referat sindrom gullain-barre tyaz23.lanjutan lia

26
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Guillain-Barré syndrome adalah suatu kelainan dimana sistem imun tubuh menyerang bagian sistem syaraf tepi (perifer). Gejala pertama kelainan ini berupa lemah serta rasa geli di kaki. Pada banyak kasus, lemahnya bagian tubuh serta gangguan sensasi menyebar ke arah tubuh dan tangan. Intensitasnya terus menguat sampai akhirnya tubuh otot tidak bisa digerakkan sama sekali dan oasien lumpuh total. Jika sudah sampai tahap ini, maka hal ini merupakan kondisi emergensi karena bisa mengancam nyawa, Bayangkan saja otot pernafasan juga lumpuh, maka akan menyebabkan kematian. Pada umumnya pasien akan mengalami penyembuhan total, walau ada seagian yang tetap mengalami grjala lemahnya otot. Guillain-Barré syndrome sebetulnya jarang ditemukan. Biasanya kelainan ini timbul beberapa hari atau minggu setelah pasien mengalami gejala2 infeksi pernafasan atau infeksi saluran cerna. Biasanya pembedahan atau vaksinasi dapat mencetuskan sindroma ini. Belum diketahui kenapa Guillain-Barré menyerang orang tertentu saja sementara sebagian lainnya tidak. Yang diketahui oleh ilmuwan adalah sistem imun tubuh menyerang tubuh sendiri menyebabkan apa yang kita kenal dengan penyakit autoimmune. 1

Upload: adhitya-pratama-sutisna

Post on 01-Oct-2015

68 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

saraf

TRANSCRIPT

SINDROM GULLAIN-BARRE

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Guillain-Barr syndrome adalah suatu kelainan dimana sistem imun tubuh menyerang bagian sistem syaraf tepi (perifer). Gejala pertama kelainan ini berupa lemah serta rasa geli di kaki. Pada banyak kasus, lemahnya bagian tubuh serta gangguan sensasi menyebar ke arah tubuh dan tangan.Intensitasnya terus menguat sampai akhirnya tubuh otot tidak bisa digerakkan sama sekali dan oasien lumpuh total. Jika sudah sampai tahap ini, maka hal ini merupakan kondisi emergensi karena bisa mengancam nyawa, Bayangkan saja otot pernafasan juga lumpuh, maka akan menyebabkan kematian. Pada umumnya pasien akan mengalami penyembuhan total, walau ada seagian yang tetap mengalami grjala lemahnya otot.Guillain-Barr syndrome sebetulnya jarang ditemukan. Biasanya kelainan ini timbul beberapa hari atau minggu setelah pasien mengalami gejala2 infeksi pernafasan atau infeksi saluran cerna. Biasanya pembedahan atau vaksinasi dapat mencetuskan sindroma ini.Belum diketahui kenapa Guillain-Barr menyerang orang tertentu saja sementara sebagian lainnya tidak. Yang diketahui oleh ilmuwan adalah sistem imun tubuh menyerang tubuh sendiri menyebabkan apa yang kita kenal dengan penyakit autoimmune.Refleks lutut biasanya menghilang. Karena sinyal yang berjalan di saraf sangat lamban, suatu tes yang dinamakan Nerve Conduction Velocity (NCV) dapat dilakukan guna membantu dokter menegakkan diagnosis. Dokter biasanya melakukan pengambilan cairan spinal dari tulang belakang penderitanya.Tidak ada pengobatan khusus untuk kelainan ini. Pengobatan hanya akan mengurangi beratnya penyakit serta mempercepat proses penyembuhan pasien. Terdapat juga beberapa cara untuk mengatasi komplikasi penyakit ini. Plasmapheresis dan dosis tinggi immunoglobulin dipergunakan sebagai pengobatan.Bagian pengobatan yang paling kritis dari sindroma ini adalah adalah mempertahankan fungsi tubuh pasien saat pemulihan sistem saraf. Hal ini kadang2 membutuhkan alat bantu nafas (respirator), monitor jantung atau mesin lainnya yang mempertahankan fungsi tubuh.Periode pemulihan bisa beberapa minggu sampai beberap tahun. sekitar 30% masih tetap mengalami kelemahan sisa setelah 3 tahun dan sekitar 3% nya bisa mengalami kekambuhan setelah lama sekali

