refrat_keratokonus_new...aa

Upload: arys-setiawan

Post on 20-Jul-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1 PENDAHULUAN

Keratokus merupakan kelainan dari kornea. Bentuk kornea mengalami penonjolan dari bentuk normal. Keratokonus adalah penyakit kornea yang bersifat kronis dan non inflamasi dimana daerah sentral dan parasentral dari kornea mengalami penipisan dan penonjolan sehingga kornea tampak berbentuk kerucut. Efeknya penderita mengalami gangguan penglihatan saat melihat suatu benda. Keratokonus merupakan penyakit yang terjadi pada masa dewasa (early adulthood) dan bersifat kronis. Keratokonus pertama kali di jelaskan oleh seorang dokter inggris bernama John Nottingham di naskahnya yang berjudul pengamatan praktis di kornea berbentuk kerucut dan penglihatan pendek serta cacat lain pada mata yang berhubungan dengan itu, pada tahun 1854. Prevalensi keratokonus di laporkan sebesar 50 per 100.000 dengan insiden tahunan sebesar 2 per 100.000. Tidak ada pola herediter yang khas namun adanya keratokonus pada keluarga tertentu telah dilaporkan terdapat pada sekitar 6-8% dari kasus. Sampai saat ini terapi keratokonus hanya terbatas pada kaca mata dan lensa kontak, sedangkan pada kasus yang berat dilakukan keratoplasti tembus. Beberapa usaha untuk mencari alternatif terapi keratokonus dilaporkan pada beberapa literatur seperti keratoplasti thermis, photorefractive tidak keratectomy, diketahui laser in pasti situ dan keratomileusis (LASIK), dan yang terbaru berupa pemasangan intra corneal ring segments. Penyebab keratokonus dengan penatalaksanaannya masih terus berkembang.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Kornea 2.1 Embriologi Kornea Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm, neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan nureal crest cell yang merupakan derivat dari ektoderm. Pada kahir dari minggu ke 6 gestasional, kornea telah terdiri dari 3 lapis, yaitu lapisan epitel skuamosa superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubis, lapisan stroma dan laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan descement mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm dan terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.

Korne a

Gambar 2.1 Gambar kornea dan bagian-bagian di sekitar kornea (tampak samping)

3

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kornea Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm. Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar 7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar 74% dari total kekuatan dioptri mata manusia normal. Nutrisi kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.

4

Gambar 2.2 Bagian-bagian kornea 1. Epithelium (cornea) 2. Stroma (cornea)3. Descements membrane and endothelium (corne)

4. Anterior Chamber 5. Iris 6. Lens 7. Ciliary body 8. Sklera

Gambar 2.3 Kornea penampang melintang Secara mikroskopis korna terdiri dari 5 lapisan, yaitu:1. Epitel Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa yang

5

merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah terjadinya penetrasi cairan air mata ke dalam stroma. 2. Lapisan Bowman Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan fibril kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan jaringan parut karena tidak memiliki daya regenerasi. 3. Stroma

Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I, III dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu denganlainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan dibagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di stroma sebesar 78%. 4. Membran Descement

Membrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stromakornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m. 5. Endotel kornea Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terut menjaga kejernihan kornea. (H. Sidarta Ilyas, 2004).

6

Gambar 2.4 Penampang melintang kornea

Gambar 2.5 Struktur kornea secara Histologi 2.3 Epidemologi Keratokonus mempunyai onset pada masa pubertas dan mengalami progresivitagas sampai dekade ketiga atau keempat kehidupan. Kelainan yang menyertai keratokonus yang paling sering adalah sindroma Down, amaurosis

7

kongenital Leber (Lebers congenital amaurosis), dan kelainan jaringan penyangga (connective tissue). Keratokonus terjadi pada semua ras dan tidak mempunyai predisposisi pada jenis kelamin tertentu. 2.4 Etiologi dan Histopatologi

