realitas multikultural dan wilayah ideologis multikulturalisme

10
Realitas Multikultural dan Wilayah Ideologis Multikulturalisme: Memadukan Peran Negara dengan Realitas Multikulural Masyarakat Indonesia Multikulturalisme merupakan sebuah paham yang mengedepankan kesetaraan dan kesamaan hak bagi orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok etnik dan agama yang berbeda-beda. Pendukung paham ini percaya bahwa prinsip kesetaraan dan kesamaan hak tersebut akan mengarah (kondusif) untuk mewujudkan suatu masyarakat yang harmonis dan negara bangsa yang kuat. Namun sejarah di negara- negara Barat menunjukkan kenyataan yang sebaliknya, yaitu bahwa multikulturalisme ternyata melahirkan ekses-ekses negatip seperti melebarnya jurang perpecahan antar ras dan etnik, suburnya terorisme, dan lemahnya adaptasi sosial. Situasi pasca-multikulturalisme yang mengetengahkan kembali pentingnya identitas nasional, nilai-nilai asli dari sejarah bangsa dan kebudayaan mayoritas ternyata juga menimbulkan efek perpecahan yang besar. Melihat kenyataan tersebut, multikulturalisme jika hendak dikembangkan di Indonesia, harus dijalankan dengan hati-hati, sebab jika salah langkah, multikulturalisme yang seharusnya baik, akan berubah menjadi buruk dan merugikan. Tulisan ini menampilkan refleksi atas pengalaman beberapa negara Barat, konsep ideologis multikulturalisme, multikulturalisme dan pembangunan perdamaian di Kalimantan, dan peran negara dalam menunjang masyarakat multikulturalis. 2009 Martinus Nanang Dosen FISIP & Peneliti Center for Social Forestry (CSF) Universitas Mulawarman, Visiting Researcher, Graduate School of Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo

Upload: martinus-nanang

Post on 02-Jul-2015

700 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Memadukan Peran Negara dengan RealitasMultikulural Masyarakat Indonesia

TRANSCRIPT

Realitas Multikultural dan Wilayah Ideologis Multikulturalisme: Memadukan Peran Negara dengan Realitas Multikulural Masyarakat Indonesia Multikulturalisme merupakan sebuah paham yang mengedepankan kesetaraan dan kesamaan hak bagi orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok etnik dan agama yang berbeda-beda. Pendukung paham ini percaya bahwa prinsip kesetaraan dan kesamaan hak tersebut akan mengarah (kondusif) untuk mewujudkan suatu masyarakat yang harmonis dan negara bangsa yang kuat. Namun sejarah di negara-negara Barat menunjukkan kenyataan yang sebaliknya, yaitu bahwa multikulturalisme ternyata melahirkan ekses-ekses negatip seperti melebarnya jurang perpecahan antar ras dan etnik, suburnya terorisme, dan lemahnya adaptasi sosial. Situasi pasca-multikulturalisme yang mengetengahkan kembali pentingnya identitas nasional, nilai-nilai asli dari sejarah bangsa dan kebudayaan mayoritas ternyata juga menimbulkan efek perpecahan yang besar. Melihat kenyataan tersebut, multikulturalisme jika hendak dikembangkan di Indonesia, harus dijalankan dengan hati-hati, sebab jika salah langkah, multikulturalisme yang seharusnya baik, akan berubah menjadi buruk dan merugikan. Tulisan ini menampilkan refleksi atas pengalaman beberapa negara Barat, konsep ideologis multikulturalisme, multikulturalisme dan pembangunan perdamaian di Kalimantan, dan peran negara dalam menunjang masyarakat multikulturalis.

2009

Martinus Nanang Dosen FISIP & Peneliti Center for Social Forestry (CSF) Universitas Mulawarman,

Visiting Researcher, Graduate School of Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo

2

1. Prakata

Istilah multikulturalisme relatif baru digunakan dan pemakaian secara resmi dimulai di Canada tahun 1971. Oleh karena istilahnya baru, maka pengalaman sejarah yang dapat dipelajari mengenai baik dan buruknya penerapan paham ini dalam konteks negara maupun masyarakat tertentu cukup terbatas jumlahnya. Namun demikian keinginan untuk memproposikan multikulturalisme tentulah berangkat dari asumsi bahwa paham ini memang baik untuk bangsa dan masyarakat. Dengan tetap berpegang pada unsur positip dari multikulturalisme saya ingin mengajak Anda untuk melihat sisi minor dari multikulturalisme tersebut, khususnya melalui pengalaman negara-negara Barat. Pelajaran dari pengalaman negara-negara tersebut kiranya akan berguna bagi kita untuk menyikapi multikulturalisme dengan lebih arif dalam konteks negara, daerah dan kebudayaan kita sendiri.

