referat dvi

59
REFERAT DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI) PADA BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAN SERANGAN TERORISME BOM BALI I Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh Program Pendidikan Studi Profesi Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Disusun oleh : Aboesina Sidiek 22010112210078 FKUNDIP Vidya Leliana 22010112210122 FKUNDIP Innes Angita 22010111200084 FKUNDIP Amalina Dyani P. 1210221012 FKUPN Novriani 1210221018 FKUPN Maulvi Nazir 1210221048 FKUPN Hairunnisa 1210221049 FKUPN

Upload: amalinadyani

Post on 28-Apr-2015

347 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT DVI

REFERAT

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

PADA BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI

DAN SERANGAN TERORISME BOM BALI I

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh

Program Pendidikan Studi Profesi Kedokteran Umum

Fakultas Kedokteran

Disusun oleh :

Aboesina Sidiek 22010112210078 FKUNDIP

Vidya Leliana 22010112210122 FKUNDIP

Innes Angita 22010111200084 FKUNDIP

Amalina Dyani P. 1210221012 FKUPN

Novriani 1210221018 FKUPN

Maulvi Nazir 1210221048 FKUPN

Hairunnisa 1210221049 FKUPN

Destiana Lisnawati 1210221068 FKUPN

Residen Pembimbing : dr. Istiqomah, M.H.Kes

Dosen Penguji : dr. Ratna Relawati, Sp.KF, M.Si

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG

PERIODE 10 DESEMBER 2012 – 5 JANUARI 2013

Page 2: REFERAT DVI

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga referat yang berjudul “Disaster

Victim Identification (DVI) Pada Bencana Letusan Gunung Merapi dan Serangan

Terorisme Bom Bali I” dapat terselesaikan dengan baik. Referat ini dibuat sebagai

salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal di RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Kiranya dapat penulis kemukakan bahwa tidak mungkin referat ini dapat

diselesaikan tanpa bantuan, dorongan serta kerjasama berbagai pihak dengan

sepenuh hati, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. dr. Ratna Relawati Sp.KF, M.Si selaku dosen penguji referat.

2. dr. Istiqomah, M.H.Kes selaku residen pembimbing penyusunan referat.

3. Seluruh staf Instalasi Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang.

4. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal Fakutas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr.

Kariadi Semarang.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Karena itu

penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan di dalamnya. Penulis juga

mengharapkan kiritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan

referat ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini bisa bermanfaat bagi

para pembaca. Atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Semarang, Desember 2012

Penulis

Page 3: REFERAT DVI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah .................................................................................... 3

C. Tujuan ......................................................................................................... 3

D. Manfaat ....................................................................................................... 3

E. Metode Penulisan ........................................................................................ 4

BAB II

A. Identifikasi .................................................................................................. 5

1. Definisi Identifikasi ................................................................................... 5

2. Prinsip Identifikasi .................................................................................... 6

3. Manfaat Identifikasi .................................................................................. 7

4. Peran Dokter Pada Proses Identifikasi ...................................................... 7

5. Teknik Identifikasi Jenazah ....................................................................... 9

B. Disaster Victim Identification ..................................................................... 14

1. Definisi DVI .............................................................................................. 14

2. Tahap DVI ................................................................................................. 16

3. Metode Identifikasi .................................................................................... 21

4. Identifikasi Korban .................................................................................... 22

C. Bencana ....................................................................................................... 24

1. Definisi Bencana ....................................................................................... 24

2. Tipe Bencana ............................................................................................. 25

Page 4: REFERAT DVI

3. Tingkat Kerusakan .................................................................................... 26

4. Masalah Akibat Bencana ........................................................................... 26

5. Manajemen Bencaca .................................................................................. 27

D. Bencana Letusan Gunung Merapi ............................................................... 27

1. Waktu dan Tempat Kejadian ..................................................................... 29

2. Pelaksanaan DVI ....................................................................................... 29

3. Hasil Kegiatan ........................................................................................... 30

4. Kendala Kegiatan ...................................................................................... 30

E. Serangan Terorisme Bom Bali I .................................................................. 31

1. Waktu dan Tempat Kejadian ..................................................................... 32

2. Pelaksanaan DVI ....................................................................................... 32

3. Hasil Kegiatan ........................................................................................... 32

4. Kendala Kegiatan ...................................................................................... 33

BAB III

A. Kesimpulan ................................................................................................. 34

B. Saran ............................................................................................................ 35

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 36

Page 5: REFERAT DVI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau

dengan batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129

gunung merapi. Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan diantara 3

lempeng tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia dan Mediterania) dan

secara demografi terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang

sosial dan budaya, dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa

Indonesia berisiko tinggi sebagai negara yang rawan terjadi bencana.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia

melaporkan telah terjadi kurang lebih 13458 kasus bencana massal di

Indonesia selama periode 1815 hingga 2012. Bencana massal didefinisikan

sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau karena ulah

manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang

menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan

lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat

untuk menanggulanginya.

