relasi manusia dan agama.docx

Upload: ady-habun

Post on 08-Jan-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pengantar Pragmatisme pada pokoknya merupakan gerakan filsafat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir. Istilah pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma yang berarti tindakan. Sedangkan, isme adalah paham atau pengertian. Oleh karena itu, pragmatisme secara harafiah dapat diartikan sebagai filsafat atau aliran pemikiran tentang tindakan. Istilah pragmatisme diambil dari Pierce dan Kant. Kant telah memberi keyakinan pragmatis kepada tingkat keyakinan hipotetis tertentu mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan riil untuk mencapai tujuan tertentu.[footnoteRef:1] [1: Keraf, Sony, Pragmatisme Wiliam James, Kanisius, Yogyakarta, 1987, hlm. 15. ]

Pragmatisme mencoba untuk menengahi antara tradisi empiris dan tradisi idealis dan menggabungkan kedua hal tersebut. Kedua hal tersebut memiliki arti yang sangat mendalam bagi James. Pragmatisme adalah suatu metode yang menggabungkan tradisi empiris dan tradisi idealis yang memiliki konsekuensi praktis. Sehingga dalam hal ini, filsafat membantu kita untuk memahami realitas. Sebab filsafat yang mememakai akibat-akibat praktis dari pikiran kita dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. William James mendefinisikan pragmatisme sebagai sikap memandang tindakan kita yang memiliki konsekuensi praktis, dalam kekinian dan masa yang akan datang. William James, seorang perintis psikologi dari Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul Varieties of Religious Experience berusaha mengerti fenomena keagamaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan individu manusia. Manusia sebagai individu, dan bukan manusia sebagai kelompok numeris belaka. Akan tetapi ia meletakan bahwa manusia adalah manusia bukan yang lain. William James melihat bahwa agama (religi) hanya berarti apabila dialami sebagai pengalaman pribadi. Artinya, ada pengalaman pribadi yang bisa diterangkan dengan menggunakan simbol-simbol dari agama tertentu yang dihayati sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dari narasi kehidupan seseorang. Agama dalam arti itu tidak lagi berputar di segi argumentasi belaka, tetapi sudah masuk kedalam kesaksian pribadi tentang bagaimana sosok imanen dan transenden yang dinamakan Tuhan telah beraksi secara konkrit dalam kehidupan pribadi seorang penganut agama. Dengan demikian pada penulisan peper tersebut penulis mengagas pemikiran James tentang Relasi Manusia dan Agama. Oleh karena itu, pemikirannya tentang manusia dan agam akan dijelaskan oleh penulis selanjutnya.

A. Sekilas tetang William James

William James lahir di New York, 11 Januari 1842. Sejak 1872 hingga 1907, ia menuntut ilmu di Harvard. Pada mulanya James mempelajari fisiologi, kemudian beralih ke psikologi, dan terakhir filsafat. Pragmatisme William James memiliki pengaruh yang cukup dominan dalam filsafat pragmatisme, yang merupakan pemikiran khas Amerika. Karya-karya William James antara lain Pragmatism, The Will to Believe, The Varietis of Religion Experience, The Meaning of Truth, dan beberapa karya lainnya.Ayahnya, Henry James, Sr., yang kebetulan adalah seorang penulis filosofis, ahli teologi, dan seorang yang mencintai kebudayaan lebih mengembangkan sikap demokratis dalam mendidik anak-anaknya. Ia lebih menghargai dan menyukai penghayatan pribadi yang unik, khas dan mendalam daripada mengikuti aturan-aturan institusional yang serba formal. Ia pun berusaha menanamkan nilai-nilai demokratis, agama kepada anak-anaknya dan mengharapkan agar mereka kelak menjalani hidup sebagai cendekiawan. Pola asuh ayahnya tersebut sangat mempengaruhi kehidupan dan sikap pribadi James di kemudian hari, yakni kurang menyukai aturan-aturan yang serba formal dan otoriter. Ia juga tidak menyukai pembatasan yang terlalu kaku antardisiplin ilmu dan peran lembaga keagamaan yang menganggap dirinya berwenang sebagai perantara rohani-ah antara Tuhan dan manusia. Ketika masa mudanya, James memiliki keinginan untuk menjadi pelukis tekenal. Tetapi, kemudian dalam kehidupannya dengan seni, ia mendapat pelajaran bahwa dirinya dapat hidup tanpa seni. Akhirnya, James mengarah pilihannya pada dunia medis dan ilmu kealaman (natural science). Keahliannya dalam dunia keilmuan, bidang seni, psikologi, membuat ia semakin proposional dalam melihat realitas yang ada. Sehingga, baginya segala tidankan kita selalu memiliki konsekuensi praktis. Hal ini disebabkan karena cara pandangnya sangat empirik-radikal. Melalui proses belajar pada bidang keilmuan, James mengarahkan pilihannya pada filsafat. Pada bidang keilmuan filsafat ia belajar tentang permasalahan moral, espitemologis, dan metafisika dalam keberkaitan dengan pengalaman langsung kita. Namun, belajar filsafat membuat ia semakin pusing karena ilmu filsafat sifatnya menggunkan cara berpikir teoritis-idealis. Ini bertolak belakang dengan cara berpikirnya empirik. Inilah menjadi salah satu bentuk pemberontakannya terhadap idealisme-intelektual. Empirisme radikal yang ditawarkan oleh James mempertahankan pluralitas dari pengalaman dalam rangka melawan pandangan keharmonisan dan kesederhanaan monisme.[footnoteRef:2] [2: Lih. Keraf, Sony, Pragmatisme Wiliam James, Kanisius, Yogyakarta, 1987. ]

