reaksi hipersensitivitas terhadap obat

35
Pengalaman Belajar Lapangan REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT Oleh: Stephanie Inge Wijanarko Pembimbing : dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH 2017

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

30 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Pengalaman Belajar Lapangan

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

TERHADAP OBAT

Oleh:

Stephanie Inge Wijanarko

Pembimbing :

dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP SANGLAH

2017

Page 2: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

pengalaman belajar lapangan yang berjudul “Reaksi Hipersensitivitas Terhadap

Obat” ini tepat pada waktunya. Tugas ini disusun dalam rangka mengikuti

Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP

Sanglah Denpasar.

Dalam penulisan laporan pengalaman belajar lapangan ini penulis banyak

mendapatkan bimbingan maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan

moril. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD selaku dosen pembimbing atas segala

bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan laporan ini.

2. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan pengalaman belajar lapangan ini masih jauh

dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan tugas berikutnya.

Denpasar, Desember 2017

Penulis

Page 3: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 3

2.1. Definisi ....................................................................................................................... 3

2.2. Faktor risiko .............................................................................................................. 4

2.3. Patogenesis dan Patofisiologi .............................................................................. 4

2.4. Manifestasi Klinis ................................................................................................... 6

2.5. Diagnosis ................................................................................................................... 8

2.6 Diagnosis Banding .............................................................................................. . 12

2.7 Penatalaksanaan .................................................................................................. .. 12

2.8 Pencegahan .............................................................................................................. 15

BAB III LAPORAN KASUS ..................................................................................................... 17

3.1. Identitas Pasien ..................................................................................................... 17

3.2. Anamnesis .............................................................................................................. 17

3.3. Pemeriksaan Fisik ................................................................................................ 18

3.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................... 20

3.5. Diagnosis Kerja ..................................................................................................... 21

3.6. Penatalaksanaan .................................................................................................... 21

BAB IV DISKUSI HASIL KUNJUNGAN RUMAH ........................................................ 22

4.1. Alur Kunjungan Lapangan ................................................................................ 22

4.2. Identifikasi Masalah ............................................................................................ 22

4.3. Analisis Kebutuhan Pasien ................................................................................ 23

4.4. Saran dan Pemecahan Masalah ........................................................................ 28

4.5. Denah Rumah Pasien .......................................................................................... 29

4.6. Foto Kunjungan .................................................................................................... 30

BAB V PENUTUP ....................................................................................................................... 32

5.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 32

5.2. Kesimpulan Kunjungan Rumah ....................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Alergi

merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun

bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak menimbulkan reaksi

pada orang normal. Bahan penyebab alergi disebut alergen yaitu misalnya debu,

jamur, tungau, bulu binatang, atau makanan, seperti kacang-kacangan, telur, kerang,

ikan dan susu.1

Diperkirakan 10-20% penduduk di dunia pernah atau sedang menderita

penyakit tersebut. Lebih dari 25% populasi di negara industri menderita alergi.

Berdasarkan data dari Asthma and Allergic Foundation of America, alergi menempati

urutan ke enam sebagai pencetus dari penyakit kronis di Amerika.1,2

Setiap individu memiliki sistem imun yang berbeda. Semakin lemah sistem

imun seseorang maka orang tersebut semakin rentan untuk terkena penyakit. Efek

paparan alergen pun bervariasi dari satu individu terhadap individu lainnya. Kondisi

alergi ditandai oleh beberapa gejala seperti gatal pada area tubuh tertentu, mual,

muntah, hingga sesak nafas dan kondisi terburuk adalah kematian. Gejala yang

muncul tergantung dari bagian tubuh yang terpapar alergen. Jika mengenai saluran

pernafasan dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek, kongesti hidung, dan mengi.

Alergi makanan berhubungan dengan gejala mual, muntah, nyeri perut dan diare.

Alergi pada kulit dapat menimbulkan lesi, kemerahan, bula, rasa gatal dan lain

sebagainya.1

Reaksi hipersensitivitas obat termasuk dalam reaksi adversi obat yang tidak

dapat diduga. Reaksi adversi obat dapat dibedakan menjadi tipe A

(farmakologi/toksik) dan tipe B (hipersensitivitas). Manifestasi penyakit pada tipe A

dapat diprediksi, bergantung pada dosis obat, efek toksik dari obat pada dosis yang

disarankan atau dosis yang berlebihan. Tipe B memiliki manifestasi klinis yang tidak

dapat di duga dan berbeda tiap individu. Gejala terjadi dalam satu hingga enam jam

setelah meminum obat atau beberapa jam hingga hari dengan gejala yang muncul bisa

ringan (bersin) hingga berat (anafilaksis).3,4

Mengingat gejala yang timbul dari reaksi

hipersensitivitas sangat beragam dan bahkan bisa mengancam nyawa, maka

diperlukan suatu pemahaman yang baik terhadap penanganan reaksi hipersensitivitas

tersebut.

Page 5: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon

imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi

hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi empat tipe reaksi

berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan

IV.1-

3

World Health Organization mendefinisikan adverse drug reactions (ADRs)

sebagai reaksi yang tidak dikehendaki dan bersifat merugikan akibat respon

pemakaian obat pada dosis sesuai anjuran pada manusia untuk keperluan terapi,

profilaksis, diagnosis, maupun untuk modifikasi fungsi fisiologis.5,6

Klasifikasi

farmakologis dibagi menjadi dua subtipe: reaksi tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A

adalah efek farmakologis yang bisa diprediksi dan bergantung pada dosis.

Kebanyakan ADRs (sekitar 80%) merupakan reaksi tipe A, termasuk efek toksik, efek

samping, efek sekunder dan interaksi obat. Reaksi B merupakan reaksi

hipersensitivitas yang tidak dapat diprediksi dan tidak bergantung pada dosis. Reaksi

hipersensitivitas ini menyebabkan timbulnya gejala atau tanda pada dosis yang bisa

ditoleransi oleh orang normal. Sekitar 10%-15% dari keseluruhan ADRs merupakan

reaksi tipe B.5

Alergi obat adalah reaksi hipersensitivitas yang melibatkan mekanisme imun

(IgE atau T cell-mediated atau jarang melibatkan kompleks imun atau reaksi

sitotoksik). Semua kasus reaksi hipersensitivitas obat tanpa melalui mekanisme imun

(5%-10%) atau proses imunologis tidak terbukti, maka diklasifikasikan sebagai reaksi

hipersensitivitas non-imun.5 Klasifikasi ADRs dapat dilihat pada Gambar 1.

5

Page 6: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Gambar 1. Klasifikasi Adverse drug reactions, termasuk hipersensitivitas dan alergi

obat immune-mediated 5

2.2 Faktor Risiko

Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat

termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor terkait

obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas

terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan

laki-laki. Polimorfisme genetik dalam human leukocyte antigen (HLA) dan infeksi

virus seperti human immunodeficiency virus (HIV) dan Epstein-Barr virus (EBV),

juga berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya reaksi imunologis terhadap obat.

