referat ethra - ipd - kaki diabetes

Upload: elly-lutfiasari

Post on 04-Nov-2015

117 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

lalalala

TRANSCRIPT

  • Bagian Ilmu Penyakit Dalam REFERAT

    Fakultas Kedokteran

    Universitas Mulawarman

    DIABETIC FOOT

    Oleh:

    EKO DIAN SYAFITHRA

    0910015040

    Pembimbing

    dr. Anita Rahmadani, Sp.PD

    Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada

    Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

    RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA

    2014

  • 2

    REFERAT

    DIABETIC FOOT HALAMAN JUDUL

    Oleh:

    EKO DIAN SYAFITHRA

    0910015040

    Pembimbing

    dr. Anita Rahmadani, Sp.PD

    Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada

    Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam

    Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

    RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

    2014

  • 3

    LEMBAR PENGESAHAN

    DIABETIC FOOT

    Referat Pendek

    Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik

    pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam

    Disusun oleh:

    EKO DIAN SYAFITHRA

    0910015040

    Dipresentasikan pada 31 Oktober 2014

    Pembimbing

    dr. Anita Rahmadani, Sp.PD

    NIP 19740516 200903 1 001

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

    SAMARINDA

    2014

  • 4

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL .............................................................................................. 2

    LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... 3

    DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4

    BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 5

    1.1. Latar Belakang .................................................................................... 5

    1.2. Tujuan ................................................................................................. 6

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7

    2.1. Hubungan Diabetes Melitus dengan Diabetic Foot ............................ 7

    2.2. Diabetic Foot ...................................................................................... 8

    2.2.1. Definisi .................................................................................... 8

    2.2.2. Epidemiologi ........................................................................... 8

    2.2.3. Patogenesis ............................................................................ 13

    2.2.4. Klasifikasi ............................................................................. 18

    2.2.5. Manifestasi Klinis ................................................................. 21

    2.2.6. Diagnosis ............................................................................... 21

    2.2.7. Penatalaksanaan .................................................................... 25

    2.2.8. Prognosis ............................................................................... 29

    BAB III PENUTUP .............................................................................................. 30

    3.1. Kesimpulan ....................................................................................... 30

    3.2. Saran ................................................................................................. 31

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

  • 5

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Diabetes mellitus adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang

    akan meningkat jumlahnya di masa datang. Saat ini, diabetes sudah merupakan

    salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. World

    Health Organization (WHO) telah membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000,

    jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan

    dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah tersebut akan

    membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono, 2010).

    Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok penyakit metabolik yang

    ditandai dengan adanya peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia)

    yang diakibatkan oleh kelainan dalam sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-

    duanya (Purnamasari, 2010). Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh

    pankreas yang berfungsi untuk menyalurkan glukosa dalam darah masuk ke dalam

    sel. Oleh sebab itu, jika insulin tidak ada atau kurang jumlahnya maka akan

    menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah. Tingginya glukosa darah

    inilah yang berdampak buruk pada berbagai macam organ tubuh seperti neuropati

    diabetik, ulkus kaki, retinopati diabetik, dan nefropati diabetik, dan gangguan

    pembuluh darah (Gavin, Petterson, & Warren-Boulton, 2003).

    Salah satu komplikasi diabetes melitus yang paling banyak terjadi dan

    cukup banyak mengganggu kondisi biologis, psikologis, dan sosial pada pasien

    adalah kaki diabetik. Gangguan biologis dari kaki diabetik adalah rasa nyeri dan

    tidak nyaman yang terjadi pada kaki. Gangguan psikologis dari terjadinya kaki

    diabetik adalah rasa sedih dan kecewa terhadap rasa sakit pada kaki diabetik

    sehingga menimbulkan gangguan lainnya yaitu gangguan sosial. Manifestasi dari

    gangguan sosial adalah malu untuk bersosialisasi dan bertemu dengan orang lain

    karena kondisi kaki yang sudah terinfeksi. Jika sudah terjadinya kaki diabetik,

    maka pasien akan berisiko tinggi untuk dilakukan amputasi pada kaki diabetik

    tersebut (Dorresteijn, Kriegsman, Assendelft, & Valk, 2010).

  • 6

    Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kaki diabetik adalah neuropati

    perifer, kelainan vaskuler, kontrol gula yang buruk, trauma berulang, dan kelainan

    struktur anatomi kaki (Adhiarta, 2011). Neuropati perifer dan angiopati perifer

    akan menimbulkan trauma ringan yang pada akhirnya dapat menyebabkan ulkus

    pada pasien diabetes melitus. Ketidaktahuan klien dan keluarga menambah ulkus

    bertambah parah dan dapat menjadi gangren (Waspadji, 2010). Perawatan kaki

    pada pasien diabetes melitus perlu dilakukan dengan baik, karena jika kaki

    dibiarkan akan berisiko terjadinya ulkus. Terjadinya ulkus pada pasien diabetes

    melitus berisiko untuk berlanjut pada tindakan amputasi. Risiko amputasi 15-40

    kali lebih sering pada penderita diabetes dibanding dengan non diabetes (Singh,

    Armstrong, & Lipsky, 2005).

    1.2. Tujuan

    Penyusunan referat tentang Diabetic Foot ini bertujuan untuk

    mengetahui penegakkan dan penatalaksanaan kasus Diabetic Foot yang

    merupakan komplikasi kronik dari penyakit Diabetes Melitus dan merupakan

    kompetensi wajib bagi seorang dokter umum.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Hubungan Diabetes Melitus dengan Diabetic Foot

    Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

    dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

    kerja insulin atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya

    telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan

    dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan

    sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah

    faktor dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan

    fungsi insulin (Tjokroprawiro A, 2006). DM dapat menyebabkan komplikasi pada

    berbagai sistem tubuh baik bersifat jangka pendek maupun jangka panjang atau

    kronik. Komplikasi jangka pendek meliputi; hipoglikemia dan ketoasidosis,

    sedangkan komplikasi jangka panjang dapat berupa kerusakan makroangiopati

    dan mikroangiopati. Kerusakan makroangiopati meliputi: penyakit arteri koroner,

    kerusakan pembuluh darah serebral dan kerusakan pembuluh darah perifer.

    Adapun komplikasi mikroangiopati meliputi: retinopati, nefropati dan neuropati

    seperti tampak pada Tabel 2.1. (Smeltzer & Bare, 2008).

