resume bab 1
TRANSCRIPT
Nama : Maret Purnama Wulandari
NIM : 13150106
Resume BAB I buku Claire Holt “Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia”
Pada tahun 1938, para anggota ekspedisi Frobensius menemukan banyak siluet
tangan pada sebuah dinding batudi Semenanjung Abba, dekat damberg, di pesisir selatan
Teluk MacCluer. Penduduk zaman batu dari Kepulauan Timur Indonesia dan Papua
membuat peninggalan kepada keturunannya melalui bayang-bayang tipis dari tangan
mereka. Cara membuatnya dengan mereka menekan jari-jari tangan mereka yang
terentang pada permukaan batu, lalu memoleskan cat merah disekitarnya, maka terciptalah
bentuk-bentuk cetakan yang tahan lama.
Penemua ini dipimpin oleh Dr. Josep Roder, menamakan batu Abba tersebut Die
Stammawand der Kulturen – ‘Dinding Budaya Zaman Purba’. Pada dinding ini terdapat
siluet dari bekas cetakan kaki, beberapa bentuk manusia dan binatang laut, serta banyak
tanda-tanda atau simbol, seperti: bulan sabit, serta desain lainnya yang kurang dikenal.
Dinding batu ini adalah satu-satunya gambar di batu yang ditemukan Roder dan Hahn
ketika mereka menjelajahi goa-goa dan galeri-galeri yang terpahat oleh laut dan kini
berubah menjadi karang-karang pantai yang tingg, membentuk pantai selatan dari Teluk
MacCluer, dan hanya bisa dimasuki dari laut. Contoh-contoh gambar batu juga ditemukan
di wilayah pantai barat Papua Kepulauan Kei, Seram, Sulawesi, dan Kalimantan. Gambar-
gambar tersebut mempunyai aspek yang sama.
Van Heekeren menghubungkan gambar-gambar pada batu dari Indonesia dengan
Masa Batu Tengah (Mesolitic), tapi Roder menduga bahwa beberapa mungkin hanya
berusia tiga atau empat abad, sedangkan usia tertua mungkin 1000 tahun. Tahun 1958, di
goa-goa Niah di Serawak, barat laut Kalimantan, Tom dan Barbara Harison menemukan
gamabar-gambar pada batu merah yang menyajikan perbandingan menarik dengan yang
ditemukan Roder dan Hahn. Dalam sebuah laporan berbahasa Belanda, Roder
mengungkapkan bahwa manusia primitif pada dasarnya adalah jenis makhluk yang sama,
meskipun semua berjarak dalam waktu dan ruang, mengalami hasrat yang sama serta
mereaksi kehidupan dengan semangat yang sama.
Penduduk zaman pra sejarah dari pulau-pulau di sebelah timur Kepulauan
Indonesia juga menggambarkan kadal, kura-kura, perahu, burung, serta simbol angkasa,
yaitu mayahari dan bulan. Mereka menggunakan warna hitam, merah, dan putih. Namun
belum diketahui, apakah perbedaan warna tersebut akibat kelompok-kelompok manusia
yang berbeda, atau ciri khas dari usia yang berbeda. Seringkali ditemukan gambar hitam
atau putih tumpang tindih diatas gambar merah, yang diperkirakan lebih tua.
Pada kelompok yang ditemukan Roder adalah gambar-gambar yang naturalis dan
terampil, terutama ikan. Ada perwujudan semu bersifat distilasiyang menarik dari roh-roh,
seperti: kadal berkerudung, figur-figur manusia berkepala besar dengan badan kecil.
Bebrapa tanda dan simbol berupatulisan cakar ayam, sedangkan lainnya berupa
garis=garis mengyun indah yang digambarkan dengan ketepatan yang besar.