Pragmatisme, seperti yang didefinisikan oleh James dalam empirisme radikal-nya, telah menghadirkan konsekuensi besar dalam pemikiran modern. Di samping itu, James dapat disebut sebagai tokoh pertama yang mempopulerkan pragmatisme.[footnoteRef:3] [3: Ibid, hlm. 33.]

B. Pemikiran William James tentang Pengalaman Religius

Karya James The Varieties of Religious Experience merupakan sebuah pendekatan psikologis terhadap agama. James berusaha memfokuskan kehidupan religius pada pengalaman religius yang dialami oleh individu. Dalam karya tersebut, yang menjadi subjek persoalan adalah perasaan religius, desakan-desakan hati terhadap religiusitas, dan fenomena-fenomena subjektif lain mengenai agama. James menemukan bahwa ada kehidupan religius didasarkan pada sebuah kepercayaan terhadap keteraturan yang tidak terlihat, perasaan akan kehadiran yang objektif, sebuah persepsi bahwa ada sesuatu dalam kehidupan. Menurut James, ajaran agama atau religi adalah suatu wadah dialog antara penganut dan sesuatu yang dipercayainya sebagai Tuhan. Harus ada dialog berupa pengalaman pribadi. Hasilnya seperti apa tidak akan dimengerti, dan gunanya untuk apa juga tidak diketahui. Karena konsep komunikasi kita dengan yang kita percayai, sebagai Tuhan merupakan pengalaman kita yang tidak bisa digambarkan ketika kita berbicara dengan sesama kita secara langsung. Dalam buku The Varieties of Religious Experience, James berpendapat bahwa ada dua bentuk agama, yaitu agama orang yang sehat jiwanya, dan agama orang yang sakit jiwanya. Asumsinya ini terkait dengan kategori James yang terkenal, yaitu tought-minded dan tender-minded. Dalam pandangannya agama orang yang sakit jiwanya, ia menganjurkan memilih pandangan dunia monistis, dunia yang telah dideterminasi karena sesuai dengan kerinduan religiusnya akan kedamaianyang tinggal diterima begitu saja. Sebaliknya bagai mereka yang sehat jiwanya, James menganjurkan kepada mereka untuk memilih dunia sebagaimana dipahami oleh kaum pluralis; suatu dunia yang terbuka terhadap pembaharuan, yang tidak terdeterminasi, yang belum selesai.[footnoteRef:4] [4: Jessica, Anastasia, Power Point Pragmatisme, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, 2014. ]

James kembali mengagas bahwa gagasan mengenai adanya Tuhan dan kepercayaan terhadap agama merupakan gagasan yang benar jika memiliki efek-efek praktis. Tindakan manusialah yang akan membuktikan apakah keyakinannya terhadap Tuhan merupakan suatu kebenaran. Dalam hal ini, keyakinan kita kepada Tuhan dan agama memang diperlukan, karena dengan keyakinan tersebut manusia akan memiliki ketenangan dalam menghadapi kehidupannya. Dengan ketenangan itulah ia akan bisa melakukan tindakan-tindakan yang berguna dengan cara yang benar.Kebenaran agama juga tidak dilihat secara intrinsik, akan tetapi dikaji dari segi hasil-hasil dan konsekwensi-konsekwensi praktisnya bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kebenaran agama didudukkan dalam perspektif pengaruh yang ditimbulkannya atau tidak bertentangan dengan prinsip cash value. James memandang bahwa agama bukanlah sekedar upaya bertahan hidup. Lebih dari itu agama telah memberikan ketenangan bagi manusia atas kenyataan hidup yang dihadapinya. Penderitaan hanyalah bagian dari ujian dari Tuhan untuk meningkatkan iman, keadilan Tuhan akan tegak setelah hari kiamat, dan ada sorga tempat segala kenikmatan telah memberikan optimisme di setiap dada orang-orang beriman.

