referat enuresis vs inkontinen urin

39
BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum gangguan pengeluaran urin yang menyebabkan pakaian atau tempat tidur basah disebut mengompol. Pada usia sekolah mengompol lebih dari satu kali seminggu sudah dianggap abnormal. Secara sederhana anak yang mengompol dibagi dalam 2 kelompok yaitu enuresis dan inkontinensia urin. Enuresis berlangsung melalui proses berkemih yangnormal (normal voiding) tetapi terjadi pada tempat dan waktu yang tidak tepat yaitu berkemih di tempat tidur atau menyebabkan pakaian basah, dapat terjadi pada saat tidur malam hari (enuresis nokturnal), siang hari (enuresis diurnal), ataupun siang dan malam hari. Enuresis dianggap sebagai akibat maturasi proses berkemih yang terlambat, umumnya tidak ditemukan kelainan organik yang nyata sebagai penyebab. The International Continence Society (ICS) menyusun definisi inkontinensia urin yaitu suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter yang mengakibatkan masalah kesehatan dan sosial dan secara obyektif dapat diperagakan. Definisi ini kurang ideal untuk tujuan epidemologik. Definisi yang lebih sederhana inkontinensia urin yaitu mengompol yang terjadi tanpa kontrol meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya, kencing menetes dan tidak pernah lampias, terjadi di mana saja dan kapan saja dan sering menyebabkan rasa malu dan frustasi bagi pasien. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia urin karena tidak ada gejala yang spesifik untuk membedakan keduanya secara jelas. Inkontinensia urin lebih sering 1

Upload: leliana-saleh

Post on 26-Oct-2015

93 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

nefrologi pada anak

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

Secara umum gangguan pengeluaran urin yang menyebabkan pakaian atau tempat tidur

basah disebut mengompol. Pada usia sekolah mengompol lebih dari satu kali seminggu sudah

dianggap abnormal. Secara sederhana anak yang mengompol dibagi dalam 2 kelompok yaitu

enuresis dan inkontinensia urin. Enuresis berlangsung melalui proses berkemih yangnormal

(normal voiding) tetapi terjadi pada tempat dan waktu yang tidak tepat yaitu berkemih di tempat

tidur atau menyebabkan pakaian basah, dapat terjadi pada saat tidur malam hari (enuresis

nokturnal), siang hari (enuresis diurnal), ataupun siang dan malam hari. Enuresis dianggap

sebagai akibat maturasi proses berkemih yang terlambat, umumnya tidak ditemukan kelainan

organik yang nyata sebagai penyebab. The International Continence Society (ICS) menyusun

definisi inkontinensia urin yaitu suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter yang

mengakibatkan masalah kesehatan dan sosial dan secara obyektif dapat diperagakan. Definisi ini

kurang ideal untuk tujuan epidemologik. Definisi yang lebih sederhana inkontinensia urin yaitu

mengompol yang terjadi tanpa kontrol meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya,

kencing menetes dan tidak pernah lampias, terjadi di mana saja dan kapan saja dan sering

menyebabkan rasa malu dan frustasi bagi pasien. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan

enuresis dengan inkontinensia urin karena tidak ada gejala yang spesifik untuk membedakan

keduanya secara jelas. Inkontinensia urin lebih sering bersifat kronik dan progresif. Klasifikasi

dapat disusun berdasarkan etiologi, kelainan pola berkemih maupun berdasarkan tingkat lesi

neurologik. Pendekatan diagnostik yang lebih mutakhir didasarkan pada hasil pemeriksaan

miksiosistoureterografi dan urodinamik yang menggolongkan inkontinensia dalam dua bagian

yaitu inkontinensia fungsional dan organik. Masalah utama yang dihadapi ialah ISK berulang dan

gagal ginjal kronik. Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik yang

akurat. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal, pemberantasan infeksi berulang dengan

memperhatikan kondisi neurologis yang diderita. Kerjasama antar disiplin seperti urologi,

pediatri dan rehabilitasi medik sangat diperlukan, namun di atas segalanya, perhatian, kesabaran

dan dedikasi untuk menolong pasien sangat penting agar kualitas hidup pasien dapat

ditingkatkan.

1

Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bagian

bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi

dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Bila salah satu bagian

tersebut mengalami kelainan maka terjadi gangguan berkemih. Secara fisiologis dalam setiap

proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu (1) kapasitas buli-

buli yang adekuat, (2) pengosongan buli-buli yang sempurna, (3) proses pengosongan

berlangsung di bawah kontrol yang baik, (4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak

berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal. Bila salah satu atau

beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul gangguan miksi yang disebut

inkontinensia urin.

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Normal Kandung Kemih

2.1.1 Anatomi Kandung Kemih

Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai penyimpanan

urin. Pada laki-laki terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan didepan rektum, sedangkan

kandung kemih wanita terletak dibawah uterus dan didepan vagina. Kapasitas normal kandung

kemih sebanyak 400-500 ml.

Struktur kandung kemih berupa:

1. Dinding, dengan empat lapisan, yaitu:

a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan peritoneal

rongga pelvis.

b. Otot detrusor, yaitu lapisan tengah yang tersusun dari berkas-berkas otot polos yang

membentuk sudut agar kontraksi kandung kemih serentak ke segala arah. Otot

detrusor ini terdiri dari serat-serat otot polos, yaitu lapisan dalam berupa longitudinal,

tengah sirkular, dan luar longitudinal. Bagian ini akan teregang bila kandung kemih

terisi dan otot-otot detrusor akan berkontraksi bila terjadi refleks miksi, sehingga isi

kandung kemih dapat keluar.

c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan dengan

muskularis.

d. Mukosa, yaitu lapisan terdalam berupa epitel transisional.

2. Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkembang yang

terletak secara internal dibagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga

lubang yaitu dua disudut atas berupa muara ureter dan satu pada apex berupa uretra.

a. Disekitar pangkal uretra tersusun otot polos yang disebut sfingter internum berfungsi

mempertahankan tonus uretra agar air kemih tidak keluar.

b. Terdapat susunan otot rangka diafragma urogenitalis disekitar uretra disebut sfingter

eksternum yang berkontraksi terus menerus secara tonus agar tidak terjadi penetesan

air kemih, berelaksasi pada saat miksi baik secara refleks maupun atas pengaruh otak.

