referat erupsi obat

20
MANIFESTASI KLINIS KULIT TERHADAP ERUPSI OBAT Oleh: Sintia Eka Aprilia, S.Ked Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2015 PENDAHULUAN Erupsi obat merupakan reaksi kulit atau tubuh terhadap obat atau metabolitnya yang terjadi melalui mekanisme imunologik dan non imunologik. 1 Setiap lesi kulit akibat erupsi obat memberikan gambaran morfologi spesifik. 2,3 Dalam mengevaluasi pasien erupsi obat penting melakukan anamnesis teliti untuk mendapatkan riwayat pengobatan yang rinci, termasuk penggunaan obat over-the-counter dan obat herbal. 2 Erupsi obat menjadi salah satu penyebab morbiditas pasien. Manifestasi erupsi obat tidak terbatas pada kulit saja namun menjadi bagian dari reaksi sistemik seperti sindrom hipersensitivitas obat atau nekrolisis epidermal toksik. 1 Terdapat beberapa manifestasi klinis kulit akibat erupsi obat seperti: erupsi eksantematosa, urtikaria dan angioedema, erupsi pustular, erupsi bulosa, fixed drug eruption, erupsi likenoid, vaskulitis dan eritema nodusum, drug induced lupus erythematosus. 1,2 Dari beberapa manifestasi klinis erupsi obat, varian tersering adalah erupsi eksantematosa yang mirip dengan viral eksantema, padahal penatalaksanaannya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. 1,10 Oleh karena itu, penting untuk memahami 1

Upload: charisma-tiara-ressya

Post on 16-Sep-2015

170 views

Category:

Documents


42 download

DESCRIPTION

jqkqkkw

TRANSCRIPT

MANIFESTASI KLINIS KULIT TERHADAP ERUPSI OBATOleh:Sintia Eka Aprilia, S.KedBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminFK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang2015

PENDAHULUANErupsi obat merupakan reaksi kulit atau tubuh terhadap obat atau metabolitnya yang terjadi melalui mekanisme imunologik dan non imunologik.1 Setiap lesi kulit akibat erupsi obat memberikan gambaran morfologi spesifik.2,3 Dalam mengevaluasi pasien erupsi obat penting melakukan anamnesis teliti untuk mendapatkan riwayat pengobatan yang rinci, termasuk penggunaan obat over-the-counter dan obat herbal.2Erupsi obat menjadi salah satu penyebab morbiditas pasien. Manifestasi erupsi obat tidak terbatas pada kulit saja namun menjadi bagian dari reaksi sistemik seperti sindrom hipersensitivitas obat atau nekrolisis epidermal toksik.1 Terdapat beberapa manifestasi klinis kulit akibat erupsi obat seperti: erupsi eksantematosa, urtikaria dan angioedema, erupsi pustular, erupsi bulosa, fixed drug eruption, erupsi likenoid, vaskulitis dan eritema nodusum, drug induced lupus erythematosus. 1,2Dari beberapa manifestasi klinis erupsi obat, varian tersering adalah erupsi eksantematosa yang mirip dengan viral eksantema, padahal penatalaksanaannya memiliki perbedaan yang cukup signifikan.1,10 Oleh karena itu, penting untuk memahami manifestasi klinis erupsi obat agar tidak terjadi misdiagnosis dan salah penatalaksanaan.

EPIDEMIOLOGIDari tinjauan sistematis literatur medis meliputi sembilan studi, menyimpulkan bahwa kejadian erupsi obat bervariasi dari 0%- 8% dan penyebab tertinggi adalah antibiotik. Reaksi obat pada kulit terjadi pada 12% anak yang diobati dengan antibiotik dan 2,5% anak yang diobati dengan obat lain. 1

