refleksi thalasemia ayu
TRANSCRIPT
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Refleksi Kasus Hemato-Onkologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Thalasemia
Disusun oleh:
Ayu Herwan Mardatillah (0910015020)
Pembimbing:
dr. William S. Tjeng, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Thalassemia yaitu suatu kelainan darah bersifat genetik dimana terjadinya
kerusakan DNA yang akan menyebabkan tidak optimalnya produksi sel darah
merah serta mudah rusak dan hanya mampu bertahan kurang dari 120 hari.
(Ngastiyah, 1997). Thalassemia berasal dari bahasa Yunani, yaitu talassa yang
berarti laut dan haema yang bararti darah. Yang dimaksud dengan laut tersebut
ialah Laut Tengah, yang merupakan tempat dimana untuk pertama kalinya
penyakit ini ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama
Thomas B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita
anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia 1 tahun. (Riri Julianti, 2008)
Untuk ukuran awam, istilah Thalassemia mungkin cukup jarang terdengar.
Padahal, di Indonesia sendiri terdapat cukup banyak penderita kelainan darah
yang sifatnya menurun dan data yang ada juga pernah menyebutkan ada sekitar
ratusan ribu orang pembawa sifat Thalassemia yang beresiko diturunkan pada
anak mereka. (Daniel Irawan, 2009).
Hingga kini belum ada terapi yang tepat untuk menyembuhkan pasien
Thalassemia. Terapi yang dapat digunakan saat ini ialah dengan memberikan
transfusi darah dan tambahan asam folat, serta mempertahankan hemoglobin di
atas 10 gram/dl, agar aktivitas penderita Thalassemia dapat melaksanakan
kegiatan sehari-hari. Akan tetapi transfusi darah berulang dapat mengakibatkan
penimbunan zat besi pada organ-organ penting seperti jantung, hati, atau otak, dan
dapat mengganggu fungsi organ-organ tersebut. Untuk mencegah penimbunan zat
besi tersebut dapat digunakan dengan pemberian Desferoxamine melalui syringe
drive. Namun sayangnya tidak semua orang mampu membeli obat ini karena
harganya masih sangat mahal saat ini.
2
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan
yang terdapat pada kasus.
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang
didapat.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
- Nama : An. TS
- Jenis kelamin : Perempuan
- Umur : 5 tahun
- Alamat : Jl. Bendahara
- Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
- MRS : 20 September 2014
Identitas Orang Tua
- Nama Ayah : Tn. M
- Umur : 50 tahun
- Alamat : Jl. Bendahara
- Pekerjaan : Swasta
- Pendidikan Terakhir : SLTA
- Ayah perkawinan ke : 1
- Riwayat kesehatan : Tidak ada penyakit
- Nama Ibu : Ny. R
- Umur : 40 tahun
- Alamat : Jl. Bendahara
- Pekerjaan : IRT
- Pendidikan Terakhir : SLTA
- Ibu perkawinan ke : 1
- Riwayat kesehatan : Tidak ada penyakit
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 23 September 2014
dengan ibu kandung pasien.
4
Keluhan Utama :
Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lemas yang ia rasakan sejak ± 3 hari
SMRS. Menurut pengakuan ibu pasien, keluhan ini telah anaknya rasakan sejak
usia 1,5 tahun, pada awalnya dulu keluhan yang dirasakan yakni pusing, lemas
dan kadang disertai demam. Sejak umur tersebut anaknya didiagnosis menderita
Thalasemia. Keluhan ini muncul paling sering setiap bulan.