2. Pengertian Dasar Multikulturalisme

Istilah multikulturalisme mungkin agak kabur, tetapi pada dasarnya mengandung dua pengertian dasar, sbb: 1) Multikulturalisme sebagai ideologi yang menyatakan bahwa masyarakat harus terbentuk dari, atau

sekurang-kurangnya mengijinkan atau mencakup, kelompok-kelompok budaya (culture=kebudayaan) dan agama yang berbeda, dengan status kesetaraan di depan hukum.

2) Multikuluralisme juga digunakan untuk melukiskan suatu kondisi demografis (kependudukan) di mana terdapat keragamaan budaya dan sukubangsa entah mereka didukung atau tidak didukung oleh kebijakan publik (pemerintah).

Jadi terdapat dua hal yang berbeda, yaitu multikulturalisme resmi (official or de jure multiculturalism) dan kondisi de facto yang bersifat multikultural dan memungkinkan berkembangnya keberagaman, toleransi dan budaya kosmopolitan yang inklusif. Menurut para pendukung multikulturalisme sebagai ideologi/multikulturalisme resmi keberagaman budaya merupakan kekuatan positip untuk membangun rasa kebangsaan atau identitas nasional. Hal ini kian terasa jika multikulturalisme dipertentangkan dengan monokulturalisme. Monokulturalisme menekankan ketunggalan atau homogenitas budaya secara normatif, dan biasanya disertai dengan kebijakan-kebijakan dan perbuatan asimilasionis guna mendorong akulturasi dengan (dan proteksi bagi) budaya yang dominan.

3. Pengalaman multikulturalis di beberapa Negara

3.1. Pengalaman

Canada

Multikulturalisme di Canada mulai mendapat pengakuan resmi tahun 1971 dengan kebijakan “bilingualism and biculturalism” (dua bahasa dan dua budaya). Tahun itu dikeluarkan “Announcement of the Implementation of Policy of Multiculturalism within Bilingual Framework” (Pengumuman tentang Pelaksanaan Kebijakan Multikulturalisme dalam Kerangka Dwi-bahasa). Tahun 1982 kebijakan tersebut

3

masuk dalam Konstitusi Canada di bawah judul The Canadian Charter of Rights and Freedoms (Piagam Canada tentang Hak dan Kebebasan). Tahun 1988 kebijakan tersebut mendapat Royal Assent (persetujuan resmi) dari Kerajaan Inggris.

Pemerintah pendukung kebijakan multikulturalis beranggapan bahwa multikulturalisme akan memperteguh identitas nasional dengan mengikat masyarakat ke dalam kerangka yang disebut “single moral community” (masyarakat dengan kesatuan moral). Hal itu dimungkinkan karena multikulturalisme mengurangi sekat-sekat budaya dan sosial antar masyarakat. Tokoh Muslim terkenal Aga Khan menyatakan bahwa multikulturalisme Canada “a model for the world” (contoh bagi dunia) dan bahwa Canada adalah “the most successful pluralist society on the face of our globe” (masyarakat pluralis yang paling berhasil di muka bumi).

Kebijakan tersebut mendapat perwujudannya dalam pengakuan dua bahasa resmi (Inggris dan Perancis), alokasi dana federal kepada kelompok-kelompok etnis untuk membantu mereka membina kebudayaan, seperti dana untuk kompetisi tarian rakyat, pembangunan pusat-pusat kebudayaan etnik, dll.

Australia

Australia yang semula monokulturalis dengan “White Australia Policy” (ide bahwa hanya ras Kaukasian, migran yang berbahasa Ingris saja dapat diterima) yang berlaku selama 150 tahun, terutama pada abak ke-20, dan Yellow Peril (ketakutan akan ekspansi Asia dan Komunisme) segera menyusul Canada tahun 1973.