Pengelompokan yang tampak serampangan ini menurut kita seperti kata-kata yang
terpisah, yNg diungkapkan tanpa ada hubungan yang dapat dilihat. Namun sebenarnya
terdapat pernyataan-pernyataan visual yang berkaitan dan pada beberapa elemennya
disusun suatu hubungan tematik dan formal yang jelas menjadi suatu adegan. Contohnya:
gambar sebuah perahu yang didalamnya berdiri figur empat manusia memegang dayung,
dengan membawa seekor ikan dan sebuah simbol matahari di atasnya. Di kanan kelompok
ini ada kelompok lain yang berhubungan, yaitu manusia yang lebih besar membawa
manusia yang lebih kecil diatas telapak tangannya yang diangkat keatas. Sayangnya, kita
tidak mengetahui tentang mite dari para penghuni goa tentang simbol ini, sehingga kita
hanya dapat menduga hubungan figur-figur tersebut yang tampak berkalo-kali dalam
kombinasi. Roder mengamati bahwa di dekat sebuah figur seperi kadal dengan kepala
berdiri, selalu tampak simbol matahari. Penduduk lokal menamakan kadal tersebut
matutua atau Moyang Yang Agung, yang mitologinya dihubungkan dengan matahari.
Bahkan saat ini, ada beberapa tempat dimana tempat sesaji, termasuk tulang-tulang ikan,
dibawa ke patung-patung matutua dari kayu agar “binatang-binatang tidak berkurang”.
Nenek moyang zaman dahulu pasti menggantungkan hidupnya pada penangkapan ikan.
Dengan demikian mathari, bulan, dan angin sangat penting sebagai sumber dari kehidupan
serta kesuburan. Kadal menjadi simbol hubungan manusia dengan dunia supernatural. Ia
dianggap pelindung kesuburan ikan, dan dengan demikian menjadi penjaga kehidupan
bagi manusia.
Matutua ini mempunyai keunikan wajah yang mirip dengan topeng yang
bermahkotakan penutup kepala berbentuk labu, yang sedang menari. Salah satu dari
kakinya terentang lebar diangkat, pada sebelah tangannya memgang sebuah bumerang,
dan pada tangan yang lain sebuah perisai yang berbentuk seperti layang-layang dengan
desain spiral pada bagian segitiga yang atas. Ekornya panjang melebar dan dihias
melengkung kebawah seolah-olah bergetar di tanah. Figur ini memberi sugesti bahwa
pencari ikan dari goa-goa itu memiliki shaman,seperti para pemburu Masa Prasejarah di
Afrika dan Eropa, yang memiliki tukang sulap yang rupanya kita kenal pada figur yang
menari menggunakan kepala binatang.
Kadal tetap menjadi simbol kesuburan di beberapa wilayah Indonesia dari Masa
Prasejarah sampai sekarang. Dibuktikan dengan ditemukannya simbol tersebut pada
bejana kuburan megalitik di Sulawesi Tengah, dan pada lumbung-lumbung padi
masyarakat Batak Toba di Sumatera. Setelah mendapat nama asli Hindu boraspati, kadal
dianggap sebagai roh bumi oleh masyarakat Batak Toba.
Titik-titik hitam pada matutua merupakan cikal bakal dari bagok, sebuah simbol
perempuan yang melengkapi simbol kadal (laki-laki). Kadal kerap tampak pada barang-
barang magis milik shaman (datu) Batak Toba, dalam desain-desain yang distilasi dari
anyaman bambu pada lumbung-lumbung, juga pada kain ulos. Tahun 1954 ruangan-
ruangan pasr baru Balige (pusat perdagangan di pesisisr selatan Danau Toba), gerbang
pasar dihias dengan bentuk berombak dari seekor kadal yang dipahat dari logam. Di
Kalimantan di antara orang Dayak, di Nias, dan daerah lain di Indonesia, kita dapati kadal
(seringkali reptil itu biawak dan buaya) dari kayu, batu, atau berupa desain ornamental
yang sangat distilasi. Di Jawa, kadal sudah tidak mempunyai nilai simbolis, namun
beberapa menjual souvenir kadal dari kuningan, cicak kecil sampai tokek besar.
