asep s. mimbar.pdf.pdf

22
Executive Ssummary BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjalanan panjang manusia untuk mencari, menemukan dan memikirkan Tuhan telah memposisikan manusia pada derajat yang lebih tinggi dari makhluk lain. Karena kelebihan akal budinya, manusia mampu menemukan “sumber cahaya” kehidupan dirinya untuk kemudian menyandarkan segala hidupnya secara total pada sumber itu yang dianggap mampu memberikan perlindungan dan keselamatan bagi dirinya. Pada tataran teologis, agama menawarkan nilai-nilai luhur yang berpihak pada manusia dan kemanusiaan, seperti persoalan keadilan, moralitas, perdamaian dan keselamatan. Bahkan salah satu fungsi terpenting agama menurut Quraish Shihab adalah menciptakan rasa aman sejahtera bagi pemeluknya, sehingga terlihat adanya keterkaitan antara “iman” dengan aman, rasa aman itu sendiri diperoleh karena adanya kesesuaian antara sikap manusia dengan petunjuk Tuhan. Hal ini kerap terjadi ketika manusia dihadapkan pada kebenaran lain (agama) di luar kebenaran yang diyakininya. Ketidakselarasan antara hal yang bersifat “teori dan praktek” pengamalan agama ini sering membawa pada pertanyaan klasik tentang hubungan kebenaran agama yang absolut dengan realitas pluralisme agama. Ketidakmengertian manusia beragama terhadap realitas pluralisme agama merupakan hal yang sangat mnusiawi dan wajar. Sebab memang manusia tidak akan mampu memeluk nurhikmah, cahaya kebijaksanaan, Tuhan menurunkan baragam agama ke dunia. Hanya sedikit sekali dari umat manusia yang bisa menangkat nurhikmah Tuhan ini. Pluralitas agama sendiri secara historis sangat sulit untuk dielakkan, sebab agama diturunkan tidak sekligus dalam titik waktu dan ruang yang sama, melainkan turun dalam momen-momen sejarah dari penggalan waktu dan ruang. Ini berarti agama diterima dan dipahami pemeluknya dalam kemasan kultural dan simbol-simbol bahasa yang amat heterogen (Komaruddin Hidayat, 1983:42-430). Konflik agama muncul ketika wahyu Tuhan yang mutlak absolut sampai pada tataran kognisi manuisa, yang merupakan produk nalar manusia mengandung nilai relativitas, dianggap pemeluknya sama mutlak absolutnya dengan wahyu Tuhan (Amich Alhumami, 1993:4). Sebab, ketika wahyu Tuhan dijadikan manusia sebagai pedoaman pola kelakuannya, wahyu itu telah hilang sifat a-historis dan absolusitasnya, karena telah diubah manusia menjadi bagian dari kehidupannya sebagai sebuah sistem kebudayaan melalui interpretasi manusia (Abdul Munir Mulkhan, 1993:4). Salah satu usaha perenungan itu adalah paham perenialisme (Seyyed Hussein Nasr, !993:7). Inti dari paham perennialisme adalah bahwa di dalam setiap agama ada tradisi-tradisi esoterik, ada suatu pengetahuan dan pesan

Upload: vukhuong

Post on 21-Jan-2017

226 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Executive Ssummary

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan panjang manusia untuk mencari, menemukan dan memikirkan

Tuhan telah memposisikan manusia pada derajat yang lebih tinggi dari makhluk

lain. Karena kelebihan akal budinya, manusia mampu menemukan “sumber

cahaya” kehidupan dirinya untuk kemudian menyandarkan segala hidupnya secara

total pada sumber itu yang dianggap mampu memberikan perlindungan dan

keselamatan bagi dirinya.

Pada tataran teologis, agama menawarkan nilai-nilai luhur yang berpihak

pada manusia dan kemanusiaan, seperti persoalan keadilan, moralitas, perdamaian

dan keselamatan. Bahkan salah satu fungsi terpenting agama menurut Quraish

Shihab adalah menciptakan rasa aman sejahtera bagi pemeluknya, sehingga

terlihat adanya keterkaitan antara “iman” dengan aman, rasa aman itu sendiri

diperoleh karena adanya kesesuaian antara sikap manusia dengan petunjuk Tuhan.

Hal ini kerap terjadi ketika manusia dihadapkan pada kebenaran lain

(agama) di luar kebenaran yang diyakininya. Ketidakselarasan antara hal yang

bersifat “teori dan praktek” pengamalan agama ini sering membawa pada

pertanyaan klasik tentang hubungan kebenaran agama yang absolut dengan

realitas pluralisme agama.

Ketidakmengertian manusia beragama terhadap realitas pluralisme agama

merupakan hal yang sangat mnusiawi dan wajar. Sebab memang manusia tidak

akan mampu memeluk nurhikmah, cahaya kebijaksanaan, Tuhan menurunkan

baragam agama ke dunia. Hanya sedikit sekali dari umat manusia yang bisa

menangkat nurhikmah Tuhan ini.

Pluralitas agama sendiri secara historis sangat sulit untuk dielakkan, sebab

agama diturunkan tidak sekligus dalam titik waktu dan ruang yang sama,

melainkan turun dalam momen-momen sejarah dari penggalan waktu dan ruang.

Ini berarti agama diterima dan dipahami pemeluknya dalam kemasan kultural dan

simbol-simbol bahasa yang amat heterogen (Komaruddin Hidayat, 1983:42-430).

Konflik agama muncul ketika wahyu Tuhan yang mutlak absolut sampai

pada tataran kognisi manuisa, yang merupakan produk nalar manusia

mengandung nilai relativitas, dianggap pemeluknya sama mutlak absolutnya

dengan wahyu Tuhan (Amich Alhumami, 1993:4). Sebab, ketika wahyu Tuhan

dijadikan manusia sebagai pedoaman pola kelakuannya, wahyu itu telah hilang

sifat a-historis dan absolusitasnya, karena telah diubah manusia menjadi bagian

dari kehidupannya sebagai sebuah sistem kebudayaan melalui interpretasi

manusia (Abdul Munir Mulkhan, 1993:4).

Salah satu usaha perenungan itu adalah paham perenialisme (Seyyed

Hussein Nasr, !993:7). Inti dari paham perennialisme adalah bahwa di dalam

setiap agama ada tradisi-tradisi esoterik, ada suatu pengetahuan dan pesan

Page 2: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

keagamaan yang sama, yang dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol agama

yang berbeda (Budhy Munawar, 1993:4).

Masalah pluralisme agama bagi Schuon akan menimbulkan gejolak

apabila keberagamaan manusia lebih menonjolkan hal-hal yang bersifat eksoterik

-- suatu segi yang hanya melihat agama sebagai sebuah “bungkus” saja, dan itu

sangat sektarian dan sempit.

Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan dalam memeluk agama, yang oleh

Schuon disebut pandangan esoterik, yang lebih menekankan aspek-aspek terdalam

pada ajaran agama. Esoterisme dalam pandangan Schuon adalah mengenai

bertingkat-tingkatnya realitas universal. Adapun yang memiliki kebenaran

universal dalam tingkatan yang tinggi, yaitu Tuhan. (Frithjof Schuon 1987:41).

Sementara itu Harold Coward melihat bahwa apabila tantangan pluralisme

itu muncul, maka biasanya akan tumbuh semangat baru untuk kembali kepada

tradisi agama yang ada. Jadi, meskipun tantangan pluralisme ini merupakan suatu

krisis pada abad modern, tatapi ia juga mampu menciptakan perkembangan rohani

yang lebih baik (Harold Cowar, 1992:168). Yaitu suatu perkembangan pemikiran

baru untuk mencari teologi alternatif yang terbuka dan mampu membebaskan

umat manusia dari kungkungan kehidupan modern tanpa mengurangi kesucian

agama.

Namun Harold Coward sangat skeptis dan kurang adil dalam memahami

doktrin Islam tentaang pluralisme. Tidak seperti ketika ia menggambarkan

keagungan doktrin Yahudi, Kristen, Hindu dan Budha dengan penuh

penghargaan. Islam pluralisme dinilainya sebagai penghambat utama yang

bersifat teologis ketika Islam berhadapan dengan agama lain. Menurutnya, Islam

sebagai agama penutup dan sempurna -- yang mengoreksi kekeliruan agama

sebelumnya, telah menyebabkan penganut Islam tidak toleran terhadap penganut

agama lain (Harold Cowar, 1992:110).

Tentu saja apa yang telah disimpulkan Harold Coward tidak pernah

terbukti dalam sejarah peradaban Islam. Fakta sejarah justru memperlihatkan sisi-

sisi cemerlang doktrin Islam tentang pluralisme, sebagaimana terlihat dalam

sejarah peradaban Islam Madinah dan Spanyol (Nurcholish Madjid, 1992:V).

