radioterapi kelompok 2
DESCRIPTION
terapi terapi radiologi kesehatanTRANSCRIPT
SEORANG WANITA 46 TAHUN DENGAN KARSINOMA SEL
SQUAMOUS CERVIX UTERI STADIUM IIIB
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Firdawati 22010113210086
Yuni Sri H 22010113210087
Anindita M D 22010113210088
Dewi Sri P S 22010113210089
Husein Ahmad 22010113210120
Dosen Pembimbing :
dr. CH. Nawangsih, Sp.Rad (K), Onk.Rad
Residen Pembimbing :
dr. Amelia
BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
2
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan kasus radioterapi:Judul : SEORANG WANITA 46 TAHUN DENGAN KARSINOMA
SEL SQUAMOUS CERVIX UTERI STADIUM IIIB
Bagian : RadiologiPembimbing : dr. CH. Nawangsih, Sp.Rad (K), Onk.Rad
dr. AmeliaDiajukan : 27 Februari 2015
Residen pembimbing,
dr. Amelia
Semarang, Februari 2015Pembimbing,
dr. CH Nawangsih, Sp.Rad (K), Onk.Rad
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................... i Halaman Pengesahan.......................................................................................... iiDaftar isi.............................................................................................................. iiiDaftar gambar...................................................................................................... v
Daftar tabel.......................................................................................................... vi
BAB I Pendahuluan............................................................................................ 1
BAB II Tinjauan Pustaka.................................................................................... 3
2.1 Anatomi Kepala............................................................................................ 3
2.1.1 Lapisan pembungkus kepala ............................................................... 10
2.1.2 Tulang kepala ...................................................................................... 10
3
2.1.3 Meningen.............................................................................................. 10
2.1.4 Otak ..................................................................................................... 11
2.1.5 Vaskularisasi Otak................................................................................ 12
2.2 Perdarahan Intrakranial................................................................................. 13
2.2.1 Anamnesis ........................................................................................... 10
2.2.2 Pemeriksaan fisik ................................................................................ 10
2.3 Pemeriksaan Penunjang Cedera Kepala........................................................ 5
2.3.1 Foto Polos Kepala................................................................................ 10
2.3.2 CT Scan Kepala ................................................................................... 10
2.4 Tatalaksana Cedera Kepala...........................................................................
9
2.4.1 Tatalaksana awal.................................................................................. 10
2.4.2 Tatalaksana lanjutan............................................................................. 10
2.5 Prognosis.......................................................................................................
34
2.6 Sekuele Post Trauma..................................................................................... 35
2.6.1 Infark serebri........................................................................................ 35
2.6.2 Atrofi pasca trauma.............................................................................. 35
2.6.3 Hidrosefalus......................................................................................... 35
2.6.4 Infeksi................................................................................................... 36
2.6.5 Aerocele............................................................................................... 36
2.6.6 Fistula................................................................................................... 36
BAB III Laporan kasus....................................................................................... 37
BAB IV Pembahasan.......................................................................................... 44
BAB V Kesimpulan ............................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 47
4
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di dunia
menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara itu di negara
berkembang masih menempati urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat
kanker di usia reproduktif. Di Indonesia terjadi sekitar 90 sampai 100 kasus baru
kanker leher rahim per 100.000 penduduk per tahun (Depkes, 2001). Profil
kesehatan 2010 menyebutkan bahwa indikator penyakit kanker leher rahim adalah
19,70% per 10.000 penduduk. Berdasarkan laporan program yang berasal dari
Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Semarang pada tahun 2005, kasus penyakit
kanker yang ditemukan sebanyak 2.020 kasus, 55% di antaranya adalah kanker
leher rahim dan 45% diantaranya bukan kanker leher rahim (Dinkes, 2005).1
Frekuensi kejadian kanker servik uteri tertinggi adalah pada wanita usia antara 50
sampai 55 tahun, dengan umur rata-rata 53,2 tahun.1,2
Pilihan penatalaksanaan pasien dengan kanker leher rahim bergantung
pada derajat (stage) penyakitnya. Derajat suatu kanker menggambarkan ukuran,
kedalaman invasi, dan seberapa jauh penyebarannya. Tiga metode utama
penatalaksanaan kanker adalah pembedahan, terapi radiasi, dan kemoterapi.