Pasien tidak mengalami demam, batuk, ataupun pilek. BAB dan BAK
dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami keluhan lemas dan pucat sejak usia 1,5 tahun
dengan riwayat sakit Thalasemia.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit yang serupa
dengan pasien.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Hamil
ke
Kondisi
saat
lahir
Jenis
persalinan
Usia
(tahun)
Sehat/
tidak
Umur
meninggal
Sebab
meninggal
1 Aterm Spontan 17 Sehat - -
2 Aterm Spontan 10 Sehat - -
3 Aterm Spontan - Meninggal - -
Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :
Berat badan lahir : 2700 gram
Panjang badan lahir : lupa
5
Berat badan sekarang : 12,9 kg
Panjang badan sekarang :
Gigi keluar : 5 bulan
Tersenyum : ibu lupa
Miring : ibu lupa
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 9 bulan
Merangkak : 9 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 1 tahun
Berbicara 2 suku kata : 10 bulan
Makan dan minum anak
ASI : Diberikan sejak lahir hingga usia 2 tahun
Susu sapi : Diberikan sejak usia 0 bulan sampai sekarang
Bubur susu : Diberikan sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun
Tim saring : -
Buah : -
Lauk dan makan padat : Diberikan sejak usia 1 tahun
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Puskesmas
Penyakit Kehamilan : Hipotensi
Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin + Zat Besi
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : RS Katholik
Persalinan ditolong oleh : dr. Sp.OG
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : Sectio caesaria
6
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Puskesmas
Keadaan anak : Sehat
Keluarga berencana : Ya (suntik/3 bulan
IMUNISASI
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG + //////// /////// /////// /////// ///////
Polio + + + + /////// ///////
Campak + //////// /////// /////// /////// ///////
DPT + + + /////// - -
Hepatitis B + + + /////// - -
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 23 September 2014
Kesan umum : sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 120 x/menit, isi cukup, reguler
Frekuensi napas : 30 x/menit
Temperatur : 36,1o C per axila
Antropometri
Berat badan : 12,9 kg
Panjang Badan : 48 cm
Status Gizi : Gizi kurang (71,67%)
7
8
Kepala
Rambut : Hitam
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil Isokor (3mm), mata cowong (-/-)
Mulut : Lidah kotor (-),faring Hiperemis (-), mukosa bibir basah,
pembesaran Tonsil (-/-)
Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB submandibular (-/-),
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,
retraksi (-), Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Fremitus raba dekstra = sinistra, Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Batas jantung
Kiri : ICS V midclavicula line sinistra
Kanan : ICS III para sternal line dextra
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), S1S2 tunggal reguler,
bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-)
splenomegali (-), turgor kulit kembali cepat
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-)
Status Neurologicus
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Kepala : Bentuk normal, simetris, ubun-ubun cekung (-), nyeri tekan (-)
9
Leher : Sikap tegak, pergerakan baik, kaku kuduk (-)
Pemeriksaan Refleks Fisiologis
Anggota Gerak Atas Kanan Kiri
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
(+)
5
(+)
5
Refleks fisiologis
Biseps
Triceps
(+)
(+)
(+)
(+)
Refleks patologis
Tromner
Hoffman
(-)
(-)
(-)
(-)
Anggota Gerak Bawah Kanan Kiri
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
(+)
5
(+)
5
Refleks fisiologis
Patella
Achilles
(+)
(+)
(+)
(+)
Refleks patologis
Babinski
Chaddock
(-)
(-)
(-)
(-)
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap (20/9/14) Darah lengkap (22/9/14) Nilai normal
Leukosit 10.900 Leukosit 10.900 4.800-10.800 /uL
Hb 7,2 Hb 9,5 11,3-14,1 gr/dl
MCV 69,2 MCV 71,9 80-100