3

Gambar 1 Anatomi Kandung Kemih

Pengendalian kandung kemih dan pengeluaran kandung kemih merupakan proses yang sangat

kompleks dan melibatkan persarafan:

1. Medula spinalis

a. Sistem saraf parasimpatis

berasal dari medula spinalis saklralis II-IV yang keluar sebagai pleksus pelvikus dan

pleksus sakralis dan menuju kandung kemih sebagai N. pudendus. Perangsangan sistem

ini akan menyebabkan kontraksi detrusor dan sedikit dilatasi sfingter internum kandung

kemih.

b. Sistem saraf simpatis

Berasal dari medula spinalis torakal XI – lumbal II, keluar melalui pleksus hipogastrik

menuju kandung kemih. terdiri darireseptor alfa dan beta.

Reseptor alfa terutama terletak dibagian leher kandung kemih otot polos disekitar pangkal

uretra, perangsangan reseptor ini akan menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung

kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. inhibisi reseptor alfa

menyebabkan relaksasi leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra sehingga terjadi

miksi.

Reseptor beta terutama terletak di bagian korpus kandung kemih. perangsanagan reseptor

ini akan mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor, sehingga terjadi penampungan

kandung kemih dan inhibisi akan menyebabkan kontraksi otot detrusor dan peningkatan

tekanan di dalam kandung kemih, diikuti dengan pengosongan kandung kemih.

4

Gambar 1. Sistem persarafan kandung kemih

2. Pengaturan miksi oleh otak

Di otak terdapat 3 pusat yang dapat mengendalikan miksi:

1. Menimbulkan miksi terletak di pons anterior dan hipotalamus posterior

2. Pusat inhibisi terletak di otak tengah.

Cara pusat di otak mengatur miksi:

1. Pusat inhibisi menghambat refleks miksi dalam beberapa saat sampai kita ingin miksi.

5

2. Pusat inhibisi akan menghambat miksi walaupun telah timbul refleks miksi dengan jalan

kontraksi sfingter eksternum kandung kemih, sampai ada tempat dan waktu yang tepat

untuk miksi.

3. Bila tiba waktunya untuk miksi, maka pusat-pusat ini akan:

mempermudah pusat miksi di medula spinalis sakralis untuk memulai miksi.

menghambat kontraksi otot sfingter eksternm kandung kemih, sehingga terjadi

pengluaran air kemih.

3. Siklus miksi

Terdiri drai 2 fase:

a. Fase penampungan

Tergantung pada kapasitas kandung kemih yang adekuat, kemampuan memperbesar

volume kandung kemih dengan tekanan yang tetap rendah dan elastisitas kandung kemih.

b. Fase ekspulsi

Mampu mengawali kontraksi otot detrusor secara lengkap sehingga terjadi

peningkatan yang cepat dan progresif.

kemampuan relaksasi sehingga air kemih dapat dikeluarkan.

kemampuan hubungan uterovesika sehingga melindungi saluran kemih bagian atas

dari tekanan tinggi kandung kemih.

2.1.2 Fisiologi Miksi

Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih. Setelah dibentuk

oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran ini dipengaruhi oleh gaya

tarik bumi, selain itu juga kontraksi peristaltik otot polos dalam dinding ureter. Karena urin

secara terus menerus dibentuk oleh ginjal, kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan

yang cukup.

Mekanisme miksi bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf

volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi aktif otot detrusor, maka:

Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter

uretra internal yang diinervasi oleh neuron parasimpatis.

6

Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot perineal transversa

dibawah kendali volunter. Selain itu bagian pubokoksigeus pada otot elevator juga

berkontriksi dalam pembentukan sfingter.

Rata-rata pengeluaran urin adalah ± 1,5 l per hari, walaupun bisa berkurang hingga

kurang dari 1 l per harinya dan meningkat hingga mendekati 20 l per hari. Refleks berkemih

dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang.

Kandung kemih orang dewasa dapat menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan

di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan reseptor regang. Makin besar peregangan

melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor. Selain refleks ini dimulai, refleks

ini bersifat regenerasi sendiri.

Refleks berkemih terjadi dengan cara:

Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang

menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.

Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal

dan eksternal.

Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana pengosongan

kandung kemih dengan pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada dewasa, refleks ini dibawah

kontrol volunter sehingga dapat diinhibisi oleh otak (Thomas dan Stanley, 2007). Selama miksi,

proses yang terjadi berupa:

Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot tersebut

sehingga timbul keinginan untuk miksi.

Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit sehingga

penghambatan uvula menurun dan segmen bagian pertama uretra melebar.

Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih untuk

mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava.

Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna dan dasar

panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi

kembali untuk pengisian urin selanjutnya.

Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat

menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi,

atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak

dan miksi berulang-ulang dengan atau tanpa inkontinensia urin.

7

Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak,

medula spinalis, dan ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot polos di detrusor dan

uretra. Suprapontin mempengaruhi keadaan “on-off switch” pada saluran kemih bagian bawah

dengan dua cara operasi yaitu penyimpanan dan pengeluaran.

Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang disadari. Namun,

jika kandung kemih terus menerus diisi dan teregang, maka kontrol sudah tidak mampu lagi

mengendalikan. Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai walaupun kandung kemih belum

tergang oleh relaksasi volunter sfingter uretra eksterna dan diafragma pelvis. Penurunan lantai

panggul juga memungkinkan kandung kemih turun, yang secara simultan membuka sfingter

uretra eksterna dan meregangkan kandung kemih. Pengaktifan reseptor-reseptor regang

menyebabkan kandung kemih berkontraksi melalui refleks miksi. Pengosongan kandung kemih

secara volunter dapat dibantu oleh kontruksi dinding abdomen dan diafragma pernafasan yang

meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk mengosongkan

isinya.

Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri dari:

1. Kenaikan tekanan secara progresif

2. Periode tekanan menetap

3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal

Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan terinhibisi selama

beberapa menit hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks berikutnya. Bila kandung kemih

terus menerus diisi, akan terjadi refleks miksi yang semakin sering dan kuat.

2.1.3 Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih

Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih tergantung dari:

Kapasitas kandung kemih yang adekuat,

Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai dan

mengakhiri miksi.

Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat miksi pada

berbagai tingkat kapasitas kandung kemih.

Adapun usia perkembangan kandung kemih, yaitu:

8

Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula spinalis. Bila

jumlah urin bertambah, kandung kemih mengembang dan terjadi refleks yang

menimbulkan kontraksi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter eksternum kandung

kemih.

Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus frontalis dan

parietalis otak. Sehingga anak sudah menyadari bila kandung kemih penuh tapi belum

mampu mengendalikan miksi.

Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah dapat

mengendalikan kandung kemih sesuai tempat dan waktu miksi.

Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah dapat menahan

miksi dalam waktu yang cukup lama, terutama saat bermain dan biasanya akan miksi

sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini usia ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada

siang hari, pada malam hari 75% anak usia 3,5 tahun sudah tidak mengalami nocturnal

enuresis (mengompol).

Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara lengkap.

Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak miksi bukan

ditempatnya.

Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung kemih juga menyebabkan rasa

secara sadar bahwa kandung kemih penuh juga menyebabkan timbulnya keinginan untuk miksi.

Persepsi kandung kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas,

sehingga memberi peringatan bahwa proses miksi akan dimulai. Akibatnya, kontrol volunter

terhadap miksi yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dini dapat

mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan

orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung kemih pertama kali mencapai

titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat miksi tidak tepat sementara

refleks miksi sudah dimulai, pengosongan kandung kemih dapat secara sengaja dicegah dengan

mengencangkan sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls eksitatoris volunter yang

berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke

neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak

keluar.

9

2.1.4 Teori perkembangan anak

Dalam konsep jalur perkembangan menyatakan bahwa seorang anak dapat melewati tahap

suksesi. Teori-teori psikoanalitik mengungkapkan bahwa gagasan tentang tahapan-tahapan itu

secara kualitatif mamiliki jangka waktu yang berbeda dalam perkembangan emosi dan kesadaran

(Needlman, 1999). Adapun teori-teori perkembangan tersebut:

1. Psikoseksual

Teori ini diungkapkan oleh Sigmund Freud yang menggambarkan lima stadium

perkembangan anak, yaitu:

Fase oral (sejak lahir sampai 1 tahun), tempat pemusatan utama adalah mulut, bibir,

dan lidah sehingga kegiatan yang paling disukai anak pada usaha ini adalah menggigit

dan menghisap.

Fase anal (1-3 tahun), tempat pemusatan adalah anus dan daerah sekitarnya. Pada fase

inilah anak seharusnya mendapatkan kontrol sfinkter volunter (toilet training).

Fase falik oedipal (3-5 tahun), genital merupakan pusat perhatian, stimulant, dan

kegembiraan. Pada masa ini anak senang memegang bagian genital dan adanya

kecemasan kastrasi (takut kehilangan atau cedera genital). Selain itu pada fase ini juga

terdapat Oedipus kompleks, dimana anak menyukai orang tua yang berlawanan jenis

dengannya.

Fase laten (5-6 tahun sampai 11-12 tahun), pada fase ini keadaan dorongan seksual

relatif dan dengan resolusi kompleks oedipal. Dorongan seksual relative dialihkan

dengan tujuan yang lebih dapat diterima secara social, seperti sekolah atau olahraga.

Fase genital (11 - 12 tahun), fase ini merupakan stadium akhir perkembangan

psikoseksual, dimulai dengan pubertas dan kapasitas biologis untuk orgasme tapi

melibatkan kemampuan keintiman yang sesungguhnya.

2. Psikososial

Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson, dengan pembagian:

Kepercayaan dasar (sensorik oral), fase ini terjadi pada kisaran usia 0-1 tahun, dimana

kepercayaan dilanjutkan dengan mudahnya makan, kedalaman tidur, dan relaksasi

usus.

Otonomi lawan rasa malu-malu dan ragu-ragu (muscular-anal), fase ini terjadi pada

usia 1-3 tahun dimana secara biologis termasuk berjalan, belajar, makan sendiri, dan

10

berbicara. Selain itu terdapat rasa malu saat menyadari diri sendiri karena pemaparan

negatif dan keraguan jika orang tua menyisihkan anak.

Inisiatif lawan rasa bersalah (motor penggerak genital), fase ini terjadi pada usia 3-5

tahun dimana inisiatif timbul dalam tugas untuk kepentingan aktifitas motorik maupun

intelektual. Pada fase ini juga terdapat rasa bersalah terhadap perenungan tujuan dan

persaingan denga saudara kandung.

Keaktifan lawan rendah diri (laten), fase ini terjadi pada usia 6-12 tahun dimana anak

sibuk membangun, menciptakan, dan menyelesaikan.

Identitas lawan difusi identitas, fase ini terjadi pada usia 11 tahun sampai akhir mas

remaja, dimana terdapat perjuangan untuk mengembangkan identitas ego.

3. Kognitif

Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang membagi:

Fase sensori motor (tahap I-IV), fase ini terjadi dari lahir sampai dengan 2 tahun,

dimana intelegensia terletak terutama pada tindakan dan gerak yang terkoordinasi

dibawah suatu pola perilaku sebagai respon stimulus lingkungan tertentu.

Fase sensori motor (tahap V-VI)

Fase praoperasional (konkret), fase ini terjadi pada usia 7-11 tahun dimana timbul

pikiran logika mampu mengambil sudut pandang orang lain serta mengingat angka,

panjang, berat, dan volume.

Fase operasional nyata

Fase operasi formal (abstrak), fase ini terjadi mulai usia 11 tahun sampai akhir usia

remaja, dimana sudah mampu berfikir tentang pikiran seseorang, menggunakan dua

sistem referensi secara bersamaan dan untuk memegang konsep kemungkinan.