Multikulturalisme di Australia mula-mula berarti pengakuan bahwa banyak anggota masyarakat Australia berasal dari kebudayaan yang berbeda-beda dan masih mempunyai ikatan dengan kebudayaan tersebut. Paham tersebut berubah menjadi “hak para imigran di tengah-tengah mainstream Australia untuk mengekspresikan identitas budaya mereka.” Sampai 1996 di bawah Paul Keating Pemerintah Australia masih mendukung kebijakan multikulturalis tersebut.

John Howard adalah seorang yang skeptik terhadap multikulturalisme dan mengubah “Department of Immigration, Multiculturalism and Indigenous Affairs” menjadi “Department of Immigration and Citizenship.” Pauline Hanson (tokoh non-partai) menyatakan bahwa negara tidak pernah akan menjadi kuat di bawah semangat multikulturalis. Namun demikian kebijakan multikulturalis di Australia hingga hari ini belum mengalami perubahan berarti.

Swedia

Terdorong oleh besarnya arus migran dari beberapa negara Skandinavia lainnya, Polandia, Eropa Selatan dan Timur Tengah, kebijakan multikulturalis diterima secara resmi di Swedia tahun 1975. Tahun 1979 ada 11% penduduk Swedia yang lahir di luar negeri. Para imigran diwajibkan menguasai bahasa Swedia agar dapat bekerja di sana. Maka disediakan kursus-kursus bahasa gratis. Selain itu mereka juga boleh menggunakan dan mempelajari bahasa ibu (home language atau hemspråk). Kebijakan home language sekarang sedang ditinjau ulang oleh pemerintah.

Inggris

Multikulturalisme belum menjadi (dan tampaknya masih jauh dari) kebijakan negara. Topik ini sedang menjadi perdebatan: apakah Inggris harus menjadi negara multikultural atau hanya negara

4

multirasial. Umumnya terbentuknya kebudayaan asing di Inggris telah diterima dan dianggap membantu pertumbuhan ekonomi, keragaman budaya, dan fusi budaya seperti adanya masakan Anglo-India.

Kondisi ini tetap mendapat banyak kritik. Yang terhebat adalah dari UKIP (United Kingdom Independence Party) yang menginginkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (European Union), kontrol ketat terhadap imigran, serta perlunya undang-undang yang memacu kemakmuran dan kebudayaan asli Inggris.

Multikuluralisme sering diambil sebagai contoh kegagalan ekonomi dan sosial. Banyak kelompok imigran yang miskin dan hidup tidak terintegrasi dengan masyarakat lain. Mereka dianggap sebagai biang kerawanan sosial, termasuk beberapa kerusuhan.

Pemerintah Inggris sekarang sedang berupaya menghidupkan “rasa solidaritas,” yang diyakini dapat memberikan harmoni sosial lebih dari yang dapat diberikan oleh diversifikasi budaya (cultural diversification). Konsep solidaritas mempunyai tekanan yang berbeda dari multikulturalisme. Dalam solidaritas tidak ditekankan kesetaraan hak.

Amerika Serikat

Amerika Serikat terkenal dengan kebijakan “melting pot,” di mana budaya-budaya asli para imigran bercampur atau melebur tanpa campur tangan pemerintah. Imigran secara perorangan atau berkelompok berasimilasi secara spontan dengan masyarakat Amerika agar dapat memperbaiki tingkat penghasilan dan status sosial mereka. Tidak ada keharusan bagi mereka untuk mendalami sejarah Amerika atau berbicara dengan aksen Amerika. Mereka boleh memegang ikatan budaya dan kekeluargaan dengan negeri asal. Tetapi dalam kenyataan kebudayaan asli mereka lenyap setelah dua generasi.

Kebijakan melting pot dikritik sebagai 1) tidak berlaku bagi orang-orang kulit hitam yang berada pada anak tangga paling bawah stata sosial, 2) asimilasi hanya berlaku bagi imigran dari Eropa, bukan untuk “semua” imigran, 3) hilangnya warisan budaya kelompok-kelompok tertentu.

Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia sesudah India, ternyata Amerika Serikat tidak memiliki kebijakan resmi multikulturalis di tingkat negara federal. Tetapi akhir-akhir ini sejumlah kebijakan multikulturalis pernah diambil, misalnya tes SIM di negara bagian California dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bahasa. Malaysia

Imigran China dan India masuk ke Malaysia dalam jumlah besar sebagai akibat dari industrialisasi yang dilancarkan oleh Inggris sejak abad ke-18. Sebelumnya penduduk mayoritas Malaya adalah Melayu. Kehadiran dua kelompok ras asing diakui dalam Konstitusi Malaysia tahun 1963 yang memberikan hak kewarganegaraan kepada imigran, dan hak khusus orang Melayu dijamin. Pembentukan Negara Malaysia tahun 1963 disusul oleh kerusuhan etnik. Kerusuhan 1964 di Singapura mengakibatkan Singapura terpisah dari Malaysia. Insiden 13 Mei 1969 terjadi lagi antara etnik China dan Melayu. Kerusuhan itu memicu kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk mempersempit jurang ekonomi antara kedua etnik. Juga ada kebijakan seperti Rukunnegara untuk menggerakkan kesatuan antar berbagai kelompok etnik, bahkan “festival pembauran” (syncretic festival) seperti DeepaRaya dan Kong Raya dikembangkan. Demikian juga pendidikan bahasa. Malaysia adalah satu-satunya negara yang mengijinkan pendidikan dengan sistem China. Kebijakan pluralis tersebut sekarang mendapat tekanan dari kaum muslim ortodoks dan partai-partai Islam yang menolak pengaruh-pengaruh sekuler dan pengaruh agama non-Islam. Kebebasan beragama di Malaysia sedang dalam status kontroversial. Pemerintah Malaysia bahkan mencanangkan “Malaysian Race 2020.”

5

3.2. Kritik terhadap Multikulturalisme

Di atas kita sudah melihat bahwa di negara-negara dengan kebijakan multikulturalis pun multikulturalisme tidak bulat. Berikut ini kita akan melihat beberapa kritik terhadap multikulturalisme.

Canada

Pengalaman sejak 1971 menampilkan beberapa keterbatasan dari multikulturalisme sbb: 1) Multikulturalisme mempromosikan pengertian budaya yang terbatas dan statis dengan membatasinya pada lingkup etnisitas. Menurut Bisoondath multikulturalisme resmi membatasi kebebasan warga minoritas dengan mengurung mereka dalam wilayah kultural dan geografis mereka saja. Pandangan pemerintah bahwa kebudayaan hanya soal festival dan makanan sangatlah oversimplified (terlalu disederhanakan). 2). Multikulturalisme kurang memberikan perhatian pada bentuk-bentuk diskriminasi ras secara kelembagaan, dengan terlalu fokus pada ekspresi dan pengalaman individual.

Bagi banyak orang Canada keturunan Perancis multikulturalisme akan mengecilkan mereka menjadi sekedar satu dari sekian kelompok etnik. Penolakan terhadap multikulturalisme paling kuat datang dari negara bagian Quebec yang berbahasa Perancis.

Gunnar K. Njalsson menyatakan bahwa multikulturalisme adalah ideologi utopis yang memandang hakekat manusia dengan sangat simplistik dan terlalu optimistik (mirip dengan komunisme, anarkisme, dan beberapa aliran liberalisme). Dalam realitas multikulturalisme dapat menyingkirkan orang-orang dari akar budaya leluhur mereka, sedangkan pendatang baru dapat memiliki hak yang lebih.

Australia

Sejak “peristiwa 11 September” oposisi terhadap multikulturalisme berarti “anti imigran Islam dari Timur Tengah.” Masyarakat Australia mengkhawatirkan bahwa kelompok-kelompok kepentingan telah memberi tekanan berlebihan pada kebudayaan asli di atas kesatuan nasional, pemisahan etnik dari “kom-unitas” dan “rights mentality” di atas “responsibility mentality,” yaitu mengutamakan hak di atas kewajiban.