Berdasarkan penyebabnya bencana massal dibedakan menjadi 2 tipe.

Pertama, Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah

longsor dan sejenisnya. Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai Man Made

Disaster yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti: kecelakaan

udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia

yang telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme.

Page 6: REFERAT DVI

Selain itu bencana juga dapat digolongkan sebagai bencana terbuka

dan tertutup. Bencana terbuka mengakibatkan kematian sejumlah individu

dimana tidak diketahui untuk siapa, tidak terdapat catatan sebelumnya

sehingga sulit mendapatkan informasi tentang jumlah sebenarnya korban

setelah peristiwa tersebut, misalnya pada bencana alam letusan gunung

Merapi, serangan terorisme bom Bali, tsunami Aceh, dll. Bencana tertutup

terjadi pada sejumlah individu milik kelompok dimana terdapat data

sehingga proses diidentifikasi lebih cepat dilakukan dibandingkan bencana

terbuka. (misalnya pesawat kecelakaan dengan daftar penumpang).

Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim

medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban

yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim

khusus pula yang disebut Disaster Victim Identification (DVI).

DVI adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat

bencana yang dapat di pertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan

ilmiah serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan

untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses

penyidikan dan penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status

perkawinan) serta dapat dipertanggungjawabkan. Dalam prosesnya DVI

mempunyai 5 fase, dimana masing – masing fase memiliki keterkaitan satu

dengan lainnya.

Pada referat ini akan dibahas mengenai DVI pada letusan Gunung

Merapi dan serangan terorisme bom Bali 1. Letusan Gunung Merapi (2010)

di Yogyakarta menewaskan 165 orang sedangkan serangan teroris bom Bali

Page 7: REFERAT DVI

(2002) menewaskan 202 orang. Kedua bencana tersebut merupakan bencana

terbuka berupa Natural Disaster dan Man Made Disaster dimana lebih sulit

dalam proses identifikasi korban dibandingkan bencana tertutup karena

tidak terdapat data sebelumnya, sehingga DVI sangat penting dilakukan

dalam kasus tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana pelaksanaan Disaster Victim Identification (DVI) pada bencana

letusan Gunung Merapi dan serangan terorisme bom Bali 1 ?

C. Tujuan

1. Mengetahui proses identifikasi jenazah

2. Mengetahui prosedur Disaster Victim Identification (DVI)

3. Mengetahui pelaksanaan Disaster Victim Identification (DVI) pada

bencana letusan Gunung Merapi dan serangan terorisme bom Bali 1

D. Manfaat

1. Bagi Departemen Forensik dan Medikolegal

Mendapatkan data mengenai Disaster Victim Identification (DVI) pada

letusan gunung Merapi dan serangan terorisme bom Bali 1.

2. Bagi Kepaniteraan Kedokteran forensik dan Medikolegal

Memahami penerapan Disaster Victim Identification (DVI) pada letusan

gunung Merapi dan serangan terorisme bom Bali 1.

Page 8: REFERAT DVI

3. Bagi Penulis

Memenuhi tugas referat kepaniteraan klinik bagian ilmu Kedokteran

Forensik dan Medikolegal serta menambah pengetahuan mengenai

Disaster Victim Identification (DVI).

E. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan referat ini adalah tinjauan

kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

Page 9: REFERAT DVI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. IDENTIFIKASI

1. Definisi Identifikasi

Identifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti

sebagai berikut : pertama , tanda kenal diri; bukti diri; kedua, penentu

atau penetapan identitas seseorang, benda, dan sebagainya; ketiga, proses

psikologi yang terjadi pada diri seseorang arena secara tidak sadar

membayangkan dirinya seperti orang lain yang dikaguminya, lalu dia

meniru tingkah laku orang yang dikaguminya itu.

Identifikasi forensik memiliki arti penetapan identitas seseorang

berdasarkan ilmu kedokteran yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta

medis. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan

tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang.

Identifikasi dari tubuh yang tak dikenal, baik hidup ataupun mati, dapat

dilakukan bagi kepentingan penyidikan perkara pidana dan bagi tugas

kepolisian yang lain, misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan

yang mengakibatkan korban massal (mass disaster) atau pada peristiwa

ditemukannya seseorang dengan demensia atau kelainan jiwa yang sulit

diajak berkomunikasi.

Kepentingan dilakukannya identifikasi adalah sebagai upaya

memenuhi hak dasar setiap individu untuk memiliki identitas semasa

hidup ataupun setelah mati, dan untuk memudahkan penanganan masalah

Page 10: REFERAT DVI

hukum perdata ataupun pidana antara orang yang meninggal dengan

keluarga yang ditinggalkan.