Terkadang pendekatan pengobatan terbaik menggunakan dua atau lebih dari
metode-metode ini.3
Radioterapi atau terapi radiasi adalah jenis terapi yang menggunakan
radiasi tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Baik sel-sel normal
maupun sel-sel kanker bisa dipengaruhi oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-
sel kanker sehingga proses multiplikasi ataupun pembelahan sel-sel kanker akan
terhambat. Sekitar 50-60% penderita kanker memerlukan radioterapi.4
Tujuan radioterapi adalah untuk pengobatan secara radikal, sebagai terapi
paliatif yaitu untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman
akibat kanker dan sebagai adjuvant yakni bertujuan untuk mengurangi risiko
5
kekambuhan dari kanker. Radiasi mempunyai efek yang sangat baik pada jaringan
yang membelah dengan cepat. Dengan pemberian setiap terapi, maka akan
semakin banyak sel-sel kanker yang mati dan tumor akan mengecil. Sel-sel kanker
yang mati akan hancur, dibawa oleh darah dan diekskresi keluar dari tubuh.
Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi. Tetapi
bagaimanapun juga, kerusakan yang terjadi pada sel-sel yang sehat merupakan
penyebab terjadinya efek samping radiasi.4
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi
Laporan International Union Against Cancer (IUCC) pada kongres kanker
internasional ke-18 tahun 2002 di Oslo, Norwegia menunjukkan bahwa 6 juta
orang meninggal akibat kanker tiap tahunnya dan 10 juta kasus kanker baru,
muncul. 466.000 kasus diantaranya adalah kanker servik uteri dan menyebabkan
231.000 kematian tiap tahunnya. Angka kejadian dan angka kematian akibat
kanker leher rahim di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara.
Sementara itu di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai
penyebab kematian akibat kanker di usia reproduktif.1,2
Di Indonesia terjadi sekitar 90 sampai 100 kasus baru kanker leher rahim
per 100.000 penduduk per tahun. Berdasarkan laporan program yang berasal dari
Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Semarang pada tahun 2005, kasus penyakit
kanker yang ditemukan sebanyak 2.020 kasus, 55% di antaranya adalah kanker
leher rahim dan 45% diantaranya bukan kanker leher rahim. Di antara lima jenis
kanker terbanyak pada wanita, kanker servik uteri menduduki peringkat pertama.
Umur penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode laten
dari fase pra invasif menjadi invasif memakan waktu 10 tahun, hanya 9 % wanita
kurang dari 35 tahun, menunjukkan kanker cervik yang invasif pada saat
didiagnosis, sedangkan 53 % dari KIS ( Karsinoma In Situ) di bawah usia 35
tahun. 1,5
B. Faktor Risiko
Keadaan apapun yang meningkatkan resiko seseorang mendapatkan
penyakit disebut faktor resiko. Memiliki faktor resiko tidak selalu berarti akan
terkena kanker; dan tidak memiliki faktor resiko tidak berarti tidak akan terkena
kanker. Faktor resiko kanker leher rahim diantaranya adalah yang paling umum
7
infeksi leher rahim oleh human papilloma virus (HPV). Bagaimana pun, tidak
semua wanita dengan infeksi HPV akan berkembang menjadi kanker leher rahim.
Wanita yang tidak secara rutin memeriksakan Pap smear untuk mendeteksi HPV
atau sel-sel abnormal di serviks memiliki peningkatan resiko kanker leher rahim.
