reaksi hipersensitivitas

24
I. Reaksi Hipersensitivitas I.1. Definisi Peningkatan reaktivitas/sensitivitas thd Ag yang pernah dikenal I.2. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Menurut Waktu Timbulnya Reaksi Cepat Intermediate Lambat T 0 Detik Beberapa Jam Pajanan dgn Ag o/ aktivasi sel Th T t 2 jam 24 jam 48 jam Mekanism e Perm.sel mast: Ikatan silang alergen & IgE→induksi→ mediator vasoaktif dilepaskan. Aktivasi komplemen&sel NK/ADCC kompleks IgG dibentuk & jar.pejamu rusak Sel T lepas sitokin→akt ifkan sel efektor makrofag→ke rusakan jaringan Manifest asi Anafilaksis sistemik/loc al 1) Rx transfusi darah, eritroblastos is,& anemia hemolitik autoimun. 2) Rx Arthus local & rx sistemik e.g., serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefr itis, arthritis rheumatoid, & LES Dermatitis kontak, reaksi M. tuberculosi s, & rx penolakan tandur Keterangan: ADCC : Antibody Dependent Cell(mediated) Cytotoxicity LES : Lupus Eritematosus Sistemik 1

Upload: bidi

Post on 04-Jul-2015

620 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reaksi Hipersensitivitas

I. Reaksi HipersensitivitasI.1. Definisi

Peningkatan reaktivitas/sensitivitas thd Ag yang pernah dikenal

I.2. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Menurut Waktu Timbulnya Reaksi

Cepat Intermediate LambatT0 Detik Beberapa Jam Pajanan dgn Ag

o/ aktivasi sel ThT t 2 jam 24 jam 48 jam

Mekanisme Perm.sel mast: Ikatan silang alergen & IgE→induksi→mediator vasoaktif dilepaskan.

Aktivasi komplemen&sel NK/ADCC → kompleks IgG dibentuk & jar.pejamu rusak

Sel T lepas sitokin→aktifkan sel efektor makrofag→kerusakan jaringan

Manifestasi Anafilaksis sistemik/local

1) Rx transfusi darah, eritroblastosis,& anemia hemolitik autoimun.

2) Rx Arthus local & rx sistemik e.g., serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid, & LES

Dermatitis kontak, reaksi M. tuberculosis, & rx penolakan tandur

Keterangan: ADCC : Antibody Dependent Cell(mediated) Cytotoxicity LES : Lupus Eritematosus Sistemik Serum sickess: rx alergi

1

Page 2: Reaksi Hipersensitivitas

II. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I Reaksi: Cepat/anafilaksis/alergi

2

Page 3: Reaksi Hipersensitivitas

Sel Mast & Mediator pada Reaksi Tipe I1) Histamine

Komponen utama granul sel mast, 10% berat granul Mediator primer yg dilepas, akan diikat o/ reseptornya (H1-4)

- H1 : permeabilitas vascular ↑,vasodilatasi,kontraksi otot polos- H2: sekresi mukosa gaster, aritmia jantung- H3:CNS (regulator?)- H4: eosinofil (?)

Puncak reaksi : 10-15 menit [cAMP]↑ = CEGAH GRANULASI [cGMP]↑= memacu degranulasi Degranulasi sel mast:

- Tidak timbulkan lisis sel- Krn: anafilatoksin,C3a,C5a

Fase aktivasi: - Perubahan dlm membrane sel mast krn metilasi fosfolipid→influx Ca++¿¿ timbulkan

aktivase fosfolipase- Glikolisis, pengaktifan enzim, pergerakan granul ke perm.sel

2) PG & LT Asal: hasil metabolism asam arakidonat (pengaruh fosfolipase A2) & sitokin pada fase

lambat rx tipe I Mediator sekunder Efek biologis timbul lbh lambat, TAPI lbh menonjol & berlangsung lbh lama dibandingkan

dengan Histamin LT: u/ brokokonstriksi, permeabilitas vascular &produksi mucus ↑ Prostaglandin E: bronkokonstriksi