Kerentanan terhadap alergi obat dipengaruhi oleh polimorfisme genetik dalam

metabolisme obat.5,7,8

Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih

sering menyebabkan reaksi alergi obat dibandingkan administrasi secara oral. Dosis

berlebihan dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat menyebabkan

reaksi hipersensitivitas lebih besar daripada dosis tunggal. Selanjutnya, obat dengan

makromolekular atau obat hapten seperti penisilin, juga berhubungan dengan

kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas.5,7,8

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi

2.3.1 Imun dan non-imun reaksi hipersensitivitas terhadap obat

Alergi obat merupakan reaksi yang tidak diinginkan dimana antibody

dan/atau sel T aktif secara langsung melawan obat atau salah satu metabolit.

Page 7: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Jumlah reaksi dengan gejala alergi sering keliru dianggap sebagai alergi obat

yang sebenarnya.7,9

Patomekanisme reaksi termasuk;9

1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media

radiokontras, dan vankomisin),

2. Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors),

3. Aktivasi komplemen (protamine),

4. Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal anti-

inflammatory drugs) dan,

5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan

bronkospasme (β-bloker, sulfur dioksida).

2.3.2 Reaksi cepat hipersensitivitas obat

Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh

spesifik antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan reseptor

Fc RI afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan ikatan

multivalen terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen

kompleks protein hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi pelepasan

preformed mediators (histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-α) dan

produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin, kinin, sitokin lainnya).

Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit, lalu komponen

inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan untuk

sintesis protein dan pengerahan sel imun.9,10

2.3.3 Reaksi lambat hipersensitivitas obat

Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja

limfosit T. Kulit menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang

responsif terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak, sebagaimana

beberapa asam karboksil lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid), dapat menyebabkan

cedera hati melalui sistem imun, dimana dijelaskan dengan metabolisme hepar dan

modifikasi selektif protein hepar. Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama

dapat menimbulkan gejala dan tanda klinis yang berbeda pada individu yang berbeda

pula, meskipun obat tersebut diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang

sama. Untuk menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses pertama antigen obat.

Antigen lalu masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk berkembangnya

respon imun yang efektif, sistem imun innate perlu untuk diaktifkan, menyediakan

sinyal maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal bahaya dimana termasuk obat

Page 8: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di nodus limfa, antigen dipresentasikan

ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa antigen obat bisa secara langsung

menstimulasi sel T spesifik pada patogen, kemudian menghindari pengerahan untuk

sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik sel T bermigrasi ke target organ dan sekali

lagi melakukan paparan ulang terhadap antigen, mereka diaktifkan untuk mensekresi

sitokin yang meregulasi respon dan sitotoksin (perforin, granzim, dan granulisin)

yang mengakibatkan kerusakan jaringan.6,9,10

2.3.4 Peran virus dalam patogenesis reaksi hipersensitivitas obat

Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi kulit dan meniru reaksi

hipersensitivitas obat jika obat (kebanyakan antibiotik) yang diminum pada waktu

bersamaan.Walaupun infeksi virus dapat mencetuskan erupsi kulit, infeksi virus bisa

juga berinteraksi dengan obat, mengakibatkan erupsi ringan, misalnya pada kasus

“ampicillin rash” berkaitan dengan infeksi EBV dan reaksi berat selama drug

reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). Virus pertama kali

menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS yang terinfeksi Human herpes virus

(HHV)-6, tetapi semua HHV dapat terlibat. Beberapa studi menunjukkan bahwa

replikasi HHV-6 bisa menginduksi in vitro dengan amoksisilin.9

2.4 Manifestasi klinis

Pada penderita reaksi hipersensitivitas obat, banyak manifestasi klinis yang

dapat terlihat. Klinis yang terlihat, dapat membantu untuk melakukan penegakkan

diagnosis dan melakukan penanganan secara cepat pada penderita. Manifestasi akut

reaksi hipersensitivitas obat biasanya seperti, urtikaria, angioedema, rinitis,

konjungtivitis, bronkospasme, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) atau

anafilaksis, dimana dapat mengakibatkan kolapsnya kardiovaskular. Reaksi lambat

hipersensitivitas obat sering mempengaruhi kulit dengan gejala kutaneus yang

bervariasi, seperti urtikaria yang lambat terjadi, erupsi makulopapular, fixed drug

eruptions (FDE), vaskulitis, penyakit blistering (Toxic Epidermal Necrosis (TEN),

Steven Jonhson Syndrome (SJS) dan FDE bula general), sindrom hipersensitivitas,

acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan symmetrical drug-related

intertriginous and flexural exanthemas (SDRIFE). Organ internal yang bisa terkena

baik secara tunggal atau dengan gejala pada kulit dan termasuk hepatitis, gagal ginjal,

pneumonitis, anemia, neutropeni, dan trombositopeni.9 Klasifikasi alergi obat

Page 9: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

berdasarkan reaksi imun, mekanisme kerja, manifestasi klinis dan waktu terjadinya

reaksi dapat dilihat pada Tabel 1.1.9

Tabel 1.1 Klasifikasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat: mekanisme, manifestasi

klinis, dan waktu untuk bereaksi9

Reaksi Mekanisme Manifestasi Waktu untuk

imun klinis bereaksi

Tipe I (IgE- Kompleks obat-IgE berikatan Anafilaksis, Menit hingga mediated) pada sel mast dengan pelepasan urtikaria, jam setelah

histamin, mediator inflamasi angioedema, paparan obat

bronkospasme

Tipe II Spesifik antibodi IgG atau IgM Anemia, Bervariasi (sitotoksik) langsung pada sel-sel yang sitopeni,

terbungkus obat-hapten trombositopeni

Tipe III Deposisi jaringan dari kompleks Serum sickness, 1 – 3 minggu (kompleks obat-antibodi dengan aktivasi vaskulitis, setelah paparan

imun) komplemen dan inflamasi demam, ruam, obat

arthralgia

Tipe IV Presentasi MHC dari molekul Sensitivitas 2-7 hari setelah (delayed, obat terhadap sel T dengan kontak paparan obat

cell sitokin dan pelepasan mediator Ruam pada

mediated) inflamasi; dapat berkaitan kulit, kerusakan

dengan aktivasi dan pengerahan jaringan organ

eosinofil, monosit, dan neutrofil

Keterangan:

IgE: immunoglobulin E; IgG: immunoglobulin G; IgM: immunoglobulin M; MHC:

major histocompatibility complex

2.5 Diagnosis

Diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap obat ditegakkan berdasarkan

anamnesis yang teliti, adanya gejala klinis yang muncul setelah penderita terpajan

oleh alergen atau faktor pencetusnya dan identifikasi temuan fisik pada pasien.

