referat_fisiologi dari gangguan depresi_dr.rudy hartanto,m.fils_28feb2012.docx

24

Click here to load reader

Upload: n4nt5u

Post on 10-Aug-2015

25 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

REFERAT

Fisiologi dari Ganggauan Depresi

Pembimbing:

Dr. Rudy Hartanto, dr. M.Fils

Disusun oleh :

Nandang Sudrajat

030.07.178

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

PERIODE 25 FEBRUARI 2013 – 30 MARET 2013

RUMAH SAKIT MARZUKI MAHDI BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2013

Page 2: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

kemurahan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Makalah ini

merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu Saraf di Rumah Sakit

Umum Daerah Koja.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Fadalah gangguan

psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis

yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan

depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan

alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan

nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya,

serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).

Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang

tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia

kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).

selaku pembimbing dalam penyusunan makalah ini, atas bimbingan dan kesempatan

yang telah diberikan kepada saya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang telah membantu dan

mendukung dalam penyelesaian makalah ini.

Pada makalah ini, akan dibahas mengenai Koma yang meliputi etiologi, patofisiologi,

diagnosis dan penatalaksanaan.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia ilmu saraf,

khususnya pada topik Koma. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena

itu penulis berharap kritik dan saran untuk mendapatkan makalah yang lebih baik.

Jakarta, Februari 2013

Nandang Sudrajat

Page 3: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

NIM: 030.07.178

Page 4: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

PENDAHULUAN

Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood)

sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus

menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang

yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis

serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut bipolar

(Ingram dkk, 1993).

Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan oleh

pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan

marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan

hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah (Ismail dkk, 2010).

Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,

merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri.

Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,

bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).

Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan

fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,

dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik,

gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan

alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan

nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya,

serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).

Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang

tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia

kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).

A. FAKTOR BIOLOGIS

Page 5: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit

amin biogenetik – seperti 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), homovanillic acid (HVA),

dan 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) – di dalam darah, utine, dan cairan

serebtospinalis pada pasien dengan gangguan mood. Data yang dilaporkan paling konsisten

dengan hipotesis bahwa gangguan mood adalah berhubungan dengan disregulasi heterogen

pada amin biogenik.

Amin biogenik

Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang

paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Pada model binatang, hampir semua

terapi antidepresan somatik yang efektif yang telah diuji adalah disertai dengan penurunan

kepekaan reseptor pascasinaptik adrenergik-beta dan 5-hydroxytryptamine tipe 2 (5-HT2)

setelah terapi jangka panjang, walaupun perubahan lain dihasilkan oleh terapi jangka panjang

dengan obat tersebut juga telah dilaporkan (Tabel 15.1-2). Respon temporal pertubahan

reseptor tersebut pada model binatang adalah berkorelasi dengan keterlambatan perbaikan

klinis selama satu sampai tiga minggu yang biasanya ditemukan pada pasien. Di samping

norepinefrin, serotonin, dan dopamin, bukti-bukti mengarahkan pada disregulasi asetil-kolin

dalam gangguan mood.

NOREPINEFRIN

Korelasi yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara regulasi turun (down-

regulation) reseptor adrenergik-beta dan respon antidepresan klinik kemungkinan merupakan

bagian dari yang paling memaksakan yang menyatakan adanya peranan langsung sistem

noradrenergik dalam depresi. Jenis bukti lain juga telah melibatakan reseptor adrenergik-alfa

2 dalam depresi, karena aktivasi reseptor tersebut menyebabkan penurunan jumlah

norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor adrenergik-alfa 2 juga berlokasi pada neuron

serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Adanya noradrenergik yang

hampir murni, obat anti depresan yang efektif secara klinis – sebagai contoh, desipramine

(Norpramine) – mendukung lebih lanjut peranan norepinefrin di dalam patofisiologi

sekurangnya gejala depresi.