Tujuan

Setelalah mempelajari Sindrom Guallin Barre ini maka diharapkan dokter muda dapat memahami penyakit ini . Dan untuk menambah pengetahuan dokter muda secara teoritis sehingga mudah dalam menangani kasus yang ada. Selain itu berguna pula untuk teman sejawat yang membaca tinjauan pustaka ini sebagai acuan kita untuk mendiagnosis secara pasti.Ruang LingkupDalam penulisan ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan hanya membahas definisi, insidens, etiologi, gejala-gejala dan penatalaksanaan serta progonosis dari Sindrom Guallin Barre ini.

Teori

Teori teori yang terdapat di dalam penulisan ini adalah diambil dari buku kedokteran, dan hasil pencarian dari internet.

Sumber

Data data yang didapat dalam penulisan ini adalah didapatkan dari kuliah Ilmu penyakit Saraf, Jurnal dan data-data dari internet tentang Sindrom Guallin Barre.

BAB II

SINDROM GULLAIN BARRE

DEFINISI

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi..Sinonim:

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious olyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, GuillainBarre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain BarreSyndrome

INSIDENS

Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian

Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.ETIOLOGIDahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.

Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas bagian atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.Faktor Pencetus (trigger) yang umum:

1. Campylobacter jejuni

2. Cytomegalovirus (CMV)

3. Mycoplasma

4. Zoster

5. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

6. Epstein-Barr Virus (EBV)

PATOGENESIS

Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang di instrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak. Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.

GAMBARAN KLINIS

Penyakit infeksi dan keadaan prodromal : Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya. Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa.

Masa laten

Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.

Keluhan Utama:

1. Parestesi pada ujung-ujung ekstremitas, seperti tangan dan atau kaki.2. Kelumpuhan anggota gerak tubuh,

Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.

Gejala Klinis

1. Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone (LMN). Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.

Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.

2. Gangguan sensibilitas

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

3. Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.

4. Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5. Kegagalan pernafasan

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.6. Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

7. Perjalanan penyakit

Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa hari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.

Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.

Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

Pada pemeriksaan fisik, refleks lutut biasanya menghilang. Karena sinyal yang berjalan di saraf sangat lamban, suatu tes yang dinamakan Nerve Conduction Velocity (NCV) dapat dilakukan guna membantu dokter menegakkan diagnosis. Dokter biasanya melakukan pengambilan cairan spinal dari tulang belakang penderitanya.

Variants Sindrom Gullain Barre

1. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP)

2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)

3. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)

4. The Miller-Fisher syndrome (MFS)

Acute Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)Acute Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) mengenai kira-kira 0,75%-2,00% per 100.000 penduduk pertahun. Semua golongan umur di berbagai daerah geografis rentan terhadap terjadinya serangan sistem imun pada selaput myelin perifer yang tidak bersifat keturunan (non-familial) ini. Telah disebutkan adanya suatu autoreactive limfosit T yang spesifik untuk myelin antigen dan antibodi, dan juga untuk berbagai macam glikoprotein dan glikolipid.

Biasanya ada suatu infeksi sebelumnya (pada saluran nafas atau gastrointestinal), imunisasi, kehamilan, atau pembedahan pada bulan sebelumnya terjadi AIDP yang menjadi pencetus terjadinya penyakit ini. Salah satu infeksi utama yang sering menyebabkan AIDP adalah campylobacter jejuni, dan beberapa pasien ini bisa didefinisikan sebagai suatu supgroup yang berbeda secara klinis dan merupakan suatu bentuk AIDP yang lebih berat.

