resensi buku (surat dahlan)

4
Pergolakan Hati Dahlan Judul Buku: Surat Dahlan Pengarang: Khrisna Pabichara, penyunting: Suhindrati Shinta Penerbit: Noura Books, Jakarta Selatan Tahun Terbit: 2013, cetakan I Tebal Buku: 396 halaman Ukuran Buku: 21 x 14 cm Harga Buku: Rp67.500,- Jenis Huruf: Times New Roman Jenis Kertas: Kertas buram Jenis Sampul: Softcover Dalam novel Surat Dahlan, Khrisna Pabichara kembali mengangkat kisah inspiratif dari tokoh Dahlan Iskan. Kisah ini merupakan lanjutan dari novel pertama Khrisna Pabichara yaitu Sepatu Dahlan. Tema yang dibawa oleh kedua novel ini memiliki beberapa kesamaan yakni dalam mengangkat mengenai masalah-masalah yang dialami Dahlan pada masa mudanya. Novel ini bercerita mengenai kehidupan Dahlan di Kalimantan setelah merantau dari tempat lahirnya, Kebon Dalem di Jawa. Dahlan diceritakan mengalami kebosanan tentang perkuliahannya dan memutuskan untuk masuk dalam perkumpulan mahasiswa. Masalah pun mendatangi Dahlan karena dicari oleh pihak berwajib saat berdemonstrasi.

Upload: filbert-kurnia-liwang

Post on 29-Dec-2015

599 views

Category:

Documents


28 download

DESCRIPTION

Resensi Novel Surat Dahlan

TRANSCRIPT

Page 1: Resensi Buku (Surat Dahlan)

Pergolakan Hati Dahlan

Judul Buku: Surat Dahlan

Pengarang: Khrisna Pabichara, penyunting: Suhindrati Shinta

Penerbit: Noura Books, Jakarta Selatan

Tahun Terbit: 2013, cetakan I

Tebal Buku: 396 halaman

Ukuran Buku: 21 x 14 cm

Harga Buku: Rp67.500,-

Jenis Huruf: Times New Roman

Jenis Kertas: Kertas buram

Jenis Sampul: Softcover

Dalam novel Surat Dahlan, Khrisna Pabichara kembali mengangkat kisah inspiratif dari

tokoh Dahlan Iskan. Kisah ini merupakan lanjutan dari novel pertama Khrisna Pabichara yaitu

Sepatu Dahlan. Tema yang dibawa oleh kedua novel ini memiliki beberapa kesamaan yakni

dalam mengangkat mengenai masalah-masalah yang dialami Dahlan pada masa mudanya.

Novel ini bercerita mengenai kehidupan Dahlan di Kalimantan setelah merantau dari

tempat lahirnya, Kebon Dalem di Jawa. Dahlan diceritakan mengalami kebosanan tentang

perkuliahannya dan memutuskan untuk masuk dalam perkumpulan mahasiswa. Masalah pun

mendatangi Dahlan karena dicari oleh pihak berwajib saat berdemonstrasi.

Di samping itu, Khrisna juga mengangkat mengenai kisah cinta Dahlan yang terjebak

dalam 3 gadis. Akhirnya Dahlan menemui cinta baru dalam surat kabar. Pekerjaan Dahlan yang

baru sangat dinikmati oleh dirinya. Dia pun direkrut oleh Tempo dan ditunjuk sebagai redaktur

utama koran Jawa Pos. Lalu, dia memperoleh seorang anak dari istrinya. Dan pada akhirnya,

Dahlan pulang ke Kebon Dalem setelah merantau selama beberapa tahun.

Kehidupan dari Dahlan inilah yang menjadi keunikan tersendiri pada buku ini karena

cerita ini berasal dari penuturan langsung dari sang tokoh, Dahlan Iskan. Gaya pengarang dalam

menuliskan buku ini pun menjadi keunikan karena dapat dibawakan dengan gaya jenaka dan

dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti. Walaupun in hanyalah novel kedua dari

Page 2: Resensi Buku (Surat Dahlan)