Dalam konteks keindonesiaan, kenyataan geografis menyebabkan

Indonesia menjadi pintu gerbang bagi masuknya budaya dan agama lain dengan

melalui jalur Lautan Teduh dan samudera Hindia (G.S.S.J. Ratu Langie,

1982:131). Karena itu berkembanglah agama-agama besar dunia di Indonesia

sesuai dengan corak dan bentuknya masing-masing.

Kemudian dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia,

tercatat bahwa bibit perselisihan antar umat beragama ini terletak pada bidang

garapan misi atau masalah penyebaran agama. Persaingan dalam penyebaran

agama ini terjadi sejak kedatangan kolonialisme Portugis dan Belanda yang

membawa missi untuk menyebarkan agama Kristen (Sumartana, 1991)

Selanjutnya, karena kolonialisme Belanda atas Indonesia ditujukan juga

untuk memperlancar proses kristenisasi, maka pemerintah kerajaan Belanda

dengan kekuasaan politiknya berusaha untuk menghancurkan kekuatan Islam. Ini

terlihat dengan kebijakan-kebijakan politis yang dikeluarkan Belanda selalu

membawa kerugian bagi penganut Islam. Sebaliknya, para penganut kristen, baik

Page 3: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Protestan maupun Katolik, mendapat perhatian yang sangat besar dan menjadi

kelompok masyarakat “anak emas” Kerajaan Belanda (Muhammad Natsir,

1983:64).

Situasi hubungan antar umat beragama sangat buruk pada masa

pemerintahan Orde Lama ketika golongan agama diperbolehkan membuat partai

sendiri untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Ideologi politik menjadi begitu

beragam, sehingga hubungan agama pada masa itu bergulir di sekitar persaingan

ideologis di pentas politik nasional. Baru kemudian hubungan itu mulai “reda”

ketika Orde Baru yang berhaluan “memantapkan stabilitas nasional” untuk

mengejar ketertinggalan dalam proses pembangunan mengambil alih kekuasaan.

Pemerintah Orde Baru berhasil meminimalisasi kerentanan konflik agama dengan

berbagai kebijakan yang sangat ketat. Kecurigaan umta Islam terhadap proses

modernisasi, yang dalam bahasa pemerintah adalah pembangunan, yang dinilai

sebagai proses krisatenisasi (Ahmad Ibrahim dkk, 1987:508-509). Terus menerus

menjadi bayangan buruk di kalangan Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, karena sebagian besar umat Islam

Indonesia memandang negatif terhadap proses modernisasi, maka umat Islam

Indonesia tertinggal dalam proses pembangunan. Di sinilah relevansi analisis

Nurcholish Madjid ketika ia mengelompokan umat Islam, dalam pengertian yang

tidak hanya sebatas umat Islam Indonesia saja, sebagai kelompok manusia yang

paling “memelas” dalam tingkat kehidupan ekonominya (Nurcholish Madjid,

1992:37).

Namun yang jelas, kebijakan pemerintah itu telah menyebabkan umat

Islam berada pada posisi marginal, baik dalam dimensi politik (kekuasaan)

maupun dalam dimensi pembangunan (modernisasi). Keadaan ini membawa umat

Islam untuk selalu berhadapan secara “antagonis” dengan pemerintah, sehingga

umat Islam dicap sebagai kelompok anti pembangunan dan anti Pancasila.

Realitas kebijakan politik Orde Baru tersebut telah memberikan andil yang

cukup besar bagi lahirnya konflik agama di Indonesia. Dan kenyataan ini tidak

luput dari perhatian para cendekiawan Indonesia yang memiliki komitmen

terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah seorang cendekiawan yang benar-benar

perhatiannya dalam masalah hubungan antar umat beragama ini adalah Nurcholish

Madjid, seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang dikenal sebagai “penarik

gerbong” pembaharuan Islam di Indonesia.

Pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama merupakan mata

rantai dari gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia yang telah

dicetuskannya. Dengan gagasan ini, Nurcholish semakin memperlihatkan sikap

terbukanya dalam menerima realitas kehidupan agama yang majemuk. Sikap

intelektualitas Nurcholish ini berada dalam bingkai paradigma inklusif, sehingga

pemikirannya tentang pluralisme sering dikatakan sebagai sebuah “teologi

inklusif”, yaitu suatu bentuk teologi yang berusaha mencari titik persamaan

(kalimatun sawa, common platform) dan mengakui dengan lapang hak hidup

penganut agama lain.

Oleh karena itu, pandangan Nurcholish Madjid tentang masalah hubungan

agama-agama ini sangat penting untuk terus diperhatikan dan direnungkan, untuk

kemudian melakukan diskursus pemikiran secara mendalam terhadap tema yang

Page 4: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

sangat menarik ini. Hal ini pula yang menjadi alasan penulis untuk melakukan

penelitian dengan judul: “Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pluralisme di

Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Pemikiran Nurcholish Madjid, walau bagaimanapun, merupakan suatu

bentuk dinamika pemikirannya dalam mempersiapkan bangsa Indonesia,

khususnya umat Islam, menuju kehidupan modern. Untuk mengetahui lebih jauh

pemikiran Nurcholish Madjid tentang masalah kemajemukan agama di Indoinesia,

penulis dalam melakukan penelitian ini didasarkan pada pokok-pokok perumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika pemikiran Nurcholish Madjid sehingga sampai pada

pemikiran tentang kemajemukan agama?

2. Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemajemukan agama di

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dinamika pemikiran Nurcholish Madjid sehingga

sampai pada pemikiran tentanga kemajemukan agama

2. Untuk mengetahui pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemajemukan

agama di Indonesia

D. Kerangka Pemikiran Sebagai seorang cendekiwan Muslim yang pernah dibimbing oleh Fazlur

Rahman, ia banyak terpengaruh oleh corak dan metode neo-modernisme, yaitu

suatu pengkajian keislaman dengan berbekal pada tinjauan literatur klasik yang

begitu kaya dengan pelbagai khazanah Islam.

Oleh karena itu, dalam setiap pembahasannya mengenai kemajemukan

agama, Nurcholish selalu menampilkan wajah Islam klasik, yaitu Islam semasa

Nabi Muhammad SAW. Di Madinah dan Spanyol yang menunjukan bagaimana

tingginya apresiasi Islam kepada penganut agama Yahudi dan Kristen yang

mengsankan bagi peradaban ujmat manusia.

Maka, untuk memotret pemikiran Pluralisme Nurcholis, penulis mencoba

mendekatinya dari dua pendekatan, yaitu dari sisi etis filosofis – dimana hampir

seluauh pemikiran Nurcholis lebih didasarkan pada pandangan etis moral yang

lebih substantif. Sedangkan dari sisi teologis, pemikiran Nurcholis banyak

mengambil dari sisi-sisi normativitas doktrin Islam.

Dengan pendekatan tersebut, Nurcholis berusaha untuk mengembalikan

ingatan umat Islam pada masa-masa indah sejarah peradaban islam Madinah dan

Spanyol. Lewat kajian-kajian Islam klasiknya, ia berusaha menampilkan wajah

Islam sebagai agama yang toleran dan terbuka, bahkan agama yang berpihak pada

nilai-nilai universal kemanusiaan.

Secara teologis, Nurcholish menyadari bahwa pluralitas adalah kenyataan

yang telah menjadi kehendak Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an

surat (QS. Al Hujurat, ayat 13).

Page 5: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Pada akhirnya pemikiran Nurcholish tentang pluralisme agama ini

menampilkan ide bahwa nilai-nilai universal selalu ada pada inti ajaran agama,

yang mempertemukan seluruh umat manusia. Nilai-nilai itu harus dikaitkan

dengan kondisi-kondisi nyata dalam pengalaman empiris menusia.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan sumber

yang erat kaitannya dengan tema pembahasan berdasarkan kepustakaan, yaitu

dengan cara mengkaji dan mencari dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar

dan media masa lainnya. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada penelitian

kepustakaan (library research), terhadap pemikiran Nurcholish Madjid yang telah

dipublikasikan kemasyarakat.

Langkah selanjutnya adalah menelaah dan membaca data dan sumber yan

telah terkumpul untuk kemudian ditelusuri dengan menggunakan metode

deskriptif dan analisis sintetis.

Page 6: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

BAB II

PEMIKRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG KEMAJEMUKAN

Realitas yang plural sesungguhnya merupakan realitas yang dinamis. Dan

itu sudah menjadi sunnatullah yang tak terbantahkan. Dalam pandangan

masyarakat yang optimis, kemajemukan bukan ancaman – tapi, ia merupakan

kenyataan yang sekaligus tantangan. Dalam konteks ke-Indonesiaan adalah

seorang Nurcholis Madjid yang selalu ingin melihat bahwa kemajemukan dalam

perspektif Islam sudah menjadi keharusan historis yang niscaya. Karenanya,

pemikiran Islam mesti bersikap inklusif dan toleran, tapi sekaligus kritis.