Sedangkan menurut Anna Freud, aspek pertumbuhan dan perkembangan normal pada

anak-anak berupa ketergantungan menuju kemandirian, mengompol menuju kontrol kandung

kemih, dan keterikatan dalam diri sendiri menuju persahabatan. Aspek-aspek ini mencerminkan

pergerakan dari masa bayi yang juga imatur menuju kompleksitas anak yang telah berkembang.`

II. Enuresis

2.2.1 Definisi

Enuresis adalah pengeluaran air kemih yang tidak disadari pada seseorang yang pada saat

itu pengendalian kandung kemih diharapkan sudah tercapai. Kemampuan mengendalikan

11

kandung kemih biasanya tercapai pada umur 1-5 tahun. Seorang anak baru dapat dikatakan

enuresis fungsional, pengeluaran urin involunter pada waktu siang atau malam hari atau bila

enuresis menetap dan paling sedikit satu kali perminggu pada umur diatas 5 tahun pada

perempuan dan antara 6-10 tahun pada anak laki-laki, tanpa adanya kelainan fisik atau penyakit

kronik.

Diagnosa enuresis fungsional menurut DSM-IV (American Psychiatric assosiation, 1994)

dapat ditegakkan, apabila:

1. Buang air kecil yang berulang pada siang dan malam hari di tempat tidur atau pakaian.

2. Sebagian besar tidak disengaja, tetapi kadang-kadang disengaja. sekurang-kurangnya

terjadi 2 kali dalam satu minggu selama ≥ 3 bulan, atau harus menyebabkan kesulitan

signifikan di bidang sosial, akademik, atau fungsi penting lainnya.

3. Anak tersebut harus mencapai usia dimana berkemih secara normal seharusnya telah

tercapai, yaitu usia kronologis paling sedikit 5 tahun. sedangkan pada anak dengan

keterlambatan perkembangan, usia mental paling sedikit 5 tahun.

4. Tidak berhubungan dengan efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi kesehatan secara

umum.

2.2.2 Klasifikasi

Enuresis dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Enuresis nokturnal (seleep wetting) yaitu enuresis pada malam hari menetap lebih dari

dua kali dalam satu bulan pada anak berumur lebih dari 5 tahun, lebih banyak terjadi pada

laki-laki dengan insiden 80%.

2. Enuresis diurnal yaitu enuresis yang terjadi pada siang hari, lebih sering terjadi pada

perempuan dengan angka kejadian 20%.

Menurut awal terjadinya dibedakan menjadi:

1. Enuresis primer bila enuresis terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada periode normal

dalam pengontrolan buang air kemih.

2. Enuresis sekunder terjadi setelah 6 bulan dari periode setelah kontrol pengosongan air

kemih sudah normal.

2.2.3 Epidemiologi

12

Penelitian epidemiologi di luar negri menunjukkan pada usia 6-7 tahun 80% anak secara

penuh dapat mengendalikan kandung kemihnya, sedangkan 20% lagi mengalami enuresis

nokturnal, enuresis diurnal, atau keduanya. Insiden enuresis semakin menurun sesuai dengan

bertambahnya usia, sehingga pada usia 14 tahun insiden enuresis hanya 2-3%.

sedangkan menurut survei di Jakarta pada tahun 1986 menyebutkan bahwa prevalensi

enuresis pada anak laki-laki sekitar 2,83% dan pada perempuan 2,97%; 82,4% adalah enuresis

nokturnal dan 17,6% merupakan enuresis diurnal; 96,7% bersifat primer dan 3,3% merupakan

enuresis sekunder.

Enuresis lebih sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari:

1. Golongan sosio-ekonomi rendah

2. Anak-anak yang pernah menderita hambatan sosial atau psikologis dalam periode

perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan

3. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah

4. Toilet training yang tidak adekuat

5. Anak pertama

2.2.4 Etiologi

1. Keterlambatan pematangan neurofisiologi: berhubungan dengan faktor genetik, 77% pada

kedua orang tua, 44% salah satu orang tua, 15% bila tidak ada riwayat keluarga.

2. Keterlambatan perkembangan: bukan karena gangguan pematangan sistem neurofisiologi,

tetapi kurangnya latihan pola buang aikr kemih.

3. Hormon antidiuretik: sekresi hormon ADH menyebabkan volume urine tinggi pada

malam hari.

4. Faktor urodinamik: kapasitas kandung kemih yang kecil dan tidak adanya penghambatan

kontraksi serta tidak adanya koordinasi antara otot detrusor dan otot sfingter.

5. Faktor tidur yang dalam

6. Faktor psikologi: enuresis primer dapat disebabkan oleh adaya faktor stres selama periode

perkembangan antara umur 2-4 tahun.

7. Faktor organik:

a. Saluran genitourinaria: hampir 99% enuresis nokturnal tidak mempunyai kelainan

anatomi saluran kemih, tetapi ditemukan gangguan urodinamik seperti kapasitas

13

kandung kemih yang kurang dan tidak sinergisnya kerja otot detrusor dengan otot

sfingter.

b. Infeksi, 45% perempuan dengan bakteriuri timbul enuresis, 17% perempuan tanpa

bakteriuri menjadi enuresis, 15% dengan bakteriuri asimptomatis mengalami

enuresis.

2.2.5 Diagnosis

1. Anamnesis

Menentukan tipe dan beratnya enuresis dengan menanyakan sejak kapan terjadinya

mengompol, waktu terjadinya mengompol, riwayat infeksi saluran kemih, keadaan

psikososial anak, keadaan keluarga, riwayat enuresis pada orang tua.

2. Pemeriksaan Fisik

Tidak ditemukan kelainan, tetap cari apakah terdapat kelainan di medula spinalis.

3. Pemeriksaan Penunjang

Diperlukan untuk mengevaluasi enuresis, pemeriksaan seperti analisis air kemih, berat jenis,

biakan urin, ureum, kreatinin, dll. harus dibedakan apakah ini karena infeksi saluran kemih,

ureter ektopik, gangguan fungsi kandung kemih, atau kelainan anatomi kandung kemih.

