referat osteomyelitis

53
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Osteomielitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan destruksi pada tulang yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Infeksi dapat terbatas pada satu bagian tulang maupun menyebar ke berbagai area, seperti susmsum tulang korteks, periosteum, dan jaringan lunak sekitar tulang (Lew DP, 2004). Insidensi osteomielitis di Amerika Serikat yaitu 1: 5000 orang, dan 1 : 1000 usia bayi. Insidensi pertahun pada pasien sickle cell berkisar 0,36%. Prevalensi osteomielitis setelah adanya trauma pada kaki bisa meningkat yaitu 16% dan 30-40% pasien diabetes, dan jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1. Sementara insidensi osteomielitis pada populasi orang dewasa berkisar antara 0,1–1,8%. Angka kematian akibat osteomielitis rendah, biasanya disebabkan sepsis atau kondisi medis serius yang menyertai (King R.W., 2009). Prevalensi osteomielitis kronik berkisar antara 5-25% dari kasus osteomielitis akut (Ciampolini, 2000). Berdasarkan data epidemiologis global mengenai osteomielitis sangat bervariasi, dengan insidensi tertinggi pada negara-negara berkembang. Distribusi usia penderita 1

Upload: pebrianiiii

Post on 10-Nov-2015

103 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

dfgff

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangOsteomielitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan destruksi pada tulang yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Infeksi dapat terbatas pada satu bagian tulang maupun menyebar ke berbagai area, seperti susmsum tulang korteks, periosteum, dan jaringan lunak sekitar tulang (Lew DP, 2004).Insidensi osteomielitis di Amerika Serikat yaitu 1: 5000 orang, dan 1 : 1000 usia bayi. Insidensi pertahun pada pasien sickle cell berkisar 0,36%. Prevalensi osteomielitis setelah adanya trauma pada kaki bisa meningkat yaitu 16% dan 30-40% pasien diabetes, dan jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1. Sementara insidensi osteomielitis pada populasi orang dewasa berkisar antara 0,11,8%. Angka kematian akibat osteomielitis rendah, biasanya disebabkan sepsis atau kondisi medis serius yang menyertai (King R.W., 2009). Prevalensi osteomielitis kronik berkisar antara 5-25% dari kasus osteomielitis akut (Ciampolini, 2000).Berdasarkan data epidemiologis global mengenai osteomielitis sangat bervariasi, dengan insidensi tertinggi pada negara-negara berkembang. Distribusi usia penderita osteomielitis yaitu pada dewasa usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 50 tahun (Jaramillo D, 2011). Di Indonesia, osteomielitis masih merupakan masalah. Terapi osteomielitis yang memerlukan waktu lama dan biaya tinggi disertai dengan pengertian mengenai pengobatan yang belum baik dan tingkat higienis yang masih rendah, diduga berhubungan erat dengan kejadian osteomielitis di Indonesia.

Osteomielitismerupakan infeksi pada tulang yang dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan tahapan perjalanan penyakitnya, yakni tahap akut dan kronik. Osteomielitis akut paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus sebagai agen infeksinya (Roy et al., 2012). Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa osteomielitis sering disebabkan oleh orgaanisme piogenik walaupun berbagai nfeksi lain juga dapat menyebabkannya. Pada anak-anak, infeksi tulang seringkali timbul sebagai komplikasi dari infeksi pada tempat-tempat lain seperti infeksi faring (faringitis), telinga (otitis media) dan kulit (impetigo). Penyebab osteomielitis lainnya yaitu kejadian fraktur terbuka yang datang terlambat dan sudah terjadi osteomielitis. Akibat keterlambatan diagnosis umumnya berakhir dengan osteomielitis kronis dimana membutuhkan penanganan yang lebih lanjut.

Sangat penting untuk mendiagnosis dini infeksi pada tulang karena mortalitas osteomielitis terjadi sekitar 5-25% . Sedangkan morbiditas mencapai angka 5% menjadi komplikasi.Komplikasinya antara lain adalah arthritis septik, kerusakan jaringan lunak sekitar, keganasan, amiloidosis sekunder, dan fraktur patologis (Baltensperger, 2009).

Osteomielitis pada fase akut hingga kronis memiliki karakteristik pencitraan radiologi tersendiri (Reinus WR, 2010). Pemeriksaan radiografi konvensional dapat menegakkan diagnosis osteomielitis untuk selanjutnya dilakukan penanganan yang tepat sehingga mengurangi risiko destruksi tulang yang lebih lanjut (Khan SHM, Bloem JL, 2005).Berdasarkan fakta tersebut, pencitraan radiologi berperan penting sebagai alat bantu diagnostik kasus osteomielitis sekaligus alat uji pemantauan hasil terapi. Berbagai modalitas pencitraan radiologi dapat digunakan dalam keperluan diagnostik osteomielitis. Radiografi konvensional lebih terjangkau secara ekonomi dan tersedia di banyak fasilitas kesehatan di Indonesia, sehingga merupakan pilihan modalitas awal pada diagnosis osteomielitis. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu untuk melakukan telaah pustaka mengenai osteomielitis dengan gambaran radiologinya.BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Anatomi Tulang

Tulang, atau jaringan osseosa, adalah jaringan ikat yang membentuk kerangka vertebra. Jaringan ini tersusun atas sel-sel, komponen matriks organik, mineral anorganik, dan air. Tulang memiliki mekanisme untuk tumbuh dan berubah bentuk serta ukuran menyesuaikan dengan stressor yang berbeda-beda sepanjang hidup manusia.

2.1.1. Arsitektur Tulang

Seperti jaringan penyambung atau penyokong yang lain, tulang terdiri atas sel dan matriks ekstrasel. Sel tulang terdiri atas sel osteoprogenitor, osteoblast, osteosit dan osteoklas. Sementara matriks ekstrasel tersusun atas komponen organik (sekitar 40%) dan garam anorganik (sekitar 60%). Komponen matriks organik yang utama adalah serat kolagen tipe I. Selain kolagen, unsur organik lainnya yaitu proteoglikan, glikoprotein, fosfolipid dan bermacam-macam faktor pertumbuhan seperti osteocalcin, osteonectin, and sialoprotein. Komponen matriks anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar terdiri dari kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal hidroksiapatit. Kristal kristal tersebut tersusun sepanjang serabut kolagen. Bahan mineral lain yaitu ion sitrat, karbonat, magnesium, natrium, dan potassium (Pineda C et al., 2009).Berdasarkan susunan serat-serat kolagennya, jaringan tulang dibagi lagi ke dalam dua tipe: tulang woven/anyaman/immatur dan tulang lamellar/matur, yang diilustrasikan pada gambar 2.1.

