operasi militer indonesia 1959-1965; periode demokrasi terpimpin

13
Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 1 Operasi Militer Indonesia 1959-1965 Periode Demokrasi Terpimpin Mata Kuliah Strategi Pertahanan Indonesia Pendahuluan: Operasi Militer Indonesia 1959-1965 Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkat secara signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapi ancaman neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasi oleh pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia pada periode ini yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikan sikap antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalam paper ini, penulis akan membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikap antikolonialisme tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan Komando Ganyang Malaysia. Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan: (a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah doktrin militer Indonesia koheren dengan aplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer Indonesia. Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap Operasi pembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari kedua operasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi militernya secara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian bentuk operasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun semuanya masih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia. Definisi dan Konsepsi Operasi Militer Operasi militer adalah tindakan militer terkordinasi dari sbeuah negara yang merupakan respon/tanggapan terhadap sebuah perkembangan situasi. Tindakan ini dirancang sebagai sebuah rencana militer untuk mengatasi situasi di lapangan sesuai dengan aspirasi

Upload: tangguh

Post on 13-Jun-2015

2.832 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkat secara signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapi ancaman neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasi oleh pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia pada periode ini yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikan sikap antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalam paper ini, penulis akan membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikap antikolonialisme tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan Komando Ganyang Malaysia. Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan: (a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah doktrin militer Indonesia koheren dengan aplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer Indonesia. Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap Operasi pembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari kedua operasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi militernya secara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian bentuk operasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun semuanya masih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia.

TRANSCRIPT

Page 1: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

1

Operasi Militer Indonesia 1959-1965

Periode Demokrasi Terpimpin

Mata Kuliah Strategi Pertahanan Indonesia

Pendahuluan: Operasi Militer Indonesia 1959-1965

Di periode 1959-1965, jumlah operasi militer yang dilakukan Indonesia meningkat

secara signifikan. Dalam periode demokrasi terpimpin, Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia mengadakan 77 operasi militer yang sebagian besar dikerahkan untuk menghadapi

ancaman neokolonialisme Malaysia, ancaman internal DI-TII, serta ancaman disintegrasi

oleh pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia pada

periode ini yang dikelilingi ancaman neokolonialisme membuat Indonesia mengintegrasikan

sikap antikolonialisme dan antiimperialisme dalam pertahanan negara. Dalam paper ini,

penulis akan membahas dua komando operasi militer yang mengoperasionalisasikan sikap

antikolonialisme tersebut dalam strategi militernya, yaitu Komando Mandala Pembebasan

Irian Barat dan Komando Ganyang Malaysia.

Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan:

(a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah doktrin

militer Indonesia koheren dengan aplikasi lapangan dalam bentuk operasi militer Indonesia.

Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap Operasi

pembebasan Papua barat (Operasi Mandala) dan operasi Ganyang Malaysia. Dari kedua

operasi itu kami ingin mengargumentasikan bahwa Indonesia melakukan operasi militernya

secara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian bentuk

operasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun semuanya

masih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia.

Definisi dan Konsepsi Operasi Militer

Operasi militer adalah tindakan militer terkordinasi dari sbeuah negara yang

merupakan respon/tanggapan terhadap sebuah perkembangan situasi. Tindakan ini dirancang

sebagai sebuah rencana militer untuk mengatasi situasi di lapangan sesuai dengan aspirasi

Page 2: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

2

negara.1 Operasi militer dapat berwujud kombat atau dalam bentukan non-kombat, dan

operasi militer dapat dinamakan sesuai dengan kode istilah demi menjamin keamanan dan

efektivitras operasi militer terkait. Operasi militer dalam hal ini dapat didefinisikan melalui

lingkup, skala kekuatan pasukan dan format penggelaran pasukan militer terkait dengan

tujuan spesifik yang ingin diraih oleh sebuah negara2:

Teater (Theatre): operasi ini merupakan sebuah upaya kontestasi pada area dan skala

besar, biasanya dalam skala benua dimana terlihat sekali adanya komitmen nasional

strategis, seperti operasi Barbarossa. Operasi militer tipe ini biasanya melinkupi juga

konsiderasi non-militer seperti efek ekonomis dan politis dari sebuah operasi.

Kampanye (Campaign): operasi ini merupakan bagian dari sebuah operasi teater,

dengan sebuah komitmen grografis dan operasional strategis yang terbatas seperti

pertempuran Inggris dimana terkadang totalitas komitmen nasional sebuah negara

terhadap konflik tersebut tidak terlalu dibutuhkan.Mirip dengan operasi pada lingkup

teater, operasi jenis kampanye juga dapat didasari konsiderasi dominan non-militer.