MCH 23,3 MCH 23,9 27-34
MCHC 33,7 MCHC 33,3 32-36
10
Hematokrit 21,4 % Hematokrit 28,5% 33-41 %
Platelet 221.000 Platelet 204.00 150.000-450.000
Diagnosis Kerja : Thalasemia
Penatalaksanaan : Transfusi PRC 125 cc/hari
Follow Up
Tanggal Subjektif & Objektif Assesment & Planning
Hari ke- 121-09-2014
Melati
S: lemas(+), tidak nafsu makan
(+)
O: CM; N 100x/i; RR 20x/i; T: 36,0 oC Ane (+/+)
A: ThalasemiaP:- Transfusi PRC 125 cc/hari
Hari ke-222-09-2014
Melati
S: Keluhan (-)
O: CM; N 98x/i; RR 20x/i; T: 36,2 oC Ane (+/+)
A: ThalasemiaP:- Transfusi PRC 125 cc/hari
Hari ke-323-09-2014
Melati
S: Keluhan (-)
O: CM; N 102x/i; RR 24x/i; T: 36,2 oC Ane (+/+), BU (+) N, NT (-), organomegali (-)
A: ThalasemiaP: (-)
(pasien dibolehkan pulang karena sudah tidak ada keluhan dengan hasil laboratorium darah Hb: 11,8 ; Ht: 37% ; Leu: 10.500)
11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Thalassemia
1. Definisi dan Penyebaran Thalassemia
Thalassemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang
dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini
pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Thalassemia adalah penyakit
genetik yang diturunkan secara autosomal dominan menurut hukum Mendel dari
orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit thalassemia meliputi suatu keadaan
penyakit dari gelaja klinis yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut
thalassemia minor atau thalassemia trait (carrier = pengemban sifat) hingga yang
paling berat (bentuk homozigot) yang disebut thalassemia mayor. Bentuk
heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit
thalassemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya
yang mengidap penyakit thalassemia.(Ratna A.G, 2005)
Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA
yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak
yang menderita anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Oleh
sebab itu, anemia ini dinamakan anemia splenic atau eritroblastosis atau anemia
mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya. (Ratna A.G,
2005)
Pada beberapa penelitian, penyebaran thalassemia meliputi kawasan sabuk
bola dunia,yang dimulai dari kawasan Mediterania hingga kawasan garis
khatulistiwa di Indonesia. Istilah sabuk thalassemia (WHO, 1983) inilah yang
sering disebut sebagai jalur penyebaran penyakit ini. Wilayah dengan prevalensi
tinggi talasemia adalah sekitar Laut Tengah, Timur Tengah, Asia Selatan, dan
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. (Ratna A.G, 2005)
12
Gambar 2.1. Sabuk Thalassemia (berwarna merah) merupakan jalur penyebaran
thalassemia (Hoffbrand AV dan Pettit JE, 2001).
Di Indonesia banyak dijumpai kasus Thalassemia, hal ini disebabkan oleh
karena migrasi penduduk dan pencampuran penduduk. Menurut hipotesis, migrasi
penduduk tersebut diperkirakan berasal dari Cina Selatan yang dikelompokkan
dalam dua periode. Kelompok migrasi pertama diduga memasuki Indonesia
sekitar 3.500 tahun yang lalu dan disebut Protomelayu (Melayu Awal) dan
migrasi kedua diduga 2.000 tahun yang lalu disebut Deutromelayu (Melayu
Akhir) dengan fenotip Monggoloid yang kuat. Keseluruhan populasi ini menjadi
hunian kepulauan Indonesia tersebar di Kalimantan, Sulawesi, pulau Jawa,
Sumatera, Nias, Sumba dan Flores (Ratna A.G, 2005).
2. Klasifikasi Thalassemia
Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalasemia alfa dan beta,
sedangkan secara klinis dibedakan atas thalasemia mayor dan minor . (Mansjoer
A, dkk, 2001). Hemoglobin terdiri dari dua jenis rantai protein, yaitu rantai alfa
globin dan rantai beta globin. Jika terdapat masalah pada alfa globin dari
hemoglobin, hal ini disebut thalassemia alfa. Dan jika masalah ditemukan pada
beta globin hal ini disebut thalassemia beta. Kedua bentuk alfa dan beta
mempunyai bentuk dari ringan atau berat. Bentuk berat dari Beta-Thalassemia
sering disebut anemia Cooley’s (Darling D, 2007).