Belanda

Belanda mula-mula memiliki “konsensus tentang multikulturalisme” yang melihat kehadiran komunitas budaya imigran sebagai bukan masalah bahkan menguntungkan. Akan tetapi, angka migran sangat tinggi di Belanda dan telah mengubah wajah negara itu sejak 1950. Tahun 2006 seperlima penduduk bukan asli Belanda dan setengah dari yang seperlima itu bukan dari negara Barat. Di Amsterdam 55% kaum muda tidak mempunyai asal-usul Barat, kebanyakan mereka orang Turki dan Morocco. Kondisi ini bagi penentang multikulturalisme dilihat sebagai sebuah kesalahan serius.

Paul Scheffer dalam essay “The Multicultural Drama” mencatat beberapa hal buruk tentang multikulturalisme, yaitu:

Masuknya sejumlah besar orang dari berbagai latar belakang budaya ditambah dengan penerapan paham multikulturalisme menyebabkan segregasi etnik.

Belanda harus mempertahankan bahasa, budaya dan sejarahnya secara serius dan para imigran harus mempelajari semua itu.

Multikulturalisme dan imigrasi menimbulkan masalah adaptasi seperti putus sekolah, pengangguran, dan tingginya tingkat kriminalitas.

6

Sebuah masyarakat yang tidak menghargai dirinya (yaitu identitas kebelandaan) juga tidak mempunyai nilai untuk imigran.

Kebijakan multikultural mengabaikan penguasaan bahasa Belanda yang seharusnya menjadi prioritas dalam pendidikan.

Islam belum juga mereformasi diri dan terus menolak pemisahan Gereja-Negara. Sejumlah orang Muslim menolak mengakui hukum di Amsterdam karena walikotanya orang Yahudi. Asfin Elian (seorang pengungsi asal Iran) menyatakan bahwa Belanda telah melegalisir “sistem feodal kerajaan Islam” yang menurut dia merupakan suatu kesalahan serius.

Para imigran harus kehilangan kebudayaan mereka – itulah harga yang harus dibayar untuk menjadi imigran.

Menurut Scheffer kehadiran imigran telah memutar kembali sejarah Belanda ke masa 100 sampai 150 tahun lalu.

Inggris

Di Inggris terjadi perdebatan apakah multikulturalisme dan kohesi dan inklusi sosial merupakan dua hal yang saling mendukung. Khususnya sejak pemboman Juli 2005 desakan anti multikulturalisme makin gencar. Uskup Agung Anglican John Sentamu dan Uskup Nashir Ali dari Rochester juga mengkritik multikulturalisme sebagai merusak kebudayaan mayoritas. Pidato Ruth Kelly Agustus 2006 dan Tonny Blair November 2006 merupakan signal berakhirnya multikulturalisme di Inggris. Blair menekankan nilai-nilai esensial negara Inggris seperti demokrasi, azas hukum, toleransi, perlakuan setara untuk semua, hormat kepada negara dan warisan budayanya merupakan hal yang harus dipegang oleh semua warganegara.

Amerika

Ayn Rand menyatakan bahwa baik multikulturalisme maupun monokulturalisme adalah kolektivisme determinis (culturally determinist collectivism) di mana individu tidak memiliki pilihan bebas dalam bertingkah laku sebab mereka ditentukan oleh masyarakat. Multikulturalisme menghambat kebebasan berpikir dan berkehendak (free will).

Susan Okin (tokoh feminis): Multikulturalisme dapat menutup-nutupi peran gender yang diskriminatif dalam masyarakat minoritas. Arthur M. Schlesinger (mantan penasehat Kennedy, pemenang hadiah Pulitzer): merayakan perbedaan dan meninggalkan asimilasi (Ini disebutnya cult of ethnicity) membahayakan kesatuan masyarakat.

Dinesh D’Souza: multikulturalisme membahayakan nilai-nilai universal yang menjadi tujuan pendidikan liberal di universitas-universitas Amerika. Kristen Konservatif melihat multikulturalisme sebagai ancaman terhadap kebudayaan Kristen tradisional.

Brian Barry (ahli Ilmu Politik): multikulturalisme dapat memecah belah masyarakat meskipun mereka perlu bersatu untuk melawan ketidak-adilan.