ETIOLOGIRiwayat pengobatan selama 3 bulan sebelum timbul erupsi diperlukan untuk menentukan obat penyebab erupsi, termasuk obat herbal maupun obat over-the-counter. Penyebab utama kebanyakan erupsi obat adalah obat yang dikonsumsi dalam 6 pekan terakhir dan digunakan secara intermiten.1Faktor- faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah: 4,51. Jenis kelamin Wanita mempunyai risiko lebih tinggi dibanding pria.4,52. Sistem Imunitas Erupsi obat mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol meningkatkan risiko timbulnya reaksi eksantematosa 10- 50 kali lebih tinggi dibandingkan individu normal.4,53. Usia Erupsi obat dapat terjadi pada semua golongan usia terutama pada anak dan dewasa. Pada anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistem imunitas yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. 4,54. Dosis Pemberian obat dosis tinggi secara intermiten akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Namun jika sudah melewati fase sensitisasi, dosis yang sangat kecil sekalipun dapat menimbulkan reaksi kulit. Semakin sering obat digunakan semakin besar pula kemungkinan timbul erupsi obat. 4,55. Infeksi dan keganasanReaktivasi virus laten seperti human herpes virus (HHV) juga dapat meningkatkan reaksi hipesensitivasi obat. Mortalitas tinggi akibat erupsi obat ditemukan pada pasien yang disertai keganasan.6

PATOGENESIS DARI ERUPSI OBATFaktor lain yang mempengaruhi erupsi obat adalah variasi farmakogenetik enzim untuk metabolisme obat dan human leukocyte antigen (HLA). Fenotipe asetilator lambat (slow acetylator) meningkatkan risiko terjadinya lupus drug induced hidralazin, prokainamid, dan isoniazid. Pasien dengan polimorfisme HLA-DR4 secara signifikan terkait dengan kejadian lupus drug induced akibat hidralazin dibanding dengan SLE idiopatik. Faktor HLA juga mempengaruhi risiko erupsi obat akibat nevirapin, abacavir, karbamazepin, dan alopurinol.1,7Beberapa obat setelah dimetabolisme tubuh membentuk produk reaktif atau beracun. Produk reaktif ini hanya sebagian kecil dari metabolit obat dan biasanya cepat didetoksifikasi. Namun, pasien dengan hypersensitivity syndrome reaction, nekrolisis epidermal toksik (NET), dan sindrom Stevens-Johnson (SJS) menunjukkan sensitivitas yang lebih besar terhadap antibiotic sulfonamid dan antikonvulsan aromatik (misalnya, karbamezepin, fenitoin, fenobarbital, pirimidon, dan okskarbazepin.1,7Infeksi virus aktif dan penggunaan obat lain meningkatkan frekuensi erupsi obat. Reaktivasi virus laten dengan HHV6 juga menjadi penyebab hypersensitivity syndrome reaction. Infeksi virus dapat menghasilkan sinyal bahaya yang mengubah respon imun terhadap obat. 1Interaksi obat juga dapat meningkatkan risiko erupsi kulit. Asam valproat meningkatkan risiko erupsi obat akibat lamotrigin dan antikonvulsan lain. Dasar interaksi obat dengan erupsi obat tidak diketahui, tetapi mungkin merupakan kombinasi beberapa faktor seperti perubahan pada metabolisme, detoksifikasi, pertahanan, antioksidan, serta reaktivitas imun1,7Ada dua macam mekanisme penyebab erupsi obat, yaitu imunologis dan non-imunologis (Tabel 1). Umumnya erupsi obat muncul akibat reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi kulit juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis seperti toksiksitas obat, overdosis, interaksi antar obat dan perubahan metabolisme.1,5Mekanisme Imunologis erupsi obat adalah sebagai berikut (Gambar 1 dan gambar 2) :5,8a. Tipe I (reaksi anafilaksis)Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) merupakan mekanisme yang paling banyak ditemukan. IgE mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Reaksi hipersensitivitas terdiri dari fase cepat dan lambat. Fase cepat terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen dan dapat bertahan beberapa jam setelah pajanan antigen menghilang. Fase lambat terjadi setelah fase cepat dimana sel mast membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.4,5,8b. Tipe II (reaksi autotoksis)Terdapat ikatan antar IgG dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisisnya sel. 5,8c. Tipe III (reaksi kompleks imun)Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. 5,8d. Tipe IV (tipe lambat)Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi bereaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.5,8

Gambar 1. Mekanisme imunologis dan non imunologis erupsi obat.11

Mekanisme Non Imunologis erupsi obat (Tabel 1).5,8,9Reaksi Pseudo- allergic menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody- dependent. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sitem komplemen, atau pengaruh langsungpada metabolisme enzim arakhidonat.Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh seperti toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme obat.