Masyarakat juga masih percaya pada berapa banyak suara tokek, dan menafsirkannya
sebagai nasib baik atau nasib buruk di kemudian hari. Dengan demikian gaung dari Masa
Prasejarah, baik kebiasaan, maupun simbol-simbol masih terpelihara hingga masyarakat
Indonesia modern sekarang.
Tidak seperti kadal yang di dewakan, ikan yang begitu mencolok digambarkan di
Teluk MacCluer tidak melestarikan kepentingan magis. Ikan banyak digambarkan, satu
merupakan gambaran alami dari makhluk hidup dalam gerak, atau merupakan desain dari
dua garis lengkung yang bersilang di ujung ekornya. Bentuk-bentuk ini mempunyai tujuan
magis sebagai doa untuk mendapatkan tangkapan yang banyak. Sebuah dinding di Pulau
Arguni, menggambarkan ikan sebagai bentuk yang khas, memberi kesan gerak seperti di
bawah air.
Pada lingkungan yang berbeda, di Jawa Tengah abad ke-10, saat mitologi india
telah berbaur dengan kepercayaan animistik masyarakat, ikab imajiner digambarkan di
Samudera India. Ikan-ikan itu dipahat di dinding batu Candi Shiva di Prambanan yang
menunjukan adegan dari Ramayana. Pada relief tersebut digaambarkan ikan-ikan yang
marah karena para kera akan menyeberang ke Pulau Langka dan membatu Raja Rama
menyelamatkan Sinta dari Rahwana. Ikan yang besar ditampilkan dengan batu-batu besar
di dalam mulut mereka yang terbuka lebar, seperti siap menelan batu-batu tersebut.
Ekspresi yang tampak adalah kemarahan, kebencian, dan menantang.
Seribu tahun kemudia, ada seorang seniman kontemporer dari Bali Selatan
membuat sebuah lukisan dengan tinta, yang ia namakan “Pembicaraan Ikan-Ikan”. Disini
digambarkan beberapa ikan menahan kepala mereka bersama-sama seolah sedang dalam
gosip yang menggelitik. Ikan-ikan ini juga digambarkan dengan sifat-sifat manusia seperti
pada relief Prambanan, walaupun penggambaran dari seniman Bali ini lebih lucu.
Walaupun digambarkan dengan kecermatan serta keterampilan, penggambaran ikan oleh
seniman Bali tersebut hanyalah ikan-ikan biasa, meskipun kualitas magis memancar dari
perahu-perahu berbentuk ikan, namun tak semagis ikan relief Prambanan. Hal ini
disebabkan pelukis-pelukis kota modern dipisahkan jauh dari kehidupan pencari ikan di
pantai, ikan dianggap bukan suatu objek yang menarik. Mereka tidak dipengaruhi pula
oleh masyarakat Cina-Indonesia yang meneruskan tradisi leluhurnya melukis semacam
ikan gurami yang lucu dan tembus cahaya di dalam sebuah kolam. Hanya Henk Ngantung
yang dapat melukiskan ikan dengan hidup, dari ikan yang mati, kering, atau membusuk
tergantung pada sebuah dinding tua. Menggunakan warna-warna kelabu dan kuning yang
suram pada tahun 1936.
Motif luar biasa lainnya adalah motif burung. Roder menemukan satu gambar
burung yang menarik di Teluk MacCluer, burung enggang yang terdapat dalam salah satu
dinding gua di pulau Wamerei. Pada zaman perunggu, motif burung juga tergores pada
sebuah gendang perunggu yang ditampilkan seolah-olah pemimpin diatas buritan sebuah
kapal. Van der Hoop menyatakan bahwa burung enggang adalah simbol dari ‘dewa dunia
atas’ dan perahu adalah ‘perahu yang membawa roh-roh yang meninggal ke alam baka’.
