kajian multikulturalisme dalam kitab kuning

18
1 KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING Afwah Mumtazah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Abstrak Sudah sejak lama kitab kuning menjadi identitas dalam pembelajaran nilai-nilai Islam di pesantren. Jauh sebelum masa kemerdekaan, tepatnya era kolonial, kitab kuning sudah eksis menjadi alat mencerdaskan kehidupan umat Islam dalam bidang agama. Pesantren menjadi garda depan dalam pelestarian khazanah kitab kuning di bumi Nusantara. Di dalamnya terdiri dari beragam materi seperti: fikih, tauhid, tafsir, hadis, akhlak, hingga tasawuf. Beberapa fakta maraknya radikalisme dan intoleransi yang terjadi di Indonesia, pelakunya alumni pesantren atau aktivis majelis taklim sehingga pesantren menjadi terstigma sebagai pelaku radikalisme. Ini sangat menarik untuk diteliti selama pesantren dan majelis taklim memberi sumbangsih terhadap tumbuh suburnya radikalisme. Kitab kuning sebagai sumber belajar santri memberi pemahaman tentang nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme. Ini menarik untuk dijadikan objek penelitian. Penelitian tentang multikulturalisme selama ini banyak terfokus dalam pembelajaran dan pergaulan di pesantren, namun sedikit yang membahas adanya kajian multikulturulisme dalam kitab kuning. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika, yaitu cara untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks masa lampau yang tidak dialami untuk dicari arti dan maknanya, kemudian dibawa ke masa sekarang. Kajian ini diharapkan memberi kontribusi bagi pesantren untuk memberi warna dalam pembelajaran kitab kuning yang melahirkan sikap tasamuh,

Upload: others

Post on 05-Nov-2021

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

1

KAJIAN MULTIKULTURALISMEDALAM KITAB KUNING

Afwah Mumtazah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon

Abstrak

Sudah sejak lama kitab kuning menjadi identitas dalam pembelajaran nilai-nilai Islam di pesantren. Jauh sebelum masa kemerdekaan, tepatnya era kolonial, kitab kuning sudah eksis menjadi alat mencerdaskan kehidupan umat Islam dalam bidang agama. Pesantren menjadi garda depan dalam pelestarian khazanah kitab kuning di bumi Nusantara. Di dalamnya terdiri dari beragam materi seperti: fikih, tauhid, tafsir, hadis, akhlak, hingga tasawuf. Beberapa fakta maraknya radikalisme dan intoleransi yang terjadi di Indonesia, pelakunya alumni pesantren atau aktivis majelis taklim sehingga pesantren menjadi terstigma sebagai pelaku radikalisme. Ini sangat menarik untuk diteliti selama pesantren dan majelis taklim memberi sumbangsih terhadap tumbuh suburnya radikalisme. Kitab kuning sebagai sumber belajar santri memberi pemahaman tentang nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme. Ini menarik untuk dijadikan objek penelitian. Penelitian tentang multikulturalisme selama ini banyak terfokus dalam pembelajaran dan pergaulan di pesantren, namun sedikit yang membahas adanya kajian multikulturulisme dalam kitab kuning.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika, yaitu cara untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks masa lampau yang tidak dialami untuk dicari arti dan maknanya, kemudian dibawa ke masa sekarang. Kajian ini diharapkan memberi kontribusi bagi pesantren untuk memberi warna dalam pembelajaran kitab kuning yang melahirkan sikap tasamuh,

Page 2: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

2

ta’awun, dan keadilan khususnya bagi santri dan umumnya bagi masyarakat.

Kata Kunci: pesantren, kitab kuning, multikulturalisme, radikalisme

Abstract

Kitab kuning has long been an identity in learning Islamic values in pesantren. Before the independence period, precisely the colonial era, kitab kuning had already existed as a tool to educate the lives of Moslems in religious study. Pesantren has become vanguard in the preservation of kitab kuning in Nusantara. It consists of a variety of materials such as: fiqh, tauhid, tafseer, hadith, ethics, and sufism. Some facts about the rise of radicalism and intolerance that occur in Indonesia, the perpetrators of pesantren alumni or the majlis taklim activists so that the pesantren become stigmatized as perpetrators of radicalism. This is very interesting to study, to what extent pesantren and majlis taklim contribute to the flourishing of radicalism. Kitab kuning as a learning resource for students provides an understanding of the values of pluralism and multiculturalism. This becomes interesting as an object of research, and research on multiculturalism has been focused on learning and association in pesantren so far, few have discussed the existence of multicultural studies in the kitab kuning.

This research uses qualitative methode and hermeneutic approach, which is a way of interpreting symbols in the form of text or something that is treated as a past text that is not experienced to find meaning, then brought to the present. This study is expected to contribute to the pesantren to give color to the kitab kuning learning which gave birth to tasamuh, ta’awun, and justice, especially for students and generally for the community.