Anamnesis yang teliti dapat memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya

reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan

fisik, tes diagnostik seperti tes kulit, graded challenges, dan induksi dari prosedur

toleransi obat juga dibutuhkan.7,9-11

2.5.1 Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit pasien merupakan cara yang paling

penting untuk diagnosis alergi obat. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala

yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasamya.

Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari

Page 10: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

satu macam obat.7,11

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi

obat adalah:11

a). Mencatat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga

obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi

obat;

b). Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi;

c). Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala.

Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat

baru timbul 7 - 10 hari setelah pemakaian pertama;

d). Mencatat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat

sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis

tinggi secara parenteral;

e). Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu;

f). Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat

dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama;

g). Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan

terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.11

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang cermat dapat membantu untuk mengetahui

kemungkinan mekanisme yang mendasari reaksi hipersensitivitas dan juga

mengarahkan pada pemeriksaan penunjang dan tes diagnostik yang diperlukan.

Manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien alergi obat dan contoh obat yang

menjadi penyebab dapat dilihat pada Tabel 1. 2.11

Tabel 1.2 Manifestasi klinis dari alergi obat11

Manifestasi Gambaran Klinis Contoh Obat Kausatif

Kulit - Difus, makula dan papul Allopurinol, penisilin, Exanthema - Terjadi beberapa hari pasca cephalosporin,

inisiasi obat antikonvulsan, sulfonamid

Urtika, - Onset dalam hitungan menit Antibiotik, ACE inhibitor, angioedema hingga jam setelah administrasi antikonvulsan, agen

obat neuromuscular blocking,

- Potensial untuk anafilaksis platinum, media

- Seringkali IgE-mediated radiokontras, NSAIDs,

narkotik

Erupsi obat - Plak hiperpigmentasi yang Antibiotik sulfonamid dan terjadi pada tempat yang sama tetrasiklin, NSAIDs, ASA,

setelah paparan ulang obat sedatif, agen kemoterapi,

Page 11: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

antikonvulsan

SJS - Demam, nyeri tenggorokan, Sulfonamid, nevirapine, lelah, melibatkan okular kortikosteroid,

- Ulkus dan lesi lain pada antikonvulsan, NSAIDs

membran mukosa, seperti (oxicams), allopurinol,

mulut dan bibir, dan area tubuh phenytoin, karbamazepine,

lain lamotrigine,

barbiturat, agen psikotropik,

pantoprazole, tramadol

TEN - Mirip SJS, tapi biasanya Sama seperti SJS

melibatkan epidermal yang

signifikan

- Potensi mengancam nyawa

Hematologi - Anemia hemolitik, leukopeni, Penisilin, sulfonamid, trombositopeni antikonvulsan,

cephalosporin, kuinin,

heparin, tiazid, gold salts

Hepatik - Hepatitis, cholestatic jaundice Sulfonamid, phenothiazin, karbamazepine, eritromisin,

agen antituberkulosis,

allopurinol, gold

Renal - Nefritis interstitial, Penisilin, sulfonamid, glomerulonephritis allopurinol, PPIs, ACE

inhibitors, NSAIDs

Manifestasi Gambaran Klinis Contoh Obat Kausatif

Reaksi - Urtikaria/angioedema, Antibiotik, agen multiorgan bronkospasme, gejala neuromuscular blocking,

Anafilaksis gastrointestinal, hipotensi anestesi, media

radiokontras, protein

rekombinan (omalizumab)

DRESS - Erupsi kutaneus, demam, Antikonvulsan, sulfonamid, eosinofilia, disfungsi hepatik, minosiklin, allopurinol,

limfadenopati strontium ranelate

Serum - Urtikaria, arthralgia, demam Heterologous antibodies, Sickness infliximab, allopurinol,

tiazid, antibiotik (cefaclor)

dan bupropion

DILE - Arthralgia, mialgia, demam, Hidralazine, prokainamid, malaise isoniazid, kuinidin,

minosiklin, antibiotik, dan

agen anti–TNF-alpha

Vaskulitis - Vaskulitis kutaneous atau Sulfonamid antibiotik dan visceral diuretik, hidralazine,

penisilamine,

propylthiouracil

Keterangan:

ACE: angiotensin-converting enzyme; NSAIDs: non-steroid anti-inflammatory drugs;

SJS: Stevens-Johnson syndrome; TEN: Toxic Epidermal Necrolysis; DRESS: Drug

rash with eosinophilia and systemic symptoms; DILE: drug-induced lupus

Page 12: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

erythematosus; ASA: acetylsalicylic acid; PPIs: proton pump inhibitors; TNF:

Tumour Necrosis Factor

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Prosedur tes kulit, seperti skin prick testing (SPT) dan tes intradermal (tes

dimana alergen diinjeksikan ke dalam dermis kulit) berguna untuk diagnosis reaksi

IgE-mediated (tipe I). Protokol tes kulit yang sudah terstandarisasi untuk penisilin dan

juga anastesi lokal, muscle relaxants, dan sangat sensitif untuk substansi protein

dengan berat molekul yang besar, seperti insulin atau antibodi monoklonal. Tes kulit

positif terhadap obat mengkonfirmasi adanya spesifik antigen IgE dan mendukung

diagnosis reaksi hipersensitivitas tipe I. Nilai prediktif negatif dari tes kulit terhadap

penisilin sangat tinggi dengan reagen yang sesuai dan karenanya hasil tes negatif

berguna untuk menyingkirkan alergi penisilin. Tes kulit negatif terhadap agen lainnya

(kecuali protein berat molekul yang besar) tidak efektif untuk menyingkirkan

keberadaan spesifik IgE.7

Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat

(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih

diragukan nilainya.12

Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal, antara lain:11

a). Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh

obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya

kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil

metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin,

hormon adrenokortikotropik, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).

b). Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein,

tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive).

c). Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbukan hasil positif semu. Sebagian

besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh

sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.11

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama

ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada

beberapa macam obat. Pemeriksaan Radio Allergo Sorbent test (RAST) yaitu

pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi

untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus

Page 13: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit

atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit.11

Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia

hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan

trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.

Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.

Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan

pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya

pun sering tidak memuaskan.11

2.6 Diagnosis Banding

Manifestasi klinis dari reaksi hipersensitivitas terhadap obat sangat bervariasi,

sehingga sangat penting untuk mengeksklusi kondisi lain yang serupa dengan reaksi

tersebut. Tabel 1.3 menunjukkan beberapa kondisi yang dapat dipertimbangkan

sebagai diagnosis banding reaksi hipersensitivitas terhadap obat.7 Tabel 1.3

Diagnosis banding reaksi hipersensitivitas terhadap obat7

Reaksi IgE-mediated Reaksi Non-IgE mediated (urtikaria, angioedema, anafilaksis, (exanthema, DRESS, SJS, TEN)

bronkospasme)

• Carcinoid syndrome • Acute graft-versus-host disease • Gigitan serangga • Penyakit Kawasaki

• Mastocytosis • Still’s disease

• Asma • Psoriasis

• Alergi makanan • Gigitan serangga

• Racun ikan Scombroid • Infeksi virus

• Alergi Lateks • Infeksi Streptococcal

• Infeksi (EBV, hepatitis A, B, C,

parasit gastrointestinal)

2.7 Penatalaksaan

Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari

atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai

bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak, dapat

diberikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya

menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang struktur

imunokimianya berlainan.7,11

Page 14: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian besar

bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat

ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat

dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang

tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain.7,11

Pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang berat seperti pada sindrom

Steven Johnson, pasiennya harus dirawat di ruangan intensif, karena selain harus

mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan kalori dan cairan

perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai berminggu-

minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan

antibiotik.7,11

Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang diinjeksi secara

intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0,01 ml/kg/BB

sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai

3-4 kali. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah

memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum,

kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis

tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan

selanjutnya pemberian prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama

satu sampai dua minggu.11

Manajemen terhadap beberapa obat yang dapat

menyebabkan alergi yaitu sebagai berikut:7

a) Penisilin

Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi. Untuk pasien

dengan alergi penisilin, pengobatan yang terbaik terbatas pada agen non-penisilin.

Karbapenem tidak memperlihatkan tingkat signifikan reaktivitas silang dengan

penisilin dan dapat diberikan sebagai graded challenge setelah tes kulit profilaksis

dengan karbapenem yang relevan. Monobaktam, seperti aztreonam, umumnya

ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan alergi penisilin, kecuali mereka

memiliki reaksi alergi terhadap ceftazidime. Idealnya, manajemen pasien dengan

alergi penisilin harus dilakukan tes kulit terhadap penisilin. Sekitar 90% pasien

memiliki respon tes kulit yang negatif terhadap penisilin dan aman diberikan

cephalosporin maupun agen betalaktam lainnya. Jika penisilin dianggap mutlak

diperlukan pada pasien alergi terhadap penisilin, maka desensitisasi perlu

Page 15: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

dipertimbangkan, dan prosedur sebaiknya dilakukan di bawah pengawasan medis

di rumah sakit.7

b) Sulfonamid

Sulfonamid merupakan salah satu antibiotik lainnya yang dapat menyebabkan

reaksi alergi dan sering berhubungan dengan erupsi makulopapular kutaneus yang

tertunda, SJS dan TEN. Pasien yang terinfeksi HIV mengalami peningkatan risiko

untuk berkembangnya reaksi kutaneus terhadap sulfonamid, dimana berkaitan

dengan faktor imunologis dan frekuensi paparan terhadap antibiotik. Struktur

kimia dari sulfonamid non-antibiotik (diuretik tiazid, beberapa NSAIDs dan

antikonvulsan) bervariasi dari antibiotik sulfonamid, agen ini tidak diharapkan

untuk reaksi silang dan secara umum aman diberikan untuk pasien dengan riwayat

alergi terhadap antibiotik sulfonamid.7

c) Cephalosporin

Pada penderita alergi terhadap cephalosporin, terdapat reaktivitas silang terbatas

pada tes imunologikal antara cephalosporin generasi kedua dan ketiga dan

penisilin, terutama amino-penisilin, tetapi hal ini belum tentu menunjukkan

reaktivitas klinis. Pentingnya tes kulit dengan tujuan pemberian antibiotik untuk

terapi, dan/atau administrasi graded challenge. Jika tes kulit positif dan tidak ada

alternative obat, induksi dengan prosedur toleransi obat dapat dicoba.7

d) Media radiokontras

Media radiokontras berkaitan dengan reaksi alergi dan reaksi pseudoalergi. Reaksi

alergi/pseudoalergi terhadap media radiokontras dapat dicegah melalui

penggunaan sebelum terapi regimen yang termasuk kortikosteroid oral dan

antihistamin H1. Agen osmolaritas rendah juga bisa digunakan pada situasi

tersebut.7

e) Anastesi lokal

Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat jarang terjadi.

Reaksi biasanya karena ada bahan-bahan lain dalam obat, seperti pengawet atau

epinefrin. Namun, jika riwayat reaksi konsisten dengan kemungkinan segera

(reaksi IgE-mediated), tes kulit diikuti tes graded challenge menggunakan

anestesi lokal bebas epinefrin dan pengawet dapat dilakukan.7

Page 16: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

f) Anastesi umum

Meskipun jarang, anafilaksis dapat terjadi pada pasien dibwah pengaruh anastesi

umum. Reaksi selama anastesi umum sering dikarenakan agen yang memblok

neuromuscular, tetapi dapat juga dikaitkan dengan anastesi intravena (propofol,

thiopentone, etomidate), antibiotik, NSAIDs, dan alergi lateks. Penilaian oleh ahli

alergi penting untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis alergi terhadap anastesi

umum, mengidentifikasi agen penyebab kemungkinan serta agen alternatif yang

dapat digunakan dengan aman.7

g) Reaksi asam asetilsalisilat/NSAIDs

Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat menyebabkan reaksi alergi yang

sebenarnya dan reaksi pseudoalergi, termasuk eksaserbasi dari penyakit respirasi

yang mendasari, urtikaria, angioedema dan anafilaksis. Pasien dengan penyakit

pernafasan kronis, seperti asma, rinitis dan sinusitis, mungkin bereaksi terhadap

asam asetilsalisilat dan NSAIDs yang menghambat siklooksigenasi-1 (COX-1).

Manajemen pasien ini dengan menghindari aspirin dan NSAIDs dan pengobatan

agresif dari penyakit respirasi yang mendasari. Selektif COX-2 inhibitor hampir

tidak pernah menyebabkan reaksi, dan biasanya dapat digunakan secara aman

untuk penderita alergi asam asetilsalisilat dan NSAIDs. Induksi prosedur toleransi

obat aspirin (juga dikenal sebagai desensitisasi aspirin) juga dapat

dipertimbangkan. Pasien dengan urtikaria kronis atau angioedema umumnya

toleran terhadap COX-2 inhibitor, tetapi mungkin mengalami eksaserbasi

urtikaria/angioedema terhadap NSAIDs yang menghambat COX-1. Reaksi alergi

terhadap NSAIDs biasanya spesifik pada obat tertentu dan pasien yang mengalami

reaksi ini seringkali tahan terhadap NSAIDs lainnya.7,13,14

2.8 Pencegahan

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi

hipersensitivitas terhadap obat yaitu memberikan obat sesuai indikasinya. Masalah

reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Peran obat-obat anti alergi seperti

antihistamin, kortikosteroid, dan simpatomimetik dalam upaya mencegah reaksi alergi

masih terbatas. Pada umumnya pemberian antihistamin dan steroid untuk pencegahan

reaksi alergi tidak bermanfaat kecuali untuk mencegah reaksi alergi yang disebabkan

oleh radioaktivitas.11

Page 17: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya,

termasuk obat yang diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain. Apabila

pasien berobat ke dokter, hendaknya memberitahukan kepada dokter yang

dikunjunginya perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi alergi, sehingga dokter

dapat membuat catalan khusus di kartu berobat pasien.7,11

Page 18: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : PK

Umur : 19 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pegawai swasta, mahasiswi