2. Prinsip Identifikasi

Dalam proses Identifikasi diperlukan dua aspek :

a. Aspek pengumpulan data identitas; baik ante-mortem maupun post-

mortem

b. Aspek komparasi; antara data ante-mortem dengan post-mortem

untuk menentukan korban

Prinsip dari proses identifikasi adalah membandinkan data antemortem

dengan post-mortem, semakin banyak yang cocok semakin baik.

Data yang digunakan untuk menentukan identitas seseorang, meliputi :

a. Identifikasi primer, meliputi pemerikasaan sidik jari, data gigi dan

deoxyrebose nucleic acid (DNA),

b. Identifikasi sekunder, yakni data visual seperti pakaian ataupun

perhiasan, data kepemilikan seperti obat-obatan dan gigi palsu, data

dokumentasi seperti kartu identitas atau foto, dan data medis yaitu

ciri tubuh, jenis kelamin, golongan darah, dan lain-lain.

Kedudukan data identifikasi primer memiliki nilai yang lebih tinggi

dibandingkan data identifikasi sekunder. Korban dinyatakan positif

teridentifikasi apabila satu atau lebih ukuran identifikasi primer terbukti

dengan atau tanpa data sekunder, atau minimal dua data identifikasi

sekunder yang cocok bila data primer tidak ada.

Page 11: REFERAT DVI

3. Manfaat Identifikasi

a. Mengungkap kasus tindak pidana

b. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengurus sertifikat kematian.

c. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengetahui status pernikahan

atau untuk melakukan pernikahan kembali.

d. Untuk masalah hukum perdata lainnya, seperti menentukan hak

pengurusan rumah atau tanah, hak waris, dll.

e. Mengetahui asal-usul manusia, penyebarannya dan lain sebagainya

4. Peran Dokter Pada Proses Identifikasi

Dalam melakukan identifikasi, dokter diharapkan dapat :

a. Membedakan jenazah manusia atau bukan

Apabila hanya di temukan tulang, terkadang tulang antara

hewan dengan manusia mirip. Namun dengan pemeriksaan yang

teliti dapat dibedakan tulang tersebut berasal dari manusia atau

hewan. Untuk tulang yang tidak teridentifikasi dapat ditentukan

tulang manusia atau tulang hewan dengan pemeriksaan imunologik

(precipitin test).

b. Membedakan jenazah laki-laki atau perempuan

Pada keadaan dimana jenis kelamin tidak mungkin dilakukan

dengan pemeriksaan luar, maka penentuan jenis kelamin dapat

dilakukan dengan cara :

1) Jaringan lunak tertentu

Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang tahan

terhadap pembusukkan dan dapat digunakan untuk menentukan

Page 12: REFERAT DVI

jenis kelamin. Selain itu pemeriksaan seks kromatin dari sampel

jaringan lunak atau tulang rawan pun bisa dilakukan.

Pemeriksaan tersebut sering digunakan untuk menentukan jenis

kelamin pada mayat yang terpotong-potong.

2) Tulang-tulang tertentu

Beberapa tulang pada laki-laki dan perempuan jelas

perbedaannya, antara lain tengkorak, pelvis, tulang panjang,

rahang dan gigi.

3) Memperkirakan umur

Tulang dan gigi dapat memberikan informasi bagi

perkiraan umur manusia. Namun signifikansi pemeriksaan

tulang bergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur,

dikelompokkan menjadi kelompok fetus, neonatus, anak-anak,

remaja dan dewasa. Pada kelompok fetus dan neonatus,

pemeriksaan difokuskan pada inti penulangan dengan

pemeriksaan ronsenologik atau otopsi. Pada anak hingga remaja

umur 20 tahun yang paling berguna adalah pemeriksaan epifisis.

Pada kelompok dewasa, dapat melihat penutupan sutura,

perubahan sudut rahang dan adanya proses penyakit pada tulang

4) Menentukan tinggi badan jenazah

Tinggi badan merupakan salah satu informasi penting

yang digunakan untuk melacak identitas. Perlu diketahui bahwa

ukuran tinggi badan orang yang sudah meninggal biasanya

sedikit lebih panjang sekitar 2,5 sentimeter dari pada tinggi

Page 13: REFERAT DVI

badan waktu hidup. Jika jenazah tidak utuh, maka penentuan

tinggi badan dapat dilakukan dengan meggunakan tulang

panjang.