2.4.1 Etiologi Penelitian Biokimia Terjadinya penipisan stroma pada keratokonus diduga disebabkan meningkatnya enzim protease, yang disebabkan menurunya enzim inhibitor protease. Pada pemeriksaan biokimia didapatkan penurunan enzim alpha1proteinase inhibitor, alpha2 macroglobulin dan TMP-1. Faktor Genetik Pada penelitian silsilah keluarga didapatkan bahwa keratokonus diturunkan secara autosomal dominan dengan penetrasi yang bervariasi. Hubungan Keratokonus dengan Penyakit Lain Sindroma Down dilaporkan mempunyai angka kejadian keratokonus yang lebih tinggi dibanding angka kejadian pada populasi umum, yaitu sebesar 5-15% (100-300 kali lebih besar). Kebiasaan menggosok-gosok mata (eye rubbing) juga dikaitkan dengan patogenensis terjadinya keratokonus. Beberapa literatur menyebutkan hubungan keratokonus dengan kelainan jaringan penyangga (connective tissue disorders). Keratokonus juga disebutkan terjadi pada Osteogenesis imperfecta, sindroma Ehlers-Danlos dan 58% dari pasien keratokonus yang dilakukan tindakan operatif ternya mempunyai kelainan prolaps katup jantung. Pemakainan lensa kontak juga Diduga merupakan salah satu penyebab keratokonus. Namun sulit dibuktikan mana yang lebih dahulu terjadi, pemakainan lensa kontak atau keratokonus.

8

2.4.2 Histopatologi Penipisan dari stroma kornea, robekan pada membran Bowman, dan penumpukan besi di lapisan basal epitel kornea merupakan triad klasik histopatologi yang ditemukan pada keratokonus.

Gambar 2.6 Fleishers ring pada keratoconus

Gambar 2.7 Penampang melintang histopatologi kornea

9

Gambar 2.8 abnormalitas keratokonus yang cepat terjadi pada epitel membran basal dan membran Bowman. Membran basal terganggu (panah) dan mengadakan duplikasi. Membranan Bowmans terganggu (panah nomer 6) dan mengadakan duplikasi Membran Bowmans (panah nomer 3) terganggu (arrow 4) dan jafibrosa terletak diantara epitel membran basal dan membran Bowman (panah nomer 5) Gambar membrana Descement terganggu dan melipat untuk bergabung kembali dengan kornea pada tempat yang salah (panah nomer 7). Ini menunjukkan stromal scarring (panah nomer 8) Pada membrana Bowman terjadi robekan disertai penonjolan lapisan kolagen stroma di bawahnya, bentukan jaringan parut berbentuk Z, dan nodul yang tampak dengan pengecatan PAS (periodic acid Schift). Membrana descement jarang terkena kecuali adanya robekan pada keadaan hidrops akut. Pada pemeriksaan histopatologi keadaan hidrops akut menunjukkan adanya edema dari stroma. Membrana descement robek, terpisah dari permukaan posterior dan terlipat-lipat. Keadaan ini biasanya membaik dalam 3-4 bulan setelah fase akut.

2.5 Klasifikasi

10

Secara keratometri, keratokonus di bagi menjadi 3 yaitu ringan (54 D). Secara morfologi di bagi sebagai berikut 1. Nipple cones Ditandai dengan ukuran yang kecil (6mm)

Gambar 2.11 Globus cone 2.6 Anamesis dan Pemeriksaan

12

2.6.1 Anamesis Keratokonus adalah suatu kondisi dimana kornea terbentuk mirip kerucut sebagai akibat dari proses penipisan stroma kornea. Penipisan kornea ini menyebabkan astigmatisme irregular, miopia dan penonjolan yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya tajam penglihatan. Penyakit ini bersifat progresif dan bilateral, walaupun pada awalnya hanya mengenai satu mata. Pada awalnya mungkin berupa penurunan tajam penglihatan yang ringan. Pada stadium lanjut akan timbul gangguan penglihatan yang bermakna sejalan dengan semakin progresifnya penyakit, namun pasien dengan keratokonus tidak pernah sampai buta total akibat penyakit ini.

Gambar 2.12 Visus penderita keratokonus Tanda-tanda keratokonus antara lain penglihatan kabur, ada perubahan persepsi terhadap benda yang dipandang, astigmatisme buruk, penglihatan ganda pada satu mata, rabun malam, cahaya terlihat melebar, sensitif terhadap cahaya dan mata gatal.