Tabel 1. Mekanisme imunologis dan non imunologis erupsi obat.5

MANIFESTASI KLINIS KULIT TERHADAP ERUPSI OBAT1. Erupsi EksantematosaErupsi eksantematosa disebut juga sebagai erupsi morbiliformis atau makulopapular. Sebagian besar erupsi obat (95%) berupa erupsi eksantematosa.1 Erupsi biasanya eritem dimulai di trunkus menyebar ke perifer secara simetris disertai pruritus (Gambar 3). Terkadang diikuti demam, malaise, dan nyeri sendi.1,10 Erupsi terjadi dalam waktu 1 pekan sejak minum obat pertama kali atau 1-2 hari setelah obat dihentikan. Resolusi biasanya terjadi 7-14 hari, dengan perubahan warna dari merah cerah ke merah kecoklatan diikuti oleh deskuamasi.1 Diagnosis banding pasien ini mencakup eksantematosa infeksiosa (virus, bakteri, atau riketsia), penyakit kolagen vaskular dan infeksi. Secara klinis erupsi eksantematosa mirip dengan gambaran penyakit demam scarlet, rubella, dan campak. 10Erupsi eksantematosa yang disertai demam dan peradangan organ (misalnya, hati, ginjal, sistem saraf pusat) menandakan reaksi yang lebih serius, yang dikenal hypersensitivity syndrome reaction (HSR) atau drug-induced-hypersensitivity reaction (DIHS) atau drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) (Tabel 2). Reaksi hipersensitivitas paling sering terjadi pada paparan pertama obat, dengan gejala awal timbul 1-6 pekan setelah terpajan. Demam dan malaise merupakan gejala yang sering muncul. Limfositosis atipikal dengan eosinofilia dapat terjadi selama fase awal reaksi pada beberapa pasien.1Erupsi eksantematosa sering disebabkan oleh beberapa obat (Tabel 2). Sebagai contoh pembentukan metabolit dari antikonvulsan aromatik (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin) berperan pada reaksi hipersensitivitas dimana metabolit kimia reaktif yang dihasilkan seharusnya di detoksifikasi oleh epoxide hydroxylase namun detoksifikasi terganggu, sehingga metabolit bertindak sebagai hapten dan memulai respon imun, merangsang apoptosis, atau menyebabkan nekrosis sel secara langsung.1

Gambar 2. Erupsi eksantematosa diinduksi ampisilin. Makula eritem dan papul, konfluen pada trunkus dan diskret pada ekstremitas.1

Kriteria drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) sebagai berikut:

a. Ruam >3 minggu setelah minum obat pertama kalib. Gejala memanjang (>2minggu) setelah obat dihentikanc. Demam >38od. Keterlibatan multiorgane. Eosinofilia absolut >1500f. Aktivasi limfosit (limfositosis, limfositosis atipikal, limfadenopati)g. Reaktivasi Herpes Virus HHV-6, HHV-7, EBV dan CMV

Obat tersering penyebab drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) sebagai berikut:

a. Anti konvulsan (fenobarbital, lamotrigin, dan fenitoin)b. long-acting sulfonamide (sulfamethoxazole, furosemide, dan acetazolamide)c. alopurinold. nevirapine. abacavirf. dapsong. minosiklin

Tabel 7. Kriteria dan obat penyebab drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS).7

Tabel 3. Obat penyebab erupsi eksantematosa.5

2. Erupsi Urtikaria dan AngioedemaUrtikaria dan angioedema merupakan varian kedua tersering dari erupsi obat yang ditandai dengan bercak merah gatal dengan berbagai ukuran (Gambar 3).1 Lesi biasanya berlangsung < 24 jam. Angioedema adalah inflamasi pada kulit yang lebih dalam.10 Angioedema unilateral, asimetris, berlangsung selama 1-2 jam hingga selama 2-5 hari. Angioedema terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki (Gambar 4).2Urtikaria dan angioedeme, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I. Urtikaria dan angioedema disebabkan reaksi non-allergic seperti stress fisik, infeksi dan penggunaan NSAID sehingga terjadi pembebasan histamin atau mediator lain.10 Urtikaria di tandai dengan pruritus, ruam kemerahan, panas didaerah lesi. Biasanya urtikaria disertai demam, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, sakit perut, dan vertigo. Angioedema berbahaya bila menyerang glotis karena menyebabkan asfiksia.8 Erupsi jenis ini disebabkan asam asetilsalisilat, penisilin, dan NSAID lainnya.Serum sickness-like reactions ditandai dengan demam, ruam (biasanya urtikaria), dan artralgia 1-3 pekan setelah minum obat disertai limfadenopati dan eosinofilia. Sefaklor dikaitkan dengan peningkatan risiko relatif serum sickness-like reactions dengan insiden 0,024% -0,2%. Sefaklor dapat mengikat protein jaringan dan menimbulkan respon inflamasi bermanifestasi seperti serum sickness-like reactions (Gambar 4). Obat lain yang menyebabkan serum sickness-like reactions yakni sefprozil, bupropion, minosiklin, dan rituksimab dan infliksimab.

