relasi tuhan dengan manusia dalam pemikiran …

81
RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Ali Samsukdin NIM: 1113033100070 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M.

Upload: others

Post on 27-Jan-2022

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA DALAM PEMIKIRAN

MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Ali Samsukdin

NIM: 1113033100070

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020 M.

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA DALAM

PEMIKIRAN MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI” telah diujikan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada

tanggal 28 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memeperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada program Aqidah dan Filsafat

Islam.

Jakarta, 28 Juli 2020

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

D T R MA

D B B M P

Anggota

Penguji I Penguji II

D F P M F

D E S MA

Pembimbing

P D Z K MA

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab

ا ب

Indonesia

a

b

Inggris

a

b

Arab

ظ ط

Indonesia

Inggris

‘ ‘ ع t t ت

gh Gh غ ts th ث

f F ف j j ج

q Q ق ḥ ḥ ح

k K ك kh kh خ

l L ل d d د

m M م dz dh ذ

n N ن r r ر

w W و z z ز

h H ه s s س

’ ’ ء sy sh ش

y Y ي ṣ ṣ ص

h H ة ḍ ḍ ض

Vokal Panjang

Arab آ

Indonesia Ā

Inggris Ā

Ī Ī ٳى Ū Ū ٲو

v

ABSTRAK

Ali Samsukdin. Relasi Tuhan dengan Manusia dalam Pemikiran Muhammad

Taqi Mishbah Yazdi.

Dalam Islam, Tuhan merupakan pencipta manusia sekaligus alam semesta,

namun berbagai perssoalan melanda kehidupan ini yang hanya mementingkan

unsur materi saja, ditambah lagi dengan persoalan pola pikir barat yang hanya

memprioritaskan aspek kemanusiaan serta unsur materi dan meniadakan unsur

spritualitas, misalnya agama dan kepercaayaan kepada Tuhan. cara pandang yang

seperti iniakan menafikkan peran Tuhan sebagai pencipta sekaligus penguasa

karena sesungguhnya yang maha kuasa dalam kehidupan ini hanyalah Tuhan

Dialah yang menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini, makhluk terbaik

yang telah diciptakan-Nya adalah manusia. Dalam penelitian ini, kami

menggunakan metode Library research dengan mengumpulkan buku-buku yang

satu tema dengan pembahasan. Sedangkan tujuan dalam penelitian ini untuk Bisa

memahami dan mengetahui konsep pemikiran Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi

tentang relasi Tuhan dengan Manusia.

Tema relasi Tuhan dengan manusia, dalam konteks ini Muhammad Taqi

Mishbah Yazdi mengatakan bahwa Tuhan merupakan waajibu al-wujud di mana

Tuhan merupakan penyebab utama setiap mumkinu al-wujud. Tuhan

kedudukannya sebagai pencipta (khaliq) sedangkan manusia merupakan ciptaan-

Nya. Dialah Dzat yang maha menguasai alam semesta ini sekaligus yang

mengatur dan Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan tertentu yaitu untuk

beribadah dan menuju kesempurnaan kepada-Nya sehingga manusia tersebut

memperoleh rahmat-Nya. Selain untuk beribadah Tuhan menjadikan manusia

sebagai khalifah atau imamah di bumi di mana tugas dan fungsinya adalah untuk

menuntun manusia menuju jalan kebahagiaan baik dunia dan akhirat serta

melaksanakan ajaran syariat baik dibidang sosial, politik, dan ekonnomi. Menjadi

khalifah harus mampu menjalankan roda kepimimpinan dengan adil dan jujur dan

berpedoman pada al-Qur;an dan hadist.

Kata kunci: Relasi Tuhan dengan Manusia, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi.

vi

KATA PENGANTAR

Rasa Syukur yang amat mendalam, penulis seraahkan jiwa dan raga ini

kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasan-Nya yang telah diberikan

kepada penulis, sehingga bisa menyelasaikan tugas akhir ini, sholawat serta salam

salam senantiasa selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhahammad saw

beserta seluruh keluarganya, sahabat serta seluruh para pengikutnya yang sudah

menyebarluaskan warisan kenabian dan dakwah Isalm di berbagai penjuru

duniaunia, semoga Allah SWT. melimpahkan kasih sayangnya kepada mereka

semua. Amin

Berbagai hambatan selalu hadir dalam proses penyelesaian skiripsi ini

mulai dari awal hingga akhir. Tentunya, proses penulisan skiripsi ini melibatkan

banyak kalangan, untuk itu saya merasa perlu menghaturkan terimaksih kepada

semua pihak yang telah membantu menyelasaikan skiripsi ini, terutama penulis

sampaikan kepada

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. selaku

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakrta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA.Sebgai Dekan Fakultas Ushuludin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ibu Dra. Tien Rahmatien, MA. Sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat

Islam) dan Dra. Banun Binaningrum, M.pd. (Sekretaris Jurusan Aqidah dan

Filsafat Islam.

4. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. Sebagai sebagai dosen pembimbing

dalam penulisan skiripsi ini yang selalu ada dan meluangkan waktunya

vii

sebagian waktunya untuk penulis. Terimaksih yang sangat mendalam atas

kesabaran, keikhlasan membimbing penulis sehingga penulis memperoleh

hasil yang baik. Tidak ada yang mampu membalas amal kebaikan Bapak

kecuali Allah SWT. semoga kesehata dan kelancaran dalam kegiatan selalu

menyeratai Bapak.

5. Tak akan lupa dan tak akan pernah terlupakan oleh penulis, menghaturkan

beribu-ribu terimaksih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya

yang tidak ada henti-hentinya memberikan do’a dan dukungan dalam

penulisan skiripsi ini. Juga kepada kakak –kakakku dan juga adik-adikku

terimaksih untuk kalian semua yang selalu mendukung serta memberikan

nasehat kepada penulis. Saya rasa saya tidak mampu membalas kebaikan

Ayah-Ibu dan saudara-saudaraku semua kecuali Allah SWT.

6. Para dosen Fakultas Ushuludin, yang telah memberikan pencerahan dan

ilmu yang luas kepada penulis.

7. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Bata-Bata Wilayah Jabodetabek

(IMABA). Organisasi ini merupakan organasis pengabdian yang selalu

menjadi naungan dalam kehidupan di Jakarta sekaligus menjadi keluarga

kedua, dan juga kepada tretan IMABA Khairul Anam, Ubaidillah, Nur

Kholis swandi, Abd Rahman, Mahbubi, Affan sudianto dan Badrut Tamam.

Terima kasih yang sebesar-besarnya telah memberikan saya semangat,

motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan skiripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan di IMABA JABODETABEK angkatan 2013

Moh. Matin, Muhammad Rokiin, Masudi, Fadlul Haq Ramadhani,

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................ .... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ .... iv

ABSTRAK .................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................. .... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 10

C. Tujuan Penulisan ....................................................................... 10

D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 10

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 11

F. Metode Penelitian ...................................................................... 13

G. Sistematika Pembahasan ............................................................ 14

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI

A. Latar Belakang Pendidikan, Politik dan Sosial .......................... 15

B. Karya-Karya ............................................................................... 19

C. Tokoh yang Mempengaruhi ...................................................... 24

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI TUHAN

DENGAN MANUSIA

A. Kosep Tuhan dan Manusia .......................................................... 26

a. Konsep Tuhan ..................................................................... 26

b. Definisi Manusia ................................................................. 30

c. Konsep Manusia ................................................................. 32

B. Teori Hubungan Tuhan dan Manusia ......................................... 37

a. Teisme ................................................................................. 38

b. Deisme ................................................................................ 41

c. Panteisme ............................................................................ 44

d. Panenteisme ........................................................................ 46

x

BAB IV RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA MENURUT

MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI

A. Tuhan Sebagai Pencipta .......................................................... 49

B. Tuhan Sebagai Penguasa ........................................................ 54

C. Manusia Sebagai Khalifah di Bumi ......................................... 57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 66

B. Saran-saran ............................................................................. 67

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 68

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah kita ketahui sejak dahulu dalam ajaran Islam Tuhan merupakan

pencipta seluruh umat manusia dan alam semeseta, sehingga sudah seharusnya

umat manusia tunduk dan patuh (sebagai bentuk hubungan Tuhan dan manusia,

sehingga memperoleh rahmat-Nya) terhadap-Nya, namun berbagai persoalan telah

melanda dikehidupan ini yang hanya berwujud cinta pada dunia. Permasalahan ini

akan menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi manusia di era saat ini. Dan

dampak dari permasalahan tidak dikaji ulang oleh kalangan ilmuan khususnya

dari para insan akademisi akan menyebar luas di kehidupan manusia, termasuk di

kalangan umat Islam dan para pemikirnya.

Dampak yang paling buruk dari fenomena ini adalah ketidakpercayaan

terhadap Tuhan, dalam berbagai manifestasinya. Baik ketidakpercayaan terhadap

eksistensi Tuhan atau tidak mempercayai kepada berbagai konsekuensi uluhiyah-

Nya. Faham ini dibangun oleh kaum materialisme, sehingga dalam memandang

persoalan, termasuk persoalan tentang ilmu pengetahuan dan filsafat kehidupan,

manusia lebih senang merujuk pada teori-teori buatan yang begitu lemah.1

Tuhan dengan manusia merupakan kajian dalam filsafat mulai dari yunani

kuno sampai dengan sekarang yang tidak pernah ada Hadistnya. Negeri-negeri

seperti Mesir, India, Cina, Jepang, Iran, Babilonia dan Yunani dianggap sebagai

rujukan dalam mempelajari konsep tersebut. Para filosof Yunani kuno sampai

1 Harun Yahya, Membongkar Kesalahpahaman Materialisme: Mengenal Allah lewat

Akal (Jakarta: Rabbani Press, 2002), h.4-5.

2

modern sudah banyak mengupas tentang masalah Tuhan dan manusia. Manusia

merupakan bagian dari alam (kosmos) yang telah diciptakan oleh Tuhan, dengan

alam pula manusia berproses dan memperoleh pengetahuan dari Tuhan. Oleh

karena itu membahas hubungan antara Tuhan dan manusia tidak bisa dipisahkan2.

Manusia dalam pandangan Hindusme, alam jagat raya ini merupakan suatu

problem bagi dirinya sendiri, atau lebih tepatnya sebuah rahasia besar dan suci.

Iya merupakan barang keramat bagi dirinya, oleh sebab itu, manusia dari dulu

sampai sekarang berupaya menyelidiki dirinya sendiri sepanjang sejarah

peradaban, manusia menduduki peringkat teratas sebagai objek kajian yang

banyak dibahas. Pembahasan tersebut tidak hanya berbicara dari sisi biologisnya

saja, tetapi manusia secara keseluruhan. Manusia tidak hanya sekedar berada akan

tetapi harus memahami keberadaanya, tidak bisa dipungkiri lagi manusia

merupakan subjek sekaligus objek sejarah, kehidupannya dinamis dan berevolusi

untuk mencapai kesempurnaan.3

Manusia merupakan makhluk yang berpengetahuan, makhluk selain

manusia, juga mempunyai pengetahuan akan tetapi pengetahuan tersebut bersifat

statis mulai sejak zaman purba sampai sekarang, sedangkan pengetahuan manusia

bersifat dinamis terus berkembang dari zaman kezaman, pengetahuan yang

dimiliki nmanusia tidak lepas dari peran Tuhan, karena Tuhan telah membekali

manusia berupa akal dan rasio. Dengan akal manusia ingin mempunyai rasa ingin

tahu, dari rasa ingin tahu itulah manusia selalu mempertanyakan segala hal yang

dipikirkannya dan mencari segala bentuk jawaban dari permasalah yang dihadapi.

2 Samidi, “Tuhan, Manusia dan Alam: Analysis Kitab Primbon Attasadur Adammakna”,

shahih, Vol,1,No.Tb, 2016 h.14 3 Refleksi, jurnal kajian agama dan filsafat, Vol, IX, No2, 2007, h. 153.

3

Berpikir merupakan ciri khas manusia kemampuan inilah yang membedakan

manusia dengan makhluk lainnya, dengan potensi yang dimiliki manusia mampu

mencipta, mengelola dan mengubah lingkungan sekitarnya menjadi lebih baik.

Oleh karenanya Tuhan memilih manusia sebagai wakil-Nya dimuka bumi.4

Hakikat manusia sebagai khalifah Tuhan dijelaskan dalam surah al-

Baqarah 02: 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat;

seseunguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka

berkata; mengapa engkau hendak menjadika (khalifa) di bumi itu orang yang

akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa

bertasbih dengan memuji engkau? Tuhan berfirman: sesungguhnya Aku

mengetahui apa yang engkau tidak ketahui” (Qs: 2:30).5

Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebutan khalifah itu

merupakan anugerah dari Tuhan kepada manusia dan selanjutnya manusia

diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang

harus dipertanggungjawabkan.6

Sebagai kholifah di bumi manusia harus

memanfaatkan alam ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus

mempertanggung jawabkannya sebagai bentuk hubungan antara Tuhan dan

manusia, di mana Tuhan merupakan pencipta alam jagat raya ini beserta isinya.

Dalam ajaran Islam, hubungan Tuhan dengan manusia dibangun melalui

shalat, dzikir, doa serta ibadah-ibadah lainnya. Disamping itu manusia harus

membangun hubungan dialektis antara dimensi horizontal yakni, manusia

4 Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Klasik Hingga Post Moderenisme (Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media, 2011), h. 13-15 5 Al-Qur’an dan terjemahan, Kementrian Agama RI, 2012, h. 6

مالا تعلمونوأذ قال ربك للملائكة اني جاعل فى الارض خليفة قالو اتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال اني أعلم 6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qura‟n, (Bandung: Mizan, 1996), h. 162.

4

membutuhkan orang lain untuk mempertahankan eksistensinya, karena manusia

merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri, dan dimensi vertikal

hubungan dengan Tuhan yang akan membawa seorang individu menjadi manusia

paripurna, disamping itu manusia terhubung dengan Tuhan merupakan kebuTuhan

dasar yang menjadikan manusia merasa ada dan berarti.7

Dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara, manusia merupakan makhluk

yang paling sempurna. Selain itu manusia adalah makhluk dua dimensi disatu sisi

terbuat dari tanah (thin) yang menjadikannya sebagai makhluk fisik, di lain sisi,

sebagai makhluk spritual karena ditiupkan ke dalamnya roh Tuhan.8

Dalam

kaitannya dengan alam semesta beserta isinya Tuhan adalah transenden sekaligus

imanen.9

Dalam pandangan filsafat barat, Aristoteles menyebutkan bahwa manusia

adalah zon politikon, hewan yang bermasyarakat. Menurut Martin Buber

merupakan sebuah eksistensi atau keberadaan yang dimiliki namun dibatasi oleh

kesemestaan alam sedangkan menurut Max scheller manusia disebut Das Kranke

Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah. Ilmu-ilmu

humaniora termasuk ilmu filsafat mencoba untuk mendefinisikan kajian tentang

manusia ada beberapa rumusan.

Homos sapien (Makhluk yang berbudi)

7 Wahida Suryani, “Komunikasi Transedental Manusia-Tuhan” dalam jurnal, FARABI,

Vol, 12 No. 1, 2015, h. 151 8 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius Menelami Hakikat Tuhan dan Manusia (Jakarta:

Erlangga, 2007), h. 12 9 Dia transenden karena mengatasi atau melampaui alam dan tidak edentik dengan alam

sebagaimana yang disangkakan oleh para filosof. Pun juga imanen, karena kehadiran-Nya dapat

dirasakan di mana-mana tanpa harus bersifat berbilang. Dia ibarat matahari yang bisa dilihat

diberbagai tempat dimuka bumi dan bisa dirasakan kehadiran-Nya tetapi tanpa harus sama dengan

bumi ataupun terbilang. Lih: Mulyadhi Kartanegara, Nalar religius Menelami hakikat Tuhan dan

Manusia (Jakarta: Erlangga, 2007), h.7

5

Homo Religius (Makhluk yang beragama)

Homo faber atau Tool Making (Binatang yang pandai membuat

bentuk peralatan dari bahan alam untuk kebuTuhan hidupnya)

Animal rational (hewan ybang rasional atau berfikir)

Namun penamaan tentang definisi manusia bukan tidak bertentangan

dengan para kalangan pemikir Islam. Diantaranya, seorang ahli pendidikan dari

mesir Munir Mursyi dan Daud Muhammad Ali mengenai manusia sebagai animal

rational hewan yang rasional atau yang berfikir atau alinsan hayawan al nathiq,

pernyataan yang demikian menurut Munir Mursyi bukan bersumber dari ajaran

Islam, melainkan bersumber dari Yunani. Dalam kaitannya dengan hal ini beliau

(Munir Musryi) mengkritik teorinya Charles Darwin, dalam teorinya Darwin tidak

bisa membuktikan atau menjelaskan mata rantai yang dikatakannya terputus

dalam proses transformasi primata menjadi hewan. Dengan begitu Munir Mursyi

mengatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan degan berbagai potensi.

