relasi agama dan pancasila menurut pemikiran k.h …

99
RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI INDONESIA SAAT INI skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Aliza Aulia NIM : 1113045000051 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 27-Oct-2021

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H

WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI

INDONESIA SAAT INI

skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Aliza Aulia

NIM : 1113045000051

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …
Page 3: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …
Page 4: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …
Page 5: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

iv

ABSTRAK

Aliza Aulia. NIM 1113045000051. RELASI AGAMA DAN PANCASILA

MENURUT PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA.

Program studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari’ah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Studi ini menegaskan bagaimana hubungan Pancasila sebagai dasar ideologi

Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Islam yang merupakan agama

mayoritas penduduk Indonesia. Pembahasan ini menjadi menarik, karena persoalan

Islam dan Pancasila telah menjadi perdebatan panjang sejak pertama kali perumusan

dasar Negara Indonesia sampai hari ini, termasuk pemikiran K.H Wahid Hasyim

tentang agama dan Pancasila.

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research)

dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni penulis berusaha

menggambarkan objek penelitian, yaitu pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi

agama dan Pancasila.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam menilai relasi agama dan

Pancasila, K.H Wahid Hasyim bisa dikategorikan seorang yang substansialis, yang

berpandangan relasi agama dan Pancasila sebagai hubungan yang simbiosis

mutualistik. Negara dan agama saling menopang dan mengisi, tanpa saling

berhadapan secara konfrontatif. K.H Wahid Hasyim ini memiliki tipikal pemikir yang

substansialis, yang menghendaki agar agama ditempatkan dalam posisi strategis

dalam kehidupan bernegara. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran politik yang

bercorak sunni klasik, sesuai dengan latar belakang dari kalangan pesantren.

Relevansinya terletak pada gagasannya untuk tetap mendahulukan kepentingan

bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi.

Kata Kunci : K.H Wahid Hasyim, relasi agama dan Pancasila, dan relevansi

Pembimbing : Dr. H. Rumadi, M,Ag

Daftar Pustaka : Tahun 1972 s.d 2017

Page 6: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur penulis kehadirat Ilahi Rabbi

yang selalu melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat dan kita sebagai pengikutnya.

Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi dan menambah

khazanah keilmuan serta melengkapi syarat yang menjadi ketetapan dalam

menyelenggarakan studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul “RELASI

AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM

DAN RELEVANSINYA.”

Dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan

motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun kelembagaan. Untuk itu,

penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu

penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankan penulis menghaturkan

ucapan terimkasih kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Thalabi, Kharlie, S.H., MA., M.H. selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Hukum Tata Negara dan

Ibu Masyrofah, S.Ag., M.Si. selaku sekertaris jurusan Hukum Tata

Negara.

3. Bapak Dr. H. Rumadi, M.Ag selaku pembimbing dalam penyelesaian

skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan

arahan serta meluangkan waktunya bagi penulis sehingga skripsi ini

lebih terarah dan menjadi lebih baik.

Page 7: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

vi

4. Afwan Faizin M.A Dosen Penasehat Akademik yang membimbing

selama masa perkuliahan saya.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis

sehingga penulis bisa dapat menyelesaikan studi di jurusan Hukum

Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah

memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan ini

berupa buku dan literatur lainnya sehingga penulis memperoleh

informasi yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibuku tercinta serta kakakku tersayang dan semua

saudaraku yang ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima

kasih atas dukungan dan kasih sayang kalian.

8. Sahabat sahabatku yang menemaniku dari awal kuliah sampai

sekarang Bagus Priyanto, Masagus Ahmad Fahrobi, Imam

Syarifuddin, Ferdiansyah Ramadhan, Dudu Abdul Manan dan Bintang

Tri Fajar.

9. Sahabat-sahabat Hukum Tata Negara angkatan 2013. Terima kasih

atas persahabatanya dan kebersamaanya. Semoga kita bisa terus

menyambung tali silaturahmi.

10. Teman-teman Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta yang

sudah menyemangati dan selalu mengingatkan saya untuk

menyelesaikan skripsi ini. Terutama teman teman satu kosan saya

Fadel Muhammad Anugerah, Abyan Perdana Putra, dan Audi

Ghafarrie.

11. Seluruh pihak yang berkontribusi dalam penulisan skripsi ini baik

secara langsung maupun yang tidak langsung yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

Page 8: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

vii

Semoga bantuan mereka dinilai sebagai amal shaleh dan mendapat balasan

yang setimpal dari Allah SWT. Doa yang tulus dan ikhlas penulis memohonkan

kepada Ayahanda serta Ibunda yang telah menanamkan semangat dan memberi

motivasi untuk meraih kesuksesan ini. Dengan harapan doa semoga Allah yang Maha

Arif dan Bijak juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberi

limpahan ampunan, rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kepada almamater dan masyarakat

akademik demi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis berharap semoga skrispsi

ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis. Amien.

Jakarta, 23 September 2019

Aliza Aulia

Page 9: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................................ 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 8

E. Tinjauan dan Kajian Terdahulu ................................................................. 9

F. Metode Penelitian .................................................................................... 10

G. Sistematika Penelitian .............................................................................. 14

BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H. WAHID HASYIM

A. Biografi K.H Wahid Hasyim ................................................................... 15

B. K.H Wahid Hasyim dan Nahdlatul Ulama .............................................. 22

Page 10: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

ix

C. K.H Wahid Hasyim dan Kementerian Agama ......................................... 31

D. K.H Wahid Hasyim Dalam Pandangan Gus Dur dan Gus Solah Tentang

Negara ...................................................................................................... 39

BAB III SEJARAH PANCASILA SERTA PERDEBATAN DI DALAM

PIAGAM JAKARTA

A. Sejarah Pancasila ..................................................................................... 43

B. Piagam Jakarta dan Majelis Konstituante ................................................ 49

C. Nilai Kandungan Pancasila ...................................................................... 63

BAB IV PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM TENTANG AGAMA DAN

PANCASILA

A. Pemikiran K.H Wahid Hasyim Tentang Hubungan Agama dan Pancasila

.................................................................................................................. 70

B. Relevansi Pemikiran K.H Wahid Hasyim Dengan Kondisi Indonesia Saat

Ini ............................................................................................................. 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 84

B. Saran-saran ............................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 86

Page 11: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara kesatuan Republik Indonesia yang lahir pada tanggal 17

Agustus 1945 merupakan sebuah Negara yang lahir dari perjuangan. Melalui

proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh

Mohammad Hatta di Jakarta pada hari Jum’at dan bertepatan dengan tanggal

10 Ramadhan 1364 Hijriyah kala itu merupakan suatu anugerah yang luar

biasa bagi bangsa Indonesia.1 Proklamasi kemerdekaan yang disampaikan

tersebut maka mulai saat itulah terbentuknya sebuah negara yang terdiri dari

berbagai macam suku, agama, ras, maupun kebudayaan.

Perdebatan tentang relasi agama dan negara terus menjadi wacana

yang menarik. Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah negara

menunjukan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam dan Negara.2

Maka dari itu pancasila menjadi dasar Negara agar bisa menjadi jembatan

disetiap permasalahan yang ada, karena didalam pancasila terdapat nilai-nilai

agama yang dapat menjadi acuan bagi setiap pemeluknya. Dalam beberapa

literatur, terdapat tiga paradigma yang cukup populer dalam wacana relasi

agama dan Negara.

Pertama, paradigma integralistik. Paradigma integralistik merupakan

paham dan konsep hubungan agama dan Negara yang menganggap keduanya

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua

lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara

merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Paradigma

1A.M Effendy, Falsafah Negara Pancasila, (Semarang : CV. Triadan Jaya Offset

Semarang, 1995), h. 25

2 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran

Politik Islam, (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 76

Page 12: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

2

ini melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan

kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip kenegaraan.3

Kedua, paradigma sekuleristik. Paradigma ini memisahkan agama dan

Negara secara diametral. Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum

positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan

atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman

Tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma

agama. Sekalipun ini memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada

lazimnya Negara sekuler membebaskan warganya untuk memeluk agama

apapun yang mereka yakini dan Negara tidak mengintervensi dalam urusan

agama.

Ketiga, paradigma simbiotik. Paradigma menolak pendapat bahwa

Islam adalah suatu agama yang memiliki sistem kenegaraan. Namun, menolak

juga pengertian barat bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan

Tuhannya. Menurut konsep ini, hubungan agama dan Negara dipahami saling

membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara membutuhkan agama, agama

juga membutuhkan Negara dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas.

Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling

krusial adalah menyepakati dasar Negara. Hampir seluruh anggota BPUPKI

memilih bentuk republik. Namun, setelah melalui diskusi panjang tentang

dimana posisi Islam di dalam kehidupan bernegara, para pendiri bangsa itu

berhasil mencapai kesepakatan bahwa Negara Republik Indonesia bukanlah

sebuah Negara teokrasi, melainkan Negara yang di dalamnya Islam dan

kehidupan berislam mendapat tempat yang sangat terhormat dan dilindungi

sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 UUD 1945.4

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1990), h. 1-3

4 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Polemik Negara Islam : Soekarno Versus Natsir, (Jakarta :

Teraju, 2002), h. vi-viii

Page 13: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

3

Namun, kesepakatan ini tidak serta merta membuat umat Islam di

Indonesia mendapatkan haknya untuk menjalankan syari’at Islam secara

sempurna. Wacana menjadikan Indonesia Negara sekuler masih kental terasa.

Sepanjang abad ke-20, umat Islam Indonesia telah berhadapan dengan

tantangan serius dari begitu cepatnya arus modernisasi dan sekulerisasi yang

telah mengubah beberapa aspek fundamental dari sistem religio-politik

mereka. Disi lain, menguatnya pengaruh Islam dalam medan pendidikan dan

wacana publik dan terus munculnya partai-partai politik dan gerakan-gerakan

Muslim juga merupakan sebuah fakta. Dialektika antara sekulerisasi dan

Islamisasi terus berlanjut menjadi isu utama dari politik dan masyarakat

Indonesia. 5

Dalam hal ini, salah satu aktivis liberal Indonesia menjelaskan bahwa

“negara harus netral agama” maka dari itu perlu ide sekulerisme, liberalisme

dan pluralism mesti berkembang di Indonesia, dia mengatakan:

“Demokrasi tidak akan mampu berdiri tanpa disangga dengan

sekulerisme…Demokrasi hanya bisa dikembangkan kalau

masyarakatnya liberal…liberalisme adalah strategi paling jitu untuk

menghadapi absolutisme dan totalitarianisme agama. Liberalismelah

yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan

keseimbangan agama.”6

Disi lain, upaya penerapan syari’ah terus berkembang. Partai politik

yang berideologi Islam mulai banyak memainkan peran dalam pemerintahan.

Menambah keuinikan problematika kehidupan berislam dan bernegara di

Indonesia. Umat Islam dihadapkan pada sebuah dilema. Berislam dengan

menjalankan Islam secara kaffah, meskipun sering kali bersebrangan dengan

5 Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, (Jakarta : Democracy Project, 2012), h. 728

6

Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, h. viii

Page 14: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

4

pemerintah. Atau, bernegara yang baik dengan mengikuti peraturan

pemerintah, meskipun sering bersebrangan dengan agama Islam.

Abad kedua puluh merupakan masa kegemilangan bagi terbentuknya

sejarah bangsa Indonesia. Berbeda dari masa perlawanan di abad sebelumnya,

pada awal abad kedua puluh bentuk dan strategi gerakan perlawanan terhadap

kolonialisme sudah lebih terorganisir secara efektif. Banyak para tokoh

menggalakan perserikatan dalam bentuk organisasi untuk memperteguh

pemahaman tentang kemerdekaan. Muncul kemudian organisasi kelembagaan

yang utuh mengkampanyekan ide Keindonesiaan dengan berbagai strateginya

sesuai dengan dasar ideologi organisasi.7

Pada tahun 1926 di Surabaya berdiri organisasi yang dimotori oleh

para kiai dari kalangan pesantren tradisional di bawah kepemimpinan (Rais

Akbar) Hadhratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari.8

Organisasi sosial-

keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU) tersebut didirikan untuk

merespon atas diabaikannya pendapat para kiai tradisionalis, yang berbeda di

kampung-kampung atau desa-desa yang masih mempertahankan sistem

pengajaran dan tradisi yang dianggap konservatif.9

Meskipun demikian, selama empat dasawarsa terakhir, Nahdlatul

Ulama menjadi organisasi yang menarik akademisi untuk melakukan

penelitian, baik dalam maupun luar negeri. Keunikan tersebut secara

akademisi terletak pada banyak faktor, terutama tipologi tokoh yang ada di

dalamnya. Dari sekian banyak tokoh NU yang memunculkan gerakan, K.H

Abdul Wahid bin Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang

7 David McLellan, ideologi Tanpa Akhir, alih bahasa Muhammad Syukri, cet. Ke-1

(Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005), h. 135

8 Zamarkhasyi Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai),

cet, -4 (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 76

9Lihat Martin Van Bruinessen, NU (Tradisi Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana

Baru), alih bahasa Farid Wajidi, cet -1 (Yogyakarta : LkiS, 1994), h. 18

Page 15: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

5

menempati posisi paling signifikan dalam sejarah organisasi. Ia menunjukan

ide metode berpikir sebagai seorang cendikia-negarawan santri dalam

memandang ragam dinamika guna mencapai keadilan bersama.10

Dalam perjalanan hidupnya, Wahid Hasyim banyak memangku

jabatan penting di Republik Indonesia di antaranya jabatan penting itu adalah

menjadi Panitia Pembentukan Dasar Negara Indonesia. Dalam forum ini Kiai

Wahid Hasyim mampu membuktikan dirinya sebagai seorang tokoh yang

mampu menengahi ketegangan di antara para tokoh bangsa yang berdebat

mengenai dasar Negara tersebut, bahkan mampu memberikan solusi terbaik

bagi bangsa ini dengan merumuskan Pancasila yang sekarang menjadi idelogi

Bangsa Indonesia.

Dalam lembaran sejarah, merumuskan sebuah dasar Negara bukanlah

perkara yang mudah. Penyebabnya, karena corak pemikiran para perumus

pada waktu itu bermacam-macam. Sekurang-kurangnya Munawar Ahmad

menyebut ada lima macam corak pemikiran pada waktu itu, antara lain:

Nasionalisme Radikal yang digagas oleh Soekarno dan aktivis PNI,

Tradisionalisme Jawa seperti Supomo, Islam diwakili Muhammad Natsir, dan

Komunisme diwakili Aidit.11

Corak pemikiran yang bermacam-macam ini

pula yang menjadi penyebab ketika Ketua BPUPKI Dr. Radjiman

mengeluarkan sebuah pertanyaan tentang landasan filosofis yang akan

digunakan Negara Republik Indonesia, pertanyaan tersebut menyulut benih-

benih perdebatan pemikiran mengenai dasar Negara yang akan digunakan

10 Roger Simon, Gagasan Politik Gramsci, alih bahasa Kamdani dan Imam Baehaqi,

cet. ke-4 (Yogyakarta : INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2009), h. 142

11

Munawar Ahmad, Menurut Akar Pemikiran Politik Krisis di Indonesia dan

Penerapan Critical Discourse Analysis Sebagai Alternatif Metodologi, (Yogyakarta : Gava

Media, 2007), h. 21

Page 16: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

6

sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan Negara Indonesia begitu terlihat

memanas di antara tokoh bangsa di bandingkan diskusi-diskusi lain.12

Perdebatan berlangsung tatkala para Founding Father yang tergabung

dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia) membahas bentuk Negara pemerintahan. Dari 62 anggota

BPUPKI, terbagi dua arus besar; golongan nasionalis sekuler serta nasionalis

Islami. Namun, dari jumlah itu, hanya 25% saja yang dianggap mewakili

kepentingan Islam, selebihnya mewakili pandangan nasionalis sekuler yang

dalam hal ini tidak mau membawa agama dalam masalah kenegaraan.

Sehingga tampaknya dukungan pemerintah pendudukan Jepang kepada Islam

tak dapat lagi diharapkan.13

Lewat debat yang begitu panjang akhirnya tercapai sebuah

kesepakatan berupa pembukaan Undang-Undang yang ditanda tangani di

Jakarta 22 Juni 1945. Bahkan hal itu diikuti pula kesepakatan batang tubuh

rancangan UUD. Nasionalis Islam memberikan konsekuensi kepada

nasionalis sekuler bahwa mereka sepakat Islam tidak dijadikan dasar Negara.

Dan sebaliknya nasionalis sekuler juga sepakat sila ketuhanan ditaruh pada

urutan pertama pancasila, dan presiden Indonesia beragama Islam. Tetapi,

meski susah payah merumuskan dan menghasilkan sebuah kesepakatan,

akhirnya terjadi perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah

proklamasi kemerdekaan. Alasannya, untuk mencegah masyarakat Kristen di

Indonesia Timur memisahkan diri dari NKRI begitu tutur Hatta yang menjadi

aktor dibalik perubahan yang di dukung Ir.soekarno. Perubahan tersebut

12 BPUPKI meupakan kepanjangan dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan mulai tanggal 28 Mei sampai tanggal 1 Juni

yang di ketuai Dr. Radjiman, Lihat Listoyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta

: Ar-Ruzz, 2004), h. 22

13

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus

Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik

Indonesia1945-1859 (Bandung : Penerbit Pustaka, 1983), h. 26

Page 17: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

7

menyangkut kalimat “Berdasarkan Kepada Ketuhanan dengan Kewajiban

Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan

Yang Maha Esa”, dan pasal 6 ayat 1 “Presiden Adalah Orang Indonesia Asli

dan beragama Islam” kemudian kata “Yang Beragama Islam” di cabut.14

Melihat kondisi yang demikian, Wahid Hasyim yang awalnya

menyatakan Islam harus dipakai sebagai idelogi Negara dan ide kata

“Berdasarkan Kepada Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat

Islam Bagi Pemeluknya” pada akhirnya bersikap lunak dan menyetujui

perubahan tersebut. Wahid Hasyim menyatakan bahwa sikap politiknya

tersebut merupakan sikap moderatnya dari agama-agama besar di Indonesia

dan sebuah upaya untuk mengakomodir berbagai rakyat untuk menjalankan

agamanya. Selain dari pada itu, menurutnya, persatuan dan kesatuan jauh

lebih penting dari pada mempentingkan kelompok saja.15

Pemikiran Wahid Hasyim dalam memandang perubahan Pancasila

tersebut sangat menarik jika dikaitkan dengan konsep kewargaan. Menurut

As’ad Said Ali misalnya, pilihan kiai Wahid Hasyim sebagaimana

dikemukakan Ibn Khaldun, Allah membolehkan kita mendirikan Negara

berdasarkan nalar (siyasah aqliyah) bukan berdasarkan (siyasah Diniyah)

karena syariat membolehkan ditinjau untuk kesejahteraan umum.16

Dari latar belakang tersebut, skripsi ini memfokuskan pada “Relasi

Agama dan Pancasila Menurut Pemikiran KH Wahid Hasyim dan

Relevansinya”.

14 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Penerbit

Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 56

15

Ahmad Mansyur Surya Negara, Api Sejarah 2 (Bandung : Salamadani Pustaka

Semesta, 2010), h. 124

16

As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa, (Jakarta : LP2ES,

2009) , h. 19

Page 18: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

8

B. Idenifikasi Masalah

1. Peran agama dalam pancasila

2. Hubungan agama dengan pancasila khususnya di Indonesia

3. Konsep pemikiran KH Wahid Hasyim dalam menjelaskan hubungan

agama dan pancasila

4. Pola pikir K.H Wahid Hasyim yang melatari gagasan keislaman dan

kenegaraan dan kaitannya dengan kondisi saat ini

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini agar pembahasannya tidak melebar dan

mempermudah pembahasannya, maka penulis membatasi pembahasan pada

permasalahan relasi agama dan pancasila menurut K.H Wahid Hasyim dan

kaitannya dengan kondisi saat ini.

2. Perumusan Masalah

Setelah melihat dari identifikasi dan pembatasan masalah, maka

penulis dapat mengambil pokok-pokok pembahasan yang menjadi perumusan

permasalahan dalam tulisan ini, diantara rumusan masalahnya adalah sebagai

berikut :

a. Bagaimana konsep pemikiran KH Wahid Hasyim dalam

menjelaskan hubungan agama dan pancasila?

b. Bagaimana relevansi pemikiran K.H Wahid Hasyim dengan

kondisi Indonesia saat ini?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berkesesuaian dengan rumusan penelitian diatas, maka penulisan

skripsi ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

Page 19: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

9

1. mendapat gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi dan

membentuk pandangan keislaman dan kenegaraan K.H Wahid

Hasyim.

2. Mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang pemikiran

K.H Wahid Hasyim dalam gagasan keislaman dan kenegaraan.

Sedangkan manfaat kegunaan penulisan skripsi ini adalah, untuk

memberikan sumbangsih terhadap khazanah keilmuan tentang pemikiran

tokoh Republik Indonesia yang berperan penting dalam merumuskan dasar

haluan ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, skripsi ini didedikasikan sebagai

wujud peran partisipasi aktif dalam mengembangkan keilmuan dalam

penyusun bidang tata Negara.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Kajian akademik mengenai pemikiran seorang tokoh utama K.H

Wahid Hasyim mengenai relasi agama terhadap pancasila yang dalam

kaitannya dengan saat ini amatlah jarang, sebab tokoh yang satu ini memang

oleh para akademisi digolongkan sebagai pemikir pendidikan dari pada

negarawan dan pemikir politik. Untuk sampai kepada penelitian ini amat

jarang penulis yang mengkaji secara fokus dan mendalam tentang pemikiran

K.H Wahid Hasyim, khususnya mengenai pemikirannya mengenai relasi

agama terhadap pancasila yang dalam kaitannya saat ini. Untuk itulah penulis

berkeinginan menelitinya.

Untuk menguji kemurnian penelitian ini, perlu dilakukan telaah kajian

terdahulu untuk menguatkan bahwa penelitian ini belum pernah diangkat

sebelumnya, oleh karena itu penulis berupaya mengkaji beberapa karya ilmiah

yang berkaitan dengan penelitian ini. Berikut adalah beberapa karya ilmiah

yang berkaitan dengan judul yang akan diangkat oleh penulis :

Skripsi Ahmad Danuji, NIM 08370056, Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, jurusan Jinayah Siyasah, dengan

judul “Pemikiran Wahid Hasyim Tentang Islam dan Kewargaan”. Dalam

Page 20: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

10

skripsi ini Danuji mengulas tentang pemikiran politik kewargaan dari K.H

Wahid Hasyim yang dimana nilai-nilai yang nyata diperjuangkan oleh Wahid

Hasyim seperti kemanusian dan hak perlindungan atas hak warga Negara

sebagai ruh daripada hal-hal yang bersifat formal.

Skripsi Ahmad Nadirin, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas

Sunan Kalijaga dengan judul “Kiprah Politik K.H Wahid Hasyim (1938-

1953)” K.H Wahid Hasyim di terangkan pada skripsi ini sebagai seorang

pemimpin politik yang segala gerakannya merupakan akibat dari

pengembangan dua tradisi : pesantren yang sudah mapan dan Indonesia

modern yang diupayakan. Nadiri menggambarkan bahwa K.H Wahid Hasyim

tampak menonjol dalam kepemimpinan politik sebagai negarawan yang

organisatoris, orator, kritikus dan pencetak kader handal.

Tulisan Dr Adian Husaini yang berjudul “Pancasila bukan untuk

menindas Hak Konstitusi Umat Islam”. Dalam buku ini, Dr Adian Husaini

hanya menjelaskan bahwa pancasila sering kali dijadikan tameng oleh orang-

orang nonmuslim untuk membungkam aspirasi umat Islam ketika berbicara

peraturan yang berbau syari’ah. Di satu sisi buku ini juga membahas tentang

situasi pada masa perdebatan-perdebatan yang menyertainya.

Dari berbagai literatur yang sudah penulis sebutkan di atas, penulis

belum menemukan literatur yang secara khusus meneliti pemikiran K.H

Wahid Hasyim tentang relasi agama terhadap pancasila dan kaitannya dengan

saat ini. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti pemikiran K.H Wahid

Hasyim guna mengungkap pemikirannya secara fokus. Penelitian inilah yang

sesungguhnya membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang

sudah disebutkan diatas.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah merujuk pada

metode deskripsi analitik. Deskripsi analitik. Deskripsi analitik memiliki dua

Page 21: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

11

unsur paling mendasar. Pertama, menggunakan konsep-konsep, proposisi-

proposisi dan generalisasi empiris dari suatu teori ilmiah. Kedua,

menggunakan koleksi, klasifikasi dan fakta secara sistematis. Ketiga,

menghasilkan generalisasi empiris yang baru berdasarkan data tersebut.

metode deskripsi analitik dianggap sebagai alternatif yang memiliki efisiensi

dan kekuatan aplikasi dan modifikasi teori.17

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan

(library research), yakni penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai

sumber data utama.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu suatu penyelidikan yang

menuturkan dan menafsirkan dari data-data yang ada menjadi suatu rumusan

yang sistematis dan analisis

3. Objek Penelitian

Objek material dalam penelitian ini adalah pemikiran K.H Wahid

Hasyim tentang relasi agama terhadap pancasila dalam kaitannya saat ini.

4. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan bahan-bahan kepustakaan Primer dan

Kepustakaan Sekunder. Kepustakaan Primer adalah karya-karya yang ditulis

langsung oleh K.H Wahid Hasyim. Dalam hal ini, penulis menetapkan

kepustakaan Primer pada esai karya Wahid Hasyim, yang terhimpun dalam

buku “Sejarah Hidup K.H Wahid Hasyim”.

Sementara kepustakaan Sekunder adalah data-data pendukung yang

berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti, berupa buku, ensiklopedia,

kamus, majalah, jurnal, dan lain sebagainya

17 Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, {Paradigma Baru Ilmu Komunikasi

dan Ilmu Sosial Lainnya}, cet, ke-7, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), h. 173

Page 22: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

12

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu

dengan mengumpulkan data Primer yang diambil dari buku-buku secara

langsung berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti dan juga dari data

Sekunder yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan

diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding.

Adapun prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah

diseleksi agar sesuai dengan kategorisasinya dan berdasarkan pada analisis isi,

kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat

ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa sesuai dengan data yang di

dapat. Sedangkan dalam skripsi ini, penulis menggunakan analisis data

Kualitatif, yakni upaya yang dilakukan dengan berpangkal pada data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya, mensintesiskannya, mencari dan

menemukan alur pola, menemukan sesuatu yang penting dan dapat dipelajari

untuk dapat disuguhkan kepada orang lain.

Oleh karenannya, digunakanlah nalar metode analisis data dalam

skripsi ini, yakni:

a. Deduksi

Yaitu suatu metode penalaran yang berangkat dari data yang

umum ke data yang khusus. Penulis akan menggunakan nalar ini untuk

mendapat gambaran mengenai relasi agama terhadap pancasila menurut

pemikiran K.H Wahid Hasyim dalam kaitannya dengan saat ini. Metode

penalaran deduksi ini akan digunakan dalam hal deskriptif.

b. Induksi

Yaitu metode penalaran yang berpangkal dari data khusus untuk

kemudia diformulasikan dalam suatu kesimpulan yang bersifat umum.

Page 23: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

13

Penulis akan menggunakan nalar ini guna mencari relasi pengatahuan

Wahid Hasyim dengan berbagai diskursus.

Untuk memantapkan jalannya penelitian ini, penyusun melakukan

beberapa tahapan, yaitu:

a. Heuristik dan Kritik Sumber, yaitu langkah pelacakan sumber

data baik primer maupun sekunder, kemudian menyeleksi

dengan melakukan kritik ekstern terhadap data yang didapat.

Kuntowijoyo mengatakan, keabsahan suatu penelitian

tergantung pada kemampuan menelistik data.18

Heuristika juga

memuat didalamnya usaha menemukan pemahaman baru pada

tokoh

b. Holistika dan Deskripsi, yaitu langkah penulis untuk melihat

keseluruhan konsepsi pemikiran tokoh, kemudian menguraikan

secara teratur seluruh konsepsi tersebut.

c. Interpretasi dan Refleksi Pribadi, yaitu langkah memberikan

penafsiran terhadap kondisi tekstual data dengan konteks yang

terjadi. Mudahnya, langkah interpretasi menjembatani pesan

yang secara eksplisit dan implicit termuat dalam realitas.

Guna menambah fokus dan holistiknya penelitian ini, maka

pendekatan kesejarahan digunakan sebagai pendekatan utama. Kemudian dari

data sejarah yang berkaitan dengan relasi agama terhadap Negara itu akan

diinterpretasikan untuk di jadikan bahan acuan dalam mendapatkan inti

pemikiran Wahid Hasyim sesuai dengan salah satu pendekatan yang lain

dalam skripsi ini.

18 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, cet, ke-1, (Yogyakarta : Yayasan Bentang

Budaya, 1995), h. 94-102

Page 24: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

14

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, yang masing-masing

sub-bab tersebut menjelaskan masing-masing pembahasannya terdiri dari

suatu rangkaian pembahasan yang berhubungan satu dengan yang lainnya

sehingga penulisan ini terarah dan sistematis dalam satu kesatuan yang utuh.

Adapun sistematika penulisan tersebut sebagai berikut :

Bab I menyajikan tentang pendahuluan yang merupakan suatu

pengantar umum pada tulisan berikutnya, meliputi: latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II mengulas tentang biografi K.H Wahid Hasyim dan faktor

determinan dari kondisi sosial dan politik identitas diri K.H Wahid Hasyim.

Bab III membahas relasi agama terhadap pancasila. Dalam bab ini

penyusun menerangkan bagaimana konsep relasi agama dan pancasila secara

umum

Bab IV menjelaskan pola pikir K.H Wahid Hasyim tentang relasi

agama terhadap pancasila yang berkaitan dengan kondisi saat ini. Dalam bab

inipula akan di bahas mengenai argumentasi pemikiran Wahid Hasyim.

Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-

saran.

Page 25: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

15

BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H WAHID HASYIM

A. Biografi K.H Abdul Wahid Hasyim

Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914 di Jombang Jawa

Timur. Dia adalah putra Kyai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama

(NU).1 Dari pasangan K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqoh binti

Kyai Ilyas Madiun.

Wahid Hasyim adalah anak kelima K.H Hasyim Asy’ari dan Nafiqah,

dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Nama aslinya

adalah Abdul wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis

namanya dengan A.Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya,

sehingga menjadi A.Wahid Hasyim. Dan kemudian, dia lebih dikenal dengan

Wahid Hasyim,2 tapi biasanya Nyai Nafiqah selalu memanggil Abdul Wahid

kecil dengan sebutan “Mudin”.3

Kembali membahas masa kecil Wahid Hasyim, ketika ia masih berada

dalam kandungan, Nyai Nafiqah selalu merasa badannya lemas dan sakit-

sakitan, seolah tidak kuat menahan kehamilan. Suatu saat, sambil berdoa agar

diberikan kesehatan untuk dirinya dan anak yang dikandung, ia bernazar.

Bila nanti anak ini lahir dalam keadaan sehat walafiat, ia akan

membawanya mengahadap guru ayahnya di Bangkalan, Madura, yaitu K.H

Kholil.

1 Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaruan Pendidikan Islam dan

Pejuang Kemerdekaan, (Jombang : Pesantren Tebuireng, 2011), h. 7

2 Azyumardi Azra (ed), Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, (Jakarta:

PPIM, 1998), h.99

3 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, (Bandung:

Marja, 2017), h. 25

Page 26: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

16

Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga masyhur, perintis

pesantren Jawa. Ayahnya, K.H Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul

Ulama dan pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya

putri K.H Muhammad Ilyas, pendiri pesantren Sewulan, Madiun. Seperti

umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan

antara-anak Kyai atau anak Kyai dengan santrinya. Dirunut lebih jauh, dari

pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari

pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, Raja

pertama kesultanan Pajang (1549-1582) keduanya bermuara di sultan Demak

Raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498.4

Jelas sekali asal

usulnya bahwa Wahid Hasyim masih keturunan para ulama-ulama besar dan

priyai.

Sejak kecil, Wahid Hasyim dikenal sangat cerdas. Ia pendiam tapi

ramah dan pandai mengambil hati orang. Ia gemar menolong kawan, suka

bergaul dengan banyak orang tanpa membeda-bedakan agama, pangkat, atau

tingkat kekayaan. Ia juga senang berkorban untuk kawan, tapi juga gampang

tersinggung. Bahkan sejak kecil hingga remaja Wahid Hasyim dikenal

pemarah. Sifat ini lenyap ketika ia beranjak dewasa. Hilangnya sifat pemarah

itu, menurut penuturan Wahid Hasyim sendiri, terjadi sesudah ia

membiasakan diri untuk berpuasa sunnah selama bertahun-tahun.

Dikalangan kaum santri istilah orang yang gemar berpuasa adalah

“ahli tirakat”, menurut K.H M. Syatari, pemimpin pesantren Arjawinangun,

Cirebon, biasanya puasa sunnah ini memang sudah diajarkan sejak kecil oleh

ayahnya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.5 Pada umur lima tahun, Wahid

Hasyim belajar Al-Quran pada ayahnya sehabis shalat Maghrib dan Dzuhur.

Paginya ia belajar di Madrasah Salafiyah di Tebuireng. Ia sudah khatam Al-

4 Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, (Jakarta : KPG-

Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h.34

5 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h.29

Page 27: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

17

Quran ketika masih berusia tujuh tahun. Ia kemudia belajar kitab Fathul

Qarib, Minhajul Qawin, dan, Mutammimah. Pada usia 12 tahun , setelah

tamat di Madrasah, ia membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak

seusianya.6

Wahid Hasyim tidak pernah mengeyam pendidikan di bangku sekolah

pemerintahan Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Salah

satu mata pelajaran yang paling disukai Wahid Hasyim adalah kesusastraan.

Tak mengherankan jika ia banyak hafal bait syair tersebut, selain menguasai

maknannya dengan baik. Pada umur 13 tahun, ia dikirim ke Pondok Siwalan

Panji-Pesantren tua di Sidoarjo, Jawa Timur, milik kyai Hasyim, bekas mertua

ayahnya. Gurunya kyai Hasyim sendiri dan kyai Khozin Panji. Namun di

pondok ini Wahid Hasyim hanya bertahan 25 hari. Dari Sriwalan, Wahid

Hasyim pindah ke pondok pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia mondok

dalam waktu yang sangat singkat, hanya tiga hari. Dengan berpindah-pindah

pondok dan nyantri dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan

Wahid Hasyim hanyalah berkah dari sang guru.

Sepulang dari Lirboyo, Wahid Hasyim tidak meneruskan belajarnya di

pesantren lain. Ia lebih memilih untuk tinggal di rumah. Selama ia di rumah,

tekad akan semangat untuk belajar tak pernah padam. Meskipun tidak

bersekolah di lembaga pendidikan umum, pada usia 15 tahun ia sudah

menguasai bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Ketiga bahasa itu dipelajarinya

dengan membaca majalah dari dalam dan luar negeri.7

Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, Wahid Hasyim

pergi ke Mekah. Kepergian Wahid Hasyim ke Tanah Suci, disamping

menunaikan ibadah haji, juga memperdalam ilmu agama. Dia berangkat ke

Mekah ditemani saudara sepupunya, Muhammad Ilyas. Muhammad Ilyas

6 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 28

7 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h.30

Page 28: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

18

dikenal fasih berbahasa Arab dan dialah yang mengajari Wahid Hasyim

bahasa Arab. Di Tanah Suci, Wahid Hasyim belajar selama dua tahun. Meski

tidak membawa satu gelar akademik, ilmu pengetahuan yang diperoleh Wahid

Hasyim selama di Mekah sangat banyak.

Pada akhir 1933, saat usianya 19 tahun, Wahid Hasyim pulang dari

Mekah. Sebagai putra pesantren yang tulen, Wahid Hasyim ingin melakukan

banyak hal untuk kemajuan pesantren. Ia ingin memperbarui sistem, materi

pelajaran, mental, serta metodologi pembelajaran. Atas dasar pemikiran itu,

pada 1935, saat berusia 21 tahun, Wahid Hasyim di Tebuireng membuka

madrasah modern yang dinamai Madrasah Nizamiyah. Materi pelajaran yang

diberikan adalah ramuan Wahid Hasyim sendiri, yang belum pernah dikenal

di dunia pesantren.

Meski tak pernah berencana untuk segera menikah, kalau takdir sudah

berbicara tak ada yang mampu mengelak. Di tengah kesibukan Wahid

Hasyim, ada celah bagi dia untuk bertemu dengan sang belahan jiwa. Gadis

itu tidak cantik, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Wahid Hasyim

terkesan. Setelah mengetahui gadis itu adalah putri K.H Bisri Syansuri,

keesokan harinya, ia menemui kyai Bisri dan melamar Solichah. Dengan

senang hati kyai Bisri menerima lamaran tersebut dan tahun itu pula Wahid

Hasyim menikahi Solichah. Waktu itu Solichah baru berusia 15 tahun,

sementara Wahid Hasyim 25 tahun.8

Pernikahan Wahid Hasyim dengan

Solichah dikaruniai enam orang anak diantaranya Abdurrahman ad-Dakhil

(Gus Dur), Aisyah, Sholahuddin Al-Ayubi, Umar Wahid, Khadijah dan

Hasyim Wahid.9

Sesudah perkawinan berlangsung, kedua mempelai itu hanya tinggal

10 hari di Denanyar, lalu tahun itu juga pindah ke Tebuireng dan menetap

8 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 35-40

9 Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, (Jawa Timur:

Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015), h. 193

Page 29: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

19

disana sampai tahun 1942 dalam masa pendudukan Jepang. Tidak berapa lama

sesudah Jepang mendarat, Tebuireng dibubarkan dan K.H Hasyim Asy’ari

ditangkap dan dipenjarakan di Surabaya. Sesudah pembubaran Tebuireng dan

penangkapan K.H Hasyim Asy’ari, ibu Wahid Hasyim dengan anak-anaknya

pindah ke Denanyar dan Wahid Hasyim sendiri tergesa berangkat ke Jakarta

untuk mencari hubungan dengan pembesar Jepang di Jakarta guna

membebaskan kembali ayahnya.10

Di antara orang-orang yang melaksanakan urusan agama, yang

dipimpin oleh Kol. Horie, terdapat orang-orang Jepang-Islam, dan seorang

diantaranya ialah Hamid Ono, yang sudah dikenal Wahid Hasyim di dalam

masa Belanda. Dibantu Hamid Ono ini Wahid Hasyim memperjuangkan

pembebasan ayahnya melalui pembesar-pembesar dan instansi-instansi yang

penting, dan sesudah melalui banyak kesukaran akhirnya berhasilah

pembebasan itu pada tanggal 18 Agustus dan K.H Hasyim Asy’ari

dikeluarkan dari penjara dengan selamat.

Keadaan sudah berubah dan Tebuireng boleh dibuka kembali. Ibu

Wahid dengan anak-anaknya pun kembali ke Tebuireng sampai akhir tahun

1943. Oleh karena itu Wahid Hasyim ditahan di Jakarta untuk melakukan

beberapa pekerjaan, baik yang berhubungan dengan pemerintah atau yang

berhubungan dengan pergerakan, pada akhir tahun 1944 keluarganya

dipindahkan ke Jakarta dan tinggal ketika itu di jalan Showadori, sekarang

Diponegoro 42 Jakarta. Ketika itu Wahid Hasyim menjabat sebagai penasihat

pada kantor Urusan Agama Jepang, yang dinamakan Shumubu, sebagai suatu

Pemerintahan Balatentara Jepang, Gunseinkanbu. Ia bekerja bersama K.H

Abdul Kahar Muzakkir, yang menjadi kepala kantor tersebut, dan penasihat

tertingginya ialah K.H Hasyim Asy’ari.

10 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, (Jawa Timur: Pustaka

Tebuireng, 2015), h.177

Page 30: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

20

Di zaman penjajahan bala tentara Jepang, sungguh beliau memberikan

rangkaian contoh kebijaksanaan dan keuletan bersilat politik untuk menentang

paksaan kehendak Jepang itu secara elegan untuk mempergunakan agama dan

pemuka-pemuka Islam bagi kepentingan penjajahan Jepang. Dimasa-masa

kritik itu ketika paksaan kehendak Jepang menjadi mutlak, beliau pun tidak

segan untuk mempertahankan seluruh iman dan jiwanya untuk menentang

paksaan kehendak Jepang itu. Dimasa itu pun beliau mengucapkan kata-kata

supaya hendaknya dalam menentang dan membenci penjajahan Jepang

masyarakat dan bangsa Indonesia jangan sampai bersifat seperti kambing

yang mempersoalkan macam jenis tali yang mengikat leher kambing itu.