Dalam bukunya, ia menunjukan busur panah kayu yang terukirdari sebuah perahu
kematian orang Batak Sembiring. Kepala burung enggang menjulur keluar diatas kepala
seekor kuda. Van der Hoop mengemukakan bahwa burung enggang adalah simbol
kematian dan kehidupan kembali, karena selama duduk diatas telur-telurnya enggang
betina terkurung dalam sebuah ceruk pohon yang pecah- terbuka ketika yang muda
menetas.
Hubungan burung enggang dengan ritus-ritus kematian serta kemakmuran dari roh-
roh si mati dilestarikan sejak Zaman Prasejaarah sampai abad ke-20. Pada tahun 1938,
pertunjukan-pertunjukan yang menggambarkan tari-tari penguburan orang Batak
Simalungun, Karo, dan Pak-Pak. Orang Dayak di Kalimantan Selatan menghubungkan
burung enggang secara mitologis dengan simbol dunia atas. Di bagian utara pulau ini
orang Dayak Iban membuat burung enggang yang besar dengan peruh yang melengkung
dengan indah, bagian mahkota seperi tanduk diatas paruh, diperindah menjadi spiral yang
rumit. Freeman mengatakan pada klimaks tarian ritual pemenggalan kepala kuno, burung
enggang dari kayu dinaikkan diatas sebuah tiang besar yang meruncing, dan bila tiang itu
ditegakkan dalam posisi vertikal, roh perang dari burung tersebut diluncurkan kearah
musuh, seperti sebuah perintis jalan primitif dari peluru kendali dari Barat yang modern.
Pada masa Hindu, burung Garuda, kendaraan dewa Vishnu menjadi burung paling
penting dalam seni Jawa dan Bali tradisional. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
kerajinan, ukiran, motif batik yang menggunakan motif garuda yang tentunya dengan
distilasi tertentu. Dengan lahirnya Republik Indonesia, Garuda telah menjadi simbol dari
Negara Indonesia. Menanjaknya Garuda diperkuat oleh pemulihan Masa Indonesia kuno
kepada burung enggang. Hubungan antara Garuda dengan matahari membuatnya menjadi
sangat tinggi.
Disamping macam-macam burung, didapati juga makhluk0makhluk bersayap yang
khas, seperti: singa bersayap, banteng bersayap, serta ular bersayap. Ketiganya penting
secara mitologis, dan mungkin masuk timur dari ‘Pusat Timur Dekat’ kuno ke India dan
seterusnya. Gerbang-gerbang bersayap yang terdapat di beberapa pura di Bali, dikenal
pula di Pulau Jawa.dua yang masih berdiri di Sendangduwur, di dekat Tuban di Pantai
Utara Jawa, tempat masjid-m asjid tua dari pulau ini dibangun diatas pekarangan candi
dari masa pra-islam. Sayap-sayap yang lepas dari badan menghias banyak desainkain-kain
batik kuno serta selendang Jawa. Selain itu, penari-penari Jawa dan boneka-boneka
wayang kulit juga menggunakan hiasan berbentuk sayap melengkungkeatas di belakang
telinga, yang merupakan hasil reduksi dari hiasan epala berbentuk sayap atau burung.