Pertempuran operasional: Jenis pertempuran seperti ini memiliki tujuan militer

spesifik dan merupakan sebuah bagian lebih kecil dari operasi militer berjenis

kampanye (campaign), seperti dicontohkan dalam pertempuran Gallipolli,

yangmerupakan kombinasi-kombinasi operasi angkatan bersenjata yang melibatkan

kurang lebih 480.000 pasukan sekutu. Konsiderasi militer menjadi faktor dominan.

Pelibatan (Engagement): operasi ini merupakan bagian terkecil yang biasanya

mendeskripsikan kontestasi taktikal untuk menguasai area spesifik atau tujuan militer

spesifik oleh unit-unit yang terlihat perbedaan jelasnya (distinct spesification of units).

Operasi jenis ini dicontohkan dengan the Battle of Kursk, dimana konsiderasi teknikan

militer menjadi corak utama operasi ini.

Doktrin dan Strategi Pertahanan Indonesia 1959-1965

Doktrin Pertahanan Indonesia 1959-1965

Di periode 1959-1965, terjadi konsistensi penggunaan doktrin pertahanan rakyat seperti

yang digunakan di periode sebelumnya. Doktrin yang mengikutsertakan seluruh rakyat dalam

1 http://www.dtic.mil/doctrine/jel/doddict/data/f/02222.html diakses pada 13/10/09 p.k. 15.30 WIB

2 http://www.globalsecurity.org/military/agency/navy/group.htm diakses pada 15/10/09 p.k. 00.30 WIB

Page 3: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

3

pembelaan negara bermula dari konsepsi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang A.H.

Nasution pada 1948 mengenai cara-cara perlawanan menghadapi Belanda, yaitu sebagai

berikut.

1. Tidak akan melakukan pertahanan yang linier.

2. Tugas memperlambat setiap majunya musuh serta pengungsian total (semua pegawai

dan sebagainya), serta bumi hangus total.

3. Tugas pokok membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai

kompleks di beberapa pegunungan.

Inti dari konsepsi itu adalah perang gerilya. Pokok-pokok gerilya adalah

1. Tidak bertempur di lapangan terbuka dan frontal.

2. Mengundurkan diri bila diserang musuh yang lebih kuat.

3. Menyerang dan menghancurkan pasukan-pasukan musuh yang lebih kecil.

4. Mengganggu dan menyerang garis-garis komunikasi dan konvoi-konvoi musuh.

Dalam konsepsi itu, terlihat bahwa perang harus dilakukan oleh seluruh rakyat dengan

mengikutsertakan seluruh potensi yang ada. Perang tidak hanya menyangkut aspek militer,

tetapi juga aspek-aspek lain (ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya).3

Konsepsi itu terus dikembangkan oleh Angkatan Darat dan kemudian dituangkan dalam

Doktrin Tri Ubaya C ̧akti, yang dirumuskan pada 1965 dengan pokok-pokok sebagai berikut.4

1. Antipenjajahan.

2. Melaksanakan pertahanan rakyat semesta.

3. Melakukan doktrin pertahanan defensif-aktif.

4. Percaya kepada kekuatan sendiri.

5. Tidak mengenal menyerah.

Komando Mandala Pembebasan Irian Barat: Suatu Inovasi Strategi

Strategi Perang Konvensional dalam Serangan Ofensif

Komando Mandala adalah suatu Komando Pelaksana Utama Tri Komando Rakyat

(Trikora), yang dikumandangkan Presiden Sukarno untuk merebut Irian Barat.5 Dalam

strategi besar Pembebasan Irian Barat dalam Komando Mandala, dapat dilihat bahwa

3 Seri Text-Book Sedjarah ABRI: Angkatan Darat, h. 106-107. 4 Ibid., h. 107. 5 Ibid., h. 30.

Page 4: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

4

Indonesia mengembangkan perang berlarut untuk suatu serangan ofensif yang cenderung

mengandalkan strategi perang konvensional. Konsepsi Trikora membutuhkan Angkatan

Bersenjata yang lebih kuat daripada kekuatan Belanda di Irian Barat agar Belanda secara

sukarela menyerahkan hak mutlak Indonesia atas wilayah Irian Barat serta ABRI yang telah

disiapsiagakan penuh mengadakan penyerbuan militer fisik dan frontal.6 Dapat dilihat bahwa

concern Indonesia bukanlah strategi perang gerilya yang tidak bertempur di lapangan terbuka

dan frontal, melainkan strategi decisive battle yang menekankan penghancuran center of

gravity.

