an pki pada saat demokrasi terpimpin

46
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwer tyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert yuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyu iopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuio pasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop asdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa sdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf Tugas Sejarah Makalah G30S/PKI DISUSUN OLEH: AYU MEILIASARI DEDED PERMANA GEMALA PRADIPTA M ROBBY KURNIAWAN Guru Pembimbing:Mastitip Sailar Sejarah SMA NEGERI 1 PADANG 2011

Upload: robby-kurniawan

Post on 03-Jul-2015

1.035 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw

Tugas SejarahMakalah G30S/PKI

DISUSUN OLEH:

AYU MEILIASARIDEDED PERMANA

GEMALA PRADIPTA MROBBY KURNIAWAN

Guru Pembimbing:Mastitip Sailar

SejarahSMA NEGERI 1 PADANG

2011

Page 2: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Sekilas Info tentang PKI……

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI.

Latar belakang sejarah

Sebelum Revolusi Indonesia

Gerakan Awal PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda [1]

Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda,

Page 3: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.

Pembentukan Partai Komunis

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.

PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemberontakan 1926

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh

Page 4: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI [3].

Peristiwa Madiun 1948

Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.

Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.

Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.

Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur.T ujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali

oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk

Page 5: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [4]

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pemilu 1955

Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5].

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusar dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya.

Page 6: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.

Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".

Perkembangan PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Manipol-Usdek dan Nasakom: Struktur Konstitusi dan Ideologi Demokrasi Terpimpin

        Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter,

dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik

Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an.2 Untuk menggantikan pertentangan antara partai-

partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan

oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada

tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa

keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong

kegiatan-kegiatan dari kelompok-kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer. Dari

Page 7: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau

tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU

yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin.

Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno,

mereka sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan.

        Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari

Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-

tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga

negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi

dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan

dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia

menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang

sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim

(neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud

menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang

mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin.

        Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli

1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janji-

janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. Akan

tetapi, tekananannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta

khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasannya berulang kali.

Presiden Soekarno dalam hal ini menciptakan doktrin negara yang baru.3 Demokrasi terpimpin

Page 8: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

dan gagasan presiden yang sehubungan dengan itu sudah menguasai komunikasi massa sejak

pertengahan tahun 1958. Sejak itu tidak mungkin bagi surat kabar atau majalah berani terang-

terangan mengecam Demokrasi Terpimpin, lambang dan semboyan-semboyan baru. Pada paruh

kedua 1959, Presiden Soekarno semakin mementingkan lambang-lambang. Dalam hubungan ini

yang terpenting ialah pidato kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959

dan selanjutnya hasil kerja Dewan Pertimbangan Agung dalam penyusunan secara sistematis

dalil-dalil yang terkandung dalam pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan

Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenarkan mengapa

harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema baru

dalam pidato presiden, tetapi pidato itu penting karena berkaitan dengan diberlakukannya

kembali Undang-Undang Dasar revolusioner tersebut. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya

itu, Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik

Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun

oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu

mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting.4 Pertama, Undang-

Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat,

Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf

pertama masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik

Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “Manipol-

USDEK”.

       Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat politik.

Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama mendukung apa yang selalu

ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan nasional diatas

Page 9: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

kepentringan golongan dan kemungkinan mencapai mufakat melalui musyawarah yang

dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan

kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan kedua,

bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat kehidupan yang mereka rasakan akibat

keterpecahbelahan mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang tertarik

kepada gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah orang-orang yang

berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa komunitas Indonesia,

terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan makna yang sesungguhnya dalam berbagai

skema rumit yang disampaikan presiden itu ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar

Manipol-USDEK, yang menjelaskan arti dan tugas-tugas khusus tahapan sejarah sekarang ini.

        Barangkali daya tarik terpenting Manipo-USDEK terletak pada kenyataan bahwa ideologi

ini menyajikan sebuah arah baru. Mereka tidak begitu banyak tertarik pada makna dasar dari

arah tersebut. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan sesuatu pada saat terjadi

ketidakjelasan arah yang dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan saling

berbenturan, sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan yang dogmatis dan

skematis mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-

USDEK ialah bahwa Manipol-USDEK bukanlah merupakan ideologi yang sangat baik atau

lengkap tetapi pada akhir tahun 1950an dibutuhkan sebuah ideologi dalam kerangka

pembangunan Indonesia.

        Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh

hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. Manipol-USDEK

itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya unutk menyelaraskan semua

Page 10: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu

menjembatani perbedaan perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub

kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi

permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari

suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka

pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.

Kehidupan Politik Masa Demokrasi Terpimpin

        Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat

liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik.5 Menurut Soekarno, penerapan sistim

Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk

membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya

berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai

sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah

yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang

ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan.

Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang.

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil

dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan

sebagai penyeimbang.

        Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.

Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan

kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat

Page 11: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik

tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi

Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan

karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan

olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang

tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk

NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala

kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan

doktrin presiden.6

        Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi

Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk

melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak

dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia

dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih

mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan

umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum,

dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun

1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961

semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan,

dibubarkan pula.7

          Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu

partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).

Page 12: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan

Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik

pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.

        PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan

intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian

progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir

periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah

17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-

komunis, PKI merupakan partai terbesar.

        Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat

dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk

mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur

hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya

dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara

PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan

Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk

menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi.

Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan

ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang

ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat,

membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian

mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.

Page 13: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

        Seperti yang telah disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin

mengalami pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan

cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember

1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:8

1. Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila.

2. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya.

3. Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah.

4. Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat

jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya

seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia.

5. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai.

6. Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong

politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang

membantu pemberontakan.

Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi

prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI,

NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No.

129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng

Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440

tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam

(Perti).

Page 14: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Tambahan…….

Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).

Kehidupan Politik Masa Demokrasi TerpimpinSoekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.

GERAKAN 30 S/PKI

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Page 15: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Latar belakang

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi

Page 16: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke

Page 17: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.

Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyaraka

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda

Page 18: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia [2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".

“ Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.

Page 19: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Page 20: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen

Page 21: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita. EFERON BATUBARA

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)

Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)

Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

Page 22: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena) Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:

“ Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya

Page 23: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Page 24: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Tambahan……………

1. Kondisi Politik Menjelang G 30 S/PKI

Doktrin Nasakom yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno memberi keleluasaan PKI untuk memperluas pengaruh. Usaha PKI untuk mencari pengaruh didukung oleh kondisi ekonomi bangsa yang semakin memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, PKI menjadi salah satu kekuatan yang penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno dan Angkatan Darat. Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang disebut “aksi sepihak”. Para petani dan buruh, dibantu para kader PKI, mengambil alih  tanah penduduk, melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan. Untuk melancarkan kudeta, maka PKI membentuk Biro Khusus yang diketuai oleh Syam Kamaruzaman. Biro Khusus tersebut mempunyai tugas-tugas berikut.

a. Menyebarluaskan pengaruh dan ideologi PKI ke dalam tubuh ABRI.b. Mengusahakan agar setiap anggota ABRI yang telah bersedia menjadi anggota PKI dan telah disumpah dapat membina anggota ABRI lainnya.c. Mendata dan mencatat para anggota ABRI yang telah dibina atau menjadi pengikut PKI agar sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.

Memasuki tahun 1965 pertentangan antara PKI dengan Angkatan Darat semakin meningkat. D.N. Aidit sebagai pemimpin PKI beserta Biro Khususnya, mulai meletakkan siasat-siasat untuk melawan komando puncak AD. Berikut ini siasat-siasat yang ditempuh oleh Biro Khusus PKI.

a. Memojokkan dan mencemarkan komando AD dengan tuduhan terlibat dalam persekongkolan (konspirasi) menentang RI, karena bekerja sama dengan Inggris dan Amerika Serikat.b. Menuduh komando puncak AD telah membentuk “Dewan Jenderal” yang tujuannya menggulingkan Presiden Soekarno.

Page 25: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

c. Mengorganisir perwira militer yang tidak mendukung adanya “Dewan Jenderal”.d. Mengisolir komando AD dari angkatan-angkatan lain.e. Mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari para buruh dan petani yang dipersenjatai.

