relevansi aturan kewenangan pencatatan perceraian...

86
RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN DALAM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA TERHADAP ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: ASEP KUSTIA ERAWANDI N I M . 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 1 5 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H / 2016 M

Upload: lykhue

Post on 17-Aug-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN

DALAM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA TERHADAP

ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ASEP KUSTIA ERAWANDI

N I M . 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 1 5

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1437 H / 2016 M

Page 2: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi
Page 3: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi
Page 4: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

LEMBARPERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatulah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan basil karya asli saya atau

merupakan basil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam (UIN) Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta. 30 Juni 2016

Asep Kustia Erawandi

Page 5: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

ABSTRAK

ASEP KUSTIA ERAWANDI. NIM 109044100015. RELEVANSI ATURAN

KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN DALAM UNDANG-

UNDANG PERADILAN AGAMA TERHADAP ASAS PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Program Studi Hukum Keluarga,

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

1437 H/2016 M. x + 72 halaman.

Skripsi ini bertujuan mengetahui pengaturan kewenangan pencatatan

perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan Agama koheren dengan asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan pengaturan materi

muatan tersebut mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library

research yaitu melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan tema sentral dalam skripsi ini dan buku-buku, jurnal-jurnal

yang berkaitan dengan judul.

Hasil penilitian ini yakni pengaturan kewenangan pencatatan perceraian

dalam UU Peradilan Agama tersebut menimbulkan konflik norma dan terjadi

insinkronisasi norma secara vertikal dan horizontal sehingga tidak mencerminkan

asas ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1)

huruf i UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan.

Kata Kunci : Kewenagan Pencatatan Perceraian, UU Peradilan Agama,

UU Adminstrasi Kependudukan. Asas Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

Pembimbing : Dr. Kamarusdiana, S.Ag., M.H.

Daftar Pustaka : 1983 s.d 2012

Page 6: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah memberikan

kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skriipsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis

haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa

tercurahkan kepada umat muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana

Syariah pada Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak

dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis

sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga

(Ahwal Syakhsiyyah) dan Bapak Arip Purkon, M.A., Sekretaris Program Studi

Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah);

3. Bapak Dr. Kamarusdiana pembimbing penulis yang senantiasa memberikan

masukan dan bimbingannya sehingga tulisan ini selesai.

4. Bapak Qosim Arsadani, MA dan Ibu Rosdiana MA Penguji penulisa yang

Page 7: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

vii

memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan tulisan ini.

3. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing penulis

dari awal hingga akhir sehingga dapat menyelesaikan studi;

4. Segenap Pegawai dan Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatulah Jakarta yang telah membantu mempermudah pelayanan dalam

penyelesaian studi penulis;

5. Ayahanda dan Ibunda sebagai penyemangat dan motivator dalam hidup penulis;

6. Sahabat-sahabat terbaik penulis yang menemani hingga penyelesaian studi Uuf

Rouf, S.Sy, SH., Muhammad Ishar Helmi, SH, MH, Dewi Ratna S.Sy, Ihsan

Badruni SH, S.Sy. terima kasih canda tawa kalian selalu teringat;

7. Teman-teman Prodi Hukum Keluarga Khususnya angkatan 2009;

8. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu terima kasih atas

bantuannya dalam penyelesaian studi ini;

Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan

penyusunan skripsi selanjutnya.

Jakarta, 15 Juni 2016

Penulis

Page 8: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................................ v

KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Pembatasana dan Perumusan Masalah .................................................... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 4

D. Studi Review ........................................................................................... 5

E. Metode Penelitian .................................................................................... 7

F. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11

BAB II Dualisme Kewenangan Pencatatan Perceraian

A. Urgensi Pencatatan Perceraian ................................................................ 13

B. Kewenangan Pencatatan Perceraian Oleh Peradilan Agama .................. 16

C. Kewenangan Pencatatan Perceraian Perspektif Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Admnistrasi Kependudukan ................ 22

BAB III PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik ............ 29

B. Materi Muatan Undang-Undang dan Peraturan

Perundang-Undangan Lainnya ................................................................ 34

C. Asas Kepastian dan Kemanfaatan ........................................................... 49

Page 9: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

ix

BAB IV RELEVANSI PENGATURAN KEWENANGAN PENCATATAN

PERCERAIAN DALAM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA

DENGAN ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN YANG BAIK

A. Koherensi Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian Dalam

Pasal 84 Ayat (4) UU Peradilan Agama Dengan Asas Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik ........................................... 56

B. Penerapan Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum Dalam

Pengaturan materi Muatan ...................................................................... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................ 73

B. Saran ....................................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 75

Page 10: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI Tahun 1945) yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia mengamanatkan dalam Pasal 22A bahwa “Ketentuan lebih

lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-

undang”.1

Perkembangan pengaturan asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dalam pembentukan undang-undang di Indonesia untuk

pertama kali ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut I. C. Van der

Vlies, asas tersebut dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu asas formal dan

asas material. Asas formal berkenaan dengan format, sifat, wadah, kelembagaan

yang berperan, teknis perumusan, dan sebagainya, sedangkan asas material

1 Ketentuan mengenai pembentukan undang-undang tersebut diatur dengan UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Page 11: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

2

menyangkut materi muatan yang harus terkandung dalam peraturan perundang-

undangan.2

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan mengatur asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

yang bersifat formal dalam Pasal 5, sedangkan asas yang bersifat material dalam

Pasal 6. Dalam Pasal 10 ayat (1) ditentukan mengenai materi muatan yang harus

diatur undang-undang berisi (a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD

Negara RI Tahun 1945, (b) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan

undang-undang, (c) pengesahan perjanjian internasional tertentu, (d) tindak lanjut

atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan/atau (e) pemenuhan kebutuhan hukum

dalam masyarakat.

Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah

perintah UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman untuk mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara yang berlaku di

lingkungan peradilan agama atau termasuk dalam klasifikasi Pasal 10 ayat (1)

huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Akan tetapi, dalam Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama ditemukan fakta normatif pengaturan kewenangan pencatatan

perceraian dengan memberikan kewenangan kepada panitera yang merupakan

aparat peradilan untuk menerbitkan akta perceraian. UU tersebut telah diubah

2 Maria Farida Indrawati S., Ilmu Perundang-undangan, (Kanisius: Yogyakarta, 1996), h, 196-

197.

Page 12: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

3

dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun

2009 (selanjutnya disebut UU Peradilan Agama), namun ketentuan tersebut tidak

termasuk pasal yang diubah.

UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 juga mengatur bahwa

kewenangan tersebut adalah kewenangan pegawai pencatat pada KUA Kecamatan

sehingga terjadi konflik norma (conflict of norm). Adanya norma hukum (legal

norms) sebagai legal product yang saling bertentangan sehingga menimbulkan

masalah dalam tataran pelaksanaan (law aplication) tidak dapat dipisahkan dengan

proses pembentukan hukum (law making process).

Dari sinilah penulis terbesit untuk menulis dalam sebuah skripsi yang

berjudul Relevansi Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian Dalam

Undang-Undang Peradilan Agama Terhadap Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan Yang Baik.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan terarah dengan baik, penulis membatasi masalah

dalam penulisan skripsi ini. Penulis meneliti mengenai koherensi norma hukum

(legal norm) Pasal 84 ayat 4 UU Peradilan Agama dengan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke

Page 13: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

4

regelgeving) yaitu asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan

serta perwujudan asas ketertiban dan kepastian hukum.

2. Rumusan Masalah

a. Apakah pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat

(4) UU Peradilan Agama koheren dengan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yaitu asas kesesuaian antara jenis, hierarki,

dan materi muatan?

b. Apakah pengaturan materi muatan tersebut mencerminkan asas ketertiban

dan kepastian hukum?

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84

ayat (4) UU Peradilan Agama koheren dengan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik.

b. Mengetahui pengaturan materi muatan tersebut mencerminkan asas

ketertiban dan kepastian hukum.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Menambah wawasan keilmuan tentang penerbitan akta cerai.

Page 14: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

5

b. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi/rujukan bagi yang ingin

mendalami tentang pencatatan perceraian di Indonesia.

D. Studi Review

Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah studi terdahulu

pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang

akan diangkat oleh penulis yaitu:

No. Identitas Subtansi Pembeda

1

Dualisme

Kewenangan

Pencatatan

Perceraian antara

Panitera PA dan

Pegawai Pencatat

pada KUA

Dr. Musthofa Sy,

SH, MH, Hakim

Pengadilan Agama

Giri Menang

Artikel ini menjelaskan

mengenai dualism

kewenanga pencatatan

perceraian antara

Pengadilan Agama dan

kantor Urusan Agama

Perbedaan dengan

skripsi ini adalah

penulis membahas

mengenai.

Relevansi aturan

kewenangan

pencatatan

perceraian dalam

undang-undang

peradilan agama

terhadap asas

pembentukan

peraturan

perundang-

Page 15: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

6

2

Ichtijanto, Undang-

undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama

dan Permasalahan

Perceraian di

Indonesia, dalam

Jurnal Mimbar

Hukum, Al-Hikmah

dan Dibinbapera

Islam, Jakarta, No.

17 Th. V 1994.

Membahas aturan

mengenai permasalahan

perceraian di Indonesia

undangan

Perbedaan dengan

skripsi ini adalah

penulis membahas

mengenai.

Relevansi aturan

kewenangan

pencatatan

perceraian dalam

undang-undang

peradilan agama

terhadap asas

pembentukan

peraturan

perundang-

undangan

Page 16: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

7

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,

maka penulis menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini,

adalah:

a. Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.3

b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan

yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini

antara lain:

a. Pendekatan perundang-undangan yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang

berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajian

terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan

dengan tema sentral penelitian skripsi ini khususnya berkenaan dengan

independensi hakim.4

3 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia

Publishing, 2008), h. 294.

4 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 295.

Page 17: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

8

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Pendekatan konseptual

(conceptual approach) pendekatan ini dilakukan manakala peneliti tidak

beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakuka karena memang

belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yag dihadapi. Dalam

membangun konsep ia tidak hanya melamun dan mencari dalam hayalan

melainkan pertama kali ia harus beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.5

2. Sumber Bahan Hukum

Dalam menyusun karya ilmiah yang baik agar sesuai dengan tujuan yang

diteliti maka dalam penyusunan karya ilmiah harus memiliki data yang

kompeten. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis

sumber data, yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan

perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundang-

undangan dengan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahan hukum primer yang

tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dan

5 Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2010), h, 137.

