resume (hakikat komunikasi dan asumsi ontologi)
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Nama : Lu’lu’ul Mardhiyatul Lailah
Nim : B06210013
Kelas : 5/F3.1
A. Hakikat Komunkasi
Komunikasi adalah topik yang amat sering diperbincangkan bukan hanya di kalangan
ilmuan komunikasi, melainkan juga di kalangan awam, sehingga kata komunkasi itu sendiri
memliki terlalu banyak arti yang berlainan. Dalam wacana publik, kita sering mendengar
kalimat atau frase yang mengandung kata komunikasi atau turunnya, seperti Hewan-pun
berkomunikasi dengan cara mereka masing-masing.
Kata komunikasi atau communication (inggris) berasal dari bahasa Latin Communis
artinya”sama”, communico, communicatio, atau communicare yang artinya “membuat
sama”(to make common). Istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal kata
komunikasi yang merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Komunikasi
menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama.
Kata lain dari yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga
menekankan kesamaan atau kebersamaan. Komunitas adalah sekelompok orang yang
berkumpul atau hidup bersama untuk tujuan tertentu, dan mereka berbagai makna dan sikap.
Tanpa komunikasi tidak akan komunitas.komuntas tergantung pada pengalaman dan emosi
bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh karena itu,
komunitas juga berbagai bentuk komunikasi yang berkaitan dengan seni, agama, dan
bahasadan menyamapaikan gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang mengakar kuat dalam
sejarah komunitas tersebut.1
Menurut Hoveland (1948:371) mendefinisikan komunikasi, demikian”The Proses by
Wich an Individual (the communication) transmits stimuli (usually verbal symbol) to modify,
the behavior of other individu. (komnikasi adalah proses dimana individu mentranmisikan
stimulus untuk mengubah individu yang lain).
Komunikasi sebagai ilmu tidak diragukan lagi, karena komunikasi telah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Rasional
1 Deddy Mulyana. Ilmu komunikasi suatu pengantar (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007). Hal 46.
b. Empiris
c. Umum
d. Akumulatif
Ke empat komponen diatas menjadi dasar penegetahuan ilmiah dari ilmu komunkasi. Jika
bicara lagi sampai hakikat ilmu terutama ilmu komunkasi maka tidak lepas dari sifat-sifat
analitis, kritis dan sintesis. Kajian secara analitis merupakan upaya untuk mengenal cirri, sifat
dan fungsi dar komponen-komponen keilmuan. Analisis ini di arahkan untuk mengenal esensi
yang bersifat mendasar yang bersifat kompromi dari berbagai pemikiran yang ada. Penekanan
agar analisis tidak terlepas dari konteks secara keseluruhan membawa kita kepada cara
berfikir yang bersifat sintesis dimana setiap komponen yang terpisah disusun menjadi
keseluruhan yang menyatu secara keseluruhan. Berfikir secara analistis dan sistesis ini
memungkinkan kita mengungkapkan hakikat sesuatu tanpa melepasakan dari konteks secara
keseluruhan. Di samping analisitis dan sintesis maka pengkajian hakikat ilmu keilmuan juga
harus bersifat krisis. Pemikiran yang kritis merupakan proses, kegiatan berpikir yang bersifat
evaluative dan dalam menarik kesimpulan terhadap sesuatu setelah mempertimbangkan
kelebihan dak kekurangan obyek pikir tersebut. Pengkajian hakikat keilmuan baik secara
analitis maupun sintesis harus didasari oleh sifat berpikir kritis ini.2
Komunikasi merupakan hal yang pasti dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya,
demikian juga dengan hewan. Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia
dalam menjalani kehidupannya. Semua manusia tidak akan bisa lepas dari yang namanya
komunkasi, baik cara menyampaikannya dengan verbal ataupun nonverbal.
Contohnya: Seorang bayi yang baru lahir di dunia ini-pun sudah mampu berkomunikasi
dengan bahasa nonverbalnya, yakni ketika dia mulai menangis yang menadakan ia sedang
haus atau ketidak nyamanan yang dia tempati. Sangat jelas sekali komunikasi harus dipelajari
dan dipahami oleh berbagai pihak atau kalangan.
Setiap perilaku dapat menjadi komunikasi bila kita memberi makna terhadap perilaku
orang lain atau perilaku sendiri. Setiap oaring akan sulit untuk tidak berkomunikasi karena
perilaku berpotensi untuk menjadi komunikasi untuk ditafsirkan. Pada saat seseorang
tersenyum maka itu dapat ditafsirkan sebagai suatu kebahagiaan, ketika orang itu cemberut
maka dapat ditafsirkan bahwa ia sedang ngambek. Ketika seseorang diam dalam sebuah
2 Mohammad Zamroni, Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistimologis, Aksiologis.( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009). Hal. 57
dialog itu bisa diartikan setuju, malu, segan, marah, atau bahkan malas atau bodoh. Diam bisa
diartikan setuju seperti perlakuan Rasullah SAW yaitu ketika ada seorang sahabat yang
menggosok giginya ketika berwudhu, ini menunjukkan bahwa beliau setuju dengan
perlakuan sahabat tadi namun tidak dengan penegasan. Secara implisit semua perlakuan
manusia dapat memilii makna yang akhirnya bernilai komunikasi.