Muhammad Daud Ali menyatakan pendapat yang bisa dikatakan memperkuat

bantahan Munir Mursyi di atas, dia mengatakan bahwa manusia bisa menyamai

hewan apabila tidak memanfaatkan potensi yang telah Tuhan berikan terutama

potensi akal.10

Jeans Paul Sartre yang banyak menulis tentang Tuhan, sementara dia tidak

mempercayai keberadaan Tuhan. Tema sentral dalam pemikiran sartre adalah

situasi manusia dalam dunia tanpa Tuhan, Sartre sendiri tidak percaya bahwa

manusia diciptakan dari image Tuhan atau oleh sesuatu tujuan yang bersifat

10

Siti Hazinah, “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat” dalam jurnal

ilmiyah, DEALIKTIKA, vol, XIII, No.2, tb, 2013, h. 297

6

Ilahiyah. Dalam hal ini menurutnya manusia merupakan pencipta bagi dirinya

sendiri, kemudian manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab, sebab

manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan kebebasan itu tidak dibatasi oleh

prakonsepsi yang sudah jadi dan oleh hakikat manusia yang tidak dapat berubah.11

Dalam pandangan eksistensialisme, manusia hadir ke dunia dalam keadaan

bebas dan merdeka. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, di mana manusia

tidak memiliki watak dan tabiat tertentu, kadar kebebasan manusia begitu tinggi

sehingga ia mampu menentukan watak dan tabiatnya sendiri. Tetapi, meskipun

manusia tercipta dalam keadaan bebas, bisa saja datang kepadanya faktor-faktor

keterkaitan dan kebergantungan yang akan merenggut kebebasan manusia itu

sendiri dan jika manusia masih memiliki keterkaitan dan kebergantungan, maka ia

sudah tidak bebas lagi.

Kaum eksistesialisme di sini menginginkan kebebasan bagi manusia,

dalam argumentasinya bahwa keyakinan terhadap Tuhan sudah tidak sesuai lagi

dengan prinsip manusia, karena keyakinan tersebut akan memberikan dampak

pada qadha dan qadar yang berakhir dengan tabiat dan watak manusia yang statis.

Namun, terlepas dari adanya pertentangan antara keyakinan dan kebebasan,

keyakinan kepada Tuhan sudah pasti mendatangkan iman kepada-Nya. Iman

kepada Tuhan berarti ada keterkaitan dan kebergantungan kepada-Nya, sedangkan

keterkaitan dan kebergantungan dalam pandangan eksistensialisme sudah

bertentangan dengan kebebasan manusia, di mana dalam persoalan ini akan

11

Joko Siswono, Dari Ariestoteles Sampai Derrida, Sistem-sistem Metafisika Barat,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 70

7

meletakkan Tuhan di ata segala-galanya, oleh karenya mereka tidak bisa

menerima adanya Tuhan dalam segala aktivitas manusia.12

Dengan segenap pernyataan yang sudah diungkapkan para kaum

eksistensialime bisa dikatakan bahwa mereka mementingkan aspek kemanusian

serta unsur materi saja dan meniadakan unsur spritualitas seperti Agama dan

kepercayaan kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam pemikiran Friderich

Nietzche, tentang manusia superman yang mengatakan bahwa kesempurnaan

manusia itu bisa didapat dari kekuasaan dan kebebasannya. Kebebasan dan

kesempurnaan dalam pandangan Nietzche tidak ada hubungannya dengan Tuhan,

baginya Tuhan Telah Mati dan agama hanya dijadikan alat untuk melindungi

dirinya dari orang jahat.13

Sedangkan bagi Max agama merupakan candu rakyat,

dalam artian agama hanya menjadi sebuah pelarian karena realitas memaksa

manusia untuk melarikan diri, bahkan agama dianggap tidak mempunyai masa

depan.14

Kemudian aliran Humanisme, Ludwig Feurbach yang beranggapan bahwa

yang menciptakan manusia bukanlah Tuhan, akan tetapi justru sebaliknya Tuhan

tercipta dari angan-angan manusia. Hakikat Tuhan tidak lain merupakan hakikat

daripada manusia itu sendiri yang sudah diebrsihkan dari macam-macam

12

Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, Studi Kritis Pandangan Filosofis (Jakarta:

Sadra Press, 2012), h. 280. 13

Tri Arwani Maulida, Relasi Tuhan dan ManusiaMenurut Syed Muhammad Nuqaib Al-

Attas (Tesis UIN Sunan Ampel, 2018), h. 4 14

Ahmad Muttaqin, “Karlmax dan Freiderich Nietzche Tentang Agama”, Komunika,

Vol, 7, No, 1, 2013, h. 3

8

keterbatasan yang kemudian dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di

luar manusia.15

Dalam argumentasi filsuf barat bahwa alam materi ibarat sebuah jam yang

telah diseting dan diukur putaran waktunya, kemudian secara otomatis bergerak

sendirinya, sehingga dalam kasus ini alam semesta tidak lagi membuuthkan

Tuhan dalam melanjutkan aktivitasnya. Dengan demikian menurut Misbah Yazdi

jauh dari kebenaran, karena dalam wujud alam ini selalu membutuhkan dan

kebergantungan kepada Tuhan dalam segala persoalan.16

Pemikiran barat yang hanya mementingkan aspek kemanusiaan dan materi

serta menghilangkan aspek spiritual dan kepercayaan kepada Tuhan, hal ini tidak

lagi sesuai pemikiran Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Mengatakan secara tegas

bahwa Tuhan merupakan penyebab adanya alam semesta.

Selanjutnya ungkapan Misbah Yazdi tentang relasi Tuhan dengan

makhluk-Nya adalah, bahwa makhluk tersebut bukan hanya butuh kepada Tuhan

sebagai asal segala wujudnya. Karena secara ontologis makhluk sama sekali tidak

mandiri. Oleh karenanya Tuhan mempunyai hak tasharruf (pengelolaan) aatas

mereka dan mengatur berbagai urusannya sesuai kehendak-Nya.17

Berkaitan dengna pembahasan relasi tersebut dapat kita amati dalam

konsep Rububiyah, di mana konsep tersebut terbagi menajadi dua bagian pertama,

15

Ahmad Muttaqin, “Karlmax dan Freiderich Nietzche Tentang Agama”, Komunika, h.

6 16

Musin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi (Filsuf Iran

Kontemporer), Studi kritis atas filsafat pengetahuan, filsafat wujud dan Filsafat KeTuhanan (Sadra

press: Jakarta, 2011), h. 282 17

Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi (Filsuf Iran Kontemporer), Studi

kritis atas filsafat pengetahuan, filsafat wujud dan Filsafat Ketuhanan (Sadra press: Jakarta, 2011),

h. 282-283

9

Rububiyah Takwiniyah (pengaturan pencipta). Kedua, Rububiyah Tasyri‟iyah

(Pengaturan titah). Jadi, Rububiyah Absolut Ilahi mempunyai pengertian bahwa

setiap makhluk dalamm segala urusan hidupnya bergantung kepada Tuhan.

Hubungan yang terjalin antara sesama makhluk pada akhirnya berujung kepada

Tuhan.18

Melalui Rububiyah dan legislasi-Nya al-Qur’an menyajikan sebuah

metode dalam menghadirkan hubungan Tuhan dengan umat manusia. Akan tetapi

karena keterbatasan yang dimiliki umat manusia sendiri al-Qur’an memberi tahu,

bahwa manusia sebagai ciptaan-Nya tidak akann mampu untuk mengetahui

dengan baik esensi Tuhan tersebut begitu juga dengan hakikat-hakikat perbuatan

Tuhan.

Berkenaan dengan kasus tersebut Muhammad taqi Misbah Yazdi mencoba

menjelaskan pengetahuan manusia tentang perbuatan Tuhan dan hubungan Tuhan

dengan manusia. Dalam konsep yang digunakan di sini merupakan konsep

kreativitas, penyembahan dan aktivitas. Misalnya: ketika kita menemukan sesuatu

dalam diri kita atau mengetahui sesuatu yang hubungan antara dua hal yang sifat

material, kemudian kita mendapatkan apa yang kita temukan, atau hubungan yang

kita ketahui sebuah konsep, kemudian digenaralisasi oleh kita konsep tersebut

agar mencakup Allah swt.19

Dengan demikian penulis mencoba menguraikan Relasi Tuhan dengan

Manusia menurut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Karena secara ontologis

18

Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi (Filsuf Iran Kontemporer), Studi

kritis atas filsafat pengetahuan, filsafat wujud dan Filsafat KeTuhanan (Sadra press: Jakarta, 2011),

h.284 19

Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, mengenal Tuhan Melalui Nlar

(Arasyi: Bandung, 2003), h. 127-128.

10

hubungan anrata Tuhan dan Manusia adalah hubungan pencipta dan dengan

makhluknya. Tuhan merupakan pencipta sedangkan manusia adalah makhluknya,

manusia sebagai ciptaan-Nya sudah seharusnya untuk mengabdikan dirinya

kepada-Nya sehingga terjalin komunikasi antara sang Khaliq dan Makhluq.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dengan mempretimbangkan alur latar belakang di atas dan memudahkan

untuk memfokuskan pembahasan ini, penulis akan membatasi pada pemikiran

tentang Tuhan dan manusia menurut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi ditinjau

dari aspek filsafat, dengan demikian penulis tidak terlalu jauh mengemukakan

semua bentuk pemikiran Muhammad Taqi Mishbah Yazdi seperti etika dan

epistemologi. Oleh karena itu dalam penelitian ini hanya dapat dirumuskan

sebagai berikut: Bagaiamana relasi Tuhan dengan manusia menurut pemikiran

Muhammad Taqi Misbah Yazdi?

C. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengangkat judul Skripsi denga

Judul “Relasi Tuhan dengan manusia Menurut Pemikiran Muhmmad Taqi

Mishbah Yazdi” bertujuan: Bisa memahami dan mengetahui konsep pemikiran

Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi tentang relasi Tuhan dengan Manusia.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari adanya penelitian ini tidak lain bukan hanya sekedar

kepentingan pribadi, akan tetapi dengan penelitian ini diharapkan bisa

memberikan informasi dan sumbangsih pada semua kalangan mengenai hubungan

Tuhan dengan manusia. Sehingga dengan ini dapat memperkaya khazanah

11

keilmuan dalam dunia Islam dan kepustakaan di Indonesia. selain itu harapan

besar penulis skiripsi ini bisa menjadi refrensi bagi penelitian selanjutnya,

E. Tinjauan pustaka

Beberapa literature yang peniliti dapatkan untuk dijadikan bahan acuan

dalam melihat dari tulisan-tulisan yang mengkaji tentang Relasi Tuhan dengan

manusia.

Pertama, dalam karya Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafa Tauhid,

mengenal Tuhan Melalui Nalar. Buku ini merupakan buku terjemahan dari The

Learning of the Gloriuos Qur‟an. Dalam buku ini banyak mengulas tentang

Tuhan, prinsip sebab-akibat, penciptaan dan topik-topik penting lainnya. Kedua

dalam Buku Mishbah Yazdi Aqidah Islam, Pandangan Dunia Ilahi buku

diterjemahkan dari Omuzeye Aqoed yang di dalamnya terdapat terdapat

pemikiran tentang hubungan Khaliq dan makhluk-Nya. Ketiga, buku Mishbah

Yazdi Di Haribaan Kekasih buku ini diterjemahkan dari In the Presence of the

Beloved, .dimana di dalam mengulas tentang fitrah manusia dan tujuan dibalik di

ciptakannya manusia. Keempat, dalam buku Muhsin Labib, dalam karya ini,

Muhsin Labib menjelaskan secara pada tentangt pemikiran Muhmmad Taqi

Mishbah Yazdi. Kemudian desertasi tersebut dalam bentuk buku dengan judul,

poemikiran Filsafat Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi, (Filsf Iran kontemporer)

studi atas Filsafat pengetahuan, Filsaat Wujud dan filsafat KeTuhanan.

Adapun karya akademik lainnnya adalah:

Kedua, dalam Tesis, Relasi Tuhan dan Manusia Menurut Syed

Muhammad Naquib Al-Attas. Karya Tri Arwani Maulida,pasca sarjana UIN Suan

12

Ampel Surabaya, 2018. Di dalam menjelaskan hubungan Tuhan dan manusia

ditinjau tauhid uluhiyah, dimana posisi manusia adalah seorang hamba..

Kedua, dalam Skripsi, Relasi Tuhan Dan Manusia (Studi atas Penafsiran

Qs. Al- „Alaq ayat 1-5). Karya Muhammad Autad Nasher UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2015. Didalamnya menjelaskan hubunganTuhan dengan manusia

melalui penafsiran surah al- Alaq ayat 1-5

Ketiga, Skripsi berjudul Manusia sempurna menurut Muhmmad Taqi Mishbah

Yazdi. Karya Saeful Anwar Prodi Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan

Gunung Djati Bandung, tahun 2012. Di dalamnya menjelaskan bahwa

kesempurnaan manusia tersebut sebagai evolusi dan gerak

Kempat, Skripsi berjudul kehendak Bebas dalam Pemikiran Muhmmad

Taqi Mishbah Yazdi, Karya Moh Sovi Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2018. Dalam

skripsi membahas kehendak bebas manusia dan kemudian dihubungkan dengan

kehendak bebas Tuhan sebagai pencipta.

Kelima, Jurnal, Diskursus Islam. Dengan Judul, Epistimologi Islam dalam

Filsafat Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi, Karya Nurdin, Vol,IV. No.1, April 2006.

Dalam Jurnal ini menggali tentang keluasan dan kedalaman dalam pemikiran

Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi mengenai Epistimoligi Islam.

Keenam, jurnal, Tasawuf dan Pemikiran Islam, dengan judul. Pemikiran

Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi tentang Etika Islam Kontemporer. Karya Nuraisah,

Vol V, No.1, Juni 2015. Dalam jurnal ini sipenulis berusaha menggali Konsep

Etika Islam Kontemporer dalam pemikiran Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi.

13

Ketujuh, jurnal Agama dan Lintas Budaya, dengan judul. Relasi Tuhan

dan Manusia, (Refleksi Plotinus dan Hindusme). Karya Muliadi, Vol,I No.II

Maret 2017. Dalam jurnal ini membahas hubungan Tuhan manusia dalam

pandangan Hindusme adapun pradigma yang dipakai dalam refleksi ini adalah

metafisika Plato yaitu pola hubungan dunia idea dan realita.

F. Metodologi Penelitian

Jenis penilitian yang penulis tulis adalah bersifat penelitaan kepustakaan

(library research), karena itu, sumber data penelitian ini sepenuhnya berpijak

pada tulisan-tulisan dan karya Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, sebagai bahan

sumber primer, dan sumber sekunder berbentuk ulasan dan tulisan-tulisan tentang

pemikiran tokoh tersebut: juga dari artikel, jurnal dan lain-lain yang

mendukukung kajian skripsi ini.

Adapun mengenai pembahasan dalam skripsi ini, penulis menggunakan

metode deskriptif dan analitis. Jadi, secara teknis analitis data yang digunakan

adalah jenis kualitatif. Sedangkan deskriptif digunakan agar mampu memahami

dan memberikan gambaran yang jelas menmgenai permasalahan yang terkait

dengan skripsi ini. Sementara analitis digunakan agar penulis dapat menyusun

skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga megena pada inti permasalahan.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan masalah dalam skripsi ini, disini

penulis membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing sub-bab,

sebagaiamana berikut:

14

Bab I: Merupakan pendahuluan di mana penulis dalam bab ini membahas latar

belakang masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II: Seputar Biografi Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi, meliputi riwayat hidup,

pendidikan dan karya-karyanya.

Bab III: Deskripsi mengenai Relasi Tuhan dengan Manusia yang meliputi Teisme,

Deisme da Panteisme.

Bab IV : Membahas Relasi Tuhan dengan manusia dalam pemikiran Muhmmad

Taqi Mishbah Yazdi. Meliputi, Tuhan sebagai pencipta, Tuhan sebagai penguasa

dan Manusia sebagai khalifah di bumi.

Bab V : Penutup merupakan kesimpulan yang merupakan jawaban atas rumusan

masalah yang ada dan saran-saran untuk penelitian yang lebih lanjut.

15

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI

A. Latar Belakang Pendidikan, Politik dan Sosial

Taqi Misbah Yazdi lahir pada tahun 1934 di kota Yazd, Iran. Beliau adalah

seorang Ulama Syiah Iran dan aktivis politik konservatif yang berfungsi sebagai

pemimpin spritual Front Stabilitas Revolusi Islam. Dia adalah anggota majelis

pakar, badan yang bertanggung jawab untuk memilih pemimpin tertinggi di mana

dia memimpin faksi minoritas.