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Waturenggong Gg.XVII No. 13 Denpasar

MRS : 23 Juli 2016

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama: Bengkak pada kedua kelopak mata

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke UGD RS. Sanglah pada pukul 21.00 (23/07/2016). Pasien mengeluh

mengalami bengkak pada kedua kelopak mata yang terjadi kurang lebih 1,5 jam

Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Bengkak pada kedua kelopak mata dirasakan

setelah meminum obat puyer bintang 7 dan sekitar setengah jam meminum obat

dexamethasone. Bengkak pada kedua kelopak mata tanpa disertai bengkak pada bibir,

tidak ada sesak nafas ataupun nyeri menelan. Tidak ada gatal-gatal pada kulit. Pasien

meminum obat puyer bintang 7 akibat pilek sejak 2 hari yang lalu. Riwayat BAK dan

BAB dikatakan normal dan lancar.

Riwayat Pengobatan dan Penyakit Dahulu

Pasien sempat meminum dexamethasone 1x0,5 mg ± 30 menit SMRS. Riwayat alergi

sebelumnya dengan obat puyer bintang 7 pernah dirasakan sekitar 2 tahun yang lalu.

Riwayat seperti tekanan darah tinggi, kencing manis, sakit jantung, sakit ginjal dan

penyakit sistemik lainnya disangkal oleh pasien.

Page 19: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Pasien mengatakan tidak ada di keluarganya memiliki riwayat penyakit yang sama

seperti dialami pasien. Riwayat seperti tekanan darah tinggi, kencing manis, sakit

jantung, sakit ginjal dan penyakit sistemik lainnya disangkal oleh pasien.

Riwayat Sosial dan Personal

Pasien merupakan seorang pekerja kantoran dan seorang mahasiswi, sehari-harinya

melakukan aktifitas dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Pasien belum menikah.

Riwayat merokok dan minum minuman alkohol disangkal pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum (24/07/2016)

Kesan sakit : Sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6)

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi cukup

Respirasi : 20 kali/menit, teratur

Temperatur aksila : 36°C

Tinggi badan : 150 cm

Berat badan : 50 kg

BMI : 22,22 kg/m2

Pemeriksaan Fisik Khusus (24/07/2016)

Mata : Periorbital edema bilateral, anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil

+/+ Isokor,

THT : tonsil T1/T1, faring normal, atrofi papil lidah (-), ulkus pada bibir (-

), ulkus pada rongga mulut (-)

Leher : Pembesaran kelenjar (-), JVP PR ±0 cm H2O

Thoraks

Jantung

Inspeksi

Palpasi

Perkusi

: Tidak tampak pulsasi iktus kordis

: Tidak teraba iktus kordis

: Batas atas jantung setinggi ICS II

Page 20: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Batas kiri jantung setinggi ICS V axillary line anterior

sinistra, Batas kanan jantung setinggi ICS V PSL dextra

Auskultasi : suara jantung S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Paru

Inspeksi : Simetris (statis & dinamis)

Palpasi : Gerak dada simetris, nyeri tekan (-)

Vocal fremitus N

N

N N

N N

Perkusi : Sonor

Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler +

+, Rhonchi -

-, Wheezing -

-

+ + - - - -

Abdomen

+ + - - - -

Inspeksi : distensi (-), pelebaran pembuluh darah (-)

Auskultasi: bising usus (+) normal

Palpasi : nyeri tekan (-)

hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba

Perkusi : Shifting dullness (-), Nyeri ketok CVA (-)

Ekstremitas

Inspeksi : ruam kulit (-), lesi hiperemi (-)

Palpasi : hangat + | + edema - | -

+ | + - | -

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap

Tanggal 24 Juli 2016

Page 21: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Parameter Result Unit Remarks Reference

Range

WBC 8,58 103/μL 4,1 – 11,0

- Ne 5,73 103/μL 2,5 – 7,5

- Ly 2,05 103/μL 1,0 – 4,0

- Mo 0,45 103/μL 0,1 – 1,2

- Eo 0,30 103/μL 0,0 – 0,5

- Ba 0,06 103/μL 0,0 – 0,1

RBC 5,32 106/μL Tinggi 4,00 – 5,20

HGB 14,56 g/dL 12,00 – 16,00

HCT 46,97 % Tinggi 36,0 – 46,0

MCV 88,34 fL 80,0 – 100,0

MCH 27,39 pg 26,0 – 34,0

MCHC 31,00 g/dL 31,0 – 36,0

PLT 200,20 103/μL 140 – 440

RDW 11,88 % 11,60 – 14,8

Kimia Klinik

Tanggal 24 Juli 2016

Parameter Result Unit Remarks Reference Range

SGOT 14,90 U/L 11,00 – 27,00

SGPT 12,00 U/L 11.00 – 34,00

BUN 8,00 mg/dL 8,00 – 23,00

Kreatinin 0,72 mg/dL 0,50 – 0,90

Na 141 mmol/L 136 – 145

K 3,81 mmol/L Rendah 3,50 – 5,10

GlukosaDarah 69,00 Mg/dL 70,00 – 140,00

(Sewaktu)

3.5 Diagnosis Kerja

- Reaksi Hipersensitivitas akut et causa suspect drug (puyer bintang 7: acetosal,

acetaminophen, coffein)

3.6 Penatalaksanaan

Page 22: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Terapi

- Infus NaCl 0,9% 20 tetes/menit

- Hindari obat pencetus

- Diet bebas (jika tidak ada alergi makanan)

- Methylprednisolone 62,5mg setiap 12 jam intravena

- Diphenhydramin 10mg setiap 8 jam intravena

Planning Diagnosis

- IgE total

Monitoring

- Tanda-tanda vital

- Keluhan

- Distress pernafasan

Page 23: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

BAB IV

KUNJUNGAN RUMAH

4.1 Alur Kunjungan Lapangan

Kunjungan dilakukan pada tanggal 21 Agustus 2016. Kami mendapat

sambutan yang baik dari pasien dan keluarga. Adapun tujuan diadakannya kunjungan

lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta

mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien. Selain itu kunjungan lapangan ini

juga memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien serta memberikan

dorongan semangat kepada pasien dalam mengatasi penyakitnya. Pasien dalam kasus

ini didiagnosis dengan Reaksi Hipersensitivitas akut et causa suspect drug (puyer

bintang 7: acetosal, paracetamol, coffein)

Pada saat kunjungan, keadaan pasien sudah membaik. Keluhan bengkak di

kedua mata sudah tidak dirasakan. Keluhan lemas disangkal oleh pasien. Pasien

merasakan dirinya sudah kembali sehat semenjak selesai dirawat di RSUP Sanglah.