2.6.2 Pemeriksaan

13

A. Pemeriksaan Luar 1. Tanda dari Munson Adanya bentuk seperti huruf V pada kelopak mata bawah saat pasien melirik ke bawah yang disebabkan kelainan bentuk dari koenea.

Gambar 2.13 Tanda dari Munson pada keratokonus 2. Tanda dari Rizzuti Bila lampu senter disinarkan dari arah temporal akan tampak reflek dari kerucut di kornea sebelah nasal. Tanda ini merupakan tanda awal dari keratokonus.

Gambar 2.14 Ruzzuti pada keratokonus

B. Pemeiksaan Visus dan Refraksi

14

Pada stadium awal didapatkan kelainan refraksi berupa myopia dan astigmatisme regular yang bisa dikoreksi dengan kaca mata. Pada stadium lanjut berupa astigmatisme irregular yang sudah tidak dapat lagi dikoreksi dengan kaca mata melainkan dengan lensa kontak keras. C. Pemeriksaan Lampu Celah Biomikroskop Didapatkan: 1. Penipisan stroma kornea, umumnya didaerah inferior atau infero-temporal. 2. Garis dari Vogt, ditemukan garis-garis halus sejajar dengan aksis dari kerucut distroma bagian dalam yang hilang sementara pada penekanan bola mata dengan jari.

Gambar 2.15 Garis dari Vogt pada keratokonus 3. Cincin dari Fleisher, merupakan deposit besi pada epitel yang mengelilingi dasar kerucut.

15

Gambar 2.16 Cincin dari Flischer pada keratokonus

Gambar 2.17 Jaringan parut kornea pada keratokonus stadium lanjut D. Pemeriksaan Lain

16

Ditemukan reflek gunting atau terpotongnya reflek dari retinioskopi, adanya refleks tetesan minyak (oil-droplet reflek) pada pemeriksaan dengan oftalmoskop direk pada jari sekitar 30 cm.

Gambar 2.18 Reflek tetesan minyak pada keratokonus E. Pemeriksaan Tapografi Kornea Pada pemeriksaan dengan piring plasido dapat dideteksi perubahan kornea pada keratokonus yang sub klinis. Rabinowitz menemukan adanya pembelokan pada meridian horizontal.

Gambar 2.19 Piring placido videografi komputer pada keratokonus

17

2.7 Perjalanan Penyakit Fase Sub Klinis Kondisi ini disebut keratokonus forme-fruste. Pada umumnya pasien asimtomatik, atau didapatkan miopia astigmat irregular. Tidak didapatkan kelainan seperti garis dari Vogt, tanda Munson atau cincin dari Fleischer. Fase Awal Tada-tanda klinis yng didapatkan pada stadium awal meliputi: 1. Reflek tetesan minyak dengan pemeriksaan oftalmoskop pada jarak sekitar 30 cm.2. Retinoskopi memperhatikan reflek gunting yang irreguler.

3. Pemeriksaan lampu celah memperlihatkan garis-garis Vogt yang hilang dengan melakukan penekanan yang ringan pada bola mata. 4. Saraf-saraf kornea yang prominent mungkin tampak. 5. Keratometer memperlihatkan astigmatisme irregular. Fase Lanjut Fase lanjut ditandai dengan: 1. Penipisan kornea yang progresif lebih dari sepertiga ketebalan kornea. 2. Visus jelek karena miopia astigmat irreguler yang berat. 3. Adanya tanda dari Munson. 4. Pemeriksaan lampu celah bisa didapatkan cincin dari Flischer. 5. Jaringan parut pada stroma kornea pada kasus yang berat. Fase Hidrops Akut 1. Suatu keadaan akut dimana cairan aqueous masuk ke kornea karena adanya robekan pada membran Descement. Hal ini menyebabkan turunnya visus secara mendadak disertai tidak nyaman dan epifora. 2. Diterapi dengan pemberian tetes mata salin hipertonik, bebat mata atau lensa kontak lunak, dan pemberian siklopegik untuk mengurangi nyeri siliaris.