Misbah Yazdi menamatkan pelajaran dasar ilmu-ilmu Islam dan memulai

pembacaan naskah-naskah klasik utama dalam bidang hukum Islam dan

yurisprudensi di kota kelahirannya juga. Untuk mengikuti jenjang lanjutan,

Misbah Yazdi berangkat ke Najaf. Tetapi karena kesulitan keuangan, setahun

kemudian beliau kembali ke Iran dan meneruskan studinya di Qum dimulai pada

tahun 1952 sampai 1960.1

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi adalah salah satu murid yang paling

menonjol dan produktif dari Hawzah Ilmiyah Qom. Selama disana, dia banyak

belajar kepada Imam Khomeini mengenai tema-tema politik, terutama konsep

wilayah al-faqih. Namun, yang paling banyak mempengaruhi pola pikir dan

kepribadiannya terutama bidang filsafat adalah Ayatullah Muhammad Husain

Thabataba‟i. Dia banyak memperdalam ilmu-ilmu filsafat karya Mulla Sadra “al-

1Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to

Contemporary Islamic Philosophy, terj. Musa Kazhim dan Saleh Baqir, Buku Daras Filsafat

Islam; Orientasi ke Filsafat Islam Kontemporer, (Jakarta: Sadra Press, 2010), h. xxvi

16

asfar al-arba’ah dan al-Syifa karya Ibn Sina.2 Ia juga menghabiskan 15 tahun

umurnya untuk belajar fiqh dengan Ayatullah Bahjat.3 Setelah masa studi

formalnya bersama Imam Khomeini berakhir karena pengasingan sang Imam,

bertahun-tahun lamanya beliau habiskan dalam kondisi seputar signifikasi sosial

Islam termasuk masalah jihad, yudikasi dan pemerintahan Islam.4

Misbah Yazdi sudah dikenal sebagai anak yang menonjol di bidang

pendidikan sejak dari kecil. Itu terlihat dari cara dia menyelesaikan studi tingkat

pertama dan menengahnya dalam waktu empat tahun, di mana pada umumnya

proses belajar pada tahapan ini membutuhkan waktu selama delapan tahun. Ia

juga termasuk murid yang sangat dihargai dan dihormati oleh para guru, termasuk

kepala sekolahnya. Dari awal dia sudah bercita-cita untuk menjadi seorang yang

ahli agama.

Sekitar tahun 1964 ia bergerak bersama Syahid Dr. Bisheshti dan Hasyemi

Rafsanjani untuk melawan rezim Syah Pahlevi antara lain dengan menulis buku

Bi’that (misi kenabian) dan Intiqam (pembalasan). Ia juga ikut dalam tim pendiri

partai politik ulama, di mana tim ini kemudian dikejar-kejar oleh rezim Syah

sehingga mereka harus bersembunyi. Setelah iklim politik membaik, Misbah

bekerja di Madrasah Haqqani bersama dengan Ayatullah Jannati. Dia mengajar

Filsafat dan al-Qur‟an selama 10 tahun. Setelah revolusi, dengan dorongan dan

permintaan dari Khomeini, dia mendirikan beberapa sekolah dan perguruan tinggi

termasuk yang paling terkenal saat ini yaitu Institut Dar el-Haqq, Yayasan Baqir

2Nurdin, dkk, “Epistemologi Islam Dalam Filsafat Muhammad Taqi Mishbah Yazdi”,

Jurnal Diskursus Islam, Vol. 4, No. 1, April 2016, h. 40. 3Nuraisah, “Pemikiran Taqi Misbah Yazdi Tentang Etika Islam Kontemporer”, Jurnal

Teosofi, Vol. 5. No.1, juni 2015, h. 54. 4

17

al-Ulum, dan Institut dan pusat Riset Imam Khomeini, di mana dia menjadi

direktur dan mengadakan kajian rutin kitab al-asfar karya Sadr al-Din al-Shirazi.5

Tahap awal masa pendidikan Mishbah Yazdi dihabiskan di Hawzah Ilmiah

Yazd. Di sana ia menyelesaikan studi tingkat pertama dan menengah sampai tahap

mempelajari Risail karya Azhari dan al-Makasib, karya Akud Karasani dalam kurun

waktu 4 tahun. Untuk menyelesaikan studi tersebut, diperlukan waktu minimal 8 tahun.

Prestasi dan keberhasilannya dihasilkan dengan bantuan guru-gurunya. Mereka adalah

Muhammad Ali Nuri, yang selalu meluangkan waktunya, ia juga mempelajari sastra dari

Muhammad Ali Nahwi kemudian, ia mempelajari sebagian syarh al-Lum‟ah al-

Dimasyqiyyah dan Faraidul „Ushul dari Abdel Hasan. Kemudian, Mirza Muhammad

Anwari mengajarkan beberapa bab dari buku Qawanim Ushul. Beliau juga mempelajari

ilmu-ilmu umum seperti ilmu fisika, kimia, psikologi, dan bahasa Perancis di bawah

bimbingan Muhaqqiq Rasyti.6

Tahapan selanjutnya beliau melanjutkan hijrah kedua kota untuk melanjutkan

pendidikan agamanya di Hawzah. Hijrah pertama dilakukan untuk melanjutkan dan

menyempurnakan pendidikannya. Pada tahun 1330 H/1939 M, Mishbah Yazdi beserta

orang tuanya hijrah dan menetap di Najaf. Disana dia sempat mengikuti kuliah

Muhsin al-Hakim, Mahmud Syahrudi, Abd. Al-Hadi Syirazi, Istahbanati dan Abu

al-Qasim al-Khui. Dikarenakan kondisi perekonomian di Najaf tidak kunjung

membaik, akhirnya mereka memutuskan kembali ke kampung halaman.

Sesampainya di Iran, Mishbah Yazdi masih memiliki semangat yang membara

untuk menuntut ilmu agama. Ia memutuskan untuk melanjutkan studi di Hawzah

ilmiah Qom tepatnya di Madrasah Faidiyyah.

5Nuraisah, “Pemikiran Taqi Misbah Yazdi Tentang Etika Islam Kontemporer”, h. 54-55.

6Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Misbah Yazdi (Jakarta: Sadra Press,

2011), h. 65.

18

Tahapan terakhir jenjang pendidikannya dipakai untuk mempelajari pelajaran

Bahtsul Kharij dalam bidang fiqh dari Burujardi dan Bahtsul Kharij dalam bidang

Ushul Fiqh dari Imam Khomeini. Pada masa ini pula, Mishbah Yazdi berkenalan

dengan sejumlah ulama besar seperti Khomeini, Thabataba‟i, dab Behjat.7

Dikancah politik Mishbah Yazdi bersama teman-temanya, seperti

Ayatullah Bahestyi, Ayatullah Rafsanjani dan Hujajjatul Islam Muhammas Javad

Bahonar, mereka mainkan peranan penting. Pada masa perlawanan terhadap

kepemimpinan Reza Pahlevi yang zalim. Mishbah Yazdi pada waktu menjadi

penanggung jawab dua media informasi, yaitu media Bi’tsat dan Enteqam.

Bersama Ayatullah Junnati, Ayatullah Bahesti dan Ayatullah Qoddusi, ia

mengelola pusat pendidikan Haqqani dan Muntazeriyeh. Selama 10 tahun, ia

sibuk menjadi besar dibidang filsafat serta ilmu al-Qura‟an atas dukungan dan

anjuran Ayatullah Khomeini di Hawzah Qom. Kemudian di tahun 1369 H.

Mishbah Yazdi terpilih sebagai anggota dewan ahli dari provinsi Khuzestan dan

dalam pemilihan terakhir dewan ahli, ia juga terpilih sebagai anggota yang

mewakili ibukota Tehran.8

Mishbah Yazdi merupakan figur yang paling produktif di Hawzah Qom

setelah meninggalnya Murtadha Muthahhari. Dia menempati peran penting dan

juga setelah menangnya revolusi Iran, dengan memperhatikan pentingnya

Islamisasi universtas maka beliau memulai kembali kegiatannya. Selain itu,

Mishbah Yazdi bekerja sama dengan murid-muridnya untuk mendirikan lembaga

yang mengatur hubungan unversitas dengan Hawzah. Misalnya pusat penelitian

7Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Misbah Yazdi, h. 70.

8 Moh. Soivi, “Kehendak Bebas Dalam Pemikiran Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah

Yazdi” (Skiripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 13

19

Baqir Ulum yang bergerak di bidang pengaturan kurikulum Hawzah dan

hubungan antara Hawzah dengan universitas.

Mishbah Yazdi sendiri merupaka jebolan Hawzah Qom yag paling

menonjol dan produktif, salah satu bukti keberhasilannya adalah dalam

menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan filsafat Islam sambil

mengharmonisasikan Shadraisme, Parepatetisme, Filsafat Modern dan visi politik

Imam Khomeini yang berpijak pada konsep waliyatullah fakih. Disamping

dianggap paling menonjol dan produktif, Mishbah Yazdi juga diyakini mampu

memberikan respon terhadap wacana pemikiran kontemporen, yakni sejumlah

aliran pemikiran modern dan postmodern. Di mana ia berupaya mendialogkan

tradisionalisme dan modernsm dalam wawasan filsafat yang diproyeksikan dalam

terciptanya reformasi sistem pendidikan Hawzah Qom.9

B. Karya-Karya Muhammad Taqi Mishbah Yazdi .

1. Chikideh-ye Bahts-e Falsafi (Ringkasan Beberapa Pembahasan Filsafat),

Qum: Dar Rah-e Haqq, 1357/1978 M. Sebuah ikhtisar dari diskusi-diskusi

yang berlangsung di London dalam seangkaian konferensi yang jug

memuat komentar-komentar para pelajar Iran yang tinggal di Amerika

Serikat mengenai konsep filsafat dan sejarahnya, pengetahuan rasional

(rational knowledge), sebab-akibat, maujud tetap, dan tak tetap aktualitas

serta potensialitas.

2. Pasdari Az Sangarha-ye Iydi’uluzhik (Pengawal Benteng-Benteng

Ideologi), Qum: Dar Rah-e Haqq, 1362 H/1982 M. Buku ini merupakan

9 Moh. Soivi, “Kehendak Bebas Dalam Pemikiran Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah

Yazdi”, h.15.

20

kumpulan tulisan singkat, ditambah sebuah artikel dari Dr. Ahmad

Ahmadi yang menyoroti masalah idealisme dan realisme. Topik yang

dibahas oleh Misbah Yazdi meliputi: Makna Pandangan-dunia,

pengetauan, sebab-akibat, gerak, dialektika, dan pandangan-dunia

materialis.

3. Iydi’uluzhi-e Tathbiqi (Perbandingan Ideologi), Qum: Dar Rah-e Haqq,

1361 H/1982 M. Buku hasil transkripsi ini terdiri atas empat puluh

pelajaran yang disampaikan penulis setelah kemenangan Revolusi Islam

Iran. Topik-topik yang didiskusikan meliputi: konsep ideologi, hubungan

antara pandangan-dunia dan ideologi, tipe-tipe pandangan dunia, konsep-

konsep metafisika, epistemologi, realitas dunia luar, sofisme dan

skeptisisme, realisme dan idealisme, macam-macam pengetahuan, jenis-

jenis objek pemahaman, kemendasaran nalar dalam imajinasi, filsafat

descartes, Locke, Berkeley, Hume, dan Kant, empirisme dalam teori

Marxis, dan lingkup berbagai jenis pengetahuan.

4. Taliqah Ala Nahayah Al-Hikmah (Komentar atas buku Nahayah Al-

Hikmah), Qum: Dar Rah-e Haqq Institute 1405 H/1984 M. Buku ini ditulis

dalam bahasa Arab, dan mungkin merupakan karya filsafat penulis yang

paling mendobrak. Di dalamnya, penulis menyajikan analisis kritis dan

tajam atas karya utama gurunya, Allamah Thabathaba‟i dalam bidang

filsafat Islam tingkat lanjut.10

5. Durus-e Falsafeh-ye Akhlaq (Pelajaran-Pelajaran Filsafat Etika), Teheran:

Iththila‟at, 1367 M/1988 M. Buku ini merupakan hasil transkrip dan

10

M.T. Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Khazim dan Saleh Baqir

(Jakarta Shadra Press, 2010), h. xxvii-xxxi.

21

suntingan dari delapan belas pelajaran yang disampaikan di Institute Dar

Rah-e Haqq. Terkandung di dalamnya pembahasan-pembahasan mengenai

kedudukan etika dalam filsafat, karakteristik konsep-konsep nilai,

kebaikan dan keburukan rasional, konsep-konsep nilai, mazhab-mazhab

pemikiran etika, relativisme, serta hubungan antara etika dan agama.

6. Ushul-e ‘Aqa’id (Prinsip-Prinsip Akidah) 2 jilid. Qum: Markaz-e

Mudiriyyat Hawzah „Ilmiyyah, 1368 H/1989 M. Buku ini dibakukan oleh

bagian administrasi Hauzah Qum sebagai buku daras para pelajarnya. Jilid

pertama buku ini berisi pembahasan mengenai tauhid dan keadilan Ilahi,

sementara jilid kedua berisi pembahasan mengenai misi para nabi dan para

imam (a.s.).

7. Ma’arif-e Qur’an (Ajaran-Ajaran Al-Qur‟an), Qum: Dar Rah-e Haqq 1368

H/1989 M. Karya ini terbagi dalam 3 bagian; teologi, kosmologi, dan

antropologi.

8. Jami’ah va Tarikh az Didgah-e Qur’an (Masayarakat dan Sejarah dalam

Perspektif Al-Qur‟an), Qum: Sazman-e Tablighat-e Islami, 1368 H/1989

M. Hasil transkrip dari kuliah-kuliah penulis di Institut Dar Rah-e Haqq,

yang ditranskrip dari kaset rekamannya oleh Prof. Dr. Malikiyan.

Mengangkat berbagai isu yang berkaitan dengan filsafat ilmu-ilmu sosial,

seperti hubungan individu dan masyarakat dan pertanyaan mana dari

keduanya lebih dahulu, revolusi Islam serta kepemimpinan dalam Islam.11

9. Hukumat-e Islami va Vilayat-e Faqih (Pemerintahan Islam dan

Kepemimpinan Seorang Faqih), Qum: Sazman-e Tablighat-e Islam, 1369

11

M.T. Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Khazim dan Saleh Baqir,

h. xxvii-xxxi.

22

H/1990 M. Buku ini berisi kumpulan kuliah yang disampaikan penulis di

Institut Dar Rah-e Haqq berkenan engan kebutuhan akan pemerintahan

Islam kebutuhan akan hukum dalam masyarakat, karakteristik badan

legislatif, sebab-musabab perbedaan hukum Ilahi dalam masyarakat Islam,

konflik keputusan dan standar kepentingan suatu hukum, keperluan akan

dewan legislatif dalam sistem Islam, aparat-aparat pemerintah dalam

sistem Islam, kemerdekaan, prasyarat dan pertanggungjawanam penguasa

Islam, dan kepemimpinan ahli fiqih.

10. Amuzisy-e ‘Aqa’id (Pelajaran-Pelajaran Aqidah) 3 jilid, Qum: Sazman-e

Tablighat-e Islam, 1370 H/1991 M. Karya ini dipersiapkan oleh Mishbah

Yazdi dengan mendapatkan bantuan dari sekelompok sarjana di Institut

Dar Rah-e Haqq, untuk keperluan para pelajar tingkat menengah. Setiap

jilidnya terdiri dari dua pulu pelajaran. Topik-topik yang dibahas

menyangkut teoloigi, kajian-kajian agama, pembuktian akan Wujud

Niscaya-ada, sifat-sifat Tuhan, kritik atas materialisme, keesaan Tuhan,

kebebasan berkehenak dan keterpaksaan (determinisme), kebutuhan akan

para nabi dan imam serta kemaksuman mereka, Al-Qur‟an, Imam Mahdi,

immaterialitas ruh, kebangkitan, kehidupan setelah mati, keimanan dan

kekafiran, serta masalah wasilah.12

11. Akhlaq dar Qur’an (Etika dalam Al-Qur‟an), Teheran: Amir Kabir, 1372

H/1993 M. Buku ini merupakan hasil transkripsi kuliah-kuliah yang

disampaikan di Institut Dar Rah-e Haqq dan disunting oleh Aqa-ye

Iskandari. Karya ini tidak sekadar menjelaskan prinsip-prinsip etika dalam

12

M.T. Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Khazim dan Saleh Baqir,

h. xxvii-xxxi

23

Al-Qur‟an, tetapi juga membandingkannya dengan perspektif para penulis

Muslim lain yang berpijak pada berbagai mazhab pemikiran yang berbeda,

serta mempertahankan pendekatan filosofis terhadap etika dalam tradisi

Islam.

12. Tarjumeh va Sharh-e Burhan-e Syifa’ (Terjemahan dan Komentar atas

Bagian “Pembuktian Demonstratif” dari kitab Al-Syifa’), Teheran: Amir

Kabir, 1373 H/1994 M. Hasil transkrip dan suntingan Dr. Muhsin

Gharaviyan ini berisi terjemahan dan komentar Mishbah Yazdi atas bagian

pertama bab logika dalam Al-Syifa’, karya Ibn Sina.

13. Ruhiyyan-e Ku-ye Dust (Para Pelancong di jalan sang Teman), Qum:

Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini, 1374 M/1995 M.

Kumpulan dua belas kuliah menyangkut moralitas Islam, seperti keimanan

kepada Allah, cinta Ilahi, kekhususan dalam shalat, kehidupan setelah

mati, dan bagaimana mencintai Tuhan, yang disajikan dalam bentuk

syarah atas riwayat-riwayat sekitar peristiwa Mi‟raj Nabi Muhammad

SAW.

14. Rah-e Tusyeh (Bekal Perjalanan), Qum: Institut Pendidikan dan Riset

Imam Khomeini, 1375 M/1996 M. Buku ini merupakan kumpulan dua

puluh kuliah menyangkut masalah moral Islam, diuraikan sebagai syarat

atas hadis populer mengenai nasihat Nabi Muhammad SAW, kepada Abu

Dzar.13

15. Syar-e Asfar al-Arba’ah, jilid pertama (Ulasan atas Empat Perjalanan),

Qum: Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini, 1375 M/1996 M.

