejang, dan gejala halusinasi dapat timbul. Gangguan ini harus dibedakan dari status
epilepsy non-konvulsif, ensefalitis virus, gangguan metabolic, sindroma paraneoplastik,
seperti ensefalitis limbic, dan lain-lain.
![Page 3: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/3.jpg)
Methotrexate
Ensefalopati akut seringkali self-limiting, namun dapat juga menjadi fatal.
Leukoensefalopati yang diinduksi MTX dan demyelinasi berhubungan dengan
polimorfisme fungsional pada enzim-enzim yang mempengaruhi jalur metionin-
homosistein sehingga S-adenosilmetionin (SAM), suatu donor methyl-group pada
SSP, berkurang dan level homosistein (toksik) meningkat.
Sejak substitusi SAM oral dapat mengembalikan myelinasi SSP pada pasien
dengan defisiensi SAM, SAM dan derivate folat menjadi kandidat pilihan dalam
terapi komplikasi neurotoksisitas yang diinduksi MTX.
Ifosfamide
Ifosfamid adalah obat sitostatika lain yang diketahui secara potensial dapat
menginduksi ensefalopati akut, yang dapat menjadi berat dan menyebabkan
kematian. Pada 10-15% pasien yang diterapi dengan dosis >1 g/m2, disorientasi,
letargi, dan koma dapat terjadi. Pernah dilaporkan status epilepsy non-konvulsif
yang disebabkan oleh ifosfamide. Patogenesis dari toksisitas ifosfamide belum
sepenuhnya diketahui, bagaimanapun juga ifosfamide dan metabolitnya mungkin
berinteraksi dengan fungsi tiamin dan bentuk terfosforilasinya, TPP dan TTP, dimana
level vitamin B1 sendiri tidak turun. Oleh karenanya, profilaksis dengan tiamin,
100mg intravena tiap 4-6 jam, telah diusulkan sebagai pencegahan dari ensefalopati
yang diinduksi ifosfamide. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian
ensefalopati akut yang diinduksi ifosfamid adalah serum albumin yang turun.
2. Ensefalopati Subakut
Ensefalopati subakut jarang terjadi dan berkembang beberapa hari hingga
beberapa minggu setelah pemberian MTX (iv atau intratekal) atau pemberian cis-
platinum, muncul sebagai confusion dengan onset mendadak, kejang, tanda fokal, dan
gejala seperti afasia dan hemiparesis. Anak-anak terutama lebih sering terkena, namun
satu kasus pada dewasa pernah juga dilaporkan. Mekanisme neurotoksisitas belum
![Page 4: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/4.jpg)
diketahui dengan baik: sinyal hiperintens yang simetris pada Diffusion-Weighted
Imaging (DWI) dan penurunan Apparent Diffusion Coefficient (ADC) pada Magnetic
Resonance Imaging (MRI), merupakan gejala klinis pada pasien. Dengan tidak
nampaknya pembuluh darah atau perubahan perfusi, temuan MRI tersebut
diinterpretasikan sebagai oedem sitotoksik pada substansia alba namun juga pada
korteks serebral. Gejala-gejalanya dapat sembuh total, walau bagaimanapun resiko
kematian masih diteliti.
3. Ensefalopati Kronik
Ensefalopati kronik biasanya mulai berkembang dengan masa laten beberapa
bulan hingga tahun, sebagian besar irreversible dan beberapa bahkan progresif.
Ensefalopati kronik yang diinduksi MTX telah diketahui dengan baik, bagaimanapun,
obat-obat sitostatika lain atau polikemoterapi seperti CHOP (Cyclophosphamide,
doxorubicin, vincristin, prednisolone) dapat juga menyebabkan komplikasi tersebut
meskipun lebih jarang. Faktor resiko utama perkembangan ensefalopati kronik yang
diinduksi MTX adalah iradiasi (penyinaran) seluruh otak. Spektrum klinis ensefalopati
kronik memiliki rentang dari gangguan memori, disorientasi, kurangnya inisiatif, dan
apati hingga demensia. Terapi yang efisien belum diketahui.
Pada pemeriksaan radiologi menunjukkan penyakit pada substansia alba, seperti
leukoensefalopati dan atrofi otak progresif ( Gambar 1). Sebagai catatan, meskipun
begitu, perubahan substansia alba yng berkepanjangan secara klinis dapat asimtomatik.