13
2.1 Thalassemia Alfa
Gambar 2.2. Rantai Hemoglobin (Hemoglobin: Structure & Function, 2007)
Pada gambar 2.2, empat gen dilibatkan di dalam membuat globin alfa yang
merupakan bagian dari hemoglobin, dua dari masing-masing orangtua.
Thalassemia alfa terjadi dimana satu atau lebih varian gen ini hilang. (Darling D,
2007)
Orang dengan hanya satu gen mempengaruhi disebut silent carriers dan tidak
punya tanda penyakit.
Orang dengan dua gen mempengaruhi disebut thalassemia trait atau
thalassemia alfa . akan menderita anemia ringan dan kemungkinan menjadi
carrier
Orang dengan tiga gen yang yang dipengaruhi akan menderita anemia sedang
sampai anemia berat atau disebut penyakit hemoglobin H.
Bayi dengan empat gen dipengaruhi disebut thalassemia alfa mayor atau
hydrops fetalis. Pada umumnya mati sebelum atau tidak lama sesudah
kelahiran.
Jika kedua orang menderita alfa thalassemia trait (carriers) memiliki seorang
anak, bayi bisa mempunyai suatu bentuk alfa thalassemia atau bisa sehat. (Darling
D, 2007)
2.2 Thalassemia Beta
Melibatkan dua gen didalam membuat beta globin yang merupakan bagian
dari hemoglobin, masing-masing satu dari setiap orangtua. Beta thalassemia
terjadi ketika satu atau kedua gen mengalmi variasi. (Darling D, 2007). Jika salah
satu gen dipengaruhi, seseorang akan menjadi carrier dan menderita anemia
ringan. Kondisi ini disebut thallasemia trait/beta thalassemia minor, jika kedua
14
gen dipengaruhi, seseorang akan menderita anemia sedang (thalassemia beta
intermedia atau anemia Cooley’s yang ringan) atau anemia yang berat ( beta
thalassemia utama, atau anemia Cooley’s) (Yayan Khyar, 2008).
Anemia Cooley’s, atau beta thalassemia mayor jarang terjadi. Suatu survei
tahun 1993 ditemukan 518 pasien anemia Cooley’s di Amerika Serikat.
Kebanyakan dari mereka mempunyai bentuk berat dari penyakit, tetapi mungkin
kebanyakan dari mereka tidak terdiagnosis (Yayan Khyar, 2008).
Jika dua orang tua dengan beta thalassemia trait (carriers) mempunyai
seorang bayi, salah satu dari tiga hal dapat terjadi (Darling D, 2007) :
Bayi bisa menerima dua gen normal ( satu dari masing-masing orangtua) dan
mempunyai darah normal ( 25 %).
Bayi bisa menerima satu gen normal dan satu varian gen dari orangtua yang
thalassemia trait ( 50 %).
Bayi bisa menerima dua gen thalassemia ( satu dari masing-masing orangtua)
dan menderita penyakit bentuk sedang sampai berat (25 %).
Gambar 2.3. Skema Penurunan Gen Thalassemia Menurut Hukum Mendel
(Yayan Khyar, 2008)
3. Gejala dan Diagnosis Ciri – ciri Thalassemia
Penderita thalassemia ditandai oleh beberapa ciri khas yaitu, tubuh pucat,
lemah dan gelisah serta sesak nafas. Jika tubuh tidak dapat menghasilkan salah
satu daripada protein alfa atau beta, maka sel-sel darah merah akan mengalami
15
gangguan dalam pengangkutan oksigen dari paru-paru kesuluruh tubuh. Dalam
penyakit thalassemia, pengurangan hemoglobin (akibat daripada pengurangan
pembentukan salah satu rantai globin), menyebabkan pengurangan sel-sel darah
merah secara umumnya disebut, anemia.
Diagnosis penderita Thalassemia dapat ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang antara lain laboratorium darah,
analisis hemoglobin, MRI serta USG dan echoardiografi untuk melihat apakah
sudah terjadi komplikasi dari penyakit ini.