    Tabel 2.1. Komplikasi Kronik yang terjadi pada Diabetes Melitus

    beserta Tanda Patologis yang Menyertai (Ignativicius & Workman, 2006)

    Komplikasi Sistem Tubuh Tanda Patologis

    Mikroangiopati Neuropati Neurologi Baal & Nyeri Parah

    Nefropati Genitourinari

    (ginjal)

    Gagal Ginjal

    Retinopati Sensori Penglihatan kabur

    Makroangiopati Kardiovaskular Infark Miokard

    Vaskular Perifer Luka Sukar Sembuh

    & Gangren

    Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang

    menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom, dan

    spinal. Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah

    polineuropati sensorik (perifer) dengan gejala permulaannya adalah parestesia

  • 8

    (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan), rasa terbakar, kaki terasa baal (patirasa) dan

    neuropati otonom yang mengakibatkan berbagai disfungsi hampir seluruh organ

    tubuh seperti kardiovaskuler, gastrointestinal, urinarius, kelenjar adrenal, dan

    disfungsi seksual (Smeltzer & Bare, 2008).

    Hilangnya sensasi (penurunan sensibilitas) merupakan salah satu faktor

    utama risiko terjadinya ulkus, tetapi terdapat beberapa faktor risiko lain yang juga

    turut berperan yaitu keadaan hiperglikemia yang tidak terkontrol, usia pasien yang

    lebih dari 40 tahun, riwayat ulkus kaki atau amputasi, penurunan denyut nadi

    perifer, riwayat merokok, deformitas anatomis atau bagian yang menonjol (seperti

    bunion dan kalus) (Smeltzer & Bare, 2008).

    2.2. Diabetic Foot

    2.2.1. Definisi

    Kaki diabetik adalah infeksi, ulkus, dan atau kerusakan pada jaringan yang

    berhubungan dengan gangguan pada saraf dan aliran darah pada kaki yang

    disebabkan karena hiperglikemia (Adhiarta, 2011). Sedangkan menurut Waspadji

    (2010), kaki diabetik adalah kelainan tungkai bawah akibat diabetes melitus yang

    tidak terkontrol. Kesimpulannya, kaki diabetik adalah kerusakan jaringan pada

    kaki diakibatkan karena gula darah yang tidak terkontrol.

    2.2.2. Epidemiologi

    Menurut The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney

    Disease, diperkirakan 16 juta orang Amerika Serikat diketahui menderita diabetes,

    dan jutaan diantaranya berisiko untuk menderita kaki diabetes. Dari keseluruhan

    penderita diabetes, 15% menderita ulkus di kaki, dan 12-14% dari yang menderita

    ulkus di kaki memerlukan amputasi (Frykberg, 2002; ASA, 2000).

    Separuh lebih amputasi non trauma merupakan akibat dari komplikasi

    ulkus diabetes, dan disertai dengan tingginya angka mortalitas, reamputasi dan

    amputasi kaki kontralateral. Bahkan setelah hasil perawatan penyembuhan luka

    bagus, angka kekambuhan diperkirakan sekitar 66%, dan risiko amputasi

    meningkat sampai 12% (Frykberg, 2002).

  • 9

    Menurut Medicare, prevalensi diabetes sekitar 10% dan 90% diantaranya

    adalah penderita diabetes tipe II. Neuropati diabetik cenderung terjadi sekitar 10

    tahun setelah menderita diabetes, sehingga kelainan kaki diabetik dan ulkus

    diabetes dapat terjadi setelah waktu itu (Frykberg, 2002; Stillman, 2008).

    Kaki diabetik dapat terjadi karena berbagai macam faktor risiko. Faktor

    risiko terjadinya kaki diabetik tersebut antara lain sebagai berikut:

    1. Usia

    Penelitian di Amerika Serikat oleh Merza & Tesfaye (2003), melaporkan

    bahwa persentase kaki diabetik paling tinggi pada usia 45 - 64 tahun. Seperti kita

    ketahui, lanjut usia biasanya memiliki keterbatasan gerak, penglihatan yang

    buruk, dan masalah penyakit yang lain.

    Usia lanjut berkaitan dengan terjadinya kaki diabetik sangat tinggi karena

    pada usia ini, fungsi tubuh secara fisiologis menurun. Hal ini sesuai dengan hasil

    penelitian dari Hastuti (2007), bahwa sebagian besar responden pada kelompok

    kasus ada pada rentang usia 55 - 59 tahun.

    2. Jenis Kelamin

    Hasil review yang dilakukan oleh Merza dan Tesfaye (2003) yang

    didasarkan pada studi penelitian cross-sectional pada 251 pasien diabetes melitus,

    dilaporkan sebanyak 70% dari pasien yang terkena kaki diabetik adalah laki-laki.

    Penelitian Hokkam (2009) menunjukkan jenis kelamin laki-laki mempunyai

    faktor risiko tinggi terhadap kaki diabetik (p = 0.009).

    3. Durasi penyakit diabetes mellitus yang lama

    Penelitian yang dilakukan oleh Boyko, et. al. (1999) dan Hastuti (2007)

    melaporkan bahwa pasien yang lama menderita diabetes melitusnya 10 tahun

    merupakan faktor risiko terjadinya kaki diabetik dengan RR sebesar 3 dan OR

    21.3. Pasien yang terjadi kaki diabetik dengan lama penyakit 10 tahun,

    ditentukan oleh kadar glukosa darah yang tinggi. Jika kadar glukosa darah tinggi,

    maka akan timbul komplikasi yang berhubungan dengan saraf dan aliran darah ke

    kaki. Komplikasi pada saraf dan aliran darah ke kaki inilah yang menyebabkan

    terjadinya neuropati dan penyakit arteri perifer.

  • 10

    4. Ras

    Menurut review dari Merza & Tesfaye (2003), pasien yang berasal dari ras

    Asia mempunyai kecenderungan yang kecil terhadap kaki diabetik dibandingkan

    pasien diabetes yang berasal dari ras Kaukasia. Ini mungkin bisa jadi karena

    hipermobilitas dan perbedaaan budaya dalam perawatan mandiri. Di Amerika

    Serikat, suku Pima Indian empat kali lebih tinggi laporan amputasi dibandingkan

    populasi pasien diabetes melitus di Amerika Serikat. Selain dari ras Kaukasia

    (69%), ras Hispanik (21%) dan ras kulit hitam juga mempunyai kecenderungan

    risiko tinggi kaki diabetik.

    5. Neuropati diabetik

    Neuropati perifer merupakan komplikasi paling umum yang terjadi pada

    diabetes mellitus (Merza & Tesfaye, 2003). Menurut penelitian yang dilakukan

    oleh Boyko, et. al. (1999) pada pasien diabetes melitus, pasien tidak sensitif saat

    diperiksa menggunakan 5.07 monofilament dengan RR sebesar 2.2 (CI 95%, 1.5-

    3.1). Hasil penelitian lain dilaporkan oleh Hokkam (2009), dimana neuropati

    perifer merupakan faktor risiko dari kaki diabetik ( p = 0.006).

