inkontinesia urin

28
Inkontinensia Urin Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat Pendahuluan Latar Belakang Lanjut usia merupakan bagian dari proses hidup. Jumlah lansia di berbagai negara semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup. Namun, tidak dapat dipungkiri semakin bertambahnya usia meningkatkan probabilitas seseorang untuk terserang penyakit-penyakit akibat degenerasi serta penurunan fungsi organ-organ dalam tubuh manusia (age linked disease). Salah satu permasalahan yang kerapkali timbul dan dialami oleh para lansia ialah inkontinensia, baik inkontenensia alvi maupun inkontinensia urin. Yang dimaksudkan dengan inkontinensia adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat menahan urine maupun feses dalam jumlah tertentu sehingga menimbulkan gangguan baik dari segi kesehatan maupun sosial. Jumlah urin maupun feses yang keluar dapat bervariasi dari hanya beberapa tetes sampai benar-benar banyak. Kondisi ini tentu saja memerlukan perawatan yang intensif dan bila ditangani dengan cermat, maka kemungkinan akan timbul berbagai macam komplikasi seperti infeksi saluran kemih, ulkus 1

Upload: joseph-king

Post on 15-Sep-2015

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Inkontinensia UrinFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat

Pendahuluan

Latar BelakangLanjut usia merupakan bagian dari proses hidup. Jumlah lansia di berbagai negara semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup. Namun, tidak dapat dipungkiri semakin bertambahnya usia meningkatkan probabilitas seseorang untuk terserang penyakit-penyakit akibat degenerasi serta penurunan fungsi organ-organ dalam tubuh manusia (age linked disease). Salah satu permasalahan yang kerapkali timbul dan dialami oleh para lansia ialah inkontinensia, baik inkontenensia alvi maupun inkontinensia urin. Yang dimaksudkan dengan inkontinensia adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat menahan urine maupun feses dalam jumlah tertentu sehingga menimbulkan gangguan baik dari segi kesehatan maupun sosial.Jumlah urin maupun feses yang keluar dapat bervariasi dari hanya beberapa tetes sampai benar-benar banyak. Kondisi ini tentu saja memerlukan perawatan yang intensif dan bila ditangani dengan cermat, maka kemungkinan akan timbul berbagai macam komplikasi seperti infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus, urosepsis hingga gagal ginjal yang dapat berujung pada meningkatnya mortalitas.

PembahasanGeriatri berasal dari kata gerontos dan iatros(penyakit); jadi ilmu geriatric adalah bagian dari ilmu kedokteran dan gerontology yang khusus mempelajari kesehatan dan penyakit-penyakit pada usia lanjut usia.Menurut WHO, batasan usia lanjut untuk Indonesia sampai saat ini masih 60 tahun ke atas. Sedangkan pasien geriatri mengacu pada pengertian bahwa selain berusia 60 tahun ke atas juga memiliki beberapa cirri tertentu yang membedakannya dari pasien usia lanjut maupun pasien dewasa muda lainnya.Pada usia lanjut terjadi proses menua pada berbagai organ yaitu:1. Komposisi tubuh: perubahan pada tubuh akibat proses menua antara lain massa otot berkurang dan massa lemak bertambah. Akibatnya, cairan tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan pada orang muda menjadi 45% dari berat badan wanita usia lanjut. Akibat osteoporosis, tinggi badan orang usia lanjut biasanya juga lebih rendah dibandingkan tinggi badan saat usia muda.2. Otak: pada orang usia lanjut yang sehat sekitar 10% mengalami atrofi difus. Selain itu, akibat hilangnya mekanisme autoregulasi otak, banyak orang usia lanjut menjadi rentan terhadap iskemia otak. Melambatnya proses informasi, menurunnya daya ingat jangka pendek, berkurangnya kemampuan untuk membedakan stimulus atau rangsang yang datang.3. Jantung: Perubahan pada denyut jantung akibat proses menua antara lain berkurangnya frekuensi jantung, respon terhadap stress, dan compliance ventrikel kiri. Elastisitas jaringan penyambung pembuluh darah berkurang dan kejadian aterosklerosis meningkat sehingga meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer.4. Paru: compliance paru dan rongga dada menurun, kapasitas vital berkurang, kekuatan otot pernapasan berkurang.5. Ginjal dan saluran kemih: Jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal berkurang. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah darah yang sampai ke ginjal.Kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar juga berkurang karena ketidakmampuannya untuk mengeluarkan urin yang encer.6. Gastrointestinal: motilitas lambung dan pengosongan lambung menurun. Absorpsi karbohidrat juga menurun juga produksi vitamin D menurun sehingga berpengaruh pada kejadian osteoporosis dan osteomalsia di usia lanjut.7. Muskuloskeletal: perubahan pada otot akibat proses menua cukup rumit dan sulit dipahami. Aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan menuanya seseorang, berkurangnya jumlah nutrient dan energi yang tersedia untuk otot.