Page 6: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

SEROTONIN

Dengan efek besar yang telah diberikan oleh serotonin-spesific reuptake inhibitors

(SSRIs) – sebagai contoh, fluoxetine (Prozac) – dalam pengobatan depresi, serotonin telah

menjadi neurotransmitter amin biogenik yang paling sering dihubungkan dengan depresi.

Diidentifikasinya subtipe reseptor serotonin multipel juga telah meningkatkan kegairahan

dalan penelitian komunitas untuk mengembangkan terapi yang lebih spesifik untuk depresi.

Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri

memiliki konsentrasi metabolit serotonin di dalam cairan serebrospinalis yang rendah di

trobosit, seperti yang diukur oleh imipramin (Tofranil) yang berikatan dengan trombosit.

Beberapa pasien depresi juga memiliki respon neuroendokrin yang abnormal – sebagai

contoh, hormon pertumbuhan, prolaktin dan hormon adrenokortikotropik (ACTH) – terhadap

provokasi dengan agen serotonergik. Walaupun antidepresan aktif-serotonin sekarang ini

bekerja terutama melalui penghambatan ambilan serotonin, generasi antidepresan di masa

depan mungkin memiliki efek lain pada sistem serotonin, termasuk antagonisme reseptor

serotonin tipe 2 (5-HT2) (sebagai contoh, nefazodone) dan agonisme reseprot serotonin tipe

1A (5-HT1A) (sebagai contoh, ipsapirone). Hal ini kemungkinan konsisten dengan

punurunan reseptor serotonin setelah pemaparan jangka panjang dengan antidepresan yang

menurunkan jumlah tempat ambilan kembali serotonin (dinilai dengan mengukur pengikatan

H3-imipramine) dan suatu peningkatan konsentrai serotonin telah ditemukan postmortem

pada otak korban bunuh diri. Penurunan ikatan tritiated-imipramine pada trombosit darah dari

beberapa pasien yang mengalami depresi juga telah ditemukan.

DOPAMIN

Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling sering

dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopanin juga telah diperkirakan memiliki peranan

dalam depresi. Data menyatakan bahwa aktivitas dopamin mungkin menurun pada depresi

dan meningkat pada mania. Penemuan subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya

pengertian tentang regulasi prasinaptik dan pascasinaptik fungsi dopamin telah semakin

memperkaya penelitian tentang hubungan antara dopamin dan gangguan mood. Obat yang

menurunkan konsentrasi dopamin – sebagai contoh, reserpine (Serpasil) – dan penyakit yang

Page 7: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

menurunkan konsentrasi dopamin (sebagai contoh, penyakit Parkinson) adalah disertai

dengan gejala depresif. Juga, obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin – sebagai contoh,

tirosin, amfetamin, dan bupropion (Wellbutrin) – menurunkan gejala depresi. Dua teori

terakhir tentang dopamin dan depresi adalah bahwa jalur dopamin mesolimbik mungkin

mengalami disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamin tipe 1 (D1) mungkin

hipoaktif pada depresi.

Faktor neurokimiawi lain

Walaupun data tidak memuaskan pada saat ini, neurotransmiter asam amino –

khususnya gamma-aminobutyric acid (GABA) – dan peptida neuroaktif (khususnya

vasopresin dan opiat endogen) juga telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.

Beberapa peneliti juga telah menyatakan bahwa sistem pembawa kedua (second-messenger)

– seperti adenylate cyclase, phosphotidylinositol, dan regulasi kalsium – mungkin juga

memiliki relevansi penyebab.

Faktor neuroendokrin

Hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu neurohormonal dan hipotalamus sendiri

menerima banyak masukan (input) neuronal yang menggunakan nerotransmiter amin

biogenik. Berbagai disregulasi telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan

demikian, regulasi abnormal pada sumbu neuroendoktin mungkin merupakan hasil dari

fungsi abnormal neuron yang mengandung amin biogenik. Walaupun secara teoritis

dimungkinkan bagi disregulasi tertentu pada sumbu neuroendokrin (sebagai contoh, sumbu

tiroid, sumbu adrenal) untuk terlibat dalam penyebab gangguan mood, disregulasi lebih

mungkin mencerminkan gangguan otak fundamental yang mendasari. Sumbu neuroendokrin

utama yang menarik perhatian di dalam gangguan mood adalah sumbu adrenal, tiroid, dan

hormon pertumbuhan. Kelaian neuroendokrin lainnya yang telah digambarkan pada pasien

dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nokturnal melantonin, penurunan

pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar follicle-

stimulating hormone (FSH) dan luteinezing hormone (LH), dan penurunan kadar testosteron

pada laki-laki.