Page 18: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

9

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Admnistrasi

Kependudukan.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan

kepustakaan.6 Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang

ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-

jurnal hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang mutakhir yang

berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder

tersebut terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari

internet maupun berupa data digital.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi untuk memperoleh data yang baik dan benar

maka dibutuhkan teknik pengumpilan data. Untuk menyusun skripsi ini, teknik

pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan berisi uraian logis prosedur

pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana

bahan hukum tersebut diinterventariskan dan diklasifikasikan dengan

menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode

dokumentasi/library research. Metode dokumentasi/ library research adalah

6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar. 1992), h.51.

Page 19: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

10

mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surut kabar, media

online, majalah, dan sebagainya.7

4. Teknis Analisis Bahan Hukum

Teknis analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan

dengan pengolaan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk

menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum hakikatnya

merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhdap bahan-bahan

hukum tertulis. sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan

hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Dalam analisis bahan hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain:

a. Memilih pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tentang

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berisi kaidah-kaidah

hukum.

b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut

yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang penulis angkat sehingga

menghasilkan klasifikasi tertentu.

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitif Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press,

1985), h. 201.

Page 20: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

11

5. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam

bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan

suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Pertama, membahas mengenai pendahuluan latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,

studi review, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Kedua, membahas dualisme kewenangan pencatatan perceraian meliputi

kewenangan pencatatan perceraian persepektif undang-undang nomor 3 tahun

2006 tentang peradilan agama dan kewenangan pencatatan perceraian perspektif

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.

Ketiga, membahas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas kemanfaatan, dan

asas kepastian.

Keempat, membahas relevansi pengaturan kewenangan pencatatan

perceraian dalam undang-undang peradilan agama dengan asas pembentukan

Page 21: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

12

peraturan yang baik meliputi koherensi pengaturan kewenangan pencatatan

perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan Agama dengan asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik penerapan asas ketertiban

dan kepastian hukum dalam pengaturan materi muatan.

Sebagai penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini

penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan

sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. uraian

terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan

dengan apa yang telah penulis kaji.

Page 22: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

13

BAB II

DUALISME KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN

A. Urgensi Pencatatan Perceraian

Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik

itu suami karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri

yang menggugat cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak.

Meskipun dalam ajaran agama Islam, perceraian telah dianggap sah apabila

diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetap dilakukan di depan

pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul

sebagai dari akibat hukum atas perceraian tersebut.1

Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus

ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah

perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene

berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk

dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi

terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.

Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini.2

Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan

Agama maupun dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa perceraian

1 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007), h. 17. 2 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, h. 21

Page 23: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

14

adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian,

Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk

menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang memiliki permasalahan

dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi perceraian. Hukum Positif

menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila memenuhi unsur-unsur

cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan percek-cokan

yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk

melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.3

Permasalahannya adanya regulasi pencatatan perceraian ini telah

menimbulkan perdebatan tersendiri, mengenai dimana ia harus ditempatkan

posisinya. Dualisme peraturan terkait pencatatan perceraian tersebut mengakibat

benturan hukum dalam peraturan perundangoundangan. Apakah pencatatan

perceraian ada di Pengadilan Agama sebagaimana UU Peradilan Agama ataukah

di KUA sebagamana UU Adminduk.

Pencatatan perceraian sangatlah urgent. Selain demi terjaminnya ketertiban

akta cerai bisa digunakan untuk mendapatkan hak-hak suami atau isteri yang telah

berpisah. Kendatipun pencatatan perceraian hanya bersifat administratif tetap

harus dianggap penting karena melalui pencatatan perceraian tersebut akan

diterbitkan akta cerai yang nantinya sebagai bukti otentik jika sorang laki-laki atau

perempuan akan menikah lagi.

3 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, h. 21

Page 24: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

15

Manhaj yang digunakan dalam pengambilan hukum pencatatan perceraian

ini adalah qiyas. Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu

yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Menurut istilah

Ushul fiqh qiyas adalah:

4احلق امر غري منصوص على حكمة الشعي أبمر خمصوص كمه إلشرتاكهما يف علة حكم

Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan

hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan

illat antara keduanya.

ا الذينا ى فااكت بوه يا أاي ها م ل مسا ين إلا أاجا ايانتم بدا (282: 2)البقراة : آمانوا إذاا تادا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”.

Hukum yang terdapat pada Al Ashl adalah sunnah karena Al-Qur'an yang

menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. seperti pada

surat al-Baqarah ayat 282. Yang menunjukkan perintah mencatat perihal hutang-

piutang. Kalimat فأكتبوا adalah kalimat anjuran yang menekan, dan setiap anjuran

dalam kaidah fiqih adalah sunnah. Kesimpulannya hokum yang terdapat pada al

ashl adalah sunnah muaqad.

Illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal, dipakai sebagai dasar

hukum yang dengan illat itu dapat diketahui hukum cabang(furu’) Illat dari

4 Satria Effendi, 2005, Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana), h,130.

Page 25: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

16

pencatatan hutang piutang adalah bukti keabsahan perjanjian/transaksi muamalah

(bayyinah syar’iyah).

Kesimpulannya bahwa hukum pencatatan perceraian adalah sunnah muaqad

sebagaimana hukum pencatan dalam akad hutang piutang. Dalam kaidah

fiqhiyahnya:

5الثابت ابلرب هان كالثابت ابلعيان

“Sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan bukti(keterangan) sepadan dengan

yang telah di tetapkan berdasarkan kenyataan”.

B. Kewenangan Pencatatan Perceraian Oleh Peradilan Agama

UU NRI mengatur kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 ayat (1)

bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.6”

Kekuasaan kehakiman diatur lebih lanjut dengan UU No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan badan peradilan di bawah

Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 25 dan untuk badan peradilan agama

ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (3).7

5 Satria Effendi, 2005, Ushul Fiqh, h,130. 6 Lebih lanjut lihat Pasal 24 ayat (2) lebih lanjut menegaskan: “Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi." 7 Lebih lanjut lihat Pasal 25 ayat (3) “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang

beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.”

Page 26: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

17

Ketentuan mengenai peradilan agama diatur dengan UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun

2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.8

Berdasarkan norma-norma tersebut, pengadilan agama merupakan salah

satu penyelenggara kekuasaan kehakiman dan kewenangannya adalah

menyelenggarakan peradilan yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.

Kewenangan pengadilan agama terhadap perkara bidang perkawinan, waris,

wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah tersebut adalah

kewenangan untuk menyelenggarakan peradilan.Pasal 24 ayat (1) UUD Negara

RI Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar telah menegaskan bahwa

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan …”. Frasa “untuk menyelenggarakan peradilan”

pada kalimat tersebut berarti bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

untuk menyelenggarakan peradilan atau fungsi yudisial. Bagir Manan

memberikan rumusan bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah

kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yudisial yang

meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan

8 Kewenangan pengadilan agama ditegaskan dalam Pasal 49: "Pengadilan agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-

orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f.

zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah.”

Page 27: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

18

kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.”9

Salah satu kewenangan pengadilan agama adalah bidang perkawinan.

Bidang perkawinan di Indonesia diatur dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Perwujudan teori pembagian kekuasaan dalam bidang perkawinan

dapat dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function),

eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial

function). Fungsi legislatif adalah fungsi pembentuk undang-undang, fungsi

eksekutif atau administratif yang melaksanakan undang-undang, dan fungsi

yudikatif untuk menghakimi atau menegakkan undang- undang.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan produk

legislasi. Hans Kelsen mengemukakan bahwa fungsi eksekutif dan fungsi

yudikatif saling berkaitan erat. Eksekutif adalah pelaksana norma-norma hukum

yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Pelaksana hukum itu juga merupakan

fungsi yudikatif atau kehakiman. Keduanya mempunyai fungsi yang sama

sebagai pelaksana norma-norma hukum. Perbedaannya terletak pada yang

melaksanakan norma-norma hukum itu, yang satu dilaksanakan oleh

pengadilan, sedangkan yang lain dilaksanakan oleh organ eksekutif atau

administratif. 10

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto PP No. 9 Tahun

9 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,

(Yogyakarta: FH UII Pess, 2007), h. 29-30. 10 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971),

diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa

Media, 2013), h. 360-361.

Page 28: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

19

1975 telah menentukan bahwa pencatatan perceraian dilakukan oleh Pegawai

Pencatat pada KUA. bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama

Islam dan Pegawai Pencatat pada Kantor Pencatatan Sipil bagi yang

melangsungkan perkawinan menurut selain agama Islam.11 Fungsi yudikatif

ditegaskan dalam Pasal 63 ayat (1) bahwa kewenangan pengadilan bidang

perkawinan dibagi menjadi dua, yakni pengadilan agama bagi mereka yang

beragama Islam dan pengadilan negeri bagi yang selain beragama Islam.

Kewenangan pengadilan agama bidang perkawinan antara lain

subbidang perceraian karena talak dan gugatan perceraian. Perceraian karena

talak atau cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami yang memohon

untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Kewenangan pengadilan

agama dalam perkara cerai talak adalah memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara atau menyelenggarakan fungsi yudikatif dan produknya

berupa putusan memberi izin kepada suami untuk menjatuhkan talak terhadap

istrinya di depan sidang Pengadilan Agama. Setelah putusan tersebut

berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), pengadilan agama

menyelenggarakan sidang penyaksian ikrar talak dengan produk penetapan

yang menyatakan bahwa perkawinan putus karena cerai talak. Perceraian

terjadi sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat

11 Pasal 1 huruf d PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Page 29: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

20

dimintakan upaya hukum banding atau kasasi.12 Gugatan perceraian atau cerai

gugat adalah perceraian yang diajukan oleh istri. Produk hukum atas gugatan

perceraian adalah putusan. Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibatnya

hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.13

Kewenangan pengadilan agama adalah memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara antara lain bidang perkawinan. Untuk menyelenggarakan

kewenangan tersebut pada pengadilan agama terdapat aparat (ambtsdrager) atau

pejabat pengadilan. Pasal 45 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan bahwa “Selain hakim, pada Mahkamah Agung dan

badan peradilan di bawahnya dapat diangkat panitera, sekretaris, dan/atau juru

sita.”