Nafsu makan pasien dikatakan normal dan Saat ini pasien sudah dapat melakukan

aktivitas sehari-hari.

4.2 Identifikasi Masalah

Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal

mengahadapi penyakitnya:

1. Pasien mengaku kurang memahami mengenai alergi yang dimiliki, dikarenakan

pasien masih tidak mengetahui kandungan obat yang menyebabkan alergi tersebut

dapat terjadi.

2. Pasien mengatakan bahwa pekerjaan dan jadwal kuliah yang padat, pasien tidak

memiliki waktu untuk pergi memeriksakan dirinya ke dokter.

3. Pasien masih kurang memahami mengenai resiko yang terjadi dari penyakit ini

seperti, syok anafilaktik. Pasien hanya merasa jika pasien sudah merasa gatal serta

bengkak pada tubuhnya merupakan hal yang biasa.

4. Pasien mengaku tidak begitu mengerti mengenai obat oral yang diminumnya,

pasien hanya mengikuti kata dokter yang pernah dikunjungi tanpa mengetahui

kegunaan obat tersebut.

Page 24: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

5. Pasien khawatir, pasien memiliki alergi ini setiap pasien memiliki aktivitas yang

berlebihan, sedangkan aktivitas yang dijalani pasien sangat padat, sehingga pasien

tidak mengerti bagaimana cara mempertahankan kondisi daya tahan tubuhnya.

6. Pasien mengaku mengalami stress setiap alerginya kambuh.

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien

4.3.1 Kebutuhan fisik-biomedik

4.3.1.1 Kecukupan Gizi

Pasien selalu mengkonsumsi nasi, daging dan sayur-sayuran setiap

hari. Pasien mengkonsumsi daging berupa daging ayam, ikan, sapi, serta

kambing, tetapi pasien tidak mengkonsumsi daging babi. Pasien juga

mengkonsumsi telur, tempe dan tahu untuk makanannya sehari-hari. Pasien

setiap hari mengkonsumsi buah sebanyak satu buah berupa buah jeruk ataupun

mangga. Dari data nutrisi harian pasien, dapat diketahui bahwa asupan harian

pasien mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Nutrisi

harian pasien tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

KIE diberikan kepada pasien dan keluarganya untuk menjaga variasi

dan jumlah porsi makanan setiap harinya. Hal ini bertujuan untuk menjaga

stamina dan daya tahan tubuh bukan hanya untuk kebaikan pasien tetapi juga

untuk seluruh anggota keluarga agar tidak rentan terkena penyakit lain.

Tabel 4.1 Nutrisi Harian

Jenis Jumlah Jadwal/hari Jadwal/minggu

Karbohidrat

Nasi 1 piring 2-3 kali 14-21 kali

Roti - - Kadang - kadang

Mie - - Kadang-kadang

Lainnya - - -

Jenis Jumlah Jadwal/hari Jadwal/minggu

Page 25: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Protein

Hewani

Ayam 1 potong - 3 kali

Telur 1 butir - 4 kali

Ikan laut 1 potong - 4 kali

Babi - - -

Sapi - - -

Kambing - - -

Nabati

Tahu 1 potong 2 kali 5 kali

Tempe 1 potong 2 kali 6 kali

Susu - - -

Buah 1 buah 1 kali 7 kali

Sayur ¼ piring 2 kali 14 kali

Lainnya - - -

Perhitungan kebutuhan kalori bagi pasien ini dihitung dengan

menggunakan rumus Brocca sebagai berikut: Berat badan idaman = (TB cm –

100) kg - 10%

= (150-100) kg

= 45 kg

Jadi, berat badan idaman untuk pasien ini adalah 45 kg.

Status gizi = (BB Aktual : BB Ideal) x 100%

= (50 kg : 45 kg) x 100%

= 111%

Jadi, status gizi pasien termasuk berat badan lebih.

Jumlah kebutuhan kalori perhari:

- Kebutuhan kalori basal = BB ideal (kg) x 25 kalori/kg

= 45 kg x 25 kalori/kg

= 1125 kal

- Kebutuhan aktivitas ditambah 20% = 20% x 1125 kal

= 225 kal

Berat badan lebih dikurangi 10% = 10% x 1125 kal

= 112,5 kal

Jadi total kebutuhan kalori per hari untuk pasien adalah 1237,5 kalori (1200

kalori).

Page 26: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Distribusi makanan:

- Karbohidrat 60% = 60% x 1200 kalori

= 720 kalori

Karbohidrat dibutuhkan sebesar 720 kalori setara dengan 180 gram

karbohidrat (705 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).

- Protein 20%= 20% x 1200 kalori

= 240 kalori

Protein dibutuhkan sebesar 240 kalori setara dengan 60 gram protein (235

kalori : 4 kalori/gram protein).

- Lemak 20%= 20% x 1200 kalori

= 240 kalori

Lemak dibutuhkan sebesar 240 kalori setara dengan 26,7 gram lemak (235

kalori : 9 kalori/gram lemak).

Contoh Makanan Sesuai Kebutuhan

Waktu Jumlah Jenis Jenis

Makan ± 20% dari Karbohidrat: 144 kal - Nasi putih (1 gelas)

Pagi total asupan Lemak: 48 kal - Susu sapi (1 gelas)

harian Protein: 48 kal - Telor ayam negri (1 butir) (240

kalori)

Selingan ± 10% dari - Pepaya 1 potong sedang

Pagi total asupan - Kopi+2 sendok gula

harian

(120 kalori)

Makan ± 30% dari Karbohidrat: 216 kal - Nasi putih (1 gelas)

Siang total asupan Lemak: 72 kal - Pepes ayam (1 potong)

harian Protein: 72 kal - Telur ayam negri (1 butir)

(360 kalori) - Sup/ sayur (1 mangkuk)

Selingan ± 15% dari - Singkong 1 potong sedang

Siang total asupan - Bubur kacang ijo 1 gelas

harian

(180 kalori)

Waktu Jumlah Jenis Jenis

Makan ± 25% dari Karbohidrat: 180 kal - Nasi putih (1 gelas)

malam total asupan Lemak: 60 kal - Daging ayam (1 potong

harian Protein: 60 kal sedang)

Page 27: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

(300 kalori) - Tahu (1/2 potong sedang)

- Cah kangkung/ sayur (1/2

mangkuk)

4.3.1.2 Kegiatan Fisik

Pasien mengatakan cukup sering beraktifitas. Pasien lebih banyak

menghabiskan waktunya dikantor. Pasien jarang berolahraga karena apabila

pekerjaan kantor yang diakui passien cukup menyita waktu. Pasien juga tidak terlalu

sering mengikuti berbagai kegiatan di banjar dan lingkungan rumahnya.