Keywords: pesantren, kitab kuning, multiculturalism, radicalism

Page 3: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

3

A. PENDAHULUANPengeboman gereja-gereja di Surabaya yang terjadi pada

Mei 2018 sangat mengagetkan karena paham radikalisme kali ini sudah mulai melibatkan anak-anak dan perempuan. Mereka rela mati sia-sia karena alasan jihad atas nama agama. Pesantren sebagai salah satu lembaga Islam diduga oleh sebagian orang sebagai lembaga yang masif menyuburkan paham radikalisme dan intoleransi. Indikasi ini menguat dengan berbagai kejadian bom bunuh diri dan teror yang sebagian besar pelakunya adalah lulusan pesantren. Sementara pada sisi lain, ayat al-Quran secara gamblang mengajarkan pentingnya mu’asyaroh bil ma’ruf, tasamuh, ta’awun, dan bersikap adil. Karena itu, menjadi pertanyaan besar ketika alumni (output) pesantren terjebak pada paham radikalisme.

Pesantren tumbuh subur di bumi Indonesia dengan beragam corak dan modelnya yang menyebar di kota maupun desa. Sebagai contoh, satu desa terdapat 20 pesantren1, begitupun majelis taklim menjamur di komplek, perusahaan, desa, dan kota. Akan tetapi dalam realitasnya, Indonesia mengalami demoralisasi yang meningkat dalam setiap tahunnya. Demoralisasi ini menyeret bangsa dalam keterpurukan dengan makin banyaknya muslim Indonesia yang tidak bisa lagi menghormati perbedaan serta lunturnya sikap saling menghargai dan toleransi. Nilai–nilai ajaran agama tidak lagi dijadikan tempat terhormat dalam kendali emosi dan ambisi pribadi sehingga menghalalkan segala cara. Pendidikan agama dan pendidikan moral menguap begitu saja tanpa sempat ditangkap apalagi diinternalisasikan sebagaimana yang diungkap oleh Mulkhan.2

Dalam sejarah dan tradisi pesantren, literatur keagamaan kitab kuning tidak saja menjadi pusat orientasi studi, tetapi juga sistem nilai yang membentuk dan mewarnai paham dan praktik keagamaan komunitas pesantren dan masyarakat

1 Jumlah pesantren di Babakan Ciwaringin yaitu 20 pesantren berdasarkan wawancara dengan aparat Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon pada Kamis, 7 Juni 2018.

2 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001), hlm. xv.

Page 4: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

4

muslim sekitarnya.3 Dalam relalitasnya, kurikulum kitab kunig di pesantren atau kurikulum di sekolah sekarang lebih menekankan kepada hafalan. Ini jauh dari menciptakan siswa cerdas dan kreatif tetapi sarat dengan beban serta tidak mencerminkan keanekaragaman bangsa Indonesia. Hal ini menjadikan wawasan kebangsaan sangat rendah disamping karena pembelajaran dan kurikulum tidak mempresentasikan kemajuan dan budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.4

Diperlukan kompetensi dalam ranah wawasan kebangsaan yang mengakomodasi segala bentuk keanekaragaman budaya bangsa Indonesia agar karakter dan kepribadian santri akan tertanam nilai-nilai kemajemukan budaya. Kompetensi ini akan mampu mereduksi gesekan-gesekan sosial yang ditimbulkan oleh kondisi sosial Indonesia yang beraneka ragam.5 Strategi pembelajaran seperti ini diharapkan meminimalisir budaya Arabisasi yang kian marak berkembang dan makin masif di Indonesia, misalnya cara berpakaian dan bersikap, berjubah dan berjenggot; serta cara bertutur yang menggunakan istilah kearab-araban, seperti: antum, ukhti, dan lain-lain.

Kitab kuning pesantren yang beragam itu perlu dikaji lebih serius karena kitab kuning klasik ditulis pada abad lampau yang kadang terkesan tidak merespon tuntutan zaman. Situasi budaya dan politik yang ditulis sering luput di pikiran ustadz ketika mengaji, setidaknya melakukan kontekstualisasi agar pemahaman yang didapat santri tidak berujung pada multitafsir dan salah paham. Jika ini tidak dilakukan, maka stigma radikal itu menjadi menguat. Kondisi tentu sangat kontradiktif dengan sebagian besar pesantren-pesantren yang menekankan arti tasamuh dalam kehidupan santri-santrinya. Pesantren juga hingga saat ini telah menjaga tradisi intelektualisme Islam di Nusantara. Disamping

3 M. Mujab, “The Role of Pesantren on the Devlopment Islamic Science in Indonesia”, Miqot: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 36, No. 2, Juli-Desember 2013.