13

M.T. Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Khazim dan Saleh Baqir,

h. xxvii-xxxi

24

Jilid pertama dari transkrip kuliah-kuliah yang mengulas dan

mengomentari mahakarya Mulla Shadra, Al-Asfar.

C. Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi

Mishbah Yazdi merupakan hasil didikan dari tiga tokoh terkemukan, yaitu

Tabatabai, Behjat Fumami dan Ruhullah Khomenei

Tidak asing lagi di telinga kita bahwasanya Ruhullah Khomenei

merupakan salah satu tokoh yang begitu fenomenal pada abad ke-20. Ia

merupakan ulama pemimipin Syiah yang berhasil menumbangkan rezim otoriter

pada masa kepemimpinan Reza Pahlevi di Iran melalui revolusi Islam Syi‟ah pada

tahun 1979 dengan keberhasilan tersebut rakyat Iran pada waktu menyebut beliau

dengan sebutan “Sang Imam” dan dinobatkan sebagai pemimipin “Pemimpin

Agung Revolusi”. Di samping itu ia juga merupakan teolog Islam pertama yang

membangun gagasan Islam di dunia modern. Orang-orang menganggapnya

sebagai pembela iman dan termasuk orang yang mengembalikan kekuatan dan

puritanisme Islam di saat dekadensi, korupsi dan hegemoni barat.14

Ruhullah Khomenei dengan nama lengkap Ayatullah al-Uzma Sayyid

Ruhullah al-Mussawi al-Khomenei ini memiliki andil sangat besar dalam

pemikiran Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Bisa dilihat dalam Pemikiran

Ayatullah M. T. Mishbah Yazdi karya Muhsin Labib digambar bagaimana

hubungan Ayatullah Khomenei dengan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi.

“Ali yang merupakan putra Muhammad Taqi Mishabh Yazdi

menjelaskan bagaimana hubungan Mishabah Yazdi dengan

14

Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan 1995), h. 69.

25

Ruhullah Khomenei, sesudah mengikuti Khomenei dalam masa

liburan pelajaran tersebut ia memberikan perintah kepada murid-

muridnya agar menerusakan pelajaran dengan Mubahatsah.

Mishbah Yazdi dan beberapa orang terkemuka lainnya seperti

Gilani Muhammad Yazdi, Khosain Mazhaheri, Ali Akbar Musawi

dan Mishabah Yazdi melakukan perintah Khomenei tersebut

dengan Mubahatsah secara bersama. Mubahatsah ini terus

berlangsung sampai menangnya revolusi Iran. Tema-tema ini yang

dibahas dalam permasalahan ini sangat penting dan berkualitas,

diamana pada umumnya adalah masalah-masalah sosial Islam

sepirti halnya amar ma‟ruf nahi mungkar.”15

Kemudian tokoh yang mempengaruhi adalah Muhammad Hosein bin

Muhammad bin Ali Asghar Tabatabai Tabrizi Qadhi atau dikenal dengan sebutan

Allamah Tabatabai. Di mana Mishbah Yazdi pernah menghadiri pelajaran dan

tafsir dan filsafat Allamah Tabatabai, ia tidak hanya menimba ilmu dari Allamah

Tabatabai, akan tetapi juga menjalin hubungan spiritual-akhhlaqi tersendiri

dengan Allamah Tabatabai. Begitu pula dengan Ayatullah Behjat.

Aktivitas Tabatabai selain menulis, ia juga membimbing masyarakat,

mengajarkan al-Qur‟an dan filsafat dengan melakukan kunjungan di beberapa

kota, beliau juga mengajarkan pengetahan dan pemikiran keislaman yang

menyebar ke seluaruh dan luar negeri Iran, terutama mahasiswa pilihan tentang

ilmu ma‟rifat dan tasawuf.16

15

Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Mishbah Yazdi, h. 70. 16

Moh. Soivi, “Kehendak Bebas Dalam Pemikiran Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah

Yazdi”, h.18.

26

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA

A. Konsep Tuhan dan Manusia

1. Konsep Tuhan

Konsep Tuhan merupakan konsep yang paling sentral dalam setiap

Agama, kita bisa lihat dalam ajaran Islam yang mengajarkan sebuah kebaikan

semisal dia menyantuni anak yatim, kemudian membantu fakir miskin, tidak

membunuh, tidak berzina, tidak makan babi dan kemudian tidak berkata bohong

tapi ketika ditanya apakah anda percaya kepada Allah, kemudian berkata tidak.

Saya rasa yang sedemikian tidak dikatakan seorang muslim, karena kosep

sentralnya adalah konsep Tuhan itu sendiri, atau bisa kita lihat dalam ajaran Islam,

Allah Swt berfirman “Kalau kalian berperilku syrik maka seluruh perbuatan

kalian tidak akan ada nilainya” dengan demikian konsep ketuhanan merupakan

fondasi yang paling pokok dalam dalam keimanan kita sebagai seorang muslim,

begitu juga dengan agama selain agama Islam. Misbah Yazdi memaparkan secara

panjang lebar dalam satu karyanya yang berjudul Maaref –e Qor‟an bahwa kaum

Quraisy dianggap musyrik bukan karena meyakini adanya pencipta selain Allah,

melainkan semata-mata karena tidak mengesakan Allah al-ma‟mud.1

Menurut Karen Armstrong,2 dalam salah satu bukunya yang berjudul The

Chae For God bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan hingga

1 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T Mishbah Yazdi, (Jakarta: Sadra Press

2011), h. 284 2 Karen Armstrong merupakan seorang biarawati yang kemudian menjadi seorang ilmuan

dan penulis. Tiga karya besarnya mengulas khusus tentang ketuhanan: A History Of God: The 400

Year Quest Of Judaism, Christiany and Islam (1993). T n he Great Transformasion: the Worl in

27

masa depan, meskipun Dia ditentang di mana-mana. Ide tentang konsep Tuhan

sudah tumbuh sekitar 14.000 tahun yang lalu di dunia kuno timur tengah, di mana

masyarkat waktu itu meyakini bahwa “ADA” yang mengawasi, mengatur,

menghukum dan memberikan. Keyakinan semacam ini kemudian direalisasikan

dalam curahan hasrat, singkatnya adalah sebagai ritual, di mana hal tersebut

sebagai bentuk keyakinan terhadap Tuhan. Dengan perasaan bahwa ada yang yang

mengawasi sehingga melahirkan suatu keinginan untuk bertemu denga sang ada.3

Menurut peniliti seorang doktoral dan pascadoktoral dari Universitas Harvard,

dalam risetnya menemukan bahwa intuisi yang membuat manusia memiliki

kepercayaan kepada Tuhan.4

Bisa kita lihat di era sejarah perang dunia ke II berkecamuk di situ ada

suatu pernyataan yang begitu populer, pernyataan itu akan dirasakan oleh

seseorang apabila dirinya dalam situasi yang tidak memungkinkan atau

membahayaka jiwanya, maka disitu tentunya akan mengakui keberadaan Tuhan.

Dengan keadaan seperti itu betapa pentingnya keberadaan-Nya dan sebagai

konsekuensi harus mengakui adanya Tuhan. Kedengarannya memang cukup

sederhana, namun sesungguhnya ini dapat dijadikan pentujuk bahwa dewasa ini

permasalahan keagamaan kian lama kian menarik perhatian.5

Dengan demikian sebagai makhluk ciptaan-Nya kita harus berani

menerima kenyataan bahwa Tuhan memang ada dalam realitas-Nya dan wujudnya

The Time of Budha, Socrates, Concius and Jeramiah (2006). The Case for God: What Religion

Really Means (2009). Lihat: Taufik Pasiak, Tuhan dalam Otak Manusia: Mewujudkan Kesehatan

Spritual Berdasrkan Neurosains (Bandung: Mizan 2012), h. 293 3 Zainurrahma, Ruang Pertemuan Tuhan (Ternate: UNDP Maluku Utara 2009), h. 11.

4 Taufik Pasiak, Tuhan dalam Otak Manusia: Mewujudkan Kesehatan Spritual

Berdasrkan Neurosains, h. 296. 5 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,2002), h.431

28

memang tidak terindra sebagaimana yang kita inginkan. Bahkan, menurut

Muhammad Abduh, hanya Tuhan yang wajib ada, yang merupakan sumber dari

segala yang mungkin ada. Oleh sebab Tuhan merupakan wujud yang paling kuat

dan yang paling tinggi. Dia mempunyai sifat-sifat wujudiah yang sesuai dengan

kedudukan dan martabat-Nya yang Agung.6

Al-Farbi dalam bukunya Fhusus al-Hikam membagi wujud Tuhan ke

dalam dua bagian, yaitu yang wujud mumkin (wajibul al-wujud li ghairihi) dan

wujud yang nyata dengan sendirinya (wajib al wujud li dzatihi)

1) Mumkin (wajib al-wujud lighairihi)

Menurut Al-Farabi wujud yang mumkin adalah wujud yang adanya karena

wujud yang lain, seperti adanya cahaya karena adanya matahari. Dengan demikian

wujud yang mumkin menjadi bukti adanya wujud pertama yang menyebabkannya

ada. Semua yang mumkin harus berakhir pada sesuatu yang pertama kali ada, yang

ada pada dirinya sendiri. Sepanjang apapun rangkaian kausalitas wujud mumkin,

wuuud yang mumkin tetap membutuhkan wujud yang memberi ada kepadanya,

sebab wujud wujud mumkin tidak dapat pada dirinya sendiri.

2) Wajib al-wujud lidzatihi/sebab awal

Wajib al-wujud lidzatihi di sini adalah adanya karena dirinya sendiri tanpa

ada campur tangan yang lain. Adanya tersebut apabila diperkirakan tidak, maka

yang lain pun tidak aka nada sama sekali. Wujud ini menjadi dasar bagi wujud

mumkin. Wujud ini disebut causa prima atau seab pertama, sang Ada Yang

6 Josep Iskandar, “Konsep Tuhan Perspektif Muhammad Abduh” (skirisi S1 Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 56

29

Pertama. Wajib al-wujud lidzatihi atau dalam istilah Al-Farabi sebab pertama

tersebut hanya satu, yaitu Tuhan.

Tuhan tidak sama dengan wujud mumkin, di mana Tuhan tidak terdiri dari

zat dan bentuk, Tuhan merupakan subtansi yang tidak bermula, azali, sudah ada

dengan sendirinya yang terus ada untuk selamanya. Esensi Tuhan begitu

sederhana dan juga tidak bisa dibagi. Subtansi-Nya sendiri sudah cukup menjadi

sebab ada-Nya yang kekal. Karena Tuhan adalah Causa Prima yang ada pada

Diri-Nya sendiri, Tuhan maha sempurna. Maka, tidak ada yang menyerupai

kesempurnaan-Nya sebab jika ada-Nya ada pada sesuatu selain Tuhan, sesuatu itu

adalah sekutu-Nya. Selain itu Tuhan maha Esa, maka dengan demikian keesaan

Tuhan tidak bisa didefinisikian (penggambaran atau pembatasan) sebab, hal itu

akan mereduksi keesaan-Nya. Bagi Tuhan mustahil jika Tuhan bisa dirumuskan

atau didefinisikan sebagaiman halnya makhkuk, maka subtansi Tuhan terbatas,

jika subtansi Tuhan terbatas, Tuhan tidak lagi maha sempurna dan yang maha Esa.

Menurut al-Kindi dalam filsafatnya, Tuhan merupakan pencipta yang tidak

mempunyai hakikat aniyah (Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada

dalam alam) atau mahiyah (Tuhan meripakan genus atau spesies) dan tidak ada

meyerupai bentuk Tuhan, karena Tuhan itu satu sebagaimana dikatakan al-Kindi

bahwa Tuhan itu al-Haqqu al -awwal dan al-Haqqu al-Wahid. Jadi selain Tuhan

yang ada di alam jagat raya ini mengandung arti banyak, baik itu mahluk hidup

maupun benda mati.7

a. Definisi Manusia

7 Harun Nasution Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang 2010) h.

6.

30

Para ilmuan mengekemukakan tentang definisi manusia begitu beragam,

tergantung dari aspek mana ia mengkaji dan meneleti. Ada yang melihat dari

aspek sosialnya sehingga manusia disebut sebagai makhluk sosial. sebagian lagi

menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab.8 Dalam

Kamus Besar Indonesia, manusia memiliki pengertian sebgai makhluk yang

berakal budi (mampu menguasai makhluk lain).

Secara etimologi dapat kita telurusi untuk menemukkan makna tentang

manusia, namun apabila kita menelaah lebih dalam lagi tentang manusia, maka

kita tidak hanya membicarakan dari sudut pandang definisi saja, melainkan dapat

dipahami dengan hakikatnya. Manusia merupakan makhluk multidimensional,

makhluk pradoksal dan makhluk dinamis. Manusia sudah didefinisikan dari

berbagai cara. Ariestoteles memandang manusia sebagai hewan yang dapat

berkata-kata dan juga sebagai hewan politik.9

Dewasa ini sudah banyak yang ditawarkan oleh para ilmuan tentang

definisi manusia, namun selaku umat Islam diamana al-Qur‟an sebagai sumber

ajaran pentingnya mengkaji dan meneliti apa dan bagaimana manusia dalam

gambaran al-Qur‟an dengan pendekatan istilah yang digunakan untuk manusia.

Dalam pandangan M. Dawam Raharjo istilah yang diungkapkan dalam al-Qur‟an

seperti Basyar, Insyan, unas, „imru‟ atau yang mengandung pengertian perempuan

seperti imro‟ah dan nisa. Namun secara mendasar dan pada umumnya ada tiga

kata yang digunakan al-Qur‟an untuk merujuk pada pengertian manusia yaitu, al-

8 Abd Gaffar “Manusia Perspektif al-Qur‟an”, Tafsere Vol, IV, No, 2 (Tb 2016): h. 230

9 Anis Lutfi Masykur, “Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr” (Skiripsi S1Universitas

Islam Negeri Syarif HIdatulla Jakarta, 2017), h. 26.

31

Insan dengan segala modelnya yaitu ins, al-nas, unas atau insan, kemudian

Basyar dan bani adam.10

a) Al Basyar

Kata Basyar dikaitkan dengan kedewasaan di dalam kehidupan

manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Selain itu,

basyar mempunyai kemampuan reprduksi seksual. Jadi konsep yang terkandung

di dalam kata basyar adalah manusia dewasa memasuki kehidupan bertanggung

jawab. Disisi lain al-Basyar mempunyai pengertian mulasamah di mana manusia

dipahami sebagai makhluk yang mempunyai sifat kemanusiaan dan keterbatasan.

b) Al-Insan

Al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak dan

pelupa. Menurut M Quraish Shihab, manusia dalam al-Qura‟an disebut dengan

al-Insan yang diambil dari kata Uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak.

Dengan kata lain kata al-Insan digunakan al-Qur‟an untuk menunjukkan totalitas

sebagai makhluk jasmani dan rohani. Term al-Insan menurut „Aisyah bint al-

Alsyati‟ bahwa yang terdapat dalam al-Qur‟an menunjukan kepada ketinggian

derajat manasia sehinngga ia layak menjadi khalifah di muka bumi ini dan mampu

memimukul beban berat dan tugas keagamaan serta amanah kehidupan.

c) Bani Adam

Yang dimaksud dalam pengertian Bani Adam di sini adalah

seorang anak nyang dilahirkan dari Adam dan keterunanannya dan seterusnya,

sehingga dikaitkan dengan Bani Adam adalah keturanannya.

10

Rifat Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur‟an dalam Metodologi

Psikologi Islam, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustakan Pelaja, 2000), h. 6.

32

Jadi kata al-Basyar, al-Insan dan Bani adam di sini menggambarkan

krakteristik dan kesempurnaan peenciptaan Allah kepada makhluk manusia,

gambaran manusia di sini bukan hanya sebagai makhluk biologi dan psikologis

semata melainkan sebagai makhluk makhluk yang religius, sosial dan bermoral

srtra kultural, diamana semuanya merupakan cerminan kemuliaan dan kelebihan

manausia ketimbang makhluk-makhluk Tuhan lainnya.11

2. Konsep Manusia

Manusia adalah makhluk Tuhan dengan berbagai sisi dengan tingkatan.

Ia merupakan tubuh, jiwa dan ruh. Tetapi Islam selaras dengan doktrin Tauhidnya

yang fundamental, memandang manusia sebagai kesatuan yang utuh di mana

semua bagiannya saling tergantung satu sama lain. Islam memiliki pandangan

yang sama dengan Kristen dan Yahudi, di mana manusia diciptakan dari bayang-

bayang Tuhan.12

Konsep manusia dalam Islam terletak pada harkat dan martabatnya.

Harkat dan martabat manusia dapat dilihat dari hakikat manusia: dimensi dan

potensi yang dimiliki manusia itu sendiri. Aliran materialisme antroplogik

memandang hakikat manusia sebagai jasad yang terdiri dari bahan-bahan material

dari dunia anorganik. Sedangkan kaum Idealisme Antropologik memandang

manusia sebagai makhluk yang memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang

intrinsik dan tidak bergantung pada materi. Namun pandangan ini di dalam Islam

belum sempurna, karena kedudukan manusia di hadapan Tuhan sangat mulia.