Nurcholish tampak menggunakan pola pemikiran neo-modernisme dalam

keseluruhan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya. Pola pemikiran Islam neo-

modernisme ini, seperti yang dikatakan Fachry Ali dan Bachtiar Effendi.(Fachry

Ali dan Bachtiar Efendi, 1992:175).

Dengan demikian, karakteristik pola pemikiran neo-modernisme adalah

pengembangan suatu metodologi sistematis yang mampu melakukan panafsiran

Islam secara menyeluruh dan selaras dengan kebutuhan kontemporer, sikap tidak

mengalah kepada Barat, tetapi juga tidak menafikannya, dan apresiatif disertai

sikap kritis untuk mau mengkaji warissan-warisan sejarah keagamaannya sendiri.

Dengan dua pendekatan ini, Nurcholish bermaksud untuk memberikan

interpretasi doktrin Islam agar sesuai dengan kemajuan jaman, dan dengan

demikian, doktrinnya pun tetap relevan dalam segala perubahan ruang dan waktu.

Sifat ini merupakan karakteristik utama kaum neo-modernisme yang bertujuan

membangun suatu Islam peradaban.

A. Universalisme Islam Salah satu prinsip dasar yang diyakini oleh seluruh umat Islam adalah

keyakinan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal karena ia berfungsi

sebagai agama penutup dan sempurna. Karena itu, maka seluruh umat Islam

sangat yakin sepenuhnya bahwa agama Islam akan “sesuai dengan segala jaman

dan tempat”

Pengertian universalisme Islam ini, pada akhirnya hanya digunakan umat

Islam sebagai bagian apologi mereka ketika membicarakan kedudukan Islam di

tengah agama-agama dunia lainnya, tanpa mau mengkaji secara sungguh-sungguh

makna dan hakikat universalisme Islam tersebut (Nurcholish Madjid, 1992:426).

Berkaitan dengan kondisi intelektual umat Islam seperti itu, maka

Nurcholish mencoba menggali kembali khazanah klasik kepustakaan Islam dalam

hubungannya dengan dimensi kemanusiaan. Hal ini ia lakukan sebagai

pembuktian bahwa Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah

kemanusiaan yang sejati.

Kemudian, lewat penelusurannya terhadap sejarah umat Islam mengenai

kemoderenan, Nurcholish telah sampai pada kesimpulan bahwa kemodernan, di

samping sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, juga merupakan keharusan

sejarah. Ia melihat dari perspektif sejarah kemanusiaan bahwa dalam sejarahnya

kemodernan itu ternyata bukan monopoli suatu tempat atau kelompok manusia

tertentu (Nurcholish Madjid, 1984:65).

Page 7: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Dengan memaparkan segi sejarah kemodernan umat Islam tersebut,

Nurcholish melihat Islam klasik ternyata “sangat modern”. Keadaan sangat

modern itulah yang mengakibatkan umat Islam mampu mendonasi ilmu

pengetahuan, sekaligus menjadi awal kehancuran kejayaan Islam sebagai akibat

dari rasa superioritas (Nurcholish Madjid, 1984:54). Disebut “sangat modern”,

menurut Nurcholish justeru karena sifat-sifat universalis dan

kosmopolitanismenya ajaran Islam. Sumber universalisme Islam, menurutnya,

adalah pengertian “islam” itu sendiri (Nurcholish Madjid, 1984:427) -- yaitu

“sikap pasrah kepada Tuhan”. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan pada

hambanya, tetapi ia diajarkan olehnya dengan disangkutkan kepada alam manusia

itu sendiri, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat

dari dalam. Hal inilah yang membawa Nurcholish untuk mengmbil kesimpulan

bahwa sikap keagamaan hasil paksaan dari luar tidak otentik, karena kehilangan

dimensinya yang dalam dan mendasar, yaitu kemurnian dan keikhlasan

(Nurcholish Madjid, 1984:65).

Jadi, pada pandangan ini, Nurcholish ingin memperlihatkan penegasan

tentang universalisme Islam itu ada dalam kitab suci yang bersifat retoris, yaitu

pertanyaannya -- apakah manusia mau menempuh hidup selain tunduk kepada

penciptanya dan dengan demikian melawan design Ilahi, sebagai kehendak

Tuhan. Padahal seluruh penghuni alam semesta itu tunduk dan patuh kepada

penciptanya, baik terpaksa maupun sukarela.

Dengan berlandaskan pada pengertian “islam” itu sebagai agama pasrah

dan tunduk kepada Tuhan, maka “islam” itu sebenarnya bukanlah merupakan

nama sebuah agama, melainkan istilah untuk menyebut ajaran kepasrahan kepada

Tuhan, sebagaimana Nabi Ibrahim disebut “muslim”, karena ia adalah hamba

yang pasrah dan tunduk kepada kehendak Tuhan.(Nurcholish Madjid, 1984:434).

Dengan memaparkan pengertian Islam seperti ini, Nurcholish

membedakan pengertian Islam sebagai sebuah ajaran universal dengan Islam

sebagai bentuk kepenganutan seseorang terhadap agama Islam (yang dibawa Nabi

Muhammad SAW). dalam hal ini Nurcholish terpengaruh pemikiran Marshall

Hodgson yang membedakan “Islam” (dengan inisial hurup besar) dan “islam”

(dengan inisial kecil). Menurut Hodgson “islam” sesungguhnya lebih penting

daripada “Islam” (Nurcholish Madjid, 1984:74).

Landasan ilmiah lainnya Nurcholish merujuk kepada Ibnu Taymiyah yang

membagi Islam dalam arti umum -- yaitu Islam yang memiliki sifat tidak terbatas

pada ruang dan tempat. Islam yang universal yang merupakan agama semua Nabi

dan rasulnya yang diutus kepada umat manusia di manapun dan kapanpun. dalam

pengertian “Islam umum” (yang paralel dengan pengertian “islam” Hodgson), dan

Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah nama agama

(Nurcholish Madjid, 1984:xiv-xv).

Menurut Nurcholish “Islam khusus” itupun tidak lain adalah kelanjutan

dan konsistensi dari “Islam umum”, yang berbentuk pengajaran Tuhan kepada

manusia yang telah dilengkapkan dan disempurnakan. Maka, menurut Nurcholish,

ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan itu sebenarnya merupakan satu

kesatuan kenabian dan ajaran untuk umat manusia yang menjadi dasar adanya

Page 8: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

universalisme ajaran yang benar dan tulus, yaitu al-Islam (Nurcholish Madjid,

1984:439).

Selanjutnya, dengan pengertian “islam” sebagai agama pasrah dan tunduk

pada Tuhan bagi Nurcholish telah memperlihatkan dengan nyata sifat

universalisme Islam yang bertitik pusat pada adanya kesamaan esensial pesan

Tuhan kepada para Nabinya. Tentu saja pengertian kesamaan itu tidak

dimaksudkan adanya kesamaan materil atau formal dalam bentuk-bentuk aturan-

aturan tertentu, apalagi keyakinan tertentu. Sebab, walau bagaimanapun setiap

agama, demikian Nurcholish, memiliki perbedaan mendasar dan prinsipil dengan

agama-agama lain, termasuk antara agama Islam dengan Kristen dan Yahudi, dua

agama yang secara “geneologis” (dari Nabi Ibrahim) paling dekat dengan Islam

sekalipun. Tetapi, yang dimaksudkan dengan kesamaan dalam pandangan

Nurcholish adalah adanya kesamaan dalam pesan besar dan mendasar yang dalam

Al-Qur’an dinyatakan dengan kata “washiyyah” (Nurcholish Madjid, 1984:499).

Yaitu paham ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid.

Selanjutnya, Nurcholish mengatakan bahwa sikap tunduk dan pasrah

kepada Tuhan dalam semangat penuh kepasrahan dan tawakal serta percaya

merupakan inti makna hidup manusia. Ia merasa yakin segi penghayatan seperti

ini adalah sikap keagamaan yang benar sepanjang sejarah, karena sesuai dengan

fitrah kemanusiaan, dan sikap penghayatan ini pasti benar dalam jaman modern

dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta pola industrinya yang kian maju

(Nurcholish Madjid, 1995:79).

Jadi, ber-islam bagi manusia adalah sesuatu yang sangat alami dan wajar.

Di sini Nurcholish telah sampai pada pemikiran adanya kesejajaran antara

kemanusiaan dengan penghayatan keagamaan. Sebab, ia telah menunjukan bahwa

agama seharusnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang fitri.

Kelanjutan logis dari kesejajaran ini adalah paham persamaan derajat manusia.