Faktor resiko lain termasuk: usia lebih dari 40 tahun, melahirkan banyak anak
apalagi dengan jarak yang berdekatan, umur pertama kali berhubungan seksual
pada usia muda (<16 tahun), jumlah hubungan seksual, jumlah parter seksual,
merokok, golongan sosial ekonomi rendah (higenitas seksual), riwayat keluarga,
riwayat kesehatan pernah tumor atau kanker payudara, kanker usus, dan
kelemahan sistem imun.6,7
C. Patogenesis dan Penyebaran
Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks
(porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut squamo-columnar junction
(SCJ). Histologik antara epitel gepeng berlapis dari porsio dengan epitel
kuboid/silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis serviks. Pada
wanita muda SCJ ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada
wanita > 35 tahun, SCJ berada di dalam kanalis serviks.
Gambar 1. Mikroskopis Epitel Serviks Normal
8
Pada awal perkembangannya kanker serviks tidak memberi tanda-tanda
dan keluhan. Pada pemeriksaan dengan spekulum, tampak sebagai porsio yang
erosif (metaplasi skuamosa) yang fisiologik atau patologik.7
Tumor dapat tumbuh:
1.Eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai masa proliferatif
yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis
2.Endofitik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stoma serviks dan cenderung
untuk mengadakan infiltrasi menjadi ulkus.
3.Ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks
dengan melibatkan awal forniks vagina untuk menjadi ulkus yang
luas.
Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasi (erosio)
akibat saling desak mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan
masuknya mutagen, porsio yang erosif (metaplasi skuamosa) yang semula faal/
fisiologik dapat berubah jadi patologik (displastik-diskariotik) melalui tingkatan
NIS-I, II, III dan KIS untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi
mikro invasif atau invasif, proses keganasan akan berjalan terus.7
Periode laten (dari NIS-I s/d KIS) tergantung dari daya tahan tubuh
penderita. Umumnya fase pra-invasif berkisar antara 3-20 tahun (rata-rata 5-10
tahun). Histopatologik sebagian terbesar (95-97%) berupa epidermoid atau
squamous cell carcinoma, sisanya adenokarsinoma, clear cell carcinoma
/mesohephrod carcinoma, dan yang paling jarang adalah sarkoma.7
Gambar 2. Makroskopis Serviks Uteri
9
Gambar 3. Mikroskopis Metaplasi Epitel Serviks Uteri
Kanker servik mengalami metastasis biasanya melalui limfogen menuju 3
arah, yaitu : ke arah forniks dan dinding vagina, ke arah corpus uteri, dan ke arah
parametrium dan dalam stadium lanjut menginfiltrasi septum rektovaginal dan
kandung kemih.
Melalui pembuluh limfe dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor
dapat menyebar ke kelenjar iliaka luar dan kelenjar iliaka dalam (hipogastrika).
Penyebaran melalui pembuluh darah tidak lazim. Karsinoma serviks umumnya
terbatas pada daerah panggula saja. Tergantung dari kondisi imunologik tubuh
penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus
membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor belum terlihat
dalam pembuluh limfe atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1mm dari
membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfe
atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin telang menginfiltrasi
stroma serviks, akan tetapi secara klunis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor
yang demikian disebut sebagai ganas pra-klinik (tingkat IB-occult). Sesudah
tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen menuju kelenjar limfe
regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju forniks vagina, korpus
10
uteri, rektum dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat
menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke
parametrium akan menuju kelenjar limfe regional melalui ligamentum latum,
kelenjar-kelanjar iliaka, obturator, hipogastrika, prasakral,praaorta, dan seterusnya
secara teoritis dapat lanjut malaui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia
di kiri mencapai paru-paru, hati, ginjal, tulang, dan otak.6,7
Biasanya penderita sudah meninggal lebih dulu disebabkan oleh
perdarahan-perdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh
karena obstruksi ureter di tempat ureter masuk ke kandung kemih.7
D. Gejala Klinis dan Morfologi
