rangkuman hasil fgd rembuk nasional, 16 mei 2017 hotel...

4

Click here to load reader

Upload: vuque

Post on 06-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rangkuman Hasil FGD Rembuk Nasional, 16 Mei 2017 Hotel ...rembuknasional.org/wp-content/uploads/2017/08/03_Rangkuman_FGD_… · Dulu, demokrasi liberal ditolak, demokrasi terpimpin

Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760

Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org | [email protected]

Rangkuman Hasil FGD Rembuk Nasional, 16 Mei 2017

Hotel Atlit Century, Jakarta

Latar Belakang: Warisan (Persoalan) Kebangsaan

Sejak awal berdirinya, Indonesia sudah merepresentasikan keberagaman suku bangsa dan agama,

yang merasakan penderitaan yang sama sebagai orang terjajah dan kemudian memiliki gagasan untuk

memerdekakan diri sebagai bangsa yang satu. Karena itu, sekalipun jumlahnya mayoritas, tak satupun

kelompok berhak mendaku diri sebagai pemilik tunggal Indonesia dan memposisikan kelompok lain

sekadar ‘nebeng’.

Para pendiri bangsa merekatkan keberagaman sebagai medium membangun bangsa, keberagaman

sebagai dasar untuk bersatu. Bagi mereka, keberagaman bukanlah untuk keberagaman itu sendiri.

Tetapi, keberagaman untuk persatuan. Pengedepanan keberagaman yang berlebih-lebihan telah

memudahkan kaum kolonial memecah-belah dan menjajah mereka.

Meski faktualnya keberagaman sudah menjadi realitas kesejarahan, kehendak untuk menafikannya

bukanlah tak ada. Percobaan datang silih berganti. Ruang ini terbuka karena sebagai bangsa kita lebih

memilih jalan untuk menunda-nunda mengurai persoalan yang pokok.

Berbeda dengan negara-negara di Barat, misalnya, di Indonesia hubungan agama dengan negara

belumlah selesai. Ini masih merupakan daerah abu-abu yang memungkinkan kelompok-kelompok

tertentu merabasnya ketika terbuka peluang.

Begitu juga dengan demokrasi. Hingga kini, Indonesia tak punya panduan demokrasi seperti apa yang

hendak dijalankan. Dulu, demokrasi liberal ditolak, demokrasi terpimpin Bung Karno juga tak

diterima. Demokrasi Pancasila ala Soeharto juga ditolak. Kini, praktisnya, Indonesia kembali

mempraktikan demokrasi liberal.

Lebih daripada itu, meski Pancasila selalu dibicarakan, nyatanya Pancasila tak berkembang. Tidak

pernah terjelaskan bagaimana konkritnya. Yang ada, berbagai pihak berkelahi menafsirkan Pancasila,

tapi hasilnya tak pernah ada. Yang ada, semua berbicara Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila tapi tak pernah teruraikan tahapan dan bentuknya seperti apa. Tak berlebihan jika

dikatakan, Pancasila bagai ada tapi tiada.

Situasi Kini: Untaian Masalah

Meski telah banyak kemajuan dan perubahan yang dilakukan, Indonesia hari ini masih berkubang

pada masalah-masalah lama: kesenjangan sosial-ekonomi pun teknologi, rendahnya kualitas modal

manusia dan menjamurnya korupsi. Masih terkait ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan juga

masih mengabaikan local wisdom sehingga masyarakat merasa tercerabut dari akarnya.

Hal ini diperburuk lagi oleh ketiadaan nilai-nilai kewargaan yang terbangun.Sekalinya ada, nilai yang

terbentuk adalah kompromisme yang digenapi oleh kegemaran melakukan simplifikasi dalam

pemikiran dan pemahaman dalam memandang setiap persoalan. Keinginan untuk mendapatkan hasil

cepat dan jalan pintas.

Page 2: Rangkuman Hasil FGD Rembuk Nasional, 16 Mei 2017 Hotel ...rembuknasional.org/wp-content/uploads/2017/08/03_Rangkuman_FGD_… · Dulu, demokrasi liberal ditolak, demokrasi terpimpin

Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760

Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org | [email protected]

Pratik kontestasi politik juga menghadirkan konsekuensi yang tak diduga. Para aktor politik memilih

menggunakan sumber daya alam sebagai sarana transaksi politik untuk memenangkan kompetisi

politik. Pada titik ini, kita dihadapkan pada situasi‘adu balap’antara proses pendewasaan demokrasi di

satu pihak dan habisnya sumber daya alam di lain pihak.

Di tataran nasional, ada banyak kegamangan dalam praktik pemerintahan. Berbagai masalah

dilontarkan tanpa ada kejelasan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Kebijakan publik yang belum

diuji dan masih menyimpan banyak masalah sudah dilontarkan ke publik. Keputusan untuk melakukan

perubahan/reformasi tidak pernah tuntas dilakukan.Contohnya, hakim yang memutuskan persoalan

berdasarkan hukum yang ada dipersoalkan meski aturan tersebut memang dinilai bermasalah. Tapi,

tak pernah ada upaya untuk membereskan aturan hukum yang bermasalah tersebut.