Untuk Rencana Operasi Gabungan Irian Barat, Indonesia juga memilih Operasi B-1, di

mana Indonesia merebut dan mempertahankan seluruh Irian Barat dalam waktu secepat-

cepatnya dengan tujuan memperoleh kekuasaan de facto atas seluruh wilayah tersebut, bukan

alternatif course of action, yaitu Operasi B-2, operasi militer dengan sasaran terbatas di mana

Indonesia merebut dan mempertahankan suatu bagian di daerah Irian Barat dengan tujuan

menimbulkan suasana politik yang menguntungkan serta mendapatkan basis terdepan untuk

merebut seluruh Irian Barat, serta Operasi B-3, operasi militer dengan scope infiltrasi di

mana Indonesia melakukan infiltrasi militer untuk memperoleh pangkalan bagi serangan

selanjutnya. Hal ini disebabkan Operasi B-2 hasilnya tidak menentukan, sementara Operasi

B-3 risikonya sulit diperhitungkan, sehingga GKS menyarankan agar Operasi B-1 yang

dilaksanakan.7 Hal ini juga mencerminkan operasionalisasi strategi perang konvensional,

karena kalah-menangnya perang dipandang dari segi kehancuran enemy forces dan

pendudukan wilayah sebagai kemenangan perang.

Bukti lain dari inovasi baru militer Indonesia untuk mengandalkan strategi perang

konvensional terlihat dari penahapan operasi militer dalam Komando Mandala untuk secara

berangsur-angsur menduduki bagian-bagian dari wilayah Irian Barat dalam jangka waktu tiga

tahun, yaitu sebagai berikut.8

1. Tahap infiltrasi: Infiltrasi dalam jangka waktu 10 bulan dimulai awal 1962 sampai

akhir 1962, diharapkan 10 kompi inti Angkatan berhasil masuk dan membentuk

kantong-kantong daerah bebas Republik Indonesia di Irian Barat untuk menciptakan

6 Ibid., h. 28-30. 7 Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Sejarah TNI Jilid III (1960-1965) (Jakarta: Markas Besar

TNI – Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000) h. 115-116. 8 Seri Text-Book Sedjarah HANKAM/ABRI: Perjuangan Irian, h. 40-47.

Page 5: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

5

dan mempertahankan daerah-daerah bebas tersebut dan mengikat kekuatan-kekuatan

Belanda setempat sehingga kekuatan musuh tercerai berai.

2. Tahap eksploitasi: Gerakan-gerakan yang terang-terangan oleh operasi-operasi militer

secara besar-besaran untuk merebut dan menduduki pulau Biak sebagai pusat

pertahanan strategis Belanda di Irian Barat dimulai awal 1963 untuk melumpuhkan

inti kekuatan militer musuh sedemikian rupa, sehingga seluruh wilayah Irian Barat

dapat dikembalikan pada kekuasaan Republik Indonesia. Operasi terbuka yang

dimaksudkan dalam tahap ini pada saatnya dinamakan Operasi Jayawijaya.

3. Tahap konsolidasi: Konsolidasi kekuasaan Republik Indonesia di seluruh wilayah

Provinsi Irian Barat yang dimulai akhir 1963 setelah selesai tahap eksploitasi.

Penahapan operasi militer dalam tiga tahun ini merupakan inovasi baru militer

Indonesia, yang selama ini mengandalkan strategi gerilya dengan organisasi pertahanan

melingkar yang digelar selama masa perang kemerdekaan atau strategi kontra-gerilya yang

mengandalkan konsolidasi pertahanan wilayah yang digelar untuk menumpas pemberontakan

bersenjata dalam negeri.9

Operasionalisasi Konsep Force-to-Space Ratio Liddell Hart

Dalam Operasi Jayawijaya, yang merupakan tahap eksploitasi Komando Mandala,

Indonesia menerapkan strategi yang berbasis penguasaan kantong-kantong daerah bebas

Republik Indonesia di Irian Barat. Indonesia menghadapi musuh dengan front line yang kuat,

di mana secara teoritis, sistem pertahanan Belanda nampak kuat, ketat, dan sukar ditembus.