Inilah yang diusahakan oleh Nurcholish agar dipahami umat manusia yang tengah

menghadapi krisis kemanusiaan sebagai akibat kepungan kehidupan modern.

Inilah yang oleh Nurcholish disebut sebagai agama yang tegak, lurus dan

benar atau hanif. Pengertian hanif di sini maksudnya (dengan melalui ritus

dilakukan) proses pancarian kebenaran dengan tulus dan murni, sejalan dengan

sifat alami manusia yang berpihak pada kebenaran dan kaiikan (fitrah). Pencarian

kebenaran secara murni dan tulus dengan sendirinya menghasilkan sikap pasrah

pada kebenaran. Sikap keberagamaan yang benar akan memberikan kebahagiaan

sejati. Inilah al-hanifiyyat al-samhah, sebagaimana sabda Nabi SAW:”sebaik-baik

agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah. Yaitu semangat mencari

kebenaran yang lapang dada, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan dan tidak

membelenggu jiwa (Nurcholish Madjid, 1993:19).

Di sinilah letak universalisme Islam yang sesungguhnya. Islam, sebagai

agama yang dibawa Nabi pemungkas, adalah ajaran terakhir yang melanjutkan

ajaran para Nabi terdahulu sangat menekankan ajaran untuk pasrah dan tunduk

kepada Tuhan semata (Nurcholish Madjid, 1993:440). Sehingga nama agama ini

pun dari semangat al-islam tersebut. Bukan diambil dari nama tempat (seperti

agama Hindu yang diambil dari nama Hindia atau Hindustan), juga tidak diambil

dari nama suku, bangsa dan dinasti (seperti Agama Yahudi karena tumbuh dari

Page 9: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

suku Yahuda), bukan pula diambil dari nama pendirinya (seperti Agama Budha

yang dilekatkan pada Budha Gautama dan Agama Kristen/Masehi yang diambil

dari Nabi Isa atau Yesus yang bergelar al Masih atau Kristus). (Nurcholish

Madjid, 1993:442).

Dengan makna “islam” sebagai agama pasrah kepada Tuhan, maka Islam

(nama agama yang dibawa Nabi SAW). adalah ajaran agama yang mengandung

konsep kesatuan kenabian (wihdat al nubuwah, the unity of prophecy), kesatuan

kemanusiaan (wihdah al insaniyyah, the unity of humanity), yang berangkat dari

konsep kemaha Esaan Tuhan (Wahdaniyyah atau tauhid. The unity of God). Tiga

konsep inilah yang menjadikan Islam sejalan dengan semangat hakikat

kemanusiaan yang berlandaskan sikap al-hanifiyyat al samhah, kecenderungan

untuk bersandar pada kebenran, atau semangat untuk mencari terus menerus

kebenaran secara lapang dada, toleran, tanpa kefanatikan, tidak sempit, seperti

yang telah diuraikan di atas.

Berdasarkan argumen tersebut, maka cita-cita sosial Islam terdapat di

manapun. Nurcholish berpendapat seperti ini karena cita-cita sosial keislaman

yang fitrah itu selalu merupakan al nashihah (pesan) ketuhanan. Karena itu

penerjemahannya ke dalam sistem sosial Islam tidak hanya akan baik untuk umat

Islam saja, tetapi juga akan membawa kemaslahatan bagi semua masyarakat.

Inilah yang dimaksud Nurcholish dengan kalimat: “kemenangan Islam merupakan

kemenangan semua golongan (Nurcholish Madjid, 1994:280).

Dan menurut Nurcholish, hanya dengan melawan tirani inilah seseorang

akan mampu lebih mendekati kebenaran. Ketika ia sedang dalam proses menuju

mendekati kebenaran tersebut, secara resiprokal ia sebenarnya sedang dalam

proses pembebasan dirinya yang lebih dari sekedar membebaskan diri dari tirani

vested interest. Implikasi dari pembebasan ini adalah seseorang akan menjadi

manusia yang terbuka dan secara kritis tanggap terhadap masalah-masalah

kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. (Nurcholish Madjid,

1994:40). Dari pemahaman tersebut, jelas, akan membawa efek pembebasan

tauhid dan ini mengalir dari level individual ke level sosial. Menurut Nurcholish,

dalam Al-Qur’an prinsip tauhid tersebut berkaitan dengan sikap menolak “apa-apa

yang melewati batas”, sehingga konsekuensi logis tauhid pada tatanan sosiologis

adalah pembebasan manusia yang bersifat egalitarian dengan melawan segala

bentuk absolutisme (Nurcholish Madjid, 1994:126-7).

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa pemikiran keislaman Nurcholish

berpangkal tolak dari teologi inklusif dalam ajaran Islam, yang diangkat dalam

figur semangat humanitas dan uviversalisme Islam. Pangkal tolak teologi inklusif

ini pada akhirnya memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama yang

terbuka, yang tampil dengan penuh rasa percaya diri, dan mampu bersikap sebagai

pamong yang dengan sabar dan tekun ngemong, mengasuh golongan umat agama

lain (Nurcholish Madjid, 1992:161).

B. Islam dan Pluralisme Agama

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa paradigma dari teologi

inklusif Nurcholish adalah komitmennya yang kuat terhadap persoalan pluralisme.

Kesadaran akan hal ini lahir dalam diri Nurcholish sebagai akibat dari

Page 10: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

keprihatinannya yang sangat mendalam menyaksikan konflik agama.

Menyaksikan kenyataan kehidupan sejarah umat manusia modern yang penuh

ironi tersebut itulah yang telah menghujat kesadaran Nurcholish untuk

mempertanyakan secara mendalam: beginikah hakikat agama, hakikat Islam?

Bertolak dari keyakinan itu, maka gugatan mendasar yang dilancarkan

oleh Nurcholish adalah pandangan keagamaan yang bersifat eksklusivistik,

pandangan keagamaan yang cenderung merongrong persaudaraan kemanusiaan

uiversal, hanya karena perbedaan kitab suci dan Nabi yang membawanya.

Kerja sama itu perlu dilakukan karena, menurutnya, jaman modern telah

mengakibatkan umat manusia terbagi dalam beberapa kelompok, sehingga praktis

tidak ada masyarakat di dunia sekarang tanpa pluralitas (Nurcholish Madjid,

1994:280). Nurcholis melakukan re-interpretasi secara kritis terhadap doktrin

Islam, untuk menopang seluruh gagasannya tentang pluralisme agama, ia juga

banyak menengok ke belakang sejarah umat manusia, dengan maksud untuk

mendapatkan inspirasi historis yang bisa dipetik dan dijadikan ibrah (peringatan),

sehingga nurhikmah (cahaya kebijaksanaan) sejarah umat manusia masa lampau

itu dapat ditangkap manusia modern masa kini (Nurcholish Madjid, 1985:41).

Pertama-tama, Nurcholish menegaskan bahwa masalah pluralisme (dalam

arti apa pun bentuknya) bukanlah sesuatu yang unik dan diherankan, terlebih lagi

di jaman modern, sebab secara sosiologis pun realitas kemajemukan selalu ada.

“Tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, unitar (unitary)”,

tegasnya. (1982:159). Tetapi, Nurcholish meyakinkan bahwa terdapatnya

perbedaan itu tidak berarti kesatuan atau ketunggalan tidak bisa diwujudkan,

meskipun keadaan menjadi satu (being united) tersebut sifatnya relatif dan

tetantif.

Kemudian, secara teologis hukum pluralitas adalah kepastian (taqdir

menurut maknanya dalam Al-Qur’an) dari Tuhan. Oleh karena itu, menurutnya,

yang diharapkan dari setiap masyarakat ialah menerima kemajemukan itu

sebagaimana adanya kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam

rangka kemajemukan agama itu sendiri. Sikap yang sehat itu adalah dengan

menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing umat untuk secara maksimal

mendorong dalam usaha mewududkan berbagai kebaikan dalam masyarakat.

Adapun masalah perbedaan itu diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan

semata.(Q.S. Al-Maidah:48). Karena itu, kemajemukan termasuk ke dalam

kategori sunnatullah yang tak bisa dihindari umat beragama karena kepastiannya.

Sebegitu tingginya penghargaan Islam terhadap kemajemukan agama

sebelumnya, sampai Al-Qur’an memandang agama-agama sebelum agama Islam

untuk didudukkan sebagai agama yang patut dihormati. Salah satu bentuk

penghargaan itu adalah adanya konsep Ahl al-Kitab dalam doktrin Islam, sebuah

konsep yang menunjukan tuntutan agar kaum muslim bersikap toleran terhadap

penganut agama lain. (Nurcholish Madjid, dalam Makalah, “wawasan al-Qur’an

tentang Ahl al-Kitab pada Munas kerukunan Hidup antar umat beragama di

Indonesia 7 juni 1993).

