referat dan preskas kulit evi syahrinawati
DESCRIPTION
dermatitis kontak alergiTRANSCRIPT
Referat dan Presentasi Kasus
DERMATITIS KONTAK ALERGI
Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik SeniorBagian / SMF Ilmu Kedokteran Keluarga (Family Medicine)
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaBanda Aceh
Disusun Oleh :
Evi Syahrinawati0707101010074
BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KELUARGA( FAMILY MEDICINE)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALABANDA ACEH
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji Dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “ DERMATITIS KONTAK ALERGI” yang akan diajukan penulis untuk
melengkapi tugas-tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian
Kedokteran Keluarga (Family Medicine).
Shalawat beserta salam marilah selalu kita sanjung sajikan kepada baginda nabi
besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh dengan
kegelapan kea lam yang terang benderang seperti saat ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pembimbing penulis yang telah memberikan waktu dan
kesempatannya untuk membimbing dalam proses penulisan hingga mempresentasikan
kasus ini, sehingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian presentasi
kasus ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan itu,
penulis mengaharapkan kritik dan saran demi perbaikan presentasi kasus ini. Semoga
presentasi kasus ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, Januari 2012
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul
bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung
residif dan menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011).
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau
substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak
yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA),
keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi
peradangan kulit nonimunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk,
2011).
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).
Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan
bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh
masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidensi DKA di
masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran
belum didapat (Sularsito, dkk, 2011).
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan
60 persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat
kerja tiga kali lebih sering dari pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia
3
tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui
pada anak-anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-
laki. Bangsa kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain
(Sumantri, dkk, 2005).
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis
perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban
lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit
pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status
imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari) (Sularsito,
dkk, 2011).
Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan
untuk menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan
dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis
numularis, atau psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin
dihindari(misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat
pada lingkungan penderita) dapat menyebabkan prognosis menjadi kurang baik.
Oleh karena itu penting untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat
menurunkan morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Dermatitis Kontak
Alergi
2. Mengetahui etiologi dan predisposisi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
3. Mengetahui patofisiologi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
4. Mengetahui penegakan diagnosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
5. Mengetahui penatalaksanaan pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
6. Mengetahui prognosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
7. Mengetahui komplikasi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi
4
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : An. R
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lamdingin
No. ID : 441
2.2 Anamnesa ( Dilakukan secara aloanamnesis)
a. Keluhan Utama:
Gatal dan kering pada kulit tungkai bawah kanan dan kiri yang kambuh sejak
seminggu yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan gatal dan kering pada kulit tungkai bawah kanan
dan kiri yang kambuh sejak seminggu yang lalu. Mulanya pada awal bulan
Februari, muncul bentol-bentol kecil sepanjang tungkai bawah kanan dan kiri.
Kemudian ibu dari pasien mengobati dengan minyak tawon pada bentol-bentol
tersebut. Bentol-bentolnya hilang, namun kulitnya berubah menjadi sangat
merah dan gatalnya tidak hilang. Beberapa hari kemudian, kulit tungkai bawah
kanan & kiri pasien mengelupas dan menjadi kering. Gatalnya tetap tidak
hilang.
Ibu pasien lalu membawa pasien ke praktek bidan dan diberi salep cina
berwarna hijau, saat ibu pasien memakaikan salap tersebut os mengaku
kakinya menjadi dingin, namun keluhan gatal tidak berkurang bahkan kaki os
semakin kering.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan serupa seperti pasien.
5
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum baik
Status dermatologis : Pada ekstremitas inferior dextra dan sinistra ditemukan
lesi plakat berbatas tegas dengan tepi yang tidak aktif. Lesinya
hiperpigmentasi, berskuama, erosi dan xerosis.