Yang khas pada AIDP adalah, bahwa gejala dimulai dengan parestesi bagian distal diikuti dengan terjadinya paresis yang subakut, yang relatif simestris yang mengenai otot-otot bagian distal maupun proksimal. Kelemahan bulbar dan ataksia atau disfungsi otot-otot pernpasan bisa lebih menonjol, dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan tekanan darah yang fluktuatif. Seringkali pasien pertama-tama mengeluh nyeri pada otot-otot disertai cramps dan dapat terjadi suatu iritasi radiks yang terdeteksi dengan suatu tes mengangkat tungkai secara lurus.

Paresis n. facialis bisa terjadi pada 50% pasien. Derajat kelemahan bervariasi yang melibatkan ekstremitas dan otot-otot yang dipersarafi saraf kranial, dan juga terjadi hiporefleksi atau arefleksi.

Pertimbangan adanya emergensi pada AIDP

Klinik:

Arefleksi (atau refleks yang menurun sekali)

Kelemahan yang relatif simetris dan progresif

Pemeriksaan straight leg raising yang postif

Gangguan sensorik obyektif yang minimal

Infeksi yang terjadi sebelumnya atau imunisasi

Laboratoris:

CSF dengan peningkatan protein disertai sel kurang dari 10 (mononuclear) (disosiasi sito-albuminik)

EMG dengan F-wave yang memanjang, KHS/NCV yang menurun atau adanya conduction block

Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap HIV

Penatalaksanaan:

Rawat di Rumah Sakit

Pertimbangkan plasmaferesis atau pemberian IVIg

Evaluasi fungsi pernafasan secara berkala dan serial, adakan ventilasi bila perlu

Monitor aritmia kardial dan hipotensi

Tetapkan progresivitas penyakit

Berikan dorongan yang adekwat dengan perawatan kulit dan respiratory toilet

Infeksi yang rekuren harus diobati

Beberapa varian dari AIDP yang jarang telah dilaporkan dan melibatkan kelemahan brachial-servical-pharyngeal, paraparesis ptosis yang berat tanpa ophthalmoparesis, dan nyeri yang akut dan berat di tulang belakang. Suatu kategori kecil dari kasus AIDP simptomatik bisa saja muncul pada suatu penyakit sistemik seperti SLE, penyakit Hodgkin, sarkoidosis, atau HIV.

Evaluasi bila ada kecurigaan adanya AIDP termasuk pemeriksaan pungsi lumbal untuk melihat peningkatan protein cairan likuor tanpa pleiositosis. Walaupun disosiasi sito-albuminik ini merupakan suatu tanda khas pada AIDP, namun kadang-kadang ditemukan hasil likuor yang normal pada 72-96 jam pertama dari penyakit ini. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS=Nerve Conduction Velocity / NCV) dan juga termasuk EMG sangat bernilai dalam konfirmasi dagnosa AIDP.

Tanda-tanda demielinisasi terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantar saraf, blok hantar saraf (conduction block) atau disperse temporal, dan gelombang F (F-wave) yang hilang atau memanjang. Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 10 hari dan terdiri dari F-wave yang melambat karena terkenanya radiks, diikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction block) dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari adanya penurunan kecepatan hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.

Pada kira-kira 95 % kasus perjalanan klinis AIDP monofasik dengan kelemahan yang progresif selama 4-6 minggu, diikuti suatu penyembuhan motorik yang datar (plateu in strength), lalu perlahan-lahan mengalami perbaikkan .Derajat kelemahan sangat bervariasi , dengan lebih kurang memerlukan dukungan ventilator. Ventilator seharusnya digunakkan bila kapasitas vital menurun kurang dari 800 ml. Karena system otonom otonom umumnya terkena, maka harus waspada terhadap terjadinya aritmia dan hipotensinya.