4 Darmaning Tyas, Islam dan Pendidikan Pluralisme, (Bandung: Arvino Raya, 2016), hlm. 84.

5 Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 81.

Page 5: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

5

itu, jika radikalisme adalah produk pesantren, maka itu dapat dibantah secara historis. Capaian kemerdekaan atas perlawanan dan perang melawan Belanda semua bersumber atau setidaknya mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren. Mereka menggunakan justifikasi religius dan term­term simbolik menuju gerbang kemerdekaan.6 Berdasarkan ini, penulis tergerak untuk melakukan penelitian demi mengetahui sejauh mana nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme memperoleh tempat dalam kitab kuning. Jika benar ada, ini sekaligus membantah stigma pesantren sebagai pusat paham intoleransi dan radikalisme.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika. Metode kualitatif lebih tepat digunakan dalam penelitian kebudayaan, merupakan usaha memahami fakta yang keberadaanya diwakili oleh suatu yang lain, yang mana kebudayaan mengacu pada adat istiadat, bentuk-bentuk tradisi lisan, karya seni, bahasa, pola interaksi, dan sebagainya.7 Hermeneutika adalah sebuah cara menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.8 Tugas pokok hermeneutika menurut Wilhelm Dilthey (1833-1911) adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atas realitas sosial di masa lampau yang asing sama sekali agar menjadi milik orang yang hidup di masa, tempat dan suasana yang berbeda. Oleh karena itu, hermeneutika selalu bersifat triadik, menyangkut tiga subjek yang saling berhubungan. Tiga subjek yang dimaksud adalah: the word of the text (dunia teks), the word of the author (dunia pengarang), dan the word of the reader (dunia pembaca).9

Sebagaimana telah diuraikan di atas, hermeneutika sangat tepat diterapkan sebagai metode dalam penelitian ini. Untuk

6 Abdurahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 234.

7 Maryaini, Metode Penelitian Kebudayaan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 5.8 Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan

Gadamerian, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2008), hlm. 29.9 Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 100.

Page 6: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

6

memahami al-Quran dan Hadis, para ulama salaf dan ulama madzhab setelah era sahabat mengerahkan segenap ijtihadnya untuk bisa memahami kedua sumber hukum ajaran Islam tersebut. Hasil ide, gagasan, dan pemikiran dituangkan dalam bentuk buku dan dikenal dengan sebutan kitab kuning. Sebagai hasil pemikiran masa lampau dengan sosial budaya yang berbeda, dibutuhkan cara untuk bisa memahami ajaran itu secara tepat sesuai konteks sekarang. Hermeneutika merupakan metode yang tepat sebagai alat menjembatani pemahaman teks masa lampau ke masa sekarang agar hasil yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman.

B. MULTIKULTURALISME Indonesia yang multiras, multietnis, dan multiagama akan

menjadi sangat sensitif ketika terjadi gesekan-gesekan di tataran horizontal. Ragam budaya dan agama menjadi problematik ketika keberagamaan dan keberbudayaan seseorang bergesekan dengan orang atau kelompok lain. Kondsi ini kian bertambah dengan masuknya faktor-faktor eksternal lainnya seperti: globalisasi, politik domestik, dan kondisi sosial budaya yang berbarengan dengan faktor internal seperti: penafsiran agama dan budaya. Persoalan-persoalan ini pada akhirnya akan melahirkan ketegangan budaya, fundamentalis agama, dan konflik antar etnis. Salah satu faktor pencetusnya adalah agama dan budaya. Keduanya memberikan peluang untuk dipahami secara berbeda (Multiintrepretable) yang pada gilirannya memunculkan keberagamaan dan berkebudayaan komunal yang lebih menekankan identitas dan makna. Namun ketika karakter komunal dan identitas itu menguat menjadi komunalisme dan primordialisme, maka problem-problem keagamaan dan kebudayaan menjadi lebih rentan terjadi.10

Ragam cara untuk meredam gesekan­gesekan konflik adalah pendidikan multikultural. Berbicara multikultural tidak bisa terlepas dari paradigma plural yang merupakan penggerak awal

10 Muhamad Ali, Politik Multikulturalisme Indonesia dalam Teologi Pluralis dan Multikultural, (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 88.

Page 7: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

7

multikultural. Plural atau pluralisme adalah sebuah konsep yang menunjuk kepada suatu pengakuan. Penerimaan dan sikap terhadap pluralitas atau keanekaragaman suatu bangsa, suku bangsa, maupun latar belakang kebudayaan menjadi ciri masyarakat majemuk (plural).11 Anis Malik Toha12 menyatakan bahwa dalam kajian sosiologi, antropologi maupun studi-studi agama, istilah pluralisme telah lebih dahulu dikenal sebelum muncul istilah multikulturalisme.