Masalahnya bagaimana menghancurkan tali pengikat leher itu hingga kita

bebas merdeka. Sebabnya bahwa masyarakat pada waktu itu masih

membandingkan masa penjajahan Jepang dan masa penjajahan Belanda,

sehingga akibatnya masyarakat ada yang memilih keadaan masa penjajahan

Jepang dan penjajahan Belanda.11

Sering kali kita sering terkejut mendengar berita tentang meninggalnya

seseorang. Betapa tidak terkejutnya kita bahwa yang meninggal tersebut

adalah orang yang semalam baru saja bertemu di rumahnya yang ia masih

sehat walafiat, segar bugar dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan

meninggalkan dunia ini. Begitulah pula kita dikejutkan oleh suatu berita radio,

pada hari minggu 19 April 1953 yang merupakan hari berkabung bagi bangsa

Indonesia. Dikabarkan dalam berita radio tersebut bahwasannya K.H Wahid

Hasyim bekas Menteri Agama telah meninggal dunia dalam suatu kecelakaan

di antara Cimahi dan Bandung. Ketika itu almarhum bermaksud pergi ke

Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Ia naik mobil Chevrolet miliknya

dengan ditemani seorang supir dari Harian Pemandangan; Argo Sutjipto,

bagian tata usaha majalah Gema Muslim dan Abdurahman ad- Dakhil (Gus

11 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 293

Page 31: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

21

Dur) putra sulungnya duduk didepan bersama supir, sementara Wahid Hasyim

dan Argo Sutjipto duduk di jok belakang.

Ketika itu daerah sekitar Cimahi-Bandung diguyur hujan sehingga

jalanan menjadi licin. Sekitar pukul 13:00, ketika memasuki Cimindi, mobil

yang ditumpangi Wahid Hasyim itu selip dan supir tidak bisa menguasai

kendaraan.12

Di belakang mobil Chevrolet itu banyak iring-iringan mobil.

Dari arah depan, truk yang sedang melaju terpaksa berhenti begitu melihat ada

mobil tergelincir dari arah berlawanan. Supir Chevrolet berusaha mengerem

mobil yang melaju cukup kencang. Karena kondisi jalan pada saat itu sangan

licin, mobil bukannya berhenti, tapi malah memutar hingga bagian

belakangnya membentur badan truk dengan keras. Wahid Hasyim dan Argo

Sutjipto yang duduk di jok belakang terlempar ke bawah truk yang sudah

berhenti. Keduanya luka parah, Wahid Hasyim terluka dibagian kening, mata,

pipi dan leher. Sedangkan sang supir dan Abdurahman yang duduk di jok

depan tidak cedera sedikit pun.

Lokasi kecelakaan itu agak jauh dari kota, sehingga usaha untuk

pertolongan datang terlambat. Baru pukul 16:00 datang mobil ambulans untuk

membawa korban kerumah sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami

kecelakaan, kedua korban tidak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian,

tepatnya pukul 18:00 Argo Sutjipto meninggal dunia. Keesokan harinya,

Ahad 19 April 1953 pukul 10:30, Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah

SWT pada usia 39 tahun.

Itulah rupanya akhir perjuangan singkat sang pemimpin. Dalam

usianya yang begitu pendek, Wahid Hasyim membawa perjuangan dan darma

bakti bagi bangsa yang begitu panjang, dan akan terus dikenang dengan begitu

indah. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 206

Tahun 1964, tertanggal 24 Agustus 1964, K.H Wahid Hasyim ditetapkan

12 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 324

Page 32: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

22

sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional mengingat jasa-jasanya yang luar

biasa sebagai pemimpi Indonesia.13

B. K.H Wahid Hasyim dan Nahdlatul Ulama

Pada awal abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seorang yang

sangat dinamis yang pernah belajar di Mekah, yaitu K.H Abdul Wahab

Hasbullah, mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan kiai dari

Jombang Jawa Timur yang sangat disegani yaitu K.H Hasyim Asy’ari ayah

dari Wahid Hasyim. K.H Hasyim Asy’ari diumpamakan sebagai orang yang

membentuk isi Nahdlatul Ulama, salah seorang yang mewujudkan gerakan itu

menjadi organisasi ialah K.H Abdul Wahab Hasbullah yang juga sebagai ipar

dari Kiai Hasyim Asy’ari. Dengan didukung oleh para kiai dan ulama, Kiai

Wahab pun juga aktif didalam Syarikat Islam (SI) sebuah perkumpulan para

saudagar muslim yang didirikan di Surakarta 1912, dan pada tahun 1916 Kiai

Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan yang

berpusat di Surabaya yang pengasuhnya adalah K.H Wahab Hasbullah dan

K.H Mas Mansyur.

Diantara sekian banyak ormas, pada mulanya yang paling berpengaruh

adalah Syarikat Islam (SI). Asal usul dan pertumbuhan politik dan keagamaan

dikalangan muslim Indonesia dapat dikatakan sangat identik dengan asal-usul

dan pertumbuhan Syarikat Islam, yaitu sebuah ormas yang merupakan bentuk

“reinkarnasi” dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang lahir pada tahun 1911.

Syarikat Islam kelak akan menjadi Partai Syarikat Islam atau PSI pada tahun

1921, kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII

pada tahun 1930. Dapat dikatakan bahwa Syarikat Islam (SI) merupakan

embrio lahirnya ormas-ormas Islam yang muncul pada fase berikutnya. Sejak

13 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan, Profil Pahlawan Nasional,

(Jakarta:Direktorat Kepahlawanan dan Kesetiakawanan Sosial Direktorat Jenderal

Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementrian Sosial RI, 2014), h. 21

Page 33: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

23

saat itu, kemudian bermunculan berbagai ormas Islam, yaitu: Muhammadiyah

(1912) di Yogyakarta, Persatuan Islam atau Persis (1923) di Bandung, al-

Irsyad (1914) di Jakarta, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah atau Perti (1928) di

Bukit Tinggi, al-Jamiyatul Washliyah (1930) di Medan, termasuk Nahdlatul

Ulama (1926) di Surabaya.14

Tokoh sentral Syarikat Islam, H.O.S Tjokroaminoto pernah dipercaya

sebagai “Ratu Adil”, pada perkembangan berikutnya, SI tidak bisa

menampung aspirasi berbagai tokoh, aktivis, intelektual dan ulama yang ada

di dalamnya, yang memang memiliki latar belakang dan basis keilmuan yang

berlawanan. Lambat laun SI dikendalikan oleh para intelektual Islam yang

berpendidikan Barat seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Agus Salim atau Abdul

Muis. Kemudian, SI dikendalikan oleh para santri yang terpengaruh gagasan

modernisme Islam terutama pengikut Muhammadiyah, seperti K.H Ahmad

Dahlan, K.H Mas Mansur dan K.H Fahrudin. Sementara para kiai dan santri

yang berbasis tradisional di pedesaan tidak memiliki peran berarti, meskipun

terdapat tokoh berpengaruh di dalamnya, seperti K.H Wahab Hasbullah.

Kondisi seperti ini kemudian mengakibatkan SI lambat laun mengalami

kondisi terhenti tanpa menunjukan adanya suatu kemajuan yang berarti.15

Syarikat Islam (SI) yang berdiri sejak tahun 1912 sudah mulai dicurigai oleh

pemerintah, terutama tertangkapnya H.O.S Tjokroaminoto sebagai akibat

pemberontakan H. Hasan Leles di Garut dan timbulnya Afdeeling B16

dan

14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : Pustaka

LP3ES, 1994), h. 155

15 M. Mukhsin Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah,

al-Irsyad, Persis dan NU, (Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007), h. 278

16

Afdeeling B adalah gerakan rahasia yang dipersiapkan untuk menyuarakan perang

suci (jihad) melawan kolonial Belanda. Tokoh pergerakan SI ini adalah H. Ismail, ulama

terkemuka asal Gunung Tanjung Manonjaya. Pada tahun 1919, beliau mendesain upaya

pemberontakan terhadap kolonial Belanda bersama tokoh-tokoh besar lainnya seperti H.

Sulaeman Ciawi, Abdul Jalil, Alhasim, Tabri, H. Adra’I dan H.Hasan Cimareme.

Page 34: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

24

Syarikat Islam ini, sehingga banyak umat Islam yang sudah meninggalkan

gerakan ini karena takut akan akibat-akibat kepolisian.17

Perlu digaris bawahi, terbentuknya NU bukan semata-mata karena

Sarekat Islam tidak mampu menampung gagasan keagamaan para ulama

tradisional, ataupun sebagai reaksi atas penetrasi ideologi gerakan

modernisme Islam yang mengusung gagasan purifikasi Islam seperti yang

sering digembor-gemborkan oleh sejumlah pengamat. Statmen yang demikian

bukan hanya terlalu menyederhanakan persoalan, tetapi telah merudiksi fakta

historis atas dinamika keulamaan yang merupakan embrio lahirnya NU.

Pendirian ormas berlambang tali jagat ini memiliki sejarah panjang dan sangat

kompleks untuk terlalu disederhanakan. Menurut Manfred Ziemek dalam

bukunya yang diterjemahkan oleh BB. Soendjojo yang berjudul “Pesantren

dalam Perubahan Sosial”, kehadiran NU mewakili faham konsevatif para

ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun

terhadap kolonialisme Belanda, dengan kedudukan mandiri, bebas dan

tersentralisasi pada masyarakat pedesaan, serta para kiainya orang-orang yang

tidak diperintah oleh siapapun.18

Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai

representatif dari ulama tradisional, dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal

jamaah. Pada masa itu ulama belum begitu terorganisir namun mereka sudah

saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul,

ulang tahun wafatnya seorang kiai, secara berkala mengumpulkan para kiai,

masyarakat sekitar ataupun para bekas murid pesantren mereka yang tersebar

luas diseluruh nusantara.19

Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tak bisa

17 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 525

18

Mahfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. BB. Soendjojo, (Jakarta:

P3M, 1986), h. 64-65

19

Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002),

h.66

Page 35: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

25

dilepaskan dari upaya mempertahakan ajaran ahlus sunnah wal jamaah

(aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-Quran, Sunnah, Ijma (keputusan para

ulama sebelumnya) dan Qiyas.

Dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal jamaah ini lahir dengan

alasan yang mendasar, yaitu kekuatan penjajah Belanda untuk meruntuhkan

potensi Islam telah melahirkan tanggung jawab alim ulama untuk menjaga

kemurnian dan keluhuran ajaran Islam. Kemudian, rasa tanggung jawab alim

ulama sebagai pemimpin umat memperjuangkan kemerdekaan dan

membebaskan dari belenggu penjajahan, dan rasa tanggung jawab ulama

menjaga ketentraman dan kedamaian bangsa Indonesia. Sejarah mencatat,

jauh sebelum NU lahir dalam bentuk organisasi (jam’iyyah), ia sudah ada

dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial

keagamaan yang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Lahirnya NU

tak ubahnya mewadahi suatu barang yang sudah ada. Dengan kata lain, wujud

NU sebagai organisasi keagamaan hanya sekedar penegasan formal dari

mekanisme informal para ulama sepaham, yaitu pemegang teguh salah satu

dari empat madzhab Fikih : Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hambali yang telah

ada jauh sebelum organisasi NU lahir.20

Putra Rais Akbar Nahdlatul Ulama K.H Hasyim Asy’ari, Wahid

Hasyim, pada waktu itu tidak tertarik untuk masuk ke dalam organisasi para

ulama ini. Bagi Wahid Hasyim, memilih organisasi itu ibarat memilih jodoh.

Harus jelas betul segala hal yang berkaitan dengan organisasi tersebut. Wahid

Hasyim sadar bahwa tidak ada organisasi manapun yang memenuhi semua

kriteria yang diidamkan, tetapi paling tidak organiasasi tersebut haruslah yang

paling sedikit kekurangannya. Wahid Hasyim yang pada saat itu menjelaskan

pandangannya tentang NU dan kecenderungan sosial politik masa itu.

20 Anas Thohir, et. Al., Kebangkitan Umat Islam dan peranan NU di Indonesia,

(Surabaya : PCNU Kodya Surabaya, 1980), h. 90

Page 36: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

26

Menurutnya, ukuran utama menilai kualitas organisasi adalah aspek

keradikalan dan jumlah kaum terpelajar yang ada di dalamnya. Nahdlatul

Ulama jelas bukan organisasi yang radikal bahkan terkesan lambat. Juga tak

banyak kaum terpelajar di dalamnya. Saking sedikitnya kaum terpelajar dalam

tubuh NU, Wahid Hasyim mengibaratkan, untuk mendapatkan akademisi dari

kalangan NU sama saja dengan mencari orang yang berjualan es pada pukul

satu dini hari.21

Jarang ada orang yang memasuki organisasi atau perhimpunan atas

dasar kesadaran kritis. Pada umumnya, seseorang aktif dalam organisasi atas

dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau bahkan teman. Tidak terkecuali

bagi kebanyakan warga Nahdlatul Ulama. Sudah lazim orang NU masuk

karena keturunan. Ayahnya aktif di NU, maka otomatis si anak menjadi

aktivis NU. Kelaziman ini agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses

ke-NU-an Wahid Hasyim berlangsung cukup lama, setelah melakukan

perenungan mendalam. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Wahid

Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihan ke NU. Meskipun belum sesuai dengan

keingannya, ia menganggap NU memiliki kelebihan disbanding yang lain.

Maka mulai 1938, Wahid Hasyim terlibat aktif dalam kegiatan Nahdlatul

Ulama. Pada tahun itu Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Sekretaris Pengurus

Ranting NU Cukir. Lalu, ia menjadi Ketua Pengurus Cabang NU Jombang.

Pada 1940, Wahid Hasyim dipilih sebagai Pengurus Besar NU Bidang

Pendidikan.

Nahdlatul Ulama yang berdiri pada 31 Januari 1926, juga banyak

dipandang sebagai organisasi milik kiai. Segala keputusan dan kebijakan

organisasi bergantung pada pemimpin pesantren. Anggapan itu membuat NU

kurang diminati pemuda karena dianggap kaku, sulit bergerak, juga

menghalangi berkembangnya pikiran bebas dan kreatif. Tetapi setelah cukup

21 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 108

Page 37: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

27

lama melakukan refleksi, Wahid Hasyim menemukan sudut pandang berbeda.

Banyak aspek positif yang dimiliki NU, yang seolah-olah tampak sebagai

kekurangan. Menurut dia, NU tidaklah beku dan jumud sebagaimana dilihat

banyak orang. NU kemungkinan begitu luas untuk memberikan kemaslahatan

bagi umat, bahkan mungkin lebih banyak dibanding perhimpunan lain.

Ketika digelar Muktamar NU ke-5 di Pekalongan, Jawa Tengah,

September 1930, meski belum resmi memasuki NU, Wahid Hasyim ikut

hadir. Begitupun dalam kegiatan NU berikutnya, Wahid Hasyim tampak

mulai terlibat meski dalam banyak hal lebih untuk mewakili sang ayah, K.H

Hasyim Asy’ari. Ketika Kongres atau Muktamar NU ke-12 pada Juni 1937 di

Malang yang dihadapkan kepada suatu persoalan yang penting mengenai

pendirian pemuda-pemuda Ansor NU dengan pemukanya, K.H Mahfud

Siddiq dan K.H Abdullah Ubaid. Pertentangan paham ini demikian ramainya,

sehingga terpaksa diadakan sebuah rapat khusus untuk menyelesaikan

persoalan itu.

Dalam rapat ini yang diadakan di rumah K.H Nachrawi, ketua Cabang

Malang, mengambil bagian 20 anggota Syuriah dan 20 anggota Tanfiziah, dan

diketuai oleh Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari. Perdebatan ini sudah sampai

kepada puncak yang sangat genting dan bisa memecah belah NU dari dalam.

Dalam rapat ini kelihatan kebijaksanaan K.H Wahid Hasyim yang rupanya

banyak memberikan sumbangan pikiran kepada sikap pemuda. Kemudian

Wahid Hasyim menjadi sebagai penengah antara perdebatan kedua belah

pihak yang pada akhirnya K.H Hasyim Asy’ari mendamaikan semua pihak.

Nasihat-nasihat K.H Hasyim Asy’ari ini diuraikan sesuai sifat lemah lembut

K.H Hasyim Asy’ari, sehingga banyak yang terharu dan banyak yang tidak

dapat menampung air matanya.22

22 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 528

Page 38: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

28

Pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, yang digelar Juli 1940, Wahid

Hasyim masih memegang jabatan Ketua Tanfidz Bidang Maarif. Selama

memimpin Departemen Pendidikan NU, dia melalukan banyak sekali

pembenahan, baik dalam aspek kepungurusan maupun prigram

pengembangan. Salah satunya adalah menambah jumlah madrasah di seluruh

Indonesia dan meningkatkan kualitas guru dan materi pelajarannya.

Sedangkan untuk program pendirian perguruan tinggi, Wahid Hasyim

menggelar pertemuan khusus di Malang pada 13 Februari 1941. Pertemuan ini

menghasilkan rancangan peraturan rumah tangga Nahdlatul Ulama bagian

perguruan dan pendidikan. Rancangan ini pada hakikatnya cikal bakal

pendirian universitas dan isntitusi agama Islam yang tersebar di seluruh

Indonesia. Tidak sampai disitu, inovasi lain yang dilakukan Wahid Hasyim

semasa memegang Departemen Maarif NU adalah mendirikan majalah Suluh

NU pada tahun 1941. Majalah tersebut berisi pelbagai tulisan mengenai

pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.

Muktamar NU ke-19 yang digelar April 1952 adalah yang terpenting

dan merupakan muktamar terakhrir yang diikuti Wahid Hasyim. Dalam

muktamar ini, PBNU resmi memutuskan keluar dari partai Masyumi.

Keputusan tersebut diambil dalam sidang yang dipimpin Wahid Hasyim, yang

pada saat itu menjabat sebagai ketua muda PBNU. Perpisahan NU dengan

Masyumi merupakan peristiwa yang sangat bersejarah bagi perjalanan politik

umat Islam Indonesia. dan dalam peristiwa itu, tokoh muda NU yang

sekaligus tokoh utama Masyumi, Wahid Hasyim, berada dititik paling

menentukan. Secara garis besar bisa dikatakan hitam putihnya hubungan NU

dengan Masyumi ditentukan oleh sosok Wahid Hasyim. Sejak awal, Wahid

Hasyim menolak perpisahan NU dengan Masyumi. Namun ketika keputusan

sudah diambil, Wahid Hasyim pulalah orang paling depan menghidupi NU.

Ketika konflik sering terjadi antara NU dengan Masyumi, Wahid Hasyim

selalu mampu menjadi penengah sekaligus pemersatu. Peran penting ini hanya

Page 39: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

29

bisa dilakukan oleh sosok yang dihormati sekaligus dipercaya oleh dua

organisasi itu.

Pada awal berdiri, NU tidak menerima kaum perempuan (muslimat)

sebagai anggota, tetapi hanya untuk kaum muslimin dan para ulama, karena

pada waktu itu para alim ulama berpendapat belum waktunya muslimat

dibawa kedalam perserikatan dan organisasi. Para ulama memandang pada

waktu itu perempuan tugasnya hanya didalam rumah saja. Seiring berjalannya

waktu, keinginan mamasukan perempuan kedalam organisasi muncuk

pertama kali dalam rapat muktamar ke-13 di Menes. Mayoritas peserta

muktamar menolak usulan ini. Akan tetapi untunglah bahwa diantara ulama

itu ada juga beberapa orang yang melihat jauh kedepan, memandang dengan

mata hati yang tajam apa yang terjadi jika NU menutup segala pintu untuk

kaum perempuan ini. Diantara para ulama yang berpendapat demikian ialah

K.H.A.Wahid Hasyim dan K.H.M Dakhlan.

Wahid Hasyim melihat di luar NU sudah banyak kaum perempuan

yang memasuki perkumpulan dan perserikatan. Walaupun tidak

diperbolehkan memasuki dunia pergerakan, kaum perempuan akan terus

mencari-cari celah yang dapat dilalui. Ibarat air bah yang mengalir deras dari

hulu, begitulah semangat yang telah melanda kaum perempuan Islam

Indonesia. jika dihambat dan ditahan, ia akan melompat ke sebrang,

menghancurkan setiap rintangan yang akan menghalanginya. Wahid Hasyim

berpikir bahwa semangat ini haruslah disalurkan, diberi ruang, sehingga bisa

bermanfaat bagi masyarakat.