Telah dilaporkan kemoterapi dosis tinggi dengan haematopoetic stem cell pada pasien
dengan kanker payudara beberapa diantaranya diikuti dengan gangguan memori.
![Page 5: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/5.jpg)
4. Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome(PRES)
PRES secara klinis berupa nyeri kepala, gangguan penglihatan, seperti defisit
lapang pandang dan buta kortikal, confusion, kejang bahkan koma. PRES dihubungkan
dengan hipertensi, eklamsia, namun juga riwayat pemberian imunosupresan, antibody
dan zat lain. PRES pernah dilaporkan setelah pemberian kemoterapi dengan atau tanpa
ketidakseimbangan elektrolit: MRI T2-weight menunjukkan lesi parieto-occipital
hiperintens, melibatkan substansia alba dan grisea. Sinyal abnormalitas sebanding
dengan sindrom klinis, biasanya sembuh dalam hitungan hari setelah penghentian
kemoterapi dan terapi simtomatik kejang dan ketidakseimbangan elektrolit.
5. Disfungsi Serebelar
Disfungsi serebelar dengan disartria, nistagmus, dan ataksia merupakan
komplikasi tipikal dari cytarabin, umumnya pada dosis >36 g/m2, meskipun demikian,
pernah dilaporkan satu kasus mengenai komplikasi ini pada dosis yang lebih rendah.
Faktor resiko dari berkembangnya disfungsi serebelar adalah usia tua, peningkatan
serum creatinin, dan alkalin fosfatase. Penyakit ini jarang disertai dengan akut
![Page 6: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/6.jpg)
ensefalopati, yang akan membaik setelah penghentian terapi. Sindrom serebelar yang
serupa mungkin ditemui setelah terapi dengan 5-fluorouracil dosis tinggi, dimana masih
reversible setelah terapi dihentikan, namun akan muncul kembali bila terpapar kembali
dengan obat tersebut.
6. Infark Serebral
Kasus-kasus mengenai iskemia serebral setelah pemberian MTX, derivate
platinum, dan cyclosporine pernah dilaporkan, terutama pada anak-anak yang diberikan
terapi MTX untuk leukemia akut. Pasien yang mendapat dosis tinggi dapat mengalami
mikroangiopati dengan kalsifikasi pada dinding pembuluh darah. Mikroangiopati
trombotik pernah dilaporkan setelah paparan terhadap mitomycine C, gemcitabine dan
cyclosporine.
7. Myelopati
Myelopati akut dengan para atau tetraparesis ascenden jarang namun
merupakan komplikasi yang buruk pada terapi intratekal dengan MTX, Ara-C atau
kombinasinya (“tripeltherapy” dengan MTX, Ara-C dan steroid). Penyakit ini dapat
melibatkan batang otak, seperti terlihat pada Gambar 2, dapat memicu munculnya
syndrome locked-in atau bahkan kematian karena ensefalomyelitis akut. Faktor resiko
yang mungkin antara lain penyakit meningeal, irradiasi pada SSP, anak-anak amupun
orang tua. Temuan patologik berupa necrotizing myelopathy; terapi yang efisien belum
ditemukan. Meskipun demikian, baru-baru ini dilaporkan seorang wanita 54 tahun
dengan myelopati berat yang diinduksi MTX menunjukkan remisi parsial dari gejala
penyakit tersebut 3 hari setelah mendapatkan substitusi secara kontinu dasi S-
adenosymethionine (SAM) 3x200 mg/die, asam folat 4x20 mgdie, cyanocobalamine 100
g/die dan methionine 5 g/die (intravena selama satu minggu, kemudian secara oral).
![Page 7: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/7.jpg)
Komplikasi neurotoksik lain mengenai kemoterapi dapat dilihat pada table 2. Buta
kortikal dapat terjadi setelah pemberian cis-platinum atau fludarabin. Kejang dapat timbul
setelah pemberian beberapa obat, terutama pemberian MTX secara sistemik maupun
intratekal. Meningitis aseptic dan nyeri kepala diderita sebanyak 10% pasien yang menerima
kemoterapi intratekal.
Diagnosis Banding
Diagnosis neurotoksisitas yang berhubungan dengan kemoterapi hanya dapat
ditegakkan apabila penyebab neurologic lain karena disfungsi neurologic telah disingkirkan.