B. Asumsi Ontologis
Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Dari filsafat-lah seluruh ilmu berasal, dari-
nya pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya
menjadi ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk pada filsafat.
Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. kemudian ilmu mengalami
masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap
dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut,
secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh
ke akar, hingga ke dasar.
Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan filsafat
mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hal yang sama. Menurut akar kata
Yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’. Oleh sebab itu, orang bisa
menggunakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai
metafisika. Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama
metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya
dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.
Beberapa ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama
lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka ada beberapa
hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian
cabang filsafat yang sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang
predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering
menggunakan istilah “metafisika universal” dan ”filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi.
Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi “ yang ada dari eksistensi”,
ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang
memungkinkan eksistensi.
Sebagai sebuah ilmu, filsafat memiliki 3 bidang kajian ilmiah yang di dalamnya
terkandung 3 pertanyaan ilmiah yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Ontologi berasal
dari bahasa Yunani “ontos” yang berarti yang ada dan “logos” yang berarti penyelidikan
tentang sehingga dapat disimpulkan ontologi berarti penyelidikan tentang apa yang ada. Jadi,
ontologi membicarakan asa-asas rasional dari “yang ada”, berusaha untuk mengetahui
(penyelidikan tentang) esensi yang terdalam dari “yang ada”. Ontologi seringkali disebut
sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri, di mana hakikat adalah
kenyataan yang sebenarnya, bukan keadaan sementara atau keadaan yang berubah. Dengan
ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”. Epistimologi merupakan bidang
yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode suatu ilmu. Epistimologi diperlukan
untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” Aksiologi merupakan bidang yang menyelidiki
hakikat nilai. Aksiologi digunakan untuk memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa”
(Susanto, 2011: 27-30).
Aristoteles menganggap “ada”sebagai”ada” (being qua being). Ia menganggap bahwa
segala sesuatu ada dengan sendirinya terhampar di alam. Keberadaan segala sesuatu nyata
dan berdiri sendiri serta tidak dipengaruhi oleh subyek. Manusia sebagai subyek dapat
menangkap realita apa adanya, menanggap segala sesuatu yang ada pada alam melalui panca
indra. Alam sudah mengatur dirinya, dan menyusunnya sesuai dengan kategori-kategori yang
alamiah. Adanya segala sesuatu berasal dari kausa prima, suatu penyeba utama yang
menyebabkan terjadinya sesuatu di alam semesta. Aristoteles tidak menyebut pemikiran ini
sebagai ontology.
Pandangan Heidegger membedakan ontology dengan ontic. Pandangan ontolgis
Aristoteles yang didasari pandanga “ada” sebagai “ada” (being qua being) disebutnya ontic.
Dalam ontic ini benda-benda di anggap dapat menampilkan diri apa adanya dan dapat
tertangkap oleh indra manusia apa adanya. Heidegger menyebutnya sebagai”ada-disana”
(seide), sesuatu yang menampilkan diri apa adanya. Heidgger menolak pemikiran ontologis
Aristotles ini. Heidegger mengkritik berbagai pandangan metafisika yang dikemukakan
berbagai tokoh sejak permulaan munculnya filafat sampai pemikiran Deskrates dan Nietzche.
Menurut Heidegger, pandangan filsuf-filsuf metafisika sebelumnya menaruh perhatian besar
pada”yang ada”(being atau seing) berusaha memberi makna terhadap “yang ada” tetapi
dengan makna yang sangat umum, dengan konsep abstrak yang lalu dikaji lebih teliti makna
sesungghunya kosong.
Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani,
yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat
diartikan sebagai ilmu tentang keberadaan. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan
yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah
seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan
antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah
beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau
spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologis.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia
secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu
terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan
yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman
(seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Beberapa
aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.3
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta
universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam
rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
a. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan
tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme.
Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu
kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang
hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam
tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan
dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
3 http://rahmasyilla.wordpress.com/2010/02/03/hakekat-filsafat-komunikasi/#more-192
b. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan
sifat khas sesuatu objek sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang
menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metafisik mengetangahkan prinsip umum
yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah
abstraksi metaphisik.
Referensi:
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistimologis,
Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
http://rahmasyilla.wordpress.com/2010/02/03/hakekat-filsafat-komunikasi/#more-192