Atas dasar pemikiran itulah akhirnya muktamar NU ke-13 di kota

Menes menerima kaum muslimat sebagai anggota. Tetapi penerimaan

muslimat ini bersifat sangat minim, hanya boleh menjadi anggota biasa, tidak

diperkenankan menjabat pengurus. Keanggotaannya semata untuk menjadi

pendengar dan pengikut. Namun, meski hanya sebagai pendengar dan

pengikut, antusiasme kaum perempuan untuk terlibat dalam kegiatan NU

Page 40: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

30

sangat tinggi. Hal itu terlihat dari jumlah keanggotaan muslimat sudah

mencapai ribuan dalam satu tahun. Sewaktu digelar muktamar ke-14 pada

tahun 1939, kaum muslimat NU sudah mengadakan rapat sendiri. Rapat

tersebut dihadiri oleh 4.000 utusan dari 10 daerah perwakilan. Ketika

sejumlah utusan diberi kesempatan bicara dalam rapat, terlihat kaum muslimat

saat itu seperti sudah pandai dan berpengalaman.

Pada tahun 1940 ketika digelar muktamar NU ke-15 di kota Surabaya,

muncul usulan agar pergerakan muslimat bisa berdiri sebagai organisasi yang

memiliki pengurusan sendiri, tidak menjadi satu dengan NU. Akhirnya,

diputuskan agar masalah tersebut diserahkan ke pengurus PBNU. Belum lagi

ada keputusan Syuriah mengenai masalah ini, situasi Indonesia mulai

memburuk ketika kedatangan bala tentara Jepang, bangsa Indonesia terseret

dalam situasi peperangan yang melelahkan. NU praktis tidak dapat

beraktivitas secara normal. Para kiai dan para santri berperang merebut dan

mempertahankan Indonesia. salah satu momen penting perjuangan NU

mengusir penjajah adalah ketika Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari

mengeluarkan keputusan yang terkenal sebagai “Resolusi Jihad”. Resolusi

menyatakan, “mempertahankan dan menegakan Negara Republik Indonesia

menurut hukum Islam sebagai kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang Islam

laki-laki dan perempuan.

Pertempuran terbesar setelah Indonesia memproklamasikan

kemerdekaan terjadi di Surabaya pada 10 November 1945. Para kiai dan

pemuda NU serta seluruh elemen bangsa Indonesia di bawah komando Bung

Tomo berjuang habis-habisan. Tak terkecuali kaum perempuan NU. Mereka

turut andil dalam peristiwa ini. Sangat banyak kegiatan yang dilakukan

muslimat NU untuk mendukung perjuangan agama dan bangsa. Situasi seperti

itu rupanya menyadarkan banyak pihak bahwa memang sudah waktunya

muslimat NU berdiri sendiri sebagai organisasi. Sejak muktamar ke-16 pada

maret 1946, muslimat secara resmi menjadi organisasi NU dengan nama NU

Page 41: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

31

Muslimat (NUM). tujuan utamanya adalah menyadarkan para wanita Islam

Indonesia akan kewajibannya menjadi ibu yang sejati, sehingga dapat

membantu menegakan agama Islam.

C. K.H Wahid Hasyim dan Kementerian Agama

1. Latar Belakang Kementerian Agama

Setelah Jepang dapat mengontrol wilayah Indonesia, Jepang mulai

mencari cara agar mendapat bantuan dari bangsa Indonesia, terutama

komunitas Muslim dan pemimpin nasional, agar dapat memperkuat posisinya

di Indonesia. Bangsa Jepang menyadari betapa pentingnya mempunyai sebuah

federasi yang memayungi segala bentuk organisasi keagamaan (Islam)

sehingga seluruh pemimpin umat Islam berkumpul dan dapat disatukan, yang

dengan begitu umat Islam lebih mudah diperdaya guna membantu keinginan

bangsa Jepang. Untuk itu bangsa Jepang memperbolehkan kembali berdirinya

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan pada tanggal 24

Oktober 1943. Sebagai figur utama pemimpinnya adalah K.H Hasyim

Asy’ari, akan tetapi kedudukan ini hanya sebatas penghormatan karena K.H

Hasyim Asy’ari tetap tinggal di pesantrennya, dan membiarkan anaknya K.H

Wahid Hasyim sebagai ketua pelaksananya. Wahid Hasyim melaksanakan

beberapa program yang di desain untuk memperkuat kapasitas umat Islam dan

meningkatkan infrastrukturnya.

Wahid Hasyim menyadari bahwa tujuan dibalik dibentuknya Masyumi

oleh Jepang adalah untuk melayani segala bentuk propaganda bangsa Jepang,

yang bertujuan memobilisasi segala bentuk bantuan untuk Jepang baik itu

berupa tenaga kerja sukarela maupun makanan. Maka dari itu, Wahid Hasyim

mengundang pemuda Muslim, di antaranya M. Natsir, Harsono

Tjokroaminoto, Prawoto Mangkusumo dan Zainul Arifin guna

untukmenyiapkan bangsa Indonesia baik secara fisik dan mental guna

Page 42: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

32

melawan bangsa Jepang.23

Wahid Hasyim juga mempublikasikan sebuah

majalah Soeara Moeslimin Indonesia sebagai alat guna untuk menyebarkan

semangat berjuang untuk mencapai kemerdekaan.

Salah satu bentuk strategi lainnya yang diharapkan bangsa Jepang

untuk memperoleh simpati dari bangsa Indonesia, khususnya umat Islam

adalah pembentukan Shumubu, atau Kantor Kementerian Agama yang

bertugas mengamati semua urusan keagamaan dan umat Islam. Kantor ini

dikepalai oleh Kolonel Horie Chozo, seorang arsitek yang membidangi usaha

pemerintah penjajahan Jepang di Jawa. Meskipun K.H Hasyim Asy’ari diberi

tanggung jawab sebagai kepala, dalam prakteknya, dia mendelegasikan tugas-

tugasnya kepada anaknya K.H Wahid Hasyim.24

Wahid Hasyim mempunyai peran paling signifikan dalam

pembentukan Kementerian Agama (sekarang bernama Departemen Agama).

Sejarah pembentukannya cukup lama dan membutuhkan beberapa tahun

sebelum pertama kali diperdebatkan dalam pertemuan di parlemen pada

tahun 1950-an. Ada beberapa alasan penolakan diadakannya Departemen

Agama, di antaranya, pertama, biaya pendiriannya sangat mahal; kedua,

kenyataanya bahwa banyak persoalan yang ditangani Departemen Agama

dapat diambil alih oleh kementerian lainnya, seperti kehakiman, penerangan,

pendidikan dan kebudayaan; ketiga, bahwa kementerian akan memperhatikan

hanya kepada urusan agama Islam dan bahwa agama seharusnya dipisah dari

politik (Negara).25

23 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 369

24

Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih Dalam

Politik (Jakarta : Gramedia, 1994)h. 322

25

Pertama, Kabinet Hatta (20 Desember 1949), dalam Kabinet Natsir (6 September

1950-27 April 1951), dan dalam Kabinet Sukiman (27 April 1952-3 April 1953). Lihat di

Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.683

Page 43: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

33

Sebagai respon terhadap keberatan tersebut, Wahid Hasyim yang

ditunjuk sebagai menteri agama selama tiga kali berturut-turut mencoba

menjelaskan bahwa: Pemerintah menyepakati prinsip pemisahan gereja

(agama) dan Negara, dalam pengertian tidak mencampuri urusan-urusan

internal sebuah kekhusuan agama. Bagaimanapun, pemerintah merasa

berkewajiban untuk melayani kebutuhan-kebutuhan keagamaan masyarakat

menurut Pancasila. Pemisahan antara agama dan Negara mengecualikan satu

kepercayaan ateistik. Meskipun materi mempertimbangkan bahwa

kementerian agama sebenarnya dapat dihapus apabila fungsi-fungsinya dapat

dijalankan kementerian lain, menghapus kementerian agama dapat melukai

perasaan umat Islam Indonesia.26

Selanjutnya dia mengatakan bahwa kementerian memberikan

perhatian yang lebih kepada umat Islam dibanding dengan agama lainnya. Dia

menolak adanya tuduhan diskriminasi dalam kementerian agama. Sebagai

bukti, dia menunjukan bahwa subsidi yang diberikan kepada madrasah hanya

satu rupiah per siswa, sedang bagi sekolah non-Islam tiap siswa menerima

empat rupiah dari Departemen Pendidikan.

Selama resolusi, Wahid Hasyim memberikan substansi dan arahan

yang jelas pada kementerian. Pada awal Indonesia setalah Indonesia terpecah

beberapa Negara federal yang mana masing-masing daerah berubah menjadi

Negara, Wahid Hasyim berusaha untuk menyatukan semua departemen agama

yang ada di masing-masing dibagian Negara federal tersebut di bawah kontrol

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika semua Negara federasi melebur

menjadi Negara kesatuan kembali pada tahun 1950, dia mengundang seluruh

pimpinan dan kementerian agama masing-masing Negara federasi untuk

mendiskusikan dan merumuskan wilayah kerja kementerian. Setalah

mengadakan diskusi, pertemuan tersebut menghasilkan peraturan pemerintah

26 Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim; Pembaharuan Pendidikan Islam dan

Pejuang Kemerdekaan, (Pesantren Tebuireng, 2011), h. 78

Page 44: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

34

No: 8 tahun 1950.27

Keberhasilan Wahid Hasyim dalam menyatukan kembali

cabang kementerian yang telah terpecah menunjukan keinginannya untuk

mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam

Indonesia.

2. Sejarah Berdirinya Kementerian Agama

Sesudah Syahrir menjadi ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia

Pusat), maka dilangsungkan sidang pleno yang waktu itu merupakan

Parlemen sementara Indonesia. pada tanggal 25-27 November 1945, untuk

mendengarkan keterangan pemerintah, bertempat diruangan atas Fakultas

Kedokteran di Salemba Jakarta. Sebagai anggota KNIP mewakili daerah dari

karesidenan Banyumas dalam sidang KNIP diatas adalah K.H Abu Dardiri, H.

Moh. Saleh Suaidy dan M. Sukono Wiryosaputro yang semuanya dari

Masyumi. Beberapa KNI daerah Banyumas mengusulkan supaya Indonesia

yang sudah merdeka ini janganlah urusan agama dibebankan kepada

Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi harus

dikelola oleh Kementerian Agama secara khusus dan tersendiri.

Usul itu mendapat sambutan dan dikuatkan oleh M. Natsir, Dr.

Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo. Maka tanpa pemungutan

suara ternyata setelah terlihat PJM Presiden member isyarat kepada PJM.

Wakil Presiden Moh. Hatta, lalu berdirilah Wakil Presiden menyatakan bahwa

“adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah”.

Maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah mengumumkan bahwa

Kementerian Agama didirikan tersendiri dengan menteri agamanya yang

bernama H. Rasyidi B.A.28

27 Peraturan Pemerintah No: 8 tahun 1950 yang memperbaiki Peraturan Pemerintah

No: 33 tahun 1949 yang menetapkan tugas dan kewajiban Kementerian Agama, Lihat di

Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.693

28

Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 678

Page 45: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

35

Dalam pidatonya yang diucapkan di Konferensi Jawatan Agama

seluruh Jawa dan Madura di Surakarta pada tanggal 17-18 Maret 1946

diuraikan oleh menteri agama pertama itu akan sebab-sebab dan

kepentingannya pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian

Agama. Diantaranya ditegaskan untuk memenuhi kewajiban pemerintah

terhadap UUD BAB XI pasal 29, yang menerangkan bahwa “Negara berdasar

atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah

menurut agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” (ayat 1 dan 2).

Jadi lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang

bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.

Pada zaman pemerintahan penjajahan Hindia-Belanda segala

persoalan yang berhubungan dengan keagamaan langsung atau tidak langsung

diurus dibawah pengawasan beberapa jawatan, misalnya oleh pamong pradja

(pengangkatan penghulu, anggota Raad Agama dan pegawai-pegawai

pekauman, urusan masjid, zakat fitrah, haji, perkawinan, pengajaran agama

dan lain-lain), oleh Departement van Justitie (organisasi dan pekerjaan

Mahkamah Islam Tinggi dengan Raad agamanya dan penasihat pengadilan

negeri), dan oleh Kantoor voor Inlandsche Zaken, yang menjadi penasehat

pemerintahan Hindia-Belanda dalam hal keagamaan dalam arti seluas-

luasnya, sedang urusan agama Kristen yang mengenai gereja-gereja, pendeta-

pendeta diselesaikan oleh bagian “Eeredienst” dari “Departement van

Onderwijs en Eeredienst”.29

Dalam zaman Jepang pada umumnya aturan-aturan yang mengenai

hal-hal diatas itu tidak diubah, selain penghapusan Kantoor voor Inlandsche

Zaken. Oleh Jepang didirikan sebagai gantinya Kantor Urusan Agama

(Shumubu), bagian dari Gunseikanbu, sedang didaerah-daerah diadakan

29 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.679

Page 46: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

36

Shumuka sebagai bagian dari pada pemerintahan karesidenan (Shu). Dengan

adanya Kementerian Agama, maka hal-hal yang mengenai keagamaan dan

pekerjaan yang tadinya diurus oleh beberapa jawatan itu dikerjakan oleh

Kementerian Agama.

Maklumat Kementerian Agama No.2 tertanggal 23 April 1946

menetapkan bahwa :

1. Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan

Residen menjadi Jawatan Agama Daerah yang selanjutnya

ditempatkan dibawah Kementerian Agama.

2. Hak untuk mengangkat penghulu Landraad (sekarang bernama

pengadilan negeri), ketua dan anggota Raad agama yang dahulu ada

dalam tangan Residen, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian

Agama.

3. Hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada dalam tanga

Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.30

Dalam pengumuman Kementerian Agama No.3 hal tersebut dalam

maklumat No.2 itu dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan

Kabinet dalam sidangnya tanggal 29 Maret 1946. Dengan berdirinya

Kementerian Agama dapatlah diperbaiki beberapa hal kesalahan yang

diperbuat dalam zaman pemerintahan Belanda dan Jepang yang berakibat

perpecahan dalam golongan agama.karena kesukaran perhubungan dalam

bagian-bagian kepulauan Indonesa yang lain belum dapat diadakan perbaikan.

Walaupun demikian di Sumatera telah dapat dibentuk Jawatan Agama dalam

tiap-tiap karesidenan.

30

Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 667

Page 47: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

37

3. Kepemimpinan K.H Abdul Wahid Hasyim Dalam Kementerian

Agama

K.H.A.Wahid Hasyim menjadi menteri agama pada saat kabinet

Republik Indonesia Serikat (RIS) pada kabinet Hatta (20 Desember 1949 – 6

September 1950), Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951) dan Sukiman

(27 April 1951 – 3 April 1952). Dapat dikatakan bahwa Wahid Hasyim

menjadi menteri agama dari tanggal 20 Desember – 3 April 1952 dengan

melalui dua sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan menurut

Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) dan sistem

pemerintahan menurut UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).

Salah satu jasa K.H Wahid Hasyim yang terbesar dalam Kementerian

Agama setelah kebinet RIS terbentuk pada tanggal 20 Desember 1949, ialah

mengadakan konferensi besar di Yogyakarta antara tanggal 14-18 April 1950

untuk mempersatukan kembali kementerian, depertemen dan jawatan-jawatan

agama dari Negara-negara bagian,31

yang didirikan oleh Belanda di seluruh

Indonesia.

Selain dari pada organisasi yang baik dibawah pemimpin M. Farid

Ma’ruf kepala jawatan urusan agama Yogyakarta, dan kemudian kebetulan

kedua menteri agama dari RIS dan RI, adalah menteri dari Masyumi yang

sudah memiliki rasa kebangsaan yang sama. Meskipun tanah airnya telah

dipecah belahkan oleh Belanda tetapi itu tidak membuat mereka saling

bermusuhan. Dan K.H Wahid Hasyim merupakan orang yang berperan

penting untuk mempersatukan kembali kementerian-kementerian,

departemen-departemen dan jawatan-jawatan agama seluruh Negara bagian

itu.32

31 Jawata-jawatan agama merupakan lembaga yang mengurusi urusan agama di

Negara bagian seluruh Indonesia, mengingat pada saat itu Negara Indonesia masih terpecah-

pecah akibat dari sistem Negara yang berdasarkan serikat (RIS).

32

Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.692

Page 48: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

38

Mengenai perbaikan perjalanan haji, Wahid Hasyim sebagai menteri

agama tidak menyumbangkan bantuannya. Sebagaimana selama masa

pendudukan Jepang, begitu juga dalam masa Revolusi yang meletus sejak 17

Agustus 1945 tidak ada kesempatan untuk naik haji bagi bangsa Indonesia.

Pada waktu itu tidak ada kesempatan untuk naik haji karena seluruh rakyat

Indonesia berjihad melawan Belanda yang datang kembali untuk menjajah

Indonesia, sesudah Jepang kalah oleh sekutu dan proklamasi kemerdekaan

Indonesia dibacakan oleh Soekarno-Hatta.

Sesudah penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kebinet Republik

Indonesia Serikat (RIS) pada 20 Desember 1949, maka menteri agama K.H.A

Wahid Hasyim, dari kabinet RIS meletakan beberapa dasar dalam program

politik dari kementerian agama RIS. Diantaranya meletakan corak politik

keagamaan dari dasar-dasar kolonial menjadi dasar-dasar nasional dan

membimbing tumbuh dan berkembangnya faham Ketuhanan Yang Maha Esa

di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, ke dalam lingkungan pekerjaan

kementerian tersebut dimasukkan segala usaha dan tanggung jawab pada

bagian ibadah, kementerian kebuadayaan, pengajaran dan pendidikan.

Kemudian segala pekerjaan usaha dan tanggung jawab yang dikerjakan oleh

salah satu bagian dan kabinet HVK yang merupakan kelanjutan dari Kantoor

van den Adviseur voor Inlandsche en Islamistische Zaken sebelum Perang

Dunia II, dan pada akhirnya disebutkan dalam rencana usaha akan

“menyesuaikan peraturan-peraturan dan penyeenggaraan peralatan-peralatan

urusan ibadah haji dengan derajat umat yang merdeka dan bernegara

nasional”. Ini adalah program politik Kementerian Agama RIS tanggal 16

Januari 1950. Maka sejak saat itu segala urusan haji dipegang oleh

Kementerian Agama. Dalam bagian ini terdapat suatu bagian yang khusus

menyelenggarakan urusan haji.

Salah satu jasa K.H.Wahid Hasyim selama ia menjadi menteri agama

ialah menerima pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)

Page 49: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

39

dalam Kementerian Agama. Pada tahun 1950 dengan keluarnya peraturan

pemerintah No. 34/1950 tanggal 14 Agustus 1950 dimulai langkah pertama

yang menuju kea rah melaksanakan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri.

Suatu perguruan tinggi yang bertujuan member pengajaran tinggi dan sebagai

salah satu pusat untuk memperkembangkan ilmu pengetahuan tentang agama

Islam. Atas putusan kabinet dibentuklah suatu panitia bernama Panitia

Perguruan Tinggi Agama, kemudian diganti menjadi Panitia Perguruan Tinggi

Islam yang diketuai oleh K.H Fathurrahman Kafrawi bekas menteri agama

RI33

.

Pada langkah pertama dengan dibukanya Perguruan Tinggi Agama

Islam Negeri pada tanggal 26 September 1951 itu sudah resmi dibuka dan

K.H. Wahid Hasyim selaku menteri agama menyampaikan pidatonya untuk

pertama kalinya di PTAIN ini.

D. K.H Wahid Hasyim dalam pandangan Gus Dur dan Gus Solah tentang

Negara

Satu ayah, satu ibu, satu guru, namun berbeda. Itulah DR K.H

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur dan Dr. Ir. H.

Salahuddin Wahid atau yang sering dipanggil Gus Solah. Mereka adalah putra

dari K.H Wahid Hasyim. Keduanya putra K.H Wahid Hasyim ini memiliki

penilaian yang berbeda tentang pandangan politik keislaman sang ayah.

Terutama terkait hubungan agama dan Negara.

Dalam pandangan Gus Dur terhadap sang ayah tentang kenegaraan,

K.H Wahid Hasyim selalu ingin memberikan supremasi hukum Islam untuk

disandarkan pada Pancasila. Baginya, Syari’ah itu pada umunya lebih tinggi

dari pada Pancasila. Dalam hal ini K.H Wahid Hasyim bukan tidak menerima

33 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 739

Page 50: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

40

Pancasila, akan tetapi ia lebih menganggap Syari’ah lebih tinggi dari pada

Pancasila buatan manusia.

Dalam hal ini Gus Dur berbeda pandangan dengan ayahnya. Bagi Gus

Dur, tugas Agama dan Negara itu berbeda. Agama dan Negara memiliki

fungsi dan tugasnya masing-masing bertanggung jawab terhadap umatnya.