Gambar 3. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin.4

Gambar 4. Reaksi Sefaklor.7

3. Erupsi PustularAcute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) merupakan erupsi acute febrile ditandai dengan erupsi pustular, demam tinggi, malaise serta leukositosis.1,8 Lesi kulit vesikopapular, pustul milier non folikuler dan bulla di seluruh tubuh.8 Membran mukosa terkadang terkena, lesi akan muncul 1-3 minggu setelah inisiasi obat dan pustul akan menghilang setelah 7 hari.10 Lesi sering mulai pada wajah atau lipatan kulit yang besar. Deskuamasi terjadi sekitar 2 minggu kemudian. Kejadian AGEP adalah sekitar 1-5 kasus per juta per tahun. AGEP sering dikaitkan dengan -laktam dan makrolida antibiotik, antikonvulsan, dan calcium channel blockers.1

Gambar 4. Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) induksi diltiazem dengan pustul non folikuler .1

4. Erupsi BulosaSindrom Stevens-Johnson (SJS) sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir orifisum (pada mukosa mulut 100%), mata dan luas lesi kulit 10%.5,10 Nekrolisis epidermal toksik (NET) atau Sindrom Lyell merupakan keadaan lebih berat dibanding SSJ dimana lesi kulit hampir seluruh tubuh (>30%), terjadi epidermolisis generalisata disertai kelainan pada selaput lendir orifisium (berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan) dan mata (kongjutivitis).10 Lesi kulit pada SSJ dan NET berupa eritem, vesikel/bula dapat disertai purpura. Terkadang disertai gejala sistemik yakni demam tinggi, malaise, sakit kepala, dan mual.8 SSJ dan NET disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe II. Sasaran utama SSJ dan NET adalah epidermis dimana terjadi destruksi keratinosit. Obat yang dapat menginduksi terjadinya SSJ dan NET seperti sulfonamid, penicilin,barbiturate, karbamazepin, tetrasiklin dan lainya.1

abc

Gambar 5. Sindrom Stevens-Johnson (a) tahap awal: lesi eritema sebagian konfluen dengan lesi target datar atipikal (b) tahap lanjut: erupsi makula dengan skuama (c) nekrosis dan erosi luas pada bibir dan mukosa mulut.7

5. Fixed Drug Eruption (FDE)Fixed drug eruption (FDE) merupakan reaksi kerusakan kulit setelah minum obat. Fixed drug eruption erupsi kulit yang sering dijumpai, dengan angka kejadian sebanyak 16% dari semua gejala erupsi obat.10 Fixed drug eruption memiliki karakteristik lesi awal soliter hingga berupa patch eritem atau plak.1 Lesi awal berwarna kemerahan, kemudian menjadi merah kehitaman sampai keunguan. Lesi menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi krusta. Ukuran lesi mulai dari lentikular sampai plakat. 8 Lesi dapat dijumpai di kulit dan membran mukosa, yaitu di bibir, badan, tungkai dan genital.2 Tempat paling sering adalah bibir dan genital.10 Gejala lokal meliputi rasa gatal dan terbakar, jarang dijumpai gejala sistemik.1Patogenesis FDE diperantarai Immunoglobulin E (IgE) mediated drug eruption, immunocomplex dependet drug reaction, cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction, dengan sel limfosit T (T4 dan T8) yang berperan dalam reaktivasi lesi dengan paparan obat. 1 Apabila pasien minum obat yang sama lesi akan timbul kembali di tempat yang sama. Fixed drug eruption timbul dalam 30 menit-8 jam setelah minum obat. Lesi baru akan timbul 1-2 pekan setelah paparan pertama kali diikuti lesi berikutnya dalam jangka waktu 24 jam. 5 Obat penyebab fixed drug eruption adalah ibuprofen, naproksen, fenolftalein, metronidazol, tetrasiklin dan sulfonamid.