3.3. Kesimpulan dari Pengalaman Negara Lain

Pengalaman di beberapa negara di atas menunjukkan bahwa konsep multikulturalisme muncul setelah ada desakan-desakan dari kelompok-kelompok minoritas, dalam hal ini imigran. Terhadap tuntutan itu pemerintah-pemerintah penganut demokrasi dan nilai-nilai hak azasi manusia melihatnya sebagai

7

kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam konteks negara, sebab yang diusung adalah hak-hak kelompok minoritas untuk tetap hidup dan berkembang (exist).

Sayangnya, tidak berapa lama kebijakan multikulturalis diterapkan ekses-ekses mulai muncul, khususnya menimbulkan kecemasan bagi kelompok budaya mayoritas. Kelompok-kelompok minoritas yang diberi angin ternyata ada yang menuntut lebih dari yang “dapat diterima” (dalam bagian berikut nanti saya sebut itu “wilayah toleransi”). Kebijakan multikulturalis kemudian dilihat sebagai berbahaya karena menimbulkan perpecahan, anti-nasionalisme, dan terlalu menekankan etika komunitarian (communitarian ethics yang dilawankan dengan etika individual - single ethics).

Penolakan terhadap kebijakan multikulturalis memang bersifat empiris atau berdasarkan argumen sejarah. Dari sejarah juga dikembangkan argumen-argumen abstrak dan filosofis seperti bahwa multikulturalisme itu utopis karena terlalu optimistik tentang manusia, membatasi kebebasan dengan mengikat orang dalam tempurung etnisitas. Alois A. Nugroho dalam telaah Postmodernisme tentang multikulturalisme menyatakan bahwa multikulturalisme membatasi rasio pada pengalaman-pengalaman terbatas di lingkup etnik. Padahal hakekat rasio adalah mampu mengembara di “ruang-ruang” khayal lepas dari pengalaman sehari-hari.

Walaupun di beberapa negara kebijakan pemerintah masih multikultural, kecenderungan sudah jelas menuju ke era “post-multiculturalism,” di mana situasi nampak tidak juga berjalan mulus, sebab tatkala hukum kesetaraan dan hak-hak minoritas mulai kurang diperhatikan, maka kelompok minoritas akan balik melakukan perlawanan. Akhirnya, situasi sama dengan ketika multikulturalisme dijalankan: rentan konflik dan segmentasi/segregasi sosial.

4. Multikulturalisme di Indonesia

Jadi sekarang kita mengerti bahwa bicara tentang multikulturalisme bukanlah soal “ya” atau “tidak,” sebab walaupun multikulturalisme tidak bulat, menolaknya pun bukan solusi yang tepat. Negara Indonesia sudah mengalami pahit getirnya monokulturalisme yang terbungkus dalam moto “Bhineka Tunggal Ika.” Keberagaman (kebhinekaan) diakui, tetapi hanya sebagai keberagaman dan kurang mengandung makna penyataan pengakuan hak-hak kelompok minoritas atau kesetaraan antar kelompok. Dalam masa Orde Baru keberagaman itu tenggelam dalam moto “negara kesatuan” (Tunggal Ika). Sebenarnya cukup aneh bahwa semangat multikultural baru muncul sekitar tahun 1980-an di Indonesia, padahal sejak awal mulanya negara bangsa ini sudah beragam etnik dan budaya serta agama. Rupanya sangat lama sekali waktu yang diperlukan oleh bangsa ini untuk belajar dari situasi keberagaman tersebut untuk sampai kepada “semangat multikulturalis.” Itupun menurut seorang penulis: “Semangat multikulturalisme di Indonesia masih rendah.”

Beberapa penulis tentang multikulturalisme di Indonesia (misalnya Parsudi Suparlan) melihat multikulturalisme telah muncul dalam bentuk desentralisasi atau otonomi daerah. Di sini demokrasi ditegakkan dan ruang yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur “rumah tangganya” sendiri telah diberikan. Apakah ruang itu juga sudah diberikan untuk multikulturalisme? Bagaimana pemerintah di daerah mengisi ruang itu? Itulah yang kiranya menjadi bahan pemikiran pemerintah-pemerintah otonom tersebut. Pada bagian berikut diberikan kerangka berpikir untuk memahami multikulturalisme dengan lebih sederhana sehingga juga memudahkan dalam penerapannya.