2.2.6 Diagnosis banding

a. ISK, dapat menyebabkan enuresis sekunder. biasanya terjadi urgensi enuresis, sering

miksi, dan disuri. Urinalisis dan biakan kemih dapat ditegakkan ada tidaknya infeksi

saluran kemih.

b. Kelainan kongenital saluran kemih: ureter ektopik, epispadi, sinus urogenital persisten.

c. Nefropati obstruksi, akibat kerusakan katup uretra posterior. Gejalanya air kemih

menetes, urgensi enuresis, inkontinensia psikogenik. kelainan ini dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan sistografi.

d. Kandung kemih neurogenik, keluhan sama dengan yang diatas, biasanya disertai defek

tulang belakang.

e. Kandung kemih disinergik, menyebabakan daytime incontinence, miksi yang frekuen, dan

infeksi saluran kemih yang berulang.

14

2.7 Penatalakasanaan

Pengobatan biasanya diperlukan apabila enuresis menjadi problem bagi penderita maupun

keluarga dan jarang diperlukan bila anak belum mencapai umur 5 atau 6 tahun. pada anak-anak

yang lebih muda, engobatan biasanya hanya berupa mendidik keluarga mengenai hal-hal yang

dapat menyebabkan enuresis dan menunjukkan program latihan-latihan yang benar.

Non Farmakologik

1. Latihan menahan miksi, tujuannya memperbesar kapasitas kandung kemih, agar waktu antara

miksi menjadi lebih lama sehingga dapat mengurangi enuresis. Dengan menahan miksi secara

sadar akan menghambat kontraksi kandung kemih dan memperbesar kapasitas kandung

kemih. Latihan ini memerlukan waktu yang lama, angka kesembuhannya lebih tinggi.

2. Memberikan motivasi. orang tua dan anak diberikan penjelasan mengenai enuresis. setelah

orang tua dan anaknya mengerti tentang masalah enuresis seperti mengurangi minum pada

malam hari, membangunkan anak pada malam hari untuk mikasi di kamar mandi, dan

memberika pujian atau penghargaan bila anaknya tidak mengompol, ternyata banyak yang

berhasil mengurangi dan menghentikan enuresis.

3. Mengubah kebiasaan, dengan menggunakan alarm bell and pad, dengan cara beberapa tetes

pertama air kemih akan menyebabkan alarm bunyi dan anak terbangun dari tidurnya untuk

menyelesaikan miksinya di kamar mandi. mengubah pola tidur dan memasang alarmnya

sendiri merupakan pengobatan lebih efektif.

Farmakologik

1. Anti depresan

Misalnya imipramin, penggunaannya menunjukkan 40-60% berhenti enuresis dan

frekuensi ngompolnya berkurang. efeknya belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga

sebagai anti depresan, anti kolinergik, dan mengubah mekanisme tidur. yang berperan dalam

pengobatan enuresis adalah efek anti kolinergik dan antispasmodik yang mnyerupai efek

simpatomimetik terhadap kandung kemih.

Dosisnya 1-1,5 mg/kgBB, diberikan 1-2 jam sebelum tidur. pengobatan ini

memperlihatkan hasil 1-2 minggu. jika dalam waktu tersebut belum memprlihatkan hasil,

pengobatan diteruskan sampai setidak-tidaknya sampai 6 bulan dengan mengurangi dosis

15

setiap 3-4 minggu. Efek samping jarang terjadi. gejala efek samping berupa insomnia,

kecemasan, perubahan kepribadian.

2. Desmopresin

Merupakan sintetis vasopresin dan analog dengan argininevasopresin. diberikan intranasal

waktu tidur. tiapsemprot mengandung 10 mg desmopresin. obat ini bekerja dengan

mengurangi produksi urin, sehingga efek sampingnya adalah hiponatremi akibat retensi air,

obat ini hanya dipakai untuk anak-anak yang mengalami stres dan gagal dengan cara

pengobatan lain.

3. Antikolonergik

obat ini berhubungan dengan enuresis yang diakibatkan adanya proses aninhibisi kontraksi

dari kandung kemih. dosis anjuran untuk anak-anak diatas 6 tahun adalah 5 mg 2-3 kali

sehari. Efek samping berupa mulut kering, muka merah, atau kadang-kadang hiperksia, pada

dosis lebih menimbulkan gangguan penglihatan.

2.2.8 Prognosis

Enuresis yang tidak diobati akan sembuh spontan antara 10-20% pertahun. oleh karena

enuresis sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses maturasi yang dapat

sembuh spontan dengan bertambh nya umur, maka sebaiknya jangan cepat-cepat memberi obat-

obatan. sebaiknya upayakan dulu untuk memotivasi dengan memberi pujian, penghargaan setiap

tidak ngompol.

III. Inkontinensia Urin

2.3.1 Definisi

The International Continence Society (ICS) menyusun definisi inkontinensia urin yaitu

suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter yang mengakibatkan masalah kesehatan dan

sosial dan secara obyektif dapat diperagakan. Definisi ini kurang ideal untuk tujuan

epidemologik. Definisi yang lebih sederhana inkontinensia urin yaitu mengompol yang terjadi

tanpa kontrol meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya, kencing menetes dan

tidak pernah lampias, terjadi di mana saja dan kapan saja dan sering menyebabkan rasa malu dan

frustasi bagi pasien. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia

urin karena tidak ada gejala yang spesifik untuk membedakan keduanya secara jelas.

16

2.3.2 Etiologi

Inkontinensia urin dapat bersifat sementara, tetapi lebih sering bersifat kronik dan

progresif. Inkontinensia sementara misalnya pada seorang ibu pasca persalinan atau pada sistitis.