3) Sitokin Dilepas: sel mast & basofil E.g., IL 3-6,10,13,TNF-α,GM-CSF Ubah lingkungan mikro,kerahkan sel inflamasi (neutrofil,eosinofil) IL-4 & IL-13 : produksi IgE o/ sel B ↑ IL-5: aktivasi eosinofil

Manifestasi1) Reaksi Lokal

Pada jaringan/organ spesifik, melibatkan permukaan epitel Atopi: kecenderungan u/ menunjukkan rx tipe 1 dan diturunkan Sensitasi dpt tjd secara pasif JIKA serum/darah org yg alergi dimasukkan ke dlm sirkulasi

org normal. Rx alergi: kulit,matamhidung,sal.napas

2) Reaksi sistemik-anafilaksis Dapat fatal,dalam beberapa menit

3

Page 4: Reaksi Hipersensitivitas

Dipacu o/: makanan, obat/sengatan serangga,latihan jasmani. 2/3 pasien: pemicu nya tak teridentifikasi

3) Reaksi pseudoalergi/anafilaktoid Libatkan pelepasan mediator o/ sel mast yg tdk mll IgE Mekanisme jalur efektor nonimun Tdk perlu pajanan terdahulu u/ timbulkan sensitasi Timbul o/ antimikroba,penisilin,pelemas otot

4

Page 5: Reaksi Hipersensitivitas

III. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II Reaksi sitotoksik/sitolitik Terjadi karena: dibentuk Ab jenis IgG/IgM thd Ag yg merupakan bag.sel pejamu Sitolotik: karena lisis, BUKAN EFEK TOKSIS Erat dgn proses penanggulangan munculnya sel klon baru,yg dapat ditemukan pd Sel

tumor,terinfeksi virus,dan terinduksi mutagen. Sel target: krn factor lingkungan→kecacatan DNA→DNA Repair/Musnahkan mll mekanisme

imunologik—WHY? Jika tdk, →penyakit. Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan

komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya adalah:a) Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan

menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.

b) Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor (makrofag, neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim serum, C3d berikatan dengan sel target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi sebagai struktur pengenalan untuk sel yang memiliki reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang memiliki reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K)

c) Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.

Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen yang melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respon inflamasi. Sel-sel efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.

Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti yang terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya pada resipien. Reaksi terhadap trombosit dapat menyebabkan trombositopenia sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit dihubungkan dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).

5

Page 6: Reaksi Hipersensitivitas

IV. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III1) Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah

Asal Ag: infeksi kuman pathogen persisten (malaria),spora jamur,peny.auto imun Infeksi: dpt dgn Ag dlm Σ↑↑,tp TANPA respons Ab efektif; makrofag yg diaktifkan trs

menerus lepas bhn yg dapat rusak jaringan Kompleks imun,tda Ag dalam sirkulasi & IgM/IgG3(dpt jg IgA) diendapkan di membrane

basal vascular&memb.basal ginjal→rx inflamasi local&luas Bhn toksik neutrofil→jaringan rusak Komplek yg tjd→aktivasi makrofag,sel mast; agregasi trombosit,etc.

2) Kompleks imun mengendap di jaringan Histamine dilepas sel mast→ukuran kompleks imun yg kecil dan permeabilitas vascular

↑. Antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi

yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).

Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibody.

Kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.

Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula.

Pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi sistemik seperti:1. Demam, nyeri, malaise

2. Gatal, edema

6

Page 7: Reaksi Hipersensitivitas

3. Pengurangan komplemen di dalam darah

4. Glomerulonephritis (ginjal)

5. Arthritis (persendian)

6. Rheumatik penyakit jantung

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

Ukuran kompleks imun

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai

ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan

oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil

dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek

genetic yang memudahkan produksi antibody dengan afinitas rendah dapat

menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu

bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.

Kelas imunoglobulin

Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas

immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada

eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian

halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan

cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan

misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.