4.1. Multikulturalisme sebagai ideologi

8

Multikulturalisme adalah ideologi, paham atau pola pandangan tentang suatu realitas dengan cara menyederhanakan realitas yang kompleks. Saya beranggapan bahwa multikulturalisme bukanlah realitas yang bulat dan karena itu secara ideologis juga tidak bulat. Artinya tidak ada “rel baku” yang dapat diikuti dengan sama rata oleh setiap orang dalam setiap situasi. Sebaliknya penerapan multikulturalisme adalah suatu proses belajar.

Dalam proses itu orang belajar berbuat kebaikan dan kesalahan dalam batas-batas yang dapat diterima atau batas toleransi (wilayah toleransi). Gambar 1 melukiskan bahwa kecenderungan dasar manusia adalah mencari harmoni dengan cita-cita masyarakat adil berdasarkan kesetaraan di depan hukum dan sikap saling menghargai. Bagaimana masyarakat yang yang realitasnya pluralis (dari segi etnisitas, agama, paham politik, ras, bahasa, dll) dan multikultural (beragam budayanya) membangun kehidupan kemasyarakatan yang adil itu?

Silakan masyarakat itu (kelompok-kelompok itu) berinteraksi satu sama lain dan membuat kesalahan, sejauh kesalahan itu tidak melampaui batas yang dapat diterima. Apabila melampaui, maka yang terjadi adalah penindasan, ketidakadilan, pemberontakan atau konflik terbuka. Tetapi batas itu dalam gambar sengaja dibuat kabur, sebab secara hukum di tanah air ini sering tidak jelas atau kalaupun jelas tapi ternyata tidak dilaksanakan dengan jelas. Kekaburan itu juga ditentukan oleh status psikologis dan cultural kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Toleransi adalah istilah yang dipakai dalam konteks kemasyarakatan, kebudayaan dan agama untuk melukiskan sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap orang yang perbuatan atau keanggotaannya mungkin tidak disetujui oleh kelompok mayoritas. Istilah itu mengandung makna sikap positip terhadap perbedaan. Tetapi persoalannya ialah, apakah kita harus bersikap toleran terhadap orang

Wilayah toleransi

Wilayah toleransi

Realitas pluralis dan multikultural

Masyarakat adil berdasarkan kesetaraan di depan hukum

Penindasan

Ketidakadilan

Etnosentrisme

Pemberontakan

Konflik

Gambar 1. Wilayah toleransi dalam wilayah ideologis multikulturalisme

9

yang tidak toleran? John Rawls dalam A Theory of Justice berpendapat bahwa “Orang yang tidak toleran harus ditoleransi sejauh mereka tidak membahayakan masyarakat yang toleran beserta pranata-pranatanya.” Jadi sekarang kita melihat bahwa wilayah ideologis multikulturalisme terdiri dari sebuah jalan yang tidak terdiri dari satu rel (linier), tetapi dari sebuah jalan yang disebut wilayah toleransi, sehingga orang dapat berjalan secara zig-zag atau non-linier. Di situ dapat bersatu kebaikan dan kesalahan, kelebihan dan kekurangan, trial and error. Walaupun jalan itu batasnya putus-putus (kurang jelas), batas itu harus akhirnya harus ada rambu-rambunya secara hukum guna mencegah terjadinya konflik atau ketidakadilan yang membahayakan keutuhan masyarakat.

4.2. Multikulturalisme dan Peace Building

Dari pengalaman saya bergumul dengan isu pemberdayaan masyarakat, masyarakat adat dan masyarakat madani (civil society) terlihat beberapa hal yang dapat menjadi ancaman terhadap pembangunan perdamaian (peace building) di Kalimantan.

1) Berkembangnya budaya kekerasan (culture of violence), baik dalam bentuk-bentuk nyata tindakan kekerasan, maupun dalam penggunaan simbol-simbol kekerasan. Simbol-simbol ini paling nyata dalam pembentukan dan nama-nama ormas semi-paramiliter.