    6. Penyakit arteri perifer

    Pasien dengan diabetes melitus mempunyai risiko tinggi penyakit arteri

    perifer. Jika penyakit arteri perifer sendiri jarang menyebabkan ulserasi,

    melainkan jika kombinasi dengan neuropati perifer dan luka kecil yang

    menyebabkan jaringan tisu rusak (Merza & Tesfaye, 2003). Penelitian Boyko, et.

    al. (1999) menunjukkan adanya penurunan dari Transcutaneous Oxygen Tension

    (TcPO2) dengan RR 0.8 (CI 95%, 0.7-0.9). Hasil lain ditunjukkan oleh Hokkam

    (2009), dimana penyakit arteri perifer merupakan faktor utama dari kaki diabetik

    (p = 0.004) dan juga penelitian Carrington, et al. (2001) menyatakan penyakit

    arteri perifer lebih cenderung kepada amputasi kedua kaki pada pasien diabetes

    melitus.

    7. Faktor biomekanikal

    Faktor mekanikal menurut Merza & Tesfaye (2003) mempunyai peran

    penting dalam perkembangan kaki diabetik. Faktor mekanikal yang dimaksud

    adalah pengeluaran non-enzimatik yang membuat pengerasan pada sekitar sendi.

    Ini menyebabkan peningkatan tekanan pada plantar saat pasien melangkah.

  • 11

    Kapalan diketahui dapat meningkatkan tekanan pada plantar kaki yang cenderung

    menyebabkan ulserasi. Deformitas kaki seperti kaki charcot dan kaki claw juga

    merupakan faktor risiko terhadap kaki diabetik (Merza & Tesfaye, 2003).

    8. Obesitas

    Seseorang dikatakan obesitas jika IMT (Indeks Masa Tubuh) 23 kg/m2

    untuk wanita dan 25 kg/m2 untuk pria. Hal ini akan membuat resistensi insulin

    yang menyebabkan aterosklerosis, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah pada

    kaki yang dapat menyebabkan terjadinya kaki diabetik. Ini didukung oleh hasil

    penelitian dari Boyko et. al. (1999), dimana seseorang yang mempunyai berat

    badan 20 kg melebihi berat badan idealnya maka berisiko akan terkena kaki

    diabetik dengan nilai RR sebesar 1.2 (CI 95%, 1.1 1.4).

    9. Riwayat kaki diabetik sebelumnya

    Beberapa penelitian mempunyai hasil yang sama bahwa riwayat kaki

    diabetik sebelumnya mempunyai faktor risiko terhadap kaki diabetic (Merza &

    Tesfaye, 2003). Ini didukung oleh hasil penelitian Boyko et. al. (1999) dan

    Hokkam (2009) dimana masing-masing dengan RR 1.6 dan p = 0.003.

    10. Kontrol glisemik yang buruk

    Kadar gula darah yang tidak terkontrol (GDP > 100 mg/dl dan GDS > 144

    mg/dl) mengakibatkan gangguan makrovaskuler dan mikrovaskuler yang pada

    akhirnya menyebabkan terjadinya kaki diabetik. Hokkam (2009) melaporkan

    bahwa kontrol glisemik yang buruk dapat menjadi faktor risiko yang tinggi pada

    kaki diabetik.

    11. Merokok

    Kaki Diabetik ditemukan pada pasien muda yang merokok dan tidak

    ditemukan pada pasien lanjut usia (Merza & Tesfaye, 2003). Hasil penelitian yang

    dikutip oleh WHO (2000), pada pasien diabetes melitus yang merokok

    mempunyai risiko 3 kali lebih sering untuk menjadi kaki diabetik dibanding

    pasien diabetes melitus yang tidak merokok. Kesimpulannya, merokok merupakan

    faktor kuat menyebabkan penyakit arteri perifer yang mana sudah dibuktikan

    berhubungan dengan kaki diabetik (Merza & Tesfaye, 2003). Nikotin yang

    dihasilkan dari rokok akan menempel pada dinding pembuluh darah sehingga

  • 12

    menyebabkan insufisiensi dari aliran pembuluh darah ke arah kaki yaitu arteri

    dorsalis pedis, poplitea dan tibialis menjadi menurun (WHO, 2000).

    12. Retinopati dan nefropati

    Retinopati berhubungan dengan faktor risiko yang signifikan pada

    amputasi kaki yang mana merupakan tanda mikrovaskuler yang parah. Di lain sisi,

    retinopati tidak secara siginifikan berhubungan dnegan perkembangan kaki

    diabetik (Merza & Tesfaye, 2003). Dalam analisa yang dilakukan Merza dan

    Tesfaye (2003), nefropati diabetik meningkatkan risiko kaki diabetik nonvaskuler.

    13. Penggunaan insulin dan penglihatan yang buruk

    Menurut Boyko et. al. (1999), penggunaan insulin dan penglihatan yang

    buruk meningkatkan faktor risiko dari kaki diabetik dengan RR masing-masing

    sebesar 1.6 dan 1.9 (CI 95% 1.1-2.2 dan 1.4-2.6). Kedua hal ini dapat

    mencerminkan keparahan dari diabetes, dan juga dengan penglihatan yang buruk

    pasien tidak dapat melihat lesi awal pada kaki yang dapat menyebabkan kaki

    diabetik (Merza & Tesfaye, 2003; Boyko et. al., 1999).

    14. Perawatan kaki tidak teratur

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2007), dilaporkan ada

    hubungan perawatan kaki diabetes dengan kejadian kaki diabetes dengan nilai p =

    0.002 sampai dengan 0.03, kecuali pada aspek kontrol kaki secara berkala tidak

    menunjukkan taraf signifikansi (p 0,05). Perawatan kaki yang diukur meliputi

    pemeriksaan visual kaki rutin, membasuh dan membersihkan kaki, memotong

    kuku, pemilihan alas kaki, dan senam kaki diabetes. Hastuti (2007) dalam hasil

    penelitiannya melaporkan perawatan kaki yang tidak teratur dapat meningkatkan

    risiko kaki diabetik.

    15. Pemilihan alas kaki yang tidak tepat

    Hasil penelitian dari Hastuti (2007), pemilihan alas kaki yang tidak tepat

    meningkatkan risiko kaki diabetik. Ini didukung dengan hasil penelitian

    Chandalia, et. al. (2008) bahwa pengetahuan tentang perawatan kaki dan

    pemilihan alas kaki yang buruk merupakan faktor risiko yang penting pada

    masalah kaki pasien diabetes melitus.

  • 13

    16. Faktor risiko lain

    Hasil penelitian dari Hastuti (2007) yaitu kadar kolesterol 200 mg/dl,

    kadar HDL 45 mg/dl, ketidakpatuhan diet diabetes melitus dan kurangnya

    aktivitas fisik merupakan faktor-faktor risiko lain terjadinya kaki diabetes.

    2.2.3. Patogenesis

    Terjadinya kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemi yang

    menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini

    menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki. Kerentanan

    terhadap infeksi meluas ke jaringan sekitar. Faktor aliran darah yang kurang

    membuat ulkus sulit sembuh. Jika sudah terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali

    terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih dalam sampai ke tulang. Di bawah ini

    adalah etiologi dari kaki diabetik (Boulton, et al., 2008; Smeltzer & Bare, 2008;

    Turns, 2011).