5. Teknik Identifikasi Jenazah

Untuk mengidentifikasi jenazah, dapat digunakan berbagai teknik, yaitu :

a. Dokumentasi kejadian

b. Pengenalan visual

Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada

orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau

temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum

membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan tubuhnya,

oleh lebih dari satu orang. Besar kemungkinan adanya faktor emosi

yang mengaburkan pembenaran atau penyangkalan identitas

jenazah.

c. Penyesuaian data antemortem dan postmortem

Cara pengumpulan data ante-mortem adalah sebagai berikut :

1) Melalui Unit polisi pencarian orang hilang dalam DVI

Pengumpulan data berupa nama, alamat, nomor telpon yang

bisa dihubungi dari keluarga korban serta data medis korban.

2) Odontologis

Forensik odontology harus menghubungi seluruh dokter gigi

yang pernah melakukan perawatan gigi terhadap korban.

Data tersebut harus asli dan meliputi: odontogram, radiograf,

cetakan gigi dan fotograf.

Page 14: REFERAT DVI

Data post-mortem meliputi :

1) Sidik jari

2) Data dan foto dari pakaian, perhiasan, tato

3) Pemeriksaan patologi forensik

Data yang paling sering digunakan adalah odontology forensic.

Data postmortem dapat dikumpulkan pada tempat kejadian

perkara (TKP). Setelah data antemortem dan postmortem yang di

kumpulkan oleh tim yang berbeda terkumpul, kemudian dibawa ke

pusat identifikasi untuk dicocokkan (matching). Proses identifikasi

menggunakan 2 metode, yaitu metode sederhana dan metode

ilmiah.

d. Metode obyektif atau ilmiah

Metode ilmiah dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

1) Sidik Jari

Identifikasi menggunakan pola sidik jari merupakan

teknik biometrik tertua di dunia.Sejarahnya kembali ke

zaman 6000 tahun sebelum masehi. Penggunaan sidik jari

telah tercatatkan oleh bangsa Assyiria, Babilonia Jepang dan

Cina.Bangsa Cina menggunakan sidik jari sebagai alat

identifikasi penulis dari suatu dokumen.Sejak tahun 1897,

dactyloscopy (identifikasi sidik jari tanpa berbasis komputer)

telah digunakan untuk identifikasi kejahatan.

Karakteristik sidik jari setiap orang adalah unik dan

tidak akan berubah selama hidup. Berdasarkan penelitian

Page 15: REFERAT DVI

peluang dua orang memiliki sidik jari yang sama lebih kecil

dari satu dalam satu milyar.

Odentifikasi sidik jari dilakukan dengan mencocokkan

pola karakteristik yang khas, yang diketahui sebagai detail

Galton, point of identity atau minutiae, dan pemanding

minutiae adalah cetak referensi berupa cap sidik jari

menggunakan tinta dari sidik jari tersangka.

Ada tiga gambaran dasar dari bentuk karakter dasar, yaitu :

a) The ridge ending

b) The bifurcation

c) The dot or island

Dalam satu sidik jari terdapat lebih dari 100 poin yang

digunakan dalam identifikasi. Tidak ada ukuran jumlah pasti

poin identifikasi yang ditemukan pada luas area tertentu

tergantung dari lokasi penempelan. Contoh, daerah delta

mungkin mengandung lebih banyak poin permilimeter

persegi dibanding daerah ujung jari.

2) Rekam gigi

Merupakan metode identifikasi yang memiliki banyak

keunggulan, yaitu :

a) Gigi resisten terhadap pembusukan dan pengaruh

lingkungan yang ekstrim

Page 16: REFERAT DVI

b) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan

gigi dan restorasi gigi membuat identifikasi gigi

memiliki ketepatan tinggi

c) Kemungkinan adanya data antemortem berupa rekam

gigi

d) Terlindung oleh otot bibir dan pipi, trauma akan

mengenai otot-otot tersebut lebih dahulu.

e) Bentuk gigi geligi di dunia tidak sama, kemungkinan

sama satu banding dua miliar

f) Gigi tahan panas hingga 400HC

g) Gigi tahan asam keras.

Batasan dari forensik odontologi terdiri dari :

a) Identifikasi dari mayat tak dikenal.

b) Penentuan umur

c) Pemeriksaan jejas gigit

d) Penentuan ras berdasarkan gigi

e) Analisis dari trauma orofasial

f) Dental jurisprudensi berupa keterangan saksi ahli

g) Peranan pemeriksaan DNA dalam identifikasi personal

3) DNA

DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi

genetik yang berfungsi untuk mengatur perkembangan

biologik seluruh bentuk kehidupan secara seluler.DNA terdiri

dari dua molekul yang membentuk struktur double helix.

Page 17: REFERAT DVI

Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan

sebagai sampel tes DNA, tapi yang sering digunakan adalah

sampel darah, rambut, apusan pipi, dan kuku. Untuk kasus

forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel

biologis lainnya yang di temukan di TKP dapat menjadi

sampel tes DNA.

a) Tujuan Tes DNA

Tujuan pribadi : penentuan perwalian anak

atau penentuan orang tua dari anak.