4. Penatalaksanaan Thalassemia
Ada beberapa cara pengobatan thalassemia yang dapat diterapkan secara
serentak maupun serial. Setiap pengobatan berupaya untuk memperbaiki sel darah
merah yang mengalami destruksi premature agar menjadi normal dan berbagai
komplikasi thalassemia juga dapat dihindarkan.
4.1 Pengobatan
4.1.1 Transfusi Darah
Dengan transfusi darah secara berkala dapat memperbaiki anemia dan
mengurangi cacat tulang akibat eritropoiesis yang berlebihan. Dengan transfusi
saja pasien dapat bertahan hingga decade kedua atau ketiga, tetapi secara bertahap
terjadi kelebihan zat besi. Zat besi, baik yang diperoleh dari sel darah merah
transfuse maupun zat besi yang diserap secara berlebihan dari usus (sedikit
banyak berkaitan dengan eritropoiesis inefektif) yang menimbulkan kelebihan zat
besi (Robbins, dkk, 2007).
4.1.2 Pemberian Obat Desferrioxamine
Kelebihan zat besi yang diakibatkan oleh transfusi darah dapat diatasi
dengan pemberian obat desferrioxamine yang mampu mengeluarkan kelebihan zat
besi yang berlebihan didalam tubuh melalui air kencing. Obat ini digunakan
dengan cara disuntikkan dibawah kulit setiap hari dan biasanya pada malam hari
serta dilakukan secara berkala antara 5 – 7 malam setiap minggu untuk
mendapatkan penurunan zat besi yang baik.
16
4.1.3 Transplantasi Sumsum Tulang
Pada penderita thalassemia yang sangat berat dapat diperlukan
pencangkokan sumsum tulang. Dalam hal ini diperlukan donor yang cocok (donor
biasanya saudara kembar atau saudara kandung penderita), dan sebaiknya
dilakukan sedini mungkin sejak kecil, yakni ketika anak belum banyak mendapat
transfusi darah, karena semakin sering transfusi semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya penolakan terhadap jaringan sumsum tulang donor. Sayangnya,
di Indonesia tindakan ini masih dalam tahap permulaan.
Bila terjadi aktivitas limpa berlebihan, dapat dilakukan pengangkatan limpa.
Aktivitas limpa yang berlebihan dapat menghancurkan juga sel darah yang
normal, akibatnya Hb penderita cepat turun. Hal ini lebih sering terjadi pada anak
yang mendapat transfusi lebih dari satu kali dalam satu bulan.
4.2 Pencegahan
Mengingat dampaknya yang tidak kecil, langkah pencegahan selalu menjadi
yang terbaik bagi penyakit ini. Pada penyakit thalasemia, untuk mencegah
lahirnya anak dengan thalasemia mayor adalah tidak menikah dengan pembawa
gen thalasemia maupun pengidap thalasemia. Untuk mengetahui seseorang itu
mempunyai gen thalasemia atau tidak,satu-satunya jalan adalah dengan
pemeriksaan atau tes darah. Sangat disayangkan tidak banyak yang melakukan
pemeriksaan kesehatan sebelum menikah. Hal ini turut meningkatkan jumlah
penderita talasemia yang di Indonesia memang sudah cukup banyak. Ada
bermacam-macam pemeriksaan yang dapat dilakukan,yaitu :
Melakukan tes darah sebelum terjadi perkawinan (premarital screening).