    1. Neuropati Diabetik

    Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak

    terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan

    perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa

    sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi,

    parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering

    dan hilang rasa, apabila penderita diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi

    trauma yang akan meneybabkan lesi dan menjadi ulkus kaki diabetes (Waspadji,

    2010).

    Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan

    pada pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme

    syaraf sebagai akibat dari hiperglikemia kronis. Angka kejadian neuropati ini

    meningkat bersamaan dengan lamanya menderita penyakit diabetes melitus dan

    bertambahnya usia penderita (Smeltzer & Bare, 2008).

    Ada tiga tipe neuropati yaitu neuropati sensorik, neuropati motorik dan

    neuropati otonom. Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan

    saraf sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang

    menyebabkan distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A

  • 14

    akan menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan,

    vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti

    kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan dalam analisis

    sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan

    sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma

    berulang pada kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hilangnya sensasi

    terhadap 10 g nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g

    nylon monofilament, dapat juga menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork

    untuk mengukur getaran (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005).

    Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan

    kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering

    terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot

    intraosseus menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint

    kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi

    tekanan kaki saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian

    kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah kallus akan mengalami iskemia

    dan nekrosis yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik

    menyebabkan kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada

    nervus peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat

    diukur dengan menggunakan pressure Mat atau Platform untuk mengukur

    tekanan pada plantar kaki (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005).

    Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki

    menjadi kering. Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan terbentuk

    fisura pada kallus. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-

    saraf yang mengontrol distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-

    venular shunting. Hal ini menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga

    terjadi iskemi pada kaki. Keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi

    vena-vena pada kaki (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005).

    2. Kelainan Vaskular

    Penyakit arteri perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular

    dari diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri

    banyak menumpuk plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos,

  • 15

    lemak, kolesterol dan kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang

    bukan diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih dini dan

    cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering terkena adalah arteri

    Tibialis dan Arteri Peroneus serta percabangannya. Risiko untuk terjadinya

    kelainan vaskuler pada penderita diabetes adalah usia, lama menderita diabetes,

    genetik, merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, obesitas (Adhiarta,

    2011; Turns, 2011).

    Pasien diabetes melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah

    biasanya ada gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala. Sebagian lain dengan gejala

    iskemik, yaitu (Adhiarta, 2011):

    a. Intermitten Caudication adalah nyeri dan kram pada betis yang

    timbul saat berjalan dan hilang dengan berhenti berjalan, tanpa

    harus duduk. Gejala ini muncul jika Ankle-Brankhial Index < 0,75.

    b. Kaki dingin

    c. Nyeri terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan

    panas, aktivitas, dan elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri

    atau kaki menggantung

    d. Nyeri iskemia nokturnal : terjadi malam hari karena perfusi ke

    tungkai bawah berkurang sehingga terjadi neuritis iskemik

    e. Pulsasi arteri tidak teraba

    f. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan capillary

    refilling time (CRT) yang memanjang

    g. Atropi jaringan subkutan

    h. Kulit terlihat licin dan berkilat

    i. Rambut di kaki dan ibu jari menghilang

    j. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur

    Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan o leh karena

    kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini

    disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga

    sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut

    nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin

    dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul

  • 16

    ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis

    merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena

    penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri

    di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah,

    sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu

    lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang

    menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes melitus

    berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering

    terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal

    dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes (Waspadji,

    2010).

    Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya

    akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membran basalis arteri)

    pada pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran

    albumin keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan

    timbul nekrosis jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada

    penderita diabetes melitus yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C

    menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh

    eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi

    jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang

    selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan

    bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah

    merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya

    trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.

    Penderita diabetes melitus biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida

    plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan

    hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan

    merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan atau inflamasi pada dinding

    pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah,

    konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya

    rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan

    terhadap aterosklerosis (Waspadji, 2010).

  • 17

    Gambar 2.1. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetes (Waspadji, 2010).

    3. Infeksi

    Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak

    terkendali menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di

    lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun

    sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem

    plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki diabetes, 50%

    akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena

    merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur (Waspadji, 2010).

    Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan

    osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik

    biasanya monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan

    osteomyelitis bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada

    infeksi ringan adalah Staphylococcus Aereus dan streptococcal serta isolation of

    Methicillin-resstant Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika penderita sudah

  • 18

    mendapat antibiotik sebelumnya atau pada ulkus kronis, biasanya dijumpai juga

    bakteri batang gram negatif (Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas

    aeruginosa) (Turns, 2011; Adhiarta, 2011).

    2.2.4. Klasifikasi

    Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh

    Edmonds dari Kings College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi

    Wagner, klasifikasi Texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang

    dianjurkan oleh International Working Group On Diabetic Foot (Klasifikasi

    PEDIS) (Waspadji, 2010).

    1. Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2003

    Adanya klasifikasi PEDIS ini sebagai yang paling dianjurkan karena

    dapat menentukan kelainan apa yang lebih dominan (vaskular, infeksi atau

    neuropatik), sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan

    baik. Sebagai contoh, suatu ulkus gangren dengan critical limb ischaemia (P3)

    tentu lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan

    vaskularnya terlebih dahulu. Sebaliknya, kalau faktor infeksi yang menonjol (I4),

    tentu pemberian antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau faktor mekanik

    yang dominan (insensitive foot, S2), tentu koreksi untuk mengurangi tekanan

    plantar harus diutamakan (Waspadji, 2010).

    Tabel 2.2. Klasifikasi PEDIS (Waspadji, 2010)

    Penilaian Keterangan

    Impaired Perfusion

    1 = None

    2 = PAD + but not critical

    3 = Critical limb ischemia

    Size/Extent in mm2

    Tissue loss/Depth

    1 = Superficial fullthickness, not deeper than dermis

    2 = Deep ulcer, below dermis. Involving subcutaneous

    structures, fascia, muscle or tendon

    3 = All subsequent layers of the foot involved including

    bone and or joint

    Infection

    1 = No symptoms or signs of infection

    2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only

    3 = Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous

    structure, no systemic sign of inflammatory response

  • 19

    4 = Infection with systemic manifestation: fever,

    leucocytosis, shift to the left metabolic instability,

    hypotension, azotemia

    Impaired Sensation 1 = Absent

    2 = Present

    2. Klasifikasi Wagner

    Klasifikasi Wagner membagi berdasarkan derajat dalamnya luka, derajat

    infeksi dan derajat gangren dan merupakan klasifikasi yang terkait dengan

    pengelolaan kaki diabetes. Sampai saat ini, klasifikasi Wagner masih merupakan

    klasifikasi yang paling banyak digunakan karena cukup praktis dalam menilai

    derajat ulkus (Waspadji, 2010).