Sampan dan perahu juga merupakan perwujudan yang menawan pada lukisan batu
di Teluk MacCluer. Seringkali perwujudan itu hanyalah skema yang digambarkan dengan
dua atau tiga garis. Contoh bagus dari perahu ini adalah sebuah gambar perahu dari arang
di dinding sebuah kompleks gua di Sosorra dekat desa Pantai Furir. Menurut Roder,
keseluruhan situs rupanya melestarikan kepentingan penyembahan dan magis. Lukisan
perahu di dinding ini akhirnya direproduksi ulang karena perahu ini memuat sebagian
besar elemen yang ditemukan pada gamabaran perahu yang lain: haluan dan buritan yang
menjulang keatas dan dihias; tiang kapal; sedikit banyak lingkaran-lingkaran bersilangan
yang berulang-ulang, hingga sulit untuk dijelaskan dan digambar, dengan bayangan yang
lebih lunak daripada perahu itu sendiri. Diatas perahu terdapat bentuk bulan sabit dari
bulan; diantara buritan yang berbentuk sabit dan mungkin sebuah jangkar, tampak simbol
dari matahari yang terpasang. Sekarang dipantai-pantai serta pelabuhan-pelabuhan di
pulau-pulau Indonesia masih dapat menyaksikan keterampilan para pencari ikan, serta
perahu-perahu dengan haluan dan buritan yang menjulang tegar, yang melayani
perdagangan antar pulau. Menarik saat kita mendapatkan seorang seniman kontemporer
seperti Affandi yang terkenal dengan sapuan-sapuan cepat dan khas, tanpa diketahui
membuat roh yang sama dengan perahu-perahu yang ada di dinding gua di Sosorra.
Sepanjang sejarah, perahu serata benda-benda yang berbentuk perahu (peti-peti
mayat, sarchopagi, atap rumah, dan lumbung) memberi ciri mitos Indonesia lama.
Kepercayaan bahwa orang yang sudah mati melakukan perjalanan dengan perahu menuju
ke dunia roh digambarkan pada seni Zaman Perunggu, lukisan goa Prasejarah, serta kain
tenun Sumatera Selatan. Roder masih bisa melacak kebiasaan lama masyarakat yang
menaruh orang mati di dalam peti mayat berbentuk perahu dan menenempatkannya pada
dinding langkan yang lebar dan terbentuk karena pasang surutnya air. Tempat ini terletak
tinggi diatas air pada karang-karang di pulau-pulau Arguni dan Bedore, dan bebrapa
tempat lain di sepanjang pantai. Namun Roder memperkirakan kebiasaan ini sudah punah
80 sampai 100 tahun yang lalu. Masyarakat yang menerapkan kebiasaan ini adalah Dayak
dari Kalimantan Tenggara, dan Sulawesi.
Bentuk perahu juga direfleksikan pada sarchopagi batu tua dari orang-orang Batak
Toba yang disebut parholian. Tulang-tulang orang mati Batak dari kalangan tinggi
disimpan dalam perholian selama beberapa generasi. Parholian adalahsebuah kepala
monster besar yang disebut singa. Dibawahnya sering terdapat figur laki-laki jongkok,
sebuah figur perempuan duduk diatas punggung ‘bagian buritan’. Parholian seperti sedang
mengambang; sebuah sphinx kecil terapung-apung dengan lambat. Batak atau Toraja
mempunyai ciri khas rumah serta lumbung-lumbungnya berdiri berderet, seseorang
mendapat kesan kuat seperti armada perahu yang mengapung tinggi, dan Vroklage
menamakannya ‘rumah perahu’.
Nenek moyang orang Toraja diceritakan telah datang dengan perahu-perahu ke
Sulawesi dari barat. Perahu-perahu mereka yang terseret ke pantai menjadi atap rumah
para penghuni. Roh-roh orang Toraja yang telah mati kemudian melakukan perjalanan
menyeberang laut, untuk kembali ke tanah leluhur mereka, yaitu tanah asal usul, dengan
ini sempurnalah siklus ini.
Dr. Koentjaraningrat dari Universitas Indonesia saatdi Desa Arui-Bab di pantai
Tanimbar di bagian timur kepulauan Indonesia menemukan platform batu berbentuk
perahu panjang yang diatasnya duduk para anggota dewan desa untuk bermusyawarah.
Inilah adat lama dari tetua-tetua desa atau para pemimpin menduduki kursi batu
nenekmoyang yang dikombinasi dengan ide perahu leluhur.