Disebabkan adanya prinsip-prinsip yang mengakui keberadaan agama-

agama lain yang kemudian dikenal dengan konsep Ahl al-Kitab itu, maka kitab

suci Al-Qur’an adalah kitab yang mengajarkan paham kemajemukan keagamaan

Page 11: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

(religious plurality) (Nurcholis Madjid, 1992:184). Ini sesuai dengan misi

kerasulan Nabi Muhammad bahwa Islam muncul untuk menegaskan kembali agar

seluruh umat manusia yang beragama itu “menyerahkan dirinya secara pasrah

kepada Tuhan”(yaitu”islam” dalam makna sejatinya).

Kemudian timbul pertanyaan, apakah dengan konsep ini Islam mengakui

kebenaran semua agama atau dengan kata lain. Islam memandang semua agama

itu sam belaka? Tentu saja menurut Nurchjolish pandangan itu keliru. Pandangan

Islam terhadap agama lain itu hanya memberi pengakuan sebatas hak masing-

masing untuk berada (berksisensi) dangan kebebasan menjalankan agama masing-

masing (Nurcholid Madjid, 1992:69).

Dengan demikian, ajaran kemajemukan agama itu menandaskan bahwa

semua agama diberi kebebasan untuk hidup dengan resiko yang akan ditanggung

oleh para penganut agama itu masing-masing (Nurcholid Madjid, 1992:79). Sifat

keunikan Islam seperti inilah yang telah menciptakan sikap-sikap unik juga pada

umat Islam dalam hubungan antar umat beragama, yaitu toleransi, keterbukaan,

kebahasaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran (fairness). (Nurcholid Madjid,

1992:81).

Mengapa Nurcholish mengatakan sikap inklusif umat Islam itu sebagai

pure doktrin Islam? Di sinilah konteks pernyataan Nurcholish yang sering ia

kumandangkan sangat relevan sebagai jawabannya. Menurutnya, sikap untuk

saling menghargai sesama pemeluk agama itu akan terlihat jelas jika umat Islam

dalam suatu kelompok masyarakat menjadi umat yang mayoritas.

C. Umat Islam Indonesia dan Masalah Pluralisme Agama

Dengan melihat pembahasan di atas, jelas Nurcholish Madjid menekankan

pentingnya prinsip tawhid, keadilan dan demokrasi sebagai modal utama umat

Islam untuk memecahkan berbagai persoalan yang akan dihadapi di masa yang

akan datang. Berkaitan dengan konteks keindonesiaan modal tersebut sangat

diperlukan dan relevan mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa dengan tingkat

kemajemukan yang sangat tinggi. Dalam bingkai modernitas, prinsip-prinsip di

atas itu menjadi keharusan bagi umat Islam Indonesia untuk diwujudkan dalam

peri kehidupan mereka sebagai seorang muslim agar mereka mampu menyertai,

bahkan menjadi aktor utama, dalam modernisasi (pembangunan).

Bagi Nurcholish, maju mundurnya bangsa Indonesia terletak di tangan

umat Islam yang menjadi bagian kelompok mayoritas. Kemajuan bangsa

Indonesia akan berdampak “krdit” kepada umat Islam Indoneia dan kemunduran

bangsa Indonesia akan berdampak “diskredit” kepada umat Islam Indonesia juga.

Jadi, bagi umat Islam, yang identik dengan rakyat itu, tidak ada pilihan lain

kecuali berpartisipasi dan mendukung pembangunan nasional. (Nurcholis,

1995:75).

Jadi, ringkasnya, demikian Nurchoolish, dalam usaha-usaha

mengembangkan pemikiran dan pemahaman agama secara kreatif, resourcefull

dan menjaman, umat Islam Indonesia itu harus pula mengenal secara “empirik”

pengalaman, pemikiran dan pemahaman keislaman di masa lalu. Dari sana akan

diperoleh banyak bahan perbandingan yang akan memperkaya visi dan wawasan

umat Islam Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan datang (Nurcholish

Madjid, dalam Kontekstualisasi Doktrin, 1994: xxvii.)

Page 12: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Berkaitan dengan masalah kemajemukan agama di Indonesia, Nurcholish

melihat bentuk kebijakan politik tentang kebebasan memeluk agama yang

tertuang dalam Piagam Madinah itu adalah langkah politis yang harus diambil

oleh bangsa Indonesia.

Dengan demikian, lagi-lagi Nurcholish menekankan segi-segi doktrin

Islam yang cemerlang, Yaitu, bahwa Islam adalah agama yang memandang

kesatuan antara yang sakral dengan yang profan (antara agama dengan negara,

namun tidak berarti juga keduanya identik. Karena walaupun agama dan negara

dalam Islam, meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dibedakan tidak terpisah,

namun berbeda (Elza Peldi Taher, 1945:126).

Untuk itu, menurut Nurcholish, Pancasila merupakan jalan tengah bagi

penyelesaian masalah perdebatan ideologis tersebut. Penerimaan Pancasila

sebagai landasan negara menunjukkan juga sikap arif pemimpin Islam pada waktu

itu dalam menjaga integrasi negara. Malah, jika diteliti lebih jauh, demikian

Nurcholish, segala yang terkandung di dalam negara itu sejalan dengan ajaran

Islam, meskipun simbol-simbol Islam telah dihilangkan (Nurcholish, 1995:107)

Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 itu bagi umat Islam

Indonesia dapat dipandang sama dengan kedudukan dan fungsi dokumen politik

pertama dalam sejarah Islam yang dikenal dengan nama Pigam Madinah pada

masa awal kehidupan Islam di bawah pimpinan Muhammad Saw di Madinah

(Nurcholis, dalam Budhy Munawar Rahman, 1996:94).

Demikian juga dengan Pancasila. Penganut agama lain tidak akan

meyadari bahwa penggunaan kata “musyawarah”, sekedar salah satu misal, yang

sering mereka lakukan itu adalah nilai Islam yang telah menjadi etika bangsa.

Pada akhirnya, secara tidak sengaja mereka “mengakui” Islam sebagai etika

bangsanya. Jadi, bangsa Indoneisa itu muslim harus dalam arti etika. “Etikanya

Islam, tetapi tidak harus diberi label Islam”.Apabila etika Islam telah berubah

menjadi etika bangsa, maka dengan sendirinya Islam pun akan menjadi sebuah

Civil Religion di Indonesia (Nurcholis Madjid, 1994:53).

Oleh sebab itu, Pancasila harus dilihat sebagai salah satu instrumen

penting dari “Islam Peradaban”, sehingga berfungsi sebagai titik temu

kemajemukan bangsa Indoneisa, khususnya di bidang keagamaan (Nurcholis

Madjid, 1994:53). Maka Pancasila adalah sebuah ideologi yang berwatak dinamis,

tidak statis, karena itu bersifat terbuka. Sifat dan watak inilah yang diharapkan

oleh para pendiri bangsa, sebagai landasan filosofis bersama -- common

philosophical ground, sebuah masyarakat plural yang modern.

Oleh karena itu, Nurcholish tidak menginginkan adanya penafsiran

Pancasila sekali jadi untuk selamanya (once for all). Pancasila juga tidak boleh

ditafsirkan oleh badan tunggal yang memonopoli hak untuk menafsirkannya.

Sebab, Nurcholish melihat dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara,

praktek penafsiran suatu ideologi negara oleh suatu badan tunggal sering hanya

dijadikan alat legitimasi terhadap kekuasaan yang zalim dan sewenang-wenang

(Nurcholis Madjid, 1995:569).

Maka, oleh karena Pancasila berfungsi sebagai titik temu kemajemukan

agama di Indonesia, setiap pemeluk agama memiliki hak untuk ikut serta secara

aktif menafsirkannya bersama-sama dengan pemeluk agama lainnya. Karena

Page 13: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

menurut Nurcholis, banyak cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tersimpul dalam

Pancasila belum tercapai. Dari lima sila yang ada, yang kelihatan jelas tercapai

adalah sila “Persatuan Indonesia”, yaitu terbentuknya suatu gugusan kepulauan

terbesar di muka bumi dari Sabang sampai Merauke sebagai wilayah kedaulatan

bangsa Indonesia. Setelah sila ketiga itu, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah

yang cukup baik terlaksana, itupun jika ukurannya hanya sebatas kesemarakan

beragama secara lahiriah. Sedangkan sila-sila lain, “harus diakui masih

memerlukan banyak sekali perjuangan untuk mewujudkannya (Nurcholis Madjid,

Majalah Umat, 1994:4).

Dalam masalah politik, Nurcholish mengatakan bahwa pelaksanaan politik

yang dijalankan di Indonesia masih diliputi oleh beragam “kecurangan”.