Secara historis, pluralisme muncul pada masa-masa pencerahan Eropa pada abad ke-18 M sebagai awal kebangkitan gerakan pemikiran modern di Eropa. Menggugat dominasi gereja terhadap negara dan masyarakat, serta pembebasan akal dari kungkungan agama. Situasi kacau yang terjadi pada masa itu mengantarkan pada kelahiran paham liberal dengan komposisi utama kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman atau pluralisme.13 Dari tema pluralisme politik kemudian meluas ke tema pluralisme agama. Ini dapat dipahami karena tidak hanya menentang dominasi gereja atas negara, tapi juga keyakinan-keyakinan yang dikembangkan gereja. Dari isu pluralisme agama ini kemudian berkembang menjadi isu multikulturalisme. Secara istilah, multikulturalisme lebih luas ruang lingkupnya daripada pluralisme karena lebih dari sekedar keragaman budaya. Orentasi kebudayaan dengan segala unsurnya lebih dipertajam dan lebih luas karena ranah budaya menjangkau segala aspek. Sementara dalam paradigma antropologi, agama merupakan bagian dari kebudayaan.14

Dapat disimpulkan, istilah multikulturalisme dipilih untuk menjangkau segala aspek keragaman yang berlatar budaya, seperti: agama, bahasa, difabilitas, ras, etnik, gender, orientasi seksual, dan lain sebagainya.15 Prinsip yang penting dalam

11 Dodi S. Taruna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta: Kementerian Agama), hlm. 59.

12 Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), hlm. 16.

13 Ibid, hlm. 17.14 William A. Lessa dan Evon Z. Vogt, (editor), Reader in Comperative: An

Antropoligal Approach, (New York: Harper & Row Publisher, 1979).15 Ainul Yaqin, Pendikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk

Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Page 8: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

8

multikulturalisme adalah prinsip kesetaraan. Dari prinsip ini lahir keterbukaan, inklusifitas, penerimaan terhadap keragaman, keadilan, dan kepedulian. Salah satu institusi yang dipandang sering menghambat penegakan prinsip-prinsip tersebut adalah agama.16

C. PESANTREN DAN PRAKTIK MULTIKULTURALISMESebagian peneliti menyebut pesantren sebagai subkultur

masyarakat.17 Suatu gerakan budaya yang dilakukan oleh komunitas santri dengan karakter keagamaan dalam kurun waktu yang relatif panjang. Subkultur ini senantiasa berada dalam sistem sosial budaya yang lebih besar. Pesantren biasanya membentuk tradisi keagamaan yang bergerak dalam bingkai sosial budaya masyarakat pluralistik dan kompleks.18

Pesantren memiliki banyak dimensi yang terkait, plural, tidak seragam, dan tidak berwajah tunggal. Pesantren kelihatannya berpola seragam tetapi beragam, tampak konservatif tetapi secara diam-diam atau terang-terangan mengubah diri dan mengubah denyut perkembangan zaman. Pesantren merupakan lembaga pendidikan klasik dan tradisional yang melestarikan budaya, tetapi justru semakin survive dan bahkan dianggap alternatif di era globalisasi dan modernisasi dunia seperti saat ini.19

Keseharian dalam keberagaman adalah kehidupan santri yang berjalan secara alamiah. Dengan segala tantangan yang dimilikinya, menurut kang Said, etos jihad santri berdiri di atas tiga pilar. (1) Nahdhatul Wathan (pilar kebangsaan), pilar ini harus terus dipupuk dalam rangka menolak paham fundamentalisme agama dan pasar. (2) Tashwirul Afkar (pilar kecendekiaan) yang harus menjadi syarat mutlak dimiliki santri. Ini merupakan pilar

16 Dody S. Taruna, Multikulturalisme sebagai Tema Pendidikan, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010).

17 Novriantoni, “Ketika Media Kebencian Masuk Pesantren,” dalam www.islamlib.com, diakses pada 14 Desember 2005.

18 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 2.19 Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta:

LKiS, 2003), hlm. 3.

Page 9: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

9

peradaban yang menjadi syarat sebuah bangsa meraih harkat dan martabatnya di hadapan bangsa lain. (3) Nahdhatut Tujjar (pilar kemandirian) yang menghilangkan dari ketergantungan kepada pihak lain.20

Seiring dengan perkembangan dunia, pesantren dihadapkan pada beberapa fenomena perubahan sosial dan multikulturalisme. Kemajuan teknologi informasi, dinamika sosial-politik, dan sejumlah perubahan yang terbingkai dalam dinamika masyarakat. Semuanya berujung pada pertanyaan tentang resistensi, responsibilitas, kapasitas, dan kecanggihan pesantren dalam menghadapi perubahan besar itu. Multikulturalisme merupakan titik temu berbagai budaya yang meniscayakan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya. Sementara, peradaban Islam adalah hasil akumulasi pergumulan penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses dialektis antara normatifitas ajaran wahyu yang permanen dengan historisitas pengalaman manusia.21