Pada Zaman Mesolitik karya-karya seni yang dihasilkan kebanyakan adalah motif-
motif yang berorientasi pada laut, tak ada binatang tanah yang menonjol pada kehidupan
imajiner dan ritual-ritual non islam yang banyak di Indonesia. Akan tetapi awal dari
milenium kedua (2000) SM budaya neolitikum dimulai. Mata pencaharian untuk hidup
menjadi bergantung pada penanaman padi, pada saat itu curah hujan tinggi, bersamaan
dengan itu ritual dicocokan dengan siklus pertanian. Pada saat yang sama di banyak
daerah kerbau-kerbau yang diternakkan menajdi kurban utama untuk ritual-ritual kematian
serta pesta seremonial lainnya. Pada abad ke-20, tradisi ini yang mengingatkan pada masa
Neolitik, memberikan Belanda masalah karena orang-orang Dayak membunuh kerbau
yang tak terbilang jumlahnya, yang dikuburkan setiap tahun. Kerbau merupakan simbol
dari kekuatan vital. Seseorang hanya dapat menduga pada hubungan-hubungan
penyembelihan kerbau masa prasejarah di Indonesia dengan peranan banteng pada
peradaban kuno di Timur Dekat dan India.
Perwujudan tertua dari kerbau pada seni di Indonesia berasal dari masa Perunggu.
Simbol kerbau yang diinterpretasi kembali menjadi simbol bangsa Indonesia ketika
nasionalisme mulai bergerak dibawah dominasi Belanda. Kepala banteng dijadikan simbol
oleh Partai Nasional Indonesia. Indonesia seperti banteng, ia dapat dikekang pada
hudungnya, tetapi sekali bangkit, ia akan mulai mengamuk. Simbol ini telah diabadikan
dalam sebuah monumenrevolusi kontemporer di Madiun, Jawa Tengah, yang
menunjukkan seekor banteng yang menyerang maju,dipahatkan pada relief bagian dasar
monumen tersebut.
Batu-batu seperti menhir yang berdiri tegak serta batu-batu datar yang horizontal
dengan atau tidak dengan penyangga yang berasal dari budaya megalitik masih didirikan
oleh orang Toraja Sa’adaan pada tahun 1938, untuk orang mati dari kalangan atas sebelum
akhirnya mayat mereka disimpan pada kubur batu. Di Nias, budaya megalitik bagus sekali
berkembang hingga abad ke-20. Tiang batu segi empat yang berdiri tegak, obelisk, balai-
balai batu masif, bangku, tempat duduk kepala desa, bahkan almari batu,dan gendang,
semuanya terpahat dengan ketepatan tinggi pada batu berwarna abu-abu muda, dapat
ditemukan di desa Nias Selatan.beberapa desa di Pegunungan Bali batu-batu datar yang
halus diletakkan horizontal di atas tanah, di depan batu semacam itu batu yang lain yang
dipasang tegak merupakan tahta-tahta leluhur yang di atasnya para tetua desa duduk pada
pertemuan-pertemuan.
Menurut Heine-Geldern, monumen-monumen megalitik dibuat untuk
mengabadikan hidup nama-nama dari yang mendirikan atas orang mati yang baginya
monumen-monumen itu didirikandan sebagai peringatan dari pesta-pesta kurban, dan
untuk mengamankan rohnya ke keabadian hidup di alam baka. Di pedalaman Sulawesi
atau di tempat sermonial di Nias, dapat kita lihat pilar obeliks yang dipahat dengan cermat.
Pada masa kita sekarang, zaman Republik Indonesia banyak monumen, seringkali
berbentuk obeliks, yang didirikan untuk memperingati para pahlawan yag gugur pada
perang revolusi, serta tindakan-tindakan besar lainnya.
Selama lima belas abad bagian pertama dari zaman kita, ketika agama-agama India
tersebar ke bagian-bagian Kepulauan Indonesia, megalit-megalit bercampur atau diganti
dengan simbol Dewa Shiva,yaitu phalus – linga yang mencuat dari sebuah pedesal
berbentuk altar dengan sebuah saluran, yaitu yoni, pasangan perempuan dari linga. Gaung
dari keduanya adalah obeliks prasejarah dan linga diatas yoni dari Shiva yang
berkombinasi pada Tugu Nasional yang selesai pada tahun 1967 di atas Lapangan
Merdeka yang besar di Ibukota Jakarta.