Tulang imatur/ woven terdiri dari serat-serat kolagen yang tersusun secara tidak beraturan, dengan sel-sel oasteoblast dan osteoprogenitor. Tulang ini disebut juga tulang primitif, merupakan struktur tulang utama pada masa embrio. Namun dapat pula ditemukan pada daerah dimana terjadi proses remodeling seperti pada fraktur tulang, osteosarkoma, beberapa tumor tulang. Dengan demikian tulang jenis ini jika ditemukan pada dewasa berhubungan dengan proses patogis.

Pada tulang matur di orang dewasa, berkas kolagen tersusun teratur membentuk lamella tulang yang sejajar dan kosentris terhadap saluran vaskuler. Pada bagian korteks tulang, lamella-lamella tersusun teratur mengelilingi saluran pembuluh yang menutrisinya, saluran Havers, sehingga membentuk susunan kosentris berlapis-lapis (5-15 lamella) yang disebut sistem havers atau osteon. Kanalikuli pada satu sistem havers berhubungan langsung dengan saluran haversnya dan tidak terhubung sistem disebelahnya. Saluran-saluran havers dihubungkan satu dengan yang lain, dan dengan pembuluh-pembuluh di periosteum melalui saluran Volkmanns yang tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada sekitar periosteum dan endosteum terdapat lamella-lamella tulang tersusun sejajar dengan permukaan dan melingkar terhadap sumbu panjang tulang, yang disebur lamellar circumferential luar dan dalam. Kanalikuli pada lamella ini berhubungan langsung dengan periosteum dan endosteum.

Gambar 2.1 Diagram tulang imatur/woven dan tulang matur/lamellar

(Safadi F F, et al. Bone Structure, Development and bone biology.

In: Bone Pathology 2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50)

Sementara itu struktur internal dari tulang, baik tulang panjang maupun pendek, terbagi atas struktur tulang yang padat dibagian luar dari tulang yang disebut tulang kompak atau korteks tulang. Struktur ini diperkuat dengan bagian dalam yang membentuk jalinan tulang-tulang trabekular yang berjalan sejajar maupun tegak lurus terhadap bentuk tulang. Keseluruhan struktur ini disebut sebagai komposit dan merupakan komponen utama dalam mempertahankan kekuatan tulang. Struktur internal ini terlihat jelas pada potongan sagital tulang panjang pada Gambar 2.2.

Tulang kompak atau korteks yang berstruktur keras namun relatif tipis, berperan sebagai cangkang bagi struktur tulang didalamnya. Tulang kompak memiliki sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium Carbonat) sehingga padat. Pada tulang matur, korteks tersusun atas tulang-tulang lamellar, yang didalamnya terdapat system Havers dan kanalis Volkmanns. Untuk lebih jelas mengenai struktur korteks dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Di sebelah dalam dari korteks terdapat tulang trabekular atau dengan nama lain tulang spongiosa atau tulang cancellous, yang tersusun dari spikula-spikula dan trabekula tulang yang diantaranya terdapat rongga sumsum yang mengandung unsur hematopoietic dan lemak. Trabekula tulang membentuk suatu jaringan yang memungkinkan untuk dilewati oleh pembuluh-pembuluh darah yang menutrisi tulang serta efek ringan pada tulang. Setiap tulang, kecuali bagian sendi, diselubungi oleh jaringan ikat khusus yaitu periosteum, Periosteum terbagi dalam dua lapisan yang tidak berbatas jelas. Lapisan luar merupakan jaringan ikat padat fibrosa, mengandung pembuluh saraf dan pembuluh darah yang memberi nutrisi pada tulang. Lapisan dalam tersusun atas jaringan ikat longgar, sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai serat Sharpey yang berkontribusi dalam perlekatan periosteum pada tulang. Gambaran serat sharpeys pada periosteum terlihat pada Gambar 2.4. Pada dewasa lapisan dalam periosteum ini mengandung sel osteoprogenitor yang berperan dalam pembentukan dan perbaikan tulang. Serupa dengan periosteum, endosteum merupakan lapisan yang berada diantara tulang kompak/korteks dan tulang spongiosa.

Gambar 2.2. Tulang panjang orang dewasa.

(Safadi F F, Khurana J S. Bone Structure and Function. In: Diagnostic Imaging of Musculoskeletal Diseases. New York. Springer. 2010. p:1-13)

Gambar 2.3. Diagram tulang kompak/korteks tulang

(Safadi F F, et al. Bone Structure, Development and bone biology.

In: Bone Pathology 2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50)

Gambar 2.4. Diagram serat sharpeys sebagai lanjutan langsung serat periosteum

(Bullough P G. Normal Skeletal Structure and Development.In: Orthopaedic Pathology 5th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:1-39)

Berdasarkan bentuk morfologinya, tulang dapat dikategorikan menjadi tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih, tulang tidak beraturan, dan tulang sessamoid.

Tulang panjang berbentuk bulat, memanjang, bagian tengahnya berlubang, seperti pipa. Di bagian dalam ujungnya terdapat sum-sum tulang berfungsi untuk pembentukan sel darah merah. Tulang panjang terdiri atas tiga bagian, yaitu kedua ujung yang bersendian (epifisis), bagian tengah (diafisis), dan bagian transisional diantaranya (metafisis, selanjutmya pembagian ini dapat dilihat pada gambar 2.6. Pada anak-anak, dimana tulang masih mengalami pertumbuhan, epifisis dan diafisis berasal dari pusat osifikasi yang dipisahkan oleh selapis tulang rawan, disebut sebagai cakra epifisis. Sedangkan pada orang dewasa, cakra epifisis berupa tulang keras yang menyebabkan epifisis dan diafisisnya menyatu, sehingga tidak lagi mengalami pertumbuhan. Sebagai contoh: Tulang femur, tibia, ulna, dan radius.

Tulang pendek bentuknya bulat dan pendek (ruas tulang). Didalamnya juga terdapat sumsum berfungsi untuk pembuatan sel darah merah dan sel darah putih. Sebagai contoh tulang pendek adalah seperti pada tulang-tulang karpal, tarsal. Tulang sessamoid sebenarnya merupakan subtype dari tulang pendek yang berada pada daerah sekitar tendon. Contoh tulang sessamoid yaitu tulang patella, pisiforn

Tulang ini berbentuk pipih, terdiri atas lempengan tulang kompak dan tulang spongiosa. Didalamnya terdapat sumsum merah yang berfungsi untuk pembuatan sel darah merah dan sel darah putih. Contoh tulang pipih yaitu tulang tengkorak, sternum, scapula.

