referat dan preskas kulit evi syahrinawati

43
Referat dan Presentasi Kasus DERMATITIS KONTAK ALERGI Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian / SMF Ilmu Kedokteran Keluarga (Family Medicine) Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Disusun Oleh : Evi Syahrinawati 0707101010074 1

Upload: rizevi

Post on 09-Aug-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dermatitis kontak alergi

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

Referat dan Presentasi Kasus

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik SeniorBagian / SMF Ilmu Kedokteran Keluarga (Family Medicine)

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaBanda Aceh

Disusun Oleh :

Evi Syahrinawati0707101010074

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KELUARGA( FAMILY MEDICINE)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALABANDA ACEH

2013

1

Page 2: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

KATA PENGANTAR

Puji Dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat

yang berjudul “ DERMATITIS KONTAK ALERGI” yang akan diajukan penulis untuk

melengkapi tugas-tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian

Kedokteran Keluarga (Family Medicine).

Shalawat beserta salam marilah selalu kita sanjung sajikan kepada baginda nabi

besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh dengan

kegelapan kea lam yang terang benderang seperti saat ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak

terhingga kepada semua pembimbing penulis yang telah memberikan waktu dan

kesempatannya untuk membimbing dalam proses penulisan hingga mempresentasikan

kasus ini, sehingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian presentasi

kasus ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan itu,

penulis mengaharapkan kritik dan saran demi perbaikan presentasi kasus ini. Semoga

presentasi kasus ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, Januari 2012

Penulis

2

Page 3: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,

skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul

bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung

residif dan menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011).

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau

substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak

yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA),

keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi

peradangan kulit nonimunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa

didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada

seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk,

2011).

Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena

hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).

Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan

bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh

masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidensi DKA di

masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran

belum didapat (Sularsito, dkk, 2011).

Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan

DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa

dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan

60 persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat

kerja tiga kali lebih sering dari pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia

3

Page 4: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui

pada anak-anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-

laki. Bangsa kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain

(Sumantri, dkk, 2005).

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul

umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses,

disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum

sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor

berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis

perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban

lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit

pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status

imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari) (Sularsito,

dkk, 2011).

Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan

untuk menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan

dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis

numularis, atau psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin

dihindari(misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat

pada lingkungan penderita) dapat menyebabkan prognosis menjadi kurang baik.

Oleh karena itu penting untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat

menurunkan morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.

B. Tujuan

1. Mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Dermatitis Kontak

Alergi

2. Mengetahui etiologi dan predisposisi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

3. Mengetahui patofisiologi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

4. Mengetahui penegakan diagnosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

5. Mengetahui penatalaksanaan pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

6. Mengetahui prognosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

7. Mengetahui komplikasi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

4

Page 5: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : An. R

Umur : 5 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Lamdingin

No. ID : 441

2.2 Anamnesa ( Dilakukan secara aloanamnesis)

a. Keluhan Utama:

Gatal dan kering pada kulit tungkai bawah kanan dan kiri yang kambuh sejak

seminggu yang lalu.

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan gatal dan kering pada kulit tungkai bawah kanan

dan kiri yang kambuh sejak seminggu yang lalu. Mulanya pada awal bulan

Februari, muncul bentol-bentol kecil sepanjang tungkai bawah kanan dan kiri.

Kemudian ibu dari pasien mengobati dengan minyak tawon pada bentol-bentol

tersebut. Bentol-bentolnya hilang, namun kulitnya berubah menjadi sangat

merah dan gatalnya tidak hilang. Beberapa hari kemudian, kulit tungkai bawah

kanan & kiri pasien mengelupas dan menjadi kering. Gatalnya tetap tidak

hilang.

Ibu pasien lalu membawa pasien ke praktek bidan dan diberi salep cina

berwarna hijau, saat ibu pasien memakaikan salap tersebut os mengaku

kakinya menjadi dingin, namun keluhan gatal tidak berkurang bahkan kaki os

semakin kering.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan serupa seperti pasien.

5

Page 6: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum baik

Status dermatologis : Pada ekstremitas inferior dextra dan sinistra ditemukan

lesi plakat berbatas tegas dengan tepi yang tidak aktif. Lesinya

hiperpigmentasi, berskuama, erosi dan xerosis.