11

Abd Gaffar “Manusia dalam Perspektif al-Qur‟an”, h. 244. 12

Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam dan Sains, (Bandung: Pustaka

Hidayah 2008), h. 301.

33

Hakikat manusia dalam ajaran Islam dapat kita lihat sebagai berikut.

Petama, manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling baik dari pada makhluk-

makhluk lainnya, sehingga di dalam al-Qura‟an surat al-tiin disebutkan dengan

sebutan ahsani taqwim dengan pengerian manausia memiliki derajat yang lebih

tinggi secara jasmani dan rohani dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Dari segi jasmani terletak pada ciptaan fisik dan rupa wajah. Adapun keunggulan

dari segi rohani manusia adalah yang berkekuatan spiritual keagamaan, karena

manusia mempunyai akal dan kalbu. Kedua, manusia dalam Islam disebut insan

kamil. Ketiga, manusia sebagai khalifah di bumi. Keempat, dari segi kejadiannya

manusia yang paling bagus. Dalam al-Qur‟an surat al-Mukminun (23) ayat 12-16

manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan nutfah. Kelima, manusia

adalah makhluk yang berketuhanan. Keenam, manusia adalah makhluk mulia.13

Dalam pandangan Islam mengenai konsep manusia di atas, kemudian

berkembang dalam sejarah sejarah pemikiran filsafat Islam. Semisal dalam filsafat

Islam manusia dikenal sebagai makhluk multidimensional dan multipotensial.

Manusia sebagai multidimensional ada beberapa dalam hidupnya. Sedangkan

manusia sebagai makhluk multipotensial memiliki banyak potensi dalam baik

(fitrah) dalam hidupnya.

Manusia dalam pandangan Islam memiliki 7 dimensi dalam

kehidupannya, yaitu jasmani, rohani, akidah, sosialakhlak, akal dan estetik.

a) Dimensi Jasmani.

13

Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam” Al-Ta‟lim, jilid 1,

No, 3 (November 2012): h. 190-191.

34

Dimensi jasmani dalam Islam adalah eksisitensi manusia membutuhkan

badan, agar bisa melaksnakan fungsi dan tugasnya. Karena apabila jiwa tidak

mendapat bantuan badan tidak akan bisa menjalankan tugasnya sepetti halnya

berpikir, merasa, dan bertindak. Pada hakikatnya bukan badan yang membutuhkan

jiwa, akan tetapi justru sebaliknya, jiwalah yang membutuhkan badan. Buktinya

hewan bisa bisa hidup tanpa jiwa (akal). Dengan demikian jiwa sangat

membutuhkan badan, maka skualitas jasmani manusia harus dikembangkan

seoptimal mungkin dalam hidupnya agar dia berdaya dan berhasil bagi

kehidupannya.

b) Dimensi rohani / Spritual Keagamaan

Dimensi rohani di sini merupakan konsep yang paling sentral dalam

Islam. Menurut al-Qur‟an setelah proses taswiyah dari bentuk fisik terciptanya

manusia secara lengkap, kemudian Tuhan meniupkan roh-Nya sebagai bukti

kesempurnaa terciptanya manusia. Seperti halnya disebutkan dalam al-Qur‟an

surat al-Hajir (15) ayat 28-29. Menurut Al-Kindi: jiwa tersebut berhubungan

dengan Tuhan. Jiwa manusia berhubungan dengan imej dan sapek (shuurah)

ketuhanan. Hal ini detegaskan oleh Nabi dalam sebuah haditsnhya: Sesungguhnya

Allah SWT menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya (memiliki spirit rohaniah

ysng berasal dari-Nya). Pada dimensi ini maksud tujuan Allah meciptakan

manusia. Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali mereka menyembahku.14

c) Dimensi akidah

Manusia sebagai hasil ciptaan Tuhan, maka dalam dirinya sudah

dianugerahi sesuatu oleh Tuhan sebagai pencitanya, yang berupa pribadi manusia

14

Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam”, h. 192

35

yang dilengkapi dengan berbagai potensi yang berupa: pikiran, perasaan kemauan

dan anggota badan. Dalam analisa filsafat mengatakan bahwa Tuhan yang maha

Esa merupakan Causa Prima, dalam artian sebab pertama yang menyebabkan

lahirnya seluruh yang ada temasuk manusia. Disamping itu, Tuhan yang Esa juga

sekaligus causa finalis dari perkembangan hidup manusia. Sebagaimana firman-

Nya dalam Surat Al-A‟raf (7) ayat 172. Kemudian Nabi Muhammad SAW

bersabda, “Setiap manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Fitrah dalam

artian suci dari syirik, atau dengan kata lain pada dasarnya manusia diberi potensi

untuk percaya kepada Tuhan.15

d) Dimensi sosial

Setiap manusia terlahir sebagai kelompok sosial. seandainya manusia

tidak memiliki dimensi sosial dalam hidupnya, niscaya manusia akan punah di

bumi ini, karena manusia dilahirkan dalam keadaan lemah. Manusia tidak bisa

melangsungkan hidupnya tanpa bantuan orang lain dan potensi yang dibawa sejak

lahir bisa berkembang apabila bergaul dengan sesama manusia, sehinngga

menjadi manusia yang sebenarnya. Islam menganjurkan agar setiap orang Islam

supaya tolong menolong satu sama lain.

e) Dimensi akhlak

Akhlak atau moral merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan manusia, di mana pada hakikatnya mempunyai potensi esensial sebagai

moral being.16

Tanpa akhlak manusia akan kehilangan esensi kemanusiaannya

sehingga menjadi manusia yang berada di tingkat yang paling rendah. Allah SWT

15 Djunaidatul Munawaroh dan Taneji, Filsafat Pendidikan Islam:Perspektif Islam dan

Umum (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003 ), h. 41-42. 16

Djunaidatul Munawaroh dan Taneji, Filsafat Pendidikan Islam: Perspektif Islam dan

Umum, h. 36-38.

36

mengutus Nabi Muhammad SAW menjadi rasul salah satunya mengemban tugas

untuk memperbaiki akhlak manusia. Dalam hal ini Nabi menegaskan:

Sesungguhnhya aku diutus menjadi rasul untuk memperbaiki akhlak manusia.

Konsep akhlak dalam al-Qur‟an tidak hanya sebatas kehidupan pribadi dan

keluarga, melainkan meliputi hubungan baik manusia dengan kehidupan

bermasyarakat, keagamaan dan politik.17

f) Dimensi akal

Akal merupakan dimensi kehidupan yang ada pada diri manusia,

sehingga kualitas dan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan makhluk-makhluk

lainnya, seperti malikat dan hewan. Sehingga Allah SWT memilih Adam sebagai

khalifah di bumi daripada malaikat, karena manusia memiliki akal yang

dengannya manusia dapat memiliki kualitas di bidang ilmu pengetahuan. Manusia

sebagai khalifah tidak hanya dintentukan dengan kualitas akhlaknya akan tetapi

juga ditentukan oleh kualitas keilmuannya. Oleh karenanya Islam sangat

menghargai akal dan memuliakan kedudukannya.

g) Dimensi estetika

Manusia sejatinya membutuhkan keindahan baik keindahan akhlak

atau keindahan bentuk, tidak ada seorangpun yang yang tidak suka akan

keindahan, karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan.18

Dalam kegiatan

manusia banyak yang berhubungan dimensi estetika, bahkan dalam ajaran Islam

adanya dimensi estetika tidak dibantah. Seni yang dimaksud di sini adalah bukan

seni untuk seni, melainkan seni untuk kehidupan agama manusia, sehingga

kehidupan manusia itu terasa indah. Seni dalam Islam merupakan jembatan yang

17

Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam”, h. 194. 18

Murtadha Muthahhari, alFitrah, terj. H. Afif Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), h. 53.

37

akan membawa arus inspirasai, gaya dan ide-ide aantara kultur Islam. Seperti

halnya di Amman, Kairo dan Karachi.19

Ketujuh aspek atau demensi kemanusian merupakan kepribadian manusia

dalam pandangan Islam, di mana dari semua itu harus bertumbuhkembang dalam

keseimbangan, kesatuan ikatan, serta saling melengkapi dan menyempurnakan

diantara satu sama lain dan tidak boleh terabaikan atau paling diunggulkan. Jadi

gambaran manusi multidimensional itu adalah sosok manusia dalam konsep

makhluk jasmani/rohani, agamis, sosial, seni, akhlak dan akal.20

3. Teori Hubungan Tuhan dengan Manusia

Hubungan Tuhan dengan manusia maupun alam merupakan fenomena

baru masyarakat modern dalam memahami Tuhan sehingga pendekatan

epistemologis menjadi sebuah keharusan. Tuhan dipahami dalam perspektif

antroposentris dengan titik tekan pada relasi antara Tuhan dengan manusia dan

alam. Relasi antara Tuhan dengan manusia menimbulkan pemikiran-pemikiran

secara filosofis yang cenderung imanen pada satu sisi dan transeden pada sisi

yang lain, bahkan menimbulkan pemikiran yang menganggap Tuhan itu imanen

sekaligus transenden.

Imanensi maupun transendensi merupakan pradigma ontologis-metafisis di

kalangan filosof maupun teolog dalam membahas relasi antara Tuhan dengan

manusia. Di sinilah terdapat benang merah relasi manusia denga Tuhan dengan

pendekatan fenomenologis yang dikenal dengan sebutan intensionalitas. Istilah ini

19

Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam, terj. M. Sirosi (Bandung: Mizan, 1992), h.

209. 20

Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam”, h. 197-199.

38

merujuk bahwa manusia mempunyai keterarahan dengan yang lain, termasuk

Tuhan. Keterarahan manusia kepada Tuhan merupakan suatu keniscayaan.21

Pada akhirnya relasi keduanya yang melahirkan konsep imanensi dan

transendensi ini dalam perkembangan berikutnya menimbulkan paham-paham

ketuhahanan yang menjadi perdebatan. Dalam catatan sejarah ada beberapa

pandangan manusia mengenai konsep ke-Tuhanan yang menekankan pada relasi

Tuhan dengan alam, yaitu Teisme, Deisme, pateisme dan panenteisme. Dalam

pandangan aliran ini meyakini bahwa Tuhan merupakan pencipta, namun aliran

tersebut memiliki cara pandang yang berbeda mengenai relasi Tuhan dan alam.

a. Teisme

Teisme adalah aliran atau paham yang mengakui bahwa Tuhan sebagai

yang ada dan Trensenden, juga berpartisipasi secara imanaen dalam penciptaan

alam dari ketiadaan melalui aktus penciptanya-Nya yang bebas. Antara Tuhan dan

manusia dapat terjalin hubungan.22

Harun Nasution juga mengatakan dalam

bukunya Filsafat Agama bahwa Tuhan dalam paham teisme adalah transenden,

yaitu di luar alam. Aliran teisme mengatakan alam setelah diciptakan oleh Tuhan

bukan tidak lagi membutuhkan-Nya, akan tetapi masih butuh kepada-Nya, karena

Tuhan adalah sebab bagi seluruh alam yang ada, dan kesemuanya harus bersandar

kepada sebab tersebut, dan Tuhan merupakan dasar dari semua yang ada dan apa-

21

Suhermanto Ja‟far “Panenteisme Dalam Pemikiran Barat dan Islam”, Ulumuna, Vol

XIV, No. 1 (Juni, 2010), h. 42-43. 22

M. Bharudin “Konsepsi KeTuhanan Sepanjang Sejarah Manusia”, Al-adYan, Vol IX,

No. 1, (Januari-Juni, 2014), h. 39.

39

apa yang terjadi di alam ini. Oleh karenanya alam ini tidak akan pernah berwujud

dan berdiri tanpa Tuhan. Dialah yang mengatur dan yang menggerakkan.23

Dalam ajaran Islam bahwa Tuhan adalah Esa, sekaligus transenden dan

juga immanen, bisa dibuktikan melalui ayat al-Qur‟an. Sedangkan ayat yang

menunjukkan aka keesaan Tuhan terdapat dalam surat al-Ikhlas yang artimya

Katakanlah Muhammad, Dia (Allah) adalah satu. (QS. 112:1). Sedangkan

transendensi Tuhan terdapat dala surat al-A‟raf ayat 54. Artinya “Sesungguhnya

Tuhan kamu adalah allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam

masa, lalu Dia bersemayam di atas „Arsy”. Sedangkan immanensi Tuhan terdapat

dalam surat Qaf ayat 16, “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia

dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat

kepadanya dari pada urat lehernya. Dan juga terdapat dalam surat Yunus ayat 3,

di mana ayat ini menegaskan bahwa Tuhan itu transenden sekaligus immanen.24

Tokoh dalam dalam Islam yang menegemukakan gagasannya tentang

teisme adalah Al-Ghazali. Menurutnya Allah adalah zat yang Esa dan juga

pencipta alam serta berperan aktif dalam mengendalikan alam. Dan alam di

ciptakan dari tidak ada. Menurutnya Tuhan mampu mengubah segala ciptaan-Nya

sesuai dengan kehendak mutlaknya, karena Tuhan maha kuasa dan dan

berkehendak mutlak. Al-Ghazali di akhir hidupnya lebih menekankan pada

immanensi Tuhan. Tuhan sangat dekat dengan dirinya, sehingga untuk berdoa pun

tidak perlu dengan suara atau gerakan bibir. Dian berpendapat kedekatan Tuhan

itu sekaligus membuka tabir penegetahuan.

23

Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 38. 24

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia,

(Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 81-82.

40

Menurut St. Agustinus gagasan tentang konsep teisme adalah, bahwa

Tuhan ada dengan sendirinya, tidak diciptakan juga tidak berubah, abadi, bersifat

personal dan maha sempurna. Menurut St. Agustinus Tuhan menciptakan alam,

jauh dari alam, di luar dimensi waktu tetapi juga mengendalikan setiap kejadian

dalam alam. Oleh sebab itu mukjizat benar-benar ada karena Tuhan selalu

mengatur ciptaa-Nya. Alam menurutnya diciptakan dari tiada, maka dari itu alam

adalah baru dan tidak abadi. Alam memiliki permulaan dan batas akhir serta tidak

diciptakan dalam waktu, tetapi bersaamaan dengan waktu.25

Kemudian filosof Yahudi Ibn Maimun atau Maimonedes berpaham

memahami teisme adalah, bahwa Tuhan meliputi semua posisi yang penting, tidak

berjasad juga tidak berpotensi dan tidak menyerupai makhluk. Dalam hal ini,

menurut Ibn Maimun Tuhan adalah transenden dan juga Tuhan memerhatikan

nasib makhluk-Nya dan mendengar do‟anya. Bukti bahwa Tuhan memperhatikan

makhluknya nasib makhluknya ketika Tuhan memberikan nikmat kepada

makhluk-Nya yang begitu banyak sehingga ia mampu bertahan hidup dengan

segala nikmt yang diberikan.

Dari ketiga filosof yang beda agama tersebut menurut Amsal Bakhtiar

tampak benang merah yang menghubungkan dari pemikiran ketiganya, sama-

sama berpendapat bahwa Tuhan secara zat adalah transenden juga jauh dari

pengetahuan dari manusia. Namun, apabila ditinjau dari segi perbuatan-Nya

Tuhan berada dalam alam dan bahkan memperhatikan nasib makhluk-Nya.26

25

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 83

26

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 84-

85.

41

b. Deisme

Menurut paham deisme Tuhan berada jauh dari alam (transenden) yaitu

tidak dalam alam (tidak immanen). Kata deisme bersal dari bahasa latin yaitu deus

yang memiliki arti Tuhan. Dalam paham ini Tuhan menciptakan alam dan sesudah

alam diciptakan-Nya, di samping Tuhan sebagai pencipta Ia merupakan sumber

dari segala-galanya, tapi bukan pengatur atau bahkan sebagai pengawas. Setelah

alam diciptakan, Tuhan tidak lagi memerhatikan dan alam berjalan sesuai dengan

peraturan yang sudah ditetakn ketika proses penciptaan. Peraturan-peraturan tidak

berubah dan sangat sempurna. Dalam paham ini Tuhan dibaratkan dengan tukang

jam yang sangat mahir. Setelah jam tersebut jadi maka jam itu tidak lagi

membutuhkan sipembuat. Dengan demikian alam setelah diciptakan oleh Tuhan,

alam tidak lagi butuh kepada-Nya dan berjalan sesuai dengan mekanisme yang

sudah diatur oleh Tuhan. Dalam kasus ini sangat berbeda dengan paham teisme

(alam masih berhajat kepada-Nya).27

Dalam aliran deisme tidak ada paham mukjizat dalam artian sesuatu yang

bertentangan dengan hukum alam, karena alam setelah diciptakan oleh Tuhan

sudah tidak berhajat lagi pada Tuhan sehingga berjalan sesuai dengan mekanisme

yang sudah diatur oleh-Nya. Dalam paham deisme ini juga, do‟a dan wahyu sudah

tidak dibutuhkan lagi, Tuhan sudah membekali manusia manusia berupa akal,

sehingga dia bisa mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, mana yang benar

dan mana yang salah. Dengan dapat disimpulkan dalam paham ini manusia

mampu mengurus kehidupan duni.