Page 8: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

SUMBU ADRENAL. Hubungan antara hipersekresi kortisol dan depresi adalah salah

satu pengamatan yang paling tua dalam psikiatri biologi. Penelitian dasar dan klinis tentang

hubungan tersebut telah menghasilkan pengertian tentang bagaimana pelepasan kortisol

adalah diatur pada orang normal ataupun yang mengalami depresi. Neuron di nukleus

paraventrikular (PVN; paraventricular nucleus) melepaskan corticotropin-releasing hormone

(CRH), yang menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis

anterior. (ACTH dilepaskan bersama-sama dengan endorfin-beta dan lipoprotein-beta, dua

peptida yang disintesis dari prekursor protein yang sama darimana ACTH disistensis). ACTH

selanjutnya menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Kortisol memberikan

umpan balik (feed back) pada jaringan kerja melalui sekurangnya dua mekanisme: suatu

mekanisme umpat balik cepat, yang peka terhadap kecepatan peningkatan konsentrasi

kortisol, beroperasi melalui reseptor kortisol di hipokampus dan menyebabkan penurunan

pelepasan ACTH; mekanisme umpan balik lambat, yang sensitif terhadap konsentrasi kortisol

dalam keadaan mantap, diperkirakan bekerja melalui reseptor hipofisis dan adrenal.

Dexamethasone-suppresion test

Deksametason adalah suatu analog sintetik dari kortisol. Banyak peneliti telah

menyatakan bahwa sebagian bermakna, kemungkinan 50 persen dari pasien yang mengalami

depresi gagal memiliki respon supresi kortisol yang normal terhadap dosis tunggal

deksametason. Walaupun pengujian tersebut, dexamethasone-suppression test (DST), pada

mulanya diperkirakan memiliki kegunaan diagnostik, tetapi pada kenyataannya tidak

demikian, karena banyak pasien dengan gangguan psikiatrik lain juga menunjukkan hasil

positif pada DST (yaitu, nonsupresi kortisol). Tetapi, data yang baru menyatakan bahwa DST

mungkin berhubungan dengan kemungkinan relaps. Pasien yang terdepresi dengan DST yang

tidak menjadi normal bersama dengan respon klinis dengan pengobatan lebih besar

kemungkinannya mengalami relap daripada pasien dengan respon DST yang menjadi normal

bersama dengan respon klinis. Penelitian terakhir telah menunjukkan sekurangnya ada dua

masalah dengan DST. Pertama, variasi hasil DST yang cukup besar adalah karena variabilitas

dalam bagaimana deksametason dimetabolisme. Kedua, karena deksametason tampaknya

menghasilkan efek utama hanya pada reseptor hipofisis, DST tidak secara efektif menilai

keadaan fungsional reseptor kortisol yang berlokasi di bagian lain sumbu limbik-hipotalamik-

hipofisis-adrenal (LHPA; limbic-hypothalamic-pituitary-adrenal).

Page 9: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

Kemajuan terakhir dalam penilaian sumbu LHPA pada depresi adalah menggunakan

infus kortisol pada orang yang mengalami depresi dan pada orang yang normal. Kortisol,

yaitu suatu hormon yang dibentuk secara alami, merupakan zat uji yang lebih baik daripada

deksametason, yang tidak mencapai atau mengaktivasi semua reseptor yang relevan satu

penelitian menemukan bahwa pasien yang mengalami depresi memiliki gangguan fungsi

pada loop umpan balik cepatnya, yang menyatakan bahwa sekurangnya beberapa pasien

depresi mungkin memiliki fungsi reseptor kortisol yang abnormal di hipokampus. Karena

banyak peneliti telah menemukan bahwa hiperkortisolemia dapat merusak neuron

hipokampus, suatu siklus yang melibatkan stres, stimulasi pelepasan kortisol, dan

ketidakmampuan untuk menghentikan pelepasan kortisol dapat menyebabkan bertambahnya

kerusakan pada hipokampus yang telah mengalami kerusakan.