Penyakit metastase parenkimatosa dan atau leptomeningeal harus ditegakkan dengan analisa
menggunakan MRI dan CSF. Bangkitan epilepsy dapat muncul sebagai status epilepticus non-
konvulsif dimana hanya dapat didignosis dengan EEG. Hal ini penting apabila terdapat dugaan
ensefalopati akut yang diinduksi ifosfamide, sebagaimana ifosfamide dapat menyebabkan
status non-konvulsif, yang membutuhkan terapi yang sesuai. Pemeriksaan kimia klinis rutin
termasuk elektrolit dan penilaian metabolic penting selama pasien mendapatkan terapi untuk
tumor ganas, komplikasi infeksi, ketidakseimbangan elektrolit, gangguan osmolaritas, kegagalan
hati maupun ginjal, defisiensi thiamin, gangguan endokrin dan sindroma lisis tumor.
![Page 8: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/8.jpg)
Pada Sistem Saraf Perifer
Sistem saraf tubuh dibagi menjadi dua ssistem utaam; system saraf pusat dan system
saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu system saraf somatic dan
system saraf otonom. Sistem saraf somatic terdiri atas serabut saraf perifer yang
menghantarkan informasi sensorik ke system saraf pusat dan serabut saraf motorik yang
menhantarkan sinyal ke otot skeletal. Sistem saraf otonom mengendalikan otot polos visera
(organ interna) dan kelenjar.
Neuropati perifer diakibatkan dari beberapa tipe kerusakan pada saraf perifef. Obat-
obat kemoterapi tertentu seperti vinca alkaloid (vincristin), cisplatin, paclitaxel, dan
podophyllotoxins (etoposide dan tenoposide). Obat lain yang juga digunakan untuk terapi
kanker seperti talidomid dan interferon juga dapat meneybabkan neuropati perifer.
Resiko terbesar tiap-tiap individu berhubungan dengan kemoterapi adalah orang
dengan riwayat rneuropati perifer sebelumnya, pada kondisi seperti:
Diabetes
Alkoholism
Malnutrisi berat
Riwayat kemoterapi
Gejala neuropati perifer:
Mati rasa, kesemutan pada tanagn maupun kaki
Rasa terbakar/panas pada tangan maupun kaki
Mati rasa di sekitar bibir
Konstipasi
Berkurangnya sensasi terhadap sentuhan
Kehilangan sensai posisional
Kelemahan dank ram pada tungkai atau nyeri pada tangan maupun kaki.
Kesulitan mengambil benda atau mengancingkan baju
![Page 9: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/9.jpg)
Area yang terkena:
Jari tangan dan kaki (paling sering)
Bergerak ascenden secara bertahap seperti pada tipe stocking-glove
Organ pencernaan (usus) menyebabkan atau memperburuk konstipasi
Dapat mengarah kepada kondisi seperti ileus
Lain-lain: wajah, punggung, dada
Meskipun beberapa gejala neuropati dapat muncul secara mendadak, perubahan
sensasi umumnya bertahap dan dapat memburuk dengan tambahan dosis dari masing-masing
kemoterapi. Biasanya akan semakin parah segera setelah kemoterapi, namun cenderung
berkurang sebelum terapi selanjutnya. Gejala muncul berkisar 3-5 bulan setelah dosis terakhir
terapi diberikan. Sensasi abnormal dapat benar-benar menghilang, atau berkurang sebagian.
Kalaupun keluhan neuropati dapat berkurang, ini merupakan proses yang bertahap,
yang membutuhkan waktu beberapa bulan. Meski demikian, pada beberapa kasus dapat
menjadi irreversible dan tidak pernah membaik dalam intensitas maupun area tubuh yang
terkena.
![Page 10: Resus 1](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022061215/54a3858bac7959fd748b49f6/html5/thumbnails/10.jpg)
Referensi
1. http://jbiol.com/content/pdf/jbiol73.pdf 2. http://chemocare.com/chemotherapy/side-effects/numbness-tingling.aspx 3. http://www.cancer.org/treatment/treatmentsandsideeffects/physicalsideeffects/
chemotherapyeffects/chemo-brain4. http://www.kup.at/kup/pdf/9994.pdf 5. http://www.neurologyreviews.com/Article.aspx?ArticleId=JmJRE4xyk68=&FullText=1