Inkontinensia kronik dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan digolongkan sebagai berikut :

Inkontinensia anatomik atau inkontinensia tekanan (stress incontinence)

Inkontinensia desakan (urge incontinence)

Inkontinensia neuropati/neurogenik

Inkontinensia kongenital

Inkontinensia semu (false = overflow incontinence)

Inkontinensia post trauma atau inkontinensia

iatrogenik

Inkontinensia fistula

2.2.3 Klasifikasi

Selain berdasarkan etiologi, inkontinensia atau disfungsi vesiko-ureteral dapat pula

digolongkan dengan berbagai cara antara lain berdasarkan kelainan pola berkemih, misalnya buli-

buli otonom, berdasarkan tingkat lesi neurologik misalnya tipe upper motor neuron dan lower

motor neuron atau hanya berdasarkan lesi perifer yang timbul (buli-buli hipertonik atau atonik)

dan sebagainya. Namun klasifikasi seperti tersebut di atas kurang bermanfaat secara klinis

maupun penanganannya. Pendekatan yang lebih mutakhir didasarkan pada hasil pemeriksaan

miksio-sisto uretrografi (MSU) dan urodinamik,3,9 yang menggolongkan inkontinensia dalam 2

bagian yaitu inkontinensia fungsional dan organik. Namun ada juga kepustakaan yang langsung

membagi menjadi 3 kelompok yaitu disfungsi buli-buli – sfingter neuropati, disfungsi non

neuropati dan inkontinensia struktural akibat kelainan anatomik.10 Berbagai bentuk klinik

inkontinensia fungsiona atau dikenal pula sebagai non neuropathic bladdersphincter dysfunction

antara lain ialah:

Inkontinensia desakan (urge syndrome and urge incontinence). Inkontinensia timbul akibat

kontraksi detrusor yang tidak dapat dihambat pada fase pengisian buli-buli atau pada saat

yang bersamaan dilawan oleh kontraksi otot-otot dasar panggul secara volunter (disebut hold

manoeuvres) untuk mencegah atau mengurangi terjadinya mengompol, namun biasanya

masih terjadi juga pengeluaran sedikit urin. Hold manoeuvres dapat juga dilakukan dengan

posisi jongkok (squatting). Sindrom urge sering disertai gejala konstipasi dengan feses yang

17

mengeras dan kadang-kadang sulit dibedakan dengan enkopresis yang timbul pada enuresis

diurnal. Sindrom urge perlu dipikirkan pada kasus refluks-vesiko-ureter (RVU) dengan

infeksi saluran kemih (ISK) berulang. Sindrom urge atau inkontinensia desakan dapat

dicetuskan oleh peninggian tekanan intra abdomen misalnya pada saat melompat atau bila

tertawa. Salah satu contoh ialah Giggle incontinence yang timbul setelah tertawa meskipun

buli-buli belum terisi penuh. Presentasi klinik yang agak aneh ini sulit disembuhkan dan

biasanya anak yang menderita sindrom ini menghindari ketawa agar tidak mengompol.

Staccato voiding3 atau dysfunctional voiding. Kelainan ini disebut juga dyssynergic voiding,

ditandai dengan berkemih yang tiba-tiba berhenti secara periodik akibat kontraksi otot-otot

dasar panggul secara ritmik. Kelainan ini analog dengan dissinergia detrusor sfingter pada

disfungsi bulibuli neurogenik.

Fractionated and incomplete voiding. Kelainan ini timbul akibat kurangnya aktivitas otot

detrusor. Pancaran urin sangat iregular, pasien sering mengedan untuk memperlancar aliran

urin. Biasanya kapasitas buli-buli menjadi besar dan kencing tidak lampias.

Lazy bladder syndrome. Sindrom ini merupakan kelanjutan dari fractionated and incomplete

voiding. Akibat jangka lama kurangnya aktivitas otot detrusor menyebabkan buli-buli makin

membesar dan berdilatasi, bahkan akhirnya otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi.

Satu-satunya upaya untuk berkemih hanya mengandalkan tekanan abdomen. Akibatnya

residu urin makin meningkat, infeksi makin sering terjadi. Buli-buli seperti malas

berkontraksi, miksi makin jarang dan akhirnya timbul inkontinensia karena buli-buli sudah

sangat penuh. Penanganan umumnya bersifat konservatif dengan miksi berulang (double atau

tripple micturition).

Sindrom Hinman. Sindrom ini ditandaidengan retensi urin dengan miksi yang tersendatsendat

(intermittent voiding pattern), sama seperti kasus buli-buli neurogenik tetapi tanpa kelainan

anatomik maupun neurologik. Timbul mulai anak belajar toilet training. Sering disertai ISK

berulang, mengompol siang dan malam. Gambaran urodinamik berupa dissinergia detrusor

sfingter. Etiologi belum diketahui dan diduga disebabkan kombinasi berbagai faktor dan

peranan faktor psikologik cukup dominan di samping faktor sosial ekonomi dan perbedaan

budaya. Penanganan terutama berupa psikoterapi di samping penanganan terhadap infeksi dan

gangguan fungsi ginjal.

Inkontinensia Organik

18

Penyebab organik disfungsi buli-buli pada anak dapat digolongkan dalam 3 jenis

kelainan, yaitu kelainan bawaan dan berhubungan dengan gangguan neurologis, kelainan

anatomik yang menyebabkan gangguan fungsi saluran kemih bagian bawah serta kelainan yang

didapat seperti yang tertera pada Tabel 1.1

Di antara ketiga jenis kelainan tersebut mielodisplasia merupakan kelainan yang tersering

menyebabkan terjadinya buli-buli neurogenik (neurogenic bladder dysfunction) pada anak, dan di

antara kelainan mielodisplastik tersebut meningomielokel merupakan kasus terbanyak (90%).