Disebut tulang tidak beraturan demikian karena bentuknya yang tidak memiliki bentuk yang spesifik. Sebagai contoh tulang jenis ini yaitu yang terlihat seperti pada tulang vertebra, ethmoid.

Gambar 2.5. Diagram tulang panjang

(F F. Safadi, et al. Bone Structure, Development and bone Biology. In: Bone Pathology, 2nd Edition. Springer. New York. 2009. p.1-50)

2.1.2. Vaskularisasi Tulang

Tulang merupakan jaringan yang kaya akan vaskularisasi yaitu sekitar 10-20% cardiac output. Sirkulasi darah pada tulang berperan penting dalam menutrisi jaringan-jaringan tulang, sekaligus mensirkulasikan sel-sel darah dari sumsum tulang ke seluruh tubuh. Karena berada dalam rongga yang tertutup didalam tulang, maka pembuluh-pembuluh darah harus selalu dalam kondisi tekanan intraoseous yang konstan. Tekanan intraoseous ini dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah dalam tulang. Pada saat terjadi kenaikan aliran darah akibat hipervaskularisasi, sebagai contohnya pada proses inflamasi dimana dapat terjadi peningkatan tekanan intraoseous. Regulasi kecepatan aliran darah merupakan peranan distensibilitas pembuluh darah melalui proses vasodilatasi-vasokonstriksi pembuluh yang dipengaruhi oleh jaras simpatis dan parasimpatis (Safadi FF et al., 2009). Pada tulang panjang, pembuluh-pembuluh darah arteri yang kaya oksigen yang memasuki tulang terbagi dalam enam grup arteri yang saling berhubungan satu sama lain dan dinamai sesuai lokasi penetrasi ke tulang (Gambar 2.6). yaitu terbagi atas dua arteri diafisis atau arteri nutrient, arteri metafisis superior dan inferior, arteri epifisi superior dan inferior, dan pembuluh-pembuluh darah periosteum.yang saling beranastomosis. Selanjutnya, pembuluh darah vena intraoseous terdiri dari sinus sentral yang besar disepanjang diafisis. Aliran dari sinus kemudian menuju vena-vena yang parallel terhadap arterinya yaitu vena metafisis, vena epifisis, vena sentromedular, dan vena nutrient, seperti yang terlihat pada Gambar 2.7. Pembuluh-pembuluh vena ini kemudian keluar dari tulang melewati korteks dan menuju cabang pembuluh vena besar sekitar tulang tersebut (Safadi FF et al., 2009).

Gambar 2.6Diagram pembuluh darah arteri tulang panjang

(Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine. Vol 69. pp262-269. 2002)

. Gambar 2.7 Diagram pembuluh darah vena tulang panjang

(Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine. Vol 69. pp262-269. 2002)Sementara tulang pendek dan tulang pipih memiliki pembuluh darah superficial pada periosteum dan ada pula yang berasal dari percabangan arteri nutrient besar yang menembus langsung ke rongga medulla. Kedua arteri ini beranastomosis secara bebas di dalam tulang.Selain pembuluh darah dan limfa, pada tulang juga terdapat persarafan. Saraf periosteal merupakan saraf sensoris yang menghantarkan rangsang nyeri. Oleh karena itu periosteum sensitif terhadap trauma maupun tekanan. Pada saluran Havers terdapat saraf vasomotor yang mengatur konstriksi dan dilatasi pembuluh darah. Tulang juga dipersarafi oleh saraf-saraf simpatis (Pineda C et al., 2009).2.1.3. Remodelling Tulang

2.1.3.1. Sel-sel Tulang

Remodeling tulang sangat penting dalam mempertahankan integritas struktur tulang. Proses ini melibatkan koordinasi bermacam sel untuk memastikan proses resoprsi tulang dan formasi tulang terjadi secara simultan pada lokasi tertentu. Sel-sel yang terlibat dalam proses ini adalah sel oteoprogenitor, osteoblas, osteosit, dan osteoklas.

Sel Osteoprogenitor ini merupakan sel mesenkim yang memiliki kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel osteoblas, chondroblas, sel stromal, sesuai dengan stimulus yang diterima oleh sel osteoprogenitor tersebut. Sel ini banyak ditemukan pada lapisan periosteum, endosteum, batas kanalis Havers dan Volkmanns.

Sel osteoblas berasal dari sel ostoprogenitor, berbentuk kuboid atau kolumnar. Osteoblas merupakan sel yang mengekspresikan reseptor hormone parathyroid (PTH) dan berperan penting dalam pembentukan faktor-faktor osteoklastogenik dan protein-protein matriks tulang serta mineralisasi tulang. Osteoblast menghasilkan reseptor nuclear factor kappa B (RANK) ligan yang berperan penting dalam diferensiasi osteoklas. Osteoblas menghasilkan pula kolagen tipe 1 dan protein lain seperti osteocalcin, osteopontin, sialoprotein tulang, dan osteonectin. Hal lain yang juga dihasilkan oleh sel ini yaitu cytokine, colony-stimulating factor (CSF) (contoh:IL-6, IL-11), serta substansi lain seperti, transforming growth factor (TGF-), bone morphogenetic protein (BMPs), dan lain-lain.

Osteoklas merupakan sel berukuran besar dan berinti banyak, sekitar 3-25 nukleus. Sel ini banyak ditemukan pada matrik tulang yang mengalami resorpsi di dalam rongga yang disebut lacuna Howship. Pada mikrograf elektron, permukaan osteoklas yang menghadap matriks tulang memiliki banyak tonjolan sitoplasma disebut sebagai ruffled border. Pada kondisi patologi tertentu dimana terjadi disfungsi osteoklas atau setelah proses resorpsi, gambaran ruffled border menghilang. Osteoklas menghasilkan koalgenase dan enzim proteolitik yang menyebabkan matriks tulang melepaskan substansi dasar yang mengapur.