Jadi, Negara dengan Pancasila-nya, dan Agama dengan Islam Ahlusunnah wal

Jama’ah-nya, terdapat pemisahan fungsi dan struktur, meskipun keduanya

suatu ketika akan bertemu dalam suatu peristiwa. Ada pemisahan tempat, ada

yang urusan antar kita, ada yang urusan kita bersama dengan Negara. Menurut

Gus Dur, sampai saat ini saudara-saudara kita yang beragama Kristen dan

Protestan masih mengalami kesulitan besar. sebab, mereka masih sulit

mendudukan antara keimanan dan ideologi. Karena dalam agama mereka

tidak terdapat kamus ideologi dan tidak punya kamus keimanan yang

diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di luar Negara.34

Padahal menurut kamus Nahdlatul Ulama, kalau kita setia kepada

Islam, kita harus setia kepada Negara. Sebab, Negara adalah bagian dari

kegiatan masyarakat dibuat bersama dengan orang lain. Aqidah adalah yang

milik kita sendiri. Ada beda tapi tetap dalam satu kaitan. Karena

penjelasannya yang liberal tersebut, Gus Dur mendapat serangan dari tokoh-

tokoh Islam garis keras, termasuk Solahuddin Wahid, adik kandungnya

sendiri. Gus Dur dianggap tidak memberi legitimasi atas upaya mendirikan

Negara Islam di Indonesia. Sebaliknya, ia memberi legitimasi teologis

terhadap pemerintah, bahwa urusan duniawi diurus oleh Negara dan urusan

akhirat diurus oleh agama.

Bagi Gus Solah, pandangan ini memisahkan antara agama dan Negara.

Agama mengurusi akhirat dan Negara mengurusi dunia. Bagi Gus Solah,

argumen diterimanya Pancasila sebagai ideologi Negara bukan karena

34 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis, ( Yogyakarta :

LKiS Yogyakarta, 2010), h. 186

Page 51: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

41

pandangan sekuleristik, melainkan justru melihat bahwa di dalam Pancasila,

terutama sila pertama, dianggap telah mengakomodasikan konsep Ke-Esaan

Tuhan dalam konteks Tauhid Islamiyah. Jadi Pancasila telah dijiwai oleh

Islam.35

Artikel Gus Dur yang menulis tentang Soewarno, seorang yang pernah

menjadi ajudan Panglima besar Jendral Soedirman. Soewarno menceritakan

bahwa ia berkali-kali menjaga Panglima Besar Soedirman di saat beliau

bertemu dengan pemuda A.Wahid Hasyim dan pimpinan Masyumi Dr

Soekiman Wirjosandjojo di Kauman Yogyakarta. Menurut Soewarno ketika

mereka bertemu dan berbicara tentang masalah kenegaraan, bahwasannya

sikap K.H A.Wahid Hasyim yang menjelaskan bahwa perlunya hukum Islam

disandarkan pada Pancasila yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.36

Gus Dur juga mengulas ketika Mbah Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama,

beliau membuat kebijakan yang memperoleh perempuan mendaftar pada

Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN). Gus Dur pun meyakini

bahwa pandangan politik Mbah Wahid Hasyim merupakan pandangan politik

sekuler. Alasan Gus Dur adalah sebagaimana syariah telah menetapkan empat

syarat bagi kedudukan hakim Islam, termasuk seorang wanita yang tidak

boleh menjadi hakim agama. Jika Mbah Wahid Hasyim menjadikan syariat

sebagai landasan hukum positif Negara, seharusnya perempuan tidak boleh

belajar di SGHAN sebab lulusan dari sekolah itu kelak akan menjadi guru

hakim atau hakim agama.

Gus Solah yang menulis K.H A.Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam

pada 17 Oktober 1998. Tulisan Gus Solah meragukan cerita Gus Dur

mengenai pendapat Soewarno terhadap sang ayah. Gus Solah mengenal

Soewarno dan sering bercakap. Namun, menurut Gus Solah belum pernah

35 Lihat Solahuddin Wahid, “Pancasila, Jalan Tengah Kita” Dalam Media

Indonesia 4 September 1998

36

Lihat Abdurrahman Wahid, A.Wahid Hasyim, NU dan Islam, 8 Oktober1998

Page 52: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

42

mendengar Soewarno melontarkan cerita sebagaimana ditulis Gus Dur. Bisa

jadi Soewarno belum menangkap dan memahami sikap K.H Wahid Hasyim.

Gus Solah juga menilai kekentalan keimanan sang ayah tidak dapat diragukan.

Memang K.H Wahid Hasyim dan pemimpin Islam lain bersedia

menghilangkan tujuh kata pada Piagam Jakarta hingga terangkum dalam sila

“Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah simbol keteguhan tauhid dalam

kehidupan berbangsan dan bernegara. Artinya Negara tidak boleh sekuler.

Gus Solah juga mengingatkan keberpihakan Mbah Wahid Hasyim pada

sidang Konstituante bersama Masyumi memperjuangkan syariat Islam sebagai

jiwa Pancasila dan hukum-hukum positif di Indonesia.37

Dialektika tersebut terus berlanjut, tulisan-tulisan yang secara ide

sangat jelas terlihat jurang perbedaannya, namun tetap santun dan sesuai

dengan kaidah-kaidah diskusi dalam Islam yakni bil hikmah, mauidzatil

hasanah, dan mujadalah bil ahsan. Gus Solah sebagai adik sangat santun

dalam berbahasa kepada kakaknya. Sebaliknya, Gus Dur juga tidak anti kritik,

dengan terus berdialektika dalam posisi yang demokratis dan setara pada

mimbar yang dapat dipertanggung jawabkan. Baik Gus Dur dan Gus Solah,

dibalik pertentangan pendapatnya tentang nilai-nilai macam apa yang menjadi

ruh Pancasila, tetaplah dua tokoh yang memposisikan Negara sebagai prioritas

utama yang harus dijaga, sehingga polemik yang ada merupakan pertarungan

intelektual terhormat yang tetap menjaga kepentingan Jam’iyat dan seluruh

bangsa.

37 Lihat K.H A.Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam pada 17 Oktober 1998

Page 53: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

43

BAB III

SEJARAH PANCASILA SERTA PERDEBATAN DI DALAM PIAGAM

JAKARTA DAN KONSTITUANTE

A. Sejarah Pancasila

Dalam historiografi Indonesia, Pancasila secara etimologis berasal dari

bahasa Sansekerta dari India. Ngudi Astuti mengutip Muh. Yamin

menyebutkan bahwa perkataan Pancasila dalam bahasa Sansekerta memliki

dua macam arti, yaitu dari kata “Panca” artinya lima dan “Syila” artinya batu

sendi, alas atau dasar, sehingga jika digabungkan berarti berbatu sendi lima

atau berdasar yang lima, atau dari kata “Panca” yang berarti lima dan “Syila”

yang berarti peraturan tingkah laku yang baik, atau yang penting, sehingga

jika digabungkan berarti lima peraturan tingkah laku yang baik, atau yang

penting.1 Perkataan Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama karya

empu Prapanca, seorang penulis dan penyair istana, sebagai sebuah catatan

sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478M).2 Istilah Pancasila

juga diperkenalkan oleh Empu Tantular dalam bukunya yang berjudul

Sutasoma.3

Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular Pancasila mempunyai

arti berbatu sendi yang ke lima (dari bahasa Sansekerta) dan juga mempunyai

arti pelaksanaan kesusilaan yang lima, yaitu:4

1 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah: Konsep Teori dan Analisis

Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia, (Jakarta : Media Bangsa, 2012),h. 32-33

2 M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam,

(Yogyakarta: Surya Raya, 2004),h. 9

3 Subandi Al-Marsudi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2003), h. 2

Page 54: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

44

1. Tidak boleh melaksanakan kekerasan

2. Tidak boleh mencuri

3. Tidak boleh berjiwa dengki

4. Tidak boleh berbohong

5. Tidak boleh mabuk minuman keras.

Istilah Pancasila di India merupakan lima prinsip moral yang ditaati

dan dilaksanakan oleh penganut agama Budha yang berupa lima macam

larangan atau pantangan, yaitu larangan membunuh, larangan mencuri,

larangan berzina, larangan berdusta, dan larangan minum-minuman keras.

Agama Budha setelah masuk ke Indonesia maka istilah Pancasila ini

berpengaruh pula khususnya dalam masyarakat Jawa yang dikenal dengan

“ma-lima”, yaitu macam larangan yang huruf depannya dimulai dengan huruf

“ma”, yakni mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (berzina), mabuk

(minum-minuman keras atau candu), main (berjudi).5

Berbagai penjelasan mengenai Pancasila diatas dapat disimpulkan

bahwa Pancasila secara etimologis mengandung arti lima dasar peraturan,

dimana peraturan tersebut menjadi suatu acuan pokok bagi kehidupan, suatu

acuan pokok bagi penilaian terhadap sikap maupun tingkah laku seseorang.

Pancasila secara terminologis ialah sebagaimana terdapat dalam

Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea yang didalamnya

tercantum rumusan Pancasila yang terdiri dari Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan

Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.6 Pancasila secara terminologis

4 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis,

dan Yuridis-Konstitusional, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988),h. 15

5 A.M Effendy, Faslsafah Negara Pancasila, (Semarang: BP Walisongo Press,

1995), h.3

6 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, h. 34-35

Page 55: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

45

menurut Asmoro Achmadi ialah lima sila atau aturan yang menjadi ideologi

bangsa dan Negara, pedoman bermasyarakat, dan pandangan hidup bangsa

dan Negara Indonesia, yang berarti bahwa Pancasila merupakan jiwa seluruh

rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia,

dan memberikan bimbingan dalam kesejahteraan hidup baik lahir maupun

batin.7 Berbagai pengertian yang didapat diketahui Pancasila merupakan dasar

Negara Indonesia yang berisi mengenai aturan atau anjuran-anjuran mengenai

sikap dan perilaku terpuji, yang merupakan moralitas yang telah disepakati

bersama dalam menjalankan hidup, yang menjadi acuan dalam hidup

berbangsa dan bernegara.

Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai dan norma-norma

yang oleh bangsa Indonesia diyakini paling benar. Pancasila sebagai dasar

Negara merupakan Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat

Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia).8 Pancasila sebagai dasar filsafat Negara mempunyai arti yang

abstrak, umum, universal dan tetap tidak berubah sehingga memungkinkan

Pancasila dalam isi dan artinya adalah sama dan mutlak bagi seluruh bangsa,

diseluruh tumpah darah, dam diseluruh waktu sebagai cita-cita bangsa dalam

Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.9

Adapun Pancasila yang dikenal sebagai Dasar Negara Republik

Indonesia saat ini, diperkenalkan oleh Ir. Soekarno pada sidang pertama

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada

tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan agar dasar Negara Indonesia

diberi nama Pancasila (atas petunjuk Muh. Yamin), maka tanggal 1 Juni 1945,

7 Asmoro Achmadi, Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan,

(Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), h. 10

8 Mengenai Pancasila sebagai idelogi, sebagai dasar Negara, dan lain-lainnya lebih

lanjut lihat, Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, h.52,32

9 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h.33

Page 56: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

46

seperti yang dijelaskan dalam buku “Santiaji Pancasila” (1988), disebut

sebagai hari lahir ïstilah Pancasila”untuk digunakan sebagai nama dasar

Negara Indonesia. Dasar Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan

Pancasila, diterima dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan

Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945. Nama Pancasila

sebenarnya tidak terdapat baik dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam

batang tubuh UUD 1945,10

namun didalam Pembukaan UUD 1945 alinea

keempat tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusian yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Istilah Pancasila secara resmi tidak tercantum dalam Pembukaan

UUD1945, namun lima dasar Negara yang tertulis dalam bagian terakhir dari

alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebut dengan Pancasila, meskipun

urutan sila dan isinya agak berbeda dengan yang diusulkan oleh Ir. Soekarno.

Sejarah perumusan Pancasila diawali dari terbentuknya BPUPKI yang

dibentuk oleh penjajahan Jepang. Pembentukan BPUPKI ialah terkait janji

penjajah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Tindakan Jepang untuk dalam pembentukan BPUPKI ini untuk menarik

simpati bangsa Indonesia karena Jepang memerlukan bantuan dan dukungan

bangsa Indonesia untuk memenangkan peperangan Asia Timur Raya atau

10 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis,

dan Yuridis-Konstitusional, h. 15

Page 57: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

47

perang Pasifik, yaitu antara Jepang yang tergabung dalam front Jerman dan

Italia melawan Amerika dan sekutu.11

BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945 yang dibentuk oleh

Jepang. BPUPKI mengadakan sidang dua kali. Sidang pertama membahas

mengenai dasar Negara dan rancangan Undang-Undang Dasar dengan

dikemukakannya usul dan pendapat oleh beberapa anggota BPUPKI. Sidang

BPUPKI yang pertama menghasilkan beberapa konsep dan berbagai

pandangan yang du usulkan sehubungan dengan dasar Negara dan

kemerdekaan Negara Indonesia. Usulan pertama disampaikan oleh Muh.

Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 melalui pidato yang mengusulkan lima

dasar Negara dengan istilah dan urutan sebagai berikut:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Kesejahteraan Rakyat.

Muh. Yamin juga mengusulkan secara tertulis rancangan pembukaan

Undang-Undang Dasar yang didalamnya terdapat lima dasar Negara yang

istilah dan urutannya agak berbeda, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kebangsaan Persatuan Indonesia

3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.12

11 Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis

Konstitusional dan Segi Filosofis, (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983), h. 42

12

Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis

Konstitusional dan Segi Filosofis, h. 46

Page 58: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

48

Pada tanggal 30 Mei 1945 banyak golongan/tokoh-tokoh Islam yang

mengusulkan agar dasar Negara yang dipakai adalah dasar Islam, diantara

tokoh tersebut ialah K.H Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H.A.

Kahar Muzakir. Pada tanggal 31 Mei 1945 Supomo menyampaikan usulan

menganai dasar Negara antara lain:13

1. Dasar Persatuan dan Kekeluargaan

2. Dasar Ketuhanan

3. Dasar Kerakyatan/Permuyawaratan

4. Dasar Koperasi dalam Sistem Ekonomi

5. Mengenai hubungan antar bangsa, dianjurkan supaya Negara

Indonesia bersifat sebagai Negara Asia Timur Raya, sehingga

masih tampak ada keterkaitan dengan Jepang.

Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan dasar Negara

yang berjumlah lima, yaitu:

1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi atau permusyawaratan, perwakilan

4. Kesejahteraan sosial

5. Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Maha

Esa

Lima dasar Negara tersebut oleh Ir. Soekarno masih bias diperas lagi

menjadi tiga dasar dengan nama “Trisila” yaitu:

1. Socio-nationalisme, yang merupakan perasan dari kebangsaan

dan internasionalisme

2. Socio-demokrasi, yang merupakan perasan dari demokrasi dan

kesejahteraan sosial

3. Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

13 A.M. Effendy, Falsafah Negara Pancasila, (Semarang: Triadan Jaya Offset,

1995), h14

Page 59: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

49

Tiga dasar tersebut oleh Ir. Soekarno masih bias diperas lagi menjadi

satu saja yang disebut “Ekasila”, yaitu dasar “gotong royong”.14

B. Piagam Jakarta dan Majelis Konstituante

Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 1945, tepatnya 29 April 1945,

Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Wahid Hasyim terpilih menjadi

anggota BPUPKI. Badan itu diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman

Wedyadiningrat, dengan jumat anggota 60 orang kemudian ditambah lagi 6

orang sehingga total berjumlah 66 anggota. Rapat pertama BPUPKI digelar

28 Mei 1945, di gedung Chusang In, bekas gedung Volksraad di jalan

pejambon 6, Jakarta-kini Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI.

Rapat ini membahas dasar Negara. Ada tiga pengusul mengenai masalah

tersebut, yakni Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Dr Soepomo, dan Ir.

Soekarno.

Setelah sidang pertama berakhir, 38 orang anggota melanjutkan

pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas

Sembilan orang yang dipilih, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, A.A.

Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim,

Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. Karena

jumlahnya Sembilan orang, tim kecil tersebut sering juga disebut “Tim

Sembilan”. Salah satu tugas utama Tim Sembilan adalah membuat draft

rumusan undang-undang dasar, termasuk pembukaan.15

Setelah melalui pembicaraan yang serius, akhirnya panitia kecil ini

berhasil mancapai satu modus Vivendi antara para nasionalis Islami pada satu

pihak, dan para nasionalis sekuler pada lain pihak, karena Preambul itu

14 Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis

Konstitusional dan Segi Filosofis, h. 51

15

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta : Rajawali,

1986), h. 30

Page 60: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

50

ditandatangani oleh Sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia

terkenal sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter).

Dalam merumuskan pembukaan undang-undang dasar, Wahid Hasyim

merupakan salah satu tokoh kunci munculnya tujuh kata berbunyi, “dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, di belakang

kata, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.16

Bahkan di bagian draf lain Undang-

Undang Dasar 1945, Wahid Hasyim mengusulkan agar pasal 4 ayat 2, yang

mengatur mengenai presiden dan agama resmi Negara, berbunyi: “Yang dapat

menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang

beragama Islam”. Tidaklah mengherankan bahwa pembahasan banyak

terpusat pada kata-kata tersebut. sehari setelah itu, yakni pada 11 Juli 1945,

Latuharhary, seorang Protestan anggota badan penyelidik, menyatakan

keberatannya atas kata-kata tersebut, dia mengatakan “Akibatnya mungkin

besar, terutama terhadap agama lain”, katanya, “…kalimat ini bisa juga

menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat”.17

Haji Agus Salim, seorang pemimpin Islam terkenal dari kalangan

nasionalis Islami dengan spontan menjawab :

“Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru,

dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu orang-orang yang

beragama lain tidak perlu khawatir : keamanan orang-orang itu tidak

tergantung pada kekuasaan Negara, tetapi pada adatnya umat Islam

yang 90% itu”.

Beberapa orang yang lainnya menyampaikan pula keberatannya.

Wongsonegoro menyatakan pendapatnya, didukung oleh Hosein

Djajadiningrat, bahwa anak kalimat tersebut “mungkin menimbulkan

fanatisme karena seolah-olah memaksakan menjalankan syari’at bagi orang-

16 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 50-51

17

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 34

Page 61: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

51

orang Islam”. Kali ini K.H Wahid Hasyim tampil menjawab dan

mengingatkan mereka pada dasar permusyawaratan, katanya “paksaan-

paksaan ini tidak bisa terjadi, bila ada orang yang menganggap kalimat ini

tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam”.

Dua pasal dari rancangan pertama Undang-Undang Dasar yang

menjadi relevan dengan pokok pembicaraan ini ialah pasal 4 dan 29, diajukan

oleh ketua panitia kecil kepada sidang paripurna badan penyelidik pada

tanggal 13 Juli. Pasal 4 ayat 2 tentang presiden : “yang dapat menjadi presiden

dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli”. Kemudian pasal 29 tentang

agama : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”.

K.H Wahid Hasyim mengajukan dua usul. Pertama, pada pasal 4 ayat

2 tersebut ditambah dengan kata-kata : “yang beragama Islam”. “buat

masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan

masyarakat, dia menyampaikan alasan. “jika presiden orang Islam, maka

perintah-perintah berbau Islam dan akan besar pula pengaruhnya”. Kedua,

diusulkannya pula agar pasal 29 tentang agama diubah sehingga berbunyi :

“agama Negara ialah Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang

beragama lain”. Menurut pendapatnya, hal tersebut berhubungan erat dengan

pembelaan. “pada umunya pembelaan berdasarkan atas kepercayaan sangat

hebat”, katanya pula, “karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh

diserahkan buat ideologi Negara”.

Pihak dari kalangan nasionalis Islami yaitu Haji Agus Salim tidak

menyetujui usul dari sahabatnya itu, dia mengatakan :18

“Dengan ini kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam mentah

lagi : apakah hal ini tidak bisa diserahkan kepada badan

permusyawaratan rakyat? Jika presiden harus orang Islam, bagaimana

18 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 36

Page 62: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

52

halnya terhadap wakil presiden, duta-duta dan sebagainya. Apakah

artinya janji kita untuk melindungi agama lain?”.

K.H Wahid Hasyim menerima dukungan dari Sukiman, katanya,

“…disamping usul tersebut pada hakikatnya tidak membawa akibat apa-apa,

kata-kata yang diusulkan tersebut akan memuaskan rakyat”.

Dalam sidang badan penyelidik 14 Juli 1945, Soekarno, sebagai ketua

panitia konstitusi melaporkan kepada sidang paripurna tiga rancangan :

deklarasi kemerdekaan, preambule (mukadimah) Undang-Undang Dasar, dan

batang tubuh Undang-Undang Dasar yang terdiri dari 42 pasal. Berbicara

tentang mukaddimah, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah

tidak menyatujui rumusan “Negara ……berdasarkan Ketuhanan, dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sejalan

dengan saran Kiai Ahmad Sanusi, dia mengusulkan agar kata-kata tersebut

dihilangkan saja. Soekarno mengingatkan sidang, “bahwa anak kalimat

tersebut adalah hasil kompromi antara dua pihak, dan bahwa setiap kompromi

didasarkan atas memberi dan mengambil”.

