askep sindrom guillain barre

22
ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE 1. Definisi Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik. Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 ) SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain : o polineuritis akut pasca infeksi o polineuritis akut toksik o polineuritis febril o poliradikulopati,dan o acute ascending paralysis. 2. Sejarah Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan

Upload: franky-rantung

Post on 04-Aug-2015

193 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Askep Sindrom Guillain Barre

ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE

1. Definisi

Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan

penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.

Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya

paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana

targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )

SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :

o polineuritis akut pasca infeksi

o polineuritis akut toksik

o polineuritis febril

o poliradikulopati,dan

o acute ascending paralysis.

2. Sejarah

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis

tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh

Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut.

Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas

berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel.

Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh

Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk

menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga

adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa.

Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

3. Epidemiologi

Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk

mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana

terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa

penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun

demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir

Page 2: Askep Sindrom Guillain Barre

musim panas dan musim gugur.

Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000

orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan

penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.

Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai

usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua

usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan

bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4%

pada kelompok ras yang tidak spesifik.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra

menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah

usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan

penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan

usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi

pergantian musim hujan dan kemarau.

4. Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan

masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan

mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

a. Infeksi

o Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya

o Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster,

Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)

o Vaksin : rabies, swine flu

o Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis,

campylobacter jejuni

b. Vaksinasi

c. Pembedahan

d. Penyakit sistematik:

o keganasan, Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphoma

o systemic lupus erythematosus

o tiroiditis

o penyakit Addison

Page 3: Askep Sindrom Guillain Barre

e. Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB

yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu

sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi

gastrointestinal

Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang

menyerang mielin saraf perifer.

Tabel 1. Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB

Infeksi Definite Probable Possible

Virus CMVEBV HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox InfluenzaMeaslesMumps

Rubella

Hepatitis

Coxsackie

Echo

Bakteri CampylobacterJejeniMycoplasma

Pneumonia Typhoid Borrelia BParatyphoidBrucellosis

Chlamydia

Legionella

Listeria

5. Patogenesa

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi

terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli

membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah

melalui mekanisme imunlogi.

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas

saraf tepi pada sindroma ini adalah:

a. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)

terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

b. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

c. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh

darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Page 4: Askep Sindrom Guillain Barre

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan

imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering

adalah infeksi virus.

Peran imunitas seluler

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping

peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam

cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan

peredaran.

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada

limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)

antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen

tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut

akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif

karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta

alfa TNF.

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel

endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel

limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat

merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

6. Patofisiologi

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme

limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation.

Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.

Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf

perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system

penghantaran implus terganggu.

Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan

myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan

biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok

konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses

remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.

7. Patologi

Page 5: Askep Sindrom Guillain Barre

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.

Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa

edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan

iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke

sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.

Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga

pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.

Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel

limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini

segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang

menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus

membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

8. Klasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

3. Acute motor axonal neuropathy

4. Acute motor sensory axonal neuropathy

5. Fisher’s syndrome

6. Acute pandysautonomia

9.Gambaran Klinis

Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :

Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau

saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut :

setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria,

infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .

Masa laten

Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat

timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari,

rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.

Page 6: Askep Sindrom Guillain Barre

Keluhan utama

Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan

ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau

terjadi serentak pada keempat anggota gerak.

a. Gejala Klinis

1.Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor

neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah

kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.

Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian

menyebar ke badan dan saraf kranialis.

Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya

derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat

juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).

2.Gangguan sensibilitas

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai

dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering

dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih

sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti

rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

3.Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka

sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa

ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan

N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena

akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat

menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.

4.Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa

sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing),

hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse

diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini

jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5. Kegagalan pernafasan

Page 7: Askep Sindrom Guillain Barre

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak

ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan

kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .

6. Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga

karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi

arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .

7. Perjalanan penyakit

Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari

onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai

maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8

minggu .

Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai

maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3

minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .

Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang

berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung

dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak

: > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut

disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada

Page 8: Askep Sindrom Guillain Barre

minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel

mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak

ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa

meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh

SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

c .Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :

o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat

o Distal motor retensi memanjang

o Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen

proksimal dan radiks saraf.

o Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna

untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan

bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .

10. Penatalaksanaan

a.Terapi

Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di

unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator

yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat

simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan

waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi

sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi

beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai

nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi

yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa

perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan

lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml

plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal

Page 9: Askep Sindrom Guillain Barre

onset gejala (minggu pertama).

Pengobatan imunosupresan:

o Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg

BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari

sampai sembuh.

o Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

o 6 merkaptopurin (6-MP)

o Azathioprine

o cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

b. Perawatan

Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel),

pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan

(nutrition and fluid balance)

Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan

kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15

1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot

pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada

dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke

11. Prognosa

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil

penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa

gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:

o pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

o mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

o progresifitas penyakit lambat dan pendek

o pada penderita berusia 30-60 tahun

12. Komplikasi

a. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic

Page 10: Askep Sindrom Guillain Barre

b. Tetraparese oleh karena penyebab lain

c. Hipokalemia

d Miastenia Gravis

e. Adhoc commite of GBS

f. Tick Paralysis

g. Kelumpuhan otot pernafasan

h. Dekubitus

B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Anamnesa

o Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status

o Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan

o Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan,

upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.

b. Pemeriksaan Fisik

o B1 (Breathing)

Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru,

reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.

o B2 (Bleeding)

Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.

o B3 (Brain)

Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan

ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun),

fluktuasi suhu badan.

o B4 (Bladder)

Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.

o B5 ( Bowel)

Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi

sampai hilangnya sensasi anal.

o B6 (Bone)

Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.

c. Pengelompokan data

Page 11: Askep Sindrom Guillain Barre

Data subjektif:

o Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan

o Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya

o Tidak mampu menelan air liurnya

o Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun,

mengendarai kendaraan dan merawat dirinya

Data Objektif:

o Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke

o Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu

pernapasan (ventilator)

o Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan

meningkat, leukositosis

d. Analisa Data

Data Masalah Etiologi

DS:

Tidak mampu menelan air liurnya

DO:

Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler

Bunyi paru wheezing +/+

Pengembangan dada tidak maksimal

GDA kurang dari normal

menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif Kelemahan otot-

otot bantu pernapasan

DS:

Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan

DO:

Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya

Kekuatan otot imobilisasi Paralisis

2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas

b. Resiko tejadi ggn pertukaran gas

c. Ketidakefektifan pola nafas

d. Ggn komunikasi verbal

Page 12: Askep Sindrom Guillain Barre

e. Resiko tinggi terjadi infeksi

f. Resiko terjadi trauma

g. Resiko terjadi disuse syndrome

h. Kecemasan pada orang tua

3. Rencana keperawatan

a. Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan

dan peningkatan produksi saliva

Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi

Tindakan:

o Lakukan perawatan EET setiap 2 jam

o Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction

o Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 <

95 %

o Monitor status hidrasi

o Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan

o Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab

b. Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek

adanya atelektasis paru

Tujuan : Setelah dirawat

o BGA dalam batas normal

o Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+

o Cyanosis (-), SpO2 > 95 %

Tindakan:

o Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam

o Monitor SpO2 setiap jam

o Monitor respirasi dan cyanosis

o Kolaborasi :

seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2

SAnalisa hasil BGA

c. Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus

Tujuan : setelah dirawat diharapkan

Page 13: Askep Sindrom Guillain Barre

Tanda-tanda infeksi (-)

leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),

Suhu tubuh 36,5-37 oC

• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)

Tindakan

o Rawat ETT setiap hari

o Lakukan prinsip steril pada saat suction

o Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari

o Ganti kateter setiap 72 jam

o Kolaborasi :

Pengggantian ETT dengan Tracheostomi

Penggantian insersi surflo dengan vanocath

Pemeriksaan leuko

Pemeriksaan albumin

Lab UL

• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg

d. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan

penyakit GBS

Tujuan : Setelah dirawat

o Kontraktur (-)

o Nutrisi terpenuhi

o Bab dan bak terbantu

o Personal hygiene baik

Tindakan:

o Bantu Bab dab Bak

o Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam

o Mandikan klien setiap hari

o Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam

o Berikan latihan pasif 2 kali sehari

o Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik

o Monitor status neurologi setiap 8 jam

Page 14: Askep Sindrom Guillain Barre

o Kolaborasi:

Alinamin F 3 X 1 ampul

Sonde pediasuer 6 X 50 cc

Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis

e. Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang

lama

Tujuan :

Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan

dilakukan

Tindakan :

o He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.

o He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan

proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath

o Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan

oleh petugas

Page 15: Askep Sindrom Guillain Barre