Aktivasi Komplemen

Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah

berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui

jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b yang

terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang

terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke

hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu,

misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan membentuk

kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia terperangkap diberbagai

jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang paling merusak

apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan

7

Page 8: Reaksi Hipersensitivitas

Permeabilitas pembuluh darah

Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas

vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor,

diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang

berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya

komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan kontribusinya

pada peningkatan permeabilitas vascular.

Proses hemodinamik

Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan

tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam

glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding

percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus

choroids dimana tempat turbelensi.

Afinitas antigen pada jaringan

Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat

tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal.

Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan

walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal.

Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ tetentu.

Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama

2. Infusi intravena obat antigenik

3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)

4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)

5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis -

SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan membuat anti-

nuclear antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada dinding pembuluh

(vasculitis) pada:

− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia

8

Page 9: Reaksi Hipersensitivitas

− Ginjal

− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala (Canis lupus)

− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada

Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

1. Obat anti-inflamasi\antihistamin

2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan

antitoksin

9

Page 10: Reaksi Hipersensitivitas

V. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV Peran: CD4+ & CD8+ Sel T lepas sitokin; produksi mediator sitokin→respons inflamasi pd penyakit kulit

hipersensitivitas lambat. DTH Tipe IV

- Hipersensitivitas granulomatosis- Fase sensitasi : 1-2 minggu setelah kontak primer dgn antigen- Fase efektor: sel Th1 lepas sitokin yg aktifkan makrofag&sel inflamasi nonspesifik; gejala:

24 jam setelah kontak sekunder dengan antigen

T-Cell Mediated Cytolysis Reaksi Jones Mote (JM)

Reaksi ini ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi ini timbul oleh karena terdapat antigen yang larut dan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamide. Reaksi ini terjadi sesudah 24 jam.

Dermatitis kontak dan Hipersensitivitas kontak Hipersensitivitas kontak terjadi setelah sensisitasi dengan zat kimia sederhana (misalnya nikel,formaldehid), bahan-bahan kimia, bahan-bahan tumbuhan (racun pohon oak), obat yang digunakan secara topical (misalnya sulfonamide,neosin). Molekul-molekul kecil masuk ke dalam kulit dan kemudian bereaksi sebagai hapten,melekat pada protein tubuh dan bertindak sebagai antigen komplit. Hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel terinduksi, khususnya di kulit. Ketika kulit kembali kontak dengan agen penyebab hipersensitivitas tersebut, orang yang sensitive mengalami erotema, gatal, vesikulasi, eksema, atau nekrosis kulit dalam waktu 14-28 jam. Dermatitis kontak adalah dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan allergen.

Reaksi Tuberkulin Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme terjadi pada banyak penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis. Seperti yang terjadi pada reaksi tuberculin. Reaksi ini terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Kemudian setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah sehingga menyebabkan hubungan serat-serat kolagen kulit rusak

Reaksi Granuloma Reaksi yang menyusul respon akut dimana terjadi influks monasit,neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan terkontrol neutrofil dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuclear yaitu sel monosit, sel makrofag , sel limfosit dan sel plasma yang menyebabkan gambaran patologik dari inflamasi kronik, monosit dan makrofag yang berperan:- Menelan dan mecerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.- Modulasi respons imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin- Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel yang berperan dalam informasi melalui sekresi sitokin.

10

Page 11: Reaksi Hipersensitivitas

VI. Peranan Anti Histamin dan Kortikosteroid6.1 Farmakokinetik

Antagonis Reseptor H1 (AH1)Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul

15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam, Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

Antagonis Reseptor H2 (AH2) Simetidin dan Ranitidin

Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

FamotidinFamotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.

NizatidinBiovailabilitas oral nizatidin >90% , tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dalam 1 jam. Waktu paruh plasma sekitar 1 setengah jam. Lama kerja sampai dengan 10 jam> disekresi melalui ginjal; 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.

Kortikosteroid

11

Page 12: Reaksi Hipersensitivitas

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-α2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.