Seorang peimipin Islam yang juga salah seorang penandatangan

Piagam Jakarta, sekali lagi menunjukan bahwa yang dimuat Piagam tersebut

adalah sebuah kompromi antara golongan Islami dan golongan Kebangsaan.

Dia mengatakan:19

“kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya…….dari golongan Islam

harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana

harapan tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah menjalankan kompromi,

sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh paduka tuan

ketua panitia sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan

mendapat. Untuk mengadakan persatuan, janganlah terlihat perbedaan

paham tentang soal ini dari statmen. Itulah tanda yang tidak baik buat

19 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 39

Page 63: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

53

dunia luar. Kita harapkan sungguh-sungguh, kita mendesak kepada

setiap golongan yang ada dalam badan ini, sudahilah kiranya kita

mengadakan suatu perdamaian. Janganlah sampai Nampak kepada

dunia luar, bahwa dalam hal ini ada perselisihan paham”.

Sidang selanjutnya beralih pada apakah presiden harus seorang

muslim atau tidak. Pratalykrama mengusulkan, “kepala Negara atau Presiden

Republik Indonesia hendaknya orang Indonesia yang asli, berumur sedikit-

dikitnya 40 tahun dan beragama Islam”. mengenai masalah tersebut Supomo

mengingatkan dia pada Piagam Jakarta; usul tersebut menurut pendapatnya

tidak menghormati Piagam ini. Dengan demikian, katanya pula, “anak kalimat

tambahan mengenai hal itu dalam Undang-Undang Dasar tidak perlu”.

Akan tetapi usul Pratalykrama mendapat dukungan K.H Masjkur,

katanya, “kalau di dalam Republik Indonesia ini ada kewajiban menjalankan

syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya maka presiden haruslah seorang

Muslim; karena presiden yang bukan Muslim tidak akan menjalankan hukum

dengan saksama dan tidak bakal diterima oleh golongan Islam”.

Soekarno tampil dan menyatrakan bahwa dia memahami betul apa

yang telah di sampaikan K.H Masjkur, katanya:20

“….kami anggota-anggota panitia berkepercayaan penuh kepada

kebijaksanaan rakyat Indonesia. Kami berkepercayaan bahwa yang

akan dipilih oleh rakyat Indonesia ialah orang yang akan bisa

menjalankan ayat 1 dalam pasal 28. Kalau tuan Haji Masjkur

menanyakan hal itu kepada saya secara person Soekarno, saya

seyakin-yakinnya, bahwa presiden tentu orang Islam,….oleh karena

saya melihat dan mengetahui bahwa sebagian besar dari penduduk

bangsa Indonesia iala beragama Islam.

20 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 43

Page 64: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

54

Kahar Muzakkir, yang merasa kecewa mengetahui usul golongan

Islam tidak diindahkan oleh Soekarno, sambil memukul meja, dia berkata:

“supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka smpai kepada pasal di

dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut atau agama Islam

atauapa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu”.

Radjiman, ketua badan penyelidik, menyarankan agar sidang

mengadakan pemungutan suara untuk menentukan yang mana yang akan

diterima : panitiakah, ataukah usul Pratalykrama yang didukung oleh Masjkur.

Saran Radjiman disetujui oleh Soekarno, akan tetapi ditentang oleh Kiai

Sanusi yang berkata bahwa masalah agama tidak dapat begitu saja ditentukan

oleh suara terbanyak. Dia meminta agar sidang menerima salah satu dari dua

usul : usul Kiai Masjkur atau usul Muzakkir. Soekarno, sebagai ketua panitia,

menjawab : “Tuan ketua, kami panitia tidak mufakat dengan usul tuan

Muzakkir itu, terimakasih”. Ketika ketua umum bertanya kepada Muzakkir

mengenai pernyataan Soekarno, Muzakkir menjawab bahwa dia tetap pada

pendiriannya agar usulnya dipertimbangkan.

Kemudian Hadikusumo tampil mendukung Muzakkir, katanya:

“Saya berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak. Tuan-

tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan disini, bahwa Islam

itu mengandung idelogi Negara. Maka tidak bisa dipisahkan dari

Islam. jadi saya menyetujui usul tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi;

kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata Negara

ini tidak berdiri di atas agama Islam dan Negara akan netral”.21

Perdebatan panjang mengenai esensi “Ketuhanan” antara Nasionalis

Islami dan Nasionalis Sekuler yang memakan waktu, tenaga, dan pikiran bagi

para anggota badan penyelidik ini yang pada akhirnya rapat tersebut ditutup.

Ketidaktentuan dan kegelisahan yang telah ditimbulkan oleh sidang pada hari

21 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 44

Page 65: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

55

itu tercermin dengan jelas dalam pembicaraan Soekarno ketika membuka

kembali sidang pada pagi berikutnya, tanggal 16 Juli. Dia berkata bahwa dia

yakin banyak anggota badan penyelidik yang malamnya tidak dapat tidur, tapi

kemudian Soekarno menghimbau segenap anggota, terutama dalam hal

kepada pihak Kebangsaan untuk berkorban, dia mengatakan :

“Saya berkata, adalah sifat kebesaran di dalam pengorban ……yang

saya usulkan, ialah : bahwa di dalam Undang-Undang Dasar dituliskan

bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli

yang beragama Islam. Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak

kebangsaan ini berarti suatu…….pengorbanan mengenai keyakinan.

Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita yang hadir di rapat

ini, dikatakan 100% yakin bahwa karena penduduk Indonesia, rakyat

Indonesia terdiri daripada 90% atau 95% orang-orang yang beragama

Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden

Indoneisa tentulah yang beragama Islam”.

Kemudian Soekarno menyambung bahwa dia menyadari bahwa hal

ini merupakan pengorbanan yang besar terutama bagi patriot seperti

Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam.22

Setelah jelas bahwa sudah tidak ada lagi keberatan di dalam sidang.

Ketua BPUPKI yaitu Dr. K.R.T Radjiman Wedyadiningrat meresmikan dan

mengumumkan rancangan Undang-Undang Dasar ini dapat diterima dengan

sebulat-bulatnya. Piagam Jakarta, yang dirancang dan dirumuskan serta

dipertahankan oleh Panitia Sembilan ini merupakan hasil akhir perjuangan

yang panjang untuk kemerdekaan dan dalam waktu yang sama merupakan

titik tolak pembangunan dan perkembangan masa mendatang.

Pada tanggal 7 Agustus 1945 berdiri Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan

22 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 46

Page 66: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

56

Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Dalam rapat pertama panitia persiapan

ini direncanakan agenda pada jam 09.30, akan tetapi ternyata belum juga

dimulai sampai jam 11.30. Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut itu

ternyata suatu yang teramat penting bagi sejarah Indonesia umumnya, dan

bagi sejarah konstitusi khususnya.23

Dalam pidato pembukaan pada rapat PPKI Soekarno menekankan arti

historik saat ini, dan mendesak agar panitia persiapan bertindak dengan cepat

dan mengingatkan para anggota agar tidak bertele-tele dalam masalah detail,

tetapi memusatkan perhatian mereka pada garis besarnya saja. Kemudian

Mohammad Hatta dipersilahkan untuk berpidato, dalam pidatonya Hatta

menyampaikan empat usul perubahan:

1) Kata “Mukaddimah”24

diganti dengan kata “Pembukaan”

2) Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat :

“Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah

menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”

3) Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan

beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam dicoret”

4) Sejalan dengan perubahan yang kedua diatas, maka pasal 29

ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang

Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-

Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya”.

Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta

menyatakan keyakinannya bahwa perubahan yang maha penting menyatukan

bangsa, kemudian Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar

23 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 50

24

Mukaddimah berasal dari bahasa Arab Muqaddimah yang artinya sama dengan

Pembukaan

Page 67: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

57

yang dibuat ini Undang-Undang Dasar sementara nanti kalau kita telah

bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan

mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat

undang-undang yang lebih lengkap dan sempurna.

Empat usul perubahan yang disampaikan Mohammad Hatta dalam

rapat pertama PPKI menimbulkan suatu pertanyaan sejarah. Bahwa pada

petang hari 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut

Jepang) mendatangi Hatta dan mengatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan

Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan terhadapat kalimat pada

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Walaupun mereka

mengakui, dan hanya mengikat kepada rayat yang beragama Islam, namun

mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan

minoritas. Hatta menjelaskan kepada opsir tersebut bahwa hal tersebut

bukanlah diskriminasi, karena penerapan tersebut hanya mengikat kepada

rakyat yang beragama Islam. 25

Ketika pembukaan UUD dirumuskan, Mr Maramis seorang Kristen

yang menjadi salah satu anggota panitia Sembilan tidak berkeberatan apa-apa,

bahkan pada tanggal 22 Juni 1945 turut membubuhkan tanda-tangannya.

Opsir tersebut menjawab, bahwa pada waktu itu mungkin Mr Maramis tidak

merasakan bahwa penetapan tersebut suatu diskriminasi. Kalau pembukaan

diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik suka berdiri

diluar Republik. Hatta pun teringat pada semboyan yang selama ini

didengung-dengungkan “bersatu kita teguh berpecah kita jatuh”. Hatta pun

menjanjikan kepada opsir tersebut, bahwa esok harinya dia akan

menyampaikan masalah yang sangat penting itu dalam sidang Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

25 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 55

Page 68: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

58

Begitu seriusnya dalam masalah ini, Hatta pun esok paginya tanggal

18 Agustus 1845 mengajak Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wahid Hasyim, Mr

Kasman Singodimedjo dan Mr Teuku Hasan dari Sumatra untuk mengadakan

suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya Indonesia

tidak terpecah sebagai bangsa, mereka akhirnya mufakat untuk

menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan

menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa".

Beberapa hal dalam keterangan Hatta ini layak mendapat perhatian

dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini. konsensus nasional yang sudah

dicapai dengan susah payah dalam badan penyelidik melalui diskusi dan

perdebatan sengit itu, dicairkan oleh usul orang asing, seorang Kaigun Jepang,

dan dari keterangan Hatta jelas dapat mengetahui bahwa keberatan opsir

Kaigun Jepang yang datang mengatas namakan orang-orang Katolik dan

Protestan di Indonesia bagian Timur itu ialah terhadap “klausula Islami”

dalam pembukaan, dan sama sekali tidak menyinggung batang tubuh Undang-

Undang Dasar. Namun kenyataannya, yang telah dicoret oleh panitia

persiapan itu bukan hanya “anak kalimat Islami” yang terdapat dalam

pembukaan saja, melainkan juga seluruh “kalimat-kalimat Islami” yang

tercantum dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar dan alasan Hatta

mencoret “klausula Islami” dari pembukaan Undang-Undang Dasar supaya

tidak menusuk hati kaum Kristen dan supaya untuk menjaga agar bangsa

Indonesia tidak terpecah belah.

Hampir seluruh rumusan dan usulan yang dibuat Wahid Hasyim

menyangkut Islam jatuh berguguran. Ada satu hal yang menjadi sorotan,

yakni pemikiran Wahid Hasyim yang pada akhirnya menyetujui bahkan turut

menegosiasikan konsep Negara kesatuan dengan perwakilan kaum Islamis

lainnya setelah sebelumnya terjadi perdebatan sengit antara anggota sidang

BPUPKI. Sebagaimana yang dinyatakan Mohammad Hatta bahwa tujuh kata

tersebut adalah buah pemikiran Wahid Hasyim. Hal ini sekaligus

Page 69: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

59

mengindikasi bahwa Wahid Hasyim semula ingin mewujudkan Islam sebagai

dasar Negara. Namun pada akhirnya ada sebuah perubahan frame berpikir

yang dilakukan oleh Wahid Hasyim. Ditengah situasi yang genting serta

mendesak, dalam rangka pembentukan sebuah wadah persatuan dan kesatuan,

para tokoh Islam Khususnya Wahid Hasyim melahirkan sebuah Ijtihad

Kebangsaan dengan menerima bentuk Negara kesatuan serta idelogi Pancasila

tanpa tujuh kata pada butir pertama.

Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah konstitusi Republik

Indonesia serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi politik

yang ditentukan di dalam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus

1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang nanti akan melahirkan Proklamasi dan

Konstitusi.26

Pada tanggal 10 November 1956 Soekarno melantik Konstituante,

karena menekankan pentingnya sebuah konstitusi disusun oleh badan yang

sah yang terdiri atas wakil-wakil rakyat. Konstituante dipimpin oleh ketua

dengan lima wakil ketua. Mereka dipilih dari anggota Konstituante dalam

rapat terbuka yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari

jumlah anggota Konstituante dan disahkan oleh presiden. Wilopo (PNI)

dipilih sebagai ketua; Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman

Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI), dan Hidajat Ratu

Aminah (IPKI).27

Pada sidang-sidang tahun 1956, ketua dan wakil ketua dipilih menurut

prosedur yang disetujui sesudah perdebatan yang panjang lebar. Setelah itu,

dimulai dengan diskusi Peraturan Tata Tertib yang mencakup organisasi

Konstituante dan cara-cara kerja. Peraturan Tata Tertib ditetapkan dalam

26 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 210

27

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,

(Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 38

Page 70: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

60

sidang pada semester pertama tahun 1957. Selama perdebatan tentang

Peraturan Tata Tertib itu, partai-partai nasionalis radikal mengajukan

pendapat yang secara prinsipil bertentangan dengan pendapat mayoritas

perihal wewenang Konstituante dan fungsi Konstitusi yang kalau dilihat dari

perkembangannya dapat dianggap sebagai indikasi campur tangan pemerintah

yang dilakukan pada tahun 1959. Karenannya wewenang Konstituante dalam

merancang Konstitusi seharusnya tidak bersumber pada UUD 1950,

melainkan pada UUD 1945.

Pada sidang kedua tahun 1957, dua pokok yang sangat penting untuk

diperdebatkan yaitu Dasar Negara dan hak asasi manusia. Selama berbulan-

bulan terakhir tahun 1957, tiga usul yang berkaitan dengan Dasar Negara

yaitu: Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi yang diajukan dan diperjuangkan

oleh pendukungnya secara gigih. Perdebatan tersebut bersifat ideologis,

mutlak-mutlakan dan antagonistik. Akibatnya, pada tanggal 6 Desember

sidang pleno Persiapan Konstitusi ditugaskan untuk mempersiapkan rumusan

yang akan memungkinkan tercapainya kompromi.

Pada sidang tahun 1958, pokok-pokok pembicaraan yang paling

penting ialah hak-hak asasi manusia, penyempurnaan prosedur dan asas-asas

dasar kebijakan Negara. Berbeda dengan sifat perdebatan mengenai dasar

Negara yang cenderung mengarah pada perpecahan, perdebatan tentang hak

asasi manusia lebih mengarah kepada hal yang mempersatukan. Pada tanggal

9 dan 11 September 1958 Konstituante menerima 19 pasal mengenai hak asasi

manusia untuk dimasukan kedalam undang-undang dasar dan diteruskan

kepada panitia persiapan Konstitusi agar dapat dirumuskan dalam pasal-pasal.

Pada tahun ini juga Konstituante juga berhasil memasukan bentuk

pemerintahan, yakni bentuk republik, serta pasal-pasal tentang bahasa resmi,

bendera nasional, lagu kebangsaan, mengenai lambang Negara, pejabat

Negara dan keuangan Negara. Prinsip-prinsip tersebut berhasil diputuskan dan

Page 71: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

61

kemudian diteruskan kepada Panitia Persiapan Konstitusi untuk dirumuskan

menjadi pasal-pasal dalam undang-undang dasar.

Dengan begitu ketua Konstituante senang dan mengungkapkan

optimismenya ketika menutup sidang pada tanggal 11 September 1958,

dengan menyatakan bahwa sesudah bekerja keras, Konstituante telah berhasil

mengambil banyak keputusan. Konstituante telah melakukan panen keputusan

dan ia gembira Karena panen itu merupakan hasil dari benih-benih tanaman

Konstituante sendiri.

Sementara itu, di luar Konstituante sedang diperjuangkan sebuah

konsep Negara yang sangat berbeda dengan konsep Negara yang digariskan

dalam UUD 1950 dan juga berbeda dengan paham Negara konstitusional yang

dibayangkan oleh Konstituante. Sesudah itu Soekarno menyampaikan usul

pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 kepada Konstituante dengan

mengadakan perubahan pada acara yang sudah diputuskan berlaku untuk

sidang umum tahun 1959. Soekarno mengemukakan argumentasinya bahwa

pemberlakuan kembali UUD 1945 diperlukan karena (1) keadaan nasional

yang kritis; (2) makna simbolid UUD 1945 sesuai dengan kepribadian

nasional; (3) perlunya pemerintahan yang kuat.28

UUD 1945 dapat menjamin

pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang sudah diperjuangkannya tanpa hasil

jejak tahun 1957 karena dihalangi oleh konstitusi yang liberal.

Dalam jalan berfikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya telah

berkumpul ke dalam tangan atau total ke dalam satu tangan, bernamalah dia

“totaliter”. Tetapi karena nama totaliter tidak popular, ditukarlah namanya jadi

Demokrasi Terpimpin.29

Perdana Menteri Djuanda menyampaikan jawaban

pemerintah yang menawarkan beberapa konsesi, tetapi sekaligus menjelaskan

seterang-terangnya bahwa pemerintah telah merebut wewenang Konstituante

28 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, h.46

29

Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945,h. 106

Page 72: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

62

untuk menyusun rancangan undang-undang dasar, dengan menyatakan bahwa

pemerintah bertanggung jawab untuk cepat proses penyusunan dan sekaligus

bertanggung jawab atas isi undang-undang dasar baru itu.

Kemudian Djuanda menegaskan kembali bahwasannya UUD 1945

memang sesuai dengan kerpibadian Indonesia dan Proklamasi 1945.

Kembalinya ke UUD 1945 dimaksudkan untuk meningkatkan pelaksanaan

kebijakan pemerintah, yaitu Demokrasi Terpimpin yang sesuai dengan

kepribadian Indonesia. Ia menekankan juga bahwa pemerintah ingin supaya

pemberlakuan kembali UUD 1945 itu dilakukan melalui cara-cara

konstitusional. Dalam balasannya sesudah iu, Konstituante menolak

pembedaan yang dibuat oleh pemerintah antara keputusan mengenai hak-hak

asasi manusia dengan keputusan wilayah dan lain sebagainya, dan partai-

partai merumuskan sejumlah amandemen terhadap usul pemerintah untuk

kembali ke UUD 1945 agar dapat ditambahkan dalam Piagam Bandung. Di

antara amandemen terhadap usul pemerintah terdapat usul dari pihak partai-

partai Islam, yakni untuk memasukan kembali kata-kata yang berkenaan

dengan agama Islam, yang dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, ke dalam

pembukaan. Setelah perdebatan sengit, masalah amandemen ini terlebih

dahulu diserahkan pada prosedur pemungutan suara sesuai dengan Peraturan

Tata Tertib Konstituante pada tanggal 29 Mei 1959 dan ditolak oleh sidang

pleno.

Pada hari berikutnya-30 Mei, 1 dan 2 Juni- usul kembali ke UUD 1945

tiga kali diajukan untuk diputuskan melalui pemungutan suara dan ketiga-

tiganya ditolak oleh Konstituante, dan dengan sendirinya pemungutan suara

tentang amandemen lain-lain tidak diadakan lagi. Pada tanggal 2 Juni

Konstituante reses. Sidang ini ternyata menjadi sidang yang terakhir.

Perdebatan bebas tentang soal-soal politik dan pemerintahan, yang

berlangsung dalam rangka usaha menyusun undang-undang dasar yang

defenitif, diakhiri dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juni 1959.

Page 73: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

63

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit untuk

memberlakukan kembali UUD 1945, sehingga dasar Negara yang dipakai

sejak tanggal 5 Juli 1959 ialah tetap Pancasila dengan rumusan sebagaimana

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal

18 Agustus 1945. Ketetapan mengenai urutan dan rumusan Pancasila yang

benar terdapat dalam Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1968/ tanggal 13 April

1968 yang menyebutkan bahwa sila-sila dalam Pancasila urutan dan

rumusannya ialah sebagai berikut:30

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Demikian urutan dan rumusan Pancasila yang benar yang berlaku

kembali sejak tanggal 5 Juni 1959 sampai sekarang.