Osteosit adalah sel tulang matur yang ditemukan dalam jumlah besar (sebesar 90-95% sel tulang) di dalam lapisan matriks tulang yang telah mengalami mineralisasi. Di dalam matriks tulang, osteosit terletak di dalam lakuna dan memiliki juluran-juluran sitoplasma di dalam kanalikuli yang menghubungkan osteosit yang satu dengan yang lainnya serta dengan kapiler darah. Sel ini terlibat dalam proses signaling.2.1.3.2. Proses Remodelling Tulang

Proses remodeling terjadi sebagai respons dari adanya tekanan mekanik terhadap tulang maupun akibat reaksi sistemik (contoh: PTH). Tekanan mekanik yang merusak tulang merangsang apoptosis osteosit, yang selanjutnya menurunkan TGF dan memungkinkan terjadinya osteoclastogenesis. Sementara PTH berperan dalam homeostasis kalsium. Ketika PTH berikatan dengan reseptornya pada permukaan osteoblas untuk mengaktifasi jalur kalsium intrasel, hal ini juga menginduksi diferensiasi dan aktivasi osteoklas sehingga terjadi resorpsi tulang.

Proses resorpsi tulang dimediasi oleh osteoklas. Setelah osteoklas terbentuk dan teraktivasi, pompa proton pada ruffled border menghasilkan ion-ion hidrogen yang menciptakan lingkungan ekstrasel yang asam. Selanjutnya, lisosom menghasilkan enzim-enzim proteolitik dan bersama dengan lingkungan asam pada ektrasel merupakan kondisi optimal untuk resorpsi tulang dan degradasi kolagen di dalam area yang dinamakan lakuna resorpsi Howship.

Setelah proses resorpsi, pada lakuna Howship terdapat banyak sisa-sisa kolagen matriks tulang. Suatu sel berinti satu, disebut sel reversal, kemudian bertugas membuang sisa-sisa kolagen tersebut dan mempersiapkan permukaan tulang untuk selanjutnya terjadi proses formasi tulang. Mengenai sel reversal ini belum banyak data yang dapat menjelaskan asalnya, namun diduga berasal dari sel mesenkim yang melapisi tulang.

Tekanan mekanik dan PTH menghambat ekskresi sklerostin oleh osteosit yang selanjutnya menghasilkan signal formasi tulang. Proses formasi tulang adalah peranan dari osteoblas dan mediator kemotaktik osteoblas, termasuk diantaranya TGF, PDGF A dan B. Setelah sel mesenkim berada di lakuna resorpsi, sel-sel tersebut berdiferensiasi dan menghasilkan molekul-molekul tulang baru. Ketika tulang yang di resorpsi telah diganti tulang baru, maka proses remodelling dihentikan, namun mekanismenya masih belum diketahui.

Proses resorpsi tulang dan formasi tulang terjadi secara seimbang yang diregulasi oleh suatu proses yang dinamakan coupling. Walaupun coupling belum diketahui secara luas, namun glikoprotein 130 diduga terlibat dalam induksi sitokin-sitokin osteoklastogenik maupun osteoblastogenik. Mekanisme lain yang menjelaskan proses coupling yaitu pembentukan IGF I dan II serta TGF, sebagai faktor stimulasi osteoblas, yang terjadi pada proses resorpsi (Safadi FF, 2010).

Gambar 2.8 Skema proses remodeling tulang

(www.umich.edu, di akses tanggal 18 Februari 2015).2.2 Osteomielitis2.2.1 DefinisiOsteomielitis merupakan infeksi pada tulang, dengan sebagian besar kasus disebabkan oleh Staphylococcus aureus; penyebab lainnya antara lain infeksi tuberculosis dan Salmonella pada penyakit sel sabit (Patel, 2007). Beberapa literatur menyebutkan bahwa osteomielitis merupakan proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas medullaris) yang kemudian dapat menyebar sampai ke cortex dan periosteum. Proses peradangan dapat bersifat akut atau kronis, yang kronis akan menyebabkan nekrosis tulang dan pembentukan pus, dimana kadang-kadang terdapat cairan yang melewati kulit untuk membentuk hubungan sinus dengan tulang. Pus dan edema yang terbentuk di cavita medullaris inilah yang kemudian akan menekan periosteum sehingga menimbulkan obstruksi pembuluh darah, iskemi maupun nekrosis sebagai dasar patomekanisme osteomielitis (Baltensperger, 2009).

Osteomielitis kronis merupakan infeksi tulang dimana organisme yang menyebabkan infeksi menetap di dalam tulang yang telah mati, dan secara periodik dapat terjadi eksaserbasi (Patel, 2007).

2.2.2 EpidemiologiInsidensi osteomielitis berkisar antara 0,11,8% dari populasi orang dewasa.Prevalensinya pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun adalah 1 kasus per 1000 populasi sedangkan pada anak-anak yang lebih tua adalah 1 kasus dari 5000 populasi.Prevalensi osteomielitis kronik berkisar antara 5-25% dari kasus osteomielitis akut (Ciampolini, 2000).

Pada keseluruhan insiden terbanyak pada negara berkembang. Osteomyelitis pada anak-anak sering bersifat akut dan menyebar secara hematogen, sedangkan osteomielitis pada orang dewasa merupakan infeksi subakut atau kronik yang berkembang secara sekunder dari fraktur terbuka dan meliputi jaringan lunak. Kejadian pada anak laki-laki lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 4:1. Lokasi yang tersering ialah tulang-tulang panjang, misalnya femur, tibia, humerus, radius, ulna dan fibula. Namun tibia menjadi lokasi tersering untuk osteomielitis post trauma karena pada tibia hanya terdapat sedikit pembuluh darah. Faktor-faktor pasien seperti perubahan pertahanan netrofil, imunitas humoral, dan imunitas selular dapat meningkatkan resiko osteomielitis. (King R, 2008).2.2.3 EtiologiBakteri piogenik penyebab osteomielitis bergantung pada usia pasien. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi penyebab osteomielitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen pada dewasa. Streptococcus hemolyticus grup A dan Streptococcus pneumonia merupakan bakteri patogen tersering yang menyebabkan osteomielitis pada anak, Streptococcus hemolitycus grup A merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi baru lahir. Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, dan Escherichia coli juga bisa menyebabkan osteomielitis namun dengan angka kejadiannya jarang. Jamur dan mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomielitis pada individu dengan defisiensi sistem imun. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab osteomielitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel endotel secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh maupun antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureusmerupakan bakteri dengan laju metabolism yang rendah sehingga mudah resisten terhadapt antibiotik.