A. AnamnesisPada anamnesis kita dapat langsung menanyakan pada pasien yang bersangkutan (auto-anamnesis) maupun keluarga pasien (allo-anamnesis) jika pasien tidak dapat berkomunikasi dengan baik akibat gangguan yang timbul pada usia lanjut (seperti sering lupa) atau dengan tujuan memperlengkap data pasien.Pada anamnesis yang dapat kita tanyakan adalah: Apakah pasien merasa ada sisa-sisa urine yang menetes setelah buang air kecil. Apakah disaat pasien melakukan kegiatan yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen seperti tertawa atau batuk tanpa sadar ia berkemih. Apakah ada kemungkinan pasien mengalami trauma tulang belakang sehingga menimbulkan refleks kencing. Seberapa besar volume urine yang keluar pada saat berkemih Apakah ada perubahan warna yang khas pada urine pasien serta adakah rasa nyeri saat berkemih Tanyakan apa pasien memiliki riwayat penyakit diabetes yang dapat meningkatkan volume urinTetap perhatikan umur pasien. Penyakit ini sangat berhubungan dengan kelompok usia yang sudah lanjut. Penderita usia muda kemungkinan mengalami ini karena trauma benturan. Selain itu jangan lupakan kemungkinan komplikasi yang terjadi seperti adanya infeksi saluran kemih dan ulkus dekubitus.1 Sedangkan pada wanita, inkontinensia dapat terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul karena sering melahirkan. Kemungkinan ini juga perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis.

B. Pemeriksaan FisikPada prinsipnya tidak diperlukan pemeriksaan fisik yang lebih lanjut karena dari anamnesis kita sudah bisa menyimpulkan terjadinya inkontinensia serta jenis inkontinensia yang terjadi.Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah palpasi dan perkusi untuk menentukan batas bawah abdomen dan batas atas rongga pelvis untuk mengetahui posisi vesika urinaria.2Pemeriksaan yang lebih lanjut dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium. C. Pemeriksaan PenunjangPada pasien dengan inkontenensia, berikut adalah jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik: Pemeriksaan Laboratorium Kultur Urin Sitologi Urin Gula darah, kalsium darah Uji fungsi ginjal USG ginjal Pemeriksaan Ginekologik Pemeriksaan Urologik Cystouretroskopi Uji Urodinamik Simpel Observasi proses pengosongan kandung kemih Uji batuk Cystometri simpel Kompleks Urin flowmetry Multichannel cystometrogram Pressure low study Leak point pressure Urethral pressure profilometry Video urodynamicPemeriksaan dengan prosedur khusus seperti diatas tidak dilakukan setiap saat. Pemeriksaan dapat dilakukan bila ada kasus dengan riwayat sebagai berikut: operasi atau radiasi daerah urogenital bawah, infeksi saluran kemih berulang, prolaps berat, hipertrofi prostat atau kanker, gagalnya kateterisasi, volume residu pasca miksi yang mencapai lebih dari 200 ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran kemih dan gagal terapi yang telah diberikan.3