Konsep pesantren berparadigma multikulturalisme dapat dikemukakan dalam berbagai pola pembangunan pesantren dalam frame multikultural. Dialektika pesantren dengan budaya lokal dan karakter pesantren yang apresiatif terhadap kebudayaan lokal adalah watak yang damai, ramah, dan toleran. Watak pesantren yang demikian ini tidak menyuguhkan praktik kekerasan.22

Dalam pembelajaran sejarah (tarikh), santri diajarkan untuk meneladani bagaimana Rasulullah bisa menghargai dan menghormati agama lain, mau duduk bersama dan berdiskusi. Ketika di Madinah, Nabi menunjukkan kesadaran pluralisme dalam hidup bernegara melalui piagam Madinah. Dalam pihak lain, Raja Najashi (Negus) bersedia memberi suaka politik kepada para sahabat yang dikejar kaum Quraisy, meski ia beragama

20 Achmad Mukaffi Niam, NU dalam Sikap Gerak dan Langkah, (Jakarta: NU Online), hlm. 28.

21 Rif’atul Mahfudzoh, “Multikulturalisme Pesantren antara Tradisional dan Modern”, Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, April 2015.

22 Jurnal Pesantren, Pesantren dan Multikulturalisme (Jakarta: Depag RI, 2002), hlm. 20.

Page 10: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

10

Nasrani.23 Ini membuat santri mengenal kesadaran plural dari dua sisi, yakni: kehidupan sehari-hari dan materi yang diajarkan.

Sesuatu yang wajar jika pesantren dijadikan sebagai contoh (epitome) untuk sebuah masyarakat kecil yang multikultur karena santrinya datang beragam dari berbagai budaya dan suku. Keragaman ini kemudian saling mewarnai dan mengisi satu sama lain dan menjadi ciri khas pesantren meskipun berbeda kamar karena zona geografi atau membaur dalam satu kamar. Hal ini tentu tidak lepas dari gesekan dan konflik bernuansa sentimen kedaerahan. Meskipun demikian, tetap bisa menjaga hubungan yang harmonis sesuai tradisi masin-masing. Mereka bisa saling mengenal, belajar banyak hal seperti gaya hidup, dialek, dan kebiasaan masing-masing.24

D. KITAB KUNING DAN BUDAYA LOKALKitab kuning adalah kitab-kitab klasik di pesantren. Dinamakan

kitab kuning karena dicetak dalam kertas berwarna kuning sebagaimana tradisi awal kitab itu dicetak dan dibukukan. Pada umumnya, kitab kuning menjadi pelajaran wajib pesantren dengan beragam tema yang kemudian menjadi trade mark pesantren, seperti: fikih, tauhid, tafsir, hadis, tasawuf, nahwu, shorof, dan lain sebagainya. Materi tersebut diberikan secara berjenjang, mulai dari yang paling ringan, sedang, hingga mendalam dan mendetail, serta diberikan sesuai jenjang usia santri.

Kitab kuning menjadi ruh pembelajaran pesantren, menjadi identitas karakteristik pesantren dan sebagai alat reproduksi dari sebuah subkultur tersebut. Keberadaan kitab kuning menjadi penting karena dijadikan sebagai pedoman tata cara beragama, difungsikan sebagai maraji’ atau sumber rujukan universal dalam menyikapi segala problem kehidupan. Pesanten dengan identitas keagamaan dipandang eksklusif dan tidak bisa kompromistis. Ini tidak selamanya benar karena perbincangan teologis kontemporer

23 Said Aqil Siroj, Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf, dan Relasi Antarumat Beragama, (Surabaya: Khalista, 2012), hlm. 117.

24 Sunarwoto, “Kesadaran Multikultural Pesantren”, dalam https://nahdliyinbelanda.wordpress.com, diakses pada 13 november 2007.

Page 11: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

11

selalu memunculkan pluralisme agama dan multikulturalisme yang makin menguat. Ada lima sikap teologis seseorang atau kelompok yang sering berimplikasi pada sikap kulturalnya, yaitu: eksklusif, inklusif, pluralis, apologis, dan sinkretis.25

Aspek dinamis yang diperlihatkan kitab kuning itu adalah transfer pembentukan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik atau adab. Peran kitab kuning dalam pesantren sangatlah strategis. Tanpa ada kitab kuning, tradisi intelektual bangsa Indonesia tidak akan keluar dari jeratan sufi atau fikih ekstrem. Dengan demikian, kitab kuning dalam pesantren bisa menjadi landasan pacu dalam memahami sekaligus merumuskan kembali pemikiran keislaman dalam merespon kemajuan.26

Kitab kuning mempunyai watak yang khas. Mualif -nya menulis dengan komparasi madzhab yang ditujukan untuk memperkuat argumentasi atau memaparkan perbedaan pandangan imam madzhab. Mualif tidak pernah menuliskan kritikan keras yang bernada mencaci, apalagi mengkafirkan dalam analisa ikhtilaful ulama jika bertentangan dengan pendapatnya. Dinamika perbedaan pendapat tersebut berjalan sesuai dengan logika dan berjalan sesuai koridornya masing-masing. Dalam akhir kata, mualif biasanya dengan santun hanya menyatakan wa Allah ‘alam bi al-showab (hanya Allah yang mengetahui kebenarannya).