Terdapat jumlah unsur-unsur militer Belanda yang besar yang ditempatkan di Irian Barat,

namun itu baru sebagian kecil dari kekuatan militer seluruhnya yang dimiliki, sehingga

apabila keadaan memaksa, Belanda akan dapat menggerakkan bala bantuannya ke Irian

Barat. Belanda juga telah membagi daerah pertahanan menjadi lini pertama, lini kedua, dan

lini ketiga. Pesawat-pesawat militer dipusatkan di Biak. Terdapat warning system berupa

patroli pesawat terbang Neptune (P2V7) dengan pangkalan-pangkalan tolak Sorong,

Kaimana, dan Biak, patroli kapal-kapal jenis fregat, perusak, dan kapal selam di Biak dan

Sorong atau Kaimana, kesatuan buru-sergap pesawat-pesawat terbang jenis Hawker Hunter di

Biak, serta stasiun-stasiun radar di berbagai tempat.10

9 Andi Widjajanto, “Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia”, h. 8-9. 10 Seri Text-Book Sedjarah HANKAM/ABRI: Perjuangan Irian, h. 30-37.

Page 6: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

6

Untuk menghadapi operasi-operasi tersebut, disusun komposisi pasukan Komando

Mandala terdiri dari bagian pertahanan, bagian penipuan/pengikat, bagian

penghubung/penyelidik, bagian pengangkut, bagian perawatan/logistik, dan bagian

penyerang. Dalam hubungannya dengan kesiapan tempur di bidang pertahanan udara, AULA

(Angkatan Udara Komando Mandala) membentuk Kesatuan-kesatuan Tempur yang terpencar

di pangkalan-pangkalan udara. Kesatuan-kesatuan yang telah disusun untuk mempersiapkan

bidang pertahanan laut meliputi Kesatuan Kapal Cepat Torpedo KKCT-16, Kesatuan Kapal

Selam KKS-15, Angkatan Tugas Amfibi ATA-17, dan Pasukan Pendarat PASRAT-45.

Seluruh kekuatan yang dapat dikerahkan ini diperkirakan tiga kali lebih besar dari kekuatan

yang dimiliki Belanda.11

Strategi ini sejalan dengan konsep penting Basil Liddell Hart tentang offense-defense

balance dalam force-to-space ratio (strategi yang berbasis penguasaan zona pertahanan).

Liddell Hart mengungkapkan bahwa apabila front line musuh kuat, berlaku rumus 3:1, yaitu

ketika suatu pasukan ingin menyerang dengan force to force, pasukan tersebut harus tiga kali

lipat lebih kuat daripada pasukan lawan. Dalam hal ini, Komando Mandala menjadi suatu

theatre campaign, sebuah upaya kontestasi pada area dan skala besar dengan komitmen

geografis dan operasional strategis yang terbatas pada wilayah Irian Barat. Sayangnya,

kegiatan-kegiatan Operasi Jayawijaya dihentikan dengan semua persiapannya dengan

ditandatanganinya Perjanjian New York yang secara resmi mengakhiri sengketa Indonesia

dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat. Sehingga, perang decisive battle antara

Indonesia dan Belanda tidak terjadi.

Komando Operasi Ganyang Malaysia: Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Periode sejarah pada tahun 1959-1965 juga ditandai dengan sebuah peristiwa sensasional

di mana dapat dikatakan Indonesia dan Malaysia hampir terlibat konflik besar. Peristiwa

Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan serangkaian konflik bersenjata yang terjadi di

pulau Kalkimantan (Borneo) dalam rangka memperebutkan kekuasaan total pulau

Kalimantan, antara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966. Perang ini berawal dari

keinginan otoritas politik Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak

dengan Persekutuan Tanah Melayu yang dimerdekakan oleh Inggris pada tahun 1961.

Keinginan itu ditentang habis-habisan oleh Presiden Soekarno yang menganggap

pembentukan dan penguatan Malaysia sebagai ‟upaya imperialis membentuk negara boneka

11 Ibid., h. 78-81.

Page 7: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

7

yang dapat mengancam Indonesia di kemudian hari‟. Konflik ini sebetulnya bermula dari

ketidaksukaan Indonesia terhadap tindakan Malaysia yang dianggap melanggar perjanjian

kesepakatan dengan Indonesia perihal masa depan wilayah kekuasaanya dimana Mayasia

tidak menunggu hasi referendum para penduduk di daerah kalimantan sebelum

memasukannya menjdai bagian dari negara federasi Malaysia.12

Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963, mendeklarasikan

bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia, dan bersiap memasuk

fase konflik bersenjata. Pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di

Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora)13

yang isinya:

(a) Tingkatkan ketahanan revolusi Indonesia

(b) Membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah,

untuk menghancurkan Malaysia

Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia".