C. Nilai Kandungan Pancasila

Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia juga berkedudukan sebagai

ideologi bangsa Indonesia, sebagaimana tertera dalam ketetapan MPR No.

XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Keteapan MPR RI No. II/MPR/1978

tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila dan penetapan

tentang penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pasal 1 ketetapan tersebut

menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan

bernegara. Adapun makna Pancasila sebagai ideologi nasional menurut

30 A.M. Effendy, Falsafah Negara Pancasila, h. 35-36

Page 74: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

64

ketetapan tersebut adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

menjadi cita-cita nirmatif penyelenggaraan Negara.31

Pancasila dalam sila-silanya tidaklah berdiri sendiri melainkan dalam

tiap sila mengandung sila yang lain. Notonagoro menjelaskan bahwa

Pancasila didalamnya terdapat sifat persatuan dan kesatuan dari sila-silanya

dalam arti sila sebelumnya menjadi dasar dari sila berikutnya, dan sila yang

berikutnya merupakan pengkhususan atau penjelmaan dari sila sebelumnya,32

atau dalam bahasa Darji Darmodiharjo disebutkan bahwa sila sebelumnya

meliputi dan menjiwai sila berikutnya, dan sebaliknya sila berikutnya harus

diliputi dan dijiwai oleh sila sebelumnya,33

sehingga Pancasila dalam

pengamalannya harus secara utuh karena dalam satu sila mengandung sila

yang lain. Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang berisi ajaran-

ajaran mengenai sifat-sifat terpuji, yang merupakan moralitas yang telah

disepakati bersama dalam menjalankan hidup kenegaraan.

Pancasila berisi lima sila yang hakikatnya berisi lima dasar dan

fundamental. Nilai-nilai dasar Pancasila terdapat dalam pembukaan UUD

1945 Alinea IV adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan

yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan, dan

nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berikut penjelasan

menganai nilai kandungan dasar Pancasila yang merupakan intisari dari sila-

sila Pancasila:34

31 Sukarno, Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015), h. 40

32

Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 111

33

Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, (Jakarta: Balai Pustaka,

1979), h. 45

34

Sukarno, Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan, h. 23

Page 75: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

65

1. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti kesesuaian dengan

hakekat Tuhan, yaitu Yang Maha Tunggal, hanya ada satu, tiada sekutu

dan merupakan asal mula dari segala sesuatu, karena Tuhan merupakan

pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Dari nilai tersebut bahwa

bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious bukan bangsa yang tidak

memliliki agama atau atheis.

Notonagoro menjelaskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa

mengandung arti mutlak bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak

ada tempat bagi pertentangan dalam hal Ketuhanan atau keagamaan, bagi

sikap dan perbuatan anti Ketuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan

agama35

. Hal tersebut karena Indonesia menghormati keyakinan terhadap

agama dan keyakinan terhadap Tuhan diserahkan kepada keyakinan

masing-masing agama sebagaimana yang dilukiskan Ir. Soekarno sebagai

Ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu Ketuhanan yang berbudi luhur,

Ketuhanan yang menghormati satu sama lain, yang oleh Yudi Latif

kemudian diistilahkan dengan Ketuhanan tanpa “egoisme agama”.36

2. Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab

Hakekat sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah

manusia. Manusia utuh dilihat dari sila kedua ialah yang sadar akan dirinya

sebagai manusia, yaitu yang berpendidikan luhur, berbeda dengan binatang

dan tumbuh-tumbuhan, manusia mempunyai kelebihannya yaitu jiwa. Oleh

karena itu manusia hendaknya berbuat sesuai dengan nilai-nilai

kejiwaannya. Ia wajib berbuat sesuai dengan nilai-nilai tersebut agar bias

disebut manusia yang berperikemanusiaan. Notonagoro menjelaskan

mengenai sila kedua dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan

35 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 67

36

Yudi Latif, Mata Air Keterladanan: Pancasila dalam Perbuatan, (Jakarta: Mizan,

2014), h.3

Page 76: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

66

beradab ialah mengandung isi arti kesesuaian dengan hakekat manusia.

Notonagoro menjelaskan bahwa unsur hakekat manusia adalah majemuk

tunggal atau monopluralis yang terdiri dari susunan jiwa atau rohani dan

raga atau jasmani, unsur sifat manusia sebagai diri yang terdiri dari

makhluk individual dan juga makhluk sosial, dan kedudukan manusia yaitu

sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan juga makhluk Tuhan.

Kemanusiaan menurut Darji Darmodiharjo berarti sifat manusia

yang merupakan esensi dan identitas manusia karena martabat

kemanusiaannya, yaitu sebagai makhlum berbudi yang memiliki potensi

piker, rasa, karsa dan cipta. Adil mengandung arti suatu keputusan dan

tindakan yang didasarkan atas norma-norma yang objektif dan bukan

subjektif atau sewenang-wenang, sedangkan beradab mengandung arti

sikap hidup dan tindakan yang selalu berdasarkan nilai-nilai kesusilaan

atau moralitas, jadi kemanusiaan yang adil dan beradab seperti dijelaskan

Darji Darmodiharjo ialah kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang

didasarkan pada potensi budinurani manusia dalam hubungan dengan

norma-norma dan kebudayaan umumnya baik terhadap alam dan hewan37

3. Nilai persatuan Indonesia

Hakekat sila ketiha adalah satu, berkaitan dengan manusia utuh

adalah satu baik dalam dirinya maupun hubungannya dengan orang lain.

Satu dengan yang lain berarti bahwa adanya manusia tidak dapat lepas dari

adanya manusia lain, alam sekitar dan Tuhan. Manusia hendaknya tahu

dan sadar bahwa dirinya merupakan suatu kesatuan dengan manusia lain,

alam sekitar dan Tuhan.38

Notonagoro menyebutkan bahwa sila persatuan Indonesia

mengandung isi arti kesesuaian dengan hakekat yang satu, yakni bahwa

37 Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h. 48

38

Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989),

h.22

Page 77: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

67

sifat mutlak kesatuan bangsa, wilayah, dan Negara Indonesia yang

terkandung dalam sila persatuan Indonesia dengan segala perbedaan

didalamnya memenuhi sifat hakekat dari satu, yaitu mutlak tidak dapat

terbagi.39

Dariji Darmodiharjo menjelaskan bahwa persatuan mengandung

pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu

kebulatan.40

Persatuan Indonesia menghendaki hanya ada satu Indonesia

yang berdiri sendiri, tidak bias dibagi-bagi dan mutlak berbeda dengan

Negara lain.

Persatuan Indonesia merupakan jalan untuk mewujudkan cita-cita

nasional. Persatuan dapat diwujudkan dengan adanya kerjasama dan

kebersamaan dalam bentuk gotong royong dalam mencapai tujuan

bersama. Persatuan Indonesia diperkuat dengan adanya semboyan

“Bhinneka Tunggal Ika” yang menyatukan segala macam kemajemukan

yang ada melebur menjadi satu Negara bangsa Indonesia. Pancasila yang

didalamnya mengandung persatuan dan kesatuan dalam sila-silanya maka

persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,

yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkeraykatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan,

yang beradilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawarat perwakilan

Hakekat sila keempat ialah rakyat, yang dalam kaitannya dengan

manusia ialah menghendaki manusia yang mampu menjadikan dirinya

sungguh-sungguh sebagai bagian dari rakyat. Manusia yang mampu

berbuat dari, oleh dan untuk kepentingan bersama. Manusia yang mampu

39 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 120

40

Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h. 49

Page 78: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

68

memecahkan problema bersama secara musyawarah dan mufakat.41

Sila

keempat Pancasila mengandung isi arti bahwa sifat dan keadaan Negara

harus sesuai dengan hakekat rakyat, sehingga Negara Indonesia bukan

Negara satu orang, bukan Negara golongan, tetapi Negara yang didasarkan

atas seluruh rakyat, bukan pada golongan dan bukan pada perseorangan,

berdasarkan atas kekuasaan yang ada ditangan rakyat (kedaulatan rakyat),

berdasarkan atas muyswarah dan gotong royong.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Hakekat sila kelima ialah keadilan, berkaitan dengan manusia ialah

manusia yang mampu memiliki nilai keadilan didalam dirinya, kemudian

melaksanakannya dengan baik. Adil dalam hal ini bukan hanya kepada

sesame manusia namun juga mancakup adil terhadap alam dan lingkungan

sekitar dan juga adil terhadap Tuhan.42

Sila keadilan bagi seluruh rakyat

Indonesia mengandung isi arti kesesuaian hakekat dari adil. Adil dalam

Kamus Besar Basaha Indonesia ialah sama berat, tidak berat sebelah, tidak

memihak, sedangkan keadilan sosial diartikan dengan kerjasama untuk

menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap

anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk

tumbuh dan belajar hidup berdasar kemampuan aslinya.43

Hakekat adil menurut Notonagoro ialah dipenuhinya segala sesuatu

yang telah dipenuhinya segala sesuatu yang telah merupakan suatu hak

dalam hiduo bersama sebagai sifat hubungan satu dengan yang lain,

mengakibatkan bahwa memenuhi setiap hak dalam hubungan satu dengan

41 Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, h. 22

42

Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, h. 23-24

43

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 10

Page 79: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

69

yang lain adalah suatu kwajiban.44

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia ialah setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil

dalam bidang hokum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.45

Keadilan

sosial sebagai sila terakhir ialah merupakan tujuan dari bangsa Indonesia

dalam bernegara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945. Adanya keadilan sosial yang ingin diwujudkan

merupakan konsekuensi dari penindasan yang menyengsarakan rakyat dari

akibat adanya penjajahan.

44 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 162

45

Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h.52

Page 80: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

70

BAB IV

PEMIKIRAN K.H. A. WAHID HASYIM TENTANG RELASI AGAMA DAN

PANCASILA

A. Pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang hubungan Agama dan Pancasila

Pancasila sebagai dasar Negara tercantum dalam pembukaan UUD

1945 yang terdapat dalam alinea keempat dan sebagaimana tertuang dalam

memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong 9 Juni 1966 yang

menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah

dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar Negara Republik

Indonesia.1 Pancasila yang telah disepakati tersebut menjadi dasar atau

ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan lima sila dasar yang

dijabarkan di dalam UUD 1945, itu artinya, pancasila dan UUD 1945 menjadi

acuan dalam menjalani kehidupan bernegara. Kendati masih ada

ketidakpuasan dari sebagian kalangan akan rumusan sila-sila dari Pancasila,

karena dihapusnya tujuh kata Islami, namun penerimaan Pancasila oleh

sebagian umat Islam sebagai dasar ideologi Negara, tidak luput dari

pertimbangan akan nilai-nilai Islam didalamnya.2

Dari serangkaian diskusi dan pertemuan Panitia Sembilan dihasilkan

rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan dari pembentukan Negara

Indonesia merdeka dalam sebuah preambule yang dinamakan “Piagam

Jakarta” pada 22 Juni 1945. Rumusan dari dasar Negara Indonesia itu adalah:

1 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah (Konsep Teori dan Analisis

Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia), (Jakarta: Media Bangsa, 2012), h. 35

2 https://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam-pancasila-

pada-munas-nu-1983 di akses pada 1 Agustus 2019

Page 81: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

71

1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam

bagi pemeluk-pemeluknya

2. (menurut) Dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. (dan) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan perwakilan

5. (serta) dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.3

Namun sebelum konsep Piagam jakarta tersebut disahkan pada sidang

tanggal 12 Juli, terdapat masalah yang sangat serius. Masalah itu bermula

ketika muncul aspirasi dari kelompok minoritas non-Muslim dari Indonesia

Timur kepada Mohammad Hatta yang menyatakan agar sebelum UUD itu

disepakati sebaiknya dilakukan perubahan terhadap diktum pertama Piagam

Jakarta. Mereka menghendaki kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban

menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya” dihapus dan diganti dengan

kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Menurut Mohammad Hatta, tujuh kata pada butir pertama dari piagam

Jakarta itu adalah hasil dari pemikiran KH. Wahid Hasyim. Dengan melihat

pada kenyataan bahwa Islam adalah keyakinan mayoritas yang dipeluk oleh

masyarakat Indonesia serta keunggulan dan kelengkapan ajaran Islam

dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama lain, maka K.H Wahid Hasyim

semula ingin mewujudkan Islam menjadi dasar negara, yang tentunya

pemikiran ini mendapatkan dukungan dari perwakilan kelompok Islam yang

berjumlah 15 orang dalam BPUPKI. Selain itu, jika dicermati lebih teliti,

kalimat pada diktum pertama Piagam Jakarta tersebut tidak lebih sebagai

3 Marwati Djoenoed & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,

(Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan PT. Balai Pustaka), h. 71

Page 82: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

72

sebuah ungkapan realitas yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia yang

memang mayoritas Muslim. Namun kalimat tersebut juga tidak terlalu

salah jika dipahami adanya “diskriminasi” terhadap agama dan keyakinan

lain.4

Wahid Hasyim sebagai pencetus dari kalimat tersebut membantah

persepsi yang menyatakan bahwa kalimat itu memiliki potensi pada

munculnya rasa fanatisme dan seolah-oleh syari’at Islam harus dipaksakan

untuk dipatuhi dan dilaksanakan bagi kalangan non-Islam. Bagi Wahid

Hasyim tidak ada paksaan terhadap disetujuinya kalimat tersebut oleh para

anggota BPUPKI yang lain termasuk dari anggota non-Muslim karena pada

awalnya kalimat itu disepakati melalui mekanisme demokratis yang

berlangsung dalam BPUPKI.

Ia juga menolak jika butir pertama Piagam Jakarta itu sebagai sebuah

kalimat yang tajam, karena ini adalah pendapat subyektif bagi yang

menyatakannya sebagai demikian. Untuk hal ini K.H Wahid Hasyim

memberikan bukti dan kenyataan di mana sebagian anggota BPUPKI yang

lain melihat serta menilai bahwa kalimat itu bukan sebagai sebuah narasi

kalimat yang tajam. Dalam menjelaskan dan memberi argumentasinya, K.H

Wahid Hasyim menyatakan bahwa Islam merupakan satu sistem agama,

sosial, politik, dan sebagainya yang bersumber serta berstandar kepada kitab

suci Al-Qur’an. Sebagai sumber dan sandaran, Al-Qur’an ibarat sebuah

bangunan yang kokoh karena berasal dari Allah SWT.5

4 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Kinta, 1972) h.

451-458

5 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, (Jawa Timur: Pustaka

Tebuireng, 2015), h. 377

Page 83: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

73

Sehari setelah proklamasi, K.H Wahid Hasyim berubah pikiran. Ia

malah mendukung usulan kalangan nasionalis sekuler dalam menghapus tujuh

kata tersebut. Dengan demikian, jika diteliti lebih lanjut, disinilah kebesaran

jiwa seorang K.H Wahid Hasyim tampak mencolok. Ia mendahulukan

kepentingan lebih besar dalam skala jangka panjang. Ia lebih memilih

menekankan sisi substansi dari pada tampilan formalitas. Ia lebih bijak dalam

menyikapi persoalan dasar Negara, dan dalam menempatkan posisi Pancasila

dalam struktur keberagaman muslim Indonesia. Apa yang diperjuangkan K.H

Wahid Hasyim saat itu adalah melakukan upaya-upaya Islamisasi disegala

bidang, terutama dalam konstitusi Negara. Akan tetapi, tatkala ia menjumpai

sebuah permasalahan besar yang menyangkut persatuan dan kesatuan umat, ia

rela meninggalkan pendapat pribadinya, demi kemaslahatan umat.6

K.H Wahid Hasyim memiliki argumentasi kuat dalam melakukan

penghapusan tujuh kata itu. K.H Wahid Hasyim melihat ide dan gagasannya

mengenai Islam terlalu beresiko jika dipaksakan.7 Penerimaan dan

pengamalan Pancasila, demikian yang dikutip oleh Muchith Muzadi,

merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan

syari’ah.8

Sebagai seorang yang dibesarkan di kalangan tradisionalis yang

bercorak pemikiran Sunni, K.H Wahid Hasyim tentu saja banyak dipengaruhi

oleh khazanah pemikiran klasik. Ditinjau dari segi pemikiran Nahdlatul

Ulama yang mempengaruhinya, sikap K.H Wahid memiliki konsistensi

rasional. Dalam mengantisipasi gejala-gejala sosial politik, NU selalu

6 Rijal Mumazziq, “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al-

Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, h. 343-344

7 Saifuddin Zuhri, Keleidoskop Politik Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Gunung Agung,

1987), h. 197

8 Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H.A Muchith Muzadi,

(Surabaya: Khalista, 2008), h 103

Page 84: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

74

melihatnya tidak dalam posisi seutuhnya. Apa yang dilakukan oleh K.H

Wahid Hasyim dengan menerima Pancasila, merupakan implementasi dari

sebuah doktrin fiqh. Tatkala Negara Islam tak terbentuk, maka nilai-nilai

Islam akan berusaha diakomodasi oleh Pancasila. Pemikiran fiqh

menyediakan jalan keluar tanpa harus terjebak dalam sikap-sikap yang

dipaksakan. Selain itu, wujud formal Negara telah memenuhi kualifikasi

menurut syari’ah, yang secara de jure diputuskan dalam muktamar NU di

Banjarmasin pada 1936, merupakan perintah agama yang harus diikuti.9

Dua alasan penerimaan K.H Wahid Hasyim terhadap Pancasila adalah

kondisi saat itu yang sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi

Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka. Alasan lainnya

adalah bahwa kewajiban mengikuti syari’ah Islam bagi umat Islam akan tetap

mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD

1945 yang menjamin kebebasan setiap warga Negara untuk memeluk agama

dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing. Dalam alasan pertama,

K.H Wahid Hasyim tampaknya menggunakan kaidah dar al-mafasid

muqaddam ala jalb al-mashalih; mendahulukan upaya menghindari bahaya

atau kerusuhan daripada melaksanakan kemaslahatan yang lebih besar.10

Kaidah ini menjelaskan bahwasannya mencegah bahaya lebih diutamakan

daripada mencari kemaslahatan untuk dirinya.

Dengan mempertimbangkan usia republik yang baru diproklamirkan,

ia menghindari resiko perpecahan, terutama dengan kawasan Indonesia Timur

maupun dengan umat beragama lain, dengan konsekuensi permintaan

menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Padahal, yang dibutuhkan saat

itu adalah persatuan, bukan perpecahan yang diakibatkan perbedaan sectarian.

9 Rijal Mumazziq, “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al-

Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, h. 345

10 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan sehari-hari,

(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 162

Page 85: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

75

Dengan demikian, polarisasi dan friksi akut yang akan terjadi dikalangan

internal umat Islam maupun kelompok non-muslim, jika ia tetap bersikukuh

mempertahankan pendapatnya.

Padahal sebagaimana Boland anak kalimat tersebut sangat penting

artinya pada tahun-tahun berikutnya karena memberikan peluang kepada

masyarakat Islam yang berusaha keras melaksanakan cita-cita Negara Islam

dengan cara konstitusional. Intinya, Piagam Jakarta adalah pintu menuju

Negara berdasarkan Islam, sebagaimana yang dikehendaki K.H Wahid

Hasyim bersama kelompok nasionalis Islam dalam sidang BPUPKI. Tetapi,

kalangan nasionalis Islam lebih memilih mengalah.11

Seperti yang

diungkapkan Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama), ia menceritakan

bagaimana K.H Wahid Hasyim menjelaskan kepadanya masalah kesepakatan

tersebut, K.H Wahid Hasyim di dalam pertemuan 18 Agustus 1945 itu

menyatakan bahwa kelompok minoritas bisa melakukan politik ofensif,

bahkan disertai dengan ancaman karena mereka tertindas. Tetapi sebagai

kelompok yang mempunyai kepentingan atas kokohnya persatuan untuk

menghadapi Belanda, para pemimpin Islam dan para nasionalis sudah

sepatutnya memenuhi keinginan itu. Menurut K.H Wahid Hasyim, penerapan

syari’ah Islam boleh ditampung melalui pelaksanaan Pasal 29 Ayat 2 UUD

1945 secara jujur. Apabila aturan yang menjamin kemerdekaan beragama dan

beribadah ini dijalankan dengan baik, maka berarti sudah semestinya

kewajiban menjalankan syari’ah Islam akan tumbuh sebagai kesadaran setiap

Muslim.12

Bagi K.H Wahid Hasyim, yang harus diterima dan yang terpenting

adalah di dalam Indonesia, yaitu adanya Negara yang memungkinkan kaum

11 B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, (Jakarta: Grafiti Press,

1985), h. 72

12

Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007), h.