2.2.4 Patofisiologi Osteomielitis dan Hubungannya Dengan Gambaran RadiologiKetika membahas patogenesis dan patofisiologi osteomielitis, ada dua populasi yang sangat berbeda yaitu anak dan dewasa. Pada anak, jalur infeksi utama adalah secara hematogen, yaitu sekitar 90-95% kejadian osteomielitis. Sementara pada dewasa, sebanyak 85-90% osteomielitis pada dewasa berasal dari penetrasi langsung dari infeksi kulit dan fasia subkutan. Pada dewasa yang terinfeksi secara hematogen adalah pada populasi tertentu seperti penyalahguna obat intravena maupun pasien dengan bakterial endokarditis dimana terdaopat inokulasi bakteri intravaskular dalam jumlah besar.

Selain berbeda dalam jalur infeksi, kedua populasi ini pun memiliki perbedaan pada area tulang yang terinfeksi. Pada anak yang penyebarannya secara hematogen maka area yang paling sering terlibat adalah area tulang yang mengalami pertumbuhan pesat namun aliran darah rendah, atau dengan kata lain pada subfiseal metafisis pada tulang femur (27%), tibia (22%), dan humerus (12%).

Sementara itu, osteomielitis pada dewasa terjadi pada area dimana ulkus kulit sering terjadi, yaitu pada bagian tubuh yang rentan terhadap trauma dan aliran darah yang buruk. Sebagai contohnya, osteomielitis dapat melibatkan kaki pada pasien dengan diabetes mellitus atau daerah panggul pada pasien dengan paraplegia. Seperti yang telah diduga sebelumnya, kekebalan system imun pasien meningkatkan risiko terjadinya osteomielitis. Kondisi tersebut antara lain: diabetes mellitus, penyakit sickle cell, penderita AIDS, penyalahguna obat intravena, alcoholisme, penyakit sendi kronik, penggunaan steroid jangka panjang, pemakaian prosthetic ortopedi, pembedahan ortopedi dan fraktur terbuka (King RW, 2013).2.2.5 KlasifikasiBeberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan ostemielitis. Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari timbulnya gejala : akut, subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya berhubungan dengan proses hematogen pada anak. Namun, pada dewasa juga dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya setelah pemasangan prosthesa dan sebagainya.

Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan. Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus involukrum.Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh Waldvogel yang mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan etiologi dan kronisitasnya : hematogen, penyebaran kontinyu (dengan atau tanpa penyakit vaskular) dan kronik. Penyebaran infeksi hematogen dan kontinyu dapat bersifat akut meskipun penyebaran kontinyu berhubungan dengan adanya trauma atau infeksi lokal jaringan lunak yang sudah ada sebelumnya seperti ulkus diabetikum. Cierny-Mader mengembangkan suatu sistem staging untuk osteomielitis yang diklasifikasikan berdasarkan penyebaran anatomis dari infeksi dan status fisiologis dari penderitanya. Stadium 1: medular, stadium 2: korteks superfisial, stadium 3: medular dan kortikal yang terlokalisasi, dan stadium 4: medular dan kortikal difus. 2.2.6 Gambaran RadiologiPemeriksaan radiografi konvensional atau foto polos radiologi merupakan modalitas awal untuk evaluasi osteomielitis, dimana berperan dalam memberikan gambaran awal anatomi dan kondisi patologi dari tulang dan jaringan lunak disekitarnya. Selain itu, pemeriksaan foto polos radiologi juga dapat membantu mengeksklusi diagnosis diferensial maupun kondisi patologis lain yang menjadi penyebabnya.USG dapat menunjukkan perubahan sedini mungkin 1-2 hari setelah timbulnya gejala. USG dapat menunjukkan ketidakabnormalan termasuk abses jaringan lunak atau penumpukan cairan (seperti abses) dan elevasi periosteal. USG juga dapat digunakan untuk menuntun dalam melakukan aspirasi. Tapi, USG tidak digunakan untuk mengevaluasi cortex tulang. Berguna untuk mengidentifikasi efusi sendi dan menguntungkan untuk mengevaluasi pasien pediatrik dengan suspek infeksi sendi panggul. Teknik sederhana dan murah telah menjanjikan, terutama pada anak dengan osteomielitis akut. Ultrasonografi dapat menunjukkan perubahan sejak 1-2 hari setelah timbulnya gejala. Kelainan termasuk abses jaringan lunak atau kumpulan cairan dan elevasi periosteal. Ultrasonografi memungkinkan untuk petunjuk ultrasound aspirasi. Tidak memungkinkan untuk evaluasi korteks tulang (Lew, DP., Waldvogel, 1997).Untuk pencitraan nuklir, Technetium Tc-99m metilen difosfonat adalah agen pilihan utama. Sensitivitas pemeriksaan ini terbatas pada minggu pertama dan sama sekali tidak spesifik. Jarang dipakai untuk mendeteksi osteomielitis akut. Pencitraan ini sangat sensitif namun tidak spesifik untuk mendeteksi infeksi tulang. Umumnya, infeksi tidak bisa dibedakan dari neoplasma, infark, trauma, gout, stress fracture, infeksi jaringan lunak, dan artritis. Namun, radionuklir dapat membantu untuk mendeteksi adanya proses infeksi sebelum dilakukan prosedur invasif dilakukan.

CT scan dapat menggambarkan kalsifikasi abnormal, osifikasi dan ketidaknormalan intrakortikal. CT scan mungkin dapat membantu dalam mengevaluasi lesi pada tulang vetebra. CT scan juga lebih unggul dalam area dengan anatomi yang kompleks, contohnya pelvis, sternum, dan calcaneus (Lew, DP., Waldgovel, 1997). CT scan dengan potongan koronal dan sagital berguna untuk menidentifikasi sequestra pada osteomielitis kronik. Sequestra akan tampak lebih radiodense dibanding involukrum disekelilingnya.

Magnetic resonance imaging (MRI) sangat membantu dalam mendeteksi osteomielitis. MRI lebih unggul jika dibandingkan dengan radiografi, CT scan dan scintigrafi tulang MRI memiliki sensitifitas 90-100% dalam mendeteksi osteomielitis. MRI juga memberikan gambaran resolusi ruang anatomi dari perluasan infeksi. MRI efektif dalam deteksi dini dan lokalisasi operasi osteomyelitis. Penelitian telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan radiografi polos, CT, dan scanning radionuklida dan dianggap sebagai pencitraan pilihan. Sensitivitas berkisar antara 90-100%. Tomografi emisi positron (PET) scanning memiliki akurasi yang mirip dengan MRI.