Tujuan hukum : meliputi masalah forensik,

seperti identifikasi korban yang telah hancur,

sehingga butuh pencocokkan antara DNA korban

dengan keluarga, ataupun pembuktian pelaku

kejahatan.

b) Metode tes DNA :

STR ( Short Tandem repeat)

STR adalah lokus DNA yang tersusun atas

pengulangan 2-6 basa. Dalam genom manusia

dapat ditemukan pengulangan basa yang

bervariasi jumlah dan jenisnya. Dengan

memprofilkan DNA menggunakan STR, DNA

dapat dibandingkan satu sama lain.

PCR (Polymerase Chain Reaction)

Page 18: REFERAT DVI

PCR merupakan teknik yang

memungkinkan sintesis wilayah DNA tertentu.

Yang memungkinkan peneliti membuat berjuta-

juta salinan DNA dalam waktu singkat untuk

kemudian di identifikasi.

B. DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

1. Definisi DVI

DVI atau Disaster Victim Identification adalah satu definisi yang

diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati

akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan

dan mengacu kepada standar baku interpol.

Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi

didukung oleh para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik,

ahli sidik jari, ahli DNA, fotografer, dan tim bantuan lain. Prosedur DVI

diperlukan dalam menegakkan HAM, merupakan bagian dari proses

penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, serta untuk kepentingan

hukum (asuransi, warisan, dan status perkawinan).

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan

data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka

akan semakin baik. Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka

mencapai identifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,

sempurna dan paripurna dengan semaksimal mungkin sebagai wujud dari

kebutuhan dasar hak asasi manusia,dimana seorang mayat pempunyai

hak untuk dikenali.

Page 19: REFERAT DVI

DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal,

seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar,

kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan

pada bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.

Rujukan Hukum :

a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri

c. UU No.23 tentang kesehatan

d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster

Victim Identification

f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004

g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003

2. Tahap DVI

Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya

mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut

yaitu :

a. Fase I – TKP (The Scene)

Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian

peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas

yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas

jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan

komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi

personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan

Page 20: REFERAT DVI

bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab

komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu

(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus

sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi

berikut :

1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian

koordinat untuk area bencana

2) Perkiraan jumlah korban

3) Keadaan mayat

4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI

5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu

proses DVI

6) Metode untuk menangani mayat

7) Transportasi mayat

8) Penyimpanan mayat

9) Kerusakan properti yang terjadi

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di

situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to

secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect

atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah

documentation atau pelabelan.

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando

DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar

Page 21: REFERAT DVI

TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain

adalah :

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak

berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil

pers, dll), misalnya dengan memasang police line.

2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.

3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang

berkepentingan.

4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk

mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke

lokasi bencana.

5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk

menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.

6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang

harus meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando

DVI harus mengumpulkan korban – korban bencana dan

mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin

dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin

komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara

memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor

dan label pada korban.

Page 22: REFERAT DVI

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang

sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat

untuk kemudian dievakuasi.

b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh

paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi

wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada

fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya

dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–

lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data

jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :

1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi

jenazah korban

2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun

pemeriksaan dalam jika diperlukan

3) Pemeriksaan sidik jari

4) Pemeriksaan rontgen

5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang

merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang

identik pada 2 orang yang berbeda

6) Pemeriksaan DNA

7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara

keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan,

Page 23: REFERAT DVI

tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh

korban.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke

dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :

1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)

2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi

medis)

Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif,

Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu

minimal apabila salah satu identifikasi primer dan atau didukung

dengan minimal dua dari identifikasi sekunder.

Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga

sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–

perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan

meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat

pembusukan.

c. Fase III – Ante Mortem

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah

sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga

jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang

diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri –

ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman

pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup,

sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi –

Page 24: REFERAT DVI

informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan

identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang

dikenakan korban.

d. Fase IV – Rekonsiliasi

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem

dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang

terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post

mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban

yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan

terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.

Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka

identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap

disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan

temuan post mortem jenazah.

e. Fase V – Debriefing

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga

didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada

keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak

teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan

sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan

post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung

jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi

jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk

Page 25: REFERAT DVI

penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan

jenazah.

3. Metode Identifikasi

Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan

data ante mortem dengan post mortem yang didapatkan dari :

a. Bukti sirkumstansial (pakaian, perhiasan, dan isi kantong)

b. Bukti fisik, yang diperoleh dari :

1) Pemeriksaan eksternal, misal : deskripsi secara umum,

maupun sidik jari.