Stadium dini kanker leher rahim dapat tidak menimbulkan gejala atau
tanda. Seorang wanita sebaiknya melakukan pemeriksaan rutin tahunan, termasuk
Pap smear untuk mengetahui sel-sel abnormal di serviks. Prognosis akan lebih
baik jika kanker ditemukan lebih dini.6
Keputihan merupakan gejala yang sering dikeluhkan. Fluor yang keluar
dari vagina ini, makin lama akan berbau busuk karena infeksi dari nekrosis
jaringan, sehingga pertumbuhan kanker menjadi ulseratif. Kontak Bleeding terjadi
pada 75-80% kasus kanker servik uteri. Perdarahan yang timbul akibat terbukanya
pembuluh darah, makin lama makin sering terjadi, bahkan terjadi perdarahan
spontan. Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih
lanjut, terutama pada kanker yang bersifat eksofitik dan dapat menyebabkan
anemia. Rasa nyeri terjadi akibat infiltrasi sel kanker ke serabut saraf. Infiltrasi
kanker ke ureter menyebabkan obstruksi total, sehingga terjadi gangguan
kencing.7
Menegakkan diagnosis kanker servik uteri yang klinis sudah agak lanjut
tidaklah sulit. Yang menjadi masalah adalah diagnosis pada tingkat awal,
misalnya pada tingkat pra invasif. Stadium kanker servik dapat ditentukan dengan
kriteria tingkat keganasan klinik menurut FIGO (1978).7
Kanker servik timbul di daerah squamo-columner junction. Di daerah
tersebut terjadi proses metaplasia skumosa. Metaplasia skuamosa sel endoservik
11
yang dapat dipandang sebagai proses fisiologis, dapat berubah ke dalam prose
maturitas yang terganggu ( diplasia ). Gangguan maturitas ini, tampak ada
pelebaran dan atipik sel lapisan basal, peningkatan rasio nukleus-sitoplasma,
maturitas yang terhambat dan mitosis. Konsep neoplasia intraepitelial servik
( CIN) digunakan untuk menunjukkan perkembangan neoplasia servik. CIN I
sesuai dengan displasia ringan, CIN II dengan displasia sedang dan CINIII sesuai
dengan displasia berat maupun karsinoma in situ.7
E. Diagnosis
Diagnosis kanker servik uteri dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang sering dijumpai
penderita kanker servik adalah perdarahan abnormal, contact bleeding, fluor
abnormal, gangguan kencing (disuria), gangguan defekasi dan nyeri perut di
bagian bawah atau menyebar. Pemeriksaan khusus vagina menggunakan
speculum, untuk mengetahui morfologi servik dan mengambil sediaan untuk
pemeriksaan jaringan dan sitologis. Pemeriksaan ginekologi vaginal toucher juga
perlu dilakukan untuk menilai konsistensi dan bentuk servik.3
Diagnosis pasti kanker servik uteri adalah dengan pemeriksaan histologik
dari jaringan yang diperoleh dari biopsi yang dilakukan secara terarah dengan
bantuan kolposkop. Hasil pemeriksaan tersebut harus dikonfirmasi dengan tindak
lanjut berupa kuretase endoservik atau konisasi servik.3
Pemeriksaan X-Foto Thorak diperlukan untuk mengetahui adanya
metastasis ke paru. Pemeriksaan IVP dan CT-Scan panggul dilakukan jika ada
indikasi. Gambaran Radiologis metastasis ke paru, meliputi gambaran coin lesion,
efusi pleura, golf ball, nodul, milier, dan pembesaran kelenjar.4,5
Pembagian stadium klinis menurut menurut FIGO 2009
Stadium I : karsinoma hanya terbatas pada serviks ( tanpa mengenali ekstensi
ke corpus )
Stadium Ia : karsinoma invasif yang hanya didiagnosis melalui pemeriksaan
mikroskopis , kedalaman invasi kurang dari 5 mm dan ekstensi
terluas lebih dari 7 mm
12
Stadium Ia1 : karsinoma pre klinis (hanya dapatr didiagnosis menggunakan
mikroskop), kedalaman infiltrasi kurang dari 3 mm dan lebar
tidak lebih dari 7 mm
Stadium Ia2 : lesi-lesi yang dapat diukur mikroskopik dengan kedalaman invasi
3-5 mm dari membran basal dan lebar tidak lebih dari 7 mm
Stadium Ib : lesi-lesi yang nampak secara klinis, terbatas pada serviks uteri atau
kanker preklinis yang lebih besar daripada stadium IA
Stadium Ib1 : diameter kurang dari 4 cm
Stadium Ib2 : diameter tumor lebih dari 4 cm
Stadium II : karsinoma meluas diluar cervix, tetapi belum sampai dinding
pelvis; karsinoma tumbuh ke dalam vagina, tetapi tidak sampai
sepertiga bagian bawah
Stadium IIa : tidak ada perluasan ke parametrium
Stadium IIa1 : lesi yang nampak ≤ 4 mm
Stadium IIa2 : lesi yang nampak ≥ 4 mm
Stadium IIb : jelas ada perluasan ke parametrium
Stadium III : karsinoma meluas sampai dinding pelvis; pada pemeriksaan rektal
tidak terdapat ruangan bebas karsinoma antara tumor dan dinding
pelvis; tumor tumbuh sampai sepertiga bagian bawah vagina.
