referat obat hepatobilier
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem hepatobilier adalah sistem yang mengatur pengeluaran atau
sekresi cairan empedu yang berasal dari hati dan kandung empedu untuk
disekresikan ke dalam usus halus untuk pencernaan lemak dalam makanan.
Fungsi hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati mengekresikan
empedu sebanyak satu liter perhari ke dalam usus halus. Unsur utama empedu
adalah air, elektrolit, garam empedu.
Penyakit pada hati dapat bersifat kronik, fokal atau difus, ringan atau
parah dan reversible atau ireversible. Akibat yang berasal langsung dari
kerusakan akut sel fungsional hati terutama hepatosit, tanpa gangguan
kemampuan hati untuk melakukan regenerasi, umumnya reversible. Akibat
lain penyakit hati bersifat ireversible, yang biasanya dijumpai pada pasien
dengan sirosis. Obat-obat yang biasanya digunakan dalam penatalaksanaannya
yaitu dapat berupa hepatoprotektor, antihepatitiviral, imunomodulator dan
kolestatis.
Hepatoprotektor adalah obat-obat yang digunakan sebagai vitamin
tambahan untuk melindungi, meringankan atau menghilangkan gangguan
fungsi hati karena adanya bahan kimia, penyakit kuning atau gangguan dalam
penyaringan lemak oleh hati. Pada umumnya obat-obat golongan ini
mengandung asam-asam amino, kandungan dari tanaman kurkuma (kurkumin)
dan zat-zat lipotropik seperti methionin dan cholin. Obat-obat ini sebaiknya
jangan digunakan pada penderita penyakit hati yang berat karena pada dosis
besar dapat memperparah keadaan. Imunomodulator adalah senyawa
tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan baik secara
spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi nonspesifik baik mekanisme
pertahanan seluler maupun humoral.
Agen antihepatitis mencegah masuknya virus masuk atau keluarnya virus
dari sel atau harus aktif di dalam sel penjamu. Akibatnya, inhibisi replikasi
virus yang tidak selektif dapat mengganggu fungsi sel pejamu dan
menimbulkan toksisitas.
2
Batu empedu merupakan penyakit yang terjadi di saluran empedu. Faktor
pencetus nya meliputi hiperkolesterolemia, penyumbatan saluran empedu,
dan radang saluran empedu. Obat yang sering digunakan untuk membantu
melarutkan batu empedu adalah asam kenodioksikolat dan asam
ursodeoksikolat, yang bekerja mengurangi penjenuhan kolesterol-empedu
dengan cara mengurangi sekresi kolesterol dan meningkatkan sekresi asam
empedu.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan informasi tentang terapi medikamentosa pada kelainan
hepatobilier.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui golongan obat yang bekerja pada sistem hepatobilier
Mengetahui farmakokinetika dan farmakodinamika obat yang
bekerja pada sistem hepatobilier
Mengetahui korelasi klinisnya
1.3 Manfaat
1.3.1 Secara Teoritis
Bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang terapi
medikamentosa pada kelainan hepatobilier.
1.3.2 Secara Praktis
Diharapkan dapat mengerti tentang golongan, farmakodinamika
dan farmakokinetika obat yang bekerja pada sistem hepatobilier beserta
korelasi klinisnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antivirus untuk HBV dan HCV
2.1.1 Lamivudin
Lamivudin merupakan L-enantiomer analog deoksisitidin. Lamivudin
dimetabolisme di hepatosit menjadi bentuk trifosfat yang aktif. Lamivudin
bekerja dengan cara menghentikan sintesis DNA, secara kompetitif
menghambat polimerase virus (reverse transcriptase, RT). Lamivudin tidak
hanya aktif terhadap HBV wild-type saja, namun juga terhadap varian
precorelcore promoter. Selain itu ada bukti, ada bukti bahwa lamivudin
dapat mengatasi hiperresponsivitas sel T sitotoksik pada pasien yang
terinfeksi kronik.
1) Resistensi
Resistensi pada lamivudin disebabkan oleh mutasi pada
DNA polimerasi virus.
2) Farmakokinetik
Bioavabilitas Lamivudin adalah 80%. Cmax tercapai
dalam0,5-1,5 jam setelah pemberian dosis. Lamivudin
didistribusikan luas dengan Vd setara dengan volume cairan tubuh.
Waktu paruh plasmanya sekitar 9 jam dan sekitar 70% dosis
diekskresikan dalam bentuk utuh di urin. Sekitar 5% Lamivudin di
metabolisme menjadi bentuk tidak aktif. Dibutuhkan penurunan
dosis untuk insufiensi ginjal sedang (CLCR < 50 mL/menit).
Trimetoprin menurunkan klirens renal Lamivudin.
3) Indikasi
Infeksi HBV (wild-type dan precore variant)
4) Dosis
Peroral 100 mg/hari (dewasa); untuk anak-anak 1 mg/kg
yang bila perlu ditingkatkan hingga 100 mg/hari. Lama terapi yang
dianjurkan adalah 1 tahun pada pasien HbeAg negatif; dan lebih
dari 1 tahun pada pasien Hbe positif.
4
5) Efek samping
Obat ini pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek
samping yang terjadi seperti fatigue, sakit kepala dan mual.
Peningkatan kadar ALT dan AST dapat terjadi pada 30-40%
pasien. Biasanya peningkatan kadar ALT dan AST berhubungan
dengan munculnya mutan HBV yang resisten terhadap lamivudin.
Asidosis laktak dan hepatomegali dengan steatosis yang timbul
pada dosis yang lebih besar (300 mg, ubtuk HIV) tidak terjadi pada
terapi infeksi HBV.
2.1.2 Adefovir
1) Mekanisme kerja dan resistensi
Adefovir merupakan analog nukleotida asiklik. Adefovir
telah memiliki satu gugus fosfat dan hanya membutuhkan satu
langkah fosforilasi saja sebelum obat menjadi aktif. Adefovir
merupakan penghambat replikasi HBV sangat kuat yang bekerja
tidak hanya sebagai DNA chain terminator, namun diduga juga
meningkatkan aktivitas sel NK dan menginduksi produksi
interferon endogen. Terapi dengan adefovir memberikan
penurunan HBV-DNA kurang dari 2 minggu. Obat ini aktif
terhadap mutan yang resisten terhadap lamivudin dan tidak
ditemukan resistensi setelah terapi selama 48-60 minggu.
2) Spektrum aktivitas
HBV, HIV, dan retrovirus lain. Adefovir juga aktif
terhadap virus herpes.
3) Farmakokinetik
Adefovir sulit diabsorpsi, namun bentuk dipivoxil prodrug-
nya diabsorpsi secara cepat dan metabolisme oleh esterase di
mukosa usus menjadi adefovir dengan bioavabilitas sebesar 50%.
Ikatan protein plasma dapat diabaikan, Vd setara dengan cairan
tubuh total. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian oral adefovir
dipivoxil sekitar 5-7 jam. Adefovir dieliminasi dalam keadaan
tidak berubah oleh ginjal melalui sekresi tubulus aktif.