Pada sisi lain, kitab kuning ditengarai sebagai tempat munculnya praktik keagamaan yang bersifat taqlidi. Ajaran-ajaran agama dipahami sebatas konsep yang diperkenalkan dan diajarkan oleh para imam madzhab sehingga secara umum para pengikutnya tidak tertarik untuk mempelajari al-Quran dan al-hadits. Kitab-kitab karya ulama klasik dijadikan pedoman utama dalam pengajaran agama Islam di masjid, mushola, dan pesantren. Sementara kitab-kitab modern yang mencoba memahami secara langsung al-Quran dan al-hadits tidak diabaikan. Sehingga dalam praktiknya, Islam identik dengan pengajian kitab-kitab ahli madzhab yang kemudian dikenal dengan kutub al-Mu’tabarah.27

Kitab kuning adalah bentuk ijtihad pemikiran ulama dalam

25 Muhamad Ali, Teologi dan Multikuturalisme, (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 73.26 Said Aqil siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 209. 27 Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos

Page 12: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

12

menerjemahkan kandungan al-Quran dan al-hadits. Hasil hukum yang dikeluarkan akan berbeda-beda berdasar tempat imam tinggal. Dari sini nilai-nilai pluralisme terbentuk, termasuk merespon budaya lokal, contohnya cadar bagi perempuan muslimah Iran dan Arab Saudi, tapi tidak untuk perempuan Asia Tenggara seperti Indonesia dan Brunai Darussalam. Dua cara tersebut tidak mereduksi nilai-nilai identitas sebagai muslimah, meski berasal dari ijtihad imam yang berbeda. Sarung bagi muslim Indonesia sangat identik dengan Muslim khususnya Jawa, tetapi berbeda dengan Bali sebagai penganut Hindu yang menjadikan sarung sebagai pakaian dalam ritual ibadah mereka. Meski begitu, mereka paham dan tidak saling mengusik atau menjadi bahan celaan dan dianggap “tidak sah” dalam beribadah karena memakai pakaian yang sama.

Sementara memaknai produk budaya yang ditulis dalam kitab kuning dilakukan dengan cara beragam dan kompromi. Dalam Fikih Munakahat dianjurkan bagi perempuan hamil untuk membaca surat­surat tertentu seperti: Muhammad, Luqman, Maryam, dan Yusuf. Orang Indonesia memaknainya dengan cara berbeda. Ritual Bacaan yang dituang dalam kitab kuning dipakai berbarengan saat upacara tujuh bulan atau mitoni dengan disertai budaya Jawa siraman dan brojolan kelapa gading. Betapa dua cara itu bisa dipadukan secara saling melengkapi dan harmonis tanpa silang sengketa.

Dalam penghormatan terhadap perbedaan pendapat, kitab kuning yang dikaji di pesantren mencerminkan nilai-nilai pluralisme. Mualif (pengarang) mengutip beragam pendapat madzhab ketika mengurai suatu hukum. Lihat dalam kitab, Madzâhib al-Arba’ah (fikih), Tibyân fî Âdab Hamalati al-Quran (akhlak), dan Bidâyatu al-Mujtahid (fikih).

Bidâyatu al-Mujtahid wa Nihâyatu al-Muqtashid adalah kitab fikih perbandingan madzhab (fiqih muqâranatu al-madzâhib). Kategori kitab ini yaitu ilmu ikhtilaf, ilmu yang membahas tentang pendapat atau pandangan para ulama yang berbeda-beda dengan membandingkan dalil-dalil yang digunakan dalam menetapkan suatu hukum. Dengan mengetahui dalil atau argumentasi para

Wacana Ilmu, 1999), hlm. 84.

Page 13: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

13

imam, memudahkan orang lain yang ingin menggunakannya dalam menentukan suatu hukum,28 misalnya tentang wali nikah. Dalam kitabnya, penulis memaparkan tentang pendapat wali nikah dalam sebuah perkawinan. Imam Syafi’i memutlakan peran wali nikah hingga pernyataan tentang wali mujbir. Imam Abu Hanifah menawarkan konsep yang berbeda, boleh menikah tanpa wali asalkan perempuannya tergolong mar’ah rosyidah. Analogi-analogi yang dibangun dalam bentuk komparatif mewujudkan penghormatan terhadap adanya perbedaan pendapat dan pilihan. Ini sejatinya sedang mengajarkan nilai multikuturalisme. Pembaca di ajak untuk melihat wacana-wacana lain yang berseberangan dalam lintas madzhab. Secara tidak langsung, santri tidak mudah kaget terhadap sesuatu yang berbeda.