Gambar 6. Fixed drug eruption- tetrasiklin

6. Erupsi LikenoidErupsi likenoid disebabkan oleh hidroklorotiazid, furosemid, NSAID, aspirin, antihipertensi (inhibitor ACE, -blocker, dan calcium channel blockers), terazosin, quinidine, pravastatin, fenotiazin, antikonvulsan, obat anti-tuberkulosis, ketokonazol, termasuk emas.7 Pada liken planus tempat predileksi di ekstremitas bagian fleksor, selaput lendir dan organ genitalia sedangkan pada erupsi likenoid selaput lendir dan kuku tidak terkena. Lesi yang muncul berupa ekzematosa warna ungu, papul, sisik, dan hiperpigmentasi, pada daerah yang luas.1 Gejala munculnya lambat beberapa bulan hingga tahun setelah minum obat.10

Gambar 7. Erupsi likenoid karena emas.7

7. Vaskulitis dan Eritema NodusumVaskulitis merupakan peradangan pada pembuluh darah, dimana kelainan kulit berupa palpable purpura yang mengenai kapiler (Gambar 8).2 Vaskulitis karena obat merupakan 10% dari vaskulitis kulit akut. Vaskulitis terdistribusi simetris pada ekstremitas bawah dan sakrum disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Interval timbulnya vaskulitis adalah 7-21 hari dari minum obat. Apabila terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodusum.1,2Eritema nodusum merupakan proses inflamasi sel mononuklear di lobulus lemak subkutan kulit.10 Lesi kulit berupa eritem dan nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa demam, malaise dan nyeri sendi.2 Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah dan dapat disebabkan penyakit lain seperti tuberculosis, infeksi streptokokus dan lepra.10Obat penyebab vaskulitis adalah penisilin, sulfonamide, NSAID, antidepresan, anti aritmia, amoksisilin, iodine, dan kontrasepsi oral.1,10

Gambar 8. Vaskulitis.7

Gambar 9. Eritema Nodusum.7

8. Drug Induced Lupus ErythematosusDrug Induced Lupus Erythematosus (DILE) ditandai dengan butterfly erythema di wajah, dan muncul di daerah yang terkena sinar matahari (wajah, kepala, telinga, ekstensor lengan atas dan dada, lesi kulit makulopapular.2,10 Pembesaran kelenjar limfa pada beberapa kasus, demam dan mialgia (30-50%), arthritis (80%) dan gejala pleuropulmonary (30-50%).1 Gejala DILE terkadang baru muncul setelah 1 bulan- 5 tahun.Obat yang berperan menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DIL) seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, metildopa, monosiklin, calcium channel blockers, dan ACE inhibitor.2,10

Gambar 10. butterfly erythema pada Drug Induced Lupus Erythematosus.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Shear NH, Knowles SR. Cutaneous reaction to drugs. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill;2012. p. 439-48.

2. Shimizu H. Shimizus Textbook of dermatology. 1st ed. Tokyo; Nakayama Shotens;2010.

3. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. N Engl J Med 2012;366:2492-501.

4. Revus J, Allanore AV. Drugs Reactions, In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p : 333-352.

5. Lee A, Thomson J. Drug- induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nded. Pharmaceutical Press, 2006.

6. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reaction: Types and Treatment Options: Am Fam Physician. Volume 68, Number 9. 2003.

7. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10th ed. London: Saunders Elsevier; 2011.

8. Hamzah M. Erupsi Obat. Edisi ke-6. Djuanda A, editor. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. hal 154-7.

9. Andrew J.M, Sun. Cutaneous drugs eruptions. In: Hongkong Practitioner.Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine.

10. Kauppinen K and Kariniemi LA. Clinical manifestations and histological characteristic. In: W.J Pichler, editors. Drug Hypersensitivity. 2nd ed. Switzerland: Karger; 2007. p. 27-43

11. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 2000.

5