Operasionalisasi perang yang dilakukan oleh Indonesia berdasarkan pada dua macam strategi:

(a)penggunaan strategi perang gerilya dengan memanfaatkan mobilisasi masyarakat sebagai

pasukan ‟tidak resmi‟; dan (b)penggunaan pasukan resmi, dalam proyeksi perang untuk

merebut beberapa obyek vital-strategis, terutama untuk meraih center of gravity dari konflik

antara dua negara ini.

Pertama, penggunaan pasukan tidak resmi dalam konflik strategi gerilya. Sebelum

dibentuknya Komando Siaga (Koga) ataupun Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang

memungkinkan dimobilisasinya prajurit utama TNI secara optimal, pemerintah Indonesia

telah mengupayakan mobilisasi relawan dari masyarakat Indonesia yang simpatik dengan

casus belli yang ditodongkan Indonesia kepada Malaysia; dimana tersebut dianggap proyek

neo-kolonialisme lama yang akan mengancam Indonesia sebagai ’The New Emerging Force‟

di masa yang akan datang. Para relawan ini akan dibekali dengan pelatihan secukupnya untuk

selanjutnya disusupkan dalam belantara hutan Kalimantan dengan misi melakukan sabotase,

perlawanan gerilya dan mengganggu jalannya komunikasi dan suplai pasukan pro-Malaysia.

Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (bukan merupakan bagian dari ketentaraan resmi)

mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan

penyerangan dan upaya sabotase. Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu

DiRaja bentrok dengan lima puluh gerilyawan Indonesia dan menyebabkan korban jatuh

12

David Easter, Keep the Indonesian pot boiling: western covert intervention in Indonesia, October 1965–March 1966, dalam jurnal Cold War History, Vol 5, No 1, February 2005. 13

G, Poulgrain, The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945–1965, (London: C. Hurst &

Co., 1998) hal 46 -54

Page 8: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

8

secara signifikan di dua belah pihak. Pada ujungnya sepanjang perbatasan di Kalimantan

menjadi ajang peperangan perbatasan dimana pasukan ‟tak resminya‟ atau amatir Indonesia

dengan dukungan terbatas dari prajurit profesional kesatuan militer Indonesia terus mencoba

menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil yang memuaskan dimana hal ini berujung

pada terciptanya ’stalemate’.14

Dalam hal ini kita dapat melihat kuatnya pengaruh doktrin perjuangan semesta, yang

dalam hal ini dapat disebut juga ‟perang rakyat‟ dalam penggelaran operasi militer fase awal

terhadap Malaysia. Indonesia dalam hal ini tidak membatasi penggelaran konfliknya hanya

dengan menggunakan tentara resmi yang melakukan serangan langsung (direct attact) untuk

merangsek masuk ke dalam wilayah Malaysia. Indonesia dalam hal ini berupaya menciptakan

sebuah operasi militer yang berbasiskan perang gerilya, yang mengandalkan pasukan

penyusup ini untuk melakukan kontestasi tidak langsung (indirect approach) dalam

menghadapi pasukan pertahanan yang kemungkinan besar lebih kuat dari korps pasukan

sukarelawan. Memang terkait dengan konsepsi Arreguin-Toft terkait dalam interaksi strategi

militer, penggunaan strategi ‟indirect approach‟ dalam menghadapi peperangan yang tidak

seimbang (assymetric warfare) merupakan pilihan paling logis dan membnerikan leverage

point lebih tinggi bagi pasukan weak actor. Namun kenyataannya pasukan Indonesia pada

fase awal yang seharusnya mampu menimbulkan kebingungan dan ketakutan pada fase awal

nampaknya kurang berhasil (kalau tidak ingin disebut gagal) dalam menjalankan misinya.

Korban jiwa yang jatuh dari pihak Indonesia lebih besar dimana diperkirakan 590 orang

meninggal, 222 terluka dan 771 ditangkap dan dijadikan prisoner of war.15

Saya melihat salah satu dari faktor tidak berhasilnya Indonesia adalah environment of

war hutan Borneo yang sejatinya menyulitkan para pasukan relawan Indonesia. Pada titik ini,

kita harus mengingat kembali bahwa salah satu alasan yang dikemukakan Arreguin-Toft

ketika membahas mengenai keunggulan pasukan ’weak actor’ adalah keberadaan lingkungan

strategis perang yang menguntungkan bagi pasukan yang jumlahnya lebih kecil dan mampu

bergeraks ecara lebih cepat dan efisien.16

Dalam hal ini environment of war Malaysia

mungkin sebetulnya menguntungkan bagi pasukan gerilya relawan dari Indonesia, namun

mereka tidak dapat memanfaatkan keunggulan alam tersebut secara optimal karena

kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi alam sekitar, alam seperti dijelaskan oleh sang

maestro strategi perang Cina, Sun Tzu, hanya akan memberikan keuntungan bagi mereka