36

Page 86: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

76

muslimin melaksanakan ajaran agama mereka secara nyata.13

Dengan

demikian, pemberlakuan syari’ah adalah melalui cara persuasif. Tampaknya

pendapat K.H Wahid Hasyim itu dipengaruhi oleh keputusan Nahdlatul

Ulama pada Muktamar NU di Banjarmasin pada 1963 yang memutuskan

bahwa kawasan Hindia Belanda telah memenuhi syarat sebagai Dar al-Islam

(Negara Islam).

Sebagai seorang nasionalis yang akrab dengan nilai-nilai Islam, Wahid

Hasyim berusaha menjalani kehidupan sebagai seorang negarawan, juga

sebagai seorang muslim. Sebagai negarawan, ia tidak mau persatuan bangsa

Indonesia terkoyak dengan adanya pemberontakan di berbagai daerah. Pada

gerakan oposisi Angkatan Umat Islam di Kebumen, K.H Wahid Hasyim

selaku Menteri Agama berusaha mendatangi mereka guna mengajak

menghentikan perlawanan. Bahkan, konon ia sempat diculik oleh anak buah

Kahar Muzakkar, guna dimintai pertimbangan dan nasehat. Begitu pula

tatkala nama K.H Wahid Hasyim dicatut oleh Tan Malaka sebagai salah satu

calon menteri jika upaya kudeta yang dilakukan berhasil, K.H Wahid Hasyim

sontak terkejut dan tak menyetujui upaya kudeta yang dilakukan Chaerul

Saleh dan Tan Malaka, sahabat eratnya itu.14

Apa yang dikehendaki K.H Wahid Hasyim dalam memandang posisi

Negara adalah, bahwa Negara memiliki peranan penting sebagai sebuah

kesepakatan dari berbagai elemen bangsa. Untuk itulah, ia bersikukuh

mempertahankan persatuan dan keutuhan bangsa. ia juga bersedia menerima

Pancasila sebagai dasar Negara karena disamping Pancasila dianggap baik

Islam juga harus memberikan motivasi untuk menerima, bukan hanya

13 Imam Ghazali Said dan A. Ma’ruf Asrori, Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999), (Surabaya: Diantama,

2004), h. 185

14

Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h.

313

Page 87: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

77

Pancasila, tetapi juga apa yang baik yang dapat memberikan kontribusi bagi

perwujudan nilai-nilai Islam secara konkrit.

Dalam menilai Negara, K.H Wahid Hasyim dikategorikan seorang

yang substansialis, yang berpandangan relasi agama dan Negara sebagai

hubungan yang simbiosis mutualistik. Dalam pandangannya, Negara sekedar

melayani keperluan agama rakyat sesuai dengan dasar Pancasila terhadap

persoalan yang bersifat individual, menurut K.H Wahid Hasyim, pemerintah

tidak boleh mencapurinya dan hanya boleh mengatur persoalan agama pada

segi yang bersifat kemasyarakatan. Pancasila dipandang sebagai suatu produk

masyarakat yang diperlukan untuk keperluan itu sendiri. Pancasila dinilai

sebagai falsafah Negara, sedangkan agama adalah wahyu. Pada dasarnya, sila-

sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi

dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sering

dikatakan bahwa Islam tidak dapat memisahkan antara agama dan politik.

Tetapi, ia membedakan mana bidang yang berguna untuk ditanggapi dan

mana yang tidak berguna; dan mana yang harus diterima dan mana yang harus

di tolak demi tujuan keagamaan.15

Dari sudut pandang umat Islam, Pancasila menurut Abdurrahman

Wahid putra dari K.H Wahid Hasyim adalah upaya maksimal warga muslim

Indonesia untuk menyelamatkan bentuk Negara ditengah tarikan keinginan

untuk membuat dasar Negara sekuler dan Islam. Pancasila bagi umat Islam

adalah dasar Negara, sedangkan Islam adalah akidahnya. Pancasila mengatur

tata hidup bernegara, sedangkan tata hidup beragama diatur oleh Islam.

Keduanya tidak akan berbenturan dan tidak perlu dibenturkan, sehingga

menurut Gus Dur, Islam tidak perlu menjadi agama resmi Negara dan

15 Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, h. 179

Page 88: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

78

diformalisasikan dalam bentuk undang-undang Negara, tetapi yang penting

adalah jaminan Negara bagi umat Islam untuk menjalankan agamanya.16

Meskipun ada sebagian rakyat Indonesia yang berkeinginan

menghidupkan syari’ah Islam dengan mewujudkan Negara Indonesia sebagai

Negara Islam, namun dengan lahirnya Republik Indonesia semuanya harus

bisa menerima. Sebab yang terpenting didalamnya, menurut K.H Wahid

Hasyim adalah kaum muslimin dapat melaksanakan ajaran agamanya secara

nyata. Dicantumkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dasar demokrasi

(kedaulatan rakyat) dalam Pancasila memberikan pegangan kepada bangsa

Indonesia untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan suatu golongan

kepada golongan lain. Pertemuan dua prinsip, lanjutnya mengakibatkan

adanya kompromi; keinginan kaum muslimin untuk menghidupkan syari’ah

agamanya tetap diberi jalan, tetapi prinsip demokrasi juga dipertahankan agar

keinginan tadi tidak mendesak dan merugikan golongan lain.

Hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang dikatakan Abdelwahab el-

Affendi, bahwa Negara akan sesuai dengan syari’ah yang tak dipaksakan,

tetapi merupakan sebuah ekspresi sesungguhnya dari kehendak masyarakat

tersebut. Dengan kenggotaan yang benar-benar bebas, masyarakat muslim di

jantung Negara ini merupakan masyarakat yang memilih untuk hidup sesuai

dengan Islam dan mentaati syari’ah. Karena itu, syari’ah benar-benar ditaati

hanya bila rakyat melakukan secara sukarela dan tulus.17

Meski menyempatkan untuk menempatkan Islam sebagai dasar

Negara, K.H. Wahid Hasyim justru menyetujui penghapusan tujuh kata itu

dari UUD 1945. Terlepas dari polemik dan kontroversi yang seputar

kehadiran K.H. Wahid Hasyim pada 18 Agustus itu, tak dapat diragukan lagi

16 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: PT

Grasindo, 1999), h. 19

17

Abdelwahab el-Affendi, Mayarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam,

(Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 94

Page 89: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

79

bahwa peran dan kontribusi beliau dalam perumusan dasar Negara menjadi

sangat signifikan. Disini penulis melihat apa yang dilakukan K.H. Wahid

Hasyim sangat penting dan menarik, sebab diantara beberapa usulnya adalah

dicantumkannya Islam secara formal sebagai agama Negara disertai syarat

bahwa presiden harus orang Islam. Selain itu, upaya formalisasi Islam sebagai

agama Negara juga tampak dalam proses perumusan dan pengesahan Piagam

Jakarta.

B. Relevansi pemikiran K.H Wahid Hasyim dengan kondisi Indonesia saat

ini

K.H Wahid Hasyim adalah pemikir, perumus, serta pelaku sejarah

Indonesia modern abad ke-20 yang sangat penting. Kiai Wahid adalah seorang

pemuda “made in pesantren” yang brilian dan berpandangan kedepan

melampaui kebanyakan orang pada waktu itu. Ide-ide dan gagasannya serta

kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan, pergerakan, politik dan

pendidikan adalah indikator utama K.H Wahid Hasyim dalam berpandangan

kedepan. Buah pikiran dan cita-citanya ramuan antara peradaban Melayu

Nusantara dan peradaban Indonesia Modern periode kemerdekaan, yang

diteruskan oleh generasi berikutnya.

Aktivitas K.H Wahid Hasyim dalam skala nasional menunjukan

bahwa K.H Wahid Hasyim adalah orang yang sangat gigih mengusulkan

Indonesia menjadi Negara yang berdasarkan Islam. Namun Islam bukan harga

mati baginya. Ini terbukti ketika pada satu hari setelah proklamasi

kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, K.H Wahid Hasyim tanpa berbelit-

belit dapat menerima usulan yang diajukan Mohammad Hatta agar segala

rumusan yang memuat Islam secara eksplisit dihapuskan dari pembukaan dan

batang tubuh undang-Undang Dasar, karena disinyalir ada keberatan dari

penduduk dari Indonesia bagian Timur yang tidak ingin bergabung dengan

Indonesia merdeka jika berdasarkan Islam. disinilah peran K.H Wahid

Page 90: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

80

Hasyim cukup penting dalam ikut menyelamatkan persatuan bangsa

Indonesia. Tidak terbayangkan apa yang terjadi jika seandainya K.H Wahid

Hasyim menolak usulan tersebut, karena bagi K.H Wahid Hasyim persatuan

bangsa Indonesia lebih penting dari pengakuan formal terhadap Islam.18

Sejarah mencatat bahwa gerakan-gerakan nasionalis sekuler lebih

mendominasi pemerintahan Indonesia, terutama pada pemerintahan represif

Orde Baru. Salah satunya Pancasila dijadikan alat penguasa untuk bertindak

represif terhadap kelompok penentang kebijakan pemerintah dengan tudingan

tidak “Pancasilais”. Pancasila dijadikan alat penyeragaman Indonesia yang

majemuk.19

Akibatnya, gerakan-gerakan Islam, terutama yang berkaitan

dengan politik, bergerak secara eksklusif dan klandestine. Akibatnya, tatkala

Orde Baru runtuh pada 1998, gerakan-gerakan politik yang mengusung

wacana-wacana Islam politik kembali marak. Masa transisi ini sekaligus

menjadikan pertanyaan besar seiring dengan runtuhnya bangunan politik lama

dan belum tercapainya bangunan politik yang baru. Dalam konteks ini, relasi

Islam dan Negara, dimana keberadaan NKRI dengan dasar Pancasila telah

dianggap final.

Termasuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta, kembali semarak.

Partai politik yang mengidentifikan diri dengan Islam seperti Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PKB), dan Partai Keadilan

Sejahtera (PKS), berupaya memasukan Piagam Jakarta dalam amandemen

UUD pada tahun 1999. Di luar parlemen, upaya menghidupkan syari’ah Islam

dalam Negara dilakukan juga oleh ormas keagamaan seperti Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), hingga Front Pembela

Islam, hingga saat ini.

18 Azyumardi Azra (ed), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik,

(Jakarta: PPIM, 1998), h. 112

19

M. Zaid Wahyudi, Relasi Agama dan Negara yang Terus Digugat, Kompas, Selasa

26 Juni 2007

Page 91: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

81

Upaya melakukan hukum Islam secara formal, pernah dilakukan

golongan nasionalis Islami, pada pembahasan dasar Negara pada zaman pra

kemerdekaan. K.H Wahid Hasyim, salah satu tokoh Islam terkemuka saat itu,

menginginkan Islam dijadikan dasar Negara Indonesia. Ia begitu kukuh

memperjuangkan cita-citanya. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945, ia

memprakarsai penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada

posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam

vis a vis Negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam

mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakan Negara melalui

perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakan

kemerdekaan, namun untuk mengisi Negara merdeka kelompok Islam tidak

selalu pada posisi yang menentukan. Gagasan K.H Wahid Hasyim sebenarnya

didasarkan pada prinsip tujuan dan cara pencapaiannya untuk melihat

pentingnya aspek fungsionalisasi ajaran agama.

Dalam konteks ini kemudian K.H Wahid Hasyim berupaya untuk

memberikan solusi atas ketegangan antara dua kutub yang berbeda; yaitu

antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler maupun antara mereka yang

menginginkan Islam sebagai dasar Negara dan menginginkan sekulerisme

tumbuh di Indonesia. K.H Wahid Hasyim, secara tidak langsung ingin

mejadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara. Pemikiran

ini kemudian lebih cenderung pada kedekatan pada paradigma simbiotik

dimana Negara dan agama saling menunjang. Yaitu menempatkan Islam

sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural. Keyakinan ini,

didasarkan atas pemahaman mengenai relasi Negara dan agama dalam

pemikiran Ibnu Khaldun, yang menganggap pembentukan sebuah Negara

disamping paham keagamaan, juga diperlukan rasa keterkaitan atau perasaan

kelompok.

Page 92: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

82

Dengan demikian diskursus relasi Negara dan agama memang ada

dialektika Islam. Hal inilah yang kemudian tidak bisa dijustifikasi

kebenarannya yang mana yang benar atau yang mana yang salah. Hanya saja

sebagai solusi altefnatif, bagaimana kemudian masyarakat bisa mendapatkan

keadilan dan kesejahteraan dalam bernegara, dimana dalam hal inilah yang

dijelaskan dalam kehidupan agama khususnya Islam. Menurut K.H Wahid

Hasyim yang pada saat itu mewakili NU mempunyai penafsiran liberan

terhadap Piagam Jakarta dengan mengartikannya sebagai penegasan “hak”

untuk melaksanakan ibadah, dan bukan “keharusan”.20

Inilah salah satu

pemikiran K.H Wahid Hasyim yang relevan hingga kini.

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidaklah dipahami

sebagai kekalahan golongan nasionalis Islami melawan nasionalis sekluer.

Justru itu adalah kemenangan politik wakil-wakil muslim, dan bahkan

kemenangan kaum muslim di Indonesia. Islam menghendaki para

pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin),

dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistem yang

menjamin kebaikan konstitusional bagi seluruh bangsa ialah sistem yang telah

disepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila

menurut semangat UUD 1945. Dalam hal ini penting dan terpaksa harus

sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok

yang untuk sebagian masyarakat muslim dianggap belum selesai. Padahal

kaum muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila dan

UUD 1945 karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan

pada dua pertimbangan yakni: pertama, nilai-nilainya di benarkan oleh ajaran

Islam, dan kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar

berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

20 Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, h. 381

Page 93: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

83

Harus diakui, sintesa antara agama dan Pancasila di Indonesia

menunjukan jalan yang rumit, namun unik. Hingga kini, polemik masih

terjadi untuk sekedar merebut Republik Indonesia sebagai Negara dengan

klasifikasi seperti apa; bukan integralistik, juga bukan sekuler. Mungkin yang

paling tepat adalah dengan menyebutnya sebagai Negara simbiotik; Negara

dan agama saling menopang dan mengisi, tanpa saling berhadapan secara

konfrontatif. Lebih tepatnya, jika relasi dalam diskursus ini menganut model

jalan tengah, dimana Negara mengakui ekstitensi agama dalam konstitusinya

dan pada saat yang sama politik agama tidak menguasai agama.

Page 94: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian pada bab-bab sebelumnya, skripsi ini

setidaknya dapat menyimpulkan dan menemukan beberapa hal penting terkait

pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama dan Pancasila, yaitu:

1. Dalam menilai relasi agama dan Pancasila, K.H Wahid Hasyim

adalah seorang yang substansialis yang dimana ia

menghendaki agar agama ditempatkan dalam posisi strategis

dalam kehidupan bernegara.

2. Pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama dan

pancasila merujuk pada paradigma simbiosis mutualistik.

Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami

saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara

membutuhkan agama, agama membutuhkan negara dalam

pembinaan moral, etika dan spiritualitas.

Dalam hubungan Agama dan Pancasila di Indonesia menunjukan jalan

yang rumit. Hingga kini permasalahan masih terjadi untuk sekedar merebut

Republik Indonesia sebagai Negara dengan paradigma seperti apa: bukan

integralistik, juga bukan sekuleristik, tetapi yang paling tepat ialah dengan

menyebutnya sebagai Negara simbiotik; Negara dan Agama saling menopang

dan mengisi tanpa saling berhadapan secara konfrontasi.

Page 95: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

85

B. Saran

1. Di tengah maraknya permasalahan yang dihadapi Negara Indonesia

ini, mulai dari permasalahan ekonomi, sosial, pendidikan sampai

dengan politik yang belum terselesaikan sampai saat ini, maka sudah

seharusnya kita sebagai rakyat Indonesia untuk menghindari

konfrontasi ditengah permasalahan bangsa Indonesia saat ini. Pada

dasarnya Pancasila itu sudah final adanya. Ketika membicarakan

Pancasila berarti membicarakan persatuan.

2. Kepada bangsa Indonesia sudah saatnya untuk menjunjung tinggi nilai

persatuan. Akan lebih baik jika bersikap toleran, mengambil jalan

tengah dan bersikap adil dalam menyikapi permasalahan Negara

Indonesia.

Page 96: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

86

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan

Kewarganegaraan. Semarang: RaSAIL Media Group, 2009.

Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta:

LKiS Yogyakarta, 2010.

_______. Menurut Akar Pemikiran Politik Krisis di Indonesia dan Penerapan

Critical Discourse Analysis Sebagai Alternatif Metodologi.

Yogyakarta: Gava Media, 2007.

Astuti, Ngudi. Pancasila dan Piagam Madinah: Konsep Teori dan Analisis

Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: Media

Bangsa, 2012.

Atjeh, Aboebakar. Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim. Jawa Timur: Pustaka

Tebuireng, 2015.

Azra, Azyumardi; Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial

Politik. Jakarta: PPIM, 1998.

Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972. Jakarta: Grafiti

Press, 1985.

Budiarjdo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2001.

Darmodiharjo, Darji, dkk. Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis,

Historis, dan Yuridis-Konstitusional. Surabaya: Usaha Nasional,

1988.

________. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta: Balai Pustaka, 1979.

Dhofier, Zamarkhasyi. Tradisi Pesantren {Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiai}. Jakarta: LP3ES, 1985.

Djoenoed, Marwati & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,

Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan PT. Balai Pustaka.

Effendi, A.M. Falsafah Negara Pancasila. Semarang: CV. Triadan Offset

Semarang, 1995.

Effendi, Bahtiar. Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Page 97: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

87

El-Affendi, Abdelwahab. Mayarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam.

Yogyakarta: LKiS, 2001.

Fauzi, Ahmad, dkk. Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis

Konstitusional dan Segi Filosofis. Surabaya: Usaha Offset Printing,

1983.

Feillard, Andree. NU Vis a Vis Negara. Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007.

Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih

Dalam Politik. Jakarta: Gramedia, 1994.

Hasyim, Masykur. Merakit Negeri Berserakan. Surabaya: Yayasan 95, 2002.

Hatta, Mohammad. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Kinta, 1972

https://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam

pancasila-pada-munas-nu-1983 di akses pada 1 Agustus 2019.

Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada. Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran

Politik Islam. Jakarta : Erlangga, 2008.

Jamil, M. Mukhsin, dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala

Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. Jakarta: Direktorat

Pendidikan Tinggi Islam, 2007.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang

Budaya, 1995.

Latif, Yudi. Mata Air Keterladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta:

Mizan, 2014.

_______. Yudi. Intelegensia dan Kuasa, Jakarta : Democracy Project, 2012

Mansyur Surya Negara, Ahmad. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani

Pustaka Semesta, 2010.

Ma’shum, Saifullah. Menapak Jejak Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26

Tokoh Nahdlatul Ulama. Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 1994.

_______. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung:

Mizan, 1998.

Page 98: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

88

Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta:

Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 2008.

McLellan, David. Ideologi Tanpa Akhir. Alih bahasa Muhammad Syukri.

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Miftahuddin. KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara.

Bandung: Marja, 2017.

Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif, {Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya}. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2010.

Mumazziq, Rijal. “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al-

Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, 345

Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di

Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:

Pustaka LP3ES, 1994.

Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Said, Ali, As’ad. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa. Jakarta:

LP2ES, 2009.

Said, Imam Ghazali, dan A. Ma’ruf Asrori, Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999),

Surabaya: Diantama, 2004.

Saifuddin Anshari, Endang. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah

Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis

Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1859.

Bandung: Penerbit Pustaka, 1983.

Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2004.

Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta:

KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011.

Sitompul, Einar Martahan. NU Dan Pancasila. Yogyakarta: LKiS

Yogyakarta, 2010.

Page 99: RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H …

89

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990

Subandi, Al-Marsudi. Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi.

Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2003.

Sukarno. Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2015.

Sunoto. Filsafat Sosial dan Politik Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset, 1989.

Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, Jawa

Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015.

Thohir, Anas, et. Al., Kebangkitan Umat Islam dan peranan NU di Indonesia.

Surabaya: PCNU Kodya Surabaya, 1980.

Van Bruinessen, Martin. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian

Wacana Baru. alih bahasa Farid Wajidi. Yogyakarta: LkiS, 1994.

Wahid, Abdurrahman. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: PT

Grasindo, 1999.

Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan sehari-

hari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Zaini, Achmad. K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaruan Pendidikan Islam dan

Pejuang Kemerdekaan. Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011.

Ziemek, Mahfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. BB. Soendjojo.

Jakarta: P3M, 1986.

Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Yogyakarta:

Yayasan Saifuddin Zuhri dan LKiS, 2001.

_______. Keleidoskop Politik Indonesia, Jilid I. Jakarta: Gunung Agung,

1987.

_______. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1987.