Radionuklida scanning tulang. Tiga fase scan tulang, scan gallium dan scan sel darah putih menjadi pertimbangan pada pasien yang tidak mampu melakukan pencitraan MRI. Sebuah fase tiga scan tulang memiliki sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas pada orang dewasa dengan temuan normal pada radiograf. Spesifisitas secara dramatis menurun dalam pengaturan operasi sebelumnya atau trauma tulang. Dalam keadaan khusus, informasi tambahan dapat diperoleh dari pemindaian lebih lanjut dengan leukosit berlabel dengan 67 gallium dan / atau indium 111.

Gambaran osteomielitis akut pada foto polos radiologi berupa perubahan berupa edema jaringan lunak sekitar tulang. Sementara perubahan pada tulang berupa destruksi struktur tulang baru dapat terlihat pada foto polos sekitar 7-21 hari setelah onset infeksi. Pada umumnya, lesi berukuran minimal 1 cm dan melibatkan 30-50% dari struktur tulang baru akan menunjukkan perubahan pada foto polos. Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah berupa refraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang terangkat.

Gambar 2.9. Tampak destruksi tulang pada tibia dengan pembentukan tulang subperiosteal

Gambar 2.10 Pemeriksaan Ultrasonografi dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.

Gambar 2.11 Early osteomyelitis.(A) Adanya radiolusensi yang hampir tidak terlihat pada distal femur, namun periostitis ditunjukkan di medialdan lateral. (B) Scan tulang radioisotop menunjukkan sejauh mana perubahan patologis.(David S, Textbook of Radiology and Imaging. In: Infection: Osteomyelitis. London. 2003. p1158).Osteomielitis Pada Anak

Mekanisme utama osteomielitis pada anak adalah secara hematogen. Daerah metafisis tulang merupakan area predileksi karena pada area ini pembuluh arteri berkelok dan mengalirkan darah menuju sinus (Gambar 2.12). Keadaan ini menyebabkan kecepatan aliran darah yang lambat sehingga dapat menjadi tempat berakumulasinya bakteri patogen. Selain itu, kemampuan fagosit dan fungsi RES menurun pada area loop pembuluh darah tersebut sehingga menjadikannya rentan terjadi infeksi. Bakteri dapat melewati celah endotel pembuluh darah menuju jaringan tulang, dimana selanjunya bakteri tersebut dapat berikatan dengan unsur-unsur matriks tulang. Bakteri, seperti S. aureus memiliki kemampuan untuk menempel dan menembus sel osteoblas namun tetap hidup dan berkembang di dalamnya. Osteoblas yang terinfeksi bakteri selanjutnya menginduksi sekresi tumor necrosis factor apoptosis inducing ligand (TRAIL) yang selanjutnya menyebabkan apoptosis osteoblas dan menghambat diferensiasi osteoblas. Proses ini diikuti dengan peningkatan ekspresi RANKL yang berperan dalam differensiasi osteoklas dan berparan dalam induksi resorpsi tulang yang berakibat pada destruksi tulang. Fenomena ini akan memberikan gambaran osteolitik pada foto polos radiologi.

Tulang yang mengalami destruksi kemudian menghasilkan perubahan biomekanik serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian merangsang aktivasi osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada foto polos radiologi sebagai area sklerosis.

Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui kanalis Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara renggang terhadap tulang jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa. Keadaan ini memungkinkan penyebaran infeksi ke area subperiosteum, yang menyebabkan akumulasi infiltrate (nanah) dan destruksi korteks tulang. Korteks tulang yang mengalami destruksi mengakibatkan formastulang periosteal atau disebut reaksi periosteal. Jika infeksi bersifat agresif, maka akan menyebabkan destruksi pada bagian sentral dari tulang baru periosteal membentuk gambaran triangular yang disebut Codman triangle.

Gambar 2.12 Skema sirkulasi pada metafisis sebagai predileksi osteomielitis

(P G Bullough. Bone and Joint Infection. In: Orthopaedic Pathology 5th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:109-139)

Gambar 2.13 Proyeksi AP dan Lateral dari lutut pasien osteomielitis anak

(Pineda C, et al. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography, Computed Tomography, Ultrasonography, Magnetic Resonance Imaging, and Scintigraphy. Seminar in Plastic Surgery. Vol 23:2. 2009)

Tulang yang mengalami destruksi kemudian menghasilkan perubahan biomekanik serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian merangsang aktivasi osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada foto polos radiologi sebagai area sklerosis.

Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui kanalis Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara renggang terhadap tulang jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa. Keadaan ini memungkinkan penyebaran infeksi ke area subperiosteum, yang menyebabkan akumulasi infiltrate (nanah) dan destruksi korteks tulang. Korteks tulang yang mengalami destruksi mengakibatkan formasi tulang periosteal atau disebut reaksi periosteal (Gambar 2.15). Jika infeksi bersifat agresif, maka akan menyebabkan destruksi pada bagian sentral dari tulang baru periosteal membentuk gambaran triangular yang disebut Codman triangle (2.14). Gambar 2.14 Digiti III proyeksi PA dan oblik pada pasien osteomielitis akut.

(W R Reinus. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of Musculoskeletal Diseases.. Springer. New York. 2010. p363-405.

Gambar 2.15 Proyeksi AP pada kaki pasien anak usia 13 bulan dengan osteomielitis akut(Khan S H M, Bloem J L. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In: Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. 2005. Springer. New York. p647-659)

Pada proses infeksi kronis, akan terbentuk selubung tulang baru periosteal yang mengelilingi tulang yang mengalami infeksi dan memberikan gambaran involukrum. Selanjutnya, jalur yang dilewati oleh agen infeksi menuju daerah subperiosteal akan membesar dan membentuk hubungan langsung antara rongga medulla dengan jaringan lunak sekitar tulang. Gambaran ini pada foto polos radiologi dikenal sebagai kloaka. Gambaran involukrum dan kloaka pada radiologi konvensional terlihat jelas pada Gambar 2.18.

Proses infeksi dan respons inflamasi yang terus berlanjut akan meningkatkan tekanan didalam jaringan tulang yang menyebabkan penurunan aliran darah balik vena dan infark tulang. Hal ini menyebabkan terbentuknya fragmen jaringan tulang yang mati didalam jaringan tulang yang terinfeksi atau disebut juga sequestrum. Gambaran sekuestrum terlihat pada Gambar 2.17. Keberadaan sequestra menjadi penting untuk diketahui karena akan menentukan penanganan selanjutnya.