Ketegangan politik antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya setelah tanggal 30 September 1965 dini hari, atau awal tanggal 1 Oktober 1965. Pada saat itu terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat.

2. Seputar Penculikan Para Jenderal AD, Usaha Kudeta, dan Operasi Penumpasan

Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira AD, kemudian dikenal Gerakan 30 S/PKI. Secara rinci para pimpinan TNI yang menjadi korban PKI ada 10 orang, yaitu 8 orang di Jakarta dan 2 orang di Yogyakarta. Mereka diangkat sebagai Pahlawan Revolusi.

a. Di Jakarta1) Letjen Ahmad Yani, Men/Pangad.2) Mayjen S.Parman, Asisten I Men/Pangad.3) Mayjen R. Suprapto, Deputi II Men/Pangad.

4) Mayjen Haryono, M.T, Deputi III Men/Pangad.5) Brigjen D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad.6) Brigjen Sutoyo S, Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral TNI AD.7) Lettu Piere Andreas Tendean, Ajudan Menko Hankam/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata.8) Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, Pengawal rumah Wakil P.M. II Dr. J. Leimena.

b. Di Yogyakarta

1) Kolonel Katamso D, Komandan Korem 072 Yogyakarta.2) Letnan Kolonel Sugiyono M., Kepala Staf Korem 072 Yogyakarta.

Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri. Akan tetapi putrinya Ade Irma Suryani tertembak yang akhirnya meninggal tanggal 6 Oktober 1965, dan salah satu ajudannya ditangkap. Ajudan Nasution (Lettu Pierre A. Tendean), mayat tiga jenderal, dan tiga jenderal lainnya yang masih hidup dibawa menuju Halim. Di Halim, para jenderal yang masih hidup dibunuh secara kejam. Sejumlah anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut. Ketujuh mayat kemudian dimasukkan dalam sebuah sumur yang sudah tidak dipakai lagi di Lubang Buaya. Untuk mengenang peristiwa yang mengerikan tersebut, di Lubang Buaya dibangun Monumen Pancasila Sakti. Peristiwa pembunuhan juga terjadi di daerah Yogyakarta. Komandan Korem 072 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya Letkol Sugiyono diculik dan dibunuh oleh kaum pemberontak di Desa Kentungan. Pagi hari sekitar jam 07.00 WIB Letkol Untung berpidato di RRI Jakarta. Dalam pidatonya, Letkol Untung mengatakan bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk

Page 26: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

melindungi Presiden Soekarno dari kudeta. Kudeta itu direncanakan oleh suatu dewan yang terdiri atas jenderal-jenderal Jakarta yang korup yang menikmati penghasilan tinggi dan menjadi kaki tangan CIA (Agen Rahasia Amerika).

Setelah mendengar pidato Letkol Untung di RRI, timbul kebingungan di dalam masyarakat. Presiden Soekarno berangkat menuju Halim. Presiden mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan, serta menjaga persatuan. Diumumkan pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung di tangan presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain itu melaksanakan tugas seharihari ditunjuk Mayjen Pranoto. Namun, di saat yang sama, tanpa sepengetahuan presiden Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan AD.

3. Penumpasan G 30 S/PKI

Pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno mengemukakan masalah penyelesaian peristiwa G 30 S/PKI. Dalam rangka penjelasan G 30 S/PKI, presiden menetapkan kebijaksanaan berikut.

a. Penyelesaian aspek politik akan diselesaikan sendiri oleh presiden.b. Penyelesaian aspek militer dan administratif diserahkan kepada Mayjen Pranotoc. Penyelesaian militer teknis, keamanan, dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto

Page 27: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

4. Dampak Sosial Politik dari Peristiwa G 30 S/PKI

Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI.a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.b. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di Indonesia.c. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.d. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.