18

Gambar 2.20 Hidrops akut pada keratokonus 2.8 Diagnosis Banding Degenerasi Pellucid Marginal Terjadi penipisan kornea bagian inferior. Onset pada dekade ketiga sampai kelima dari kehidupan, bersifat progresif dan tidak mempunyai predileksi pada jenis kelamin tertentu.

Gambar 2.21 Pellucid Marginal

19

Keratoglobus Seluruh kornea mengalami penipisan. Penyakit ini timbul sejak lahir, bersifat bilateral dan diduga disebabkan oleh kelainan sintesa kolagen.

Gambar 2.22 Keratoglobus 2.9 Penatalaksanaan 2.9.1 Kaca Mata Untuk mengkoreksi astigmatisme regular atau astigmatisme irregular yang ringan. 2.9.2 Lensa Kontak Keras Dibutuhkan pada derajat astigmat yang berat dan menghasilkan permukaan refraktif yang regular. 2.9.3 Tindakan Bedah Prosedur Keratoplasti A. Keratoplasti Tembus Di indikasikan pada pasien keratokonus yang timbul jaringan parut pada apeks dari kornea dan pasien yang tidak bisa dikoreksi atau tidak toleran terhadap lensa kontak.

20

Gambar 2.23 Keratoplasti tembus pada keratokonus

Gambar 2.24 Langkah-langkah keratoplasty conductive B. Keratoplasti Lamellar Dalam (deep lamellar keratoplasty/DLK) Keratoplasti lamellar adalah prosedur transplantasi kornea dengan ketebalan tertentu.

21

Gambar 2.25 Keratoplasti lamellar pada keratokonus C. Keratoplasti Termal (Thermokeratoplasti) Membuat kornea lebih flat/datar dengan menggunakan aplikasi panas. Sumber panas yang bisa digunakan adalah Laser holmium-YAG non kontak.

Gambar 2.26 Laser termal keratoplasti 2.9.4 Prosedur Ablatio Kornea

22

A. Ablasi Kornea Dengan Laser Eksimer (Excimer Laser) Tujuan ablasi kornea dengan laser pada keratokonus ialah: 1. Sebagai terapi pasien keratokonus yang tidak toleran dengan lensa kontak karena adanya nebula. Pengambilan jaringan parut tersebut dapat meningkatkan toleransi pasien keratokonus terhadap penggunaan lensa kontak. 2. Sebagai prosedur refraksi untuk meratakan kerucut dan mengurangi astigmatisme, meningkatkan toleransi pemakaian kaca mata dan lensa kontak.

Gambar 2.27 Alat excimer laser

23

Gambar 2.28 Excimer laser (PRK) B. LASIK (Laser in Situ Keratomileus) Lasik digunakan untuk menangani miopia astigmatisme pada pasien dengan keratokonus, terutama pada stadium forme-fruste. Namun pada observasi lebih lanjut ditemukan adanya regresi dari visus akibat

24

progresifitas dari keratokonusnya dan pada akhirnya juga memerlukan tindakan keratoplasti.

Gambar 2.29 Tissue Flap

Gambar 2.30 Laser Sculpts

25

Gambar 2.31 Lasik Surgery 2.9.5 Prosedur Addisi Kornea A. Epikeratoplasti Epikeratoplasti bertujuan membuat kornea berubah bentuk dengan cara menambahkan jaringan kornea donor yang telah dipahat. Walaupun visus paska keratoplasti tembus lebih baik daripada epikeratoplasti, namun epikeratoplasti tetap direkomendasikan sebagai alternatif bedah untuk pasien yang tidak dianjurkan dilakukan keratoplasti tembus, seperti pasien dengan sindroma Down atau atlet profesional.

Gambar 2.32 Epikeratoplasti

26

B. Lensa Intraokular Fakik Lensa intraokular fakik semakin populer penggunaannya. Miopia sering berhubungan dengan keratokonus. Pada beberapa pasien degan kornea yang masih jernih namun sudah tidak dapat toleran terhadap lensa maka cara ini dapat dipertimbangkan. C. Cincin Koernea Intra Stromal Cincin ini berfungsi untuk memendekkan kelengkungan arkus permukaan anterior kornea dan mendatarkan daserah korena sentral. Cara ini bersifat reversibel (cincin tersebut dapat diambil kembali) dan juga bisa dianjurkan pada pasien sindroma Down dimana tindakan keratoplasti tembus sangat beresiko karena kurangnya kerjasama pasien.