Adanya hidronefrosis atau ginjal yang tidak berfungsi cocok
dalam stadium.
Stadium IIIa : tidak ada perluasan sampai ke dinding pelvis, tetapi pertumbuhan
terus sampai sepertiga bagian bawah vagina.
Stadium IIIb : perluasan sampai dinding pelvis atau hidronefrosis atau ginjal yang
tidak berfungsi.
Stadium IV : karsinoma telah meluas sampai diluar pelvis minor atau secara
klinis telah tumbuh ke dalam mucosa kandung kencing atau
rectum
Stadium IVa : pertumbuhan tumor tembus dalam organ-organ sekelilingnya
Stadium IVb : perluasan ke organ-organ jarak jauh
13
F. Penatalaksanaan
Terapi kanker servik dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik, dan dilakukan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melaksanaakan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan.6,7
Pada stadium 0, karsinoma in situ (KIS) tidak dibenarkan melakukan
elektrokauterisasi atau elektrofulgerasi, bedah cryo dan menggunakan sinar laser,
kecuali dilakukan oleh seorang ahli kolposkopi dan penderitanya masih muda dan
belum memiliki anak.7
Pada kasus tertentu dimana operasi merupakan suatu kontraindikasi, dapat
dilakukan aplikasi radium dengan dosis 6500-7000 rads/cgy di titik A (=setinggi
2cm dari oue dan sejauh 2cm dari sumbu uterus) tanpa penambahan penyinaran
luar.6
Pada stadium Ia, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang
invasif. Bila kedalaman invasi kurang dari atau hanya 1mm dan tidak meliputi
area yang luas serta tidak melibatkan pembuluh limfe atau pembuluh darah,
penanganannya dilakukan seperti pada KIS di atas. 7
Pada stadium Ib, Ib occult dan IIa, dilakukan histerektomi radikal dengan
limfadenektomi panggul. Paska bedah biasanya dilakukan penyinaran tergantung
ada tidaknya sel tumor dalam kelenjar limfe regional yang diangkat. Tindakan
operatif radikal meliputi ekstirpasi uterus, parametrium dan jaringan para servikal
sampai dinding pelvis, menghilangkan vagina manchet yang cukup luas dan
limfadenektomi pelvis bilateral; sepanjang arteri iliaka komunis, vasa iliaka
eksterna, arteri hipogastrika dan fossa obturatoria. Indikasi radioterapi post
operative adalah pertumbuhan tumor ke dalam parametrium, pinggir-pinggir
irisan tidak bebas dan metastasis ke kelenjar limfe. 7
Pada stadium IIb, III dan IV tidak dilakukan tindakan bedah, untuk ini
primer adalah radioterapi. Jaringan servik uteri merupakan jaringan yang
radioresponsif sehingga dosis yang diberikan adalah 5000 cgy dengan dosis
fraksinasi sebesar 200 cgy dilakukan dalam 25 kali penyinaran dan 5 kali dalam
seminggu. Teknik radiasi secara radiasi eksterna menggunakan pesawat
14
gammatron dengan Cobalt-60 atau menggunakan Linac (Linier Accelerator) yang
teknik penyinarannya lebih canggih. 7
Setelah 1 seri radiasi dapat pada stadium I dan II dapat dilanjutkan dengan
afterloading menggunakan metode dari Fletchener yaitu menggunakan bola-bola
Cesium-137 dengan cara brakiterapi, menggunakan dosis 850 cgy, diberikan 2