5
4) Indikasi
Infeksi HBV. Adefovir terbukti efektif dalam terapi infeksi
HBV yang resisten terhadap lamivudin.
5) Dosis
Peroral dosis tinggal 10 mg/hari
6) Efek samping
Pada umumya adefovir 10 mg/hari dapata ditoleransi
dengan baik. Setelah terapi selama 48 minggu, terjadi pneingkatan
kreatinin serum ≥ 0,5 mg/Dl diatas baseline pada 13% pasien yang
umumnya memiliki faktor risiko disfungsi renal sejak awal terapi.
Umumnya pasien melanjutkan terapi tanpa penyesuaian dosis.
(Hasan, 1985)
2.1.3 Entekavir
1) Mekanisme kerja dan resistensi
Enetekavir merupakan analog deoksinguanosin yang
memiliki aktifitas anti-hepadnavirus yang kuat. Entekavir
mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifospat yang aktif, yang
berperan sebagai kompetitor substrat natural (deoksiguanosin
trifosfat) serta menghambat HBV polimerase. Pada pasien yang
mengalami gagal terapi dengan lamivudin, ditemukan juga
resistensi silang dengan entekavir, sehingga dibutuhkan dosis yang
lebih tinggi. Namun data yang muncul hingga kini, mutan yang
muncul masih peka terhadap adefovir.
2) Spektrum aktivitas
Entekavir aktif terhadap CMV, HSV1 dan 2 serta HBV.
3) Farmakokinetik
Entekavir diabsorpsi baik peroral. Cmax tercapai antara 0,5-
1,5 jam setelah pemberian, tergantung dosis. Entekavir
dimetabolisme dalam jumlah kecil dan bukan merupakan substrat
sistem sitokrom P450. Waktu paruhnya pada pada pasien dengan
fungsi ginjal normal adalah 77-149 jam. Entekavir dieliminasi
terutama lewat filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Tidak perlu
6
dilakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan penyakit hati
sedang hingga berat.
4) Indikasi
Infeksi HBV
5) Dosis
Peroral 0,5 mg/hari dalam keadaan perut kosong. Pada
pasien yang gagal terapi dengan lamivudin, pemberian entekavir
ditingkatkan hingga 1 mg/hari
6) Efek samping
Efek samping yang sering terjadi dalam studi klinis
entekavir adalah sakit kepala, infeksi saluran nafas atas, batuk,
nasofaringitis, fatigue, pusing, nyeri abdomen atas dan mual.
(Hasan, 1985)
2.1.4 Interferon
Interferon merupakan sitokin yang memiliki efek antivirus,
imunomodulator dan antiproliperatif, yang diproduksi oleh tubuh
sebagai respon dari berbagai stimulus. Ada tiga tipe utama
interferon: alfa, beta, dan gama. Sediaan natural dan rekombinan
yang paling banyak digunakan dalam klinis adalah interferon alfa.
Mekanisme kerja
Setelah berikatan dengan reseptor selular yang spesifik,
interferon megaktivasi jalur transduksi sinyal JAK-STAT,
menyebabkan translokasi inti kompleks protein selular yang
berikatan dengan interferon-spesifc response element. Ekspresi
aktivasi transduksi sinyal ini adalah sintesis lebih dari 2 lusin
protein yang berefek antivirus. Efek antivirus interferon
dilangsungkan melalui hambatan penetrasi virus, sintesis
mRNAvirus, translasi protein virus dan atau assembly dan
penglepasan virus. Virus dapat dihambat oleh interferon dalam
beberapa tahap, dan tahapan hambatannya berbeda pada tiap virus.
Namun, beberapa virus juga dapat melawan efek interferon dengan
cara menghambat kerja protein tertentu yang diinduksi oleh
7
interferon. Salah satunya adalah resistensi hepatitis C virus
terhadap interferon yang disebabkan oleh hambatan aktifitas
protein kinase oleh HCV. (Hasan, 1985)
1) Farmakokinetik
Setelah injeksi intramuskular atau subkutan, absorpsi
interferon mencapai 80%. Kadar plasma bergantung pada dosis.
Kadar plasma puncak dicapai setelah 4-8 jam dan kembali ke awal
setelah 18-36 jam. Karena interferon menginduksi efek biologis
yang cukup panjang durasinya, aktivitas interferon tidak selalu dapt
diperkiran dari karakteristik farmakokinetiknya. Setelah pemberian
intravena, konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 30 menit.
Setelah 4 hingga 8 jam setelah infus, interferon tidak lagi terdeteksi
dalam plasma karena mengalami klitens renal yang cepat. Setelah
terapi interferon dihentikan, interferon akan dieliminasi dari tubuh
dalam waktu 18-36 jam. Saat ini, efikasi interferon telah diperbaiki
dengan mengganti interferon standar dengan interferon yang
terkonjugasi polietilen glikol (PEG-IFN, Pegylated-interferon).
Bentuk sediaan interferon yang baru ini memperlambat eliminasi
interferon melalui ginjal sehingga meningkatkan waktu paruh dan
menyebabkan konsentrasi plasma interferon yang lebih stabil.
Keuntungan yang lainnya adalah penurunan frekuensi injeksi dari
tiga kali menjadi satu kali seminggu. Saat ini terdapat 2 macam
Peg-interferon yang berbeda pada kualitas dan kuantitas interferon
terkonjugasi: 12 kDa PEG linear untuk interferon 2b dan 40 kDa
rantai cabang PEG untuk IFN 2a. Kedua jenis Peg-interferon
menunjukkan efektifitas dua kali lebih baik dari non-pegylated
interferon pada terapi hepatitis C kronik. Saat ini efikasi PEG-IFN
sedang dievaluasi untuk terapi hepatitis B kronik. (Hasan, 1985)
2) Indikasi
8
Infeksi kronik HBV, infeksi kronik HCV, sarkoma kaposi
pada pasien HIV, beberapa tipe malignansi dan multiple sclerosis.
3) Dosis
Infeksi HBV. Pada dewasa: 5 MU/hari atau 10 MU/hari;
pada anak-anak 6 MU/m2 tiga kali perminggu selama 4-6
bulan.