SUMBU TIROID

Gangguan tiroid sering kali disertai dengan gejala afektif, dan peneliti telah

menggambarkan adanya regulasi abnormal dari sumbu tiroid pada pasien dengan gangguan

mood. Satu penerapan klinis langsung dari hubungan ini adalah pentingnya menguji semua

pasien yang menderita penyakit afektif untuk menentukan status tiroidnya. Satu temuan

konsisten dalam penelitian adalah bahwa kira-kira sepertiga dari semua pasien dengan

gangguan dengan depresif berat yang memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul – yaitu,

thyroid-stimulating-releasing hormone(TSH) – terhadap infus thyrotropin-releasing hormone

(TRH) (protirelin). Tetapi,, kelainan yang sama telah dilaporkan dalam berbagai macam

diagnosis psikiatrik lainnya, jadi membatasi kegunaan diagnostik tes tersebut. Selain itu,

usaha untuk menentukan subtipe pasien depresi berdasarkan hasil tes TRH-nya telah

dipertentangkan.

Penelitian terakhir telah memusatkan pada kemungkinan bahwa suatu subkelompok

pasien depresi menderita gangguan autoimun yang tidak dikenali yang mempengaruhi

kelenjar tiroidnya. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa kira-kira 10 persen pasien

dengan gangguan mood, kemungkinan khususnya pasien dengan gangguan bipolar I,

memiliki konsentrasi antibodi antitiroid yang dapat dideteksi. Pada kenyataannya, apakah

antibodi adalah berhubungan secara patofisiologis dengan depresi masih belum ditentukan.

Hubungan lain yang potensial adalah antara hipotiroidisme dan perkembangan perjalanan

melingkar-lingkar yang cepat pada pasien dengan gangguan bipolar I. data penelitian yang

Page 10: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

tersedia pada saat ini menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah tidak tergantung pada

efek terapi lithium.

HORMON PERTUMBUHAN

Beberapa penelitian telah menemukan perbedaan statistik antara pasien depresi dan

orang normal di dalam hal pengaturan pelepasan hormon pertumbuhan. Pasien depresi

memiliki penumpulan stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan. Pasien depresi memiliki

penumpulan stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan yang diinduksi tidur. Karena kelainan

tidur adalah gejala yang sering pada depresi, suatu pertanda neuroendoktin yang berhubungan

dengan tidur adalah jalur untuk penelitian. Penelitian juga telah menemukan bahwa pasien

depresi memiliki penumpulan respon terhadap peninggian sekresi hormon pertumbuhan yang

diinduksi clonidine (Catapres).

Kelainan tidur

Gangguan tidur – insomnia awal dan terminal, terbangun berulang kali (multiple

awakening), hipersomnia – adalah gejala yang klasik dan sering ditemukan pada depresi, dan

perasaan menurunnya kebutuhan tidur adalah gejala klasik dari mania. Peneliti telah lama

mengenali bahwa elektroensefalogram (EEG) tidur pada banyak orang mengalami depresi

menunjukkan kelainan. Kelainan yang sering ditemukan adalah perlambatan onset tidur,

pemendekan latensi REM (rapid eye movement) (yaitu waktu antara tertidur dan periode

REM pertama), peningkatan panjang periode REM pertama, dan tidur delta yang abnormal.

Beberapa penelitian telah berusaha menggunakan EEG tidur dalam pemeriksaan diagnostik

pasien dengan gangguan mood.