2) Pemeriksaan internal, misal : bukti medis, hasil pemeriksaan

gigi geligi (dental record), hasil labolatorium, dan identifikasi

genetik.

4. Identifikasi Korban

Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data :

a. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian

namun terdaftar sebagai korban selamat)

b. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian

Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk

beberapa tim atau unit, diantaranya :

a. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :

1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record

unit)

2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)

3) Daftar korban (Victim list)

Page 26: REFERAT DVI

b. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri

dari :

1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)

2) Tim pencari (Search teams)

3) Tim dokumentasi (Photography)

4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)

5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery

team)

6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah

(Morgue Station)

c. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :

1) Unit keamanan (Security unit)

2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)

3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)

4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:

a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)

b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)

c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)

d) Unit media (Post-mortem medical unit)

e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)

d. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :

1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre

file section)

Page 27: REFERAT DVI

2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre

specialized section), terdiri dari :

a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography

section)

b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)

c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property

section)

d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)

e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)

f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)

g) Badan identifikasi (Identification board)

h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)

C. BENCANA

1. Definisi Bencana

Setiap kejadian yang mengakibatkan kerusakan, gangguan ekologi,

kematian serta memburuknya sarana dan pelayanan kesehatan dalam

skala yang cukup besar sehingga perlu mendapatkan respon yang luar

biasa (extraordinary respons) dari luar atas komunitas atau area yang

terkena imbasnya.

Bencana massal itu sendiri didefinisikan sebagai suatu peristiwa

yang disebabkan oleh alam ataupun ulah manusia, yang dapat terjadi

secara tiba-tiba atau perlahan-lahan yang menyebabkan hilangnya jiwa

manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui

kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya.

Page 28: REFERAT DVI

Bencana tidak memilih lokasi tertentu, tetapi dapat terjadi disetiap

tempat di dunia kapan saja, meski ada tempat-tempat tertentu yang

sangat berpotensi menimbulkan bencana jenis tertentu.

Menurut UU No.24 Tahun 2007, terdapat tiga macam bencana, yaitu :

a. Bencana alam (natural disaster)

Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian

peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa

bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,

dan tanah longsor.

b. Bencana non alam

Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa

nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal

modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial

Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian

peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik

sosial antar kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

2. Tipe Bencana

a. Meteorological Disasters

Cyclones, typhoons, hurricanes, hailstorms, tornadoes, heat waves,

sand and snow-storms.

b. Topological Disasters

Landslides, avalanches, mudslides, and floods.

Page 29: REFERAT DVI

c. Underground Disaster

Earthquakes, volcanic eruptions, and tsunamis (tidal waves).

d. Biological Disaster

Communicable disease epidemics (anthrax, small-pox, and other

dangerous bacteria), insect / locust.

e. Man Made Disaster

1) Warfare,

2) Civil disaster (riots, demonstrations, strikes),

3) Criminals or terrorist (bombs, chemical, or biological attacts),

4) Accidents (plane, trucks, buses, buildings collapse, mines

explosion, fires, dams and bridges destruction), severe air

pollution,

5) Famines,

6) Nuclear accidents,

7) Toxicological accidents.

3. Tingkat Kerusakan

a. Total Collapse :

Kerusakan infrastruktur menyeluruh.

b. Partial Collapse :

Kerusakan infrastruktur bersifat parsial.

c. Functional Collapse :

Tidak terjadi kerusakan infrastruktur yg berarti, tetapi fungsi

kepemerintahan, instansi dan fungsi RS terhenti karena stafnya ikut

menjadi korban.

Page 30: REFERAT DVI

4. Masalah Akibat Bencana

a. Injury :

Cidera yang dialami tergantung dari jenis bencana yang terjadi

dan biasanya menimpa banyak orang.

b. Emotional stress :

Korban bencana biasanya mengalami stres emosi dalam

berbagai tingkatan (ringan sampai berat).

c. Disease occurrence :

Berjangkitnya penyakit disebabkan kurangnya persediaan air

bersih, makanan yang tidak dimasak dengan baik serta kondisi

lingkungan yang rusak.

5. Manajemen Bencana

Manajemen bencana (disaster) dibagi menjadi :

a. Disaster mitigation.

b. Disaster preparedness.

c. Disaster response.

d. Disaster recovery.

e. Handling public & media during a disaster.

D. BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI

Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung

berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api

teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi

Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam

wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat,

Page 31: REFERAT DVI

Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi

tenggara.

Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern

mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali

dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548,

gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Letusan-letusan kecil terjadi

tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan

bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan panas ke bawah hingga

menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa manusia. Letusan

19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan

korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-

2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus. Pada tahun

2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi dan sempat menelan dua

nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena terkena terjangan awan

panas. Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010

dievaluasi sebagai yang terbesar sejak letusan 1872.