Gambar 2.16 Diagram proses osteomielitis kronis

(D P Lew, F A Waldvogel. Osteomyelitis. 2004 Avalaible from: www.thelancet.com Vol 364)

Osteomielitis pada Dewasa

Proses osteomielitis pada dewasa terjadi akibat infeksi eksogen, misalnya akibat fraktur terbuka atau pasca tindakan bedah. Gambaran radiografi konvensional pada osteomielits dewasa menyerupai gambaran pada anak. Namun pada dewasa perlekatan periosteum dan tulang yang sangat erat, maka penyebaran infeksi subperiosteal jarang ditemukan.

Serupa dengan proses pada anak, osteomielitis kronis pada dewasa juga dapat ditemukan proses sklerotik yang besar disertai area destruksi tulang. Gambaran sequestrum (Gambar 2.17), Codmans triangle, kloaka dan involukrum juga dapat ditemukan melalui proses yang sama.

Gambar 2.17 Proyeksi Lateral Lutut: osteomielitis kronik pada pria 42 tahun

(S H M Khan, J L Bloem. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection.In: Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. Springer. New York. 2005. p647-659)

Gambar 2.18 Proksimal humerus proyeksi AP pada pasien osteomielitis

(W R Reinus. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of Musculoskeletal Diseases.. Springer. New York. 2010. p363-405.)

Osteomielitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomielitis akut yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati dengan baik. Osteomielitis kronis juga dapat terjadi setelah fraktur terbuka atau setelah tindakan operasi pada tulang. Organisme yang menyebabkan infeksi menetap di dalam tulang yang telah mati, dan secara periodik dapat terjadi eksaserbasi. Tulang tampak menebal dan sklerotik dengan daerah destruktif radiolusen di bagian tengah, yang disertai sinus drainase yang kronis. Dapat terbentuk abses dengan tepi sklerotik, kadang-kadang mengandung sequestrum (abses Brodie). (Patel, P.R., 2007). Bakteri penyebab osteomielitis kronis terutama oleh stafilokokus aureus ( 75 %), atau E.colli, Proteus atau Pseudomonas.

Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang menghambat terjadinya resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada tulang. Sekuestrum ini merupakan benda asing bagi tulang dan mencegah terjadinya penutupan kloaka ( pada tulang ) dan sinus ( pada kulit ). Sekuestrum diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat keluar/dibersihkan dari medula tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses selanjutnya terjadi destruksi dan sklerosis tulang yang dapat terlihat pada foto rontgen.

Penderita sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari luka/sinus setelah operasi yang bersifat menahun. Kelainan kadang kadang disertai demam dan nyeri lokal yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu. Pada pemeriksan fisik ditemukan adanya sinus, fistel atau sikatriks bekas operasi dengan nyeri tekan. Mungkn dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit. Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomielitis pada penderita.Pada foto rontgen dapat ditemukan adanya tanda tanda porosis dan sklerosis tulang, penebalan periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuestrum.

Gambar 2.19 Proyeksi AP wrist terlihat gambaran lesi osteolitik dan sclerosis extensive dibagian distal metafisis pada radius

Gambar 2.20 Osteomielitis lanjut pada seluruh tibia dan fibula kanan. Ditandai dengan adanya gambaran sekuestrum (panah).

Gambar 2.21 Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat osteomielitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis sumsum tulang.

Gambar 2.22 Osteomielitis kronik. CT Scan menunjukkan pada bagian kiri normal sementara pada bagian kanan terdapat penebalan korteks yang ekstrim dan edema sumsum pada tibia.(David S, Textbook of Radiology and Imaging. In: Infection: Osteomyelitis. London. 2003. p1158).

Bentuk Khusus Osteomielitis: Abses Brodie

Umumnya, tubuh akan melakukan lokalisasi tulang yang terinfeksi pada area tertentu untuk mencegah penyebaran infeksi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya abses di dalam rongga medulla tulang (King RW, 2013).Abses Brodie awalnya ditemukan oleh Brodie pada tahun 1832, merupakan bentuk lokal osteomielitis subakut, dan sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi (sekitar 40%) pada dekade kedua. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki.18 Lokasi abses sering ditemukan pada metafisis dari tibia atau tulang paha, dan memberikan gambaran pada foto polos radiologi berupa area lusen yang dikelilingi oleh tepi sklerotik (Reinus WR, 2010).

Gambar 2.23 Abses Brodie

(M S Patel, F Gaillard,et al. Osteomielisis. Di akses pada 18 Februari 2015. Available from: http://radiopaedia.org/articles/osteomyelitis)

Gambar 2.24 Gambaran radiologik dari abses Brodie yang dapat ditemukan pada osteomielitis sub akut/kronik. Pada gambar terlihat kavitas yang dikelilingi oleh daerah sclerosis (Elsevier, 2006).

Gambar 2.25 Gambaran MRI pada abses Brodie.

(David S, Textbook of Radiology and Imaging. In: Infection: Osteomyelitis. London. 2003. p1159).Tabel 1. Hubungan Gambaran Radiologi Dengan Perubahan Patologis

(Resnick D, Nawayama G. Osteomyelitis, septic arthritis and soft tissue infection: mechanisms and situations. In: Diagnosis of Bone and Joint Disorders 3rd ed. Philadelphia. WB Saunders. 1995. p:2325-2418).

2.2.7 Penatalaksanaan

Osteomielitis akut harus diobati segera. Biakan darah diambil dan pemberian antibiotika intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan. Karena Staphylococcus merupakan kuman penyebab tersering, maka antibiotika yang dipilih harus memiliki spektrum antistafilokokus. Jika biakan darah negatif, maka diperlukan aspirasi subperiosteum atau aspirasi intramedula pada tulang yang terlibat. Pasien diharuskan untuk tirah baring, keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan, diberikan antipiretik bila demam, dan ekstremitas diimobilisasi dengan gips. Perbaikan klinis biasanya terlihat dalam 24 jam setelah pemberian antibiotika. Jika tidak ditemukan perbaikan, maka diperlukan intervensi bedah. Terapi antibiotik biasanya diteruskan hingga 6 minggu pada pasien dengan osteomielitis. LED dan CRP sebaiknya diperiksa secara serial setiap minggu untuk memantau keberhasilan terapi. Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan adalah bila involukrum telah cukup kuat untuk mencegah terjadinya fraktur pasca pembedahan.

Pengobatan osteomyelitis subakut tergantung dari diagnosis. Kebanyakan 1/3 kasus tidak dapat dibedakan dari keganasan primer dari tumor tulang. Biopsi dan kuretase diperlukan untuk penegakan diagnosis pada kasus-kasus ini. Pada saat diagnosis ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai dengan kelompok gram, kultur, dan sensitivitas harus sudah dimulai secara intravena selama 2-7 hari, diikuti dengan antibiotik oral selama 6 minggu (Khoshhal K, 2008)

Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan adjuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.Pada beberapa kasus, infeksi sudah terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya tindakan terbaik adalah amputasi dan pemasangan prothesa.