Infeksi HCV. Interferon α 2b monoterapi (3MU subkutan 3
kali seminggu). Umumnya terapi berlangsung selama 6
bulan, namun seringkali dibutuhkan terapi dengan waktu
yang lebih panjang(12-18 minggu) untuk respon Yng
menetP. Peg-interferon alfa 2a memberikan respon yang
lebih baik dibandingkan non-pegylated interferon. Efikasi
Peg-interferon lebih baik jika ditambahkan ribavirin pada
regimen terapinya. Pada pasien dengan HIV, interferon juga
menunjukkan efek anti-retrovirus. Interferon alfa (3 MU
kali seminggu) efektif untuk terapi trombositopenia oleh
HIV yang disebabkan resistensi terhadap terapi dengan
zidovudin. (Hasan, 1985)
4) Efek Samping
Efek samping yang paling umum timbul dengan terapi
interferon-α adalah flu-like symptoms., fatigue, leukopenia, dan
depresi. Terddapat juga laporan anoreksia, rambut rontok,
gangguan mood, dan iritabilitasi. Terapi interferon juga dilaporkan
dapat memperburuk pengobatan penyakit autoimun seperti
tiroiditis. Pasien yang diterapi dengan interferon-α harus terus
dimonitor dan dievaluasi setiap bulannya. Kira-kira 30% pasien
yang diterapi dengan interferon-α membutuhkan penurunan dosis
dan 5% menghentikan obat prematur karena efek samping.(Hasan,
1985)
Tabel 1. EFEK BIOLOGIS INTERFERON
9
Interferon Diproduksi oleh
Waktu
diproduksi
setelah
stimulasi
Efek biologis
Alfa leukosit 4-6 hari Antivirus
Menghambat pertumbuhan sel
normal dan maligna
Meningkatkan aktivitas sel NK
Meningkatkan ekspresi MHC
kelas 1
Mempengaruhi diferensiasi sel
Beta Fibroblas 4-6 hari Antivirus
Epitel Menghambat pertumbuhan sel
normal dan maligna
makrofag Meningkatkan aktivitas sel NK
Meningkatkan ekspresi MHC
kelas 1
Gamma Limfosit 2-3 hari Antivirus
Menghambat pertumbuhan sel
normal dan maligna
Meningkatkan aktivitas sel NK
Meningkatkan ekspresi MHC
kelas 1
Menginduksi sekresi sitokin
lain
Bersama dengan sitokin lain
meningkatkan sintesis
imunoglobulin
2.2 Hepatoprotektor
10
Hepatoprotektor adalah golongan obat-obat yang memberikan proteksi pada
hepar dari kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor eksogen dan endogen dengan
menurunkan aktivitas inflamasi dan progresivitas penyakit. Dasar kerja
hepatoprotektor ini adalah mempengaruhi mekanisme patogenesis penyakitnya,
bukan pada penyebab penyakitnya. Klasifikasi hepatoprotektor diantaranya, yaitu :
(Katzung, 2010)
Herbal preparation (silymarin, asam glisirizin)
Asam amino dan derivatnya (Ademethionine)
Asam empedu (asam ursodeoksikolat, kenodeoksikolat)
Vitamin dan antioksidan
2.2.1 Herbal Preparation
a. Milk Thistle (Silybum marianum)
Buah dan biji tanaman milk thistle mengandung campuran
lipofilik berbagai flavonolignan yang disebut sebagai silymarin.
Silymarin merupakan 2-3% komponen herba yang dikeringkan
dan terdiri atas tiga isomer utama, yakni silybin (juga dikenal
sebagai silybinin atau silibi-nin), silychristin (silichristin), dan
silydianin (silidianin). Silybin merupakan isomer yang paling
banyak dan paling kuat dari ketiga isomer di atas dan menyusun
sekitar 50% dari kompleks silymarin. Produknya harus
distandardisasi hingga mengandung 70-80% silymarin (Katzung,
2010).
Efek Farmakologik
Pada model binatang, milk thistle membatasi kerusakan hati
yang disebabkan oleh berbagai macam toksin, termasuk jamur
Amanita, galaktosamin, karbon tetraklorida, asetaminofen, radiasi,
iskemia dingin, dan etanol. Penelitian in vitro dan beberapa
penelitian in vivo memperlihatkan bahwa silymarin menurunkan
peroksidasi lipid, menghilangkan radikal bebas, dan meningkatkan
kadar glutation serta superoksida dismutase. Silymarin turut
11
berperan menimbulkan stabilisasi membran dan mengurangi
masuknya racun (Katzung, 2010).
Milk thistle tampaknya memiliki sifat antiinflamasi. In vitro,
silybin menghambat pembentukan lipoksigenase dan leukotrien
dengan kuat dan tidak kompetitif. Inhibisi migrasi leukosit telah
diamati terjadi in vivo dan dapat berperan sebagai salah satu
faktor pada saat inflamasi akut. Silymarin juga menghambat
aktivasi nuclear factor kappa B (NF-KB) yang diperantarai tumor
necrosis factor α yang meningkatkan respons inflamasi. Salah satu
mekanisme kerja yang paling tidak biasa yang diajukan untuk milk
thistle terdiri atas peningkatan aktivitas RNA polimerase I pada
hepatosit nonmaligna tapi tidak pada lini sel yang mengalami
hepatoma atau keganasan lainnya. Dengan meningkatkan aktivitas
enzim ini, dapat terjadi peningkatan sintesis protein dan regenerasi
sel pada sel yang sakit tapi tidak pada sel maligna. Milk thistle
mungkin bermanfaat pada fibrosis hepatik. Pada model binatang
untuk sirosis, milk thistle menurunkan akumulasi kolagen, dan pada
model in vitro, milk thistle menurunkan ekspresi profibrogenic
cytokine transforming growth factor-β (Katzung, 2010).
Milk thistle kemungkinan bermanfaat dalam tatalak-sana
hiperkolesterolemia dan batu empedu. Satu uji coba berskala kecil
pada manusia memperlihatkan terjadinya penurunan indeks
saturasi empedu dan konsentrasi ko-lesterol dalam empedu.
Penurunan konsentrasi kolesterol dalam empedu dapat
mencerminkan penurunan sintesis kolesterol oleh hati. Namun,
hingga hari ini, masih belum cukup bukti yang membuat milk
thistle dapat digunakan untuk berbagai indikasi di atas (Katzung,
2010).
Efek Kemoterapeutik
Penelitian pendahuluan secara in vitro dan pada binatang
telah dilaksanakan pada lini sel untuk kanker kulit, paru, kandung
kemih, kolon, lidah, payudara, dan kanker prostat. Pada model
12
murin untuk kanker kulit, silybinin dan milk thistle mengurangi
inisiasi dan promosi tumor. Keduanya juga menghambat
pertumbuhan dan proliferasi sel dengan menginduksi penghentian
siklus sel pada tahap G1 dalam lini sel kanker prostat dan
payudara manusia yang dibiakkan. Namun, penggunaan milk
thistle dalam terapi kanker belum cukup banyak dipelajari
sehingga tidak boleh direkomendasikan pada pasien (Katzung,
2010).
Uji Klinis
Milk thistle telah digunakan untuk mengobati hepatitis
viral akut dan kronik, penyakit hati alkoholik, dan kerusakan hati
yang diinduksi oleh toksin pada pasien manusia. Kajian sistematik
terkini terhadap 13 uji coba teracak yang melibatkan 915
penderita penyakit hati alkoholik atau hepatitiB atau C tidak
menemukan adanya penurunan yang bermakna pada angka
mortlitas akibat berbagai sebab, histologi hati, atau komplikasi
penyakit hati. Diantara semua uji coba, tercatat adanya
penurunan bermakna pada mortalitas terkait penyakit hati, tapi
hal ini tidak dijumpai pada uji coba dengan rancangan dan
kontrol yang lebih baik. Disimpilkan bahwa efek milk
thistledalam meningkatkan fungsi hati atau mortalitas akibat
penyakit hati saat ini masih belum dapat dipastikan dengan
baik. Sampai uji klinis tambahan yang dirancang dengan baik
(kemungkinan dengan mencoba dosis yang lebih tinggi) dapat
dilakukan, efek klinis milk thistle belum dapat didukung atau
disanggah kebenarannya (Katzung, 2010).