Letusan tipe ini mengeluarkan lava kental sehingga menyumbat mulut

kawah. Akibatnya, tekanan gas menjadi semakin bertambah kuat dan

memecahkan sumbatan lava. Sumbatan yang pecah-pecah terdorong ke atas

dan akhirnya terlempar keluar. Material ini menuruni lereng gunung sebagai

ladu atau gloedlawine. Selain itu, terjadi pula awan panas (gloedwolk) atau

sering disebut wedhus gembel. Letusan tipe merapi sangat berbahaya bagi

penduduk di sekitarnya.

Page 32: REFERAT DVI

1. Waktu dan Tempat Kejadian

a. 26 Oktober 2010, Gunung Merapi memasuki tahap erupsi. Menurut

laporan BPPTKA, letusan terjadi sekitar pukul 17.02 WIB.

Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan diiringi

keluarnya awan panas setinggi 1,5 meter yang mengarah ke

Kaliadem, Kepuharjo. Letusan ini menyemburkan material

vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km.

b. 27 Oktober 2010, Gunung Merapi pun meletus. Dari sekian lama

penelitian gunung teraktif di dunia ini pun meletus.

c. 28 Oktober 2010, Gunung Merapi memuntahkan Lava pijar yang

muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada

pukul 19.54 WIB.

2. Pelaksanaan DVI

Disaster Victim Identification (DVI) membuka posko pengaduan

orang hilang di RS Sardjito, untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat yang mencari anggota keluarganya yang mungkin menjadi

korban letusan gunung merapi.

Proses identifikasi menggunakkan metode :

a. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya,

khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang

pernah dibuat masih tersimpan dengan baik.Pemeriksaan gigi ini

menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan

membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran dan yang

teridentifikasi dengan menggunakan data gigi (odontogram)

Page 33: REFERAT DVI

maupun kesehatan umum (medical record) sekitar 59,3%. Selain

itu, tim DVI juga telah melakukan pengambilan sampel DNA

terhadap seluruh jenazah, sehingga apabila ada keluarga yang

menginginkan dilakukan tes tersebut, tim DVI siap melakukannya.

b. Identifikasi sekunder seperti mengenali ciri fisik dan barang yang

dipakai korban sehingga seluruh jenazah diharapkan dapat

teridentifikasi. Dalam kasus bencana alam sarana identifikasi yang

dapat membantu sebagian besar dari properti yang menempel pada

tubuh korban.

3. Hasil Kegiatan

Berdasarkan data yang diterima posko DVI per 5 November

2010,warga yang dilaporkan hilang sebagian besar berasal dari

Kabupaten Sleman, tepatnya di Dusun Bronggang, Plumbon, Kecamatan

Ngancar dan di Kelurahan Argomulyo, Kecamatan Cangkringan. Usia

dan jenis kelamin warga yang hilang bervariasi.

4. Kendala Kegiatan

a. Puluhan jenazah tidak mudah diidentifikasi karena kondisinya

sudah rusak. Korban meninggal letusan gunung merapi sebagian

besar sulit dikenali akibat luka bakar. Sebagian besar korban

mengalami luka akibat awan panas sehingga tubuhnya mengalami

“melepuh” dengan luka bakar yang bervariasi antara 40% - 90%

dan korban yang terkena lahar mengalami luka bakar derajat empat

dan mengalami karbonisasi sehingga sulit diidentifikasi.

Page 34: REFERAT DVI

b. Ada beberapa hambatan sehingga tim belum mampu menenbus

sejumlah wilayah, jalan beraspal menuju lokasi masih tertimbun

abu tebal, kondisi tanah juga sangat gembur sehingga tanah bisa

runtuh, kaki akan terasa panas jika tidak hati- hati melangkah,

akses masuk dusun tidak mudah karena sulit dilalui kendaraan dan

aktivitas Merapi juga masih fluktuatif. Saat berada dilokasi tim

mengalami kendala akibat masih banyak material vulkanik yang

panas menyebabkan hawa panas dan abu tebal.

c. Tidak adanya ruangan penyimpanan jenazah sehingga

dikhawatirkan jenazah tersebut akan semakin memburuk jika tidak

segera diidentifikasi.

E. SERANGAN TERORISME BOM BALI I

Bom Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I) adalah rangkaian tiga

peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober

2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di

Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor

Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Rangkaian

pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul

oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di

Bali pada tahun 2005.

Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah

dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan

berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX

berbobot antara 50-150 kg.

Page 35: REFERAT DVI

1. Waktu dan Tempat Kejadian

Bom Bali, 12 Oktober 2012, tiga ledakan mengguncang Bali.

Kegiatan identifikasi dilaksanakan setiap hari mulai tanggal 13 Oktober

2012 mulai pukul 08.00 s/d 18.00 WITA bertempat di Rumah Sakit

Sanglah, Denpasar, Bali.