D. Diagnosis KerjaBerdasarkan kasus yang ada dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut menderita inkontinensia campuran. Yaitu jenis inkontinensia gabungan antara inkontinensia urgensi dan inkontinensia stress.4 Inkontinensia urgensi disebabkan oleh aktivitas kandung kemih yang berlebihan. Inkontinensia tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Kelainan ini dibagi menjadi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik.Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti yang terjadi pada stroke, parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel maupun adanya lesi pada medula spinalis daerah suprasakral.1,2 Subtipe sensorik dapat disebabkan oleh hipersensitivas kandung kemih akibat cystisis, uretritis dan diverkulitis.Sedangkan inkontinensia stress disebabkan pengaruh melemahnya otot dasar panggul. Hal ini dapat terjadi pada lansia karena pengaruh umur yang menyebabkan semakin lemahnya fungsi otot-otot panggul. Faktor resiko sebagai wanita juga meningkatkan kemungkinan terjadinya inkontinensia stress. Wanita yang sering hamil dan melahirkan akan membutuhkan kerja otot panggul yang lebih sering untuk menahan janin selama usia kehamilan dan untuk membantu kontraksi pada proses partus/melahirkan. Peningkatan resiko pada wanita lansia juga dapat disebabkan karena penurunan kerja hormon estrogen pasca menopause.3

E. Diagnosis PembandingDiagnosis banding dari inkontinensia yang dialami ibu tersebut ialah jenis inkontinensia yang lainnya, yaitu:

Inkontinensia overflowKeadaan dimana pengeluaran urine terjadi akibat overdistensi kandung kemih. Dengan kata lain aktivitas kandung kemih menurun akibat kandung kemih terlalu melebar. Inkontinensia overflow dapat diakibatkan oleh trauma pada medula spinalis, stroke, diabetik neuropari serta pembedahan yang radikal pada pelvis. Pada laki-laki, dapat terjadi inkontinensia jenis overflow akibat hipertrofi prostat. Pada hipertrofi prostat, dapat terjadi obstruksi pada uretra pars prostatika. Hal ini dapat meningkatkan tegangan kandung kemih yang dapat menyebabkan pelebaran kandung kemih dalam jangka waktu yang terlalu lama. Yang akhirnya memicu terjadinya inkontinensia.4Inkontinensia ini umumnya diikuti dengan sering berkemih pada malam hari dengan volume yang kecil. Umumnya sisa urine setelah berkemih (biasanya 450 cc) dapat menjadi pembeda jenis inkontinensia ini dengan jenis yang lainnya. Inkontinensia fungsionalBerbagai penyakit seperti demensia berat, gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur) serta gangguan neurologik dan psikologik dapat menyebabkan penurunan berat pada fungsi fisik dan kognitif. Hal ini sangat mengganggu mobilisasi penderita sehingga penderita tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat.3