Peran milk thistle sebagai antidotum pasca pajanan akut
racun ke hati belum dipelajari dengan baik pada manusia.
Namun, silybin parenteral dipasarkan dan digunakan di eropa
sebagai anti dotum pada keracunan jamur Amanita phalloides,
berdasarkan hasil akhir yang baik seperti yang dilaporkan dalam
berbagai penelitian kasus-kontrol (Katzung, 2010).
13
Efek samping
Milk thistle jarang dilaporkan menyebabkan efek simpang
jika digunakan menurut dosis yang dianjurkan. Pada uji klinis,
insidens efek simpangnya setara dengan yang disebabkan oleh
plasebo (Katzung, 2010).
Interaksi obat, peringatan dan dosis
Tidak dilaporkan terjadi interaksi antar obat atau adanya
peringatan pada penggunaan milk thistle. Dosis yang
dianjurkan adalah 280-420 mg per hari, dihitung sebagai
silybin, dalam tiga dosis terbagi (Katzung, 2010).
b. Asam Glycyrrhizic
Asam glycyrrhizic diterapkan secara luas sebagai pemanis
dalam produk makanan dan mengunyah tembakau. Selain itu, ada
hal yang menarik klinis untuk kemungkinan pengobatan hepatitis C
kronis. Dalam beberapa mata pelajaran yang sangat terbuka, efek
samping seperti hipertensi dan gejala yang berhubungan dengan
gangguan elektrolit telah dilaporkan. Untuk menganalisis hubungan
antara farmakokinetik asam glycyrrhizic di toksisitasnya, kinetika
asam glycyrrhizic dan asam biologis aktif glycyrrhetic metabolit
dievaluasi. Asam glycyrrhizic terutama diserap setelah hidrolisis
presystemic sebagai asam glycyrrhetic. Karena asam glycyrrhetic
adalah 200-1000 kali lebih kuat dari inhibitor dehidrogenase 11-
beta-hidroksisteroid dibandingkan dengan asam glycyrrhizic,
kinetika asam glycyrrhetic relevan dalam perspektif
toksikologi. Setelah diserap, asam glycyrrhetic diangkut, terutama
dibawa ke hati oleh operator kapasitas terbatas, di mana ia
dimetabolisme menjadi glukuronida dan konjugat sulfat (Polyakov,
2011).
14
Konjugasi diangkut secara efisien ke dalam empedu. Setelah
keluar dari empedu ke duodenum, konjugat yang dihidrolisis
menjadi asam glycyrrhetic oleh bakteri komensal, asam
glycyrrhetic selanjutnya diserap, menyebabkan keterlambatan
diucapkan dalam pembersihan terminal plasma (Polyakov, 2011).
Fisiologis berdasarkan pemodelan farmakokinetik
menunjukkan bahwa, pada manusia, tingkat transit gastrointestinal
isi melalui usus kecil dan besar terutama menentukan sejauh mana
konjugat asam glycyrrhetic akan diserap kembali. Parameter ini,
yang dapat diperkirakan noninvasively, dapat berfungsi sebagai
estimator risiko berguna untuk efek samping glycyrrhizic-asam-
diinduksi, karena pada subyek dengan berkepanjangan waktu
transit gastrointestinal, asam glycyrrhetic mungkin menumpuk
setelah asupan diulang (Polyakov, 2011).
2.2.2 Asam Empedu
Asam Ursodeoksikolat
Ursodiol (asam ursodeoksikolat) merupakan asam empedu
yang dijumpai secara alamiah dan membentuk kurang dari 5%
depot garam empedu dalam sirkulasi manusia, dan persentasenya
jauh lebih tinggi pada beruang. Setelah pemberian oral, ursodiol
diserap, terkonjugasi dalam hati dengan glisin atau taurin, dan
diekskresi dalam empedu. Ursodiol terkonjugasi menjalani
resirkulasi enterohepatik. Waktu-paruhnya dalam serum adalah
sekitar 100 jam. Bila diberikan setiap hari untuk jangka-waktu
lama, ursodiol menyusun 30-50% dapat asam empedu yang
terdapat dalam sirkulasi. Sejumlah kecil ursodiol tak terkonjugasi
atau terkonjugasi yang tidak diabsorpsi melintas ke dalam kolon,
tempat ursodiol tersebut diekskresi atau mengalami dehidroksilasi
oleh bakteri dalam kolon menjadi asam litokolat, suatu zat yang
berpotensi menimbulkan toksisitas hati (Katzung, 2010).
15
Farmakodinamik
Kelarutan kolesterol dalam empedu ditentukan oleh per-
bandingan relatif antara asam empedu, lesitin, dan kolesterol.
Meskipun terapi ursodiol jangka panjang menambah simpanan
asam empedu, hal ini tampaknya bukan merupakan mekanisme
utama terjadinya pelarutan batu empedu. Ursodiol mengurangi
kandungan kolesterol dalam empedu dengan mengurangi sekresi
kolesterol oleh hati. Ursodiol tampaknya turut menstabilisasi
membran kanalikular hepatosit, kemungkinan dengan
menurunkan kadar asam empedu endogen lainnya atau dengan
menghambat penghancuran hepatosit berperantara imun (Katzung,
2010).
Penggunaan Klinis
Ursodiol digunakan untuk melarutkan batu empedu ko-
lesterol kecil pada penderita penyakit kandung empedu
simtomatik yang menolak untuk menjalani kolesistektomi atau
bukan merupakan calon yang baik untuk menjalani pembedahan.
Pada dosis 10 mg/kg/hari selama 12-24 bulan, terjadi pelarutan
batu pada separuh pasien yang memiliki batu empedu kecil
nonkalsifikasi (<5-10 mm). Obat ini juga efektif mencegah
terjadinya batu empedu pada pasien obes yang sedang menjalani
terapi penurunan berat badan cepat. Beberapa uji coba
menunjukkan bahwa ursodiol dengan dosis 13-15 mg/kg/hari
bermanfaat pada pasien sirosis bilier primer tahap dini, karena
mengurangi kelainan fungsi hati dan memperbaiki gambaran
histologi hati (Katzung, 2010).
Efek Samping
Ursodiol tidak memiliki efek samping yang berat. Diare
akibat garam empedu jarang terjadi. Tidak seperti pen-dahulunya,
yakni kenodeoksikolat, ursodiol tidak menimbulkan
hepatotoksisitas (Katzung, 2010).