Buli-buli Neurogenik

Inkontinensia yang timbul sekunder akibat neuropati disebut buli-buli neurogenik. Buli-

buli neurogenik merupakan kelainan organik yang perlu mendapat perhatian karena kasus inilah

yang paling sering ditemukan sebagai akibat meningomielokel. Konsekuensi utama akibat buli-

19

buli neurogenik ialah kerusakan ginjal dan inkontinensia urin. Kerusakan ginjal berkaitan dengan

peninggian tekanan intra-vesika atau adanya refluks vesiko ureteral sebagai penyerta dan

timbulnya infeksi saluran kemih. Infeksi, refluks dan obstruksi sering ditemukan secara bersama-

sama pada buli-buli neurogenik. Mekanisme timbulnya inkontinensia sangat beragam dan sering

merupakan kelainan ganda. Sedikitnya ada empat pola gambaran urodinamik yang dapat

ditemukan pada buli-buli neurogenik, yaitu:

• Hiperefleksia otot detrusor bersama-sama dengan hiperrefleksia (spastisitas) sfingter

• Arefleksia otot detrusor bersama-sama denganarefleksia sfingter

• Arefleksia otot detrusor bersama-sama dengan hiperrefleksia (spastisitas) sfingter

• Hiperrefleksia otot detrusor bersama-sama dengan arefleksia sfingter

Manifestasi klinik inkontinensia yang timbul akan bervariasi tergantung pada intensitas

dan kombinasi kelainan urodinamik yang ditemukan. Ringkasnya buli-buli bisa normal atau

kapasitasnya kecil, otot detrusor bisa akontraktil atau kontraktil (biasanya hiperrefleks), leher

buli-buli bisa kompeten atau inkompeten. Sedangkan mekanisme sfingter distal dapat normal,

inkompeten atau malah obstruktif (bisa dalam bentuk disinergia detrusor sfingter atau obstruksi

statik sfingter distal).

2.3.4 Prevalensi dan Insidens

Berbagai kepustakaan melaporkan insidens maupun prevalensi berdasarkan keluhan

seperti mengedan, polakisuria, ngompol sehingga diagnosis definitif yang ditegakkan berbeda

satu sama lain.3 Dengan adanya kesimpang-siuran mengenai diagnosis inkontinensia urin

timbullah masalah dalam menilai sensitivitas dan spesifisitas penemuan gejala/tanda klinik secara

epidemiologik. Variasi dalam interpretasi diagnostik akan mempengaruhi prevalensi

inkontinensia pada berbagai penelitian, sehingga prevalensi yang lebih akurat sulit ditentukan.

Meskipun demikian diperkirakan sekitar 20% kasus poliklinik nefrologi anak terdiri dari kasus-

kasus kompleks ISK berulang – inkontinensia fungsional atau disfungsi sfingter non neuropati.

Di antara kelompok buli-buli neurogenik, mielodisplasia merupakan etiologi tersering dan

90% di antaranya berupa mielomeningokel. Data yang dapat dikumpulkan dari kasus rawat jalan

maupun rawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM selama 11 tahun diperoleh 18 kasus

inkontinensia urin, sebagian di antaranya diagnosis definitif belum dapat ditegakkan,14 namun di

antara kasus yang terdiagnosis lebih spesifik, buli-buli neurogenik akibat spina bifida cukup

20

dominan (9 kasus) seperti yang tertera pada Tabel 2. Semua kasus disertai dengan ISK berulang

dan pada pengamatan ternyata 11 kasus di antaranya sudah mengalami gagal ginjal kronik.

2.3.5 Diagnosis

Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik yang akurat, oleh

sebab itu pendekatan serta tahapan diagnostik harus diikuti dengan seksama agar hasil

penanganan mencapai sasaran yang optimal. Tahapan diagnostik meliputi anamnesis yang teliti

dan pemeriksaan fisis yang seksama. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang seksama

diharapkan sudah dapat dibedakan antara enuresis primer (enuresis nokturna) dengan

inkontinensia urin. Hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain pola berkemih (voiding) dan

mengompol, frekuensi dan volume urin, kebiasaan defekasi serta pola kepribadian. Pemeriksaan

fisis meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah genital dan punggung, refleks

lumbosakral dan pengamatan terhadap pola berkemih.

Tahapan diagnostik yang diajukan oleh van Gool seperti tertera pada Gambar 1 dapat

dipakai sebagai acuan dan sekaligus pemilihan uji diagnostik yang diperlukan.

Tahapan diagnostik berikutnya ialah pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun

pencitraan. Urinalisis, biakan urin, pemeriksaan kimia darah dan uji faal ginjal perlu dilakukan

terhadap semua kasus inkontinensia urin. Ultrasonografi dipakai sebagai pilihan pertama

pencitraan sebagai penyaring, kemudian dapat dilanjutkan dengan miksio-sistouretrografi (MSU).

Nilai pemeriksaan USG dapat ditingkatkan bila sekaligus diperiksa pre dan post miksi serta

kecepatan aliran urin untuk mendeteksi kemungkinan obstruksi sfingter buli-buli.

Pemeriksaan urodinamik terindikasi pada kasus yang diduga buli-buli neurogenik yang

tidak selalu dapat terdiagnosis hanya berdasarkan pemeriksaan fisis-neurologis. Pemeriksaan

urodinamik hanya diperlukan pada kasus-kasus yang belum jelas diagnosisnya dengan

pemeriksaan baku seperti USG dan MSU. Patut diingat bahwa pemeriksaan urodinamik pada

21

anak memerlukan waktu yang banyak dan membutuhkan kesabaran karena demikian banyaknya

instruksi yang harus diberikan dan tahapan pemeriksaannya sangat menyita waktu yang banyak.

Tidak semua rumah sakit memiliki alat urodinamik, namun di rumah sakit yang memiliki

klinik inkontinensia atau klinik spina bifida, seyogyanyalah alat ini tersedia. Namun meskipun

alat tersedia, tidak semua dokter spesialis anak mau memanfaatkannya karena alasan rumitnya

pemeriksaan dan menyita waktu. Meskipun tanpa pemeriksaan urodinamik, sebenarnya sebagian

besar kasus inkontinensia sudah dapat ditangani dengan baik hanya dengan pemeriksaan

konvensional yang ada asal dimanfaatkan secara optimal.