F. Gambaran KlinisPada inkontinensia urin gambaran umum adalah ketidakmampuan untuk menahan kemih sehingga secara tanpa sengaja terjadi proses berkemih tersebut. Penderita umumnya tidak sadar akan kondisinya. Yang dapat kita lihat adalah tanda bekas miksi di celana maupun rok pasien. Urine yang tersisa sering menimbulkan bau amoniak yang tajam dan khas sehingga kerapkali menurunkan kepercayaan diri pasien bila berada di hadapan orang banyak.Pada inkontinensia urin tipe urgensi umumnya ditandai dengan ketidamampuan pasien untuk menunda berkemih bila sensasi berkemih muncul. Akibatnya pasien sering kencing, terutama pada malam hari (nokturia).Pada inkontinensia urin tipe stress ciri yang paling khas adalah ketidakmampuan menahan kemih pada saat peninggian tekanan intraabdomen seperti batuk, bersin dan tertawa.5Inkontinensia urin tipe overflow merupakan inkontinensia yang ditandai dengan sering berkemihnya pasien pada malam hari dengan jumlah urin yang kecil. Yang dapat menjadi pembeda antara inkontinensia tipe ini dengan tipe urgensi dan tipe stress adalah sisa urin setelah berkemih yang dapat mencapai 450 cc. Pada laki-laki juga dapat terjadi inkontinensia overflow akibat hipertrofi prostat. Hal ini dapat dideteksi dengan frekuensi miksi yang sering namun volume urin kecil dan dapat tampak urin yang menetes setelah berkemih.Pasien dengan inkontinesia urin tipe fungsional sering disertai dengan gangguan fisik yang berat seperti gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur), demensia berat, gangguan neurologik dan psikologik. Pasien ini umumnya sangat lemah mobilitasnya sehingga tidak dapat mencapai tempat untuk berkemih seperti toilet. Oleh karena itu dalam penatalaksanaanya nanti harus dipikirkan bagaimana cara mengatasi toilet yang jauh, seperti dengan melakukan kateterisasi.Setelah memperhatikan gejala yang mungkin timbul, kita juga dapat menentukan apakah ada kemungkinan adanya inkontinensia campuran pada pasien dengan memperhatikan ciri dari tiap tipe tersebut.

G. PatofisiologiSecara normal proses berkemih merupakan proses dinamik yang memerlukan rangkaian koordiansi proses fisiologik yang berurutan. Secara umum terdapat 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.4Ada mekanisme yang berada di luar kendali dalam melaksanakan proses berkemih. Proses ini dikendalikan oleh sistem saraf. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kendali saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom.Vesika urinaria terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Saat otot detrusor berelaksasi terjadi pengisian kandung kemih, dan bila otot ini mengalami kontraksi maka urine yang telaha tertampung didalamnya akan dikeluarkan. Proses kontraksi ini berlangsung akibat kerja saraf parasimpatis, sedangkan penutupan sfingter vesika urinaria agar dapat menampung urin dikerjakan oleh saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.1,3 Mekanisme kerja pada otot detrusor melibatkan kerja otot itu sendiri, saraf pelvis, medula spinalis dan kontrol sistem saraf pusat yang mengontrol jalannya proses berkemih. Pada sistem saraf pusat ada bagian yang bernama pusat sobkortikal dan pusat kortikal. Ketika urine mulai mengisi kandung kemih, pusat subkortikal akan bekerja agar otot-otot pada kandung kemih dapat berelaksasi sehingga dapat berdistensi untuk menampung urin hasil proses