    Tabel 2.3. Klasifikasi Wagner (Waspadji, 2010)

    Grade Keterangan Karakteristik Kaki

    0 Kulit intak/utuh

    Tidak ada ulserasi, tetapi berisiko tinggi walaupun

    tidak ada ulserasi, untuk menjadi kaki diabetik.

    Penderita dalam kelompok ini perlu mendapat

    perhatian khusus. Pengamatan berkala, perawatan

    kaki yang baik dan penyuluhan penting untuk

    mencegah ulserasi.

    1 Tukak Superfisial

    Ulkus superfisial, tanpa infeksi disebut juga ulkus

    neuropatik, oleh karena itu lebih sering ditemukan

    pada daerah kaki yang banyak mengalami tekanan

    berat badan yaitu di daerah ibu jari kaki dan plantar.

    Sering terlihat adanya kallus.

    2 Tukak Dalam Ulkus dalam, disertai selulitis, tanpa abses atau

    kelainan tulang. Adanya ulkus dalam, sering disertai

    infeksi tetapi tanpa adanya kelainan tulang.

    3 Tukak Dalam

    dengan Infeksi

    Ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luas

    yang dalam.

    4

    Tukak dengan

    gangren pada 1-2

    jari

    Gangren terbatas yaitu hanya pada ibu jari kaki, tumit

    Penyebab utama adalah iskemi, oleh karena itu

    disebut juga ulkus iskemi yang terbatas pada daerah

    tertentu.

    5

    Tukak dengan

    gangren luas

    seluruh kaki

    Gangren seluruh kaki Biasanya oleh karena sumbatan

    arteri besar, tetapi juga ada kelainan neuropati dan

    infeksi.

    3. Klasifikasi University of Texas

    Klasifikasi Texas ini menilai dari segi lesi bukan hanya dalamnya lesi saja,

    tetapi juga menilai ada tidaknya faktor infeksi dan iskemia (Waspadji, 2010).

  • 20

    Tabel 2.4. Klasifikasi Texas (Waspadji, 2010)

    Stage Grade

    0 1 2 3

    A

    Lesi pre atau

    post ulkus yang

    mengalami

    epitelisasi

    sempurna

    Lesi superfisial

    tidak sampai

    pada tendon,

    kapsul atau

    tulang

    Luka sampai

    pada tendon atau

    kapsul

    Luka sampai

    pada tulang atau

    sendi

    B Stage A + adanya infeksi

    C Stage A + adanya iskemia

    D Stage A + adanya infeksi dan iskemia

    4. Klasifikasi Edmonds (Kings Collage Hospital London)

    Klasifikasi Edmonds juga merupakan klasifikasi yang praktis dan sangat

    erat dengan pengelolaan pada tenaga medis dan merupakan klasifikasi yang

    berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Waspadji, 2010).

    Tabel 2.5. Klasifikasi Edmons (Waspadji, 2010)

    Stage Klinis Kaki Keterangan

    Stage 1 Normal Foot Peran pencegahan primer sangat penting, dan

    semuanya dapat dikerjakan pada pelayanan

    kesehatan primer, baik oleh podiatrist /

    chiropodist maupun oleh dokter umum Stage 2 High Risk Foot

    Stage 3 Ulcerated Foot Memerlukan perawatan di tingkat pelayanan

    kesehatan yang lebih memadai umumnya

    sudah memerlukan pelayanan spesialistik. Stage 4 Infected Foot

    Stage 5 Necrotic Foot Merupakan kasus rawat inap, dan jelas

    memerlukan suatu kerja sama tim tenaga

    kesehatan antara dokter bedah, utamanya

    dokter ahli bedah vaskular atau ahli bedah

    plastik dan rekonstruksi.

    Stage 6 Unsalvable Foot

    5. Klasifikasi Liverpool

    Tabel 2.5. Klasifikasi Liverpool (Waspadji, 2010)

    Klasifikasi Keterangan

    Klasifikasi Primer

    Vaskular

    Neuropati

    Neuroiskemik

    Klasifikasi Sekunder Tukak sederhana tanpa komplikasi

    Tukak dengan komplikasi

  • 21

    2.2.5. Manifestasi Klinis

    Tanda dan gejala kaki diabetik yaitu sering kesemutan, nyeri kaki saat

    istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut

    nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan

    kuku menebal, kulit kering (Sari, 2012).

    Pada umumnya, area lesi yang terjadi pada kaki diabetes adalah akibat

    adanya penekanan pada area kaki atau area yang sering terkena suatu trauma

    (Gambar 2.2). Trauma mungkin tidak dirasakan oleh pasien akibat hilangnya

    sensasi rasa terhadap nyeri yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya infeksi

    yang memperberat keadaan ulkus (Wounds International, 2013).

    Gambar 2.2. Area lesi risiko dari kaki diabetes (Wounds International, 2013)

    2.2.6. Diagnosis

    Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis kaki

    diabetik ditegakkan oleh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,

    pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang (Sari, 2012).

    1. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga

    Riwayat kesehatan meliputi : lama diabetes; manajemen diabetes dan

    kepatuhan terhadap diet, olahraga dan obat-obatan; evaluasi dari jantung, ginjal

  • 22

    dan mata; alergi; pola hidup, medikasi terakhir; kebiasaan merokok dan minum

    alkohol. Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki,

    pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kallus dan deformitas, gejala neuropati

    dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan

    ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus,

    temperatur dan bau (Sari, 2012).

    Gejala neuropati perifer meliputi hipesthesia, hiperesthesia, paresthesia,

    disesthesia, radicular pain dan anhidrosis. sebagian besar orang yang menderita

    penyakit atherosklerosis pada ekstremitas bawah tidak menunjukkan gejala

    (asimtomatik), penderita yang menunjukkan gejala didapatkan claudicatio, nyeri

    iskemik saat istirahat, luka yang tidak sembuh dan nyeri kaki yang jelas. Kram,

    kelemahan dan rasa tidak nyaman pada kaki sering dirasakan oleh penderita

    diabetes karena kecenderungannya menderita oklusi aterosklerosis tibioperoneal

    (Jones, 2007).

    2. Pemeriksaan fisik

    a. Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status

    kulit seperti warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya

    infeksi dan ulserasi; ada kalus atau bula; bentuk kuku; adanya

    rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan postur dari

    tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe atau

    charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan;

    kekuatan kaki (Sari, 2012).

    b. Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen

    ditambah dengan tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, reflek

    kaki untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi (Sari, 2012).

  • 23

    Gambar 2.2. Pemeriksaan dengan mikrofilamen (Armstrong & Lavery,

    2008)

    c. Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi

    pada arteri kaki (dorsalis pedis dan tibial posterial), capillary

    refiling time, perubahan warna, atropi kuit dan kuku (Sari, 2012;

    Adhiarta, 2011).

    d. Doppler flowmeter: dapat mengukur derajat stenosis secara

    kualitatif dan semikuantitatif melalui analisis gelombang Doppler.