Pemeriksaan ini dilakukan pada calon suami istri yang akan menikah. Jika pada
perempuan tidak ditemukan gen pembawa thalasemia,maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan pada laki-laki. Tetapi jika ditemukan gen pembawa
thalasemia pada perempuan,maka laki-laki harus diperiksa juga. (Wendy
Mehari, 2009)
Apabila sepasang suami isteri sudah mengetahui bahwa keduanya merupakan
pengidap penyakit thalasemia minor,maka maka perlu dilakukan pemeriksaan
17
dan perencanaan kelahiran yang teliti dengan dibantu dokter dan ahli genetika
agar anak yang lahir tidak mengidap thalasemia.(Erik Tapan, 2009)
Apabila telah terjadi perkawinan dan hamil, maka perlu dilakukan pula
antenatal atau prenatal diagnosis untuk menghindari lahirnya anak dengan
penyakit thalasemia. (Sut, 2009) Pemeriksaan pada janin dapat dilakukan saat
usia kehamilan mencapai 10-15 minggu. (Wendy Mehari, 2009)
4.2.1 Pemeriksaan Pra Natal
Pada saeorang ibu yang hamil, akan diperiksa darah tepi lengkap dan
analisis hemoglobin. Jika hasilnya normal, artinya tidak perlu ada tindakan apa-
apa. Namun jika hasilnya menunjukkan bahwa sang ibu pembawa sifat
thalasemia, maka sang suami harus juga diperiksa. Pemeriksaan yang dilakukan
yaitu sama seperti pada sang Ibu, pemeriksaan darah tepi lengkap dan analisis
hemoglobin. Sama seperti pada Ibu, jika sang suami tidak membawa gen
talasemia, maka pemeriksaannya dianggap sudah selesai.
Namun jika sang suamipun membawa gen thalasemia, pemeriksaan harus
dilanjutkan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan analisis DNA
suami-isteri. Kemudian dilakukan pengambilan jaringan vili chorealis untuk
menganalisa DNA janin. Dari sini bisa diputuskan apakah janin tersebut normal,
atau menjadi pembawa sifat (heterozigot) ataupun menderita talasemia major
(penderita/homozigot). Kemungkinannya adalah 25% normal, 50% minor dan
25% mayor.
Pemeriksaan Pra Natal (sebelum kelahiran) yang disebutkan di atas
mengandung suatu resiko bahwa mungkin saja sang janin menderita talasemia
mayor. Ini merupakan suatu dilema yang sangat sulit untuk diputuskan, apakah
janin tersebut akan dilahirkan atau tidak. Untuk itulah lagi-lagi dianjurkan
hendaknya pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum menikah ( M. Sangkot,
2009).
Maka akan bisa diketahui apakah salah satu atau dua-duanya pembawa gen
thalasemia. Namun dari sisi kedua pasangan tersebut, ini juga merupakan dilema.
Biasanya bila diketahui salah satu membawa sifat talasemia, maka pihak keluarga
18
pasangannya akan menolak melanjutkan hubungan tersebut (padahal sebenarnya
tidak perlu jika pasangannya normal).
5. Komplikasi pada Penyakit Thalasemia
Kerusakan sel darah merah dalam tubuh penderita thalasemia meninggalkan
zat besi. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan
membentuk sel darah merah baru. Sementara dalam tubuh penderita thalasemia
zat besi yang ditinggalkan sel darah merah yang rusak menumpuk dalam organ
tubuh seperti jantung dan hati karena suplai sel darah merah diperoleh dari
transfusi darah. Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload
ini akan mengganggu fungsi organ tubuh. (Victor As, 2009)
Komplikasi utama pada thalasemia baik minor maupun mayor adalah
anemia. Dan pada anemia ini lah komplikasi penyakit thalasemia bermula.
Anemia yang disebabkan Thalassemia lebih serius sifatnya, disebabkan oleh
ketidakseimbangan hemoglobin pasien yang menyebabkan fungsi hemoglobin
sebagai pengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh jadi terganggu. Dan
kondisi anemia ini tidak dapat diobati hanya dengan mengonsumsi suplemen zat
besi (Craig Butler, 2009).
Jika kondisi anemia yang disababkan oleh thalasemia ini sudah tergolong
parah, maka dibutuhkan transfusi darah untuk menyeimbangkan eritrosit dalam
tubuh dan menjaga agar suplai oksigen tetap stabil. Transfusi darah harus
dilakukan secara rutin dengan frekuensi 2-3 kali dalam satu minggu ( Craig
Butler, 2009).