4.3.1.3 Akses Pelayanan Kesehatan

Pasien hendaknya tinggal di tempat yang mudah menjangkau pusat

pelayanan kesehatan terdekat. Pasien tinggal di Waturenggong, Denpasar dan

mengaku tidak sulit mengakses tempat pelayanan kesehatan. Jarak antara

rumah pasien dengan rumah sakit (RSUP Sanglah) yaitu sekitar 3 kilometer.

Transportasi yang biasa digunakan pasien untuk menuju tempat pelayanan

kesehatan adalah motor. Walaupun jarak yang ditempuh dari rumah ke RSUP

Sanglah tidak begitu jauh, tetapi pasien lebih memilih menuju klinik dekat

rumahnya, karena jaraknya yang hanya ± 300 meter.

4.3.1.4 Lingkungan

Pasien berasal dari Bali bersama dengan keluarganya. Pasien

merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Secara umum keadaan

lingkungan tempat tinggal pasien bersih. Tempat tinggal pasien berada dalam

gang dan susah dijangkau dengan kendaraan roda empat. Pasien tinggal

dirumah kontrakan dengan besar 30m x 20m. Tempat tinggal pasien tergolong

permanen dengan atap terbuat dari bahan permanen dengan plafon gypsum

sedangkan dinding dan lantai dibuat dari bahan permanen yakni batu bata serta

batako yang sudah di cat. Terdapat tiga kamar tidur, satu ruang tamu, satu

kamar mandi dan dapur. Secara keseluruhan tempat tinggal pasien terkesan

rapi dan bersih. Ventilasi udara di tempat tinggal pasien cukup baik. Rumah

pasien juga memiliki halaman rumah yang cukup luas. Sumber mandi dan

mencuci pakaian berasal dari air PAM. Sumber air untuk minum dan

keperluan memasak dari air galon.

4.3.1.5 Kebutuhan Emosi/Kasih Sayang

Page 28: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Pasien tinggal di Bali bersama keluarganya, namun pasien sekarang

memiliki pekerjaan tetap di Nusa Lembongan sehingga pasien hanya tinggal

dirumahnya ketika akan kuliah. Keluarga pasien sering mengingatkan pasien

mengenai alerginya, sehingga selalu diingatkan untuk menjaga kondisi tubuh

ditengah aktivitas yang sangat padat. Ibu pasien selalu siap siaga dengan obat–

obatan yang dimiliki serta siap mengantarkan anaknya jika memang perlu

menuju rumah sakit, dikarenakan pasien memiliki alergi sejak pasien duduk

dibangku SMA. Keluarga pasien juga selalu menemani pasien pada saat

pasien harus dirawat inap di rumah sakit. Pasien juga memiliki tetangga di

sebelah kosnya yang tahu kondisi kesehatan pasien. Mereka sering bertanya

kondisi pasien setiap harinya. Pasien mengaku bahwa tetangganya juga

sempat menjenguk pasien ketika pasien rawat inap di rumah sakit.

4.3.2 Kebutuhan Bio-Psikososial

4.3.2.1 Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis pasien dilihat dari keluarga pasien. Keluarga

pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang dialami pasien.

Kualitas kehidupan sehari-hari pasien dikatakan baik, karena pasien bisa

melakukan semua aktivitas dasar seperti makan, minum, berjalan,

membersihkan diri, mengontrol BAB dan BAK tanpa ada masalah dan tidak

perlu bantuan.

4.3.2.2 Faktor Psikologi

Pasien sangat membutuhkan pengertian dan dukungan dari keluarga

dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan menjaga kesehatan setiap harinya

serta pengaturan dietnya. Pasien tinggal bersama keluarganya yang cukup

memperhatikan kondisi kesehatannya. Pasien memiliki keluarga besar yang

selalu mendukung dan memperhatikan keadaan pasien. Saat ini, pasien tidak

dalam keadaan depresi, sehingga lebih mudah untuk menerima masukan dari

keluarganya.

4.3.2.3 Faktor Sosial dan Kultural

Pasien memiliki tetangga yang peduli dengan kondisi kesehatan

pasien. Keluarga dan lingkungan sekitar rumahnya mengenal baik pasien,

semenjak pasien kecil walaupun pasien jarang mengikuti acara dibanjarnya,

Page 29: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

tetapi pasien masih menjaga silahturahmi yang baik dengan lingkungan

sekitar.

4.3.2.4 Faktor Spiritual

Keluarga pasien merupakan keluarga yang sangat menjunjung tinggi

nilai keagamaan, sehingga pasien dan keluarga jauh dari pikiran– pikiran

negatif yang dapat membuat pasien maupun keluarga menjadi berbeban berat

dalam kondisi psikisnya.

4.4 Saran dan Pemecahan Masalah

Beberapa masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan

penyelesaian masalah yang yakni:

1. Edukasi pasien tentang penyakitnya

Pasien dijelaskan kembali dengan lebih lengkap mengenai alergi yang dimiliki,

perkiraan perjalanan penyakitnya, kemungkinan keluhan lain yang dapat muncul,

pencegahan dan pengobatannya.

2. Memberikan KIE agar mengenali tanda-tanda alergi, serta diedukasi mengenai

faktor pencetus apa saja yang dapat menimbukan alergi pasien. Pasien juga

diedukasi mengenai menjaga lingkungan tempat tinggal. Pasien perlu diedukasi

mengenai pentingnya menjaga kebersihan dalam rumah, supaya tidak menumpuk

bahan–bahan alergen yang dapat menjadi salah satu pencetus alergi yang dimiliki

oleh pasien.. Pasien juga diberikan informasi mengenai pemilihan makanan,

memakan makanan yang sudah dimasak, menghindari makanan mentah dan

mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau memakan makanan.

3. Pasien juga disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter kulit demi mengetahui

penyebab alergi pasien dengan cara dilakukan skin prick test.

4. Memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga daya tahan tubuh, seperti

halnya meminum vitamin.

5. Memberikan semangat kepada pasien untuk lebih bersabar supaya ketika

alerginya kambuh pasien dapat berpikir jernih dan langsung dapat bertindak untuk

mengobati alergi yang dimiliki.

Saran kepada keluarga:

1. Agar keluarga selalu ikut meningatkan pasien mengenai makanan yang

dikonsumsi setiap harinya agar sesuai dengan kebutuhan nutrisi yang disarankan.

Page 30: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

2. Selalu memberikan dukungan moril kepada pasien agar selalu menjaga

kesehatannya.

Page 31: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Alergi adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Alergi

merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun

bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak menimbulkan reaksi

pada orang normal. Bahan penyebab alergi disebut alergen yaitu misalnya debu,

jamur, tungau, bulu binatang, atau makanan, seperti kacang-kacangan, telur, kerang,

ikan dan susu.

Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat yang tidak dapat

diduga. Efek samping obat dapat dibedakan menjadi tipe A (farmakologi/toksik) dan

tipe B (hipersensitivitas). Manifestasi penyakit pada tipe A dapat diprediksi,

bergantung pada dosis obat, efek toksik dari obat pada dosis yang disarankan atau

dosis yang berlebihan. Tipe B memiliki manifestasi klinis yang tidak dapat di duga

dan berbeda tiap individu. Gejala terjadi dalam satu hingga enam jam setelah

meminum obat atau beberapa jam hingga hari dengan gejala yang muncul bisa ringan

(bersin) hingga berat (anafilaksis).3,4

Mengingat gejala yang timbul dari reaksi

hipersensitivitas sangat beragam dan bahkan bisa mengancam nyawa, maka

diperlukan suatu pemahaman yang baik terhadap penanganan reaksi hipersensitivitas

tersebut.

Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat

termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor terkait

obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas

terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan

laki-laki..

Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari

atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai

bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak, dapat

diberikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya

menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang struktur

imunokimianya berlainan.

Page 32: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi

hipersensitivitas terhadap obat yaitu memberikan obat sesuai indikasinya. Pasien

harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya, termasuk obat yang

diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain. Apabila pasien berobat ke

dokter, hendaknya memberitahukan kepada dokter yang dikunjunginya perihal obat

yang pemah menyebabkan reaksi alergi, sehingga dokter dapat membuat catalan

khusus di kartu berobat pasien.

5.2 Kesimpulan Kunjungan Rumah

1. Pada saat kunjungan, keadaan pasien sudah membaik. Keluhan bengkak di

kedua mata sudah tidak dirasakan. Keluhan lemas disangkal oleh pasien.

Pasien merasakan dirinya sudah kembali sehat semenjak selesai dirawat di

RSUP Sanglah. Nafsu makan pasien dikatakan normal dan Saat ini pasien

sudah dapat melakukan aktivitas sehari-hari.

2. Permasalahan yang didapat dari pasien pada saat kunjungan ke rumah pasien

antara lain:

- Pasien mengaku kurang memahami mengenai alergi yang dimiliki,

dikarenakan pasien masih tidak mengetahui kandungan obat yang

menyebabkan alergi tersebut dapat terjadi.

- Pasien mengatakan bahwa pekerjaan dan jadwal kuliah yang padat,

pasien tidak memiliki waktu untuk pergi memeriksakan dirinya ke

dokter.

- Pasien masih kurang memahami mengenai resiko yang terjadi dari

penyakit ini seperti, syok anafilaktik. Pasien hanya merasa jika pasien

sudah merasa gatal serta bengkak pada tubuhnya merupakan hal yang

biasa.

- Pasien mengaku tidak begitu mengerti mengenai obat oral yang

diminumnya, pasien hanya mengikuti kata dokter yang pernah

dikunjungi tanpa mengetahui kegunaan obat tersebut.

- Pasien khawatir, pasien memiliki alergi ini setiap pasien memiliki

aktivitas yang berlebihan, sedangkan aktivitas yang dijalani pasien

sangat padat, sehingga pasien tidak mengerti bagaimana cara

mempertahankan kondisi daya tahan tubuhnya.

- Pasien mengaku mengalami stress setiap alerginya kambuh.

Page 33: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

3. Pasien tidak mengalami kesulitan untuk melakukan pengobatan ke RSUP

Sanglah. Selain itu, keluarga pasien juga memperhatikan kebutuhan makanan

dan mengontrol kesehatan pasien dengan mengingatkan pasien untuk minum

obat dan bersedia mengantar pasien untuk ke rumah sakit. Walaupun jarak

yang ditempuh dari rumah ke RSUP Sanglah tidak begitu jauh, tetapi pasien

lebih memilih menuju klinik dekat rumahnya, karena jaraknya yang hanya ±

300 meter

4. Pasien berasal dari Bali bersama dengan keluarganya. Pasien merupakan anak

kedua dari tiga bersaudara. Secara umum keadaan lingkungan tempat tinggal

pasien bersih. Tempat tinggal pasien berada dalam gang dan susah dijangkau

dengan kendaraan roda empat. Pasien merasa diperhatikan dan disayang oleh

keluarganya sehingga pasien tetap merasa gembira walaupun sering sakit.

Page 34: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

DAFTAR PUSTAKA

1. Elshemy A, Abobakr M. Allergic reaction: symptoms, diagnosis, treatment and

management. Journal of scientific and innovative research. 2013;2(1):123-144.

2. Tanjung A, Yunihastuti E. Prosedur diagnostik penyakit alergi. In: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2006; p.377-381.

3. Brockow K, Przybilla B, Aberer W, Bircher AJ, Brehler R, Dickel H, et al.

Guideline for the diagnosis of drug hypersensitivity reactions. Allergo J Int.

2015;24:94-105.

4. Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, Ledford DK, Ring J, Borges MS, et al.

World Allergy Organization guidelines for the assessment and management of

anaphylaxis. WAO Journal. 2011;4:13-37.

5. Thien FCK. Drug hypersensitivity. Medical Journal of Australia.

2006;185(6):333-338.

6. Schrijvers R, Gilissen L, Chiriac AM, Demoly P. Pathogenesis and diagnosis of

delayed‑type drug hypersensitivity reactions, from bedside to bench and back.

Clin Transl Allergy. 2015;5(31):1-10.

7. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Asthma & Clinical Immunology.

2011;7(1):1-8.

8. Bernard YH, Thong, Tan TC. Epidemiology and riskfactors for drug allergy.

British Journal of Clinical Pharmacology. 2010;71(5):684-700.

9. Demoly P, Adkinson NF, Brockow K, Castells M, Chiriac AM, Greenberger PA,

Khan DA, et al. International consensus on drug allergy. European Journal of

Allergy and Clinical Immunology. 2014;69:420-437.

10. Stone SF, Phillips EJ, Wiese MD, Heddle RJ, Brown SGA. Immediate-type

hypersensitivity drug reactions. British Journal of Clinical Pharmacology.

2013;78(1):1-13.

11. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. In: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2006; p.387-391.

Page 35: REAKSI HIPERSENSITIVITAS TERHADAP OBAT

12. Romano A, Torres MJ, Castells M, Sanz ML, Blanca M. Diagnosis and

management of drug hypersensitivity reactions. Journal Allergy Clin Immunol.

2011;127(3):67-73.

13. Borges MS. Management of nonsteroidal anti-inflammatory drug hypersensitivity.

WAO Journal. 2008;1:29-33.

14. Borges MS, Fonseca FC, Hulett AC, Aveledo LG. Hypersensitivity reactions to

nonsteroidal anti-inflammatory drugs: an update. Pharmaceuticals. 2010;3:10-18.