di ginjal. Ketika pengisian ini berlanjut akan tercapai suatu volume tertentu (biasanya 200 ml) yang memicu pusat kortikal yang ada pada lobus frontal untuk bekerja mengurangi pasokan urine yang masuk ke dalam kandung kemih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas relaksasi yang menyebabkan pengisian urin ditimbulkan oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks serebri atau dengan kata lain bersifat menghambat proses miksi. Sedangkan pusat yang lebih rendah yaitu batang otak dan saraf supra spinal memfasilitasi proses miksi dengan mendukung proses kontraksi otot yang terjadi. Gangguan yang mungkin terjadi pada kedua bagian otak ini yang dapat menyebabkan pengurangan kemampuan penundaan pengeluaran urin.2Ketika terjadi desakan untuk berkemih, maka rangsang saraf dari daerah korteks akan disalurkan melalui medula spinalis ke saraf pelvis. Aksi saraf parasimpatis ini akan memicu terjadinya kontraksi. Namun kontraksi ini tidak hanya semata-mata tergantung kepada aktivitas saraf yang bersifat kolinergik. Otot detrusor memiliki reseptor prostaglandin. Obat-obat yang menyebabkan inhibisi pada prostaglandin tentu saja akan mempengaruhi kontraksi m. Detrusor. Selain itu kontaksi otot detrusor juga bergantung pada calcium-channel. Oleh karena itu bila pemberian calcium channel blocker seperti pada pasien hipertensi dapat menyebabkan terjadinya gangguan kontraksi kandung kemih.4Selain faktor dari kandung kemih, juga harus diperhatikan sfingter uretra baik yang interna dan eksterna. Proses kontraksi pada sfingter uretra dipengaruhi oleh aktivitas dari adrenergik alfa. Pengobatan yang sifatnya agonis terhadap adrenergik alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi dari sfingter sehingga menahan urin secara berkelanjutan. Sedangkan obat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Persarafan adrenergik beta dapat menyebabkan relaksasi pada sfingter uretra. Obat yang bersifat beta-adrenergic blocking dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontraktil adrenergik alfa.Perlu diperhatikan bahwa meskipun inkontinensia urin kebanyakan dialami pada lansia, sindrom ini bukanlah kondisi yang normal pada usia lanjut. Namun dapat dikatakan bahwa usia lanjut yang dapat menjadi faktor predesposisi (faktor pendukung) terjadinya inkontinensia urin. Proses menua akan menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan ini memiliki kaitan erat dengan menurunnya kadar estrogen pada wanita dan kadar androgen pada laki-laki. Perubahan yang terjadi meliputi penumpukan fibrosis dan kolagen pada dinding kandung kemih sehingga menyebabkan penurunan efektivitas fungsi kontraksi dan memudahkan terbentuknya trabekula maupun divertikula.3Atrofi pada mukosa, perubahan vaskularisasi pada daerah submukosa dan menipisnya lapisan otot uretra menyebabkan penurunan pada tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Selain itu pada laki-laki terjadi pembesaran prostat dan pengecilan testis sedangkan pada wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta peningkatan pH lingkungan vagina akibatnya kurangnya lubrikasi. Melemahnya fungsi otot dasar panggul yang disebabkan oleh berbagai macam operasi, denervasi dan gangguan neurologik dapat menyebabkan prolaps pada kandung kemih sehingga melemahkan tekanan akhir kemih keluar. Hal ini dapat memicu terjadinya inkontinensia.