Apa yang diturunkan pada kita kita-kira dari tahun milenium (1000) tahun pertama
atau kedua SM dan dari abad-abad awal zaman kita sesungguhnya adalah benda-benda
dari batu dan logam. Semua patung dan kayu, yang tentunya sangat banyak, sudah barang
tentu telah hancur. Contoh patung batu dari Masa Prasejarah adalah yang digambarkan dan
difoto dari Sulawesi Tengah oleh Walter Kaudern. Ia menemukan patung-patung besar
sekali yang unik dalam gaya, ditemukan di Bada, tinggi 14,5 kaki (kuranglebih 3 meter).
Di Nias, ada patung patung batu dengan badan gepeng tanpa lengan yang bagian atasnya
kepala yang biasanya dihias dengan sebuah penutup kepala Niha yang khas. Relief-relief
batu yang dipahatkan dengan keterampilan seni yang tinggi di dinding-dinding candi-
kuburan ini mungkin memiliki asal usul Masa Prasejarah pada peti-peti pengubuan
megalitik yang dihias, seperti di Besuki, Jawa Timur, yang di dinding luarnya juga
terdapat figur-figur manusia dan binatang. Semua patung ini adalah masif, kuat, dan
sederhana, tanpa ornamen, dengan hanya bagian-bagian esensial saja dari badan, yaitu
kelamin, bentuk wajah, serta busana (kalau ada) yang dibuat, patung-patung itu
menunjukkan bahwa perbedaan penting dalam gaya hadir diantara kelompok etnis yang
banyak itu pada masa silamyang jauh, seperti halnya mereka lakukan masa kini.
Wajah manusia sendiri tampak dalam banyak bentuk, dilukis, digoreskan,
dipatungkan secara bulat, atau dipahatkan sebagai topeng. Diantara gambaran-gambaran
lama yang diketahu di Indonesia seperti wajah-wajah yang mengandung magi (atau
topeng) adalah gendang perunggu besar yang dikenal sebagai ‘Bulan dari Pejeng’ di Bali
Selatan. Gendang itu merupakan contoh seni Zaman Perunggu.
Di Jawa dan Bali, evolusi yang lambat dari primitif ke seni teatrikal telah mencapai
puncak pada produksi topeng-topeng yang distilasi dan dipahat indah untuk panggung. Di
Kalimantan, topeng digunakan dalam ritus-ritus kematian dan kesuburan. Perwujudan
topeng mungkin roh-roh leluhur yang bertopeng, tampil pada ritus-ritus kematian dari
beberapa kelompok orang Batak pribumi di Sumatera Utara sampai awal abad ini.
Kekuatan hidup dari sebuah kepala, apakah itu kepala seorang nenek moyang atau musuh
suku, dapat mempertinggi kemakmuran komunitas dengan memasukkan isi baru dari
potensi hidup. Seperti halnya pada Masa Prasejarah, topeng mungkin telah berperan
penting bagi perwujudan roh leluhur dan lainnya, yang pada saat ini di beberapa daerah
masih dihubungkan erat dengan ritus kematian dan kesuburan.
Kehidupan sehari-hari dipimpin oleh roh nenek moyang yang dipercaya tinggal di
gunung-gunung. Mereka adalah pendiri dari komunitas desa, mereka telah menegakkan
adat kebiasaan serta telah menjaga pertumbuhannya. Pada Zaman Kuno di bagian timur
dari Kepulauan Indonesia, nenek moyang dipercaya berada di ‘seberang laut’. Selain itu,
puncak-puncak gunung juga dipercaya sebagai tempat tinggal dewa dan roh leluhur. Pada
zaman kita, raja-raja yang memerintah di Jawa Tengah mengirim sesaji untuk
mendapatkan simpati yang besar, termasuk kain-kain sutera yang mahal dilemparkan ke
kawah gunung berapi Lawu, Merapi, dan Merbabu yang tinggi. Puncak-puncak gunung,
yang kerap terselubung oleh awan dan kabut adalah tempat tinggal yang misterius dari
roh-roh leluhur, dan banyak cagar alam dibangun di puncak-puncak gunung itu. Pura Bali
yang paling penting adalah Besakih yang dibangun di lereng Gunung Agung.