Dampak sosial politik dari peristiwa G 30 S/PKI di dalam masyarakat

Pemberontakan G 30 S / PKI membawa Indonesia ke dalam kresis pemerintah dan sosial politik. Sidang Kabinet Dwikora pada tanggal 6 Oktober 1965 telah menetapakan bahwa penyelesaian aspek politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 akan ditangani secara langsung oleh Presiden Soekarno. Akan tetapi, pada pelaksaannya krisis politik muncul karena rakyat melihat bahwa penyelesaian masalah G 30 S / PKI ini tidak kunjung membawa perubahan seperti yang telah diamanatkan kepada Presiden Soekarno dalam siang Kabinet Dwikora. Akibatnya krisis politik ini membuat rakyat khawatir akan munculnya kembali potensi teror yang pernah dilakukan oleh PKI pada masa sebelumnya. Peristiwa pemberontakan PKI di Madiun

Page 28: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

tahun 1948, serta pemberontakan G 30 S / PKI telah menjadi bukti serjarah kejamnya potensi teror dan anacaman keamanan yang dapat dihindarkan oleh kekuatan PKI.

Kekhawatiran rakyat Indonesia terhadap praktek pembebasan PKI yang telah terlaksan secara optimal makin meningkat dengan adanya kondisi ekonomi makin merosot pada masa itu. Tingginya tingkat inflasi yang mencapai 650 %, diterapkannya kebijakan devaluasi nilai rupiah mencapai skala 1 : 10, serta meningkatnya harga minyak dunia pada tanggal 3 Januari 1966 membuat kondisi sosial politik Indonesia mulai begejolak. Berbagai tuntutan masyarakat terhadap pemerintah pun bermunculan.

Pemerintah Indonesiabernisiatif untuk membentuk paniatia ad hoc yang bertugas untuk menyelidiki akibat dan kenaikan harga – harga barang, jasa, dan harga minyak dunia. Selanjutnya, pemerintah membentuk sebuah badan yuang dinamakan Fact Finding

Commission KOTI. Anggotanya terdiri atas parapemimpin atau tokoh partai polotik dan pejabat – pejabat pemerintah. Tugas badan ini adalah mengumpulkan segala data, keterangan, dan fakta mengenai peristiwa G 30 S /PKI di berbagai daerah di Indonesia. Badan ini bekerja selama sekitar 1 bulan dari 27 Desember 1965 sampai 6 Januari 1966. mulai survei, badan ini menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia menginginkan agar Presiden Soekarno mengambil tindakan yang jitu untuk menyelesaikan permasalahan G 30 S / PKI dan ekses – ekses politiknya. Hasil kerja badan ini disampaikan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 10 Januari 1966.

Tri Tuntutan Rakyat ( TRITURA ) - 10 Januari 1966

Pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 30 September 1965 telah menimbulkan krisis kepemimpinan nasional yang berdampak buruk terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya gelombang ketidakpercayaan masyarakat, terutama gerakan-gerakan mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan Presiden Ir. Sukarno dalam menangani persoalan-persoalan politik, keamanan dan ekonomi pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia).

Menjelang akhir tahun 1965 pemerintah membuat kebijakan mendevaluasikan rupiah dan menaikkan harga minyak bumi. Kebijakan tersebut menyulut demontrasi besar-besaran dikalangan mahasiswa. Pada tanggal 10 Januari 1966 Mahasiswa melancarkan tuntutan yang dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) meliputi:

1.Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI);2.Retooling Kabinet;3.Penurunan Harga/Perbaikan Ekonomi.

Tuntutan mahasiswa mendapat sambutan positif dari Team Pelaksana Musyawarah Exponen Angkatan ’45. Berita Antara 14 Januari 1966 memberitakan bahwa Team tersebut telah mengemukakan pandangannya, bahwa tuntutan para mahasiswa akhir-akhir ini melalui

Page 29: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

demonstrasi-demonstrasi perlu mendapat sambutan baik atas dasar factor-faktor obyektif serta situasi kongrit dewasa ini. Tuntutan mahasiswa yang tercermin dalam demonstrasi terus-menerus setiap hari dan dipimpin oleh Kesatuan Aksi Mahsiswa Indonesia (KAMI) berpokok pada soal pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, retooling Kabinet Dwikora dan penurunan kenaikan tarif-harga.