Karenanya, apabila demokratisasi berhasil ditegakkan, menurut Nurcholish, akan

membawa pada terjadinya “keadilan sosial” yang lebih mencerminkan dimensi

kemanusiaan. (Nurcholis Madjid, dilema antara pertumbuhan dan keadilan sosial

dalam Elza Peldi Taher, 1994:126).

Selanjutnya, ia melihat jika masalah keadilan tidak segera dipikirkan

pemecahannya, maka akan terjadi konsentrasi sumber daya, khususnya kapital,

keahlian dan informasi di tempat-tempat tertentu dan di tangan kelompok atau

orang tertentu. Kondisi ini akan menimbulkan ledakan kesenjangan sosial yang

sangat lebar, yang akhirnya bisa menyulut “huru hara” sosial. Ancaman lain yang

akan dihadapi dari kemajemukan sosial politik di Indonesia adalah kehampaan

dan kebiasaan yang bergeser dari kebenaran agama sebagai akibat imbas

modernisasi dan pembangunan ekonomi. Untuk itulah, setiap pemeluk agama

harus saling bekerja sama dalam mendidik dan memperingatkan bahaya

materialisme dan pragmatisme (Elza Peldi Taher, 1994:40-1)

Pada akhirnya, dari semua pembahasan di atas itu, sebenarnya Nurcholis

menunjukan bahwa semangat Pancasila itu tidak lain adalah terbentuknya suatu

tatanan masyarakat yang setiap warganya memperoleh kebebasan bertindak.

Semangat inilah yang ingin disampaikannya dalam kaitan mewujudkan “Islam

Peradaban” yang ia cita-citakan. Dan, Pancasila sebagai titik temu agama-agama

di Indonesia adalah pembuktian Nurcholish bahwa antara Islamic values dengan

Indonesian values tidak terpisahkan.

Page 14: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

BAB III

K E S I M P U L A N

Berkaitan dengan penelitian “Pemikiran Nurcholish Madjid tentang

Pluralisme di Indonesia”, maka penulis dapat mengambil kesimpulan:

1. Dalam konteks Indonesia yang memiliki pluralitas yang sangat tinggi,

pluralisme menjadi tantangan besar bagi keutuhan bangsa dan negara.

Terlebih lagi, dalam dimensi sejarah hubungan agama-agama di Indonesia,

sejak kolonialisme Belanda sampai sekarang, masalah sosial, ekonomi dan

politik ikut mewarnai sebagai faktor-faktor yang menyatu dengan kalim

ultimate truth masing-masing pemeluk agama dalam menimbulkan konflik

agama di Indonesia. Kehidupan agama-agama di Indonesia di satu pihak

memberi nuansa-nuansa khazanah budaya bangsa, tetapi di pihak lain ia

memiliki potensi yang sangat kuat dalam menimbulkan dis-integrasi

negara.

2. Tantangan pluralisme agama ini tak lepas dari perhatian Nurcholish

Madjid, seorang cendekiawan Muslim yang -- selalu berpijak pada

kebebasan berpikir tanpa sekat-sekat promordialisme. Jati diri dan

wataknya kemudian terbentuk dari bekal pendidikan yang menuntut sikap

liberal dan demokrat, yaitu seorang cendekiawan yang berpikiran bebas

tetapi juga mau menerima kritik dan pendapat orang lain, yang

diperolehnya di Gontor dan Universitas Chicago serta pengalamannya

memimpin organisai-organisasi kemahasiswaan. Sehingga Nurcholish

terlahirkan sebagai cendekiawan yang tidak terpenjara oleh tembok

pemikiran atau sistem nilai tertentu. Pada dirinya terpelihara suatu sikap

paradoks yang istimewa, yaitu kritis tanpa kebencian. Pada akhirnya,

Nurcholish berjuang untuk “memperluas kebebasan manusia, martabat

manusia dan hak-hak asasi manusia”. Rasa cintanya pada nilai-nilai

kemanusiaan terpadu dengan pandangannya yang bening atas masalah-

masalah sentral yang dihadapi umat manusia yang tercermin dalam

pembaharuan pemikiran Islamnya. Dalam kerangka itulah akhirnya ia

sampai pada pemikiran tentang pluralisme agama di Indonesia. Dinamika

pemikirannya ini adalah sebuah improvisasi yang sangat menonjol dari

rangkaian pembaharuan pemikiran Islam yang dicita-citakannya.

3. Semua pemikiran Nurcholish di bidang pluralisme agama ini dimaksudkan

untuk menunjukan bahwa titik temu agama-agama itu perlu diciptakan.

Bagi Nurcholish, Pancasila adalah titik temu agama-agama di Indonesia.

Islam dapat menerima Pancasila karena falsafah negara ini diangkat dari

budaya bangsa. Sedangkan budaya bangsa itu mencakup budaya Islam

sebagai hasil dialog antara Islam universal dengan budaya-budaya

Nusantara yang partikular. Dengan lain kata, Islam telah menjadi bagian

integral dari budaya Indonesia, sehingga legitimasi kultural bagi Pancasila

berarti legitimasi terhadap Islam juga. Pada akhirnya, pemikiran

Nurcholish ini menunjukan wataknya sebagai cendekiawan muslim yang

berparadfigma inklusif, yaitu paradigma yang memandang umat manusia

berdasarkan prinsip persamaan, sehingga Islam dapat berfungsi sebagai

Page 15: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

agama masa depan yang terbuka bagi kemanusiaan. Oleh karena itu,

teologi inklusif Nurcholish ini bisa dikatakan sebagai filsafat perennial

yang berdasarkan Islam. Maka, yang genuine dari pemikirannya adalah

adanya distingsi antrara esoterisme dan eksoterisme agama. Karena

pandangan Nurcholish berdasar bingkai Islam, maka pencarian filsafat

penernnial itu harus dilakukan juga oleh para penganut agama lain.

Pencarian itu pada ujungnya menjadi bahan dialog yang sangat besar

manfaatnya bagi penegakkan konsep kerukunan hidup antar umat

beragama.

Page 16: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1988, Pedoman Dasar

Kerukunan Hidup Beragama. Departemen Agama RI, 1984

Abdullah, M. Amin. “Etika dan Dialog antar Agama:”Ulumul Qur’an 4, Vol. IV

(1993)

_______.”Islam Indonesia Lebih Pluralistis dan Demokratis,”Ulumul Qur’an 1,

Vol. IV (1993).

Abdullah, Taufik, “Tesis Weber dan Islam di Indonesia,” dalam Taufik Abdullah

(ed). Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:LP3S,

1993.

Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di

Asia Tenggara. Jakarta:LP3S, 1989.

Abdullah, Muslim. “Dua Pendekar,” Tempo, Januari 1993, Ali, H.A.

Mukti.”Menatap Hari Depan dengan Hidup Rukun antar Umat

Beragama,”makalah pada acara 100 Tahun Parlemen Agama-Agama

Se-Dunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama di

Indonesia,Yogyakarta,11-12 Oktober 1993.

_______.Agama dan Pembangunan di Indonesia. Depag RI, 1973.

_______.”Hubungan Antar Agama dan Masalah-Masalahnya,”

dalam Eka Darmaputera (ed.). Konteks Berteologi di

Indonesia:Jakarta:BPK. Gunung Mulia, 1991.

Ali, Fachry. “Cak Nur dan Gus Dur, “Tempo. Oktober 1993.

Ali, Fachry dan Bachtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi

Pemikiran Islam Masa orde Baru. Bandung Mizan, 1987.

Alhumami, Amich. “Beragama secara Toleran,”Media Indonesia (Jakarta), 22-23

Mei 1993.

Amin, M. Mansyur (ed.) Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di

Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Amin, M. Mansyur dan Ismail S. Ahmad (ed.). Dialog Pemikiran Islam dan

Realitas Empirik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993.

Anshari, E. Saifuddin. Kritik atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan”Drs.

Nurchoish Madjid.Bandung: BUlan Sabit, 1973M.

Anwar, M. Syafi’I “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid,”

Ulumul Qur’an I, Vol.IV (1993).

_______.”Pluralisme Agama dan Pemantapan Integrasi Nasional,” Kompas

(Jakarta), 21 Mei 1993.

_______.”Teologi Kerukunan dan Praksis Agama-agama,” Kompas (Jakarta), 20

Juni 1993.

_______.”Politik Agama dan Artikulasi Islam Orde Baru,” Media Indonesia

(Jakarta), 19-20 Februari 1993.

_______.”Negara, Masyarakat dan Artikulasi Politik Islam Orde Baru,”

Republika (Jakarta), 14-15 April 1993.

_______.”Idealisme Islam, Realitas Politik dan Dimensi Kebangsaan,”Republika

(Jakarta), 29-30 Januari 1993.

Page 17: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Arsyad, A. Rusli. “Al=Qur’an dan Pluralisme Keagamaan,”Pelita (Jakarta), 4

Maret 1994.

