anak rsal guillain barre syndrome debby budihardja
DESCRIPTION
sindromeTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari
kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan
bukan oleh penyakit sistemis.
John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah
neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi
alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang
adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita.
James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai
alcoholic neuropathy , namun tanpa kelainan patologis dan anatomis.
Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul “ A
note on acute ascending paralysis “ . Artikel ini bercerita tentang seorang pasien
yang telah mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya
meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot
pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal
dengan sebutan Landry’s paralysis. 5)
Osler, 1982, lebih terperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute
Febrile Polyneuritis. 7)
Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian
mereka yang berjudul “ On a syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis
of cerebrospinal fluid without a cellular reaction : Remarks on the clinical
characteristics and tracings of the tendons reflexes “ . Ketiga orang ini
menemukan kelainan patologis yaitu adanya disosiasi albuminositologi di dalam
cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap
berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah
Landry’s paralysis . Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama
penyakit ini sebagai Guillain – Barre Syndrome. Sebab mengapa Strohl tidak
diikutsertakan sampai saat ini belum diketahui. 5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri 3)
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat.
2.2 Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut
demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf
tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi
dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS
disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.
Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan
oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,
cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.Selain virus, penyakit ini juga didahului
oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada
enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan ,
Mycobacterium Tuberculosa. 1,5,8,12) ; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan
hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan
sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi
epidural. 8,12) Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul
GBS .10)
Patofisiologi
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang.
Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang
kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.
2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 – 2,0 per
100.000 penduduk. 7)
GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina ,
dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung
terjadi pada musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.
Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk.
Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan
penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.
Angka kematian berkisar antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering
adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada +
penderita GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.
2.4 Gejala klinis
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan
sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan
disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi. terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya
merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat
menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,
aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan
kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah
bilateral facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan
penglihatan kabur (blurred visions).
2.4 Patagonesis dan Patofosiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah
bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu
penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini
menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem
imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf
perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai
bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal
adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus
ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga
sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan
menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel
saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat
ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus.
Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat
sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan
berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf
kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan
medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya,
saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom
(involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang
bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai
neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa
lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila
akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih
lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol
oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki
prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang
panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya
gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase
ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang
sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri
serta gejala.
2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil,
dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan
telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di
fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri
hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun
nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini
tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan
di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi,
dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot
pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal.
Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun
pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama
setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat
kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis
GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan
GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel
Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi
dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis
GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali
dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.
Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;
menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko.
Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma
saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung
dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3
lebih sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN,
juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf
sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan
sering tidak sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks
Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan
penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas
dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan
medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.
2.4 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan
pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan
kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10 / mm3 pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun
bakteri .
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya
keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang
memanjang dan latensi distal yang memanjang .Bila pemeriksaan dilakukan pada
minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari
beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS.
Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit .
Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
2.6 Diagnosis
Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf
perifer, yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang
utama adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia
sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot pernafasan
sehingga menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari adanya
kelemahan pada tungkainya, seperti halnya ‘kaki karet’, yakni kaki yang
cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia (kesemutan atau
kebas).
Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis
asendens Landry),1 meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring
perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan
otot-otot leher, batang tubuh (trunk), interkostal, dan saraf kranialis.
Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar
menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan
disertai oleh drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan
bernafas.
Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral
ataupun bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada
varian Miller Fisher.
Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi
pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-
getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu).1
Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa
nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun
nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan analgesik standar. dan
arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan; bahkan
Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus berat, namun sifatnya
transien; bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya penyakit medulla
spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS; jika ada, perlu dicurigai
penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom,
dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan
aritmia jantung.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS) 4)
Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
Diagnosis banding
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat
seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal
cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya
asimetris, dan disertai demam.
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti
porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan
thallium, arsen, dan plumbum.
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis
juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot
extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi
ophtalmoplegia.
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun
kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan
peningkatan sedangkan LCS normal.
Penatalaksanaan
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping
pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam
waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti
hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa
steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya
penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian
menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak
terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul
dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan
dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas otot setelah paralisa.
Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya
trombosis .
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.
Prognosis
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya
sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural
tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama
kali timbul .
3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan
beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.
BAB III
PENUTUP
Guillain – Barre Syndrome merupakan penyakit serius dengan angka
kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.
Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator
spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 % tidak
dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul
20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan
paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala
GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin
Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7 th
edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.
Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ,
Thomas PK, Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B.
Saunders Company; 1975. p.1111-48. Guillain-Barre Syndrome. [Update:
2009]. Available from:
http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-
Barre_Syndrome.htm.
Guillain-Barré Syndrome. [update 2009]. Available from:
http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp
channel_id=0&disease_id=325§ion_name=condition_info.
Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology
in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA:
Butterworth-Heinemann; 1996. p.1911-16.
Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.;
1992. p.377-378.
Guillain-Barré Syndrome. Available from:
http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm
Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation.
In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH.
Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical
neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.
dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters
Clinic Jakarta. Phone 5703646 0817171764 – 70081995.