Mengenai tuntutan melakukan retooling cabinet yang sekarang ini, Musyawarah Exponen Angkatan ’45 dalam pernyataan tersebut yang telah diedarkan menyatakan dukungannya. Musyawarah Exponen Angkatan ’45 juga menandaskan hendak membantu Wakil Perdana Menteri III, Chaerul Saleh, salah seorang tokoh angkatan ’45, untuk mengadakan konsultasi atas dasar musjawarah dan mufakat dengan segenap pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu diingatkan pentingnya mempertahankan gotong royong dan persatuan progresif revolusioner guna mengatasi situasi tanah air dari ancaman G-30-S/PKI, terutama di bidang ekonomi.

Dalam menunjukkan keinginan membantu Wakil Perdana Menteri III untuk mengadakan konsultasi dengan segenap pihak yang bersangkutan, Musyawarah Exponen Angkatan ’45 menyarankan agar kebijakan ekonomi menekankan pada pendekatan produksi dalam rangka memberantas inflasi. Gaji pegawai, buruh dan prajurit setiap bulan minimal harus berada di atas kebutuhan fisik minimum keluarga mereka. Dikemukakan selanjutnya bahwa sementara menunggu perkembangan produksi sebagai alat satu-satunya mencegah inflasi, maka kebutuhan barang-barang pokok harus dicukupi jumlahnya dengan cara apa pun. Segenap alat distribusi harus diawasi secara ketat hingga seluruhnya dikuasai oleh pemerintah sambil melaksanakan Keputusan MPRS tentang pelaksanaan alat-alat distribusi yang dipegang oleh koperasi rakyat. Pernyataan dari Musyawarah Exponen Angkatan ’45 ditandatangani oleh Mayor Jenderal Djamin Gintings, Brigadir Jenderal Djuhartono, Brigadir Jenderal Pol. Sujono, SH, Letnan Kolonel Chandra Hasan, Letnan Kolonel Dominggus Nanlohy, Drosek Zakaria Raib, Alizar Thaib, Ishak Djanggawirana, Armansyah, Herman Wanggamihardja, Ismael Agung Witono dan Soekandja.

Masih terkait dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), di Bandung hari kamis tanggal 13 Januari 1966 terjadi demonstrasi yang diikuti kurang lebih 2.000 mahasiswa dan pelajar untuk menuntut penurunan harga dan pembubaran PKI. Awalnya demonstrasi tersebut nyaris tidak terkendali, akhirnya pihak keamanan dapat membubarkan demonstrasi mahasiswa dan pelajar itu. Dalam demonstrasi tersebut mahasiswa dan pelajar meneriakan yel-yel “turunkan harga”, “kita tidak perlu monumen-monumen lagi”, “kita perlu industri”, “hancurkan gestapu”, “bubarkan PKI”.

Dalam kesempatan itu, Walikota Priatnakusumah tidak bisa menyampaikan pendiriannya sewaktu menghadapi demonstrasi tersebut, karena setiap ia akan berbicara, teriakan “kita bosan dengan pidato” menyebabkan pidato Walikota Priatnakusumah tidak terdengar sampai jauh, karena kabel pengeras suara yang digunakan Walikota berbicara, diputuskan orang.

Kurang lebih tiga jam mahasiswa-mahasiswa dan pelajar-pelajar Bandung berdemonstrasi di halaman kotapraja. Mereka dikoordinasi oleh KAMI, dan dalam kesempatan itu seorang

Page 30: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

pimpinannya membacakan petisi dan resolusi yang akan mereka sampaikan pula kepada Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Dijelaskan dalam petisi dan resolusi tersebut bahwa tuntutan para mahasiswa dan pelajar Bandung ini adalah mengingat penderitaan rakyat dewasa ini. Disebutkan pula bahwa mahasiswa dan pelajar Bandung solider dengan aksi yang telah dilaksanakan mahasiswa-mahasiswa Ibukota baru-baru ini di Jakarta dalam membela kepentingan rakyat.