Arkound, Muhammad.”Pemikiran tentang wahyu: Dari Ahl-Kitab sampai

Masyarakat Kitab,”Ulumul Qur’an 2, Vol.IV (1993).

Armando, Ade.”Citra Kaum Pembaharu Islam dalam Propaganda Media

Dakwah,”Ulumul Qur’an 3, Vol.IV (1993).

Asa, Syu’bah, “Mengembangkan Toleransi Beragama,” Republika (Jakarta), 14

Januari 1993.

Athiyah, S., Ibnu. “Agama Masa Depan dalam Perpektif Spiritual, ”Republika

(Jakarta), 7 Mei 1993.

Azra, Azyumardi. “Tipologi dan Dimensi Politis Gerakan Neorevivalis di

Indonesia, “Ulumul Qur’an 2, Vol IV 1993.

_______.”Islam, Akomodasi Budaya dan Pasca Modernisme,” Republika

(Jakarta), 27 Januari 1993.

_______.”Citra Barat tentang Islam: Tinjauan Historis Singkat,”Republika

Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1989.

_______.” Memahami Konflik Barat Islam dalam Era Globalisasi,” kata

pengantar untuk buku Karel Steen brink Kawan dalam Pertikaian

Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1959-1942).

Bandung:Mizan, 1995.

_______.Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar

Pembaharuan di Nusantara.Bandung: Mizan, 1994.

Badawi, Syaikh M.A. Zaki. “Islam, Agama-agama Lain dan Masa Depan

Kemanusiaan,”Ulumul Qur’an 1, Vol. III (1992).

Berger, Peter L. Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta:LP3S, 1991.

Bleeker, C.J. Pertemuan Agama-agama Dunia. Bandung: Sinar Bandung, 1983.

Budiman, Arief.”Dimensi Sosial Ekonomi dalam Konflik Agama di Indonesia,”

dalam Th. Sumartana, St. Sunardi dan Farid Wajdi (ed.) Dialog: Kritik

dan Identitas Agama. Yogyakarta: DIAN, 1993.

Daya, Burhanuddin. “Hubungan antar Agama di Indonesia,”Ulumul Qur’an 4,

Vol. IV (1993).

Darmaatmadja, J.”Pluralisme Agama dan Masa Depan Bangsa: Perspektif Agama

Katolik, “makalah pada acara 100 Tahun Parlemen Agama-Agama Se-

Dunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia,

Yogyakarta, 11-12 Oktober 1993.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.

Jakarta LP3S, 1990.

Dimont, Max I. Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan. Bandung:Eraseni Media,

1993.

Djajadiningrat. P.A. Husein. “Islam di Indonesia,”dalam Kenneth W. Morgan

(ed.). Islam Djalan Mutlak. Jakarta Jembatan, 1963.

Effendi, Djohan, “Dialog antar Agama Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan,”

dalam Imam Ahmad (ed.). Agama dan Tantangan Zaman Pilihan

Artikel Prisma 1975-1984. Jakarta:LP3S, 1985..

Gaffar, Afan. “Islam dan Politik dalam Era Orde Baru Mencara Bentuk Artikulasi

yang Tepat,” Ulumul Qur’an 2, Vol.IV (1993).

Page 18: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

H.A., Saifullah, “Daarussalaam, Pondok Modern Gontor,” dalam M. Dawam

Rahardjo (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta:LP3S, 1988.

Hadikusuma, Hilman, Antropologi Agama bagian I (Pendekatan Budaya terhadap

Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di

Indonesia).Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.

Hasan. M. Kamal. Modernisasi Indonesia:Respon Cendekiawan Muslim. Jakarta:

Lingkaran Studi, 1997.

_______.”Tanggapan-tanggapan Ideologis Muslim terhadap Masalah Modernisasi

di Indonesia,”dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin

Hussein (ed.). Islam di Asia Tenggara Perspektif Kontemporer.

Jakarta:LP3S, 1987.

Hadimulyo. “Keberagamaan yang Merdeka dan Bertanggungjawab,” Kompas

(Jakarta), 17 Juni 1993.

Hartoko, Dick. “Kerukunan Beragama dan Cara Memandang Kebudayaan,”

Ulumul Qur’an 3, Vol.IV (1993).

Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jakarta:BPK. Gunung Mulia, 1992.

Hidayat, Komaruddin.”Schoun, Nasr dan Cak Nur,”Ulumul Qur’an 1, Vol. IV

(1993).

_______.”Kebangkitan Etno-Religius,”Kompas (Jakarta),12 Agustus 1994.

_______.”Perennialisme: Pendekatan Lain Memahami Agama,” Kompas

(Jakarta), 14 April 1993.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung:Mizan, 1991.

Kleden, Ignes. “Kbangkitan Agama dalam Tiga Dimensi,”Kompas (Jakarta), 3

April 1995.

Langie. G.S.S. Ratu. Indonesia di Pasifik. Jakarta:Pustaka Harapan, 1982.

Liddle, R. William.”Skriptualisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan

Aksi Politik IslamMasa Orde Baru, “Ulumul Wur’an 3, Vol.IV (1993).

Lubis, M. Ridwan. “Perkembangan Pemikiran Islam Regional: Tinjauan terhadap

Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia,” dalam Abdurrahman,

Burhanuddin Daya dan Djam’anurri (ed). Agama dan Masyarakat.

Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga Pers, 1993.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.

_______.Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di

Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995.

_______.Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin

Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

_______.Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:Mizan, 1992.

_______.Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta:Paramadina, 1994.

_______.Pluralisme Agama di Indonesia,”Ulumul Qur’an 3, Vol. VI (1995).

_______.”Wawasan Al-Qur’an tentng Ahl-kitab,”makalah pada acara Seminar

Kerukunan Hidup antar Umat Beragama di Indonesia, Universitas

Islam Bandung, 7 Juni 1993.

________ “Tak Usah Munafik,” Matra 77 (Desember 1992).

_______.”Tuhan Tujuan yang Tak Bakal Tercapai,”Media Indonesia (Jakarta), 28

Maret 1993.

Page 19: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

_______.”Uskup Bello Harus sadar, Dirinya hanya Tokoh Agama,” Republika

(Jakarta),13 Oktober 1995.

_______.”Teokrasi dan Asal Usul Sekulerisme,”Republika (Jakarta), 3 Oktober

1994.

_______.”Roem,”Tokoh Islam yang Faham Betul Demokrasi,” Republika

(Jakarta), 5 Mei 1995.

_______.”Warisan Intelektual islam,” pangantar untuk buku yang disuntingnya,

Khazanah Intelektual islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984..

_______.”Menatap Islam Masa Depan,” Ulumul Qur’an 1, Vol.V (1994).

_______.”Tasauf dan Pesantren,” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.). Pesantren

dan Pembaharuan. Jakarta:LP3S. 1988.

_______.”Sufisme Baru dan Sufisme Lama: Masalah Kontinuitas dan

Perkembangan dalam Esoterisme Islam,” dalam Djohan Effendi )ed.).

Sufisme dan Masa Depan Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

_______.”Menggerakkan Faham Ahlus Sunnah wal-Jamaah Baru,” dalam Haidar

Baqir (ed.). Satu Islam Sebuah Dilema Bandung: Mizan, 1991.

_______.”Pancasila setelah Lima Puluh Tahun,”Ummat 4 (Agustus 1995).

_______.”Pemikiran Filsafat islam di Dunia Modern: Problem Perbenturan antara

warisan Islam dan Perkembangan jaman, “Al-Hikmah 6 (Oktober

1992).

________ “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi

Mendatang,”Ulumul Qur’an 1, Vol. VI )1993).

_______.Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan. Bandung:Mizan, 1993.

_______.”Pembangunan Nasional:Dilema antara Pertumbuhan dan Keadilan

Sosial,”dalam Elza Peldi Taher (ed.). Demokratisasi Politik, Budaya

dan Ekonomi.Jakarta: Paramadina, 1994.

_______.”Kebebasan Nurani (Freedom of Concience)dan kemanusiaan Universal

sebagai Pangkal Tolak Demokrasi, Hak Asasi dan Keadilan,” dalam

Elza Peldi Taher.

_______.”Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia: Bebereapa Pandangan

Dasar dan Prospek Pelaksanaannya sebagai Kelanjutan Logis

Pembangunan Nasional,”dalam Elza Peldi Taher.

_______.”Konsep Ashab al-Nuzul dan Relevansinya bagi Pandangan historisis

Segi-segi tertentu Ajaran Keagamaan,” dalam Budhy Munawar

Rahman (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:

Paramadina, 1994.

_______.”Islam di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansial Ideologi

dan Etos Nasional, “dalam Budhy Munawar Rahman.