Pembangkitan (kindling)

Pembangkitan adalah proses elektrofisiologi di mana stimulasi sub-ambang (sub-

treshold) yang berulang dari suatu neuron akhirnya menciptakan suatu potensial aksi. Pada

tingkat organ, stimulasi sub-ambang di suatu daerah otak menyebabkan kejang. Pengamatan

klinis bahwa antikonvulsan – sebagai contoh, carbamazepine (Tegretol) dan valproic acid

Page 11: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

(Depakene) – berguna dalam pengobatan gangguan mood, khususnya gangguan bipolar I,

telah menimbulkan teori bahwa patofisiologi gangguan mood mungkin melibatkan adanya

pembangkitan di lobus temporalis.

Irama sirkadian

Kelainan arsitektur tidur pada depresi dan perbaikan klinis pada depresi yang

sementara yang berhubungan dengan pengurangan tidur telah menimbulkan teori bahwa

depresi mencerminkan suatu regulasi abnormal irama sirkadian. Beberapa penelitian dengan

binatang menyatakan bahwa terapi antidepresan standar adalah efektif dalam mengubah jam

biologis internal (yaitu, zeitgebers internal).

Regulasi neuroimun

Peneliti telah melaporkan adanya kelainan imunologis pada pasien depresi dan pada

orang yang berdukacita atas kehilangan sanak saudara, pasangan, atau teman dekat.

Disregulasi sumbu kortisol mungkin mempengaruhi status imun; mungkin terdapat regulasi

hipotalamik yang abnormal terhadap sistem imun. Kemungkinan yang lebih kecil adalah

bahwa pada beberapa pasien suatu proses patofisiologi primer yang melibatkan sistem imun

menyebabkan gejala psikiatrik dari gangguan mood.

Pencitraan otak

Pemeriksaan pencitraan otak pada pasien dengan gangguan mood telah memberikan

sejumlah petunjuk yang tidak meyakinkan tentang fungsi otak yang abnormal pada gangguan

tersebut. Tidak ada data pencitraan otak tentang gangguan mood yang telah diulangi dengan

sama konsistennya dengan temuan peningkatan ukuran ventrikular pada pasien skizifrenik.

Namun demikian, pemeriksaan pencitraan otak struktural dengan tomografi komputer (CT)

dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) telah menghasilkan data yang menarik. Walaupun

penelitian tidak melaporkan hasil yang konsisten, data memang menyatakan hal berikut ini:

(1) sekumpulan bermakna pasien dengan gangguan bipolar I, terutama pasien laki-laki,

memiliki ventrikel serebral yang membesar; (2) pembesaran ventrikular adalah jauh lebih

Page 12: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

jarang pada pasien dengan gangguan depresif berat daripada pasien dengan gangguan bipolar

I. satu keberatan pada point depresif berat dengan ciri psikotik memiliki kecenderungan

memiliki ventrikel serebral yang membesar. Penelitian MRI juga menyatakan bahwa pasien

dengan gangguan depresif berat memiliki nucleus kaudatus yang lebih kecil dan lobus

frontalis yang lebih kecil dibandingkan dengan subjek kontrol; pasien yang mengalami

depresi juga memiliki waktu relaksasi T1 hipokampus yang abnormal, dibandingkan dengan

subjek kontrol. Sekurangnya satu penelitian MRI melaporkan bahwa pasien dengan gangguan

bipolar I memiliki peningkatan jumlah lesi substansisa alba dalam yang meningkat secara

bermakna, jika dibandingkan dengan subjek kontrol.

Banyak laporan di dalam literatur mempermasalahkan aliran darah serebral dalam

gangguan mood, biasanya diukur dengan mengunakan tomografi komputer emisi foton

tunggal (SPECT; single photon emision computed tomography) atau tomografi emisi positron

(PET; positron emission tomography). Sebagaian besar penelitian telah melaporkan adanya

penurunan aliran darah pada korteks serebral pada umumnya dan area kortikal frontalis pada

khususnya. Sebaliknya, satu penelitian menemukan peningkatan aliran darah pada pasien

dengan gangguan depresif berat. Penelitian tersebut menemukan peningkatan yang

tergantung keadaan korteks, ganglia basalis, dan talamus medial, dengan kemungkinan

peningkatan yang tergantung pada sifat di amigdala.