2.4 Pemeriksaan Penunjang : Tidak dilakukan
2.5 Diagnosa Banding
1. Dermatitis kontak alergi
2. Dermatitis kontak iritan
3. Dermatitis Atopi
4.Tinea Korporis
2.6 Diagnosa
Dermatitis kontak alergi akibat pemakaian minyak tawon
2.7 Pengobatan
Oral : CTM 4mg ( 3dd 1 )
Dexamethasone 0,5 mg 3x1
B complex tab 2x1
Topikal : Kloramfenikol+hidrokortison 10mg salap ( 2xsehari - pagi
malam )
2.7 Prognosis
Baik, bila pasien mengkonsumsi obat secara teratur dan menghindari alergen
penyebab (minyak tawon)
2.8 Anjuran
Mengkonsumsi obat secara teratur dan menghindari allergen penyebab
6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
3.2 Etiologi dan Predisposisi
a. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit
(Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-
tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi
terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison
oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu
campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya
adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen,
pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut,
obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan
parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
b. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.
Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
7
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi
Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai
contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus
higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi
sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga
sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang
rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan
kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit
terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
3.3 Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang
oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif
dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia
tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam
menembus stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan
protein kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel
8
kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat
mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah
disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas
langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi
yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan
sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut.
Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas
khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas
setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan-
bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan
penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang
relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika
mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema.
Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan
dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
Skema Patogenesis DKA
9
Kontak Dengan Alergen secara Berulang
Alergen kecil dan larut dalam lemak disebut
hapten
Menembus lapisan corneum
Sel langerhans keluarkan sitokin
IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-7, MHC I dan II
10
Difagosit oleh sel Langerhans dengan
pinositosis
Hapten + HLA-DR
Membentuk antigen
Dikenalkan ke limfosit T melalui CD4
Sitokin akan memproliferasi sel T
dan menjadi lebih banyak dan memiliki
sel T memori
Sitokin akan keluar dari getah bening
Beredar ke seluruh tubuh
Individu tersensitisasi
Fase Sensitisasi (I)
2-3 minggu
Fase Elitisasi (II)
24-48 jam
Pajanan ulang
Sel T memori
Aktivasi sitokin inflamasi lebih kompleks
3.4 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal
(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat
dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat
pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit
11
Proliferasi dan ekspansi sel T di kulit
IFN – γ → keratinosit → LFA -1, IL-1, TNF-α
Eikosanoid (dari sel mast dan keratinosit
Dilatasi vaskuler dan peningkatan
permeabilitas vaskuler
Molekul larut (komplemen dan klinin) → ke epidermis
dan dermis
Faktor kemotaktik, PGE2 dan OGD2, dan leukotrien B4 (LTB4) dan eiksanoid
menarik → neutrofil, monosit ke dermis
Respons klinis DKA
kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan
maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA
didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat
pekerjaan
Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam
keluarga
Faktor genetik, predisposisi
Riwayat penyakit
sebelumnya
Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-
obat yang digunakan, tindakan bedah
Riwayat dermatitis yang
spesifik
Onset, lokasi, pengobatan
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di
ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua
kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit
lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).
Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).
Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
12
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut
atau pewangi pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati
beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau
bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan
karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa
dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.
13
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir
c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon.
Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta
bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis
pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada
emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada
dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan
plastik
14
d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil,
zat warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahan pelembut atau pewangi pakaian. Dermatitis kontak pada perut
karena pasien alergi pada karet dari celananya. Terlihat adanya
eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena
alergen.
e. Genitalia.Penyebabnya data anti septik, obat topikal, nilon,
kondom, pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum,
kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah
vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat
eritema
15
f. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat
disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat
topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontak alergi
yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.
Kaki mengalami skuama, krusta
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
16
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak
mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila
pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn
chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).
Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel (Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau
17
‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel
dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
18
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)
Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu
setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah
96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk
melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi
(Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,
berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).
b. Pemeriksaan Histopalogi
19
T.R.U.E. Test® (Mekos Laboratories, Hillerod, Denmark) patch-test.
A. Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%.
B. Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%.
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,
kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X
volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,
menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
20
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini
ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema
Histopatologik dermatitis kontak alergi
Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,
spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis
yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,
2010).
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
21
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh
karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).
4 Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)
sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09
mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan
rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
22
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika
(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen
5 Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis
kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari
misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
23
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku
menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen
simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).