Transfusi darah yang terlalu sering menyebabkan zat besi tertimbun di
organ-organ tubuh. Penumpukan zat besi itu karena sel darah merah yang rusak
itu meninggalkan zat besi dalam tubuh. Dalam kondisi normal, zat besi ini dapat
dimanfaatkan untuk membentuk sel darah merah baru yang diproduksi oleh tubuh.
Akan tetapi, karena tubuh memperoleh suplai darah merah dari transfusi darah,
maka terjadi penumpukan zat besi di hampir seluruh organ tubuh (Victor As,
2009).
Penumpukan zat besi di organ-organ tubuh bersifat fatal karena dapat
menyebabkan kegagalan fungsi organ tersebut. Salah satu organ tempat
19
penimbunan zat besi adalah jantung. Banyak penderita thalasemia yang meninggal
akibat gagal jantung. Hal ini disebabkan oleh kurangnya daya kompensasi yang
dimiliki jantung dibandingkan dengan organ-organ lainnya. Awalnya jantung
akan mengalami pembesaran, namun karena daya kompensasinya rendah, maka
jantung tidak dapat lagi bekerja (Victor As, 2009).
Selain jantung, limpa dan hati juga mengalami pembesaran akibat bekerja
terus menerus membentuk sel darah merah, limpa penderita menjadi besar karena
penghancuran darah merah terjadi di sana (Nining, 2009). Limpa dan hati yang
membesar dapat membatasi gerak tubuh penderita, menimbulkan peningkatan
tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya rupture atau sobekan pada organ
tersebut karena terlalu besar (Bambang Permono dkk, 2009).
Penumpukan zat besi juga terjadi di kelenjar endrokrin sehingga
menyebabkan pubertas lambat, tidak menstruasi, pertumbuhan pendek dan
lamban,dan bahkan tidak mempunyai keturunan. Dan yang lebih parah lagi,
penderita thalasemia berpeluang terkena penyakit hepatitis B, hepatitis C dan HIV
yang tertular dari transfuse darah yang berulang. (Hulsman Stuart Roath, 1992)
Perubahan pada tulang juga dapat terjadi karena hiperaktivitas sumsum
merah berupa deformitas dan fraktur spontan (terutama tulang panjang). Dapat
pula mengakibatkan pertumbuhan berlebihan tulang frontal, zigomatik dan
maksilaris. Pertumbuhan gigi biasanya buruk. IQ kurang baik apabila tidak
mendapat tranfusi darah secara teratur dan menaikan kadar Hb. Jika kerusakan
tulang terjadi pada tulang muka, misalnya, pada tulang hidung, maka bentuk muka
pun akan berubah. Batang hidung menjadi hilang/melesak ke dalam (facies
cooley). (Nining, 2009)
BAB 4
PEMBAHASAN
20
4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Penderita thalassemia memiliki usia
tersering pada usia >18- 67 tahun,
ditandai oleh beberapa ciri layaknya
anemia, seperti lemas, gelisah, serta
sesak napas. Selain itu penderita juga
akan mengeluhkan gangguan napsu
makan, serta perut yang membesar
yang diakibatkan oleh hepatomegali
atau splenomegali
Anamnesis
Pertama kali didiagnosis menderita
Thalasemia saat usia 1,5 tahun
Lemas sejak 3 hari SMRS
Pucat
Dari anamnesis, diperoleh beberapa gejala yang sesuai dengan teori, antara
lain lemas dan pucat. Keluhan-keluhan seperti ini kerap muncul pada penderita
karena anemia, penderita mengeluhkan sering merasa lemas karena memiliki
kadar eritrosit yang rendah. Pasokan energi salah satunya bergantung pada
oksidasi dan eritrosit dalam tubuh. Semakin rendah eritrosit, tingkat oksidasi
dalam tubuh juga akan berkurang. Jumlah eritrosit yang rendah ini juga
menurunkan tingkat oksigen dalam tubuh.