Khrisna Pabichara, tapi dia telah berhasil menangkap esensi dari kisah inpiratif Dahlan Iskan dan

menyajikannya sebagai trilogi novel yang fenomenal. Dahlan yang bersikap kritis dan peka

sangat memotivasi pembaca. Seperti kalimat “Karena menunggu adalah alasan mematikan bagi

sebuah harapan.” pada halaman 269

Kendati hidup di saat masa Orde Baru yang mencekam, namun konflik internal dari

tokoh Dahlan juga dapat diceritakan dengan baik dari Khrisna. Seperti saat Dahlan harus

memilih antara ingin kuliah atau aktif dalam perkumpulan mahasiswa. Selain itu, pilihan antara

Aisha, Maryati, dan Nafsiah menjadi pilihan tersulit di dalam hidupnya. Hal ini menunjukkan

bahwa Dahlan adalah seorang mahasiswa biasa yang membutuhkan sesosok perempuan dalam

hidupnya. Saat Maryati mengungkapkan kepada Dahlan bahwa Aisha telah menikah dan Maryati

meminta kepastian keinginan Dahlan tentang pernikahan, namun hati Dahlan telah berpindah

kepada Nafsiah dan Maryati merasa cemburu pada halaman 184-186.

Alur dari buku ini merupakan alur campuran karena pada saat buku tersebut dimulai,

setting buku ini berasal di saat Dahlan sedang berada di sebuah rumah sakit dan sedang terbaring

lemah setelah melalui operasi. Dahlan pun teringat akan masa lalunya yang menjadi fokus dari

novel ini. Namun alur buku ini mudah untuk diikuti karena pengarang memberitahukan

mengenai kenangan tersebut dengan memberikan petunjuk, seperti “Aku masih punya 18 jam

untuk menjenguk kenangan.” pada halaman 11. Selain itu, pengarang juga terkadang

mencantumkan bulan dan tahun agar pembaca dapat mudah mengikuti suatu kejadian.

Fisik buku ini pun dapat dipuji karena walaupun kertas yang digunakan merupakan kertas

buram, namun buku ini tetap nyaman untuk dibaca. Kertas tersebut mudah untuk dibalik

sehingga sangat memudahkan pembaca saat sedang membaca. Struktur kasar namun halus

nyaman saat dipegang dan merupakan keunggulan tersendiri dari buku ini.

Di samping kesuksesan Khrisna dalam menampilkan sosok Dahlan, namun novel ini juga

memiliki sejumlah kelemahan. Mengingat asal Dahlan yang berasal dari pulau Jawa dan selalu

berbahasa Jawa, maka sejumlah dialog di dalam cerita ini pun dituliskan dengan bahasa Jawa.

Namun sayangnya, Khrisna tidak menambahkan catatan kaki mengenai arti dialog tersebut

sehingga pembaca yang tidak mengerti pun hanya dapat bertanya-tanya apa yang dikatakan oleh

tokoh dalam novel tersebut. Seperti saat Dahlan berkata, “Mas, aku ora isa turu kene bengi iki.”

yang berada di halaman 232.

Page 3: Resensi Buku (Surat Dahlan)

Selain itu, cover cerita Surat Dahlan juga mengurangi keindahan cerita ini. Warna-warna

ungu dan hitam tampak mendominasi cover cerita ini. Gambar sesosok lelaki yang memandang

ke arah perahu kurang relevan dengan cerita ini. Komposisi warnanya pun kurang terang bila

dibandingkan dengan novel sebelumnya, Sepatu Dahlan.

Secara keseluruhan, novel ini sangat baik untuk dibaca untuk kalangan remaja sampai

dewasa. Hal ini disebabkan karena novel ini mengandung kisah inspiratif dari Dahlan Iskan,

namun kisah cinta yang rumit akan memberatkan kepada kalangan anak-anak. Sebagai sebuah

karya sastra, novel ini patut mendapat apresiasi karena dapat menularkan semangat positif bagi

bangsa Indonesia di tengah keterpurukan bangsa.

Saran bagi sang penulis adalah bahwa ia harus memerhatikan penggunaan bahasa daerah

yang menyulitkan bagi yang tidak memahaminya. Cover cerita pun harus diperhatikan agar

novel tersebut dapat menarik minat pembeli. Selain itu, penulis juga harus mempertahankan

ritme penulisan seperti pada novel ini agar pada kisah terakhir trilogi kisah inspirasi Dahlan

Iskan, Senyum Dahlan dapat menjadi penutup trilogi yang fenomenal.