________ “Al-Qur’an, Kaum Intelektual dan Kebangkitan Kembali Islam,” dalam

Rusydi Hamka, Iqbal Emsyarif dan Arif Saimina (ed.). Kebangkitan

Islam dalam Pembahasan. Jakarta:Yayasan Nurul Islam, 1992.

Mangunwijaya, Y.B. “Kosmologi Baru dan Penghayatan Agama,” Kompas

(Jakarta), 21 Mei 1992.

_______.”Pergeseran Titik Berat dari Keagamaan ke Religiusitas,” dalam Djohan

Effendi (ed.). Spiritulitas Baru: Agama dan Aspirasi

Rakyat.Yogyakarta: DIAN, 1994.

Page 20: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Maarif, Ahmad Syafi’i. “Agama dan Pembangunan: Corak Masyarakat Islam

Masa Depan.”Ulumul Qur’an 1, Col. III (1992)..

Mas’udi, Masdar F.”Ide Pembaharuan Cak Nur di Mata Orang Pesantren”Ulumul

Qur’an 1, Vol. IV (1993).

______.”Reorientasi Pemikiran Keagamaan NU-Muhammadiyah,” Media

Indonesia (Jakarta), 20-21 Juli 1993.

Mali, Abraham Runga. “Urgensi Dialog di Tengah Pluralisme Agama,” Media

Indonesia (Jakarta, 20-21 Juli 1993.

______.”Saiful )ed.) Pembangunan dan Kebangkitan islam di Asia Tenggara,

Jakarta: LP3S, 1993.

______.”Berteologi sebagai Praktek Politik: Suatu Kesaksian Islam Orde Baru,

“dalam Djohan Effendi (ed.). Spiritualitas Baru:Agama dan Aspirasi

Rakyat. Yogyakarta: DIAN, 1994..

______.”Agama dalam Transformasi Sosial,” Islamika 1 (1993)..

Mulkhan, Abdul Munir. “Logika Ekonomi dan Agama dalam Fenomena Protes

Sosial,”Kompas (Jakarta), 9 Maret 1993.

Nashir, Haedar.”Agama, Pluralisme dan Penelitian Kerukunan,” Kompas

(Jakarta), 31 Mei 1993.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.

______.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II. Jakarta: Universitas Indonesia

Perss, 1986.

Noorsena, Bambang. Antara Bayangan dan Kenyataan Kembang Setaman

Seputar Kekristenan di Tengah Perjumpaan Agama-agama dalam

Kepustakaan Jawa. Yogyakarata: Yayasan Andi, 1992.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3S. 1991.

Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1993.

O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: Rajawali,

1992.

Pardoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993.

Peassen, Y.V. “Kerjasama Agama-Agama dan Prospek: Kasus Sulawesi Utara,”

dalam Imam Ahmad (ed.) Agama dan Tantangan Zaman Pilihan

Artikel Prisma 1975-1984. Jakarta:LP3S, 1985.

Pranowo, M. Bambang. “Islam dan Pancasila: Dinamika Politik Islam di

Indonesia,”Ulumul Qur’an 1, Vol.III (1992).

Priyono, A.E. “Periferalisasi, Oposisi dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak

Pmikiran Dr. Kuntowijoyo),” kata pengantar untuk buku

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi.

Bandung:Mizan, 1993.

_______.Islam. Bandung: Pustaka, 1994.

_______.Tema Pokok AL-Quran. Bandung:Pustaka, 1983.

_______.Islam dan Modernitas tentang ransformasi Intelektual. Bandung:

Pustaka, 1985.

_______.”Beberapa Pendekatan dalam Kajian Atas Islam: Suatu Tinjauan

Kritis,”Ulumul Qur’an 2, Vol. III (1992).

_______.”Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan

Otobiografis,”Jurnal Al-Hikmah 6 (Oktober 1992).

Page 21: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

_______.”Budhy Munawar,”Menguak Batas-batas Dialog antar Agama, “Ulumul

Qur’an 3, Vol. VI (1995).

Rahman,Budhy Munawar. “Kesatuan Transendental dalam Teologi: Perspektif

Islam tentang Kesamaan Agama-agama,” dalam Th. Sumartana, St.

Sunardi dan Farid Wajidi (ed.). Dialog: Kritik dan Identitas Agama.

Yogyakarta: DIAN, 1993.

_______. Kebijakan Perennial dan Kritik Terhadap Modernisme,” Kompas

(Jakarta), 22 Mei 1993.

_______.”Berbagai Respon atas Pembaharuan Islam,” Ulumul Qur’an I, Vol. IV

(1993), 22 Mei 1993.

_______.”Kemenangan Islam, Kemenangan Ide, bukan Kemanangan Golongan,

“Republika (Jakarta), 6November 1994.

Rahmat, Jalaluddin.”Kearifan Perennia:Paradigma Baru Sains,” Republika

(Jakarta), 14-16 Desember 1993.

_______.”Mutahhari: Sebuah Model buat para Ulama,”kata pengantar untuk buku

Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Wur’an tentang Manusia dan

Agama. Bandung:Mizan, 1986.

Rahardjo. M. Dawam. Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa.

Bandung: Mizan, 1993.

_______.”Di Sekitar Cara mendiskusikan Pemikiran Keagamaan Akhir-akhir

ini,”Republika (Jakarta), 8 Februari 1992.

Ridwan, M. Deden. “Tempo dan Gerakan Neo-Modernisme di Indonesia,”Ulumul

Qur’an 3, Vol. VI (1995).

Rosita, Elly, “Mereka yang Membawa Kemudi HMI,”Kompas (Jakarta), 16

September 1990.

Saifulloh HA, Ali, “Daarussalaam, Pondok Modern Gontor,” dalam M. Dawam

Rahardjo (ed.). Pesantren dan Pembaharuan Jakarta: LP3S, 1988.

_______.Islam dan Filsafat Perenial. Bandung: Mizan, 1993. Shihab, M. Quraish.

Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat,”Kompas (Jakarta), 4 Agustus 1993.

Simatupang, T.B. “Bersama-sama Meletakkan Landasan Moral, Etik dan Spiritual

bagi Perkembangan Nasional Menuju Tinggal Landas,” dalam Eka

Darmaputera (ed). Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta:BPK.

Gunung Mulia, 1991.

Sjamsudhuha. Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik dan Protestan di

Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional, 1987. Setiadi,

Purwanto.”Pelajaran Keberagamaan dari Madinah,” Republika

(Jakarta), 19 April 1994.

Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.

_______.”Pasca-Modernisme dan Agama-agama Dunia, “Ulumul Qur’an 1 Vol.

VI (1995).

Stennbrink, Karel. Kawan dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dengan

Islam di Indonesia. (Jakarta:BPK.Gunung Mulia, 1991.

Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3S, 1986.

Supriyanto, Eko, “Menguak Metamorfosis Nurcholish Madjid,” Republika

(Jakarta), 17 Oktober 1994.

Page 22: Asep S. Mimbar.pdf.pdf

Suryanegara, A. Mansyur. “Ummat Islam dalam Perspektif Sejarah,” dalam

Rusydi Hamka, Iqbal Emasyarif dan Arif Saimina (ed.). Kebangkitan

Islam dalam Pembahasan. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1992.

_______.Menemukan Sejarah Wcana Pergerakan Islam di Indonesia.

Bandung:Mizan, 1995.

Soedjatmoko. Etika Pembebasan.Jakarta:LP2S, 1988.

Taher, Tarmizi. “Menciptakan Kedamaian Lewat Forum Konsultasi Antar Umat

Beragama,” Republika (Jakarta), 13 Oktober 1995.

Tanja, Victor I. “Tradisionalisme Agama dan Masa Depan Umat Manusia,”

Ulumul Qur’an 4, Vol. III (1992).

_______.”Toleransi Kristiani dalam Negara Pancasila,” Republika (Jakarta),

26September 1994.

_______.”Dialog Islam-Kristen tentang Perdamaian dan Hak Asasi Manusia,”

Kompas (Jakarta), 14 Juli 1993.

_______.Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta:BPK.

Gunung Mulia, 1994.

Tamimi, Geys A. “Pembaharuan Nurcholish Madjid,” Media Indonesia

(Jakarta),31 Maret-April 1993.

Tebba, Sudirman., “Arah Baru Gerakan Pemikiran Islam,” Kompas (Jakarta),

Desember 1987.

Verkuyl, J. Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan

Zending pada Masa Politik Kolonial Etis. Jakarta:BPK.Gunung Mulia,

1990.

Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: LP3S, 1988.

Wahid, Abdurrahman. “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban

Islam,” dalam Budhy Munawar Rahman (ed.). Kontekstualisasi

Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.

Wach, Joachim. Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Rajawali, 1989.

Yafie, Ali, dkk. Agama dan Pluralitas Bangsa.Jakarta: P3M, 1994.