16
2.2.3 Ademetionine
Ademetionine yang juga dikenal sebagai SAMe adalah bentuk
spesifik dari asam amino yang dikenal sebagai S-adenosyl-methionine
(SAMe), merupakan substansi alami yang secara endogen disintesis
dari methionine dan adenosine. Ademetionine adalah bahan dalam
pembentukan glutathione, sebuah peptida larut air yang membantu
tubuh melawan radikal bebas, selain itu ademetionine juga membantu
hepar memproses lemak (perlindungan terhadap perlemakan hepar)
dan dipercaya berperan dalam perlindungan terhadap penyakit
jantung. (Sover, 1992)
SAMe adalah sebuah donor metil yang menyediakan molekul
lain dengan kelompok-kelompok metil yang sangat penting untuk
metabolisme mereka. Secara umum, ademetionine meningkatkan level
penggunaan asam amino lain dalam tubuh. Defisiensi berat SAMe
dapat menyebabkan masalah pada fungsi tubuh lainnya, contohnya
sekresi hormon-hormon penting tubuh seperti melatonin, yang
merupakan peran utama dalam regulasi tidur dan irama sirkadian.
(Skinner, 2005)
Ademetionine berpartisipasi setidaknya dalam tiga reaksi
biokimiawi, yaitu transmetilasi, transsulfurasi, dan sintesis poliamin.
Reaksi transmetilasi merupakan langkah terpenting di dalam sintesis
fosfolipid, menyediakan fluiditas membran dan polarisasi yang
berperan penting dalam sintesis empedu. Gangguan terhadap
transsulfurasi mengarah pada defisiensi glutathione yang dapat
menurunkan stabilitas hepatosit terhadap efek merusak radikal bebas.
Lebih jauh lagi ademietionine adalah prekursor senyawa thiol lainnya,
seperti sistein, taurin, koenzim A. Terakhir, reaksi sintesis poliamin
yang secara langsung berhubungan dengan proses proliferasi hepatosit
dan regenerasi hepar. (Sover, 1992)
Data eksperimen dan klinis menunjukkan bahwa kerja
antioksidan dan detoksifikasi ademetionine serta percepatan
regenerasi jaringan hepar dan perlambatan pembentukan fibrosis.
Dilatarbelakangi peningkatan penggunaan ademetionine pada pasien-
17
pasien dengan sirosis alkoholik, awalnya terdapat penurunan
konsentrasi glutathione, sistein dan taurin dalam jaringan hati yang
menunjukkan normalisasi proses metabolisme. Hal ini diketahui
bahwa metabolit beracun utama etanol, asetaldehida memblok sistem
pemulihan glutathione yang menyebabkan kerusakan pada produk
hepatosit peroksidasi lipid. Ademetionine, menjadi kelompok
sulfhidril donor, mempromosikan penghapusan kekurangan
glutathione. (Sover, 1992)
Sebagai agen hepatoprotektor, ademetionine juga memiliki efek
antidepresan. Aktivitas antidepresan muncul secara gradual, dimulai
saat treatment awal. Agen ini merupakan tambahan penting pada
berbagai efek terapeutik ademetionin. Secara khusus hal ini membantu
untuk mengatasi kecanduan alkohol (Lieber, 2002)
Skema klasik ademetionine menyediakan dua tahap pengobatan.
Tahap pertama, injeksi intravena (bolus atau drip perlahan) dengan
dosis 800 mg sekali sehari selama empat belas hari. Kemudian beralih
pada pengobatan oral 800 mg dua kali sehari selama 2-4 minggu
(Lieber, 2002).
Stres oksidatif ditunjukkan untuk memainkan peran patogenik
utama dalam beberapa kondisi penyakit mulai dari hepatotoksisitas
alkohol (dan xenobiotik lainnya) untuk carcinogenicity banyak
senyawa. Mekanisme pertahanan alami besar terhadap stres oksidatif
berkurang glutathione, yang menangkap kelebihan radikal
bebas. Glutathione adalah tripeptida, maka asam amino pada tingkat
membatasi menjadi sistein, dan SAMe memainkan peranan penting
dalam pembentukan sistein (Lieber, 2002).
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada semua penyakit
hati utama adalah proses penyembuhan tidak tepat berlebihan tidak
terkontrol dengan jaringan parut atau fibrosis memuncak pada
sirosis. Memang, fibrosis dapat dilihat sebagai proses jaringan parut
awalnya menguntungkan yang telah lolos kontrol dan hasil akhirnya
pada sirosis. SAMe ditunjukkan untuk menjadi terapi berguna dalam
18
mengurangi proses ini dan untuk meningkatkan hasil klinis (Lieber,
2002).
Penyakit hati yang paling umum yang SAMe telah terbukti
berguna terapi adalah luka hati alkoholik, yang meliputi semua
manifestasi patologis dibahas di atas, yaitu kekurangan dalam aktivasi
metionin untuk SAMe, dalam peran patogenik dari stres oksidatif dan
kekurangan glutathione, komplikasi kolestasis, dan dalam konsekuensi
yang menghancurkan fibrosis hati yang berlebihan (yang mengarah ke
sirosis) (Lieber, 2002).
Efek samping pada penggunaan ademetionine ini minimal,
beberapa pasien mengalami perasaan tidak nyaman pada regio
epigastrium (Lieber, 2002).
Gangguan hati, termasuk penyakit hati alkoholik, berhubungan
menghasilkan bagian dari aktivasi gangguan metionin untuk SAMe
atau dari alkohol-diinduksi stres oksidatif, yang menghasilkan
peningkatan utilisasi SAMe, prekursor utama tingkat sistein
membatasi amino asam dari glutathione tripeptide. Penipisan SAMe,
agen methylating utama hati, dan terkait patologi hati dapat dikoreksi
dengan pemberian ini aman nutrisi namun terapi efektif (Lieber,
2002).
2.3 Obat Immunomodulator
2.3.1 Talidomid
Talidomid merupakan imunomodulator yang sangat baik dan saat
ini aktif digunakan atau diuji klinis untuk lebih dari 40 penyakit yang
berbeda. Talidomid menghambat angiogenesis dan memiliki efek anti-
inflamasi dan imunomodulatorik. Talidomid menghambat TNF-oc,
mengurangi fagositosis oleh neutrofil, meningkat kan produksi IL-10,
mengubah ekspresi molekul adhesi, dan meningkatkan imunitas
berperantara sel melalui interaksi dengan sel T. Kerja talidomid yang
rumit masih terus dipelajari seiring terus berkembangnya penggunaan
klinis obat ini (Katzung, 2010).
19
Talidomid saat ini digunakan dalam terapi mieloma multipel pada
saat diagnosis ditegakkan dan pada penyakit yang refrakter serta
mengalami relaps. Pasien biasa nya menunjukkan tanda respons dalam
waktu 2-3 bulan sesudah obat dimulai, dengan angka respons berkisar
dari 20 hingga 70%. Bila dikombinasi dengan deksametason, angka
respons pada mieloma adalah 90% atau lebih pada beberapa penelitian.
Sebagian besar pasien menunjukkan respons yang bertahan lama hingga
12-18 bulan pada penyakit yang refrakter dan bahkan lebih lama pada
beberapa pasien yang diobati sewaktu diagnosis ditegakkan.