Pada organisasi pengadilan, hakim adalah pejabat negara yang

menjalankan kekuasaan negara untuk menyelenggarakan peradilan yaitu

memeriksa, mengadili, dan memutus. Keberadaan panitera tidak dapat

dipisahkan dari tugas pokok pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili,

dan menyelesaikan perkara.14 Panitera adalah pejabat yang memimpin

kepaniteraan pengadilan untuk melaksanakan tugas pelayanan teknis

12 Pasal 71 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU

No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009. 13Periksa Pasal 81 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah

dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009 juncto Pasal 34

PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 14 Wildan Suyuthi M., Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi, dan Tanggung Jawab, (Jakarta:

Mahkamah Agung RI, 2002), h. 17-18.

Page 30: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

21

administrasi perkara dan administrasi peradilan lainnya.15 Panitera pengadilan

sebagai pejabat fungsional di bidang administrasi perkara tunduk dan

bertanggungjawab kepada ketua pengadilan atau ketua majelis hakim. Dalam

hukum tata negara dan hukum administrasi negara, jabatan panitera dibedakan

dengan jabatan administrasi pelaksana tugas pemerintah (bestuurvoering).16

Panitera pengadilan bukan pegawai negeri sipil yang menjalankan fungsi

eksekutif, tetapi pejabat pengadilan yang menjalankan fungsi administrasi

perkara.

Adminitrasi perkara tidak bisa dipisahkan dengan tugas pokok

pengadilan agama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yaitu menerima,

memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara. Rangkaian tugas panitera

bidang administrasi perkara meliputi kegiatan penerimaan perkara, kegiatan

penyelenggaraan persiapan persidangan, kegiatan memeriksa dan mengadili

perkara, serta kegiatan pelaksanaan putusan.

Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang

memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara tertinggi.17 Presiden

adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif. Intensitas

intervensi pemerintah berbeda- beda antara bidang yang satu dan lainnya.

Intervensi pemerintah dalam bidang perkawinan pada lingkup administrasi

15 Musthofa Sy., Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana: 2005), h. 33-46. 16 M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali, 1998), h.4. 17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 59-

64.

Page 31: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

22

belaka. Ridwan mengemukakan bahwa ada tiga kriteria untuk menentukan

suatu bidang termasuk urusan pemerintah, yaitu:

1. “Urusan itu merupakan bidang publik atau menyangkut kepentingan

umum (algemeen belang).

2. Ada intervensi atau keterlibatan pemerintah secara langsung atau tidak

langsung dalam urusan tersebut.

3. Peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan kepada

pemerintah untuk mengurus (besturen) dan mengatur (regelen) urusan

tersebut.”18

C. Kewenangan Pencatatan Perceraian Perspektif Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2013

Sebagaimana amanat UUD Negara RI Tahun 1945, UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah19 membedakan urusan

pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan

konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah

urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi

antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.

Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi

18 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 40. 19 LN RI Tahun 2014 No. 244, TLN RI No. 5587, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014.

Page 32: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

23

kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.20

Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib

dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib terdiri atas

urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar21 dan urusan

pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan

pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi

antara lain administrasi kependudukan dan pencatatan sipil.22 Pencatatan sipil

adalah pencatatan peristiwa penting yaitu kejadian yang dialami oleh seseorang

meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan

anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan

status kewarganegaraan.23 Pencatatan perceraian merupakan bagian pencatatan

sipil yang termasuk dalam ranah kewenangan pemerintah.

Kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan pencatatan

tersebut dilaksanakan oleh Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis Dinas

(UPTD) Instansi Pelaksana. Instansi Pelaksana adalah Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota, sedangkan UPTD Instansi Pelaksana

adalah UPTD Kependudukan dan Pencatatan Sipil di tingkat kecamatan.

20 Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 21 Pelayanan dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara”

meliputi pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan

permukiman; ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan sosial. Lihat Pasal 1

angka 16 jo. Pasal 11 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 22 Pasal 12 ayat (2), urusan pemerintahan pilihan diatur dalam Pasal 12 ayat (3) UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 23 Periksa Pasal 1 angka 15 dan angka 17 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan

yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013.

Page 33: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

24

Pencatatan perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi penduduk yang beragama

Islam dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUA Kec.24

Sistem hukum bersifat konsisten mengatasi konflik dan menyediakan

sarana untuk mengatasi konflik sehingga sistem hukum tidak akan membiarkan

konflik itu berlangsung berlarut-larut.25 Jika terjadi konflik norma hukum

(antinomi hukum), berlaku asas penyelesaian konflik norma yang disebut asas

preferensi hukum sebagai berikut:26

1. Lex postereore derogat legi priore, yaitu undang-undang yang baru

menegasikan atau mengalahkan undang-undang yang lama. Jika terjadi

konflik norma antara dua undang-undang yang materinya sama, sedangkan

norma dalam undang-undang yang lama tidak dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku oleh undang-undang yang baru sehingga pada saat yang sama berlaku

dua undang-undang yang mengatur materi yang sama tetapi bertentangan satu

sama lain, maka untuk mengatasi konflik tersebut berlaku prinsip undang-

undang yang baru menegasikan atau mengalahkan undang- undang yang

lama.

2. Lex supreiore derogat legi infiriore, yaitu peraturan perundang-undangan

24 Pasal 1 angka 23, Pasal 8, Pasal 40 UU No. 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU

No. 24

Tahun 2013 juncto Pasal 75 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008. 25 “Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terorganisasi, terstruktur (a structured whole)

yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan

mendakan kerja sama untuk kepentingan dan tujuan kesatuan”. Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum,

(Yogyakarta: Universitas Arma Jaya, 2011), h. 51-55. 26 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Arma Jaya, 2011), h. 51-55,

Lihat juga Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum., (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2011), h. 31-32.

Page 34: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

25

yang lebih tinggi menegasikan atau mengalahkan peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah.

3. Lex specialis derogat lex generalis, yaitu undang-undang yang bersifat

khusus menegasikan atau mengalahkan undang-undang yang bersifat umum.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab keberlakuan norma karena

adanya konflik norma antara Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan Agama27 dan

norma dalam UU Adminduk. Berdasarkan fakta hukum ditemukan ada dua

undang-undang mengatur materi yang sama yakni kewenangan pencatatan

perceraian berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan agama. Pasal 84

ayat (4) UU Peradilan Agama mengatur kewenangan tersebut adalah

kewenangan panitera pengadilan agama, sedangkan norma dalam UU

Adminduk mengatur kewenangan tersebut adalah kewenangan pegawai

pencatat pada KUA.

Norma yang mengatur pencatatan perceraian adalah kewenangan

panitera pengadilan agama terdapat dalam Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada 29 Desember 1989.

Ketika UU tersebut diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 pada 28 Februari

2006, norma tersebut tidak termasuk yang diubah. Demikian pula ketika

perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009 pada 29 Oktober 2009,

27 Pasal 84 ayat (4) yang berbunyi: Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat

bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang

memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Page 35: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

26

norma tersebut tidak diubah.28

Norma yang mengatur pencatatan perceraian adalah kewenangan

pegawai pencatat pada KUA Kec. terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan yang diundangkan pada 29 Desember

2006. UU tersebut diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan

atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada 24

Desember 2013.

Dalam ketentuan peralihan UU No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan tidak ditemukan ketentuan yang mencabut atau

menyatakan tidak berlaku ketentuan Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang saat itu telah diubah dengan UU No. 3 Tahun

2006. Demikian pula dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas

UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, tidak ditemukan

ketentuan yang mencabut atau menyatakan tidak berlaku ketentuan Pasal 84 ayat

(4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan

UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Akibatnya, ada dua norma

yang sama berlaku mengatur materi yang sama dan bertentangan satu sama lain.

Salah satu asas pereferensi hukum adalah asas lex postereore derogat

legi priore, artinya undang-undang yang baru menegasikan atau mengalahkan

undang-undang yang lama. Undang-undang yang baru dalam konflik norma ini

28 Lihat UU No. 7 Tahun 1989, UU No. 3 Tahun 2009, dan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang

Peradilan Agama.

Page 36: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

27

adalah UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana

diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013. UU tersebut merupakan penjabaran

amanat UUD Negara RI Tahun 1945 dalam Pasal 26 ayat (3) bahwa “hal-hal

mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan Undang-undang.”

Pengaturan dalam undang-undang yang lama dalam konflik norma ini

adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dibentuk

untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.29 Kendati UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama tersebut pada era Reformasi telah diubah dengan

UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun

2009, akan tetapi norma pengaturan kewenangan pencatatan perceraian

dalam Pasal 84 ayat (4) tersebut tidak diubah. Oleh sebab itu, sesuai dengan

asas lex postereore derogat legi priore, norma yang mengatur kewenangan

pencatatan perceraian dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 menegasikan norma

Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah

dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun

2009.

Asas preferensi hukum lainnya adalah asas lex supreiore derogat

legi infiriore dan asas lex specialis derogat lex generalis. Fakta hukum berupa

29Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

sebagai berikut: “Susunan, Kekuasaan, dan Acara dari Badan-badan Peradilan seperti dalam Pasal 10

ayat (1) diatur dalam Undang-undang tersendiri.”

Page 37: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

28

konflik norma dalam penelitian ini terjadi dalam dua undang-undang yang

berkedudukan sama dan bukan antara undang-undang yang bersifat umum dan

khusus. Penggunaan asas lex supreiore derogat legi infiriore dan asas lex

specialis derogat lex generalis tersebut berlaku harus dalam regim hukum yang

sama dan sederajat30 sehingga asas-asas tersebut tidak dapat digunakan untuk

menyelesaikan konflik norma dalam pembahasan ini.

Asas-asas tersebut ditujukan kepada pelaksana atau yang

menjalankan undang- undang, bukan ditujukan kepada pembentuk undang-

undang. Pembentuk undang-undang harus menentukan kepastian norma yang

berlaku dengan mengatur secara eksplisit jika menghendaki mengubah norma

yang lama. Jika terjadi kealpaan dalam pembentukan undang-undang sehingga

terjadi konflik norma sebagaimana dalam pembahasan ini, maka berlaku asas

preferensi hukum yakni hukum yang baru menegasikan hukum yang lama.31

30 Bagir Manan, Hasbi Doktor Ilmu Hukum, (Jakarta: Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun

XXV No. 291 Februari 2010), h. 11-12. 31 Bagir Manan, Hasbi Doktor Ilmu Hukum, h. 11-12.