2.3.6 Penatalakasanaan

Penanganan kasus-kasus inkontinensia urin harus memperhatikan berbagai aspek antara

lain sebagai berikut:

• Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal

• Penanganan disfungsi vesiko-uretral ditujukan terhadap kelainan yang ditemukan secara nyata

• Penanganan harus realistis dengan memperhatikan kondisi neurologis yang diderita

• Penanganan adekuat terhadap infeksi yang menyertai disfungsi vesiko-ureteral

Dengan kata lain penanganan adekuat meliputi pengosongan buli-buli dengan baik,

penurunan tekanan intravesika, pencegahan ISK serta penatalaksanaan terhadap inkontinensia

sendiri tercapai, terutama pada anak yang cukup besar.

Rencana penanganan harus melihat kondisi kasus demi kasus. Tahapan permulaan

meliputi identifikasi gangguan fungsi ginjal serta pengobatannya. Bila sudah sempat terjadi

gangguan fungsi ginjal umumnya berkaitan dengan obstruksi aliran urin, baik sebagai akibat

dissinergia detrusor-sfingter atau stasis akibat obstruksi sfingter uretra distal. Bila disertai refluks

vesikoureter maka gangguan fungsi ginjal semakin berat.

Tahap berikutnya ialah evaluasi terhadap inkontinensia apakah perlu segera ditangani atau

tidak. Pada anak berusia 2-3 tahun misalnya penanganan terhadap inkontinensia dapat ditunda

sampai usia di mana inkontinesia yang dialami menimbulkan masalah sosial atau membuat malu

pasiennya. Selanjutnya ialah penilaian apakah kondisi pasien memungkinkan untuk suatu

tindakan, misalnya seorang anak dengan kelainan neurologis dan urologis yang berat, pemakaian

kateter dauer tampaknya lebih rasional dibandingkan dengan usaha lain yang lebih sulit dan lebih

invasif.

22

Tahapan selanjutnya ialah penilaian apakah ada tindakan khusus yang dapat dilakukan.

Dalam hal ini pemeriksaan urodinamik diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih akurat

untuk menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.

Untuk ini peranan subspesialistis sangat diperlukan, demikian juga kerja sama antar

disiplin seperti urologi, neurologi, pediatri dan rehabilitasi medik sangat dibutuhkan. Alternatif

tindakan dapat berupa pengobatan medikamentosa seperti pemberian oksibutinin, imipramin dan

sebagainya atau berupa tindakan urologik seperti sistoplastik, pemasangan sfingter artifisial atau

hanya sekedar clean intermittent catheterisation (CIC). Pengeluaran urin secara Crede1 tidak

dianjurkan karena tindakan ini dapat memperburuk refluks yang sudah ada dan dapat pula

memperburuk fungsi ginjal.

Tindakan lain seperti rekonstruksi leher buli-buli, stimulasi elektrik serta obat-obatan

sejenis betanechol, distigmin untuk mengurangi dissinergia detrusorsfingter pada umumnya

kurang bermanfaat. Di atas segalanya, perhatian, kesabaran dan dedikasi untuk menolong pasien

sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup kasus yang ditangani.

23

24

BAB 3

KESIMPULAN

Secara umum gangguan berkemih yang disebut mengompol dapat dibagi dalam dua

kelompok yaitu enuresis dan inkontinensia urin. Enuresis dianggap sebagai akibat maturasi

proses berkemih yang terlambat, umumnya tidak ditemukan kelainan organik yang nyata sebagai

penyebab, pengeluaran urin tidak disadari oleh penderita. Sedangkan inkontinensia urin

didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang terjadi tanpa kontrol (involunter) meskipun si pasien

berusaha sekuat mungkin menahannya (disadari oleh penderita), kencing bisa menetes dan tidak

lampias, terjadi seketika, biasanya ditemukan adanya kelainan organik yang nyata. Tetapi dalam

kenyataan sehari-hari, tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia urin.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Saunders Elsavier.

2007.

2. Sekarwana Nanan. Enuresis. UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:

2010.

3. Tambunan Taralan . Inkontinensia Urin. UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Jakarta: 2010.

4. Andersson, K.E., 2008. Neurophysiology and Pharmacology of the Lower Urinary Tract.

In: Tanagho, E.A., McAninch, J.W, ed. Smith’s General Urology Seventeenth Edition,

United States of America: Mc Graw Hill, 426-437.

5. De Gatta, M.F., Garcia, M.J., Acosta, A., 1984. Monitoring of Levels of Imipramine and

Demispamine and Individualization of Dose in Enuretic Children. In: Koff, S.A., 1997.

Non-neuropathic Vesicourethral Dysfunction in Children. In: O’Donnell, B., Koff, S.A.,

ed. Pediatric Urology, Oxford: Butterworth-Heinemann, 217-227.

6. Gauthier, B., Edelmann, C.M., Barnett, H.L., 1982. Management of Enuresis. In:

Gauthier, B., Edelmann, C.M., Barnett, H.L., ed. Nephrology and Urology for the

Pediatrician, United States of America: Little, Brown and Company, 295-298.

7. Gray, M., Moore, K.N., 2009. Primary Enuresis. In: Gray, M., Moore, K.N., ed. Urologic

Disorders Adult and Pediatric Care, United States of America: Mosby Elsevier, 436-443.

8. Guyton, A.C., Hall, J.E., 2008. Pembentukan Urin oleh Ginjal: I. Filtrasi Glomerulus,

Aliran Darah Ginjal, dan Pengaturannya. In: Guyton, A.C., Hall, J.E., ed. Buku Ajar

Fisiologi Kedokteran edisi 11, Jakarta: EGC, 324-343.

9. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A., 2010. Gangguan Eliminasi. In: Wiguna, I, ed.

Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis,

Tanggerang: Binapura Aksara, 799-805.

10. Sherwood, L., 2001. Sistem Kemih. In: Sherwood, L., ed. Fisiologi Manusia dari Sel ke

Sistem, Jakarta: EGC, 461-505.

11. Ward, J., Clarke, R., Linden, R., 2007. Pendahuluan Sistem Ginjal. In: Safitri, A.,

Astikawati, R., ed. At a Glance Fisiologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 62-63.

26