rangkuman.doc
TRANSCRIPT
RANGKUMAN
“ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH”
Di Susun Oleh :
1. Eka Fredy Setiawan ( A 510 070 157 )
2. Ati Narmiyati ( A 510 070 117 )
PROGRAN STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009
Pendaftaran sekolah di mulai, musim orang tua di buat repot dengan berbagai biaya, musim
orang tua juga di buat kesal oleh nilai – nilai anaknya yang jeblok, juga musim orang tua di buat sibuk
untuk membelikan segala sesuatu untuk kebutuhan anak – anaknya yang bersekolah. Hari ini, ketiga
temenku yang bernama Budi, Yudi dan Pepeng akan mendaftar di sekolah SD Kartini. Sebelum
kejadian mengecewakan akan terjadi, jauh – jauh hari aku sudah mengantisipasinya, aku tidak mau
semangat ketiga temanku nglokro, ketika mengetahui berapa jumlah biaya yang harus di bayar untuk
pendaftaran pertama masuk sekolah.
Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid berprestasi termasuk untuk
orang yang tidak mampu. Kepala sekolah yang memberitahukannya sendiri melalui sosialisasi di kelas
atau di temple di papan pengumuman. Aku tidak ingin hanya gara – gara biaya, semangat mereka
pupus di tengah jalan. Maka, hari ini aku berangkat lebih pagi untuk menemui kepala sekolah di
ruangannya. Aku ingin ketiga temanku itu masuk di SD Kartini untuk mencari ilmu. Aku mengetuk
pintu yang menganga, mengucapkan salam, dan bergegas masuk tanpa di persilahkan oleh penghuni di
dalam. Kulihat ruangan itu sepi, dari luar tak ada satupun di dalamnya. Aku kemudian duduk di sofa
yang lembut sambil memandangi seluruh ruangan. Ruangan kepala sekolah adalah ruangan yang
termewah di kelas ini.
Tiba – tiba, dari balik bifet kaca itu kepala sekolah muncul dengan penampilan terbaiknya. Aku
merasa kikuk di hadapan Pak Zainal, kepala sekolah yang sangat aku agumi itu, aku mulai bercerita
kepada Pak Zainal kalau ketiga teman saya ingin sekolah di sini tetapi mereka tidak mampu tetapi
mereka mempunyai semangat yang tinggi untuk sekolah. Dan akhirnya Pak Zainal mengijinkan mereka
untuk sekolah di SD Kartini ini. Tentang keringanan SPP, tentang beasiswa tidak mampu, tentang
kesediaan Pak Zainal untuk membantu anak – anak miskin yang tidak mampu untuk sekolah Pak
Zainal membebaskan biaya administrasi, uang gedung, uang sragam , dan paket buku – buku Dinas.
“Lantas, kalau seragam sekolah dan paket – paket buku bacaan?” Aku mencoba mengajukan
keringanan juga. Tetapi Pak Zainal tak menjawab, hanya eee, selanjutnya ia mengatakan, untuk
sementara waktu mereka bisa memakai seragam sepunyanya dulu, sebab masih menunggu dana yang
lebih besar itu cair lagi. Tak masalah pikirku, yang penting mereka terbebaskan dari beban biaya
sekolah yang begitu mahal. Aku belajar satu hal lagi, di mana ada niat di situ pasti ada jalan, dan
jalan itu tak lain adalah kwemudahan dari Allah dengan cara yang sama sekali tak kita sangka –
sangka.
Matahari mulai merangkak pelan, sinar untravioletnya yang keemasan menerpa wajah legam
dan gosong dari anak – anak alam. Mereka tampak mengernyitkan dahi, menahan tubuhnya agar lebih
tahan dengan sinar matahari yang menyehatkan. Keringat dan debu – debu jalan membuat sosok
mereka semakin kumal. Tetapi meskipun begitu, penampilan mereka lain dari biasanya. Mereka
memakai celana pendek sepaha berwarna merah, tanpa sabuk, dan baju putih yang telah kusam, di
pundaknya melingkar tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah. Dari kakinya,
mereka memakai alas sandal jepit yang telah butut, jika biasanya anak sekolah memakai sepatu hitam
bertali dan kaos kaki putih, tetapi anak – anak alam hanya memakai sandal jepit. Dengan penampilan
yang biasa – biasa saja mereka tidak putus untuk sekolah, mereka ingin tetap sekolah walaupun
penampilannya jelek.
Segebung semangat menyala di hati mereka, hingga setengah jam kemudian mereka telah
sampai di gerbang Sekolah Dasar Negeri Kartini. Mereka menghentikan langkah kakinya, diam – diam
mereka mengucap bismillah sebelum masuk kelas satu. Tak heran, mereka terkaget – kaget dengan SD
Kartini, sekolah kami tak ubahnya seperti sekolah yang baru saja terkena gempa bumi. Mulai dari
atapnya, engkau bisa melihat eternity yang jebol. Tembok – tembok di keempat sisinya seperti
meneriakkan keprihatinan yang mendalam, retakan seperti tanah liat di musim kemarau itu menjelma
lukisan abstrak yang akan aku bayangkan bentuknya mirip helicopter, kadang mirip sulaman rumah
Spederman. Ubin di kelas kami adalah jenis ubin teraso yang baru mengkilat jika dip el dengan ampas
kelapa, ubin itu pada mulanya berwarna abu – abu denganbusam sana – sini akibat cairan semen kering
atau pasir.