Page 38: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

29

BAB III

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DI INDONESIA

A. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu

pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik. Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan

peraturan.

Selanjutnya dalam Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-undangan

berisi Pasal 5, 6, dan 7 UU No. 12 Tahun 2011, ditentukan pula bahwa dalam

membentuk Peraturan Perundang-Undangan harus berdasarkan pada asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas- asas yang

dimaksud itu meliputi:

1. Kejelasan Tujuan

Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang

jelas yang hendak dicapai.1

1 Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan , (Jakarta, P.T. Tatanusa. 2005), h. 40.

Page 39: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

30

2. Kelembagaan atau Organ Pembentuk Yang Tepat

Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang

tepat”adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat

oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang.2 Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal

demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.3

3. Kesesuaian Antara Jenis dan Materi Muatan

Asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam

pembentukan peraturan perundangan-undangan harus benar-benar

memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-

undangannya.4

4. Dapat Dilaksanakan

Asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-

undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun

sosiologis.

2Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h, 260. 3Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, h. 40. 4 A. Hamid S. Attamimi, 1993 “Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) dan Teori

Perundangundangan (Gesetzgebungstheorie) serta pengajarannya di Fakultas Hukum”. Dalam Maria

Farida Indrati Soeprapto (1998) Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya,

(Kanisius, Yogyakarta, 1998), h. 258.

Page 40: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

31

5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

Asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan

Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

6. Kejelasan Rumusan

Asas “kejelasan rumusan” yaitu bahwa setiap peraturan Perundang-

undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan

perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta

bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan

interpretasi dalam pelaksanaannya.

7. Keterbukaan

Asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan,

dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh

lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk seluas-luasnya

memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya, Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 juga menentukan

adanya asas-asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap Peraturan

Perundang-undangan. Asas-asas yang dimaksud adalah asas:

Page 41: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

32

1. Pengayoman

Asas “pengayoman” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka

menciptakan ketentraman masyarakat.

2. Kemanusiaan

Asas “kemanusiaan” yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan

hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara profesional.

3. Kebangsaan

Asas “kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia

yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan

Republik Indonesia.

4. Kekeluargaan

Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminakn musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.5

5Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan , h. 43 .

Page 42: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

33

5. Kenusantaraan

Asas “kenusantaraan”, yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh wilayah

Indonesia dan meteri muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di

daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila.6

6. Bhinneka Tunggal Ika

Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

memerhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi

khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah

sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.7

7. Keadilan

Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa

kecuali.

8. Kesaman Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan

Bahwa setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-

hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,

suku, ras, golongan, gender, atau, status sosial.

6Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan , h. 43. 7 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h, 260.

Page 43: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

34

9. Ketertiban dan Kepastian Hukum

Bahwa setiap materi perundang-undangan harus dapat menimbulkan

ketertiban dalam masyarat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

10. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan

Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan

bangsa dan negara.

Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yaitu:

1. Undang-Undang Dasar;

2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peratura Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, kekuatan

hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

B. Materi Muatan Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan

Lainnya

1. Materi Muatan Undang-Undang (sebelum perubahan UUD 1945)

Page 44: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

35

Istilah muatan Undang-undang ini pertama kali diperkenalkan oleh A.

Hamid Attamimi, dalam Majalah hukum dan pembangunan No. 3 Tahun ke-IX,

Mei 1979, sebagai terjemahan dari ‘het eigenaardig onderwerp der wet’.8

A. Hamid Attamimi berpendapat bahwa materi muatan Undang-Undang

Indonesia merupakan hal yang penting untuk kita teliti dan kita cari, oleh

karena pembentukan Undang-Undang suatu Negara bergantung pada cita

Negara dan teori bernegara yang dianutnya, pada kedaulatan dan pembagian

kekuasaan dalam negaranya pada sistem pemerintahan negara yang

diselenggarakannya.

Apabila dilihat pada tata susunan (hierarki) dari peraturan perundang-

undangan di Indonesia, maka hal tersebut bukan hanya ditetapkan semata-mata,

akan tetapi hal itu lebih dikarenakan peraturan perundang-undangan di

Indonesia selain dibentuk oleh lembaga yang berbeda juga masing-masing

mempunyai fungsi dan sekaligus materi muatan yang berbeda sesuai dengan

jenjangnya, sehingga tata susunan, fungsi dan materi muatan perundang-

undangan itu selalu membentuk hubungan fungsional anatara peraturan yang

satu dengan yang lainnya.9

Sebagai mana telah diketahui bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945

tidak ditetapkan hal-hal apa saja yang menjadi materi muatan dari undang-

undang, akan tetapi di dalamnya ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai

8 A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-Undangan, h. 234. 9 A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-Undangan, h. 235.

Page 45: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

36

untuk mencari dan menemukannya. Untuk menemukan materi muatan

Undang-Undang, dapat digunakan tiga pedoman, yaitu:

1. Dari Ketentuan Batang Tubuh UUD 1945

Apabila dilihat dalam batang tubuh UUD 45 maka dapat ditemukan 18

masalah yang harus diatur, ditetapkan, atau dilaksanakna berdasarkan

Undang-Undang. Dari kedelapan belas pasal tersebut dapat dikelompokkan

menjadi tiga kelompok:

a. Kelompok hak-hak (asasi) Manusia: Pasal 12, Pasal 23 (2), Pasal 23 (3),

Pasal 26 (1), Pasal 26 (2), Pasal 28, Pasal 30 (2), Pasal 31 (1).

b. Kelompok pembagian kekuasaan Negara: Pasal 2 (1), Pasal 19 (1), Pasal

24 (1), Pasal 24 (2), dan Pasal 25.

c. Kelompok penetapan organisasi dan alat kelengkapan Negara: Pasal 16

(1), Pasal 18, Pasal 23 (1), Pasal 23 (4), dan Pasal 23 (5).

Dari pengelompokan ketentuan dalam batang tubuh UUD 1945

tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengaturan tentang hal-hal yang

mengenai hak-hak mengenai asas manusia, pembagian kekuasaan Negara,

dan penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara (dalam hal ini

lembaga tertinggi dan tinggi negara), ditetapkan dengan Undang-Undang.10

2. Berdasarkan Wawasan Negara Berdasar Atas Hukum

Dalam penjelasan UUD 1945 ditentukan bahwa Negara Indonesia

ialah Negara yang berdasarkan atas hukum. Wawasan Negara yang

10 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 234

Page 46: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

37

berdasarkan atas hukum ini mengandung beberapa konsekuensi di bidang

perundang-undangan, oleh karena itu menyangkut masalah pembagian

kekuasaan Negara dan perlindungan hak-hak manusia.

Wawasan negara berdasar atas hukum ini dimulai dengan terbentuknya

Polizeistaat sampai pada perkembangan yang terakhir sebagai Rechtsstaat

material atau sosial, dimana perkembangan tersebut secara singkat dapat

diuraikan sebagai berikut: 11

1. Polizeistaat

Polizeistaat ini terbentuk sebagai reaksi dari adanya kekuasaan negara yang

absolut (monarki absolut), yang menguasai seluruh perikehidupan manusia.

Dalam amsa polizeistaa salah satu cirinya adalah bahwa undang-undang itu

dibentuk dengan tujuan mengatur untuk semua rakyat, tetapi pengaturannya

tidak oleh rakyat sendiri melainkan oleh negara.

2. Rechtsstaat Sembit/Liberal

Dalam negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal ini negara

mempunyai fungsi untuk menjaga ketertiban dan ketenangan masyarakat,

sehingga negara hanya bertindak apabila ada gangguan terhadap ketertiban

dan ketenangan masyarakat. Ciri-ciri dari negara berdasar atas hukum yang

sempit/liberal ini adalah mulai terlihat adanya pengaturan dalam undang-

undang yang bercirikan:

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia.

11 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 234

Page 47: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

38

b. Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.

3. Rechtsstaat Formal

Dalam negara berdasar atas hukum formil ini, negara sudah mulai

melaksanakan pengaturan untuk kepentingan masyarakat dan tidak dapat

lagi melaksanakan/menyelenggarakan segala kebutuhannya sendiri, tetapi

untuk hal-hal tertentu telah disarankan perlunya campur tangan pemerintah

atau negara sesuai yang ditentukan dalam undang-undang.

Ciri-ciri dari reechtsstaat formal ini ditandai dengan adanya:

- Prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia.

- Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.

- Prinsip pemerintahan berdasar undang-undang.

- Prinsip adanya peradilan administrasi.12

4. Rechtsstaat Material/Sosial.

Rechtsstaat material/sosial yang sering juga disebut dengan weelfare

state atauverzorgingstaat atau negara bedasar atas hukum modern. Dalam

negara berdasar atas hukum yang modern ini penguasaan terhadap

pemerintahan negara itu selain dengan undang-undang dapat juga dilakukan

dengan peraturan yang berada dibawah undang-undang. .

12 Dengan adanya prinsip pemerintahan berdasar undang-undang dan adanya peradilan

administrasi, diharapkan bahwa hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat dapat diselenggarakan oleh

negara atau penguasa dan sekaligus menghindari adanya tindakan-tindakan penguasaan negara yang

sewenang-wenang atau tidak berdasarkan ketentuan undang-undang.

Page 48: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

39

Dalam negara berdasar atas hukum materil ini negara berkewajiban

menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, sehingga campur tangan

pemerintah dalam mengurusi kepentingan ekonomi rakyat, kepentingan

politik dan sosial, kepentinagn budaya dan lingkungan hidupnya serta

masalah-masalah lainnya tidak dapat dielakkan, oleh karena negara bertugas

mengurusi rakyat, dan disamping itu undang-undang diharapkan

memberikan pengarahan kepada pemerintah dalam hal perlindungan hak-hak

asasi warga negara.

Ciri-ciri dari rechtsstaat material/sosial ini ditandai dengan adanya:

- Prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia.

- Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.

- Prinsip pemerintahan berdasar undang-undang.

- Prinsip peradilan administrasi.

- Prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat.13

3. Berdasarkan Wawasan Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi

Berdasarkan wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi

merupakan pasangan adanya wawasan negara berdasar atas hukum. Dalam

wawasan pemerintahan berdasarkan sitem konstitusi ini, kewenangan

pemerintah beserta segala tindakannya dalam menjalankan tugas-tugasnya

13 Dapat diambil kesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia adalah termasuk dalam negara

berdasar atas hukum material/sosial, hal ini dapat ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alenia

keempat.

Page 49: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

40

dibatasi oleh adanya konstitusi (hukum dasar) negara tersebut. Oleh karena

Negara Republik Indonesia menganut adanya wawasan pemerintahan

berdasar sitem konstitusi, maka kekuasaan perundang-undangan di Negara

Republik Indonesia terikat oleh UUD dan Hukum Dasar, sedangkan

kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan peradilannya terikat oleh undang-

undang dan hukum negara.

Penjelasan UUD 1945 menentukan pelimpahan kewenangan kepada

undang-undang untuk mengatur hal-hal yang merupakan pengaturan lebih

lanjut dari Undang-Undang Dasar, dan pembentukan undang-undang itu

memerlukan persetujuan DPR. Selain itu, Presiden mempunyai

kewenangan membentuk peraturan pemerintah bagi pelaksanaan lebih

lanjut dari undang-undang, serta adanya kewenangan Presiden untuk

membentuk peraturan lainnya dalam menjalankan pemerintahan, sehingga

sebenarnya seluruh peraturan yang ada di Indonesia ini dapat

dikelompukkan menjadi dua bagian:14

a. Peraturan perundang-undangan yang memerlukan persetujuan DPR,

yaitu undang-undang.

b. Peraturan perundang-undangan yang tidak memerlukan persetujuan

DPR, yaitu keputusan Presiden, dimana peraturan perundang-

14 Lihat Penjelaan UUD NRI 1945.

Page 50: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

41

undangan disini merupakan peraturan yang sifatnya delegasian atau

atribusian dari undang-undang.

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditemukan adanya 9 butir materi

muatan dari undang-undang Indonesia, yaitu hal-hal:

a. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR

b. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD,

c. Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia.

d. Yang mengatur hak dan kewajiban warga negara.

e. Yang mengatur pembagian kekuasaan negara.

f. Yang mengatur organisasi pokok, lembaga-lembaga tertinggi/tinggi

negara.

g. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara.

h. Yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan

kewarganegaraan.

i. Yang dinyatakan suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-

undang.

Berdasarkan adanya sembilan butir materi muatan undang-undang

tersebut, yang merupakan pena-pena penguji, maka untuk menetapkan

pengaturan suatu masalah haruslah diuji terlebih dahulu dengan sembilan

butir materi muatan tersebut. Apabila masalah yang akan diatur itu sesuai

Page 51: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

42

dengan butir-butir materi muatan tersebut, maka masalah tersebut harus

diatur dalam bentuk undang-undang, dan sebaliknya.15

2. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya (sebelum

perubahan UUD 1945)

1. Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang merupakan peraturan

yang setingkat dengan undang-undang yang dibuat dengan kegentingan yang

memaksa, dibentuk oleh presiden, dan mempunyai fungsi yang sama dengan

undang-undang.

Oleh karena peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah

peraturan pemerintah yang setingkat dengan undang-undang, maka materi

muatannya adalah sama dengan materi muatan dari undang-undang.

2. Materi Muatan Peraturan Pemerintah

Peraturan pemerintah adalah peraturan yang dibentuk sebagai

peraturan yang menjalankan undang-undang, atau peraturan yang dibentuk

agar ketentuan dalam undang-undang dapat berjalan. Peraturan pemerintah

ini dibentuk oleh presiden, dan berfungsi menyelenggarakan ketentuan

dalam undang-undang baik secara tegas maupun secara tidak tegas

menyebutnya. Oleh karena itu materi muatan peraturan pemerintah adalah

keselurahan materi muatan undang-undang yang dilimpahkan kepadanya,

15 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 236

Page 52: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

43

atau dengan perkataan lain materi muatan peraturan pemerintah adalah sama

dengan materi muatan undang-undang sebatas yang dilimpahkan kepadanya.

3. Materi Muatan Keputusan Presiden

Keputusan presiden adalah peraturan yang dibentuk oleh presiden

sebagai penyelenggara fungsi pemerintahan sesuai dengan Pasal 4 (1) UUD

1945, dimana fungsi disini merupakan atribusi dari UUD 1945, sedangkan

fungsi dari keputusan presiden lainnya adalah menyelenggarakan pengaturan

lebih lanjut dari peraturan pemerintah baik secara tegas-tegas

pemerintahannya atau yang tidak secara tegas-tegas, dimana fungsi di sini

merupakan deligasi dari peraturan pemerintah.16

4. Materi Muatan Peraturan Di Bawah Keputusan Presiden

Materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan

materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi

muatan undang-undang, atau keputusan presiden, oleh karena peraturan

perundang-undangan lainnya merupakan peraturan pelaksanaan undang-

undang dan keputusan presiden.17

16 kedua fungsi tersebut, maka materi muatan dari suatu keputusan presiden tersebut merupakan

materi muatan sisa dari materi muatan Undang-Undang dan peraturan pemerintah, yaitu materi yang

bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan peraturan

pemerintah. Dalam hal luas dan batas lingkupnya, maka kewenangan yang bersifat atribusi yaitu dalam

membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan kewenangan yang sangat luas dibandingkan

dengan kewenangan yang berasal dari delegasi undang-undang atau peraturan pemerintahannya.

17 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 238

Page 53: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

44

3. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan (sesudah Perubahan

UUD 1945)

Setelah perubahan UUD 1945, pendapat mengenai materi muatan

undang-undang dan peraturan dan peraturan perundang-undangan lainnya

yang dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi tersebut secara resmi diakui.

Pengakuan tersebut dituangkan dalam rumusan pasal-pasal undang-undang

No. 10/2004 tentangpembentukan peraturan perundang-undangan yang

merupakan pelaksanaan dari Pasasl 22 A UUD 1945 perubahan, dan Pasal 6

Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.

Dengan berlakunya UUD 1945 perubahan, cara mencari dan

menemukan materi muatan undang-undang tetap dapat dilaksanakan melalui

ketiga cara yang diajukan oleh A. Hamid S. Attamimi, yaitu melalui:18

I. Ketentuan batang tubuh UUD 1945.

Berbeda dengan pendapat A. Hamid H. Attamimi yang

mengelompokkan ke 18 materi muatan yang dinyatakan secara tegas

oleh UUD 1945 (sebelum perubahan) kedalam 3 kelompok masalah

yang mempunyai kesamaan, ssat ini ke 43 hal yang dinyatakan secara

tegas oleh UUD 1945 perubahan tersebut dapat dibagi kedalam 3

kelompok yang memiliki kesamaan, dan 3 kelompok lainnya, walaupun

pembagiann tersebut tidak dapat dibedakan secara tegas, karena adanya

18 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 238

Page 54: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

45

hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Pembagian tersebut

sebagai berikut:

a. Kelompok lembaga negara: Pasal 2 ayat 1, pasal 6 ayat 2, pasal 6A ayat

5, pasal 19 ayat 2, pasal 20A ayat 4, pasal 22B, pasal 22C ayat 4, pasal

22D ayat 4, pasal 23G ayat 2, pasal 24 ayat 3, pasal 24A ayat 5, pasal

24B ayat 4, pasal 24C ayat 6, dan pasal 25.

b. Kelompok penetapan organisai dan alat kelengkapan negara: pasal 16,

pasal 17 ayat 4, pasal 18 ayat 1, pasal 18 ayat 7, pasal 18A ayat 1, pasal

23D, pasal 23 ayat 4, pasal 23 ayat 5.

c. Kelompok hak-hak (asasi) manusia: pasal 12, pasal 15, pasal 18A ayat

2, pasal 18B ayat 1, pasal 18B ayat 2, pasal 22E ayat 6, pasal 23 ayat 1,

pasal 23A, pasal 23B, pasal 23D, pasal 23E ayat 3, pasal 26 ayat 1, pasal

26 ayat2, pasal 28, pasal 28I ayat 5, pasal 30 ayat 5, pasal 31 ayat 1,

pasal 33 ayat 5, dan pasal 34 ayat 4.

d. Kelompok pengaturan wilayah negara: Pasal 25A.

e. Kelompok pengaturan atribut negara: pasal 36C.

f. Kelompok lain-lain: pasal 11 ayat 3, pasal 22A.

II. Berdasarkan Wawasan Negara Berdasar Atas Hukum (Rechtsstaat)

Dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Perubahan, ditentukan bahwa

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Wawasan negara

yang berdasarkan atas hukum ini memilik beberapa konsekuensi di

Page 55: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

46

bidang perundang-undangan, oleh karena hal itu menyangkut masalah

pembagian kekuasaan negara dan perlindungan hak-hak (asasi) manusia.

III. Berdasarkan Wawasan Pemeritahan Berdasarkan Sistem Konsitusi

Wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi ini merupakan

pasangan adanya wawasan negara berdasarkan sistem kostitusi ini,

kewenangan pemerintah beserta segala tindaknya dalam menjalankan

tugas-tugasnya dibatasi oleh adanya konstitusi (Hukum Dasar) negara

tersebut.

Oleh karena Negara Republik Indonesia menganut adanya wawasan

pemerintahan berdasar sistem konstitusi, maka kekuasaan perundang-

undangan di Negara Republik Indonesia terikat oleh Undang-Undang

Dasar dan Hukum Dasar, sedangkan kekuasaan pemerintahan dan

kekuasaan peradilannya terikat oleh Undang-Undang dan hukum

negara.

Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan hal mengenai materi muatan undang-

undang dan peraturan perundang-undangan lainnya dirumuskan dalam

pasal-pasalnya. Perumusan materi mauatan Undang-Undang dan

peraturan perundang-undangan lainnya tersebut adalah sebagai

berikut:19

19 Lihat UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Page 56: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

47

1. Materi Muatan Undang-Undang

Materi muatan Undang-Undang secara rinci dirumuskan dalam

pasal 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagai berikut:

a. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, yang meliputi:

1) Hak-hak asasi manusia;

2) Hak dan kewajiban warga negara;

3) Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian

negara dan pembagian daerah;

4) Wilayah negara dan pembagian daerah;

5) Kewarganegaraan dan kependudukan;

6) Keuangan negara,

b. Diperintahkan oleh Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-

Undang.

2. Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPU)

Dalam penjelasan pasal 22 UUD 1945 dinyatakan bahwa Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) adalah peraturan yang

setingkat dengan Undang-Undang, sehingga dalam pasal 9 Undang-

Page 57: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

48

Undang No. 10 Tahun 2004 ditetapkan materi muatan PERPU adalah

sama dengan materi muatan Undang-Undang.20

3. Materi Muatan Peraturan Pemerintah

Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah seluruh materi muatan

Undang-Undang tetapi sebatas yang dilimpahkan, artinya sebatas yang

perlu dijalankan atau diselenggarakan lebih lanjut oleh Peraturan

Pemerintah.

Pasal 10 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 pasal 9 menetapkan

bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Dalam penjelasan pasal 10 dirumuskan, bahwa yang dimaksud

dengan sebagaimana mestinya adalah materi muatan yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur

dalam Undang-Undang yang bersangkutan.

4. Materi Muatan Peraturan Presiden

Seperti pendapat A. Hamid S. Attamimi, setelah mengetahui dan

menemukan apa yang menjadi materi muatan Undang-Undang dan

materi muatan Peraturan Pemerintah, maka dapat diketahui materi

muatan sisanya, yaitu materi muatan dari Keputusan Presiden (sekarang

Peraturan Presiden), baik yang bersifat delegasi maupun atribusi.

20 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 238.

Page 58: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

49

Dalam pasal 11 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 ditetapkan

bahwa “materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang

diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan

Peraturan Pemerintah.”

5. Materi Muatan Peraturan Daerah

Dalam pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 menetapkan bahwa materi

muatan Peraturan Daerah, adalah seluruh materi muatan dalam rangka

menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan

menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

6. Materi Muatan Peraturan Desa

Dalam pasal 13 UUD No. 10 Tahun 2004 ditetapkan bahwa materi

muatan Peraturan Desa atau yang setingkat, adalah seluruh materi

muatan dalam rangka menyelenggarakan urusan desa atau yang

setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi. Menurut penjelasan pasalnya, yang dimaksud dengan

“yang setingkat” adalah nama lain dari pemerintahan tingkat desa.21

C. Asas Kepastian dan Kemanfaatan

Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan

masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan

21 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, h. 243

Page 59: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

50

dengan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya

dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.

Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi

karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum yang sudah dilanggar itu harus

ditegakkan. Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam

penegakan hukum, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum

(Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).22

Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya

hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya

tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal juga dengan istilah fiat justitia et

pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang

diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan

yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya

kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan

kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat

mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah

untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi

22Gustav Radbruch: Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, Zweckmaβigkeit, dikutip oleh Shidarta

dalam tulisan Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan,dari buku

Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010), h. 3.

Page 60: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

51

manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan.

Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.

Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus

dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Kepastian hukum sangat

identik dengan pemahaman positivisme hukum. Positivisme hukumberpendapat

bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan

berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit.23

Undang-undang dan hukum diidentikkan.24 Hakim positivis dapat dikatakan

sebagai corong undang-undang. Montesquieu menuliskan dalam bukunya “De

l’esprit des lois” yang mengatakan:

Dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya

bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai

dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara

tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan

perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat

mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya.25

Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika

dariMontesquieu, yang menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan

legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan

oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan

23 Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2001), h. 42-43. 24Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana

(Bandung: Alumni, 2005), h.120. 25 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), h. 114.

Page 61: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

52

pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.26 Penegakan hukum yang

mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah apabila penegakan

hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak dapat

diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.

Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum.

Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak

menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan

sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum

itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik

beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan keadilan

dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam menegakkan hukum

itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai

dasar kemanfaatanmerupakan suatu kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai

dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara yuridis harus

diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.

Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang

saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh

mengemukakan:27

26 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum (Progresif,Jakarta:

Sinar Grafika, 2010), h.30. 27 Roeslan Saleh dikutip dalam Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu (Jakarta: Diandra

Press, 2008), h, 121-122.

Page 62: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

53

“Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap

kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu

peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka

semakin besar pada kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak.

Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan

memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada

kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan

dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus

mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.

Roscue Pound sebagai salah satu ahli hukum yang bermazhab pada

Sosiological Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang menyatakan bahwa,

“hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of

social engineering)”28. Hal inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto

Raharjo dengan menyatakan, ”bahwa hukum adalah untuk manusia, pegangan,

optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam

berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.

Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk

manusia, bukan manusia untuk hukum”.29

28 Darji Darmodiharjo, Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filosafat

Hukum Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1995), h.113. 29 Abdul Halim, Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya

dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, h. 390. Diakses dariwww.google.com pada 14 April

2016.

Page 63: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

54

Dengan demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur yang

sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki kultur

masyarakat yang beragam dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat

mengharapkan keadilan dan kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur

kepastian hukum. Keadilan merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan

hukum pun harus mewujudkan hal demikian. Disamping kepastian hukum dan

keadilan, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan.

Kemanfaatan dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa

dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Menurut

aliran Utilitarianisme, penegakan hukum mempunyai tujuan berdasarkan manfaat

tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas

perbuatan pembuat pidana, bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.30 Kemanfaatan disini diartikan sebagai

kebahagiaan (happiness). Hukum yang baik adalah hukum yang memberikan

kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Jeremy

Bentham,bahwa:

“Pemidanaan itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa

kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah

30 Syaiful Bakhri, Pidana Denda Dan Korupsi (Yogyakarta: Total Media, 2009), h. 129.

Page 64: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

55

dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima

apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.31

Maka, apabila melihat hal yang ideal berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan

penegakan hukum yang telah dikemukakan di atas, penegakan hukum di Indonesia

terlihat cenderung mengutamakan kepastian hukum. Harmonisasi antar unsur yang

diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat sulit diterapkan di Indonesia.

Aparat penegak hukum cenderung berpandangan, hukum adalah perundang-

undangan dan mengutamakan legal formil dalam setiap menyikapi fenomenal

kemasyarakatan.

31 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 275

Page 65: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

56

BAB IV

RELEVANSI PENGATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN

DALAM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA DENGAN

ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN YANG BAIK

A. Koherensi Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian Dalam Pasal 84 Ayat (4) UU

Peradilan Agama Dengan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang

Baik

Untuk membahas koherensi norma tersebut perlu dibahas terlebih dahulu

mengenai asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dasar ontologis

pembentukan undang-undang, dan ratio legis pengaturan kewenangan pencatatan

perceraian sehingga kewenangan tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama.

1. Asas Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal

5 mengatur sebagai berikut:

“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada

asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan

f. kejelasan rumusan; dan

Page 66: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

57

g. keterbukaan.”

Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud asas

kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah “dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang

tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.”

Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan merupakan konsekuensi

adanya jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan sebagai berikut:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) menguraikan lebih lanjut bahwa yang dimaksud

dengan hierarki adalah “penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang

didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

Page 67: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

58

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Penggunaan istilah “materi muatan” dikenalkan oleh Abdul Hamid Saleh

Attamimi sebagai pengganti istilah dalam bahasa Belanda het onderwerp dalam

rangkaian kata het eigenaardig onderwerp der wet yang digunakan oleh Thorbecke

dalam Aantekening op de Grondwet yang diterjemahkan sebagai berikut:

“Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dari orang/badan hukum

yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa

yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan

dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan Grondwet-grondwet lainnya.

Grondwet (ini pun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas

bagi wet (het eignaardig oderwerp der wet).1

Rangkaian kata het eigenaardig onderwerp der wet diterjemahkan “materi muatan

yang khas bagi undang-undang” yakni materi pengaturan yang khas hanya dan semata-

mata dimuat dalam undang-undang dan karena itu menjadi muatan undang-undang.2

Pengertian materi muatan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 1 angka 13 bahwa “materi

muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan

perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-

undangan.” Materi muatan undang-undang ditentukan dalam Pasal 10:

(1) “Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi:

1 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indoensia, Jakarta, 1990, h. 205. 2 Maria Farida Indrawati S., Ilmu Perundang-Undangan, h. 123.

Page 68: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

59

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.”

(2) “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.”

Ketentuan materi muatan undang-undang dalam Pasal 10 tersebut akan dijadikan

dasar pengujian koherensi materi muatan UU Peradilan Agama berkenaan dengan

pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4).

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan

pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Penegasan kata

“harus” dalam rumusan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan tersebut menunjukkan adanya kaidah hukum perintah. Perintah

adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu sehingga merupakan kewajiban pembentuk

peraturan perundang-undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan

mendasarkan pada asas tersebut.

1. Dasar Ontologis Undang-undang Peradilan Agama

Dasar ontologis pembentukan UU dapat dicermati dalam konsiderans, dasar

hukum, dan penjelasan umum. Dasar ontologis UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Page 69: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

60

Agama dapat dicermati dalam tabel berikut.

Tabel Dasar Ontologis UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Pasal 10 ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradian Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.”

Pasal 12 “Susunan, Kekuasaan, dan Acara dari Badan-badan Peradilan seperti dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-undang tersendiri.”

UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Konsiderans “Menimbang”

huruf e

“bahwa sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dipandang perlu menetapkan Undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.”

Dasar Hukum “Mengingat”

1 Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang- undang Dasar 1945“

2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).”

3 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316).”

Bab IV Hukum Acara

Pasal 84 ayat (4)

“Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah

putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.”

Penjelasan Umum angka 1

paragraf 5

“Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan, Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketetuan dan asas yang tercantum dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).”

Penjelasan Umum angka 5

“Undang-undang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga mengatur Hukum Acara Peradilan.”

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa pembentukan UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama merupakan pelaksanaan UU No. 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman untuk mengatur susunan, kekuasaan,

Page 70: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

61

dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.3

Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian yang memberikan kewenangan

kepada panitera untuk menerbitkan akta perceraian terjadi pada saat pembentukan UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradillan Agama. Kewenangan tersebut diatur dalam Bab IV

Hukum Acara Bagian Kedua Pemeriksaan Sengketa Perkawinan Pasal 84 ayat (4).

Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dimasukkan dalam bagian Bab Hukum

Acara khususnya bagian pemeriksaan sengketa perkawinan. Oleh sebab itu, perlu

ditelusuri ruang lingkup hukum acara perdata di pengadilan agama untuk menemukan

jawaban apakah pengaturan tersebut merupakan bagian hukum acara.

Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum

perdata material mulai pengajuan gugatan, pemeriksaan perkara, putusan, dan

pelaksanaan putusan pengadilan. Dengan pernyataan lain, ruang lingkup hukum acara

perdata adalah hukum yang mengatur mengenai tata cara mengajukan gugatan ke

pengadilan, cara pihak tergugat mempertahankan diri atas gugatan penggugat, cara para

hakim bertindak baik sebelum dan ketika pemeriksaan dilaksanakan, cara hakim

memutus perkara yang diajukan oleh penggugat, dan cara melaksanakan putusan sesuai

peraturan perundangan-undangan yang berlaku sehingga hak dan kewajiban sebagaimana

3Dasar ontoligis UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradillan Agama untuk menyesuaikan dengan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan

perubahan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah

dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Perubahan penting terhadap UU No. 14 Tahun 1970 adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan-

badan peradilan yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi

berada di bawah Mahkamah Agung. Pembentukan UU No. 50Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradillan Agama sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap UU No. 3 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahan atas UU No. 22

Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Page 71: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

62

dalam hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.4

Hukum acara pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap

pendahuluan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap

persiapan sebelum acara pemeriksaan di persidangan, seperti mengajukan gugatan. Tahap

penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan yang dimulai dari jawab menjawab,

pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan

putusan sampai selesai.5 Putusan perceraian bersifat konstitutif, artinya putusan yang

menimbulkan keadaan hukum baru. Para pihak yang berstatus sebagai suami istri berubah

statusnya menjadi duda dan janda setelah putusan perceraian tersebut berkekuatan hukum

tetap. Putusan konstitutif tidak perlu pelaksanaan putusan.

UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur hukum acara dalam

Bab IV Hukum Acara mulai Pasal 54 sampai dengan Pasal 91. Bab IV Hukum Acara

tersebut diawali penegasan dalam ketentuan Pasal 54:

“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang

ini.”

Hukum acara yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

merupakan lex specialis hukum acara perdata. Keterangan Pemerintah atas RUU

Peradilan Agama pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Januari 1989 mengenai materi

4 Abdul Manan, Penerapam Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Prenada Media,

Jakarta, 2005), h. 2. 5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty, Yogyakarta, 1988), h. 4.

Page 72: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

63

hukum acara menegaskan antara lain bahwa hal-hal yang perlu diatur secara khusus

adalah masalah yang tidak dikenal atau berbeda pengaturannya dengan acara yang

berlaku pada peradilan umum, yaitu (a) pemeriksaan sengketa perkawinan mengatur

tentang cerai talak dan cerai gugat, (b) li’an, dan (c) biaya perkara.6

Pengaturan materi hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan

agama merupakan lex specialis hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan

peradilan umum meliputi pemeriksaan sengketa perkawinan, li’an, dan biaya perkara.

Namun, pembentuk undang-undang juga memasukkan pengaturan pencatatan perceraian

dengan kewenangan menerbitkan akta perceraian dalam bagian hukum acara yaitu bagian

pemeriksaan sengketa perkawinan. Karena itu, perlu ditelusuri lebih lanjut untuk

mengetahui ratio legis pengaturan kewenangan menerbitkan akta perceraian dalam UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

2. Ratio Legis Pengaturan Kewenangan Pencatatan Perceraian

Dasar ontologis berkenaan dengan undang-undang secara keseluruhan, sedangkan

ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan undang-undang yang menjadi fokus

penelitian ini. Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip A. Hamid S. Attamimi bahwa

dalam bidang hukum (terutama hukum perdata atau hukum privat), asas hukum

(rechtsbeginsel) adalah penting untuk dapat melihat jalur “benang merah” sistem hukum

positif yang ditelusuri dan diteliti. Melalui asas hukum tersebut dapat dicari ratio legis atau

tujuan umum aturan tersebut. Ratio legis dapat dimaknai alasan adanya suatu ketentuan

hukum. Ratio legis suatu ketentuan undang-undang tidak dapat lepas dari dasar ontologis

6 Keterangan Pemerintah atas RUU Peradilan Agama, 28 Januari 1989, h.11-13.

Page 73: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

64

dan landasan filsafati undang-undang yang memuat ketentuan itu.

Norma yang diteliti adalah Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang mengatur bahwa:

“Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada

para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang

memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.”

Berdasarkan ketentuan ini kewenangan pencatatan perceraian yang semula diatur

dalam peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan pegawai pencatat nikah

Kantor Urusan Agama7 beralih menjadi kewenangan panitera pengadilan agama.

Untuk menemukan ratio legis norma tersebut ternyata tidak cukup dengan

melakukan penelitian terhadap legal product. Karena itu, penelitian dilanjutkan dengan

menelusuri RUU tentang Peradilan Agama tanggal 3 Desember 1988 yang disampaikan

oleh Pemerintah untuk dibahas dalam sidang DPR yang memuat antara lain norma yang

rumusannya sama dengan legal product yang berlaku saat ini. Keterangan Pemerintah

atas RUU Peradilan Agama pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Januari 1989

mengenai materi hukum acara menjelaskan antara lain:

“Selain itu untuk menjamin terlaksananya ketentuan sebagaimana diatur dalam

Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa

perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang pengadilan, maka wewenang

untuk memberikan bukti perceraian dalam RUU ini diberikan kepada

7 UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975.

Mahkamah Agung meneguhkan dengan SEMA No. 1 Tahun dan SEMA No. 4 Tahun 1990.

Page 74: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

65

Pengadilan Agama, tidak lagi kepada KUA Kecamatan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975”.8

Berdasarkan keterangan Pemerintah tersebut ditemukan ratio legis yaitu untuk

menjamin pelaksanaan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan9 sehingga kewenangan menerbitkan bukti perceraian tidak lagi menjadi

kewenangan KUA, melainkan kewenangan pengadilan agama.

Ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur

tentang perceraian karena talak yang hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan

agama. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa

perceraian itu terjadi terhitung sejak perceraian dinyatakan di depan sidang pengadilan

agama. Ketentuan demikian juga selaras dengan Pasal 71 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan

pengadilan membuat penetapan tentang perkawinan putus tersebut. Perkawinan putus

atas gugatan perceraian diatur dalam Pasal 81 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Putusan perceraian diucapkan dalam sidang pengadilan agama dan perceraian

terjadi dengan segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan agama

tersebut berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

atau penetapan tentang perkawinan putus karena cerai talak tersebut merupakan bukti

autentik terjadi perceraian suami istri.

Berdasarkan uraian tersebut, keterangan pemerintah yang memberikan

8 Keterangan Pemerintah, 28 Januari 1989, h. 13. 9Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di

depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

keduabelah pihak.”

Page 75: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

66

kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan bukti perceraian adalah logis. Akan

tetapi, rumusan Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai

legal product memberikan kewenangan kepada panitera pengadilan agama untuk

memberikan bukti perceraian tersebut tidak logis. Pembentuk UU telah menempatkan

akta cerai sebagai produk akhir perkara di pengadilan agama dan memfungsikan panitera

sebagai pejabat pencatatan sipil.

Bahan hukum primer belum memberikan jawaban signifikan mengenai ratio legis,

karena itu dilanjutkan penelusuran terhadap bahan hukum sekunder. Penulusuran

bahan hukum sekunder dapat ditemukan sebuah artikel hukum berjudul “Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Permasalahan Perceraian di

Indonesia” yang ditulis oleh Ichtijanto SA pada tahun 1994. Bahan hukum ini sangat

berharga untuk menelusuri ratio legis pengaturan kewenangan pencatatan perceraian

sebagaimana dikutip berikut.

“Tentang pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk ini Undang-undang Peradilan

Agama (UUPA) tidak memberikan ketentuan apa pun dan mencabutnya satu

pun ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 1946, sebab UUPA adalah undang-

undang yang memuat hukum formal, bukan undang-undang yang memberikan

ketentuan tentang pencatatan perkawinan (termasuk perceraian). Karenanya masuk

akal bahwa UUPA tidak mencabut materi hukum tentang kewajiban orang yang

menjatuhkan talak atau bercerai untuk mencatatkan peristiwa talak atau cerainya

pada pegawai pancatat nikah.

Page 76: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

67

Namun dalam praktik, dengan terbitnya UUPA, maka bagi umat Islam

digantilah Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dengan Peraturan Menteri

Agama Nomor 2 Tahun 1990 yang menghilangkan kewajiban hukum orang yang

menjatuhkan talak dan cerai untuk mencatatkan ke KUA. Kelihatannya dipahami

bahwa yang berkewajiban mencatat adalah PPN pada KUA yang dianggap cukup

mendapat bahan dari tembusan yang dikirim oleh Pengadilan Agama yang

bersangkutan. Dalam praktik, pengiriman keputusan oleh Pengadilan Agama ke KUA

ternyata tidak teratur dan sesegera mungkin. Sehingga berakibat pada tidak

terselenggaranya pencatatan talak dan cerai pada KUA sesegera mungkin. Akibat

selanjutnya adalah tidak tersedianya statistik cerai dan talak pada KUA sesegera

mungkin; sedang untuk perkawinan dan rujuk dapat segera terlaksana. Hal tersebut

secara ilmiah mengakibatkan kerugian, ialah bahwa bangsa Indonesia tidak segera

dengan mudah mengetahui kualitas keluarga dari ukuran perbandingan antara nikah,

talak, rujuk, dan cerai. Dengan keadaan tersebut, para pengkaji kualitas keluarga

muslim di Indonesia tidak tahu dengan baik, berapa orang yang cerai dalam satu

tahun dibandingkan dengan jumlah nikah yang terjadi dalam satu tahun. Tidak segera

diketahui pula berapa prosen yang rujuk dari berapa yang layak, berapa orang yang

talak tidak dirujuk. Hal-hal tersebut merupakan bagian yang pokok dan penting bagi

pengkaji ilmu kekeluargaan dan sosiologi serta hukum agama. Sebagai diketahui,

sebelum UUPA, Departemen Agama (dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimas Islam dan

Urusan Haji, Direktorat Urusan Agama Islam) dapat menyajikan kepada masyarakat

Page 77: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

68

secara meyakinkan”.10

Berdasarkan bahan sekunder, ratio legis pengaturan kewenangan pencatatan

perceraian adalah untuk kepentingan data statistik perceraian di Indonesia agar bisa

mengimbangi data statistik perkawinan dan rujuk. Pengadilan agama pada saat itu belum

teratur dalam membuat putusan atau penetapan dan tidak bisa segera mengirimkan

salinan putusan atau penetapan pada KUA sehingga berakibat pada data statistik

perceraian di Indonesia tidak mudah untuk diketahui. Sisi lain, data statistik perkawinan

dan rujuk dapat segera diketahui. Keadaaan demikian dipandang sebagai hal yang

merugikan bangsa Indonesia karena tidak mudah mengetahui kualitas keluarga mengenai

perbandingan antara nikah, talak, rujuk, dan cerai. Padahal, hal-hal tersebut merupakan

bagian pokok dan penting bagi pengkaji ilmu kekeluargaan dan sosiologi serta hukum

agama pada masa itu. Oleh sebab itu, pencatatan perceraian dengan kewenangan

menerbitkan akta perceraian sebagai bukti perceraian diserahkan kepada panitera

pengadilan agama.