27

Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 35-36.

42

Paham deisme sangat menekankan peranan budi dalam agama serta

menolak wahyu dan mukjizat penolakan akan mukjizat ini tidak berdasarkan

argumentasi yang kuat. Thomas painen (1773-1809) yang merupakan tokoh

deisme yang militan, ia menyebutkan dalam karyanya yang berjudul “The age of

reason” menegaskan bahwa turunnya wahyu dan mukjizat adalah mustahil.

Menurut Paine wahyu yang dikaitkan dengan agama, menandakan adanya pesan

yang ingin disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Wahyu hanya diberikan

kepada orang-orang tertentu dann hanya berlaku untuk orang-orang yang

mendapatkan wahyu. Oleh karena itu orang yang tidak mendapatkan wahyu tidak

wajib mempercayai, wahyu yang sebenarnya menurut Paine adalah manusia yang

dilengkapi dengan akal.

Turunnya wahyu menurut Paine adalah mustahil karena keterbatasan

manusia untuk menangkap isi kandunngan dalam wahyu. Hal ini di sebabkan oleh

sifat wahyu yang universal dan tidak berubah sedangkan bahasa manusia selalu

berubah dan tidak universal. Paine menolak beberapa kelompok agama yang

mengaku telah menerima wahyu baik sacara tulisan maupun lisan. Bagi Paine

bahwa kepercayaan akan wahyu merupakan penemuan manusia yang dirancang

untuk memperbudak orang lain, mencari keberuntungan dan menopoli

kekuaasaan.28

Secara implisif deisme dapat dikatakan sebagai “agama filsafat” yang

meyakini Tuhan sebagai pencipta yang abstrak. Relasi Tuhan dan manusia

hanyalah sebatas pencipta tidak ada wahyu atau mukjizat sebagai petunjuk.

Manusia diberika kebebasan dalam mengambil keputusan serta tindakan di dunia

28

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 90

43

tanpa ada campur tangan Tuhan. Para penganut paham deisme sangat

memperjuangkan free thingking.29

Aliran deisme mulai muncul pada abad ke 17 tokoh yang memelopori

adalah Newton (1642-1727). Dalam hal ini Newton mengatakan, Tuhan

hanhyalah pencipta alam dan apabila terjadi kerusakan alam tidak membutuhkan

Tuhan untuk memperbaiki karena sudah memiliki mekanisme sendiri untuk

menjaga keseimbangan. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengaetahuan,

sebagian ilmuan semakin meyakini bahwa kebenaran dan keuniversalan hukum

fisika yang tidak berubah. Hal ini memberikan dampak pada mereka yang

beranggapan bahwa perlunya Tuhan bagi alam semakin kecil. Sehingga kian lama

muncullah paham bahwa Tuhan hanya menciptakan alam kemudian

membiarkannya berjalan sesuai hukum yang telah ditentukan.30

c. Panteisme

Dalam bukunya Amsal Bakhtiar filsafat Agama¸ kata panteisme

merupakan gabungan dari tiga kata yaitu, Pan (seluruh), theo (Tuha) dan isme

(paham). Jadi pengertian panteisme adalah paham bahwa semuanya adalah Tuhan.

Panteisme merupakan aliran atau paham yang berasumsi bahwa Tuhan berada

dalam segala sesuatu dan segala sesuatu tersebut adalah Tuhan. Dalam paham ini

seluruh alam jagat raya ini satu, dengan demikian Tuhan dalam panteisme juga

satu, di samping Tuhan itu Esa juga Maha Besar dan tidak mengalami perubahan,

hal ini sangat berbeda dengan alam inderawi karena alam hanyalah sebuah ilusi

29

Tri Arwani Maulidah “Relasi Tuhan Dan Manusia Menurut Syed Muhammad Naquib

Al-Attas” (Tesis Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabya, 2018), h. 56. 30

Amsal Bakhtiar, Filsafat agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 89.

44

atau khayal yang selalu berubah. Adapun wujud hakiki dalam paham ini hanya

satu yaituTuhan.31

Dalam Islam istilah panteisme sering disamakan dengan istilah wahdah

al-wujud yang dipelopori oleh Muhyidin Ibnu al-„Arabi. Wahdah al-wujud

merupakan suatu konsep yang mengatakan “yang ada hanyalah wujud yang satu”.

Dalam paham ini, Ibnu „Arabi menjelaskan bahwa bsemua yang ada memiliki dua

aspek, yakni aspek luar dan dalam. Aspek luar adalah al-ard, sifat kemakhlukan.

Sedangkan aspek dalam adalah al-bathin, sifat ketuhanan. Wahdah al-wujud

timbul dari pemahaman bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya

sehingga dijadikan-Nya alam ini. Alam semesta adalah cerminan bagi Tuhan.

Tuhan bisa melihat diri-Nya melalui alam semesta karena di dalam segala sesuatu

yang ada di alam memiliki aspek ketuhanan. Yang ada di dalam alam semesta

terlihat banyak, akan tetapi sebenarnya hanyalah satu. Hal ini diibaratkan dengan

seseorang yang melihat dirinya sendiri di depan cermin, jika kita meletakkan

beberapa kaca di sekelilingnya, maka dapat kita lihat bayangan kita menjadi

banyak, padahal kenyataanya hanya satu.32

Panteisme memiliki sejarah panjang di Barat dan di Timur. Konsep

panteisme paling kuno bisa ditemukan dalam Agama Hindu, di mana dalam

Agama Hindu sendiri mengakui adanya satu realitas tertinggi yaitu Brahman.

Kemudian pada abad ketiga masehi Plotinus dikenal dengan sebagai tokoh

panteisme emanasi. Plotinus mengatakan bahwa alam mengalir dari Tuhan dan

31

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 93-

94. 32

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.

57.

45

berasal dari-Nya. Tuhan tidak terbagi ataupun mengandung arti banyak. Alam

semesta yang majemuk ini berasal dari satu melalui cara emanasi. Yang satu

mengeluarkan jiwa, kemudian jiwa memikirkan dirinya sehingga muncullah

pengetahuan, dan ketika jiwa memikirkan Tuhan maka keluarlah materi sebagai

sumber yang banayak.33

Benedict de Spinoza (1632-1677) yang merupakan pelopor panteisme di

era modern. Menurut Spinpza, Tuhan atau alam adalh kenyataan tunggal. Paham

pateisme yang di gagas oleh Spinoza di pengaruhi oleh rasionalisme Descartes

(1596-1650). Spinoza menolak pendapat Descartes yang mengatakan tiga subtansi

yang saling berkaitan. Menurut Spinoza sendiri hanya ada satu substansi yaitu

Tuhan. Spinoza mendifinisikan substansi sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan

“ada” dan ada oleh dirinya sendiri, suatu konsep yang tidak membutuhkan konsep

lain untuk membentuknnya. Subtansi ini memiliki sifat tidak terbatas, abadi,

tunggal mutlak dan utuh. Jika Tuhan adalah satu-satunya subtansi, maka sesuatu

yang ada berasal dari Tuhan. Hal ini berarti bahwa segala pluraritas yang ada

dalam alam, baik bersifat jasmani maupun rohani bergantung pada substansi yang

mutlak, Spinoza menyebutnya gejala ini dengan modi. Semua yang gejala yang

terdapat dalam ini hanyalah modi dari substansi tunggal yaitu Tuhan.34

d. Panenteisme

Menurut K.C.F Krause (1781-1832), panenteisme berasal dari kata

Yunani (pan) yang berarti semua (en) berarti semua (theos). Dengan demikian,

berarti “semua berada di dalam Tuhan”. Istilah ini merujuk pada sebuah sistem

33

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 96 34

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 97.

46

kepercayaan yang beranggapan bahwa dunia semesta berada dalam Tuhan.

Dengan demikian panenteisme memposisikan Tuhan sebagai suatu kekuatan yang

tetap ada di dalam semua ciptaan dan sangat kuasa atas semesta. Krause

merupakan seorang Hegelian dan merupakan guru dari Schopenauer, Ia

menggunakan kata panenteisme untuk mendamaikan konsep teisme dan

panteisme.

Panenteisme memahami Tuhan dan dunia saling berkaitan satu sama lain.

Tuhan memiliki hubungan timbal balik dengan alam, Alam berada di dalam

Tuhan dan Tuhan hadir berada di dalam alam. Gagasan ini menawarkan alternatif

baru pemikiran yang semakin populer melalui sentesis pemikiran teisme

tradisional dan panteisme. Panenteisme berusaha menghindari gagasan yang

memisahkan Tuhan dengan alam, sebagaimana dipahami dalam teisme tradisional

dengan gagasan yang meleburkan Tuhan dan dengan alam sebagaimana

panteisme. Panenteisme di sini menekaankan ke hadiran Tuhan secara ketat dan

utuh, tetapi penenteisme mempertahankan identitas dan makna dari non-ilahi.

Menurut Alfred North Whitehead, yang merupakan pelopor panenteisme

memandang Tuhan memimiliki dua kutub yaitu kutub aktual dan potensial. Kutub

aktual adalah jagad raya yang selalu berubah, sedangkan kutub potensial di luar

kutub actual (alam) yang tidak berubah. Tuhan dalam pandangan Withehead bisa

diklasifikasikan dalam tiga konsep. Pertama, konsep Asia Timur. Dalam konsep

di sini menegaskan imanensi Tuhan. Kedua, konsep semit. Konsep tersebut

47

menegaskan transendensi Tuhan. Ketiga, konsep panteistik, yang merupakan

puncak dari monisme.35

Menurut Whitehead, Tuhan sebenarnya terbatas. Sebab apabila ingin

menjadi sesuatu yang actual harus terbatas. Tuhan tidak mungkin tidak terbatas

dalam kutub actual-Nya. Sebab apabila Tuhan tersebut tidak terbatas dalam kutub

aktual, tentu Dia akan menjadi jahat dan sekaligus baik sebab di alam ini terhadi

kejahatan. Tuhan sama sekali tidak bebas, tetapi bergantung pada alam. Tuhan

dan alam bekerja sama untuk mencapai sebuah kesempurnaan yang tertinggi.

Tuhan di sini berfungsi sebagai pengatur yang aktual. Dengan demikian, Tuhan

ada bersama denga alam, bukan sebelum alam. Namun, alam dan Tuhan identik.

Tuhan sebagai daya yang menggerakkan dan mengatur alam agar mampu

mencapai tujuannya, sedangkan alam berfungsi membantu Tuhan agar terttutup

kekurangan-Nya.36

Dalam teologi proses hubungan Tuhan dengan manusia merupakan

hubungan koopersi mutual. Manusia mengikuti contoh-contoh serta sifat Tuhan,

maka dari itu manusia akan terbimbing pada jalan positif. Tuhan tidak bisa

memaksakan kehendak-Nya kepada manusia dan mengawasi konsekuensi dari

setiap peristiwa. Manusia mempunyai kebebasan untuk menrima dan menolak

kesan potensial Tuhan. Dalam teologi proses manusia dipandang sebagai patner

atau rekan sekerja dengan Tuhan, bukana sebagai subjek Tuhan yang dibatsi

hanya untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Karena memiliki potensi untuk

35

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h.

100. 36

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h.

102.

48

ditolak, maka dari itu adanya kejahatan yang terjadi di dunia ini akibat dari suatu

proses bergerak manusia yang menjauh dari Tuhan. Karena manusia memiliki

kebebasan untuk memilih antara mematuhi atau menolak kehendak Tuhan, maka

plihan buruk tak bisa terhindarkan akan dipilih oleh manusia. Hal ini mnegaskan

bahwa tuduhan terhadap Tuhan yang berperilaku jahat karena membiarkan

kejahatan terjadi di dunia ini adalah tidak benar, karena terjadinya kejahatan yang

disebabkan oleh pilihan-pilihan buruk yang dipilih oleh manusia yang berada di

luar jangkauan Tuhan.37

37

Tri Arwani Maulidah “Relasi Tuhan Dan Manusia Menurut Syed Muhammad Naquib

Al-Attas” (Tesis Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabya, 2018), h. 65.

49

BAB IV

RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA MENURUT M.T. MISHBAH

YAZDI

A. Tuhan Sebagai Pencipta

Jauh sebelum ilmuan melakukan penelitian tentang asal muasal

keberadaan manusia. Al-Qur’an dengan terperinci di dalamnya menyebutka

tahapan proses terebut sebgaiman disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Mu’minun

ayat 12-13 yang artinya “Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia

dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian, Kami menjadikannya air mani

(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (Rahim)”. Dengan demikian bahwa

manusia merupakan ciptaan Tuhan di mana manusia sebgai Makhluk dan Tuhan

sebagai Khaliq. (Qs. Al-Mu’minun).1

Tuhan merupakan penyebab utama bagi setiap mumkinul wujud, dengan

demikian Tuhan adalah wajibul wujud, dengan memperhatikan bahwa setiap yang

ada pada wujudnya sendiri bergantung mutlak kepada Tuhan, dari sini bisa

ditemukan sifat pencipta (Al-Khaliqiyah) pada wajibul wujud dan sifat yang

dicipta (makhluqiyah) pada makhluk-Nya. Sifat pencipta disini identik dengan

sebab pengada. Sedangakan seluruh yang mumkinul wujud yang membutuhkan

pada pencipta merupakan satu sisi hubungan penciptaan yang disifati dengan

makhluqiyah (ciptaan, yang dicipta).2 Hala ini sama dengan konsep teisme, dalam

1 Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, (Tangerang: Kalim, 2011), h. 343

نسان من سل ، ث جعلناه نطفة ف ولقد خلقنا ال .لة من طي ق رار مكي2 Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. Terj. Ahmad

Marzuki Amin, (Jakarta: Majma Jahani Ahlul Bait, 2005), h. 96.

50

teisme sendiri Tuhan merupakan dasar dari semua yang ada dan setiap yang sudah

diciptakan masih membutuhkan pada dan bersandar kepada pencipta-Nya.

Kata al-khaliq (penciptaan) terkadang mengandung makna mahdudiyah

(keterbatasan) yang lebih banyak, di mana objek penciptaan ini adalah maujud

yang hanya dicipta dari materi yang sebelumnya. Lawan dari makna tersebut

Ibad’ (perwujudan), di mana makna ini digunakan untuk realitass yang wujudnya

tidak di dahului oleh materi (seperti realitas abstrak dan hayula). Penciptaan disini

dibagi menjadi dua bagian yaitu khaliq dan ibda’ (penciptaan dan perwujudan).

Dengan begitu tindakan mencipta yang dilakukan oleh tuhan tidak sama dengan

tindakan yang dilakukan oleh manusia ketika melakukan sesuatu, di mana dalam

setiap tindakan manusia membutuhkan pada gerak dang anggota badan supaya

gerakannya menjadi sebuah tindakan dan hal yang terjadi merupakan hasil dari

tindakan tersebut.

Khaliq dan makhluk-Nya merupakan dua sisi hubungan, seperti konsep Al-

Khaliqiyah yang diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud

makhluk-makhluk dengan Tuhan. Mishbah Yazdi menggambarkan hubungan

Tuhan dengan makhluk-Nya tidak terbatas. Namun secara global dan dari satu sisi

hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya dapat dibagi menjadi dua kelompok.

Pertama, hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya dapat dipahami

dengan cara mengamati secara langsung sepert Al-ijad (mewujudkan), Al-Khaliq

(menciptakan), Al-Ibda’ (mengadakan). Kedua, hubungan yang dapat dipahami

setelah mempersepsi hubungan yang lain seperti: rizki. Karena pada dasarnya kita

51

harus mengasumsikan adanya hubungan dzat pemberi rizki dan dzat penerima

rizki.3

Di samping itu, kita dapat menemukan adanya konsep yang muncul dari

beberapa hubungan Tuhan dengan makhluk, semisal konsep maghfirah, di mana

konsep ini muncul dari rububiyah tasyri’iyah Ilahiya, (pengaturan syari’at Ilahi),

ketentuan Tuhan terhadap hukum-hukum syari’at serta penyimpangan hamba

darinya. Dengan demikian perlunya kita untuk memahami sifat fi’liyah Tuhan,

dengan cara kita harus melakukan suatu perbandingan antara Tuhan dan makhluk-

mahkluk-Nya, kemudian kita temukan hubungan antara dzat pencipta dan yang

dicipta, adanya cara yang sedemikian kita bisa memperoleh konsep idhafi

(relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karenanya, Tuhan yang suci tidak bisa

dijadikan mishdaq4 sifat-sifat fi’liyah secara sendiri.

5

Jadi Menurut Mishbah Yazdi, hubungan antara Khaliq dan makhluknya di

sini, dapat diibaratkan sengan sebuah magnit yang sangat kuat, secara penciptaan,

Tuhan menarik para hamba menuju kepada-Nya dan setiap makhluk secara

intrinsik memahami hubungan diantara dirinya dan sang Khaliq sesuai dengan

cahaya eksisitensialnya, pengetahuan dan pemahamannya. Di antara beberapa

makhluk ciptaan-Nya, Tuhan sudah melengkapi manusia dengan kemampuan

khusus, sehingga Tuhan menjadikannya benar-benar memahami hubungan

3 Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi, h. 97.