24
BAB IV
PENJELASAN
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang terjadi karena
pajanan ulang pada kulit secara langsung dengan substansi alergenik, dan
mekanisme yang mendasari proses terjadinya DKA termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, linefikasi)
dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin
hanya beberapa (oligomorfik). dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Sinonim dermatitis adalah eksem. Ada yang membedakan antara dermatitis dan
eksem, tetapi pada umumnya menganggap sama.
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan
kimia, fisik (contoh : sinar), mikroorganisme (bakteri, jamur); dapat pula dari
dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui pasti.
Banyak macam dermatitis yang belum diketahui patogenesisnya, terutama
yang penyebabnya fakktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang
dermatitis kontak, baik yang tipe alergik maupun iritan primer. Pada umumnya
penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium
penyakit, batasnya dapat tegas dapat pula tidak tegas, penyebarannya dapat
setempat, generalisata, bahkan universalis.
Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula,
erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (medidans). Stadium subakut, eritema
berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis
tampak lesi kronis, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul, mungkin
juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu
berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa
kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu
harus polimorfi, mungkin hanya oligomorfi.
25
Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan
klasifikasi dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya yang multi faktor, tetapi
juga karena seseorang dapat menderita lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu
yang bersamaan atau bergantian.
Ada yang memberi nama berdasarkan etiologi (contoh : dermatitis kontak,
radiodermatitis, dermatitis medikamentosa), morfologi (contoh : dermatitis
papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis medidasns, dermatitis eksfoliativa),
bentuk (contoh : dermatitis numularis), lokalisasi (contoh : dermatitis
interdigitalis, dermatitis intertriginosa, dermatitis manus, dermatitis generalisata),
dan ada pula yang berdasarkan lama atau stadium penyakit (contoh : dermatitis
akut, dermatitis subakut, dermatitis kronis).
Perubahan histopatologi dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis,
bergantung pada stadiumnya. Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa
vesikel atau bula, spongiosis, edema intrasel, dan eksositosis, terutama sel
mononuklear. Dermis sembab, pembuluh darah melebar, ditemukan sebukan
terutama sel mononuklear; eosinofil kadang ditemukan, bergantung pada
penyebab dermatitis. Kelainan pada stadium subakut hampir seperti stadium
akut, jumlah vesikel di epidermis berkurang, spongiosis masih jelas, epidermis
tertutup krusta, dan parakeratosis; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih
tampak jelas, demikian pula sebukan sel radang.
Epidermis pada stadium kronis, hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis,
rete ridges memanjang, kadang ditemukan spongiosis ringan; vesikel tidak ada
lagi. Papila dermis memanjang (papilamatosis), dinding pembuluh darah menebal,
dermis terutama di bagian atas bersebukan sel radang mononuklear, jumlah
fibroblas dan kolagen bertambah.
Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menyingkirkan
penyebabnya. Tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multi faktor, kadang
juga tidak diketahui pasti, maka pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan
menghilangkan/mengurangi keluhan dan menekan peradangan.
Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin, atau antihistamin
dikombinasi dengan antiserotonin, antibradikinin, anti-SRA, dan sebagainya. Pada
kasus akut dan berat dapat diberi kortikosteroid.
26
Prinsip umum terapi topikal diuraikan di bawah ini:
1. Dermatitis akut/basah (medidans) harus diobati secara basah (kompres
terbuka). Bila subakut, diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum
(pasta pendingin). Krim diberikan pada daerah yang berambut, sedang pasta
pada daerah yang tidak berambut. Bila kronik, diberi salap.
2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah persentase obat spesifik.
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema,
edema, bula atau vesikel, serta eksufatif (madidans), misalnya prednison 30
mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan
kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah
mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan
kortikosteroid topikal.
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis
numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin
dihindari.
27
BAB V
KESIMPULAN
1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan
kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel
(patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta
nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk
mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi kortikosteroid, mencegah
infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk mengurangi rasa gatal
dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk nonmedikamentosa adalah
dengan menghindari alergen.
28
DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an
update. Tersedia dalam :
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/
contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf.
Diakses pada tanggal 22 November 2012
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik
Edisi 2. Jakarta : EGC
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke 5. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta : FKUI.
Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak.
Yogyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen .
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372
diakses pada tanggal 11 November 2012.
29