Kesadaran plural tersebut karena Islam sebenarnya telah meletakkan konsep dan doktrin rahmatan lil-‘alamin. Sebagai ajaran yang normatif, Islam sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis multikultural. Kewajiban seorang muslim adalah menjadi juru damai. Senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup dalam lingkungannya.

اس ح بين النو إصلا

و معروف أ

ة أ

مر بصدق

من أ

جواهم إلا

ن ن ثير م

ير في ك

خ

لا

جرا عظيما )النساء: 144(ؤتيه أ

ن

سوف

ف

اء مرضات الل

لك ابتغ

ومن يفعل ذ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma›ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar (QS. Annisa [4]: 114).

Ayat tersebut menyatakan dengan jelas tidak membatasi untuk bedamai atau melakukan perdamaian dengan seiman saja. Namun konteksnya adalah semua manusia tidak terbatas apakah ia seagama atau tidak, ataukah satu budaya atau tidak, dan lain-

28 Irfan Asyhari, “Pemikiran Fiqih Ibnu rusyd dalam Kitab Bidayatul Mujtahid”, dalam https://suarapesantren.net/, diakses pada tanggal 27 juni 2018.

Page 14: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

14

lainnya.29 Kerberagaman dan kemajemukan adalah fitrah dan sunatullah (QS Hud [11] :118).

تلفين )هود : 118(

ون مخ يزال

واحدة ولا

ة م

اس أ جعل الن

ك ل آء رب

و ش

ول

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu.

Ayat ini meneguhkan realitas kemajemukan dalam batas pengakuan. Disamping itu, Islam dalam kemunculannya melibatkan unsur kritis pluralisme, pengakuan dan hubungan dengan agama lain. Dalam pemikiran seperti ini, Islam men-junjung tinggi penghormatan dan kebebesan serta terbuka. Islam pada akhirnya masuk ke dalam komunikasi bangsa dan antar bangsa yang penuh kemajemukan dengan sikap yang wajar,

pemikiran terbuka, dan tanpa prasangka. Pada tahap ini, Islam benar-benar menjadi rahmat badi seluruh alam.30

Ajaran-ajaran Islam yang ada dalam al-Quran, sejatinya memuat nilai-nilai pendidikan multikultural, diantaranya:31 nilai kesamaan (al-sawiyah) (QS al-Hujarat [49]: 13), nilai keadilan (al-‘adalah) (QS Annisa [4]: 58), nilai kebebasan dan kemerdekaan (al-hurriyyah) (QS al­Baqarah [2]: 256), dan nilai toleransi (tasamuh) (QS al-Hujarat [49]: 13).

Dalam konten tertentu, misalnya gender yang merupakan bagian dari nilai multikulturalisme, hampir semua kitab-kitab klasik tidak memberi ruang terhadap perempuan dan sangat bias gender sebagaimana yang diungkap Husein Muhammad.32 Ini nampak sekali dalam kajian fikih munakahat pesantren salaf seperti ‘Uqudu al-Lujayn, Qurotu al-‘Uyûn, dan Adabu al-Zawjayn atau kajian tafsir. Ini bisa dipahami karena konteks sosial budaya

29 Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 338.

30 AM Fatwa, “Hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama, dan Ketahanan Nasional”, dalam Anshari Thoyib, HAM dan Pluralisme Agama, (Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997), hlm. 27-38

31 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet ke 3, hlm. 41.

32 Husain Muhammad dalam wawancara pada 16 Juni 2018

Page 15: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

15

yang diajukan penulisnya adalah masa lampau, yang secara sosial kedudukan dan peran perempuan kala itu jauh berbeda dengan perempuan sekarang. Dalam hal ini, kiai atau ustadz harus cerdas melihat teks-teks seperti ini. Salah satu cara agar pembacaan teks tetap responsif terhadap kebutuhan umat adalah dengan pendekatan hermeneutika. Menurut Dilthey bahwa hermeneutika adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup masa lalu. Ini penting diperhatikan karena pikiran seseorang selalu berkembang mengikuti situasi eksternal dan pengalaman-pengalaman barunya.33