4Mishdag merupakan istilah yang digunakan dalam tradisi Logika klasik dan Filsafat

Islam. Penggunaan istilah Arab ini digunakan sebagai perbandingan langsung untuk istilah

mafhum atau konsep. Maka apabila konsep itu didefinisikan sebagai gambaran pengetahuan,

mishdaq disini ialah apa saja yang gambaran pengetahuan itu bisa diterapkan dan berlaku padanya.

Menerut pengertian ini, mishdaq tidak selalu dan semuanya di luar mental; yakni di alam yang

konkret. Lihat Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi, h. 70. 5 Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 94.

52

penciptaan itu. Manusia sendiri dapat menguatkan hubungan ini, apabila ia mau

dan beregerak menuju Tuhan (beribadah kepada-Nya serta berserah diri.).6

Tuhan menciptakan manusia bukan hanya hanya sekedar menciptakan,

akan tetapi ada tujuan tertentu. Dalam al- Qur’an diungkapkan tujuan dibalik

penciptaan manusia untuk untuk memilih jalan Tuhan. Sebgaimana firman Tuhan

“Dan Aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya menyembah-Ku. (Qs

Al Dzariyat [51:56]),7 karena tanpa memuji-Nya kesempurnaan yang ada pada

manusia tidak akan bisa dicapai. Di surah Yasin juga disebutkan “Dan hendaklah

kamu menymebah-Ku. Inilah jalan yang lurus. (Qs Ya Sin [36:61]).8 Jalan lurus

yang dimkasud disini, dalam sudut pandang al-Quran jalan yang mempunyai ciri

penghambaan dan beribadah kepada-Nya. Apabila manusia melakukan suatu

perbuatan dengan ciri kebaikan, hal ini akan menuju pada sebuah gerakan

kesempurnaan, apabila tidak ia akan membuang-buang waktu untuk mundur. Oleh

karenaya perbuatan apapun yang dilakukan oleh manusia tidak pernah berarti jika

bukan karena Tuhan.9

Dalam ayat lain disebutkan bahwa manusia diciptakan untuk mengalami

ujian dan cobaan, “Dia menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia menguji

kalian (untik melihat) siapakah diantara kalian yang terbaik. (Qs. Al-mulk

[67:2]).10

Ayat-ayat tersebut menyinggung tujuan-tujuan jangka pendek,

6 Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, In the Presenceof The Beloved: Commentaries on

Dua Iftitah. Terj. Sayid Ali Yahya (Jakrta: Citra, 2015 ), h. 155 7 Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h.524

نس إل لي عبدون وما خلقت الن وال8 Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h. 445.

ذا صراط مستقيم وأن اعبدون ه 9 Muhammad Taqi mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melui Nalar dan

Firman. Terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy, 2003), h. 248 10

Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h. 563.

53

menengah dan akhir. Sedangkan tujuan akhir manusia adalah kedekatan dengan

Tuhan. Manusia telah diberikan kehendak bebas untuk beribadah dan berkhidmat

kepada Tuhan serta mencapai kedekatan dengan-Nya. Jika manusia dipaksa

menempuh jalan yang lurus, niscaya gerakannya tidak dapat diperlakukan sebagai

gerakan untuk kesempurnaan. Dengan tujuan membiarkan manusia memilih jalan

penghambaan berdasarkan kehendak bebasnya sendiri, landasan bagi ujiannya

harus dipersiapakan apakah manusia itu akan memilih jalan yang telah Tuhan

tentukan atau jalan setan.11

Dalam hal ini al-Qur’an mengatakan dalam Surah al-Nahl ayat 9.

ها جائر ولوشآء لدىكم أجعي و على الله قصد السبيل ومن

“dan hak Allah menerangkan jalan yang lurus, dan diantaranya ada

(jalan) menyimpang. Dan jika Dia menghendaki, tentu Dia memberi petunjuk

kamu semua (kejalan yang benar).” (Qs. An-Nahl [16:9])

Tuhan telah menunjukan jalan kepada manusia supaya memilih jalan

menuju kesempurnaan dengan bebas. Ketika satu tahap jalan kesempurnaan sudah

terlewati, kita sebagai ciptaan Tuhan harus menempuh langkah ke tahap

selanjutnya menuju kesempurnaan serta berusaha semaksimal mungkin untuk

menjadikan kehidupannya didedikasikan secara penuh kepada Tuhan. Karena

semua yang dimiliki oleh manusia tidak lain adalah milik Tuhan dan kita sebagai

hamba-Nya; sebagai seorang hamba kita tidak pantas terhadap apapun selain

11 Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan

Firman. Terj. M. Habib Wijaksana, h. 250

54

penghambaan. Kebutuhan duniawi dan kesenangan materi sebenarnya bukanlah

tujuan akhirnya, sehingga segala perbuatan manusia difokuskan pada

penghambaanya kepada Tuhan, melalui ibadah dan penghambaan demikian akan

mencapai kedekatan dengan Tuhan.

Ibadah disini merupakan kosep yang tidak ada batasnya, sehingga

perbuatan baik yang dikerjakan Tuhan dianggap sebagai ibadah. Seperti mencari

rezeki yang halal masuk dalam kategori ibadah, akan tetapi dalam hal ini terdapat

perbedaan antara mencari rezeki halal dan ibadah yang di dalamnya di mana hati

manusia semata-mata karena Tuhan. Jika manusia untuk mencari rezeki yang

halal tidak menarik perhatiannya kepada selain Tuhan dan tidak lalai, niscaya ia

lebih ikhlas dalam beribadah kepada Tuhan dan mencapai mendapatkan

kesempurnaan sejati karena memperoleh rahmat-Nya.12

B. Tuhan Sebagai Penguasa

Sudah disebutkan di atas bahwa Tuhan adalah pencipta, selain sebagai

pencipta Tuhan merupakan Mahakuasa atas segala sesuatu yang ada di alam jagat

raya ini. Dalam hal ini Mishbah Yazdi merujuk pada sebuah ayat al-Qur’an.

“Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala Sesautu” (Qs. Al-Baqarah:

[2:20]).13

Di antara bukti atas kekuasaan Tuhan diantaranya adalah penciptaan

langit dan bumi beserta seluruh isinya.

Pengertian kuasa disini adalah setiap pelaku yang melakukan tindakan

dengan kehendak dan pilihannya bisa dikatakan ia memiliki kemampuan atas

12

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan

Firman. Terj. M. Habib Wijaksana, h. 274-275 13

Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h. 5.

إن الله على كل شيء قدي ر

55

tindakan tersebut. Dengan begitu, kuasa adalah kekuatan dasar bagi pelaku yang

memiliki pilihan dalam melakukan tindakan yang mungkin dilakukannya. Setiap

pelaku itu lebih banyak mempunyai kesempurnaan dari derajat wujudnya, ia

semakin banyak mempunyai kekuasaan dan kemampuan. Dengan demikian Tuhan

sudah pasti merupakan dzat yang mempunyai kesempurnaan yang tidak terbatas

dan memiliki kekuasaan serta kemampuan yang tak terbatas.14

Dalam hal ini Mishbah Yazdi membagi beberapa point:

Pertama, setiap perbuatan yang berkaitan dengan kuasa mesti bersifat

mumkin tahaqquq (mungkin terealisasi). Maka, sesuatu yang secara subtansial

tidak mungkin terwujud, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan tidak ada

hubungannya dengan kuasa. Ungkapan bahwa Tuhan atas segala tindakan, bukan

berarti –katakanlah- mampu menciptakan Tuhan selain-Nya, karena Dia adalah

dzat yang tidak diciptakan.

Kedua, kuasa atas semua tindakan dzat berkuasa untuk melakukan segala

tindakan yang sanggup ia lakukan. Akan tetapi, ia hanya akan melakukan setiap

tindakan yang sesuai dengan kehendaknya. Sedangkan Tuhan yang Maha bijak

tidak menghendaki kecuali tindakan yang baik dan bijak. Dan Tuhan tidak akan

merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak bijak.

Ketiga, kuasa juga mempunyai pengertian ikhtiar, (kebebasan). Di

samping Tuhan mempunyai derajat kekuasaan dan kemampuan yang paling

tinggi, Dia juga memiliki ikhtiar yang paling tinggi dan sempurna. Jadi tidak

mumngkin adanya faktor apapun untuk memaksa-Nya untuk melakukan suatu

perbuatan atau mencabut ikhtiar dari-Nya, karena wujud dan segala kemampuan

14

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 89-90

56

segala sesuatu bersumber dari Tuhan, maka tidak mungkin ada unsur paksaan dan

dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang ia berikan kepada

makhluk-makhluk-Nya.15

Selanjutnya relasi yang dapat diamati antara Tuhan dengan makhluk

adalah semua makhluk tidak hanya butuh kepada asal wujudnya, bahkan semua

hal yang berhubungan dengan wujud, semuanya bergantung kepada-Nya. Mereka

tidak mandiri. Oleh sebab itu, Tuhan mempunyai hak Tasarruf (perlakuan) atas

merekadan mengatur berbgai urusa sesuai kehendak-Nya. Dengan begitu, ketika

kita amati mengenai relasi tersebut secara umum, kita bisa mencercap konsep

Rububiyah (pengaturan) di mana biasanya mengatur segala urusan. konsep ini

memiliki berbagai mishdaq misalnya: Al-Hafidh (penjaga), Al-Muhyi

(menghidupkan), Al-Mumit (mematika), Ar-Raziq (pemberi Rizki), Al-Hadi

(pemberi hidayah), Al-Amir (pemerintah). Dengan demikian semua fenomena

yang terjadi di dunia fana ini tidak terlepas dari peran Tuhan dan sudah diatur

oleh-Nya, karena Tuhan merupakan dzat yang Mahakuasa atas segala ciptaan-

Nya.

Sesuatu yang berhubungan dengan Rububiyah tersebut dapat dibagi

menjadi dua bagian:

Pertama: Rububiyah Takwiniyah (pengaturan cipta). Rububiyah bagian ini

meliputi berbagai pengaturan berbagai urusan setiap maujud dan memenuhi segala

kebutuhannya, dengan kata lain kata Rububiyah ini meliputi pengaturan alam

semesta.

15

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 91

57

Kedua: Rububiyah Tasri’iyah (pengaturan tinta). Rububiyah ini hanya

berlaku pad makhluk yang bisa merasa dan memilih. Hal ini meliputi masalah

seperti pengutusan para Nabi, penurunan kitab-kitab samawi, penetapan tugas,

kewajiban, penyusan hukum dan penyusunan undang-undang.

Dengan demikian, Rububiyah mutlak Ilahi mempunyai pengertian bahwa

seluruh makhluk dalam semua urusan hidup dan wujudnya bergantung kepada

Tuhan. Dan hubungan yang terjalin antara sesama pada akhirnya berujung

kepada-Nya. Dialah yang mengatur dan mengurus sebagian makhluk-Nya melalui

perantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dialah yang memberi rizki kepada

seluruh makhluk melalui sumber-sumber yang Dia hamparkan, Dia juga yang

memberi hidayah kepada segenap makhluk yang memiliki perasaan, baik melalui

sarana internal (seperti akal dan panca indra) maupun melalui sarana eksternal

(seperti para Nabi dan kitab-kitab samawi) dan Dia pula yang menetapkan hukum,

aturan, berbagai tugas dan kewajiban kepada para Mukallaf .16

Konsep Rububiyah merupakan konsep relasional (Idhafi) sebagaimana

konsep khaliqiyah. Akan tetapi bedanya konsep tersebut adalah hubungan khusus

antara berbagai makhluk. Apabila dengan teliti kita merenungkan konsep

khaliqiyah dan rububiyah sebagai sifat Idhafiyah, akan tampak lebih jelas di

antara kedua sifat tersebut terdapa talazum (hubungan niscaya), bahwa yang

mengatur alam semesta ini mustahil bukan pencipta. Maka dzat yang menciptakan

seluruh makhluk dengan ciri-ciri tertentu dan menciptakan hubungan antara

sesamanya, Dia pulalah yang memelihara dan mengaturnya. Pada hakikatnya,

konsep rububiyah dan tadbir diperoleh oleh akal dari proses penciptaan pada

16

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 98

58

berbagai makhluk dan adanya hubungan antara satu makhluk dengan yang

lainnya.17

Menurut Mishbah Yazdi, setiap sistem terarah dan bertujuan dimana

merupakan dalil atas adanya sistem tersebut, adapun sistem yang disaksikan ada

di alam semesta ini merupakan sistem yang universal yang menunjukan adanya

keberadaan sang pencipta, Mahabijak yang telah menciptakan sistem tersebut,

dan Dia (Tuhan) yang memelihara serta menguasai. Semuanya fenoma yang

terjadi merupakan ciptaan Tuhan yang telah diatur dengan sedemikian rupa serta

menajakjubkan, dimana merupakan tanda kebesaran Tuhan.18

C. Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

Khalifah secara bahasa merupakan subjek kata lampau dari kata kerja

Khalafa di mana kata ini memiliki pengertian menggantikan di lain pengertian

disebutkan bahawa untuk menyebut orang yang menggantikan kedudukan Nabi

Muhammad SAW (setelah beliau wafat) dalam kepemimpinan Islam disebut Amir

al-Mu’mininatau pemimpin yang beriman. Pengertian secara terminologis,

kahlifah adalah pemimpin yang tertinggi di dunia Islam yang menggantikan Nabi

Muhammad SAW dalam mengurus urusan agama dan pemerintahan.

Pemimpin selain disebut Khalifah juga disebut Imamah. Term Imamah

dalam konteks Sunni dan Syi’ah berbeda pengertian. Dalam dunia suni Imamah

tidak dapat dibedakan dengan Khalifah. Adapun dalam pandangan syia’ah

Imamah tidak hanya merupakan sistem pemerintahan saja, akan tetapi juga

17

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 99. 18

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 60

59

rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat di mana kepercayaan

kepadanya dianggap sebagai penegasan keimanan.

Konsep Imamah (kepemimpinan) secara termenologis dalam pandangan

syi’ah tidak bisa dilepaskan dari peranan dan misi keagamaan. Sebab umat

manusia selalu membutuhkan bimbingan, dan karenya Tuhan menaruh perhatian

utama guna memberikan bimbingan yang tidak terputus pada umat manusia,

diantaranya dengan menugaskan Nabi memilih penerusnya (imam) dan setiap

penerus menentukan penggantinya, demikian seterusnya. Dengan demikian

konsep Imamah di sini, praktis bahwa jiwa dan misi tentang keagamaan (Islam)

bisa dipertahankan sepanjang masa.19

Sedangkan menurut istilah Kalam, Imamah adalah kepemimpinan umum

atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat

ukhrawi maupun duniawi. Terdapatnya kata duniawi disini hanya untuk

mempertegas perihal betapa luasnya cakupan Imamah, karena sudah jelas

pengaturan masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.

Menurut mazhab Syi’ah, Imamah dan kepemimpinan umat itu baru

dianggap legal apabila ditetapkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, tidak seorangpun

berhak menduduki jabatan Imamah selain orang-orang yang maksum, yang

terjaga dari dosa, dan kesalahan dalam menerangkan dan menyampaikan hukum-

hukum Islam, serta yang suci dari berbagai maksiat dan kedzaliman. Pada

hakikatnya, Imam maksum itu –kecuali jabatan kenabian- memiliki seluruh

kewenangan yang dimiliki Rasulullah SAW. Maka, hadits-hadits Imam maksum

19

Surahman Amin “Pemimpin dan Kepemimpinan dalam al-Qur’an” , TANZIL: Studi al-

Qur’an, Vol, I, No, 1 (Oktober 2015), h. 4-5

60

merupakan hujjah (bukti kuat) dalam menjelaskan hukum-hukum, syariat dan

ajaran Islam. Dengan begitu, wajib mentaati dan mengamalkan segala perintah

dan hukum-hukumnya dalam berbagai masalah pemerintahan.

Setidaknya, ada tiga hal pokok yang berhubungan dengan masalah

Imamiyah yang dipercayai oleh kaum Syi’ah menurut Misbah Yazdi; Pertama,

Imam atau pemimpin harus ditentukan oleh Tuhan. Kedua, Imam atau pemimpin

harus memiliki ilmu ladunni dari sisi Allah. Ketiga, Imam atau pemimpin itu

harus terjaga dari kesalahan dan dosa (maksum).20

Ahli Sunnah dan Syi’ah mempunyai perbedaan sendiri mengenai

permasalahan Imamah dan Khalifah ini. Mazhab Syi’ah meyakini bahwa

persoalan Imamah ini merupakana urusan Tuhan. Hanya Dialah yang berhak

memilih dan mengangkat hamba-hambanya yang shaleh untuk menduduki jabatan

Imamah dan Khalifah. Sesungguhnya peristiwa pengangkatan Imam ini telah

terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW, tatkala Tuhan memilih dan

mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai Imam Khalifah Muslimin sepeninggalan

beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut, dilakukan oleh Rasulullah SAW

secara langsung di hadapan umat Islam. Beliaupun memilih dan menentukan 11

orang lainnya dari keturunan Ali sebagai kaum muslimin setelah wafatnya.