2) Gejala-gejala intoleransi dalam dalam pandangan agama maupun politik. 3) Ketidakadilan dan penindasan terhadap masyarakat lokal yang dilakukan oleh perusahaan-

perusahaan exploitasi sumber daya alam maupun perkebunan. 4) Sentimen etnik, khususnya perasaan kurang senang terhadap migran yang dipandang “arogan.” Mengapa peace building dikaitkan dengan multikulturalisme? Karena tak mungkin ada saling

menghargai dan hormat kepada hak-hak tanpa perdamaian.

5. Multikulturalisme Spontan dan Peran Negara

Setiap orang bisa mengidentifikasikan dirinya dengan lebih dari satu identitas. Misalnya, seorang Jawa adalah sekaligus Islam, pengusaha, tokoh partai, anggota kerukunan Dayak karena isterinya Dayak, anggota perkumpulan relawan sosial, dan seterusnya. Jadi dalam diri seorang individu sebenarnya sudah ada “benih” multikultural dan “proses belajar kebudayaan” berjalan dengan sendirinya secara spontan.

Jaman sekarang mungkin cukup sulit menemukan orang yang tidak mengandung benih multikultural. Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi membuat kelompok-kelompok masyarakat makin terbuka (kadang-kadang terbentur) satu sama lain. Nampaknya mempertahankan “kemurnian” sebuah kebudayaan akan menjadi sia-sia. Sebabnya? Pertama, yang disebut “kebudayaan asli” batas-batasnya sering sulit ditetapkan. Kedua, regenerasi sosial (social regeneration) sebagai buah dari mortalitas dan reproduksi menyebabkan bahwa kebudayaan berubah (Culture is always changing). Dari masa ke masa yang disebut kebudayaan Dayak tidak selalu sama. Jadi sebenarnya dalam setiap kebudayaan ada tendensi alamiah untuk akulturasi dan asimilasi, yang secara umum dapat kita sebut “etno-konvergensi” (ethnoconvergence). ”

Tetapi sebaliknya, setiap individu memiliki juga naluri primordial alamiah yang kita sebut “etnosentrisme,” di mana orang mengidentifikasikan diri dengan ketat dengan kelompok etniknya. Semangat primordial seperti itu tidaklah salah, namun dapat berkembang menjadi destruktif jika kelompok yang bersangkutan merasa diperlakukan dengan tidak adil. Di sini peran negara dalam menjamin keadilan bagi

10

seluruh warganegara sangatlah vital. Multikulturalisme akan berjalan dengan baik dan berkelanjutan kalau mendapat dukungan formal dari negara. Dukungan yang cukup dari negara akan memungkinkan berjalannya “sosialisasi” antara kelompok-kelompok (budaya dan agama) dalam masyarakat. Inilah yang kita sebut interkulturalisme: keterbukaan terhadap kelompok masyarakat lain dan budaya mereka.

Multikulturalisme relevan untuk konteks masyarakat Indonesia, sebab di sana ditekankan kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the right of cultural diversity). Dianjurkan toleransi dalam bentuk norma “non-cruelty” antar manusia dan dan kebudayaan dan peradaban. Artinya, kata Alois A. Nugroho, “biarkan setiap komunitas hidup dengan wacana lokal dan dengan rasional lokal masing-masing yang selama ini sudah “jalan” sebagai bentuk kehidupan yang diakrabi, menjadi custom atau tradisi.”

Referensi

Jay, Gregory, Professor. “What is Multiculturalism.” Diakses dari http://www.uwm.edu/~gjay/Multicult/Multiculturalism.html, tanggal 15 Oktober 2007.

“Multiculturalism.” Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Multiculturalism, tanggal 15 Oktober 2007.

El-Ma’hady, Muhaemin. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah Kajian Awal).” Diakses dari http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html, tanggal 17 Oktober 2007.

Syamsudini, M. M.Ag. “Pendidikan Islam di Era Multikulturalisme.” Diakses dari http://www.ppdarussholah.org/cetak2.php?id=151, tanggal 17 Oktober 2007.

Nugroho, Alois A. “Benturan Peradaban, Multikulturalisme dan Fungsi Rasio.” Kompas Online, 4 April 2003.

Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.” Paper dalam Simposium Internasional Bali ke-3 Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar, 16-21 Juli 2002.

Nusantara, Gigih. “Wawasan Multikulturalisme Indonesia masih Rendah.” Diakses dari http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-November/000689.html, tanggal 17 Oktober 2007.