2.4 Pemeriksaan Penunjang : Tidak dilakukan

2.5 Diagnosa Banding

1. Dermatitis kontak alergi

2. Dermatitis kontak iritan

3. Dermatitis Atopi

4.Tinea Korporis

2.6 Diagnosa

Dermatitis kontak alergi akibat pemakaian minyak tawon

2.7 Pengobatan

Oral : CTM 4mg ( 3dd 1 )

Dexamethasone 0,5 mg 3x1

B complex tab 2x1

Topikal : Kloramfenikol+hidrokortison 10mg salap ( 2xsehari - pagi

malam )

2.7 Prognosis

Baik, bila pasien mengkonsumsi obat secara teratur dan menghindari alergen

penyebab (minyak tawon)

2.8 Anjuran

Mengkonsumsi obat secara teratur dan menghindari allergen penyebab

6

Page 7: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang

timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).

3.2 Etiologi dan Predisposisi

a. Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa

bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga

disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh

potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit

(Djuanda, 2005).

Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-

tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi

terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison

oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu

campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya

adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen,

pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut,

obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan

parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).

b. Predisposisi

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.

Misalnya antara lain:

a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):

1) Potesi sensitisasi allergen

2) Dosis per unit area

3) Luas daerah yang terkena

4) Lama pajanan

5) Oklusi

7

Page 8: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

6) Suhu dan kelembaban lingkungan

7) Vehikulum

8) pH

b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):

1) Keadaan kulit pada lokasi kontak

Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum

korneum.

2) Status imunologik

Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar

matahari.

3) Genetik

Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya

mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena

alergi nickel (Thysen, 2009).

4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang

masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai

contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus

higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi

sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga

sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila

dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang

rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan

kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit

terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

3.3 Patofisiologi

Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang

oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif

dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia

tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam

menembus stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan

protein kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel

8

Page 9: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat

mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.

Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah

disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas

langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).

Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi

yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan

mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan

sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut.

Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas

khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas

setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan-

bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).

Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan

penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang

relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika

mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema.

Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan

dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki

rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).

Skema Patogenesis DKA

9

Kontak Dengan Alergen secara Berulang

Alergen kecil dan larut dalam lemak disebut

hapten

Menembus lapisan corneum

Sel langerhans keluarkan sitokin

IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-7, MHC I dan II

Page 10: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

10

Difagosit oleh sel Langerhans dengan

pinositosis

Hapten + HLA-DR

Membentuk antigen

Dikenalkan ke limfosit T melalui CD4

Sitokin akan memproliferasi sel T

dan menjadi lebih banyak dan memiliki

sel T memori

Sitokin akan keluar dari getah bening

Beredar ke seluruh tubuh

Individu tersensitisasi

Fase Sensitisasi (I)

2-3 minggu

Fase Elitisasi (II)

24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi lebih kompleks

Page 11: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

3.4 Penegakan Diagnosis

1. Anamnesa

Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal

(Sularsito, 2010).

Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit

berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,

likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah

penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat

dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat

pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,

kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit

11

Proliferasi dan ekspansi sel T di kulit

IFN – γ → keratinosit → LFA -1, IL-1, TNF-α

Eikosanoid (dari sel mast dan keratinosit

Dilatasi vaskuler dan peningkatan

permeabilitas vaskuler

Molekul larut (komplemen dan klinin) → ke epidermis

dan dermis

Faktor kemotaktik, PGE2 dan OGD2, dan leukotrien B4 (LTB4) dan eiksanoid

menarik → neutrofil, monosit ke dermis

Respons klinis DKA

Page 12: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan

maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA

didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1

berikut.

Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).

Demografi dan riwayat

pekerjaan

Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status

pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,

paparan berulang dari alergen yang didapat saat

kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam

keluarga

Faktor genetik, predisposisi

Riwayat penyakit

sebelumnya

Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-

obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang

spesifik

Onset, lokasi, pengobatan

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola

kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.

Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di

ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua

kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang

cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit

lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).

Lokasi Kemungkinan Penyebab

Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya

memasak makanan (getah sayuran, pestisida)

dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.

Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu

12

Page 13: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

semen, dan tanaman.

Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada

di pakaian.

Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,

alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai

kacamata).

Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.

Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep

mata.

Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai

kacamata, obat topikal, gagang telepon.

Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat

warna pakaian.

Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet

(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut

atau pewangi pakaian.

Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,

pembalut wanita, alergen yang berada di

tangan, parfum, kontrasepsi.

Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,

sepatu/sandal.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati

beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau

bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan

karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang

timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa

dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,

vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

13

Page 14: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.

Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada

bibir

c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab

dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal,

tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon.

Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta

bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis

pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada

emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada

dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak

kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian

leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan

plastik

14

Page 15: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil,

zat warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,

bahan pelembut atau pewangi pakaian. Dermatitis kontak pada perut

karena pasien alergi pada karet dari celananya. Terlihat adanya

eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena

alergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data anti septik, obat topikal, nilon,

kondom, pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum,

kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah

vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat

eritema

15

Page 16: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

f. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat

disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat

topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontak alergi

yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.

Kaki mengalami skuama, krusta

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Uji Tempel

Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran

morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,

dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis

banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).

Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan

untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi

(Sularsito, 2010).

16

Page 17: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.

Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya

kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung

digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin

dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta

gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut

dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak

mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,

hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila

pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,

maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut

yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan

pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn

chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat

bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5

sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena

iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji

tempel (Sularsito, 2010):

1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam

keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau

17

Page 18: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan

penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.

2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah

pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun

dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian

prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen

kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif

palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi

hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.

3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;

pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah

aplikasi.

4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji

tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena

memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi

sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar

punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai

pembacaan terakhir selesai.

5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap

penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan

(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria

generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam

ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel

dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,

agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.

Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)

2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)

3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)

4 = meragukan : hanya makula eritematosa

18

Page 19: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)

6 = reaksi negatif (-)

7 = excited skin

8 = tidak dites (NT=non tested)

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu

setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.

Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara

respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak

lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah

96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk

melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi

(Sularsito, 2010).

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.

Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik

biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,

berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe

crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi

tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b. Pemeriksaan Histopalogi

19

T.R.U.E. Test® (Mekos Laboratories, Hillerod, Denmark) patch-test.

A. Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%.

Page 20: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:

1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang

didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.

2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,

kulit normal tidak perlu diikutsertakan.

3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi

adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi

sekunder.

4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.

5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/

banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.

6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan

jaringan subkutis.

7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan

fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya

menjadi keras dan sel-selnya mati.

8) Lalu dikirim ke laboratorium

9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-

Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein

dan Giemsa.

10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X

volume jaringan

11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan

hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal

dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,

menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema

dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara

histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).

1) Epidermis (Sularsito, 2010):

a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum

korneum.

20

Page 21: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

b) Hiperplastik, akantosis yang luas.

c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini

ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan

spinosus.

d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul

normal.

2) Dermis (Sularsito, 2010):

a) Limfosit perivesikuler

b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi

c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,

spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis

yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan

beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,

2010).

4. Gold Standard Diagnosis

Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu

dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di

punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar

buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.

21

Page 22: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa

bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal

dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada

sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau

walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh

karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan

bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel

dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).

4 Penatalaksanaan

1. Non medikamentosa

a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan

pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan

infeksi (Morgan, dkk, 2009)

b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena

dermatitis kontak alergi

c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas

yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)

d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan

perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan

penyebab alergi

2. Medikamentosa

a. Simptomatis

Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)

sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09

mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan

rasa gatal

b. Sistemik

1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali

2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari

22

Page 23: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika

(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis

3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari

c. Topikal

1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari

3. Pencegahan

Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut

(Sumantri, dkk, 2005). :

a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena

dermatitis kontak alergi

b. Menghindari substansi allergen

c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen

d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika

tidak ada sabun bilas dengan air

e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen

f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan

pakaian lain

g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen

h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas

yang berisiko terhadap paparan alergen

5 Prognosis

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan

kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis

bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh

faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)

(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis

kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari

misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di

lingkungan penderita(Djuanda, 2005).

6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh

bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya

23

Page 24: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku

menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga

menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu

dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan

kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen

simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

24

Page 25: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

BAB IV

PENJELASAN

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang terjadi karena

pajanan ulang pada kulit secara langsung dengan substansi alergenik, dan

mekanisme yang mendasari proses terjadinya DKA termasuk reaksi

hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis

berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, linefikasi)

dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin

hanya beberapa (oligomorfik). dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.

Sinonim dermatitis adalah eksem. Ada yang membedakan antara dermatitis dan

eksem, tetapi pada umumnya menganggap sama.

Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan

kimia, fisik (contoh : sinar), mikroorganisme (bakteri, jamur); dapat pula dari

dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui pasti.

Banyak macam dermatitis yang belum diketahui patogenesisnya, terutama

yang penyebabnya fakktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang

dermatitis kontak, baik yang tipe alergik maupun iritan primer. Pada umumnya

penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium

penyakit, batasnya dapat tegas dapat pula tidak tegas, penyebarannya dapat

setempat, generalisata, bahkan universalis.

Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula,

erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (medidans). Stadium subakut, eritema

berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis

tampak lesi kronis, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul, mungkin

juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu

berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa

kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu

harus polimorfi, mungkin hanya oligomorfi.

25

Page 26: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan

klasifikasi dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya yang multi faktor, tetapi

juga karena seseorang dapat menderita lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu

yang bersamaan atau bergantian.

Ada yang memberi nama berdasarkan etiologi (contoh : dermatitis kontak,

radiodermatitis, dermatitis medikamentosa), morfologi (contoh : dermatitis

papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis medidasns, dermatitis eksfoliativa),

bentuk (contoh : dermatitis numularis), lokalisasi (contoh : dermatitis

interdigitalis, dermatitis intertriginosa, dermatitis manus, dermatitis generalisata),

dan ada pula yang berdasarkan lama atau stadium penyakit (contoh : dermatitis

akut, dermatitis subakut, dermatitis kronis).

Perubahan histopatologi dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis,

bergantung pada stadiumnya. Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa

vesikel atau bula, spongiosis, edema intrasel, dan eksositosis, terutama sel

mononuklear. Dermis sembab, pembuluh darah melebar, ditemukan sebukan

terutama sel mononuklear; eosinofil kadang ditemukan, bergantung pada

penyebab dermatitis. Kelainan pada stadium subakut hampir seperti stadium

akut, jumlah vesikel di epidermis berkurang, spongiosis masih jelas, epidermis

tertutup krusta, dan parakeratosis; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih

tampak jelas, demikian pula sebukan sel radang.

Epidermis pada stadium kronis, hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis,

rete ridges memanjang, kadang ditemukan spongiosis ringan; vesikel tidak ada

lagi. Papila dermis memanjang (papilamatosis), dinding pembuluh darah menebal,

dermis terutama di bagian atas bersebukan sel radang mononuklear, jumlah

fibroblas dan kolagen bertambah.

Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menyingkirkan

penyebabnya. Tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multi faktor, kadang

juga tidak diketahui pasti, maka pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan

menghilangkan/mengurangi keluhan dan menekan peradangan.

Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin, atau antihistamin

dikombinasi dengan antiserotonin, antibradikinin, anti-SRA, dan sebagainya. Pada

kasus akut dan berat dapat diberi kortikosteroid.

26

Page 27: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

Prinsip umum terapi topikal diuraikan di bawah ini:

1. Dermatitis akut/basah (medidans) harus diobati secara basah (kompres

terbuka). Bila subakut, diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum

(pasta pendingin). Krim diberikan pada daerah yang berambut, sedang pasta

pada daerah yang tidak berambut. Bila kronik, diberi salap.

2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah persentase obat spesifik.

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah

upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan

menekan kelainan kulit yang timbul.

Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi

peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema,

edema, bula atau vesikel, serta eksufatif (madidans), misalnya prednison 30

mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan

kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.

Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah

mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan

kortikosteroid topikal.

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan

kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila

bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis

numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin

dihindari.

27

Page 28: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

BAB V

KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul

setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.

2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan

kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan

kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi

alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai

dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,

papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering,

berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.

4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel

(patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.

5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta

nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk

mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi kortikosteroid, mencegah

infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk mengurangi rasa gatal

dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk nonmedikamentosa adalah

dengan menghindari alergen.

28

Page 29: Referat Dan Preskas Kulit Evi Syahrinawati

DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI

Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an

update. Tersedia dalam :

http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/

contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf.

Diakses pada tanggal 22 November 2012

Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.

Jakarta: FK UI

Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik

Edisi 2. Jakarta : EGC

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses

Penyakit. Jakarta : EGC.

Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC

Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi ke 5. Jakarta : FKUI

Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI

Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin. Jakarta : FKUI.

Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak.

Yogyakarta : Fakultas Farmasi UGM

Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact

Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy

Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,

University of Copenhagen .

Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di

RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan.

Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372

diakses pada tanggal 11 November 2012.

29