C. Teori Uji Pragmatik Atas Kebenaran Agama

Menurut teori pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya suatu pernyataan benar, jika pernyataan itu memiliki implikasi atu mempunyai fungsi kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Menurut James, akal dengan segala aktivitasnya ditakklukan oleh perbuatan. Akal hanya berfungsi sebagai memberi informasi bagi praktik hidup sehari-hari.[footnoteRef:5] [5: Bahktiar, Amsal, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 34. ]

Teori korespondensi menempatkan kebenaran sebagai milik pasti dari ide yang sesuai dengan kenyataan. Menurut James, baik pragmatis maupun intelektualis menerima pengertian ini sebagai hal yang pasti. Teori korespondensi bersikukuh menyatakan bahwa pikiran yang benar adalah yang sesuai dengan kenyataan. Bagi James kebenaran harus memiliki konsekuensi praktis. Artinya, ide-ide yang benar dalam pikiran, benar sejauh juga benar dalam realitas. Ide-ide tersebut dapat diberlakukan, dibuktikan, dan diwujudkan secara praktis. Kebenaran merupakan suatu proses. Kebenaran adalah suatu proses dan terjadi pada suatu ide. Kebenaran sejati adalah verifikasi. Hal ini berarti menekankan perhatian kepada hasil, konsekwensi-konsekwensi praktis. Oleh karena itu, kebenaran agama dilihat secara intrinsik dengan mengkaji dari segi hasil dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kebenaran agama didudukkan dalam perspektif pengaruh yang ditimbulkannya atau tidak bertentangan dengan prinsip cash value. The Varieties of Religious Experience, James menggambarkan bahwa pengalaman agama yang dialami oleh seseorang perlu membawa konsekuensi praktis, membawa perubahan pada setiap individu. Semua fakta pengalaman, yang ditafsir secara tepat, baik fakta fisis maupun moral, cenderung disimpulkan sebagai pengalaman beragama.[footnoteRef:6] [6: Keraf, Sony, Pragmatisme Wiliam James, Kanisius, Yogyakarta, 1987, hlm. 101. ]