H. Etiologi dan Tipe InkontinensiaPengetahuannya yang tepat akan penyebab inkontinensia sangat diperlukan agar dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat pula.5 Secara umum ada 4 penyebab pokok, yaitu: gangguan urologik: misalnya radang, batu, tumor dan divertikel. gangguan neurologik: misalnya stroke, trauma pada medula spinalis dan dementia. gangguan fungsional: misalnya hambatan pada mobilitas penderita. gangguan lingkungan: misalnya tidak tersedianya situasi berkemih yang memadai/sarana yang terlalu jauh.

Inkontinensia yang terjadi akibat gangguan diatas dapat dibagi atas: Inkontinensia urin akut, biasanya bersifat reversibel. Inkontinensia ini terjadi secara mendadak dan berkaitan dengan kondisi sakit akut maupun masalah pengobatan yang diberikan yang akan menghilang bila kondisi akut ini teratasi ataupun obat diberhentikan penggunaannya.Untuk mengingat dengan lebih mudah, maka para ahli memakai akronim DIAPPERS sebagai penyebab inkontinensia akut seperti yang dapat terlihat pada tabel.

Penyebab Inkontinensia Akut

D Delirium or acute confusional state

I Infection, Urinary

AAthropic vaginitis

P Pharmaceutical

PPsychologic disorders : depression

EEndocrine disorders

RRestricted mobility

SStoolilmpaction

Hal lain yang tidak dapat dilupakan ialah bahwa inkontinensia pada pria umumnya disebabkan oleh hipertrofi prostat. Hal ini menyebabkan obstruksi mekanik pada bagian distal kandung kemih yang akan menyebabkan urine tertahan dan menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter.5Penggunaan obat seperti diuretika, anti kolinergik, psikotropik, analgesik-narkotik, penghambat adrenergik alfa, agonis adrenergik alfa serta calcium channel blocker perlu diperhatikan karena memiliki efek terhadap saluran kemih dan dapat menyebabkan tercetusnya inkontinensia akut. Inkontinensia urin kronik/persistenAda dua hal yang melatarbelakangi inkontinensia kronik, yaitu kegagalan penyimpanan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung kemih dan kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran keluar.Inkontinensia yang menetap dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:1. Inkontinensia urgensiTipe ini ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih. Menifestasinya berupa seringnya berkemih dan nokturia. Kelainan ini dibagi atas dua subtipe yaitu subtipe motorik dan sensorik. Subtipe motorik dapat disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti pada penderita parkinson dan stroke, maupun adanya lesi pada saraf supraspinal. Subtipe sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sistisis, uretritis dan diverkulitis.5

2. Inkontinensia stressTerjadi akibat peningkatan tekanan intraabdominal seperti batuk, bersin, mengejan maupun tertawa yang kerapkali terjadi pada wanita yang sudah tua yang mengalami hipermobilitas uretra dan melemahnya otot dasar panggul akibatnya kurangnya kadar estrogen dan sering melahirkan.63. Inkontinensia fungsionalPenyababnya adalah penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Ini mungkin terjadi pada penderita demensia berat, gangguan mobilitas, neurologik dan psikologik.4. Inkontinensia luber (overflow)Inkontinensia ini paling jarang dijumpai. Pada inkontinensia ini terjadi penurunan aktivitas m. detrusor akibat gangguan pada persarafan sacrum yang merupakan persarafan bagi vesika urinaria.Dalam kenyataannya, keempat tipe ini saring saling bercampur pada pasien inkontinensia urin. Tipe campuran yang jamak dijumpai adalah campuran antara inkontinensia urgensi dan stress.

I. EpidemiologiKasus inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa malu dan menganggap tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolongnya. Penderita juga mendapat benturan sosial yaitu kondisi masyarakat sekitar yang akan menjauhinya bila ia diketahui menderita penyakit ini. Penelitian epidemiologi terhadap penyakit ini pun sulit untuk dilakukan karena beragamnya subjek penelitian, metode kuisioner dan definisi inkontinensia yang digunakan. Namun secara umum prevalensinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Sekitar 50% lansia di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Sedangkan berdasarkan gender, penyakit ini cenderung lebih sering dialami oleh wanita dengan perbandingan 1,5 : 1 terhadap pria.6 Berdasarkan survei oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM tahun 2002 pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta, didapati bahwa angka inkontinensia stress mencapai 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Poliklinik Geriatri RSCM pada tahun 2003 terhadap 179 pasien didapati angka kejadian inkontinensia urin stress pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%. Pada penelitian yang dilakukan di Australia, didapatkan 7% pria dan 12% wanita diatas usia 70 tahun mengalami inkontinensia. Sedangkan mereka yang dirawat, terutama di unit psiko-geriatri, 15-50% diantaranya menderita inkontinensia. Sedangkan melalui penelitiannya, seorang ahli bernama Fonda mendapatkan 10% pria dan 15% wanita diatas 65 tahun di Australia menderita inkontinensia.Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE) dengan 5204 orang sebagainya sampelnya, menyimpulkan suatu perkiraan bahwa 14,8 juta perempuan dewasa di Amerika Serikat menderita inkontinensia urin dengan sepertiganya (34,4%) merupakan inkontinensia urin tipe campuran.4 Seorang ahli bernama Dioko serta timnya melakukan penelitian pada 1150 orang secara acak dan mendapati 434 orang diantaranya menderita inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin, didapati bahwa 55,5% diantaranya merupakan tipe campuran, 26,7% merupakan tipe stress saja, 9% tipe urgensi saja dan 8,8% memiliki komplikasi lain.Seringkali penderita inkontinensia berpikir dengan mengurangi asupan cairan berupa minuman akan mengurangi frekuensi miksi. Namun hal ini akan berbahaya karena menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Kapasitas kandung kemih pun semakin lama akan semakin menurun yang justru akan memperberat keluhan inkontinensianya. Sebenarnya bila penyakit ini diobati secara tepat maka inkontinensianya dapat diupayakan menjadi lebih ringan sehingga penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang merawat serta mengurangi kemungkinan komplikasi serta biaya perawatan.