Beriringan dengan itu, setidaknya sejak pasca reformasi 1998,situasi kebangsaan ditandai oleh

meningkatnya primordialisme. Kini, umpamanya, hampir tak mungkin lagi orang Batak jadi bupati di

Madura. Keinginan yang mencuat, pemimpin sebuah tempat berasal dari suku bangsanya sendiri.

Dalam tataran personal, identifikasi diri warga negara lebih condong pada tempat atau etnisitas,

ataupun agamanya. Individu, umpamanya, pertama-tama lebih merasa sebagai orang Kalimatan

daripada mendaku diri sebagai orang Indonesia.

Pasang naik pengidentifikasian diri dengan agama perlu dicermati. Pendulum kiri mudah dirontokkan

jika berani muncul karena tersedia rambu-rambu hukumnya. Berbeda dengan itu, pendulum kanan

bangsa lebih tidak jelas batas-batasnya. Merekalebih bebas mengarah kemanapun.Tak mengherankan

jika kemudian kini mengemuka wacana bahwa agama berada di atas Pancasila. Jika ini berlanjut, tak

akan mengejutkan nanti akan ada hukum syariah di tiap provinsi, di Bali ada, di Minahasa ada, juga di

daerah lainnya. Ini diimbuhi kehadiran ‘kaum gamisan’ (baca: HTI) yang berkeinginan mengimpor

gagasan politik transnasional dan menerapkannya di Indonesia.

Kebangkitan primordialisme ini menandai kegagalan kita sebagai bangsa. Dan, celakanya, para

pedator tak sungkan mengkapitalisasinya untuk tujuan dan kepentingan sempit mereka sendiri. Dalam

kontestasi politik hal ini mulai menggejala dan memuncak pada Pilkada Jakarta 2017.

Perkubuan politik menguat dan mengeras. Tak sedikit yang terkaget-kaget melihat sikap teman dan

kerabatnya. Masing-masing pihak merasa paling benar, paling berhak dan paling tersakiti. Berbeda

dengan waktu-waktu sebelumnya, kini tak ada lagi upaya untuk menjembatani perbedaan yang ada.

Sebaliknya, yang menguat justru menegaskan perbedaan-perbedaan tersebut.

Meski perkubuan mengeras, jangan abaikan pula fakta bahwa batasan-batasan yang dulu mudah

dikenali kita mulai tak memadai lagi. Kini, tak jelas lagi siapa yang liberal, siapa yang konservatif, siapa

yang di kiri, siapa yang di kanan. Semuanya sudah jungkir balik. Senada dengan hal

ini,pengelompokkan

keagamaan berdasarkan organisasinya (NU, Muhammadiyah, Persis) kini juga tak lagi memadai seiring

munculnya kekuatan-kekuatan (politik) baru.

Beriringan dengan itu, mengemuka pula kesadaran otonomi pada invididu. Mereka menjadi tidak

terikat pada otoritas lama seperti organisasi keagamaan dimana mereka mengindentifikasi diri sebagai

Page 3: Rangkuman Hasil FGD Rembuk Nasional, 16 Mei 2017 Hotel ...rembuknasional.org/wp-content/uploads/2017/08/03_Rangkuman_FGD_… · Dulu, demokrasi liberal ditolak, demokrasi terpimpin

Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760

Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org | [email protected]

bagian darinya. Keputusan pimpinan organisasi keagamaan kini tidak lagi jadi panutan. Untuk sebagian

hal ini terjadi karena mereka memiliki sumber-sumber rujukan/panutan baru.

Situasi ini dimatangkan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Alih-alih menjadi

perangkat untuk menyamankan kehidupan bersama, kehadiran media sosial telah mengoyak-

ngoyaknya. Media sosial telah menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh.

Akumulasi dari semua ini, kotak pandora bangsa inipun terbuka.

Persis bersamaan dengan itu, mencuat kekhawatiran terhadap teknologi tapi sekaligus pengabaian

terhadap perkembangan kemajuannya yang begitu pesat.Kemajuan dalam ranah Artificial Intelegence

(kecerdasan buatan), umpamanya, telah mampu mengubah pelayanan publik dan juga relasi dalam

kehidupan sosial. Kemajuan teknologi seperti ditunjukkan oleh perkembangan kecerdasan buatan ini

pada suatu saat memungkinkan teknologi mengatasi (baca: menjajah) manusia.

Secara padat dapat dikatakan, konvergensi teknologi, kehadiran masyarakat digital dan juga

globalisasi akan mempercepat proses disrupsi diberbagai segi kehidupan bersama, pun kehidupan

berbangsa. Namun, tak banyak kalangan menyadari dan bersiap terhadap hal ini, tak juga para

pengambil keputusan kebijakan publik di Indonesia.