Seiring berkembangnya perubahan sosial dalam masyarakat, bermunculan kitab-kitab kuning kontemporer yang isinya responsif sesuai kebutuhan zaman dan sangat memberi ruang kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Kitab-kitab seperti Al-Samâhah fî al-Islâm karya Thalib bin ‘Amr bin Haidarah al-Katsiri, Al-Ta’addudiyah wa al-Hurriyah fi al-Islâm karya Hasan bin Musa al-Shafar, Mamba’us Sa’âdah karya Faqihuddin Abdul Kodir, dan Tahrir al Mar’ah karya Kosim Amin merupakan contoh nyata bahwa perjalanan kitab kuning adalah dinamis. Semua yang berkorelasi dengan perubahan zaman dan tempat, akan menghasilkan keputusan hukum yang berbeda sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qoyim al-Jauziyah: “Taghayyur al-Ahkâm bi al-Taghayur al-Amkinah wa al-Azminah (perubahan hukum terjadi karena perubahan tempat dan zaman).

E. PENUTUPBerdasarkan kajian penelitian di atas dapat disimpulkan dua

hal. Pertama, kitab kuning dari sisi konten sangat memberi peluang terhadap nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme terutama adanya bahasan lintas madzhab dan wacana yang beragam hingga perbedaan pendapat. Ini sejatinya mengajarkan penghormatan dalam pluralisme. Kedua, pembacaan kitab kuning hendaknya

33 Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, (Jakarta: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 98.

Page 16: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

16

dikontekstualisasikan dengan realitas budaya Indonesia yang beragam dan majemuk. Untuk menguatkan ini, kesadaran kiai atau ustadz terhadap produk pemikiran mushanif yang selalu bersentuhan dengan budaya dan tempat pada zamannya harus direkonstruksi ulang sesuai dengan nilai-nilai multikulturalisme agar santri tidak terjebak terhadap radikalisme dan bangga menjadi muslim Indonesia.

F. DAFTAR PUSTAKAAbdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,

Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.Abdurahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan

Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi: Esai-esai Pesantren,

Yogyakarta: LkiS, 2003. Acep Zam-Zam, Dari Kyai Kampung ke Nu Miring, Yogyakarta:

Arruzz Media, 2012.Ahmad Mukafi Niam, NU dalam Sikap Gerak dan Langkah, Jakarta:

NU Online, 2016.Ahmad Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001.Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media,

2005.Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap terbuka dalam Beragama,

cet ke-3, Bandung: Mizan, 1998.Andi Mappetahang Fatwa, Hak Asasi Manusia: Pluralisme Agama

dan Ketahanan Nasional, Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan, 1997.

Darmaning Tyas, Islam dan Pendidikan Pluralisme, Bandung : Arfino Raya, 2016.

Departeman Agama RI, Al-Quran dan Tafsir, Bandung: Jabal Press, 2010.

Dody S. Taruna, Multikulturalisme sebagai Tema Pendidikan, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010.

__________, Pendidikan Berwawasan Multikulturalisme, Jakarta: Kementerian Agama, 2010.

Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, Yogyakarta: IRCiSoD.

Page 17: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

17

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2009.

Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Jakarta: Penamadani, 2003.

Heri Sudrajat, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Irfan Asyhari, “Pemikiran Fiqih Ibnu rusyd dalam Kitab Bidayatul Mujtahid”, dalam https://suarapesantren.net/, diakses pada tanggal 27 juni 2018.

Jamali Sahrodi, Islam dan Pendidikan Pluralisme, Bandung: Arfino Raya, 2016.

Jurnal Pesantren, Pesantren dan Multikulturalisme, Jakarta: Depag RI, 2002.

Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjaua Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005.

Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta : Bumi Aksara, 2012.

Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Yogyakarta: Arruzz Media, 2008.

__________, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, Jakarta: UIN-Malang Press, 2007.

Muhammad Ali, Teologi Pluralis–Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Jakarta: Kompas, 2003.

Novriantoni, “Ketika Media Kebencian Masuk Pesantren,” dalam www.islamic.com, 14/12/2005

Nur Khalik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: Arruzz Media, 2003.

Rif’atul Mahfudhoh, “Multikulturalisme Pesantren di antara Pendidikan Tradisional dan Moderen”, Religi: Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, April 2015, hlm. 105-137.

Said Aqil Siroj, Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf, dan Relasi Antarumat Beragama, Surabaya: Khalista, 2012,

__________, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan, 2006.Sumartana, Pluralisme, konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.Sunarwoto, “Kesadaran Multikultural Pesantren”, www.

Page 18: KAJIAN MULTIKULTURALISME DALAM KITAB KUNING

Volume 01, Nomor 01, Tahun 2019/1440

18

Nahdhiyinbelanda.net, 13 November 2007.Zakiyudin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,

Jakarta: Erlangga, 2005.Zulqarnain, “Penanaman Nilai­nilai Pendidikan Multikltural

di Pondok Pesantren D DI-AD Mangkoso Barru Sulawesi Selatan”, Jurnal Al-Thariqah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016, hlm. 193-205.