2. Pelaksanaan DVI

Proses identifikasi menggunakan prosedur dan formulir DVI Interpol

yang berlaku secara International.

a. Metode sederhana, seperti visual, kepemilikan korban, pakaian,

kartu identitas. Namun hal ini sulit dilakukan karena korban sudah

dalam kondisi hancur

b. Hasil metode sederhana di atas dipastikan dengan metode ilmiah

seperti : sidik jari, data gigi, data medis, serologis dan DNA.

3. Hasil Kegiatan

Korban meninggal seluruhnya adalah 184 orang yang terdiri dari

berbagai warganegara dan yang telah melapor adalah : Indonesia,

Australia (terbanyak), Belanda, Denmark, Jepang, Taiwan, Korea,

Belanda, Inggris, Amerika, dan lain-lain.

Selanjutnya dapat disampaikan bahwa :

a. Telah terbentuk Tim DVI Kasus Legian Kuta Bali yang terdiri dari

personel berbagai Negara.

b. Tim bekerja dengan solid dan menitikberatkan dengan akurasi

identifikasi serta mencapai proses matching.

Page 36: REFERAT DVI

4. Kendala Kegiatan

a. Keberatan masyarakat adat Bali yang tidak menghendaki jenazah

berlama lama di rumah sakit tanpa dikubur atau dibakar.

b. Proses identifikasi memerlukan keakurasian, sehingga tdak dapat

dipaksakan untuk diperpendek waktunya.

c. Proses pembusukan mayat dengan berbagai resiko timbulnya bau

dan sumber penyakit berjalan terus.

Page 37: REFERAT DVI

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Identifikasi dalam bidang forensik dilakukan untuk membantu penyidik

dalam melakukan penetapan identitas seseorang. Dalam proses

identifikasi diperlukan dua aspek, yaitu aspek pengumpulan data ante-

mortem maupun post-mortem dan aspek komparasi antara kedua data

tersebut. Data yang digunakan untuk menentukan identitas jenazah

meliputi data identifikasi primer (sidik jari, odontologi, dan DNA) dan

data identifikasi sekunder (pakaian, perhiasan, kartu identitas, foto, data

medis, dll).

2. DVI adalah sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat

bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan

mengacu kepada standar baku interpol. Terdapat lima fase dalam

prosedur DVI yaitu, TKP, pengumpulan informasi post-mortem, ante-

mortem, perbandingan data ante-mortem dan post-mortem, dan

debriefing. Seseorang positif teridentifikasi apabila memenuhi salah satu

identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari

identifikasi sekunder.

3. Pelaksanaan DVI pada bencana letusan merapi dengan membuka posko

pengaduan di RS Sardjito. Metode identifikasi primer menggunakan foto

gigi atau rekam gigi dan sampel DNA dari seluruh jenazah sehingga bila

ada keluarga yang melakukan tes tersebut, tim DVI siap melakukannya.

Identifikasi sekunder menggunakan properti yang menempel pada tubuh

Page 38: REFERAT DVI

korban. Sedangkan pelaksanaan DVI pada bencana bom Bali 1, metode

identifikasi sekunder sulit dilakukan sehingga digunakan data identifikasi

primer seperti odontologi, serologis, dan DNA.

B. SARAN

1. Bagi Departemen Forensik dan Medikolegal agar menambah referensi

mengenai DVI sebagai acuan pembelajaran di kepaniteraan kedokteran

Forensik dan Medikolegal.

2. Bagi kepaniteraan kedokteran Forensik dan Medikolegal agar melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai DVI dan penerapannya dalam berbagai

bencana yang terjadi, terutama di Indonesia.

3. Agar dapat menerapkan prosedur DVI dalam melakukan identifikasi

pada bencana massal.

Page 39: REFERAT DVI

DAFTAR PUSTAKA

Asep M. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Penanggulangan Bencana.

Bandung: Fokus Media; 2007. h.1-62.

Badan Nasional penanggulangan Bencana. Diunduh dari: http://

http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/profiletab.jsp, [22 Desember 2012]

Eddy S. DVI in Indonesia an Overview.DVI Workshop, Bandung; 2006

Diunduh dari http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1287-rsup-

dr-sardjito-terima-rujukan-korban-letusan-merapi.html [24 Desember 2012]

Diunduh dari http://www.jpnn.com/read/2010/10/21/75074/index.php?mib=

berita.detail&id=76599 [24 Desember 2012]

Guide interpol avaliable at http://www.interpol.int/Media/Files/INTERPOL

Expertise/DVI/DVI-Guide [24 Desember 2012]

International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification Guide,

GB Version: 2011

Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M.Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi

Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004. h.1–

234.