J. PenatalaksanaanAda beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin. Umumnya dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan. Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu modalitas terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara simultan.Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi: Terapi non farmakologis, yaitu: Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu) Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih)

Terapi medika mentosa Operasi KateterisasiKeberhasilan penanganan pasien inkontinensia sangat bergantung pada ketepatan diagnosis dalam penentuan tipe inkontinensia, faktor yang berkontribusi secara reversibel dan problem medik akut yang dialami.Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik dari pasien tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada pasien dan pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training, prompted voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan teknik yang menggunakan alat seperti stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku ini.5Apa saja intervensi tingkah laku yang dapat dilakukan? Berikut adalah daftar hal yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.a) Bladder training : merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal sehingga hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Misalnya awalnya interval waktu satu jam, kemudian ditingkatkan perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian untuk berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka ia diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan jumlah urin yang bocor.1,2Fakta yang menarik yang penulis dapatkan ialah bila seseorang tergoda untuk segera ke kamar kecil untuk muncul dorongan berkemih, maka kandung kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang tergesa-gesa tersebut. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia tipe stress maupun tipe urgensi.b) Latihan dasar otot panggul : merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh Arnold Kegel pada tahun 1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan tingkat perbaikan dan kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu wanita yang menderita inkontinensia berbagai tipe. Latihan yang dilakukan oleh Arnold Kegel ini sekarang lebih dikenal dengan nama Senam Kegel.2Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya dapat mengalami kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot pelvis dapat memperkuat otot-otot yang lemah di sekitar kandung kemih. Secara sederhana latihan yang dapat dilakukan dideskripsikan mirip dengan usaha otot kita sewaktu menahan untuk tidak flatus. Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10 menit untuk tiap kali latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik saat berbaring di tempat tidur. Pada saat melakukan latihan, usahakan bernapas dengan normal dan tidak menggunakan otot paha, betis dan perut. Setelah melakukan latihan ini selama 4-6 minggu, diharapkan akan ada perbaikan kondisi yaitu berkurangnya kebocoran urin.

c) Latihan untuk menahan dorongan berkemih : untuk mengurangi rasa ingin berkemih, cara ini dapat digunakan bila dorongan tersebut muncul: Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan agar mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih. Tarik napas teratur dan relaks. Kontraksikan otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu penutupan uretra dan menenangkan kandung kemih. Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum tiba waktunya.Latihan yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun bila dilakukan dengan sabar, hasilnya cukup memuaskan.5Sedangkan terapi biofeedback dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi involunter otot detrusor dari kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan kejutan kontraksi otot pelvis dengan alat bantu pada vagina dan rektum. Neuromodulasi merupakan terapi yang menggunakan stimulasi saraf sakral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara yang dapat menangani kandung kemih yang hiperaktif dengan baik.

Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inikontinensia tersebut.5

Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin:Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin

ObatDosisTipe InkontinensiaEfek Samping

Hyoscamin3 x 0,125 mgUrgensi atau campuranMulut kering, mata kabur, glaukoma, derilium, konstipasi

Tolterodin2 x 4 mgUrgensi atau OABMulut kering, konstipasi

Imipramin3 x 25-50 mgUrgensiDerilium, hipotensi ortostatik

Pseudoephedrin3 x 30-60 mgStressSakit kepala, takikardi, hipertensi

Topikal estrogenUrgensi dan StressIritasi lokal

Doxazosin4 x 1-4 mgBPH dengan UrgensiHipotensi postural

Tamsulosin1 x 0,4-0,8 mg

Terazosin4 x 1-5 mg

Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina.4,5Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah inkontinensia bila terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan. Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang menetap. Namun penggunaan kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin ini. Komplikasi yang dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter ialah timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran kemih.6Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Selain itu, ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan otot detrusor misalnya dengan menggunakan pendekatan postsakral maupun paravaginal. Teknik pembedahan ini contohnya ialah transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sitolisis.7