    Frekuensi sistolik dopler distal dari arteri yang mengalami oklusi

    menjadi rendah dan gelombangnya menjadi monofasik (Sari,

    2012).

    e. Ankle-branchial index (ABI): tekanan diukur di beberapa tempat di

    ekstremitas menggunakan manset pneumatik dan flow sensor,

    biasanya Doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik akan

    meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan diastolik

    akan turun. Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki

    lebih tinggi dibanding Brachium. Jika terjadi penyumbatan,

    tekanan sistolik akan turun walaupun penyumbatan masih minimal.

    Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan

    sistolik di arteri brachialis (ankle-branchial index) merupakan

  • 24

    indikator sensitif untuk menentukan adanya penyumbatan atau

    tidak (Sari, 2012).

    Gambar 2.2. Pengukuran Ankle-Brachial Index (Boulton, et al., 2008)

    Tabel 2.6. Interpretasi Ankle-Brachial Index (Sari, 2012)

    Indeks Tekanan Kondisi Pembuluh Darah

    > 1,2 Rigid

    > 1 Normal

    > 0,9 Iskemia

    > 0,6 Iskemia Berat

    f. Transcutaneous Oxymetri (tCPO2) : berhubungan dengan saturasi

    O2 kapiler dan aliran darah ke jaringan. TcPO2 pada arteri yang

    mengalami oklusi sangat rendah. Pengukuran ini sering digunakan

    untuk mengukur kesembuhan ulkus maupun luka amputasi (Sari,

    2012).

    g. Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan

    nyaman bagi penderita, tipe sepatu dan ukurannya (Sari, 2012).

  • 25

    3. Pemeriksaan penunjang

    Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis

    pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau sewaktu,

    glycohemoglobin (HbA1c), Complete blood Count (CBC), urinalisis, dan lain-

    lain (Sari, 2012).

    Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi X-ray, EMG dan pemeriksaan

    kultur untuk mengetahui apakah ulkus diabetik menjadi infeksi dan menentukan

    kuman penyebabnya (Sari, 2012).

    2.2.7. Penatalaksanaan

    Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus diabetes adalah penutupan

    luka. Penatalaksanaan ulkus diabetes secara garis besar ditentukan oleh derajat

    keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Dasar dari perawatan ulkus

    diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading dan kontrol infeksi (Kruse &

    Edelman, 2006; Stillman, 2008).

    1. Pencegahan

    Upaya pencegahan terjadinya dan pengendalian kaki diabetik diperlukan

    adanya keterlibatan berbagai pihak terutama dari pasien dan keluarga. Hal-hal

    yang dapat mencegah dan mengendalikan kaki diabetik yaitu (Adhiarta, 2011) :

    a. Mengontrol gula darah

    b. Memperbaiki aliran darah ke kaki

    c. Hindari merokok

    d. Olahraga yang teratur termasuk senam kaki untuk menjaga berat

    badan dan fungsi dari insulin dalam tubuh.

    e. Edukasi perawatan kaki pada pasien dan keluarga yang meliputi

    kebersihan kaki, perawatan kuku, pemilihan alas kaki, pencegahan

    dan pengelolaan cedera awal pada kaki.

    2. Penatalaksanaan

    Debridement

    Debridement menjadi salah satu tindakan yang terpenting dalam perawatan

    luka. Debridement adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis,

    callus dan jaringan fibrotik. Jaringan mati yang dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi

  • 26

    luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan pengeluaran faktor

    pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka (Jones, 2007; Stillman,

    2008).

    Metode debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp),

    autolitik, enzimatik, kimia, mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik dan

    kimia hanya membuang jaringan nekrosis (debridement selektif), sedangkan

    metode mekanis membuang jaringan nekrosis dan jaringan hidup (debridement

    non selektif) (Stillman, 2008).

    Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetes dan

    metode yang paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat jaringan

    nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus dimana infeksi telah merusak fungsi kaki atau

    membahayakan jiwa pasien, amputasi diperlukan untuk memungkinkan kontrol

    infeksi dan penutupan luka selanjutnya (Stillman, 2008).

    Debridement enzimatis menggunakan agen topikal yang akan merusak

    jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain, colagenase,

    fibrinolisin-Dnase, papainurea, streptokinase, streptodornase dan tripsin. Agen

    topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian dibungkus dengan balutan

    tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak memberikan keuntungan

    tambahan dibanding dengan perawatan terapi standar. Oleh karena itu,

    penggunaannya terbatas dan secara umum diindikasikan untuk memperlambat

    ulserasi dekubitus pada kaki dan pada luka dengan perfusi arteri terbatas

    (Stillman, 2008).

    Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada

    dasar luka. Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa

    basah-kering (wet-to-dry saline gauze). Setelah kain kasa basah dilekatkan pada

    dasar luka dan dibiarkan sampai mengering, debris nekrotik menempel pada kasa

    dan secara mekanis akan terkelupas dari dasar luka ketika kasa dilepaskan

    (Stillman, 2008).

    Offloading

    Offloading adalah pengurangan tekanan pada ulkus, menjadi salah satu

    komponen penanganan ulkus diabetes. Ulserasi biasanya terjadi pada area telapak

    kaki yang mendapat tekanan tinggi. Bed rest merupakan satu cara yang ideal

  • 27

    untuk mengurangi tekanan tetapi sulit untuk dilakukan (Hariani &

    Perdanakusuma, 2010).

    Total Contact Casting (TCC) merupakan metode offloading yang paling

    efektif. TCC dibuat dari gips yang dibentuk secara khusus untuk menyebarkan

    beban pasien keluar dari area ulkus. Metode ini memungkinkan penderita untuk

    berjalan selama perawatan dan bermanfaat untuk mengontrol adanya edema yang

    dapat mengganggu penyembuhan luka. Meskipun sukar dan lama, TCC dapat

    mengurangi tekanan pada luka dan itu ditunjukkan oleh penyembuhan 73-100%.

    Kerugian TCC antara lain membutuhkan ketrampilan dan waktu, iritasi dari gips

    dapat menimbulkan luka baru, kesulitan untuk menilai luka setiap harinya

    (Hariani & Perdanakusuma, 2010).

    Karena beberapa kerugian TCC tersebut, lebih banyak digunakan Cam

    Walker, removable cast walker, sehingga memungkinkan untuk inspeksi luka

    setiap hari, penggantian balutan, dan deteksi infeksi dini (Hariani &

    Perdanakusuma, 2010).

    Penanganan Infeksi

    Ulkus diabetes memungkinkan masuknya bakteri, serta menimbulkan

    infeksi pada luka. Karena angka kejadian infeksi yang tinggi pada ulkus diabetes,

    maka diperlukan pendekatan sistemik untuk penilaian yang lengkap. Diagnosis

    infeksi terutama berdasarkan keadaan klinis seperti eritema, edema, nyeri, lunak,

    hangat dan keluarnya nanah dari luka (Doupis & Veves, 2008).

    Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting. Menurut The Infectious

    Diseases Society of America membagi infeksi menjadi 3 kategori, yaitu (Doupis &

    Veves, 2008):

    a. Infeksi ringan : apabila didapatkan eritema < 2 cm

    b. Infeksi sedang: apabila didapatkan eritema > 2 cm

    c. Infeksi berat : apabila didapatkan gejala infeksi sistemik

    Ulkus diabetes yang terinfeksi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (Doupis

    & Veves, 2008):

    a. Non-limb threatening : selulitis < 2cm dan tidak meluas sampai

    tulang atau sendi.

  • 28

    b. Limb threatening : selulitis > 2cm dan telah meacapai tulang atau

    sendi, serta adanya infeksi sistemik.

    Penelitian mengenai penggunaan antibiotika sebagai terapi ulkus diabetes

    masih sedikit, sehingga sebagian besar didasarkan pada pengalaman klinis. Terapi

    antibiotik harus didasarkan pada hasil kuftur bakteri dan kemampuan toksistas

    antibiotika tersebut (Doupis & Veves, 2008).

    Pada infeksi yang tidak membahayakan (non-limb threatening) biasanya

    disebabkan oleh staphylokokus dan streptokokus. Infeksi ringan dan sedang dapat

    dirawat poliklinis dengan pemberian antibiotika oral, misalnya cephalexin,

    amoxilin-clavulanic, moxifloxin atau clindamycin (Doupis & Veves, 2008).

    Sedangkan pada infeksi berat biasanya karena infeksi polimikroba, seperti

    staphylokokus, streptokokus, enterobacteriaceae, pseudomonas, enterokokus dan

    bakteri anaerob misalnya bacteriodes, peptokokus, peptostreptokokus. Pada

    infeksi berat harus dirawat dirumah sakit, dengan pemberian antibiotika yang

    mencakup gram posistif dan gram negatif, serta aerobik dan anaerobik. Pilihan

    antibiotika intravena untuk infeksi berat meliputi imipenem-cilastatin, B-lactam

    B-lactamase (ampisilin-sulbactam dan piperacilintazobactam), dan cephalosporin

    spektrum luas (Doupis & Veves, 2008).

    Perawatan Luka

    Penggunaan balutan yang efeklif dan tepat menjadi bagian yang penting

    untuk memastikan penanganan ulkus diabetes yang optimal. Pendapat mengenai

    lingkungan sekitar luka yang bersih dan lembab telah diterima luas. Keuntungan

    pendekatan ini yaitu mencegah dehidrasi jaringan dan kematian sel, akselerasi

    angiogenesis, dan memungkinkan interaksi antara faktor pertumbuhan dengan sel

    target. Pendapat yang menyatakan bahwa keadaan yang lembab dapat

    meningkatkan kejadian infeksi tidak pernah ditemukan (Doupis & Veves, 2008).

    Beberapa jenis balutan telah banyak digunakan pada perawatan luka serta

    didesain untuk mencegah infeksi pada ulkus (antibiotika), membantu debridement

    (enzim), dan mempercepat penyembuhan luka (Belser, 1998).

    Balutan basah-kering dengan normal salin menjadi standar baku perawatan

    luka. Selain itu dapat digunakan Platelet Derived Growth Factor (PDGF), dimana

    akan meningkatkan penyembuhan luka, PDGF telah menunjukan dapat

  • 29

    menstimulasi kemotaksis dan mitogenesis neutrofil, fibroblast dan monosit pada

    proses penyembuhan luka (Belser, 1998).

    Penggunaan pengganti kulit/dermis dapat bertindak sebagai balutan

    biologis, dimana memungkinkan penyaluran faktor pertumbuhan dan komponen

    matrik esktraseluler. Recombinant Human Platelet Derived Growth Factors

    (rhPDGF-BB) (beclpermin) adalah satu-satunya faktor pertumbuhan yang

    disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA). Living Skin Equivalen

    (LSE) merupakan pengganti kulit biologis yang disetujui FDA untuk penggunaan

    pada ulkus diabetes (Belser, 1998).

    Terapi Tekanan Negatif dan Terapi Oksigen Hiperbarik

    Penggunaan terapi tekanan negatif berguna pada perawatan diabetic ulkus

    karena dapat mengurangi edema, membuang produk bakteri dan mendekatkan tepi

    luka sehingga mempercepat penutupan luka. Terapi oksigen hiperbarik juga dapat

    dilakukan, hal itu dibuktikan dengan berkurangnya angka amputasi pada pasien

    dengan ulkus diabetes (Belser, 1998).

    2.2.8. Prognosis

    Pada penderita diabetes, 1 diantara 20 penderita akan menderita ulkus pada

    kaki dan 1 diantara 100 penderita akan membutuhkan amputasi setiap tahun. Oleh

    karena itu, diabetes merupakan faktor penyebab utama amputasi non trauma

    ekstremitas bawah di Amerika Serikat. Amputasi kontralateral akan dilakukan

    pada 50 % penderita ini selama rentang 5 tahun ke depan (Stillman, 2008).

    Neuropati perifer yang terjadi pada 60% penderita diabetes merupakan

    risiko terbesar terjadinya ulkus pada kaki, diikuti dengan penyakit mikrovaskuler

    dan regulasi glukosa darah yang buruk. Pada penderita diabetes dengan neuropati,

    meskipun hasil penyembuhan ulkus tersebut baik, angka kekambuhanrrya 66%

    dan angka amputasi meningkat menjadi 12% (Stillman, 2008).

  • 30

    BAB III

    PENUTUP

    3.1. Kesimpulan

    Kaki diabetik atau ulkus diabetik adalah infeksi, ulkus, dan atau kerusakan

    pada jaringan yang berhubungan dengan gangguan pada saraf dan aliran darah

    pada kaki yang disebabkan karena hiperglikemia. Ulkus diabetes merupakan salah

    safu komplikasi penyakit diabetes yang menjadi salah satu masalah yang sering

    timbul pada penderita diabetes. Ulkus diabetes menjadi masalah dibidang sosial

    dan ekonomi yang mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.

    Terjadinya kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemi yang

    menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini

    menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki. Kerentanan

    terhadap infeksi meluas ke jaringan sekitar. Faktor aliran darah yang kurang

    membuat ulkus sulit sembuh. Jika sudah terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali

    terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih dalam sampai ke tulang.

    Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan penelusuran riwayat dengan

    baik, pemeriksaan fisik untuk neuropati perifer dan insufisiensi vaskuler serta

    beberapa modalitas pemeriksaan tambahan lainnya. Pemeriksaan dan klasifikasi

    ulkus menjadi bagian yang penting dalam penanganan ulkus diabetes, yaitu dalam

    penentuan rencana terapi yang tepat serta pengamatannya. Selama ini ada

    beberapa sistem klasifikasi yang telah dikenalkan. Klasifikasi ulkus didasarkan

    pada ukuran dan kedalam ulkus, adanya hubungan dengan tulang, jumlah jaringan

    granulasi dan fibrosis, keadaan sekitar luka dan adanya infeksi.