Keberhasilan talidomid dalam terapi mieloma telah membuat obat ini
juga diuji klinis untuk berbagai penyakit lain seperti sindrom
mielodisplastik, leukemia mielogenik akut, dan reaksi graf pejamu,
serta pada tumor solid seperti kanker kolon, karsinoma sel ginjal,
melanoma, dan kanker prostat, dengan hasil yang bervariasi hingga saat
ini. Talidomid telah bertahun-tahun digunakan dalam terapi beberapa
manifestasi lepra dan diperdagangkan kembali di AS untuk eritema
nodosum leprosum obat ini juga bermanfaat dalam tatalaksana
manifestasi kulit penyakit lupus eritematosus (Katzung, 2010).
Profil efek simpang talidomid sangatlah luas. Toksisitas yang paling
penting adalah teratogenesis. Karena adanya efek ini, peresepan dan
penggunaan talidomid sangat diatur oleh pabrik pembuatnya. Efek
simpang talidomid yang lain yaitu neuropati perifer, konstipasi, ruam,
kelelahan, hipotiroidisme, dan peningkatan risiko trombosis vena
dalam. Trombosis cukup sering terjadi, khususnya pada populasi
mieloma, sehingga sebagian besar pasien yang mendapat talidomid
turut mendapat warfarin (Katzung, 2010).
Karena profil toksisitas talidomid yang berat, telah dilakukan
berbagai macam upaya untuk menciptakan analognya. Turunan
imunomodulatorik talidomid dinamakan IMiD. Beberapa IMiD jauh
lebih poten ketimbang talidomid dalam mengatur sitokin dan
mempengaruhi proliferasi sel T. Lenalidomid adalah suatu IMiD yang,
menurut penelitian pada hewan dan in vitro, terbukti memiliki efek
yang sama seperti talidomid, tapi dengan toksisitas yang lebih sedikit,
20
terutama teratogenisitasnya. CC-4047 (Actimid) adalah ImiD lain yang
sedang diteliti untuk terapi sindrom mielodisplastik, mieloma, dan
kanker prostat (Katzung, 2010).
Kelompok analog talidomid lainnya, yakni selective cytokine
inhibitory drugs (Sel CIDs), merupakan penghambat fosfodiesterase
tipe 4 dengan aktivitas anti-TNF-a yang kuat tapi tidak memiliki
aktivitas kostimulatorik sel T. Beberapa Sel CID saat ini masih diteliti
untuk penggunaan klinis (Katzung, 2010).
2.3.2 Methisoprinol
Methisoprinol adalah kompleks alkilamino-alkohol dari inosin yang
digunakan untuk berbagai infeksi virus. Obat ini merupakan campuran dari
inosin, asam asetamidobenzoat, dan dimetilaminoisopropanol. Cara
kerjanya dengan memodifikasi atau merangsang proses-proses imunitas dan
membunuh virus secara tidak langsung dengan cara mencegah replikasi
virus. Isoprinosine merupakan salah satu obatnya (Junadi, 2012).
Methisoprinol pertama kali dipatenkan di Amerika Serikat pada
1969, kemudian dipatenkan kembali di 62 negara lainnya. Pada 1982, obat
ini menerima penghargaan “Le Prix Galien” di Perancis sebagai inovasi
terapeutik yang terbaik pada tahun itu di negara tersebut. Kini,
methisoprinol diperkenalkan oleh PT Prima Medika Laboratories dalam
Pertemuan Ilmiah Tahunan Peralmuni di Hotel Horison, Bandung, pada 16-
17 Maret 2012, dengan merek dagang Viridisa (Junadi, 2012).
Methisoprinol meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit
dengan cara merangsang produksi sel T (limfosit T), meningkatkan fungsi
T-killer cell, mendukung fungsi sel NK (Natural Killer), peningkatan
aktivitas limfosit B dan peningkatan produksi imunoglobulin, serta
intensifikasi aktivitas fagositik. Jadi, respons imun tubuh yang meningkat
adalah sistem imunitas seluler dan humoral ( Junadi, 2012).
Methisoprinol juga mencegah replikasi virus, dengan demikian tetap
menjaga integritas histologis dan fungsional sel-sel tubuh manusia dan
gejala infeksi virus akan menghilang. Uji laboratorium akan memberikan
21
hasil yang normal dan menurunkan kejadian relaps sehingga pasien dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal (Junadi, 2012).
Obat ini diindikasikan pada pasien yang mengalami penurunan atau
defisiensi imunitas yang mengalami infeksi virus herpes pada wajah dan
genitalia yang rekurens, herpes zoster, rhinovirus dan influenza, infeksi
citomegalovirus, infeksi virus Epstein-Barr, infeksi rubella, subacute
sclerosing panencephalitis, infeksi human papilloma virus, hepatitis dan
imunodepresi, serta infeksi saluran pernapasan primer dan sekunder pada
dewasa dan anak (Junadi, 2012).
Methisoprinol dikontraindikasikan pada trimester pertama
kehamilan. Karena inosin dimetabolisme menjadi asam urat maka akan
terjadi peningkatan kadar asam urat di serum dan urin. Oleh karena itu,
pemberian methisoprinol pada pasien dengan riwayat hiperurisemia dan
gout harus diawasi (Junadi, 2012).
Georgala et al., pada 2007 meneliti penggunaan methisoprinol
(inosiplex) oral pada 36 wanita berusia antara 20-43 tahun
dengan condyloma acuminata servikal yang refrakter terhadap paling tidak
satu jenis terapi, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 mendapat
methisoprinol dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dan kelompok 2 mendapat
plasebo. Dari kelompok 1 yang terdiri dari 17 orang yang mendapat
methisoprinol, diperoleh hasil respons total pada 4 orang, respons parsial
pada 7 orang, dan tidak ada respons pada 6 orang. Sedangkan pada
kelompok 2 yang terdiri dari 19 orang, 3 orang menunjukkan respons
parsial, dan 16 orang tidak menunjukkan respons. Perbedaan efek terapeutik
yang terjadi antara kelompok methisoprinol dan kelompok plasebo
bermakna, dan tetap bermakna ketika dilakukan analisis. Pada elavuasi 12
bulan kemudian tidak terjadi rekurensi pada pasien yang menunjukkan
respons total. Efek samping yang terjadi ringan dan hilang sendiri ketika
pengobatan dihentikan. Dibandingkan dengan plasebo, methisoprinol
memberikan pengaruh yang bermakna dan efek samping reversibel, tanpa
adanya rekurensi (Junadi, 2012).
Menurut Golebiowska-Wawrzyniak et al, dalam sebuah studi klinis
tentang efikasi methisoprinol (inosine pranobex) pada 2005, diperoleh hasil
22
bahwa pada anak dengan status imunitas rendah/ imunodefisiensi) terjadi
peningkatan jumlah limfosit T tipe CD4 dan CD3 dengan pemberian
methisoprinol 50 mg/kg BB/hari. Selain itu, juga terjadi perbaikan fungsi sel
T tersebut. Temuan laboratoriumnya, sesuai dengan temuan klinisnya.