6.2 Farmakodinamik Antagonis Reseptor H1 (AH1)

1. Antagonisme terhadap histamine2. Menghambat bronkokonstriksi3. Menurunkan permeabilitas kapiler4. Mengatasi reaksi anafilaksis dan alergi5. Tidak dapat menghambat sekresi asam lambung, namun dapat mengahmabat sekresi

saliva dan kelenjar eksokrin lain akibat histamine6. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek Perangsangan yang kadang-

kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisa, dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umunya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat

Antagonis Reseptor H2 (AH2) Simetidin dan Ranitidin

1. Menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible2. Menghambat sekresi asam lambung akibat histamine3. Mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung

Famotidin1. Menghambat sekresi asam lambung2. 3 kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

Nizatidin

12

Page 13: Reaksi Hipersensitivitas

Potensi untuk menghambat sekresi asam lambung kurang kebih sama dengan ranitidin.

KortikosteroidPada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.

6.3 Indikasi Antagonis Reseptor H1 (AH1):

1. Penyakit Alergi2. Mabuk perjalanan dan keadaan lain

Antagonis Reseptor H2 (AH2) Simetidin dan Ranitidin

1. Mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya

2. Mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung3. Gangguan refluks lambung-esofagus4. Pada pasien Zollinger Ellison syndrome, efektif untuk mengatasi gejala

akibat sekresi asam lambung yang berlebihan tapi butuh dosis yang besar

Famotidin1. Mengatasi tukak duodenum dan tukak lambung2. Profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis, pencegahan tukak stress

NizatidinSama dengan AH2 lainnya.

Kortikosteroid1. Dermatosis alergi atau yang dianggap mempunyai dasar alergi (kecuali pada

herpes zoster)2. Penyakit kulit berat yang dapat menyebakan kematian (dermatitis, kelainan kulit

karena alergi obat secara sistemik (allergic drug eruption), eritroderma, reaksi

13

Page 14: Reaksi Hipersensitivitas

lepra, lupus eritema-tosa, pemfigoid bulosa(bullous pemphigoid),pemfigus danherpes zoster)

6.4 Kontraindikasi Antagonis Reseptor H1 (AH1):

1. Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara structural2. Bayi baru lahir atau premature3. Ibu menyusui4. Narrow-angle glaucoma5. Stenosing peptic ulcer6. Hipertropi prostat simptomatik7. Bladder neck obstruction8. Penyumbatan pylorodudenal9. Gejala saluran napas atas (termasuk asma)10. Pasien tua11. Pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI)

Antagonis Reseptor H2 (AH2): 1. Kehamilan 2. Ibu menyusui

(Del Rosso Q. James : Antihistamines dalam Systemic Drugs For Skin Disease, W.B. Saunders Company, United States of America, 1991, p.285-316.)

Kortikosteroid1. Pasien tukak lambung2. Nefritis3. Diabetes4. Hipertensi5. Gagal jantung kongestif6. Tuberkolosis

6.5 Efek samping obat Antagonis Reseptor H1 (AH1)

Sedasi, Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrum, konstipasi atau daire, mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan.

Anatagonis Reseptor H2 (AH2) Simetidin dan Ranitidin

Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

Famotidin

14

Page 15: Reaksi Hipersensitivitas

Nyeri kepala, diare dan konstipasi

NizatidinEfek samping ringan saluran cerna

KortikosteroidDapat timbul karena pemberian terus menerus dengan dosis yang berlebihan, penghentian pemakaian secara tiba-tiba. Efek samping yang ditimbulkan: Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal, Habitus Cushing, hiperglikemia dan glikosuria, osteoporosis dll

6.6 Dosis Antagonis Reseptor H1 (AH1)

Obat / efek sedatif Dosis reguler orangdewasa

(mg)

Masa kerja (jam)

Aktivitas antikolinergik

Keterangan

ANTIHISTAMIN GENERASI PERTAMAEthanolamin / + – +++

Carbinoxamin (listin) 4-8 3-4 +++ Sedasi ringan-menengah

Dymenhydrinate (garam)

Diphenydramine (dramamine)

50 4-6 +++ Sedasi lanjut; aktivitas anti motion

sickness

Diphenhydramine (benadryl,dll)