    Perawatan ulkus diabetes pada dasarnya terdiri dari 3 komponen utama

    yaitu debridement, offloading dan penanganan infeksi. Penggunaan balutan yang

    efektif dan tepat membantu penanganan ulkus diabetes yang optimal. Keadaan

    sekitar luka harus dijaga kebersihan dan kelembabannya.

  • 31

    Penegakan diagnosis dini dan penanganan tepat ulkus diabetes merupakan

    hal yang penting untuk mencegah amputasi anggota gerak bawah dan menjaga

    kualitas hidup penderita.

    3.2. Saran

    Perlunya pemahaman dan pendalaman lebih lanjut mengenai Kaki

    Diabetik dan perbaikan penulisan ke depannya.

  • 32

    DAFTAR PUSTAKA

    Adhiarta. (2011). Penatalaksanaan Kaki Diabetik. Artikel dalam Forum

    DiabetesNasional V. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Departemen Ilmu

    Penyakit Dalam FK UNPAD.

    Armstrong, D., & Lavery, L. (2008). Diabetic Foot Ulkus: Prevention, Diagnosis,

    and Classification. Am Fam Physician.

    ASA. (2000). Lower Extremity Amputation Episodes Among person with

    Diabetes. JAMA : 289, 1502-1503.

    Belser, I. (1998, December). Diabetic Food. Retrieved Oktober 02, 2014, from

    Belser Podiatric: http://www.dr.Ian H.com

    Boulton, A., Armstrong, D., Albert, S., Frykberg, R., Hellman, R., Kirkman, M.,

    et al. (2008). Comprehensive Foot Examination and Risk Assesment.

    Diabetes Care Vol 31 Numb 8.

    Boyko, E., Ahroni, J., Stensel, V., Forsberg, R., Davignon, D., & Smith, D.

    (1999). A Prospective Study of Risk Factors for Diabetic Foot Ulcer The

    Seattle Diabetic Foot Study. Diabetes Care 22, 1036-1042.

    Carrington, A., Abbott, C., Griffiths, J., Jackson, N., Johnson, S., Kulkarni, J., et

    al. (2001). A Foot Care Program for Diabetic Unilateral Lower-Limb

    Amputees. Diabetes Care, Volume 24, Number 2.

    Chandalia, H., Singh, D., Ka[poor, V., Chandalia, S., & Lamba, P. (2008).

    Footwear and Foot Care Knowledge as Risk Factors for Foot Problems in

    Indian Diabetic. International Journal Diabetes Development Countries

    Volume 28 Issue 4.

    Dewi, A. (2007). Hubungan Aspek-Aspek Perawatan Kaki Diabetes dengan

    Kejadian Ulkus Kaki Diabetes pada Pasien Diabetes Melitus. Mutiara

    Medika Volume 7 No.1, 13-18.

    Dorresteijn, J., Kriegsman, D., Assendelft, W., & Valk, G. (2010). Patient

    Education for Preventing Diabetic Foot Ulceration. Retrieved Oktober

    2014, 02, from The Cochrane Collaboration 2010 Issue 5:

    http://www.thecochranelibrary.com

  • 33

    Doupis, J., & Veves, A. (2008). Classification, Diagnosis, and Treatment of

    Diabetic Foot Ulcers. Wound Journal : 20, 117-126.

    Frykberg, R. (2002). Diabetic Foot Ulcer: Pathogenesis and Management. Am

    Fam Physician, Vol 66, Number 9, 1655-62.

    Gavin, J., Petterson, K., & Warren-Boulton, E. (2003, Oktober 15). Reducing

    Cardiovascular Disease Risk in Patients with Type 2 Diabetes: A Message

    from the National Diabetes Education Program. Retrieved Oktober 02,

    2014, from Am Fam Physician:

    http://www.aafp.org/afp/2003/1015/p1569.html

    Hariani, L., & Perdanakusuma, D. (2010). Perawatan Ulkus Diabetes. Surabaya:

    FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo.

    Hastuti, R. (2007). Faktor-Faktor Risiko Ulkus Diabetes pada Penderita Diabetes

    Melitus (Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta). Surakarta:

    Thesis Universitas.

    Hokkam, E. (2009). Assesment of Risk Factors in Diabetic Foot Ulceration and

    Their Impact on the Outcome of the Disease. Primary Care Diabetes 3,

    219-224.

    Ignativicius, & Workman. (2006). Medical Surgical Nursing Critical Thinking for

    Collaborative Care. Philadelphia: Elsevier Health Science.

    Jones, R. (2007). Exploring The Complex Care of The Diabetic Foot Ulcer.

    JAAPA.

    Kruse, I., & Edelman, S. (2006). Evaluation dan Treatmen of Diabetic Foot Ulcer.

    Clinical Diabetes Vol24 Number 2, 91-93.

    Merza, Z., & Tesfaye, S. (2003). Review The Risk Factors for Diabetic Foot

    Ulceration. The Foot 13, 125-129.

    Purnamasari, D. (2010). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In A. W.

    Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata K, & S. Setiati, Buku Ajar

    Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta: Interna Publishing.

    Sari, C. (2012). Pengaruh Program Edukasi Perawat Kaki Berbasis Keluarga

    terhadap Perilaku Perawatan Kaki pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di

    Wilayah Kerja Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. Bandung: Thesis

    Universitas Padjajaran.

  • 34

    Singh, N., Armstrong, D., & Lipsky, B. (2005). Preventing Foot Ulcers in Patient

    with Diabetes. American Medical Association JAMA Vol. 293 No. 2.

    Smeltzer, S., & Bare, B. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner

    & Suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

    Stillman, R. (2008, Juni). Diabetic Ulcers. Retrieved Oktober 02, 2014, from E-

    Medicine: http ://www.emedicine.com

    Suyono, S. (2010). Diabetes Melitus di Indonesia. In A. Sudoyo, B. Setiyohadi, I.

    Alwi, M. Simadibrata K, & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK

    UI. Jakarta: Interna Publishing.

    Tjokroprawiro A, H. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: FK

    UNAIR dan RSP Dr. Soetomo.

    Turns, M. (2011). The Diabetic foot : an overview of assessment and

    complication. British Journal of Nursing 20(15).

    Waspadji, S. (2010). Kaki Diabetes. In A. Sudoyo, B. Setyohadi, I. Alwi, M.

    Sumadibrata, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

    Jakarta: Interna Publishing.

    WHO. (2000). Penatalaksanaan Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: Penerbit

    Buku Kedokteran EGC.

    Wounds International. (2013). International Best Practice Guidelines: Wound

    Management in Diabetic Foot Ulcers. London: Wounds International.