14

Chris Tuck, Borneo 1963–66: Counter-insurgency Operations and War Termination, Small Wars and

Insurgencies, dalam The military journal Vol 15, No 3, Winter 2004. 15

Michael Carver, Conventional Warfare in the Nuclear Age, dalam Peter Paret (ed), ‘The Makers of Modern Strategy: from Machiavelli to Nuclear Age, (Princeton: Princeton University Press, 1986) hal: 806

- 808 16

Arreguin-Toft

Page 9: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

9

yang mengenal, mengerti dan mampu menafsirkan kondisi alam tempat peperangan

berlansung.17

Hal ini diperparah dengan kondisi prajurit gerilya relawan Indonesia yang tidak

dibekali secara cukup dan profesional, baik dari segi logistik dan intelijensi dan juga dari segi

pelatihan teknis dan cara-cara bertahan di hutan rimba. Pasukan amatir yang terdiri dari para

relawan Indonesia ini harus menghadapi pasukan elit Inggris, the Gurkhas, RAF, dan

beberapa elemen pasukan common wealth yang diatas kertas jauh lebih unggul, baik secara

teknologi dan persenjataan juga secara kualitas per individu kesatuan tentara pasukan Inggris

yang sudah mengalami banyak pengalaman berperang di Hutan akibat keterlibatannya di

konflik Burma dan pemberantasan insurgen komunis Malaysia sebelumnya. Hal inilah yang

menjadi kegagalan mengapa Indonesia tidak mampu menuntaskan misi operasi militer bagian

satunya secara optimal. Inggris dan sekutunya berbeda dengan Belanda, mereka mampu

memberikan perlawanan yang tangguh.18

Dan poin yang juga penting untuk dicatat, adalah, keberdaan brutalisme, terlihat pada

perang the long Jawi, dimana peristiwa itu merupakan pertama kalinya inkursi dilakukan oleh

divisi ketiga pasukan Indonesia, terjadi aksi tidak simpatik yang dilakukan oleh pasukan

Indonesia telah kehilangan rasa percaya dan simpati dari masyarakat lokal ketika melihat

brutalisme yang dilakukan pasukan Indonesia terhadap 7 orang border scout (polisi

perbatasan) yang disiksa guna kepentingan intelligence gathering. Hal ini sejatinya merusak

imej Indonesia, dan karena itulah pasukan Indonesia tidak dapat mengaplikasikan strategi

’win heart and mind’ masyarakat lokal.19

Hilangnya dukungan dari masyarakat lokal ini

berpengaruh kepada tidak didukungnya perjuangan pasukan Gerilya Indonesia yang smekain

mempersulit ruang gerak pasukan tersebut.

Kedua, mengenai penggunaan pasukan regular untuk merebut objek-objek vital

dan strategis. Pengerahan dan mobilisasi pasukan militer Indonesia dilakukan dengan

bertahap menunggu terkumpulnya kekuatan yang dianggap cukup dalam upaya merebut

target-target utama di wilayah Kalimantan milik Malaysia. Dalam hal ini, pasukan reguler

ikut mendampingi pasukan gerilyawan dalam proses infiltrasi dan ketika berkali-kali

mencoba melakukan aksi sabotase dan mengganggu jalur komunikasi dan logistik pasukan

gabungan pro-Malaysia. Namun dalam beberapa operasi lainnya pasukan reguler berada

terpisah dari pasukan relawan dalam operasi-operasi khusus yang dalam hal ini merupakan

proyeksi dari kontestasi strategis secara langsung (indirect approach). Pasukan utama

Indonesia pun tidak suskes merebut target-target vital seperti yang telah direncanakan karena

17

Sun Tzu, The Art of War, 18

Tom Pocock, Fighting General – The Public & Private Campaigns of General Sir Walter Walker, (London: Collins, 1973) hal. 233 19

„The Scourge of Sukarno‟ diambil dari http://www.historicaleye.com/sukarno.html diakses pada

14/10/09 p.k. 10.35 WIB

Page 10: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

10

aplikasi strategi Dwikora yang mirip dengan aplikasi strategi Trikora tidak lagi relevan

karena Indonesia tidak dapat menandingi ketangguhan pasukan aliansi yang terdiri dari

gabungan empat negara common wealth baik dari segi keunggulan kuantitas maupun

keunggulan keahlian.