Berbagai permasalahan ini jadi makin rumit karena minimnya, jika tak dapat dikatakan ketiadaan,

kepemimpinan yang inspiratif, kepemimpinan yang dapat jadi panutan, Kepemimpinanyang benar.

Dapat dikatakan, terjadi situasi miss-match antara kepemimpinan yang dibutuhkan dan yang tersedia.

Untuk sebagian ini juga sebagai akibat sumber-sumber kepemimpinan masih terpatok dan bermuara

di partai politik saja.

Peluang: Menggagas Indonesia Masa Depan

Sebagai bangsa, Indonesia memiliki keunikan yang dapat dijadikan sumber keunggulan bersaing dan

sumber eksistensinya di masa depan.

Pertama, Indonesia merupakan negara maritim. Ini membedakan dengan banyak negara lain yang

umumnya berkarakter kontinental. Kedua, Indonesia tak memiliki suku bangsa asli sebagaimana

Australia dengan Aborigin, misalnya. Ketiga, demokrasi mempunyai akar dalam sejarah perjalanan

bangsa ini sejak di era pra kemerdekaan.

Lebih daripada itu, Indonesia memilikimodal manusia yang kreatif dan secara demografis juga dalam

usia yang produktif. Secara lebih khusus, telah tumbuh generasi muda yang menjadi bagian dari

masyarakat digital. Karena teknologi sudah melekat pada dirinya, generasi muda ini sangat adaptif

terhadap arus perubahan yang digerakkan oleh konvergensi teknologi, masyarakat digital dan

globalisasi. Mereka dapat diharapkan menjadi tulang punggung bangsa dalam mengarungi era yang

disebut-sebut sebagai society 5.0.

Dari sisi orientasi kebangsaan, dengan menyadari keunikan dan latar kesejarahan terbentuknya,

Indonesia memiliki peluang untuk menumbuhkandan membangun warga bangsa (civic nation) alih-

alih negara bangsa (nation state). Civic nation dapat menjadi faktor penghalang bagi berkecambahnya

kembali primordialisme.

Page 4: Rangkuman Hasil FGD Rembuk Nasional, 16 Mei 2017 Hotel ...rembuknasional.org/wp-content/uploads/2017/08/03_Rangkuman_FGD_… · Dulu, demokrasi liberal ditolak, demokrasi terpimpin

Kesekretariatan: Plaza Basmar Lt.2.13 Jl. Mampang Prapatan Raya 106, Jakarta Selatan 12760

Telp. +62217989005 | www.rembuknasional.org | [email protected]

Dari sisi aktor, munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang inovatif dan ramah teknologi seperti di

Banyuwangi dan Bantaeng untuk menyebut sekadar contoh, memberikan harapan bagi hadir dan

berkembangnya kepemimpinan yang benar, memberi inspiratif dan dapat jadi panutan.

Mengenai Rembuk Nasional 2017

Untuk menyelenggarakan rembuk nasional, pertama-tama, harus didefinisikan terlebih dahulu hal

atau persoalan apa yang hendak dirembukkan. Kita perlu tuntas memberi pandangan mengenai

persoalan bangsa. Ini bukan bagian yang mudah, tapi lebih mudah dibandingkan jika kita ingin

melakukan intervensi ke masa depan. Sebab, lebih banyak lagi pertanyaan yang harus dijawab.

Kedua, kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu siapa kita, apakah kita kelompok yang homogen atau

heterogen atau kelompok heterogen yang terpercaya, atau kelompok homogen yang tidak dipercaya,

atau bagaimana? Senada dengan pertanyaan ini adalah, ingin seperti apa kita dipandang oleh orang

lain?

Ketiga, hasil rembuk ini akan dibagaimanakan, apakah akan dirilis untuk semua publik atau diarahkan

pada publik tertentu saja. Atas dasar apa kita menyampaikan hasil-hasil rembuk ini?

Singkatnya, perlu dibangun kesepakatan-kesepakatan awal yang lebih rinci terlebih dahulu sebelum

menggulirkan penyelenggaraan rembuk nasional.

Dalam pelaksanaannya kelak,rembuk nasional diharapkan bersifat inklusif. Secara teknikal, ini

dimungkinkan dengan memanfaatkan kanal media sosial yang telah tersedia. Meski begitu, sebuah

dialog tatap muka dengan peserta yang lebih terbatas tetap merupakan keniscayaan.

Untuk menunjukkan keperluan adanya rembuk nasional dan sekaligus untuk mempromosikan gagasan

dan pemahaman baru tentang ke-Indonesia-an, pendekatan kampanye sosial tak terelakkan.

Rembuk nasional diharapkan tak berhenti pada gagasan, tapi juga menjadi sebuah gerakan sosial.***