Penelitan ini dilakukan pada 30 orang anak berusia 13–15 tahun yang
mendapat methisoprinol sebagai profilaksis terhadap infeksi-infeksi yang
sebagian besar disebabkan oleh virus selama 3 bulan dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang diberi bawang putih (Junadi, 2012).
Isoprinosine®
Komposisi / Kandungan
Tiap tablet Isoprinosine® mengandung methisoprinol 500 mg. Tiap 1
sendok takar (5 ml) Isoprinosine® Sirup mengandung methisoprinol 250 mg
dan Ethanol 2 % (Junadi, 2012).
Cara Kerja Obat
Methisoprinol adalah suatu kompleks senyawa kimia yang terbentuk
dari inosine dan suatu aminoalcohol, dimetilaminoisopropanol, dengan rasio
1 : 3. Isoprinosine® adalah berupa bubuk putih, sedikit pahit, larut dalam air
dan stabil dalam larutan netral. Kompleks ini ditemukan oleh para peneliti
dari Amerika. Isoprinosine® dapat meningkatkan sintesa protein dan
nukleoprotein, melindungi struktur dan fungsi poliribosom, menghalangi
pemindahan genetika virus ke poliribosom sel tubuh dan dengan cara ini
menghentikan multiplikasi virus. Dari studi klinis yang dilakukan oleh para
peneliti Argentina, didapatkan isoprinosine® mempunyai aktivitas antivirus
nonspesifik dan berspektrum luas (Junadi, 2012).
Indikasi
Indikasi Isoprinosine® adalah :
Infeksi virus pada saluran napas, penyakit-penyakit eksantem.
Penyakit hati, dan beberapa sistem saraf.
Influenza atau flu pada anak-anak dan orang dewasa.
Common cold.
23
Bronkiolitis.
Rinofaringitis atau radang tenggorokan.
Varisela atau cacar air.
Campak atau measles.
Herpes simplex virus, dan herpes zoster.
Parotitis.
Kontraindikasi
Hati-hati ketika memberikan Isoprinosine® kepada pasien-pasien pirai
(gout, asam urat), karena obat ini sedikit meningkatkan kadar asam urat
dalam serum. Karena memiliki sedikit pengaruh terhadap jantung, perhatian
diperlukan dalam pengobatan pasien jantung yang sedang mendapatkan
digitalis. Isoprinosine® sebaiknya tidak digunakan pada infeksi bakteri,
karena tidak memiliki efek antibakteri. Mengingat rasio antara dosis terapi
dan dosis toksik adalah 1 : 100, Isoprinosine® dapat digunakan tanpa
kekawatiran akan efek toksik. Akumulasi tidak terjadi karena Isoprinosine®
dapat dieliminasi bersama metabolitnya melalui urin. Isoprinosine®
hendaknya tidak digunakan selama 4 bulan pertama kehamilan (Junadi,
2012).
Dosis
Tanyakan kepada dokter anda / dokter anak anda mengenai dosis
Isoprinosine®. Jika perlu, antibiotika atau kemoterapi dapat digunakan
berama bila ada infeksi bakteri. Tak ada kontraindikasi pemakaian bersama
antibiotik/kemoterapi dan ini tergantung penilaian dokter. Lama pengobatan
sebagai berikut :
Infeksi virus akut yang berlangsung singkat : pengobatan harus
dilanjutkan satu sampai dua hari setelah gejal-gejala mereda, sesuai
dengan penilaian dokter.
Infeksi virus akut yang berlangsung lama : pengobatan hendaknya
dilanjutkan satu sampai dua minggu setelah gejala-gejala menghilang,
sesuai dengan penilaian dokter. Dengan cara ini kekambuhan akan
dihindari (Junadi, 2012).
24
Efek Samping
Sebagai pendorong kekebalan, memiliki efek samping terbatas, besar di
antaranya adalah gatal, pusing, dan kesulitan pencernaan (Junadi, 2012).
Kemasan
Isoprinosine® Tablet box, berisi 8 tablet.
Isoprinosine® Sirup, 60 ml.
2.4 Obat Kolestatis
Batu empedu merupakan penyakit yang terjadi di saluran empedu. Faktor
pencetus nya meliputi hiperkolesterolemia, penyumbatan saluran empedu,
dan radang saluran empedu. Terdapat tiga jenis batu empedu yakni, batu
kolesterol, batu pigmen dan batu kalsium karbonat (kebanyakan yang terjadi
batu empedu) (Schmitz, 2009).
Terapi batu empedu dengan obat perannya relatif kecil bila dibandingkan
dengan teknik-teknik endoskopi bilier dan kolesistektomi laparoskopi. Terapi
dengan obat cocok untuk pasien yang tidak dapat diobati dengan cara-cara
lain, yang gejala-gejalanya ringan, fungsi kandung empedu tidak terganggu,
dan ukuran batu empedu radiolusen kecil sampai sedang, obat tidak cocok
untuk batu empedu yang radio-opak, yang tidak dapat larut. Pasien harus
diberi nasihat diet yang sesuai (termasuk menghindari kolesterol dan kalori
yang berlebihan), dan harus dirujuk ke rumah sakit karena diperlukan
pemantauan radiologi. Pencegahan jangka panjang mungkin diperlukan
setelah batu empedu larut dengan sempurna, karena batu empedu dapat terjadi
kembali sampai 25% pasien dalam satu tahun setelah obat dihentikan
(Schmitz, 2009).
Obat yang sering digunakan untuk membantu melarutkan batu empedu
adalah asam kenodioksikolat dan asam ursodeoksikolat, yang bekerja
mengurangi penjenuhan kolesterol-empedu dengan cara mengurangi sekresi
kolesterol dan meningkatkan sekresi asam empedu. Asam ursodeoksikolat
juga digunakan dalam sirosis empedu primer (Schmitz, 2009).
25
2.4.1 Asam Kenodioksikolat
Indikasi : pelarutan batu empedu
Kontraindikasi :
batu radio-opak, kehamilan, kandung empedu tidak berfungsi,
penyakit hati kronik, penyakit radang dan kondisi lain dari usus halus dan
kolon yang mengganggu sirkulasi enterohepatik garam-garam empedu
(Schmitz, 2009).
Efek samping :
Pada penggunaan asam kenodioksilat dapat menimbulkan efek
samping berupa diare terutama pada dosis awal yang tinggi (kurangi dosis
selama beberapa hari), gatal-gatal, gangguan hati ringan, dan transminase
serum naik sementara (Schmitz, 2009).
Dosis :
10-15 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal menjelang tidur malam
atau dalam dosis terbagi selama 3-24 bulan (bergantung pada besarnya
batu ). Pengobatan diteruskan paling tidak selama 3 bulan setelah batunya
larut (Schmitz, 2009).
Bioavailabilitas : 81-100%
Ekskresi: terutama dalam tinja.
Metabolisme:
Setelah penyerapan, chenodiol dapat terkonjugasi dengan glisin
atau taurin dalam hati dan dengan cepat menuju empedu, chenodiol
terkonjugasi ini kemudian diserap di ileum terminal dan jejunum,
menyelesaikan siklus enterohepatik (Schmitz, 2009).