Berbeda dengan keyakinan Ahlus Sunnah Wal-Jamaah, mazhab ini

meyakini bahwa perkara Imamah tidak berbeda dengan masalah kenabian dari sisi

bahwa perkara itu telah berakhir seketika wafatnya nabi Muhammad SAW.

Adapun setelah itu, perkara imamah sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat

20

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 322-323.

61

Islam dan umat manusia. Bahkan sebagian tokoh mazhab ini menyatakan secara

tegas, bahwa apabila seseorang merebut kedudukan Imamah dengan kekuatan

pedang sekalipun, maka wajib atas umat Islam untuk tunduk, mengakui dan

mentaatinya.

Pandangan semacam ini akan membuka peluang bagi para thaghut21

dan

para penguasa rakus untuk mencapai dan meraih ambisi kotornya dengan cara

menduduki kursi kepemimpinan umat. Bahkan lebih dari itu, pandangan ini akan

membuka jalan bagi pihak yang membuat umat Islam hancur, terbelakang, dan

memecah belah persatuan mereka. Pada dasarnya, pandangan Ahlus Sunnah

mengenai legalitas Imamah dan Khalifah yang tidak didasari oleh ketetapan Ilahi

ini, menjadi basis pemikiran sekularisasi (pemisahan agama dan politik).

Pandangan Ahlus Sunnah yang demikian, menurut penilaian Syi’ah Imamiah

adalah pandangan yang menyimpang dari ajaran Islam yang otentik, dan dari

batas-batas ubudiyah dan penghambaan diri secara mutlak dihadapan Tuhan

dalam segenap dimensi kehidupan. Penyimpangan ini bahkan menjadi sumber

utama dalam tubuh masyarakat Islam yang terjadi menjelang wafatnya Rasulullah

sampai sekarang.22

21

Thoghut dalam al-Qur’an mempunyai pengertian sesembahan selain Tuhan. Oleh

karenanya kata ini sering diterjemahkan “berhala” atau “syetan’. Kata Thoghut menurut M. Qutub

adalah unsur durhka, biang keladi yang menyesatkan manusia dari jalan yang benar menuju jalan

yang sesat. Dalam penjelasan Dawam Rahardja, para pemimpin rohaniyang bernama pendeta,

rahib atau ulama bisa diangkat dan dianggap sebagai tuhan yang arti kongkretnya adalah

pemegang kekuasaan ke-Tuhanan atau mewakili tuhan. Dari situlah, berkembang sistem

rubbaniyah yang dewasa ini dikenal dengan nama teakrasi atau pemerintahan pemimpin rohani.

Sistem ini dalam pandangan al-Qur’an adalah Thoghut, yaitu sistem kepemimpinan atau

kekuasaan yang membawa pada kesesatan. Lihat, Zaini Masrur, “Thagut Dalam Al-Qur’an

Perspektif M. Quraish Shihab Dan Muhammad Ali Al-Sabuni” (Skiripsi S1.,Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015), h. 25-26. 22

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi, h. 319-320.

62

Oleh karena itu, menurut Misbah Yazdi, Imamah merupakan masalah yang

sangat penting yang patut diberi perhatian oleh setiap Muslim, masalah yang sama

sekali tidak patut diabaikan. Hendaknya setiap Muslim mengkaji masalah ini

dengan serius, namun jauh dari fanatisme dan taklid buta dan berusaha keras

dalam mencari serta mengungkap mazhab yang hak dan membelanya dengan

penuh keikhlasan hati.

Menjadi Khalifah atau imamah di muka bumi merupakan amanah dari

Tuhan. Tugas Khalifah atau Imamah disini diantaranya menentun umat manusia

kepada jalan kebahagaiaan duniawi dan ukhrawi, untuk memenuhi segala

kebutuhan umat manusia. Selain itu untuk menjelsakan dan mempraktikan ajaran

Islam yang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini tidak akan terealisasi

kecuali dengan adanya seorang pemimpin yang saleh dan jujur, di samping itu

seorang khalifah atau imamah harus memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi

serta ketaqwaan sehingga ia mampu menjelaskan semua ajaran syariat Islam dari

seluruh dimensi dan keistimewaanya.

Dalam mendidik manusia seorang khalifah atau imamah tidak hanya

dalam ruang lingkup ubudiyah saja, melainkan khalifah tersebut mampu

mengemban tugas yang diamanahkan oleh Tuhan serta mampu menjalankan roda

pemerintahan dengan baik, jujur dan adil. Hal ini menununjukan bahwa manusia

sebagai khalifah atau imamah harus berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis

sebagai pedoman inti dalam menjalankan kekholifahannya di bumi. Tugas lain

dari seorang Khalifah adalah melaksankan ajaran syariat di berbagai bidang, baik

dibidang sosial, politik, ekonomi dan militer. Sebab Islam merupakan agama yang

mencakup tugas dan aturan aturan-aturan ibadah dan akhlak, pun juga meliputi

63

undang-undang politik, ekonomi dan hak-hak serta lainnya. Sebagaimana yang

dilakukan Rasulallah saw mengemban tanggungjawab dari sisi Tuhan, untuk

menerapkan hukum dan syariat Islam. Maka, di tangan beliaulah kendali

pemerintahan berada.23

Jadi tugas utama manusia sebagai khalifah adalah melindungi seluruh

rakyatnya dalam menjalankan semua aktivitas serta keutuhan alam. Menjadi

khalifah tidak harus duduk dipemerintahan tapi harus hidup ditengah-tengah

masyarakat dengan mengendalikan serta membangun masyarakat yang cinta

damai, hal ini sudah merupakan upaya menjalankan amanah kekhalifahannya.

Sehingga tidak terbatas pada kepemimpinan formal, seperti menjadi salah satu

pejabat pemerintahan jadi rakyat biasapun tugas kepemimpinan tetap menjadi

amanahn yang harus dipertanggung jawabkann, semisal menjadi pemimpin dalam

sebuah rumah tangga.

Dengan demikian, tampak sangat jelas betapa pentingnya seorang khalifah

atau imamah di bumi di tengah-tengah umat manusia, dalam hal ini juga penting

juga kadar keilmuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam pembahasan

Khalifah atau imamah ini peran Tuhan sangat diperlukan dalam pengangkatan

seorang imam atau pemimpin, karena Tuhan yang Maha mengetahui hamba-

hamba-Nya. Pada dasarnya hanya Tuhan yang memiliki wilayah (kedaulatan) dan

penentuan atas hamba-hamba-Nya. Tuhan mengangkat manusia menjadi wakilnya

di bumi atau Khalifah merupakan salah satu bentuk hubungan antara Tuhan

dengan manusia untuk menjalankan amanah sesuai dengan syariat Islam. Dimana

23

Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi, h. 318.

64

sebelumnya sudah disinggung bahwa hubungan antara keduannya (Tuhan dengan

manusia) ibarat sebuah magnit yang saling berkaitan satu sama lain.

Mishbah Yazdi sendiri mengatakan bahwa Tuhan merupakan penyebab

utama bagi setiap yang mumkin al-wujud, dan setiap yang mumkin akan

membutuhkan pada pencipta dan bergantung mutlak kepada Tuhan. pemikiran

yang sedemikan sama dengan konsep teisme, dimana dalam teisme sendiri, Tuhan

setelah menciptakan alam, bukan berarti tidak lagi membutuhkan-Nya karena

tanpa Tuhan semua tidak akan pernah terwujud, pun juga disebutkan bahwa

Tuhan merupakan dasar utama dari segala yang ada, sehingga Tuhan itu

mengawasi dan mengatur. Dalam teisme, Tuhan adalah pencipta dari tidak ada,

berkuasa atas alam, tidak tergantung pada alam, Maha Sempurna, dan tidak

terbatas.

Menurut Mishbah Yazdi, Semua yang ada di alam semesta ini merupakan

ciptaan Tuhan dan segala fenomena yang terjadi di dunia fana ini tidak terlepas

dari peran Tuhan yang telah diatur sedemikian rupa dengan cara yang sangat

menajakjubkan karena Tuhan merupakan dzat yang Mahakuasa atas segala

ciptaan-Nya, sebagaimana Misbaha Yazdi merujuk pada sebuah ayat

“Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala Sesautu” (Qs. Al-Baqarah: [2:20])

dimana hal tersebut bisa dijadikan sebagai tanda kebesaran Tuhan. Sedangkan

perbuatan apapun yang dilakukan oleh manusia tidak pernah berarti jika bukan

karena Tuhan karena pada dasarnya segala sesuatu bersumber dari Tuhan dan

akan berakhir pada Tuhan. Dari pemaparan ini bisa ditemukan benang merah

antara pemikiran Mishbah Yazdi dengan konsep teisme, dimana dalam hali ini

sama-sama menjadikan Tuhan sebagai pencipta atas semua yang ada dan berkuasa

65

atas segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Dengan demikian pemikiran

Mishbah Yaszdi lebih dalam hemat penulis lebih masuk dalam kategori teisme.

66

BAB V

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa yang sudah disebutkan di bab sebelumnya, penelitian

ini dapat disimpulkan bahwa hubungan Tuhan dengan manusia dalam pemikiran

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Tuhan merupakan wajibul wujud dimana

Tuhan merupakan penyebab utama bagi setiap mumkinul wujud, dan setiap

mumkinul wujud membutukan pencipta. Berkaitan dengan relasi Tuhan dengan

manusia, Tuhan kedudukannya sebagai pencipta (Khaliq) sedangkan manusia

merupakan ciptaan-Nya (makhluk), hal ini menggambarkan hubungan yang tidak

ada batasnya. Mishbah Yazdi mengibaratkan relasi semacam ini seperti sebuah

magnit, secara penciptaan Tuhan menarik para hamba-hambanya untuk menuju

kepada-Nya, karena tujuan utama daripada penciptaan tersebut adalah

penghambaan yakni beribada kepada-Nya untuk menuju kesempurnaan dan

memperoleh rahmat-Nya.

Selanjutnya Tuhan sebagai penguasa sekaligus mengatur, adapun diantara

bukti kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi beserta seluruh isinya,

Mishbah Yazdi merujuk pada al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat “Sesungguhnya

Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. dengan demikian segala fenomena yang

terjadi tidak lepas dari adanya peran Tuhan serta sudah diatur oleh-Nya. Karena

Tuhan merupakan dzat yang mahakuasa atas segala ciptaan-Nya. Relasi seperti ini

secara umum merupakan konsep rububiyah yang mempunyai pengertian semua

makhluk dalam segala urusan hidupnya bergantung kepada kepada Tuhan. Ketika

dilihat dari aspek rububiyah, Tuhan memilih manusia untuk menjadi khalifah di

67

bumi yang merupakan amanah dari Tuhan kepada manusia, dimana tugas dan

fungsi khalifah untuk menuntun umat manusia menuju jalan kebahagian di dunia

dan akhirat dan menjalan ajaran syariat baik dibidang sosial, politik, ekonomi dan

mileter. Selain itu seorang khalifah mampu menjalankan roda kepemimpinan

dengan baik dan jujur serta berpedoman pada al-Qura’an dan Hadist.

B. Saran-saran

Dengan melakukan pengkajian serta memahami relasi Tuhan dengan

manusi kita sebagai insan akademisi bisa tersadar dan mengetahui, makna penting

eksistensi manusia. Dengan memahami bagaimana konsep Tuhan dan manusia

secara baik, kita bisa memahami dan mengetahui tujuan diciptakannya manusia

oleh Tuhan. untuk menjadi manusia yang hakiki, harus menjaga kesucia menjaga

kesucian iman kita memperbarui niat dan berorientasi kepada Tuhan, sehingga

semua amal perbuatan yang kita kerjakan di dunia fana ini menjadi lebih

bermakna. Manusia yang sudah mencapai derajat insan kamil adalah Nabi

Muhammad Saw yang telah menerapkan segala ajaran syariat Allah serta

mencerminkan sifat-sifat Allah dalam kehudupannya sehari-hari.

Dalam melakukan kajian dan penelitian tentang relasi Tuhan dengan

manusia dalam pemikiran Muhammad Taqi Mishbah Yazdi ini, masih banyak

kekurangan didalamnya dan jauh dari kata sempurna. Maka dengan demikian

harapan penulis, semoga penelitian-penelitian selanjutnya dapat meneliti lebih

lanjut, sehingga menjadi khazanah keilmuan.

68

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam, terj. M. Sirosi, Bandung:

Mizan, 1992.

Amin, Surahman. “Pemimpin dan Kepemimpinan dalam al-Qur’an”,

TANZIL: Studi al-Qur;an, Vol I, No 1, Oktober 2015.

Amir, Dinsaril. “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam” Al-

Ta’lim, jilid 1, No 3, November 2012.

Bakar, Osman. Tauhid dan Sains: Perspektif Islam dan Sains, Bandung:

Pustaka Hidayah 2008.

Bakhtiar, Amsal Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan

Manusia, Jakarta: Rajawali Press, 2014.

Gaffar, Abd. “Manusia Perspektif al-Qur’an”, Tafsere Vol. IV, No. 2, tt

2016.

Hasan, Ilyas. Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan 1995.

Hazinah, Siti. Hakikat manusia menurut pandangan islam dan barat dalam

jurnal ilmiyah, DEALIKTIKA, vol. XIII, No.2, tt, 2013.

Iskandar, Josep. “Konsep Tuhan Perspektif Muhammad Abduh” (skirisi

S1. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Ja’far, Suhermanto. “Panenteisme Dalam Pemikiran Barat dan Islam”,

Ulumuna, Vol XIV, No 1, Juni, 2010.

Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius Menelami Hakikat Tuhan dan

Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007.

Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,

2002.

Labib, Muhsin, Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Misbah Yazdi, Jakarta:

Sadra Press, 2011.

69

M. Bharudin “Konsepsi Ketuhanan Sepanjang Sejarah Manusia”, Al-

adYan, Vol IX, No 1, Januari-Juni, 2014.

Maksum, Ali. Pengantar filsafat dari klasik hingga post moderenisme

Yogyakarta: Ar-Ruzz media, 2011.

Masykur, Anis Lutfi. “Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr” (Skiripsi

S1. Universitas Islam Negeri Syarif HIdatulla Jakarta, 2017.

Maulida, Tri Arwani. Relasi Tuhan dan Manusia Menurut Syed

Muhammad Nuqaib Al-Attas, Tesis UIN Sunan Ampel, 2018.

Munawaroh, Djunaidatul dan Taneji. Filsafat Pendidikan Islam:Perspektif

Islam dan Umum, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.

Musin Labib. Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi, Filsuf Iran

Kontemporer), Studi kritis atas filsafat pengetahuan, filsafat wujud dan Filsafat

Ketuhanan, Jakarta: Sadra press, 2011.

Muthahhari, Murtadha. alFitrah, terj. H. Afif Muhammad, Jakarta: Citra,

2011.

-------- Manusia Seutuhnya, Studi Kritis Pandangan Filosofis, Jakarta:

Sadra Press, 2012.

Muttaqin, Ahmad. Karlmax dan Freiderich Nietzche Tentang Agama,

Komunika, Vol. 7, No. 1, 2013.

Muttaqin, Ahmad. Karlmax dan Freiderich Nietzche Tentang Agama,

Komunika

Nasution, Harun. filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan

Bintang 2010.

Nawawi, Rifat Syauqi. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam

Metodologi Psikologi Islam, Ed. Rendra, Yogyakarta: Pustakan Pelaja, 2000.

Nuraisah. “Pemikiran Taqi Misbah Yazdi Tentang Etika Islam

Kontemporer”, Jurnal Teosofi, Vol. 5. No.1, juni 2015.

Nurdin, dkk. “Epistemologi Islam Dalam Filsafat Muhammad Taqi

Mishbah Yazdi”, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 4, No. 1, April 2016.

Refleksi, jurnal kajian agama dan filsafat, Vol, IX, No2, 2007,

70

Samidi, Tuhan Manusia dan Alam: Analysis kitab Primbon attasadur

adammakna, shahih, Vol. 1, tt, 2016

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qura’n, Bandung: Mizan, 1194.

Siswono, Joko. Dari Ariestoteles Sampai Derrida, Sistem-sistem

Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Soivi, Mohammad. “Kehendak Bebas Dalam Pemikiran Ayatullah

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi”, Skiripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2018.

Suryani, Wahida. Komunikasi transedental manusia-tuhan dalam jurnal,

FARABI, Vol. 12 No. 1, 2015.

Yahya, Harun. Membongkar kesalahpahaman Materialisme: Mengenal

Allah lewat Akal, Jakarta: Rabbani press, 2002.

Yazdi, Muhammad Taqi Misbah. Filsafat Tauhid, mengenal Tuhan

Melalui Nlar, terj. M. Habib Wijaksana, Bandung: Arasyi, 2003.

------- Buku Daras Filsafat Islam; Orientasi ke Filsafat Islam

Kontemporer, terj. Musa Kazhim dan Saleh Baqir, Jakarta: Sadra Press, 2010.

------- In the Presenceof The Beloved: Commentaries on Dua Iftitah. Terj.

Sayid Ali Yahya, Jakarta: Citra, 2015.

------- Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. Terj. Ahmad Marzuki

Amin, Qom-Iran: Majma Jahani Ahlul Bait, 2005.

Zainurrahma, Ruang Pertemuan Tuhan, Ternate: UNDP Maluku Utara

2009.