25-50 4-6 +++ Sedasi lanjut; aktivitas anti motion

sicknessDoxylamine 1,25-25 Sedasi lanjut;

tersedia dalam bentuk obat

pembantu tidurEthylamineddiamine / + – ++

Pyrilamine (Neo-Antergen)

25-5- + Sedasi menengah; komponen obat pembantu tidur

Pyrilamine (PB2,dll) 25-50 + Sedasi menengahObat / efek sedatif Dosis reguler

orangdewasa (mg)

Masa kerja (jam)

Aktivitas antikolinergik

Keterangan

Derivat piperazine / + – +++Hydroxyzine (Atarak,dll)

15-100 6-24 Sedasi lanjut

Cyclizine (marezine) 25-50 - Sedasi ringan; aktivitas anti motion

sicknessMeclizine (bonine,dll) 25-50 12-24 - Sedasi ringan;

15

Page 16: Reaksi Hipersensitivitas

aktivitas anti motion sickness

Alkylamine / + – ++Bropheniramine (dimetane,dll)

4-8 4-6 + Sedasi ringan

Chlorpheniramine (chlortrimeton,dll)

4-8 4-6 +++ Sedasi ringan; tersedia dalam

komponen perawatan flu

Derivat phenothiazine / +++Promethazine

(phenergen,dll)10-25 4-6 +++ Sedasi lanjut;

antiemetikLain-lain

Cyproheptadine (periactin,dll)

4 + Sedasi menengah; juga mengandung

aktivitas antiserotonin

ANTIHISTAMIN GENERASI KEDUAPiperidine

Fexofenadine (allegra) 60 - Resiko rendah dari aritmia

Lain-lainLoratadine (claritin) 10 12 - Aksi yang lebih lanjutCatirizine (Zyrtec) 5-10 -

(Sjabana Dripa : Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p. 467-487).

Anatagonis Reseptor H2 (AH2) Simetidin dan Ranitidin

Obat Dosis Simetidin 4 x 300 mg Ranitidin 2 x 150 mg/hari(Udin Sjamsudin, Hedi RD : Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi ,edisi 4, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta, 1995, p. 252-260.)

FamotidinOral pada tukak duodenum/lambung: 40 mg 1 x sehari. Pada tukak peptic tanpa komplikasi: dosis awal 20 mg sebelum tidur. Pada Zollinger-Ellison: dosis diindividualisasi, dosis awal per oral dianjurkan 20 mg/6 jam.Intravena pada hipersekresi asam lambung/pasien yang tidak dapat diberikan peroral: 20 mg/12 jam.

NizatidinOral dewasa: tukak duodenum aktif: 300 mg 1 x sehari pada saat akan tidur atau 150 mg 2 x sehari. Pada tukak peptik tanpa komplikasi: dosis awal dikurangi 50%.

16

Page 17: Reaksi Hipersensitivitas

Kortikosteroid

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa.

Baratawidjaja KG,Rengganis I. Imunologi Dasar.edisi kesembilan,Jakarta: Balai

Penerbit FKUI,2010;369-398

http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htm

http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/antigen.jpg

17

Nama penyakitMacam kortikosteroid dan dosisnya sehariDermatitisErupsi alergi obat ringanSJS berat dan NET

EritrodermiaReaksi lepraDLEPemfigoid bulosaPemfigus vulgarisPemfigus foliaseusPemfigus eritematosaPsoriasis pustulosaReaksi Jarish-Herxheimer

Prednison 4x5 mg atau 3x10mgPrednison 3x10 mg atau 4x10 mgDeksametason 6x5 mgPrednison 3x10 mg atau 4x10 mgPrednison 3x10 mgPrednison 3x10 mgPrednison 40-80 mgPrednison 60-150 mgPrednison 3x20 mgPrednison 3x20 mgPrednison 4x10 mgPrednison 20-40 mg

Page 18: Reaksi Hipersensitivitas

VII. Batasan Hukum Islam untuk Menentukan Alternatif Terbaik dari 2 Pilihan Sulit

18