Kesiapan Indonesia dalam mengkonsolidasi dan menggelar kekuatan tentara regulernya

terlihat sejak dibentuknya Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan

perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora) dibentuk bulan Mei 1964. Komando ini

kemudian berubah nama menjadi menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga

dipimpin oleh Laksamana Madya Udara Omar Dani sebagai Panglima Kolaga. Kolaga sendiri

terdiri dari tiga Komando yang terhubung secqara integral, yaitu Komando Tempur Satu

(Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD yang siap

digelar, termasuk tiga Batalyon pasukan penerjun dan satu batalyon pasukan KKO yang

merupakan elemen angkatan laut. Komando satu ini ditugasi untuk melaksanakan misi

dengan sasaran operasinya berada di kawasan Semenanjung Malaya dipimpin oleh Brigjen

Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di

Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO,

AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II.

Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga

KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau

dan Kalimantan Timur.20

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya untuk

melakukan serangan langsung demi merebut objek vital-strategis Malaysia. Pada 28 Juni,

mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan

berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed

Constabulary. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang

melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus

dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah

menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68

Hari" oleh warga Malaysia.21

Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas

Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia

mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit

20

Gelora Konfrontasi Mengganjang Malaysia, (Djakarta: Departemen Penerangan, 1964 (Contains Joint

Statements of the Manila Agreements, Indonesian presidential decrees and all transcripts of Sukarno's public speeches from July 1963 to May 1964 pertaining the Konfrontasi). 21

J.A.C Mackie, Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (Kuala Lumpur: Oxford

University Press, 1974) hal: 289

Page 11: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

11

saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit

komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke

Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah

Inggris dan Australia terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS).

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba

membentuk pasukan pembantu gerakan pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan

terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, sayangnya 52 tentara mendarat di

Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan langsung dikalahkan dan berhasil ditangkap oleh

pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan sisa-sianya berhasil ditangkap

oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor. Ada

sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu.

Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu

perbatasan Indonesia. Majalah Angkasa (2006) mencatat sekitar 2000 pasukan khusus

Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas

setelah bertempur di belantara kalimantan.

Dalam tingkatan strategi konvensional yang tentara Indonesia coba terapkan tidak

mampu memberikan kemenangan cepat dan decisive seperti yang digambarkan para perumus

strategi operasi Ganyang Malaysia. Ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut:

(a)Indonesia menghadapi pasukan militer yang cukup tangguh, terlihat dari jumlah pasukan

yang dapat diturunkan dimana gabungan pasukan Malaysia, New Zealand, Australia dan

Inggris mampu membentuk pertahanan yang solid dan berlapis guna menghalau serangan

pasukan Indonesia baik secara head on maupun dengan perang gerilya; (b) Indonesia

melakukan salah perhitungan, karena tidak memperhitungkan faktor pengalaman dan

kemampuan pasukan elit Inggris dan sekutunya yang telah berpengalaman di matra hutan.

Komparasi Operasi Militer dalam Lingkungan Strategis Serupa

Dalam bahasan pada tahun yang sama (1959-1965), Vietnam memiliki lingkungan

strategis yang sama dengan Indonesia. Indonesia menolak semua hal yang berbau

kolonialisme dan imperialisme, serta anti Amerika. Vietnam juga menolak kolonialisme,

imperialisme dan anti Amerika.22

Indonesia berjuang untuk merebut kembali Irian Barat dari

tangan Belanda. Belanda ingin menjadikan Irian Barat sebagai negara yang bisa dikontrol

olehnya. Vietnam juga berjuang untuk pembebasan Vietnam Selatan dikuasai oleh Amerika

Serikat. Oleh karena itu Vietnam Utara membentuk Front Pembebasan Nasional untuk

22

David G. Marr. History and Memory in Vietnam Today: The Journal "Xu'a & Nay". Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 31, No. 1 (Mar., 2000), p: 13.

Page 12: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

12

pembebasan Vietnam Selatan pada tahun 1960.23

Adapun kepentingan Amerika Serikat di

Vietnam Selatan adalah untuk melindungi Vietnam Selatan dari pengaruh komunis dan untuk

mengurung pengaruh tersebut agar tidak keluar dari perbatasan.