Prognosis untuk penyembuhan sangatlah baik , lebih dari 90 % pasien mengalami perbaikkan tanpa meninggalkan deficit yang bermakna, namun pada 3-5 % pasien berkembang menjadi khronis (CIDP = Chronic Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy). Alat untuk menentukkan prognosa yang paling bermakna dari perbaikan yang terjadi adalah dengan mengukur degenerasi aksonal yang ditunjukkan dengan adanya Low Amplitude Compound Motor Amplitude Potential (CMAPs) pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = NCV ).

Adalah paling penting sekali untuk mengobservasi pasien secara teliti untuk melihat progresitivitas penyakitnya. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot- otot pernapasan harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmafaresis atau imunoglobullin secara intravena ( IVIg) . Plasmaferesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L ( 200- 250 mL/ kg BB selama beberapa hari ) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada AIDP, namun beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg. Suatu tim The Dutch Guillain Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg ( 0,4g/ kg BB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan dengan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang menyakinkan dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pengobatan IVIg disbanding dengan plasma exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukkan lagi kemajurannya dengan komplikasi yang rendah dan mudah digunakkan , namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dari IVIg .

Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

Penyakit yang secara klinis menyerupai AIDP, namun terjadi lebih banyak karena degenerasi akson daripada demielasi dan secara sporadic diseluruh dunia adalah Acute Motor Axonal Neuropathy ( AMAN) yang merupakan suatu penyakit non inflamasi dengan degenerasi akson yang selektif pada radiks motorik dan saraf perifer tanpa terjadinya demielinisasi. Kebanyakan kasus didahului oleh adanya suatu infeksi C. jejuni, biasanya KHS =NCV tak dapat diukur.

Penderita AMAN pada umumnya mempunyai suatu prognosa yang buruk dibandingkan dengan pasien-pasien AIDP, dan lebih banyak penderita AMAN mengalami penyembuhan yang tidak lengkap dan tidak banyak perbaikkan yang terjadi dengan pemberian plasma exchange dan IVIg

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu.Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :

Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat Distal motor retensi memanjang Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.DIAGNOSIS

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: Terjadinya kelemahan yang progresif Hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a. Ciri-ciri klinis:

Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

Relatif simetris

Gejala gangguan sensibilitas ringan

Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain

Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan.

Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor.

Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial

Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

Varian: Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari SGB adalah polimielitis, botulisme, hysterical paralysis, neuropati toksik (misalnya karena nitrofurantoin, dapsone, organofosfat), diphtheric paralysis, porfiria intermitten akut, neuropati karena timbal, mielitis akut (2,4,11).

TERAPI

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya.

1.1 Perawatan umum dan fisioterapi.Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.

Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan.

Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.

Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat diberikan analgetik.

1.2 Pertukaran plasma

Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange.

Plasmapheresis untuk pemulihan dan dapat mengurangi sisa deficit neurologik. Diindikasikan terutama pada pasien yang sakit berat atau deficit progresifitas yang cepat atau membahayakan pernafasan. Immunoglobulin intravena (400 mg / kg / selama 5 hari) efektif dan digunakan pada pilihan untuk plasmapheresis dewasa dengan ketidakstabilan cardiovascular dan pada anak-anak.

Terapi sebaiknya sesuai gejala, tujuannya untuk mencegah komplikasi seperti kegagala pernafasan atau kolaps vaskularisasi. Untuk alasan ini, sehingga pasien sangat baik dirawat pada intensive care unit, dimana fasilitas tersedia untuk memantau dan membantu pernapasan jika diperlukan (misalnya, kapasitas vital dibawah 1 L, pasien yang pernapasannya pendek , atau penurunan saturasi oksigen darah). Penggantian volume atau pengobatan dengan agen pressor kadang-kadang diperlukan untuk hypotension, dan heparin dosis rendah dapat membantu mencegah emboli pulmoner. 1.3 Kortikosteroid

Walaupun telah melewati empat dekade pemakaian kortikosteroid pada SGB masih diragukan manfaatnya. Namun demikian ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini penyakit mungkin bermanfaat.PROGNOSIS

Penderita bisa membaik dengan sendirinya, tetapi memerlukan waktu yang lama.

Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.

Setelah 3 tahun, sekitar 30% memiliki gejala sisa berupa kelemahan. Setelah penyembuhan, sekitar 10% mengalami kekambuhan dan menderita polineuropati kambuhan menahun. Keadaan in bisa diatasi dengan imun globulin dan kortikosteroid, juga plasmaferesis dan obat-obatan yang menekan sistem kekebalan.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Guillain-Barre syndrome: adalah suatu penyimpangan yang ditandai oleh simetris progresif kelumpuhan dan hilangnya refleks, biasanya dimulai di kaki. The paralysis characteristically involves more than one limb (most commonly the legs), is progressive, and is usually proceeds from the end of an extremity toward the torso. Areflexia (loss of reflexes) or hyporeflexia (diminution of reflexes) may occur in the legs and arms. Kelumpuhan khas yang melibatkan lebih dari satu anggota tubuh (paling sering kaki), bersifat progresif, dan biasanya berlangsung dari akhir sebuah ujung ke arah dada. Areflexia (hilangnya refleks) atau hyporeflexia (berkurangnya refleks) dapat terjadi di kaki dan lengan.

Guillain-Barre syndrome is not associated with fever, an important fact in differentiating Guillain-Barre from other diseases.Guillain-Barre Syndrome adalah tidak berhubungan dengan demam, fakta penting dalam membedakan Guillain-Barre dari penyakit lainnya. Guillain-Barre usually occurs after a respiratory infection, and it is apparently caused by a misdirected immune response that results in the direct destruction of the myelin sheath surrounding the peripheral nerves or of the axon of the nerve itself. Guillain-Barre biasanya terjadi setelah infeksi saluran pernapasan, dan ini tampaknya disebabkan oleh salah arah respon imun yang menyebabkan kerusakan langsung myelin yang mengelilingi selubung perifer saraf atau dari akson dari saraf itu sendiri. The syndrome sometimes follows other triggering events, including vaccinations. Sindrom kadang-kadang mengikuti acara memicu lain, termasuk vaksinasi. Among the vaccines reportedly associated with Guillain-Barre syndrome are the 1976-1977 swine flu vaccine, oral poliovirus vaccine, and tetanus toxoid. Di antara vaksin dilaporkan terkait dengan sindrom Guillain-Barre adalah 1976-1977 flu babi vaksin, oral vaksin virus polio, dan tetanus toksoid. Aside from vaccinations, infection with the bacteria Campylobacter jejuni and viral infections can trigger Guillain-Barre syndrome. Selain vaksinasi, infeksi dengan bakteri Campylobacter jejuni dan infeksi virus dapat memicu sindrom Guillain Barre.DAFTAR PUSTAKA

Japardi, Iskandar, 2002, Sindroma Guillain Barre, dalam USU Digital Library, Fakultas KedokteranBagian BedahUniversitas Sumatera Utara.

Greenberg , David A,dkk, 2002, Clinical Neurologi fifth editions , University of California, San Francisco.Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.

Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mardjono M, 1989, Patofisiologi Susunan Neuromuskular, dalam : Neurologi Klinis Dasar, edisi V : hal 41-43, PT Dian Rakyat, Jakarta.

Santoso, Bob. 2004. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Neuromuskular, dalam : Simposium Updates In Neuroemergencies II, hal 98-102. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004

Sidharta, P, 1992, Lesu-Letih-Lemah, dalam : Neurologi Klinis dalam praktek Umum : ha; 160-162, PT Dian Rakyat, Jakarta.

Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.

1