Dengan demikian, James berusaha memfokuskan kehidupan religius pada pengalaman religius yang dialami oleh individu. Kehidupan religius didasarkan pada sebuah kepercayaan terhadap keteraturan yang tidak terlihat. Yang tidak terlihat adalah Yang Absolut (Allah). James mengatakan bahwa karakteristik kehidupan religius adalah reaksi kita terhadap objek kesadaran, baik yang dapat dirasakan dengan panca indera kita; maupun yang hanya ada di dalam pikiran kita, dalam hal ini yaitu religiusitas. Dan, seringkali objek kesadaran dalam pikiran kita memiliki kehadiran yang lebih kuat daripada yang dapat dirasakan dengan indera. Jika diaplikasikan dalam kehidupan religius, misalnya keberadaan Tuhan bagi manusia adalah sebuah gagasan. Gagasan Tuhan dikenali dengan sifat ke-Maha-anNya.James meyakini bahwa pengalaman religius personal berakar dan berpusat dalam kesadaran mistis, yaitu dengan ciri, pertama, tidak dapat dibuktikan dengan logika. James menyimpulkan bahwa karakteristik religius adalah kepercayaan terhadap ke-Tuhan-an yang berfungsi atau berguna dalam kehidupan individu.Agama bekerja dalam pengalaman individu adalah dengan terlebih dahulu meyakini (a priori), bukan meyakini buktinya terlebih dahulu (a posteriori). Dan James juga menekankan, bahwa sah bagi siapapun untuk bertahan meyakini sesuatu, meskipun belum yakin akan buktinya bahwa sesuatu itu sungguh bekerja. James tidak berbicara tentang benar atau salahnya keyakinan terhadap agama, melainkan hak bagi penganut agama untuk meyakini keyakinannya.Dengan demikian pragmatisme James adalah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita tentang suatu obyek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat praktis dalam pengalaman religius. D. Relevansi Dalam kehidupan beragama, seringkali kita jumpai pengalaman-pengalaman menarik dari orang yang mengalami pengalaman religius. Pengalaman religius terkait dengan pengalaman subyek dengan Yang Absolut. Pengalaman yang dialami oleh setiap subyek beragam. Misalnya dalam gereja Katolik mengajarkan tentang pengalaman mistik para kudus serta mukjizat. Mukjizat merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kodrat alam. Efeknya melampaui kekuatan kemampuan mahluk ciptaan kodrati, yaitu manusia. mukjizat merupakan suatu kejadian yang sifatnya kodrati. Dalam kejadian mukjizat tersebut melibatkan adanya campur tangan ilahi. Sedangkan, pengalaman mistik adalah pengalaman religius yang dialami oleh orang tertentu saja. Misalnya, pengalaman mistik yang dialami oleh Yohanes dari Salib, pengalaman mistik St. Fransiskus. Mereka sungguh merasakan pengalaman langsung dengan yang ilahi. Terlibat langsung dengan kesengsaraan, kepedihan, kesedihan, yang dialami oleh yang Ilahi. Misalnya, mereka mengalami penderitaan seperti Yesus yang mengalami penderitaan wafat di kayu Salib. Pengalamn semacam ini memiliki implikasi secara langsung kepada mereka, yaitu mereka menjadi orang kudus. Lalu, bagaiman dengan kita yang belum mengamlaminya? Kita semua masih berziarah, masih menempuh proses pencapaian akan hal tersebut. Namun, kita belum tahu kapan waktunya akan tiba dan kita akan mengalami hal yang sama. Dari setiapa agama memiliki pengajaran yang sama mengenai mujisat. Misalnya, dalam agama islam mukjizat merupakan suatu kejadian yang terjadi diluar kuasai manusiawi manusia. Bagi mereka hal tersebut merupakan penaglaman religius yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Mereka meyakini mukjizat yang terjadi pertama kali dialami oleh Nabi Muhamad. Menurut mereka, Nabi Muhammad secara langsung menerima perwayuhan Al-Quran dari Allah. Apa yang dialami oleh Nabi Muhmmad, diyakini sebagai sumber pengajaran dalam agama Islam. Dengan kata lain, pengalaman religius memiliki implikasi praktis yang diyakini oleh setiap individu kepada Yang Absolut. Karena apa yang dialami dalam pengalaman religius sungguh memiliki konsekuensi praktis yang mempengaruhi tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dizaman ini pun masih ada saja terjadi pengalaman religius. Pengalaman religius yang dialami menampakan tindkan komunikasi yang dilakukan oleh setipa individu dengan yang Ilahi. Melalui kegiatan komunikasi dengan Yang Ilahi, setiap individu akan merasakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya terjadi. Akan tetapi, hal tersebut memiliki efek bagi individu dalam bertindak. E. Kesimpulan

Dalam pemikiran James tentang pengalaman religius menyoalkan hubungan individu dengan Yang Ilahi, di mana membawa implikasi praktis. Dalam praktek keagamaan terkait langsung dengan pengalaman religius. Agama dalam arti itu tidak lagi berputar di segi argumentasi belaka, tetapi sudah masuk kedalam kesaksian pribadi tentang bagaimana sosok imanen dan transenden yang dinamakan Tuhan telah beraksi secara konkrit dalam kehidupan pribadi seorang penganut agama.Pemeluk agama tentu setuju dengan pandangan James bahwa agama bukanlah sekedar upaya bertahan hidup. Lebih dari itu agama telah memberikan ketenangan bagi manusia atas kenyataan hidup yang dihadapinya. Penderitaan hanyalah bagian dari ujian dari Tuhan untuk meningkatkan iman, keadilan Tuhan akan tegak setelah hari kiamat, dan ada sorga tempat segala kenikmatan telah memberikan optimisme di setiap dada orang-orang beriman.

Daftar Pustaka

Keraf, Sony, Pragmatisme Wiliam James, Kanisius, Yogyakarta, 1987.

Bahktiar, Amsal, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Anastasia Jessica Adinda, Dikatat Pragmatisme, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, 2014.

Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran, Kanisius, Yogyakarta, 2006.

8