Sutterheim memberi komentar mengenai kepercayaan religius Bali pada masa Pra
Hindu. Lewat banyak sebabkeseimbangan, jumlah yang benar dari kekuatan hidup
komunitas, dapat terganggu. Beberapa dari sebeb itu dapat diketahui, bebrapa tidak dapat
dilihat. Tempat untuk menjaga kekuatan hidup komunitas diselenggarakan di pura. Pura
adalah sebodang tanah yang dikelilingi oleh dinding sebagai pelindung terhadap kekuatan-
kekuatan yang tidak diketahui, dilengkapi dengan ruangan yang diberi lantai batu untuk
tari-tarian ritual.
Piramida berundak adalah prototipe bagi semua bangunan candi indah yang
dibangun di Jawa pada Masa Hinduistik, desainnya telah diabadikan pada arsitektur pura
Bali. Kuil-kuil di Cina dan Jepang, seperti meru dari Bali mempunyai prinsip dasar yang
sama.
Sebuah situs Megalitik didapatkan oleh Van der Hoop di Lebak Sibedug di
Sumatera Selatan. Trdiri dari piramida empat trap yang menghadap ke barat, kira-kira 6,5
meter tingginya dengan penjorokan undak yang terbawah di depan. Sangat menarik untuk
membandingkan perencanaan situs prasejarah ini dengan rancangan pura Bali masa kini,
terutama lokasi balainya yang persegi panjang dan digunakan untuk menyimpan sesaji
dalam hubungannya dengan bangunan utama.
Budaya Megalitik Indonesia digambarkan lewat bangunan peninggalan dari abad
ke-15 dari Sukuh dan Ceta di Jawa Tengah. Pembangunan Sukuh antara 1416 A.D dan
1459 A.D, pembangunan Ceta antara 1468 dan 1475. Terletak di lereng Gunung Lawu,
candi-candi ini dibangun pada masa akhir Hinduisme, di sebuah wilayah yang jauh dari
kerajaan Hinduistik Majapahit yang ambruk dan berpusat di Jawa Timur. Objek
penyembahan kedua candi ini adalah kepada Bima, pahlawan yang galak dan kuat dari
wiracarita India kuno Mahabharata. Melambangkan potensi magis serta pembebasan dari
pembatasan-pembatasan kehidupan yang bisa mati.
Di Sukuh dan Ceta, simbol-simbol kesuburan sangat jelas. Di lantai batu dari pintu
masuk candi Sukuh, sebuah phalus besar yang berhadapan dengan pasangan wanitanya,
dipahatkan dengan relief. Figur-figur dan relief Bima yang terdapat di Sukuh dan Ceta
adalah patung-patung yang kuat dan kasar. Gayanya tak da yang sama dengan gaya patung
dewa-dewa India yang dibentuk pada masa seribu tahun yang mendahului di Jawa.
Walaupun Sukuh dan Ceta menandai berakhirnya masa budaya Hinduistik, secara
stilasi bangunan-bangunan itu tak memiliki kesamaan dengan seninya. Bangunan-
bangunan itu membawa kepada kita kembali ke yang mendahului, yaitu Masa Megalitik
Indonesia. Piramida, tiang-tiang dan obeliks di Sukuh, dengan patung-patung monumental
dan penuh kekuatan yang tanpa hiasan, tampak sebuah cabang yang jauh dari Prasejara,
yang terpisah dari akar-akarnya selama lebih dari 1.500 tahun.