Kursi dan meja yang dulu kududuki juga sudah di makan rayap, bahan dari kayu sengon ini
ternyata mudah lapuk setelah beberapa puluh tahun tak pernah diganti. Hiasan di kelas satu sangatlah
sederhana, hanya ada papan tulis hitam yang bisa di lipat, papan absensi, sebuah bola dunia atau globe
yang terpasang di depan meja guru, kemudian penggaris rotan dan sebuah kalender dari Diknas yang
memuat wajah seseorang yang tak kukenal. Di atas papan tulis tadi ada foto Pak Presiden dan wakil, di
tengahnya adalah patung burung garuda yang pertama kali kukenal lewat pelajaran PMP. Dengan
suasana ruang yang kurang nyaman bagi mereka tetapi mereka tidak pernah melihat suasana ruang
kelas, tetapi mereka ingin mencari ilmu. Ibu guru, ibu Mutia, guru di kelas satu adalah sosok ibu yang
tak pernah tergantikan. Beliau adalah sosok penyanyang dan lemah lembut. Selama empat puluh tahun
mengabdi, sejak sekolah ini di bangun di masa awal kemerdekaan, sudah beberapa ribu yang di ajarkan
membaca. Aku bisa membaca karena Bu Mutia, aku benar – benar bangga dengan Bu Mutia.
Keadaan SD Kartini sangatlah memprihatinkan, ruang kelas satu tadi jadi satu dengan kelas
dua, kelas satu masuk jam tujuh pagi sampai jam sembilanan, kelas dua masuk jam sembilan sampai
jam dua belas. Kelas tiga dengan kelas empat dan kelas lima dengan kelas enam, selain itu terdapat
juga laboraturium IPA, mushola, toilet murud yang terpisah dengan toilet guru, sebelum sesampai di
ruang kepala sekolah, kami membelok di tikungan yang di depannya terlihat patung Ibu Kartini
berukuran setengah badan yan g menghadap bahu jalan. Barulah di dekat jalan raya itu ada papan nama
sekolah yang di apit oleh dua batang pohon bambu raksasa berumur puluhan tahun. Rata – rata murid
di SD Kartini berasal dari golongan ekonomi menengah, satu dua murid justru berasal dari golongan
bigh class. Seperti Guruh, meskipun satu dua orang murid – murid kelas satu anak orang kaya. Mereka
tidak pernah minder berada dalam kelas satu, walaupun ada satu atau dua orang anak orang kaya
mereka bertiga tetap semangat untuk sekolah di SD Kartini.
Orang miskin seperti kalian tidak pantas sekolah di sini, kata Guruh ketua kelas di kelas satu
tersebut. Tanpa melihat tampang ketiga anak alam tersebut. Kata – kata Guruh telah membuat mereka
menjadi minder, angan – angan melambung, cita – cita setinggi gunung, harapan memeluk rembulan
dan memetik bintang – bintang di angkasa perlahan – lahan menciptakan mimpi buruk bagi mereka.
Mereka hanya saling berpandangan, ingin rasanya mereka berlarimemutus harapan mereka sendiri,
kembali ke hidupan liar mereka, bermain – main di atas pohon, membantu orang tua mereka menjadi
penyabit rumput, kuli pengangkut kelapa, atau penjual pisang goring yang sukses menerima caci maki.
Saat itu juga ingin rasanya mereka membuka paksa seragam mereka, mencabik – cabiknya sendiri
mencampakkannya ke bawah dan menginjak – injaknya sampai lumat dengan kaki – kaki kecil mereka.
Seolah – olah mereka ingin protes, tak sekolah taka pa, toh tak perlu sekolah pun mereka bisa cari uang
sendiri, tak seperti mereka, murid – murid kelas satu sampai kelas dua yang hanya pintar
menengadahkan tangan meminta uang saku saja.
Hampir saja, sebelum kemarahan mereka meletup – letup, sepercik air meneduhi jiwa mereka.
Kania membantah perkataan Guruh yang selalu memojokkan anak baru tersebut. Kania murid kelas
satu yang paling kecil sendiri dan bersuara nyaring, Kania berkata. Tak pantas murid – murid Bu Mutia
berlaku seperti itu, apakah mereka tak ingat pelajaran budi perketi yang selalu di sampaikan Pak
Syaerozi, guru agama islam yang begitu sabar. Orang miskin orang kaya, tiap orang punya kesempatan
yang sama untuk memperoleh pendidikan dan mengejar cita – citanya.