Satu teknik pencitraan otak tambahan yang mulai diterapkan pada berbagai gangguan

mental adalah spektroskopi resonansi magnetik (MRS). Penelitian dengan MRS pada pasien

dengan gangguan bipolar I telah menghasilkan data yang konsisten dengan hipotesis bahwa

patofisiologi gangguan mungkin melibatkan suatu regulasi abnormal pada metabolisme

fosfolipid membran. Penelitian MRS pada binatang yang telah diobati dengan litium telah

menunjukkan efek litium pada fosfolipid. Penerapan lain MRS pada gangguan bipolar I

adalah penggunaan MRS Li7 untuk mempelajari konsentrasi litium pada otak dan plasma

pada pasien. Penelitian tersebut menemukan bahwa konsentrasi plasma setelah pengobatan

kira-kira satu minggu.

Pertimbangan neuroanatomis

Baik gejala gangguan mood dan temuan penelitian biologis mendukung hipotesis

bahwa gangguan mood melibatkan patologis di sistem limbik,k ganglia basalis, dan

Page 13: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

hipotalamus. Gangguan neurologis di ganglia basalis dan sistem limbik (terutama lesi

eksitatif pada hemisfer nondominan) kemungkinan ditemukan bersama gejala depresif.

Sistem limbik dan ganglia basalis adalah berhubungan erat, dan peranan utama dalam

menghasilkan emosi adalah dihipotesiskan untuk sistem limbik. Disfungsi pada hipotalamus

diperkirakan oleh perubahan tidur, nafsu makan, dan perilaku seksual pasien dengan depresi

dan oleh perubahan biologis pada parameter endokrin, imunologis dan kronobiologis. Postur

membungkuk, perlambatan motorik, dan gangguan kognitif minor pada pasien yang

terdepresi adalah mirip dengan tanda yang ditemukan pada gangguan ganglia basalis, seperti

penyakit Parkinson dan demensia subkortikal lainnya.

Page 14: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

B. FAKTOR GENETIKA

Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu fator penting di dalam

perkembangananan gangguan mood adalah genetika. Tetapi pola penurunan genetika adalah

jelas melalui mekanisme yang kompleks; bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan

efek psikososial, tetapi factor non genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam

perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Di samping itu terdapat

komponen genetika yang lebih kuat untuk transmisi gangguan bipolar I daripada untuk

transmisi gangguan depresif berat.

Penelitian Keluarga

Penelitian keluarga telah secara berulan menemukan bahwa sanak saudara derajat

pertama dari penderita gangguan bipolar I berkemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar

daripada sanak saudara derajat pertama subjek control untuk menderita gangguan bipolar 1

dan 2 sampai 10 kali lebih mungkin menderita gangguan depresif berat. Penelitian keluarga

juga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguang depresif

berat berkemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama

subjek control untuk menderita gangguan bipolar I dan dua sampai tiga kali lebih mungkin

menderita gangguan depresif berat. Penelitian keluarga telah menemukan bahwa

kemungkinan menderita suatu gangguan mood menurut saat derajat hubungan kekeluargaan

melebar. Sebagai contoh sanak saudara kedua (sebagai contoh, sepupu) lebih kecil

kemungkinannya menderita daripada sanak saudara derajat pertama (sebagai contoh, kakak).

Penurunan gangguan bipolar I juga ditunjukkan oleh fakta bahwa kira-kira 50 persen semua

pasien bipolar I memiliki sekurangnya satu orang tua dengan suatu gangguan mood, paling

sering gangguan depresif berat. Jika satu orang tua menderita gangguan bipolar I, terdapat

kemungkinan 25 persen bahwa anaknya menderita suatu gangguan mood; jika kedua orang

tua menderita gangguan bipolar I, terdapat kemungkinan 50-75 persen anaknya menderita

suatu gangguan mood.