2.2.7 Prognosis

Angka mortalitas pada osteomielitis akut yang diobati adalah kira-kira 1 %, tetapi morbiditas tetap tinggi. Bila terapi efektif dimulai dalam waktu 48 jam setelah timbulnya gejala, kesembuhan yang cepat dapat diharapkan pada kira-kira 2/3 kasus. Kronisitas dan kambuhnya infeksi mungkin terjadi bila terapinya terlambat (King R, Johnson D., 2008).2.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada osteomyelitis adalah: Septikemia. Kematian tulang (osteonekrosis). Infeksi pada tulang dapat menghambat sirkulasi darah dalam tulang, menyebabkan kematian tulang. Jika terjadi nekrosis pada area yang luas, kemungkinan harus diamputasi untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi. Arthritis septic. Dalam beberapa kasus, infeksi dalam tuolang bias menyebar ke dalam sendi di dekatnya. Artritis Supuratif. Artritis Supuratif dapat terjadai pada bayi muda karena lempeng epifisis bayi (yang bertindak sebagai barier) belum berfungsi dengan baik. Komplikasi terutama terjadi pada osteomielitis hematogen akut di daerah metafisis yang bersifat intra-kapsuler (misalnya pada sendi panggul) atau melalui infeksi metastatik

Gangguan Pertumbuhan. Osteomielitis hematogen akut pada bayi dapat menyebabkan kerusakan lempeng epifsisis yang menyebabkan gangguan pertumbuhan, sehingga tulang yang terkena akan menjadi lebih pendek. Pada anak yang lebih besar akan terjadi hiperemi pada daerah metafisis yang merupakan stimulasi bagi tulang untuk bertumbuh. Pada keadaan ini tulang bertumbuh lebih cepat dan menyebabkan terjadinya pemanjangan tulang

Osteomielitis Kronik. Apabila diagnosis dan terapi yang tepat tidak dilakukan, maka osteomielitis akut akan berlanjut menjadi osteomielitis kronik

Fraktur Patologis.BAB III

KESIMPULAN

Osteomielitis adalah infeksi tulang atau sumsum tulang. Osteomielitis dapat menyerang orang pada semua usia. Pemeriksaan penunjang atau pencitraan yang dapat dilakukan adalah foto polos, CT scan, MRI, dan Radioisotop bone scan, yang memiliki keunggulan masing-masing. Pada pemeriksaan foto polos radiologi akan kita dapatkan hilangnya gambaran fasia, gambaran litik pada tulang (radiolusen), sequester dan involucrum. Pada CT scan pun akan didapatkan gambaran serupa, namun gambaran tampak lebih jelas, gambaran didapat dari segala arah . Jaringan yang keras secara umum lebih baik ditunjukan oleh CT scan. Gambaran MRI lebih jelas menunjukkan perluasan patologis tulang dan jaringan lunak sekitarnya. Sedangkan pemeriksaan scan radioisotop sensitif untuk osteomielitis disebabkan sifat radioisotop pada bone scan akan memperlihatkan daerah kerusakan sel tulang atau gambaran kehitaman yang memusat pada daerah sel-sel yang rusak, namun tidak spesifik, karena kerusakan sel tidak hanya ditunjukan oleh osteomielitis saja.Berbagai modalitas pencitraan radiologi dapat digunakan dalam keperluan diagnostik osteomielitis. Gambaran radiografi foto polos, selain gambarannya yang khas dan diagnosis dapat mudah dibuat disesuaikan dengan riwayat klinis, juga lebih terjangkau secara ekonomi dan tersedia di banyak fasilitas kesehatan di Indonesia sehingga merupakan pilihan modalitas awal pada diagnosis osteomielitis. DAFTAR PUSTAKA

Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomielitis of the Jaws. ISBN: 978-3-540-28764-Ciampolini, J., K. G. Harding. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial osteomyelits. Postgrad Med J, 76: 479-483Cierny G, Mader JT, Pennick JJ. A clinical staging system for adult osteomyelitis. Contemp Orthop. Vol:10. p:17-37. 1985

David S. 2003. Textbook of Radiology and Imaging. In: Infection: Osteomyelitis. London. p1155-1162

Jaramillo D. Infection: Musculoskeletal. Pediatric radiol. Vol 41. pp:8127-8134. 2011

Khan SHM, Bloem JL. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In: Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. New York. Springer. 2005. p647-659Khoshhal K., Letts R. M. Subacute Osteomyelitis (Brodie Abscess). www.emedicine.com Diakses tanggal 18 Februari 2015).

King RW. Osteomyelitis, 2009. Available at http://www.emedicine.com. Diakses18 Februari 2015.King R., Johnson D. Osteomyelitis. www.emedicine.com. Lew, Daniel P., Waldvogel, Francis A. 1997. Osteomyelitis. The New England Journal of Medicine. Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine. Vol 69. pp262-269. 2002Lee, MC. Instrumentation in Patients WithSpinal Infection: Discussion. 2004. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/496404_4. Diakses tanggal 18 Februari 2015Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. Avalaible from: www.thelancet.com Vol 364. 2004.

P G Bullough. Normal Skeletal Structure and Development. In: Orthopaedic Pathology 5th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:1-39Pineda C, et al. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography, Computed Tomography, Ultrasonography, Magnetic Resonance Imaging, and Scintigraphy. Seminar in Plastic Surgery. Vol 23:2. 2009

Raggatt LJ, Patridge NC. Celular and Molecular Mechanisms of Bone Remodelling. The Journal of Biological Chemistry. Vol 285:33. 2010.

Rasjad C. Struktur dan fungsi Tulang. Dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Penerbit Yarsif Watampone. Jakarta.2007. Hal 6-11Reinus WR. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of Musculoskeletal Diseases.. New York. Springer. 2010. p363-405.

Resnick D, Niwayama G. Osteomyelitis, septic arthritis,and soft tissue infection: mechanisms and situations. In: Diagnosis of bone and joint disorders. Philadelphia. Saunders. 2004. pp 23542418Roy, M., J. S. Somerson, K. G. Kerr, J. L. Konroy. 2012. Pathophysiology and Pathogenesis of Osteomielitis. ISBN 978-953-51-0399-8 Safadi FF, et al. Bone Structure, Development and bone biology. In: Bone Pathology 2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-5024