Hal ini menunjukkan bahwa ratio legis tersebut mengutamakan aspek

kemanfaatan data statistik perceraian (doelmatigheid) dan mengesampingkan aspek

kepastian hukum (rechtmatigheid). Berkenaan dengan keadaan demikian, relevan

dengan yang dikemukakan Bagir Manan bahwa dalam peraturan perundang-

undangan seolah- olah doelmatigheid atau asas manfaat ditempatkan secara

bertentangan dengan rechtmatigheid. Doelmatigheid merupakan metode melunakkan

10Ichtijanto, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Permasalahan

Perceraian di Indonesia, dalam Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan Dibinbapera Islam, Jakarta, No. 17 Th. V 1994, h.

67-68.

Page 78: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

69

ketentuan hukum, akan

tetapi asas manfaat yang digunakan sebagai dasar adalah yang sesuai dengan

hukum sehingga penerapan hukum akan terhindar dari the end justifies the means.11

B. Penerapan Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum Dalam Pengaturan materi Muatan

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dalam Pasal 6 menentukan sebagai berikut:

(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan

Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Penegasan kata “harus” dalam Pasal 6 ayat (1) tersebut menunjukkan adanya

11 Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa, (FH UII Press, Yogyakarta, 2005), h. 73.

Page 79: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

70

kaidah hukum perintah. Perintah adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu atau secara

negatif diartikan tidak boleh tidak melakukan sesuatu sehingga merupakan kewajiban

pembentuk peraturan perundang-undangan dalam membentuk peraturan perundang-

undangan mendasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangan-undangan yang

baik, antara lain asas ketertiban dan kepastian hukum. Maksud asas tersebut dijelaskan

dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf i bahwa “yang dimaksud asas ketertiban dan

kepastian hukum adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat

mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.”

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan pokok hukum jika direduksi pada satu

hal saja adalah ketertiban (order). Kebutuhan terhadap ketertiban merupakan syarat

pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur. Untuk mencapai ketertiban

dalam masyarakat diperlukan kepastian menuju keteraturan.12 Menurut Utrecht, hukum

bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtzekerheid) dalam pergaulan hidup

manusia. Kepastian hukum itu harus menjamin keadilan dan kemanfaatan. Kepastian

merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dengan hukum, terutama untuk norma

hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat

lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian hukum merupakan

bagian teori tujuan hukum yakni keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian

hukum.13

Kepastian hukum itu meliputi dua dimensi. Pertama, kepastian hukum dalam

12 Muchtar Kusumatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, (Bandung, 2006),

h. 3. 13 Utrech, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Ichtiar Baru: Jakarta, 1983), h. 86.

Page 80: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

71

hukum. Kedua, kepastian hukum oleh hukum. Kepastian hukum dalam hukum merupakan

hukum sebagai sistem. Hukum diwujudkan dalam norma harus konsisten. Materi

muatannya tidak boleh terjadi inkonsistensi (sinkron, harmoni), kontradiksi (saling

bertentangan), overlapping (tumpang tindih), dan ambiguity (mendua). Kepastian hukum

oleh hukum, berkenaan dengan legal validity (kekuatan mengikatnya).

Bagir Manan menguraikan beberapa sebab peraturan perundang-undangan dapat

menimbulkan atau mempengaruhi kepastian hukum yakni:

a. Aturan-aturan yang sudah ketinggalan, seperti aturan masa pemerintahan kolonial atau

aturan masa kemerdekaan yang dibuat atas landasan yang tidak berlaku lagi.

b. Aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain atau tumpang tindih, baik isi atau

kompetensi yang tidak jelas.

c. Aturan-aturan “tergantung” tanpa aturan pelaksanaan sehingga aturan pokok tidak

dapat dilaksanakan. Kalau pun dilaksanakan semata-mata atas dasar “aturan kebijakan”

(beleidsregel) yang sering keliru menerapkan pengertian doelmatigheid dan

menegasikan aspek rechmatigheid. Dalam berbagai peraturan perundang-

undangan seolah-olah doelmatigheid atau asas manfaat ditempatkan secara

bertentangan dengan rechmatigheid. Asas manfaat atau doelmatigheid merupakan

metode melunakkan ketentuan hukum, tetapi asas manfaat yang digunakan sebagai

dasar adalah yang sesuai dengan hukum.14

d. Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan

Agama menimbulkan konflik norma dengan UU No. 23 Tahun 2006 tentang

14 Bagir Manan, Sistim Peradilan Berwibawa, h. 73.

Page 81: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

72

Administrasi Kependudukan yang diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 dan terjadi

insinkronisasi norma baik secara vertikal maupun horizantal.15 Secara vertikal, terjadi

insinkronisasi dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU

No. 48 tentang Kekuasaan Kehakiaman. Secara horizontal, terjadi insinkronisasi dengan

e. peraturan perundang-undangan yang sejajar yaitu UU No. 22 Tahun 1946 juncto UU No.

32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan juncto PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 2015.

f. Berdasarkan uraian hasil penelitian tersebut, pengaturan kewenangan pencatatan

perceraian dalam UU Peradilan Agama tidak mencerminkan asas ketertiban dan

kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

15Uraian lebih lengkap dapat dibaca dalam artikel penulis sebelumnya berjudul “Dualime

Kewenangan Pencatatan Perceraian antara Panitera PA dan Pegawai Pencatat pada KUA.

Page 82: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU

Peradilan Agama tidak koheren dengan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yaitu asas kesesuaian antara jenis,

hierarki, dan meteri muatan sebagaimana ketentuan Pasal 5 huruf c UU

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dasar ontologis UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

merupakan perintah UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berlaku saat itu untuk

mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara. Pencatatan perceraian

bersifat administratif dan bukan merupakan bagian rangkaian hukum acara

pemeriksaan sengketa perkawinan. Peraturan perundang-undangan lainnya

telah mengatur bahwa kewenangan pencatatan perceraian tersebut

merupakan kewenangan pegawai pencatat pada KUA sebagai

penyelenggara administrasi bidang perkawinan inhaerent perceraian.

2. Pengaturan kewenangan pencatatan perceraian dalam UU Peradilan Agama

tersebut menimbulkan konflik norma dan terjadi insinkronisasi norma secara

vertikal dan horizontal sehingga tidak mencerminkan asas ketertiban dan

Page 83: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

74

kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

B. Saran

1. Rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, agar dasar

kewenangan pencatatan perceraian dalam Pasal 84 ayat (4) UU Peradilan

Agama dihapus pada saat dilakukan perubahan Undang-undang tersebut

atau dicabut dalam undang-undang lain yang mengatur pencatatan perceraian.

2. Kepada para akademisi untuk ikut berkontribusi dalam perkembangan

pembentukan peraturan perundang-undangan agar terwujud peraturan

perundang-undangan yang baik dan relevan dapat digunakan di mayarakat.

Page 84: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

75

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Attamimi A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indoensia,

Jakarta, 1990.

Bakhri, Syaiful, Pidana Denda Dan Korupsi Yogyakarta: Total Media, 2009.

Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.

Halim, Abdul Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-

kritiknya dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, h. 390. Diakses

dariwww.google.com pada 14 April 2012.

Hamzah , Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang : bayumedia

publishing, 2008.

Ichtijanto, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan

Permasalahan Perceraian di Indonesia, dalam Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan

Dibinbapera Islam, Jakarta, No. 17 Th. V 1994.

Indrati S, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dalam Sorotan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , Jakarta, P.T. Tatanusa. 2005.

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971,

diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,

Bandung: Nusa Media, 2013.

Kusumatmadja, Muchtar, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,

Bandung, 2006.

Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2001.

Manan, Abdul, Penerapam Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

Prenada Media, Jakarta, 2005.

Page 85: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

76

Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,

Yogyakarta: FH UII Pess, 2007.

______, Hasbi Doktor Ilmu Hukum, Jakarta: Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun

XXV No. 291 Februari 2010.

______, Sistim Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.

Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, kencana, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.

_______, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011.

Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara

Pidana Bandung: Alumni, 2005.

Musthofa Sy., Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana: 2005.

Paul Scholten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch Burgelijk Recht,

Algemeen deel, Zwolle: Tjeenk Willink, 1954.

Radbruch, Gustav: Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, Zweckmaβigkeit, dikutip oleh

Shidarta dalam tulisan Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan

Kemanfaatan,dari buku Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara

Jakarta: Komisi Yudisial, 2010.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif,

Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Roeslan Saleh dikutip dalam Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu Jakarta: Diandra

Press, 2008.

Saputra M. Nata, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali, 1998.

Shidarta Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

Filosafat Hukum Indonesia Jakarta: Gramedia, 1995).

Page 86: RELEVANSI ATURAN KEWENANGAN PENCATATAN PERCERAIAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45107/1/ASEP KUSTIA...abstrak asep kustia erawandi. nim 109044100015. relevansi

77

Soerjono, Soekanto, , pengantar penelitian hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar. 1992.

_______dan Sri Mamudji, Penelitif Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Susilo, Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007.

Utrech, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, h. 86.

Wildan Suyuthi M., Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi, dan Tanggung Jawab,

Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2002.