Penelitian Adopsi

Page 15: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

Penelitian adopsi juga telah menghasilkan data yang mendukung dasar genetika untuk

penurunan gangguan mood. Dua dari tiga penelitian adopsi telah menemukan suatu

komponen genetika yang kuat untuk penurunan gangguan depresif berat; satu-satunya

penelitian adopsi untuk gangguan bipolar I juga menyatakan suatu dasar genetika. Pada

intinya, penelitin adopsi tersebut telah menentukan bahwa biologis dari orang tua yang

menderita tetap berada dalam risiko menderita suatu gangguan mood, bahkan jika mereka

dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan. Penelitian adopsi juga telah

menunjukkan bahwa orang tua biologis dari anak adopsi dengan gangguan mood mempunyai

suatu prevalensi gangguan mood yang tidak diadopsi. Prevalensi gangguan mood pada orang

tua angkat adalah mirip dengan prevalensi dasar pada populasi umum.

Penelitian Kembar

Penelitian terhadap anak kembar telah menunjukkan bahwa angka kesesuaian untuk

gangguan bipolar I pada kembar monozigotik adalah 33 sampai 90 persen, tergantung pada

penelitian tertentu; untuk gangguan depresif berat angka kesesuaian pada kembar

monozigotik adalah kira kira 5 sampai 25 persen untuk gangguan bipolar I dan 10 persen

untuk gangguan depresif berat.

Penelitian yang berhubungan

Tersedianya teknik modern biologi molecular termasuk RFLP (restriction fragment

length polymorphisms), telah menyebabkan banyak penelitian yang melaporkan, mereplikasi,

atau gagal untuk mereplikasi berbagai hubungan antara gen spesifik atau petanda gen dan

satu gangguan mood. Pada saat ini, tidak ada hubungan genetika yang telah direplikasi secara

konsisten. Intepretasi yan paling dapat dipercaya dari penelitian ini bahwa gen tertentu yang

diidentifikasi pada penelitian yang positif mungkin terlibat pada penurunan genetika

gangguan mood dalam keluarga yang dipelajari tetapi mungkin juga tidak terlibat dalam

penurunan genetika gangguan mood dalam keluarga lain. Hubungan antara gangguan mood,

khususnya gangguan bipolar I, dan petanda genetik telah dilaporkan pada kromosom 5,11,

dan X. Gen reseptor D1 berlokasi pada kromosom 5. Gen tirosin hidroksilase, yaitu enzim

pembatas kecepatan sintesis katekolamin, adalah berlokasi di kromosom 11.

Page 16: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

Kromosom 11 dan Gangguan Bipolar I. Suatu penelitian di tahun 1987 melaporkan

tentang hubungan antara gangguan bipolar I di antara anggota suatu Old Order Amish dan

petanda genetik pada lengan pendek kromosom 11. Pada perluasan selanjutnya silsilah

keluarga tersebut dan perkembangan gangguan bipolar I pada anggota keluarga yang

sebelumnya tidak menderita, hubungan statistika gagal diterapkan. Peristiwa yang

menyimpang tersebut secara efektif menyatakan bahwa derajat perhatian yang harus

digunakan dalam melakukan dan mengintepretasikan penelitian hubungan genetika pada

gangguan mood.

Kromosom X dan Gangguan Bipolar I. Telah lama diperkirakan ada hubungan antara

gangguan bipolar I dan suatu daerah dari kromosom X yang mengandung gen untuk

butawarna dan defisiensi G6PD. Seperti pada penelitian hubungan di dalam psikiatri,

penerapan teknik genetika molecular telah menghasilkan hasil yang bertentangan; beberapa

penelitian menemukan suatu hubungan dan yang lainnya tidak. Intepretasi yang paling

konservatif tetap kemungkinan bahwa gen berikatan X adalah suatu factor dalam

perkembangan gangguan bipolar I pada beberapa pasien dan keluarga.

Page 17: referat_FISIOLOGI DARI GANGGUAN DEPRESI_DR.RUDY HARTANTO,M.FILS_28feb2012.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono. M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta. 2000, 192 – 200

2.