Metabolit Asam Lithocholic (tidak aktif) yang terbentuk dalam
usus oleh bakteri dehydroxylation diserap chenodiol, terkonjugasi, sulfated
dan diekskresikan dalam empedu, hepatotoksik pada hewan.
Mekanisme kerja dari Chenodiol sendiri adalah asam utama yang
diekskresikan ke dalam empedu, merupakan 1/3 dari jumlah empedu asam
empedu, kerja obat pada batu empedu pelarutan bergantung pada efek
umpan balik negatif pada tingkat pembatasan enzim untuk sintesis
kolesterol dan empedu.
Interaksi obat :
26
Efek dari beberapa obat dapat berubah jika Anda mengambil obat
lain atau produk herbal pada waktu yang sama. Hal ini dapat
meningkatkan risiko efek samping yang serius atau dapat menyebabkan
obat yang dikonsumsi tidak be kerja dengan maksimal. Beberapa obat
yang dapat berinteraksi dengan obat ini meliputi: estrogen (seperti
estradiol, pil estrogen, pil KB), "pengencer darah" (seperti warfarin).
Dianjurkan juga untuk melakukan diet kolesterol rendah (meningkatkan
laju pelarutan batu empedu sampai 2 kali lipat) (Schmitz, 2009).
2.4.2 Asam ursodeoksikolat
Indikasi :
- Pelarutan batu empedu tembus sinar x dengan diameter tidak
lebih dari 20mm.
- Sirosis empedu primer.
- Kolestasis intrahepatik.
- Penderita yang mempunyai resiko tinggi atau yang menolak
untuk operasi kandung empedu (Schmitz, 2009).
Kontraindikasi:
- Batu kolesterol yang mengalami kalsifikasi, batu radioopak,
batu radiolusen, pigmen empedu.
- Kolesistitis akut yang tidak mengalami remisi, kolangitis,
obstruksi bilier batu pankreas atau fistula bilier
gastrointestinal.
- Pasien dengan kalsifikasi batu empedu.
- Kandung empedu tidak berfungsi.
- Penyakit peradangan dan kelainan pada usus halus.
- Hipersensitif terhadap komponen ini (Schmitz, 2009).
Efek samping:
Penggunaan asam ursodeoksikolat mungkin dapat
menimbulkan diare jarang terjadi, Mual, Muntah, nyeri perut,
Perut kembung, Trombositopenia, Pruritus, Rash, konstipasi,
27
pusing, depresi, gangguan tidur, nyeri sendi, nyeri otot, kalsifikasi
batu empedu. Bioavailabilitas : 90%
Metabolisme:
Diambil dengan cepat oleh hati, terkonjugasi dengan glisin
atau taurin, dan diekskresikan dalam empedu Nonabsorbed
melewati ursodiol ke usus di mana itu adalah dehydroxylated asam
lithocholic (senyawa perantara, kadang-kadang terbentuk, disebut
chenodiol); chenodiol kemudian dehydroxylated asam lithocholic.
(Schmitz, 2009).
Asam glyco-ursodeoxycholic, asam tauro-ursodeoxycholic,
asam keto-lithocholic (tidak aktif), asam lithocholic (tidak aktif)
yang terbentuk dari hidroksilasi ursodiol dan chenodiol, sebagian
kecil dimetabolisme sulfat konjugat asam lithocholic yang
diekskresikan dalam empedu & dieliminasi dalam feses(Schmitz,
2009).
Dosis:
Pelarutan batu empedu, 8-12 mg/kg/sehari dalam dua dosis
terbagi sampai selama 2 tahun; pengobatan dilanjutkan selama 3-4
bulan setelah batu nya melarut. Sirosis empedu primer 10-15
mg/kg/sehari dalam 2-4 dosis terbagi (Schmitz, 2009).
Interaksi obat :
- Kolestiramin atau aluminium hidroksida menghambat
penyerapan ursodeoxyvholic acid (Schmitz, 2009).
- Pemberian estrogen, kontrasepsi oral dan fibrobrat (dan obat-
obat penurun kadar lipid yang lain) dapat meningkatkan sekresi
kolesterol hati dan mendorong pembentukan batu empedu
kolesterol sehingga dapat melawan aktifitas ursodeoxycholic
acid (Schmitz, 2009).
BAB II
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
28
Sistem hepatobilier adalah sistem yang mengatur pengeluaran atau
sekresi cairan empedu yang berasal dari hati dan kandung empedu untuk
disekresikan ke dalam usus halus untuk pencernaan lemak dalam makanan.
Penyakit pada hati dapat bersifat kronik, fokal atau difus, ringan atau parah
dan reversible atau ireversible. Obat-obat yang biasanya digunakan dalam
sitem hepatobilier yaitu dapat berupa hepatoprotektor, antihepatitiviral,
imunomodulator dan kolestatis.
Hepatoprotektor adalah obat-obat yang digunakan sebagai vitamin
tambahan untuk melindungi, meringankan atau menghilangkan gangguan
fungsi hati karena adanya bahan kimia, penyakit kuning atau gangguan dalam
penyaringan lemak oleh hati. Imunomodulator adalah senyawa tertentu
yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan baik secara spesifik
maupun non spesifik, dan terjadi induksi nonspesifik baik mekanisme
pertahanan seluler maupun humoral.
Agen antihepatitis mencegah masuknya virus masuk atau keluarnya virus
dari sel atau harus aktif di dalam sel penjamu. Obat kolestatis bekerja
mengurangi penjenuhan kolesterol-empedu dengan cara mengurangi sekresi
kolesterol dan meningkatkan sekresi asam empedu.
3.2 Saran
Referat ini hanya sebagai pengantar untuk mengetahui yang lebih
mendalam pembaca dapat memperolehnya pada buku-buku yang tersedia di
perpustakaan.
DAFTAR PUSTAKA
Schmiz, Gery. Hans Lepper. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 4. EGC.
Jakarta.
29
Good Gilman, Alfred. 2001. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi.
Edisi 10 Volume 1. EGC. Jakarta.
Katzung, Betram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.
Lieber, Charles S. 2002. S -adenosyl- L -metionin: Perannya dalam Pengobatan
Gangguan Hati. The American Journal Of Clinical Nutrition.
Sulistia & Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta. Departemen
Farmakologi dan Teraupetik FKUI.
Junadi, Purnawan. 2012. Methisoprinol sebagai Imunomodulator. Medika : Jurnal
Kedokteran.
Polyakov, N.E. 2011. Glycyrrhizic Acid as a Novel Drug Delivery Vector:
Synergy of Drug Transport and Efficacy. Rusia. Institute of Chemical
Kinetics and Combustion.
Sover, R., Pousoda X., Fabra R. 1992. S-adenosil-L-Methionine Prevents
Intracellular Gluthation Delpletion by GSH-Depleting Dasgs in Rat and
Human Hepatocytes. Dasg Invest 4, suppl. 4: 46-53
Patricia Skinner, Teresa G. 2005. Gale Encyclopedia of Aternatif Medicine.