Menindaklanjuti demonstrasi mahasiswa yang semakin gencar di berbagai daerah Presidium Pusat KAMI telah menginstruksikan mahasiswa Indonesia khususnya yang berada di Jakarta dan yang bernaung di bawah panji KAMI untuk mempertinggi kewaspadaan dan jangan bertindak sendiri-sendiri. Instruksi itu diberikan berhubung dengan terjadinya insiden antara unsur-unsur Front Marhaenis (Ali-Surachman) dengan mahasiswa-mahasiswa dari kalangan KAMI ketika mereka sedang mendengar amanat Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno di Istana Merdeka. Insiden Istana Merdeka ini telah membawa korban, beberapa orang mahasiswi terpaksa diangkut ke rumah sakit karena terluka.

Kepada pimpinan organisasi-organisasi mahasiswa seperti PMII, PMKRI, GMKI, GMNI, IMADA, HMI, SEMMI, GERMAHII, MAPANTJAS, PELMASI, GMD, IMABA, CSB, GMS, GMRI, KAMI Universitas-Universitas, KAMI Akademi-Akademi, Dewan-Dewan Mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia diserukan oleh Presidium Pusat KAMI agar tetap siaga menghadapi kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan kasar seperti yang terjadi pada demonstrasi mahasiswa sebelumnya. Diserukan agar mahasiswa itu merapatkan barisan dan menyelamatkan revolusi Indonesia di bawah komando Presiden Sukarno dari rongrongan “nekolim” dan antek-antek “gestapu”/PKI.

Ketua Umum Presidium Pusat KAMI, Cosmas Batubara, dalam penjelasannya mengenai insiden di Istana Merdeka menerangkan antara lain bahwa beberapa rombongan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI ketika sedang khidmatnya mendengarkan amanat Presiden Sukarno “telah dicegat dan dan diprovokasi dan akhirnya dikeroyok oleh segerombolan orang-orang yang bertindak liar dan mata gelap”. Terjadinya insiden tertsebut yang menurut Cosmas Batubara telah ditimbulkan oleh golongan Front Marhaenis yang menurut keyakinannya disusupi oleh anasir-anasir CGMI, telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Menurut pendapat anggota pimpinan KAMI tersebut, tindakan liar yang mengakibatkan terjadinya insiden tersebut telah menodai barisan Sukarno yang dikomandokan oleh Pemimpin Besar Revolusi untuk mempersatukan segenap kekuatan rakyat yang progresif revolusioner dalam menghancurkan nekolim dan “Gestapu”/PKI.

Dalam hubungan ini, pada tanggal 21 Januari 1966 ketua KAMI Pusat tersebut menginstruksikan kepada segenap mahasiswa yang tergabung dalam KAMI Pusat di seluruh kota-kota Universitas dan perguruan tinggi di Indonesia harus bersikap sebagai berikut:

Page 31: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

1. Tetap merapatkan barisan perjuangan mahasiswa, tetap berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;

2. Menggalang kekompakan kesatuan segenap potensi mahasiswa dengan semangat rela berkorban, berdisiplin, serta ikhlas mengabdi menjadi satu front yang bisa diuji kemampuannya oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;

3. Terus meningkatkan penghayatan tritunggal Bung Karno-Rakyat-ABRI dalam satu front demi kepentingan rakyat, nusa dan bangsa menghadapi rongrongan nekolim dan unsur-unsur Gestapu/PKI;

4. Mendaftarkan dengan segera pada barisan pendukung Bung Karno pada Gabungan V KOTI untuk tingkat pusat dan Pepelrada setempat untuk tingkat daerah;

5. Tetap waspada akan usaha pecah belah, intrik, adu-domba serta pancingan-pancingan dari pihak nekolim ataupun antek-antek Gestapu/PKI.

Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Sukarno mengumumkan reshuffle cabinet. Dalam kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden Sukarno, seorang mahasiswa Arief Rahman Hakim Gugur. Pada tanggal 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Akhirnya, Tujuan dari Tri Tuntutan Rakyat dapat terwujud dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Suharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya. Selain itu, Supersemar juga mengamanatkan agar meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Page 32: an PKI Pada Saat Demokrasi Terpimpin

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.