K. Pencegahan Ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terkena inkontinensia urin: Wanita disarankan untuk tidak untuk tidak melahirkan terlalu sering. Hal ini dikarenakan dapat melemahkan otot dasar panggul yang memicu prolapsis kandung kemih. Kondisi ini dapat menyebabkan inkontinensia urin tipe stress.7 Bagi wanita yang sering melahirkan, dapat mengikuti senam kegel sejak dini untuk menghindari resiko timbulnya inkontinensia di kemudian hari. Pria harus menjaga kesehatan prostatnya agar terhindar dari resiko timbulnya hipertrofi maupun keganasan pada prostat yang bisa menyebabkan timbulnya resiko inkontinensia tipe overflow. Pasien dengan penyakit demensia dan gangguan mobilitas harus mendapat akses ke kamar kecil yang lebih mudah. Pemasangan kateter sementara dapat dilakukan bila pasien tidak dapat bergerak sama sekali. Hal ini untuk mengurangi resiko timbulnya inkontinensia fungsional.

L. KomplikasiDari segi medis, komplikasi yang timbul dapat meliputi ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, urosepsis hingga gagal ginjal. Hal ini perlu diperhatikan saat melakukan pemeriksaan, apakah telah timbul komplikasi dari gejala awal inkontinensia.1Pada penggunaan kateterisasi yang menetap juga dapat timbul komplikasi seperti infeksi, batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses keganasan pada saluran kemih.

M. PrognosisPrognosis inkontinensia urin cukup baik bila ditekahui secara cepat dan tepat penyebabnya sehingga dapat diberikan terapi yang baik. Jarang ada kasus inkontinensia urin yang berujung pada komplikasi seperti gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.3Terapi sangat penting dalam mengatasi hal ini terutama terapi non-farmakologis sebagai sarana lapis pertama untuk mengatasi inkontinensia urin yang terjadi.

PENUTUP

Kesimpulan Inkontinensia urin merupakan penyakit yang jamak dijumpai pada usia lanjut yang dicirikan dengan ketidakmampuan menahan sensasi untuk berkemih. Umumnya penyakit ini dapat ditegakkan diagnosanya melalui anamnesis. Namun pada keadaan tertentu diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit ini. Inkontinensia urin dapat bersifat akut maupun kronik. Inkontinensia akut yang tidak ditangani secara baik dapat menjadi inkontinensia kronik. Inkontinensia kronik terbagi atas inkontinensia tipe urgensi, stress, overflow, dan fungsional. Data yang ada menunjukkan bahwa wanita lebih rentan terhadap inkontinensia urin dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan berbagai resiko yang dialami wanita seperti melemahnya otot dasar panggul akibat terlalu sering melahirkan. Penatalaksanaan penderita inkontinensia urin meliputi terapi non-farmakologis, terapi farmakologis dan pembedahan. Ketiganya harus dilakukan secara berurutan. Langkah pembedahan melalui kateterisasi menetap umumnya sebagai jalan terkahir namun tetap memiliki resiko terjadinya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA1. Martono HH, Pranarka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.h.226-41.2. Baradero M, Siswati Y. Asuhan keperawatan klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC; 2009.h.92-101.3. Brockelhurst JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for students 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003.h.73-91.4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. edisi 5 jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-875.5. Hardman GJ, Limbird LE, Gillman AG. Dasar farmakologi terapi. edisi 10. Jakarta : EGC; 2008; 2: h.312-23.6. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. edisi 20. Jakarta : EGC; 2004.h.116-139.7. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi kedokteran edisi revisi. Jakarta : Binarupa Aksara Publisher; 2009.h.107-115.

11