4.2 Pemeriksaan Fisik
Teori KasusPemeriksaan Fisik
Facies Thalassemia Pucat Ikterik Hepatosplenomegali Gangguan pertumbuhan tulang
Pucat (+) Ikterik (-/-)
21
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien tergantung pada derajat keparahan
Thalassemia dan kadang tidak khas melalui pemeriksaan fisik saja. Pucat dapat
ditemukan pada semua jenis pasien dengan kelainan darah. Splenomegali
ditemukan pada pasien akibat destruksi etritrosit premature di limfa dan akibat
destruksi itu juga penderita cenderung ikterik karena kadar bilirubin berlebihan
dari penghancuran eritrosit yang berlebihan.
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Diagnosis Thalasemia diketahui dari
pemeriksaan darah termasuk
complete blood count (CBC) dan
pemeriksaan Hemoglobin khusus
(Hb elektroforesis).
Pemeriksaan lain bisa dilakukan
untuk melihat hematopoiesis dengan
MRI, selain itu untuk memeriksa
adanya komplikasi seperti USG
abdomen dan echocardiogarfi
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah
Hemoglobin : 7.2 g/dl
Hematokrit : 21,4%
Retikulosit : -
Hapusan darah tepi : -
Indeks eritrosit
MCV : 69,2
Analisis hemoglobin
( Electroforesis Hemoglobin ) : -
Radio Imaging
MRI (hematopoiesis) : -
Pemeriksaan Komplikasi
USG (adanya splenomegali) : -
MRI (kelainan tulang) : -
Echokardiografi : -
Pemeriksaan penunjang yang telah dipaparkan di atas telah menunjukkan
bahwa ada beberapa pemeriksaan penunjang yang sesuai literature, meskipun ada
beberapa yang belum dilakukan seperti hapusan darah tepi untuk melihat
bentukan eritrosit, MRI untuk melihat hematopoiesis , dan pemeriksaan
22
penunjang lain untuk melihat adanya komplikasi dari Thalassemia seperti USG
dan echokardiografi.
4.4 Penatalaksanaan
Teori KasusTerapi transfusi darahTerapi Iron ChelationTerapi transplantasi sumsum tulang
Transfusi PRC 125 cc/hari
Pemberian PRC pada pasien ini sudah sesuai dengan literatur. Seperti yang
telah dijelaskan. Terapi yang dapat digunakan saat ini ialah dengan memberikan
transfusi darah dan tambahan asam folat, serta mempertahankan hemoglobin di
atas 10 gram/dl, agar aktivitas penderita Thalassemia dapat melaksanakan
kegiatan sehari-hari. Akan tetapi transfusi darah berulang dapat mengakibatkan
penimbunan zat besi pada organ-organ penting seperti jantung, hati, atau otak, dan
dapat mengganggu fungsi organ-organ tersebut. Untuk mencegah penimbunan zat
besi tersebut dapat digunakan dengan pemberian Desferoxamine melalui syringe
drive. Namun sayangnya tidak semua orang mampu membeli obat ini karena
harganya masih sangat mahal saat ini.
Cara lain adalah cangkok sumsum tulang. Cara ini sebaiknya dilakukan
sedini mungkin, yaitu saat anak belum banyak mendapat pasokan transfusi darah.
Karena makin sering menjalani tranfusi darah makin besar kemungkinan terjadi
penolakan terhadap sumsum tulang donor. Kelemahan dari metode ini adalah
mahalnya harga pengobatan, susahnya mencari donor yang cocok, dan prosesnya
yang menyakitkan penderita.
BAB 5
PENUTUP
23
5.1 Kesimpulan
Telah diperiksa pasien An. TS usia 5 tahun yang didiagnosis dengan
Thalassemia dari anamnesis (riwayat penyakit sekarang dan dahulu),
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang belum sesuai dengan literatur.
DAFTAR PUSTAKA
24
Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2 Edisi 3, Jakarta: Media
aesculapius.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Reksodiputro, A.Harryanto. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
IV. Jakarta: Penerbit FK UI.
25