Front Pembebasan Nasional (FPN) untuk pembebasan Vietnam Selatan, adalah

organisasi utama pemberontak yang berjuang melawan Republik Vietnam yang didukung

oleh Amerika Serikat pada masa perang Vietnam. Front Pembebasan Nasional mengklaim

dirinya sebagai barisan nasional dari semua unsur yang melawan pemerintahan yang ada,

baik komunis ataupun bukan. Organisasi militernya dikenal sebagai Angkatan Bersenjata

Pembebasan Rakyat (ABPR). ABPR ini sepenuhnya berada dibawah staf umum di Hanoi.

Tentara AS menyebut FPN sebagai Viet Cong (bahasa Vietnam untuk komunis Vietnam).24

Dalam taktik peperangan, anggota FPN bertujuan untuk membentuk “wilayah-wilayah yang

dibebaskan” di lingkungan Vietnam Selatan. Namun tanggapan AS atau Angkatan Bersenjata

Vietnam Selatan dengan satuan-satuan yang besar dan taktik perang konvensional, tidak

pernah mampu mengatasi infrastruktur gerilya di desa-desa.25

Taktik perang yang dilakukan

oleh FPN tersebut sama dengan yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Indonesia dalam

operasi Pembebasan Irian Barat. Angkatan Bersenjata Indonesia juga membentuk “wilayah-

wilayah yang dibebaskan”. Pada Tahap infiltrasi, infiltrasi dalam jangka waktu 10 bulan

sampai akhir 1962, diharapkan 10 kompi inti Angkatan berhasil masuk dan membentuk

kantong-kantong daerah bebas Republik Indonesia di Irian Barat. Tahap ini bertujuan

menciptakan dan mempertahankan daerah-daerah bebas tersebut dan mengikat kekuatan-

kekuatan Belanda setempat sehingga kekuatan musuh tercerai berai.

Perbedaan operasional tentara Viet Cong di Vietnam dengan tentara Indonesia pada

operasi Ganyang Malaysia adalah tentara Viet Cong berhasil mengalahkan tentara Amerika

Serikat di Vietnam karena mereka berperang di wilayahnya sendiri, sehingga mereka telah

memiliki pengetahuan dan penguasaan medan. Sementara, tentara Indonesia kalah pada

operasi Ganyang Malaysia karena mereka tidak mengetahui dan menguasai medan

pertempuran di rimba Malaysia dikarenakan mereka bukan penduduk asli dan bukan tentara

reguler. Tentara Amerika Serikat dalam kasus Vietnam juga berbeda dengan tentara Inggris

23

Ibid., h. 13. 24

Lajpat Rai. Vietnam and the 'Third Communist Front'. Source: Economic and Political Weekly, Vol. 7,

No. 39 (Sep. 23, 1972). pp. 1975+1977-1979+1981- 1984. 25

Truong Nhu Tang. A Viet Cong Memoir. Random House.

Page 13: Operasi Militer Indonesia 1959-1965; Periode Demokrasi Terpimpin

Ahmad Naufal Da’i 0706291174 Dept. Ilmu Hubungan Internasional Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional

Fransiscus Febrisoni 0706284282 Dept. Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

13

dan sekutunya dalam kasus Malaysia, karena pengalaman pada konflik Burma dan

pembasmian kelompok insurgency komunis Malaysia telah memberikan kemampuan

penguasaan medan rimba yang optimal.

Penutup: Doktrin dan Strategi Pertahanan dengan Pelaksanaan Operasi

Militer 1959-1965

Dari studi kasus Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan Komando Ganyang

Malaysia, kami menemukan bahwa doktrin dan operasi militer Indonesia pada periode 1959-

1965 bersifat disintegratif karena pada level doktrin, Indonesia menganut strategi perang

gerilya serta mengikutsertakan seluruh rakyat dan potensi yang ada, namun pada level taktis,

terdapat beberapa inovasi strategi, seperti penggunaan strategi perang konvensional dalam

dalam serangan ofensif Komando Mandala. Sama seperti pada Komando Ganyang Malaysia,

aplikasi doktrin dan strategi pertahanan semesta masih menjadi platform operasi militer

Indonesia. Namun, terdapat pola inovasi dan penyesuaian terhadap lingkungan strategis dan

kalkulasi lapangan. Sayangnya, tentara Indonesia tidak memperhitungkan beberapa faktor

berbeda antara operasi Mandala dan operasi Ganyang Malaysia yang menyebabkan

kekurangsesuaian aplikasi operasional yang menyebabkan tidak berhasilnya misi operasi

Ganyang Malaysia.