Gambar 2.33 Cincin kornea intra sentral 2.10 Prognosis Keratokonus adalah suatu bentuk dari kornea mata berupa penipisan pada kornea didaerah sentral dan parasentral yang berakibat kornea menjadi tipis dan menonjol seperti kerucut. Penyakit ini merupakan penyakit non inflamasi, bersifat kronis dan progresif. Bila terjadi jaringan parut pada kornea bagian sentral akan menyebabkan penurunan visus yang bermakna dan tidak dapat dikoreksi dengan lensa kontak.

27

BAB III KESIMPULAN

Keratokonus ialah penyakit ektasia kornea non inflamasi dan bilateral dimana daerah sentral atau parasentral dari kornea mengalami penipisan dan penonjolan sehingga kornea tampak berbentuk kerucut. Gambaran histopatologi klasik berupa penipisan stroma, deposit besi di epitel atau basal membran, serta robekan-robekan pada lapisan membrana Bowman. Pemeriksaan biokimiawi menunjukkan adanya enzim degradatif, inhibitor protein dan IL-1 mungkin berperan penting dalam patogenensi penyakit ini. Tanda klinis yang mungkin ditemukan meliputi tanda dari Munson, tanda dari Rizzuti, garis dan Vogt, cincin Fleisher, dan reflek tetesan minyak. Secara morfologi keratokonus dibagi menjadi nipple cones, oval cones, dan globus cones. Diagnosis bandingnya adalah degenerasi pellucid marginal dan keratoglobus. Pada stadium awal, kaca mata sudah cukup memperbaiki visus. Lensa kontak keras merupakan bentuk terapi yang paling sering dipakai. Bila lensa kontak sudah gagal memperbaiki visus, maka transplantasi kornea merupakan tindakan bedah yang memberikan hasil visus terbaik.

28

Daftar Pustaka 1. Basic and Clinical Science Course 2001-2002: Fundamentals dan principles of opthalmology; American Academy of Oftalmology; hal.156 2. Basic and Clinical Science Course 2003-2004: External Disease and Cornea; American Academy of Oftalmology; hal.9-312 3. Bruce AS, Loughnan MS, 2003. Anterior eye disease and therapeutic A.Z. Oxford: Butterworth-Heinemann: 184-189 4. Cibis GW, Abdel-Latif AA, Bron AJ et all, 2001. BCSC 2001-2002 Section 2: Fundamental and principles of opthalmology. San Fransisco: The Foundation of the American Academy of Opthamology: 1565. Colin J, Velou S, 2003. Current surgical options for keratokonus. J Cataract

Refract Surg 29: 379-3866. Colin J, Velou S, 2003. Implantation of intact and a refractive intraocular

lens to correct keratokonus. J Cataract Refract Surg 29: 832-834 7. Kanski JJ, 2003. Clinical Ophtalmology: A Systemic Approach. 5ed, Oxford: ButterwortHeinemann: 131-135 8. Kenny MC, Brown DJ, 2003. The cascade hypothesis of keratokonus. Contact lens and anterior eye 26: 139-1469. Kymes SM, Walline JJ, Zadnik K et al, 2004. Quality of life in keratokonus.

Am J opthalmology 138:527-52510. Mandell RB, 2008. Contempory management of keratokonus. ICLC 24: 43-

5811. Rabinowitz, 2009. Keratoconus: major review. Suerv of Opthalmology

42:297-31912. Siganos CS, Kymionis GD, Kartakis N et all, 2003. Management

keratoconus with intacs. Am J opthalmology 135:64-7913. Surphin JE, Chodosh J, Dana MR et all, 2003. BSCS 2003-2004 Section 8:

External disease and cornea. San Fransisco: The Foundation of The American Academy of Opthamlmology: 9, 311-316, 425-444,456,496,-49714. Wachler BS, Chandra NS, Chou B et al 2003. Intact for Keratoconus.

Opthalmology 110:1031-1040