kali, jarak pemberian pertama dengan kedua adalah 1 minggu. 7
Penentuan luas lapangan radiasi meliputi daerah kelenjar limfe sekitar
arteri obturatoria sampai di pertemuan arteri illiaka komunis; biasanya luas
lapangan adalah 15 x 12 cm sampai 15 x 18 cm. Daerah yang telah mendapat
radium intracaviter selebar antara titik A kanan dan kiri ditutup dengan blok timah
hitam. Penutupan dilakukan juga pada daerah sekitar kaput femoris dan sebagian
pelvis lateral bagian atas untuk mengurangi bahaya usus-usus terkena radiasi.5,6
Pada stadium klinik IVa dan IVb terapi radiasi bersifat paliatif dan
pemberian kemoterapi dapat dipertimbangkan dengan kombinasi beberapa jenis
sitostatika (polichemotheraphy). 7
Dalam menentukan teknik dan dosis radiasi pada pengobatan karsinoma
serviks uteri perlu dipertimbangkan faktor daya toleransi dari jaringan-jaringan di
dalam rongga pelvis. 6
Jaringan yang menyusun seviks, korpus uteri dan vagina merupakan
jaringan yang paling tahan terhadap radiasi bila dibandingkan dengan jaringan
tubuh yang lainnya. Keadaan ini memungkinkan pemberian radiasi dengan dosis
cukup tinggi pada tumor serviks. 6
Pembatasan dosis lebih ditentukan oleh daya tahan dari usus-usus, ureter
dan kandung kencing. Alat-alat ini mempunyai daya toleransi lebih rendah
dibandingkan dengan uterus. Dosis radiasi lokal melebihi 5000rad menimbulkan
reaksi-reaksi yang cukup berat seperti timbulnya ulserasi pada mukosa yang dapat
menimbulkan fistula. 7
Daya toleransi dari radiasi eksternal sangat tergantung dari volume radiasi,
dosis tiap hari, dan lamanya radiasi. Radiasi eksternal diperlukan untuk
memberantas metastasis-metastasis dalam kelenjar limfe dalam parametrium
bagian lateral, sehingga memerlukan volume penyinaran yang cukup luas.7
15
Teknik radiasi yang digunakan adalah kombinasi antara radiasi lokal
(intrakaviter) dan radiasi eksternal. Radiasi lokal daapat memberika dosis yang
tinggi pada serviks dan corpus uteri, tetapi dosis cepat menurun pada jaringan
disekitarnya, sehingga dosis ke rectum, sigmoid, kandung kencing dan ureter
dapat dibatasi sampai batas-batas nilai toleransi. Kemungkinan timbulnya
metastasis limfogen pada carsinoma serviks uteri cukup tinggi. Oleh karena itu,
kelenjar-kelenjar dalam panggul kecil harus mendapat penyinaran juga. Dosis
radiasi intracaviter cepat menurun di luar uterus, sehingga dosis yang sampai pada
kelenjar limfe sangat rendah. Untuk mencapai dosis yang dapat mengamankan
metastasis kelenjar limfe ini, diperlukan penyinaran luar yang dapat memberikan
distribusi dosis yang merata pada daerah yang lebih luas.4,5
Radiasi lokal (intrakaviter), zat radioaktif yang dulu sering digunakan
adalah radium yang sekarang sudah mulai diganti cobalt, cesium atau iridium
yang lebih aman, dengan teknik dasar penggunaannya sama.7
Zat radioaktif diletakkan intra vaginal dan intrauterin dengan
menggunakan aplikator. Aplikator intravaginal berbentuk kotak (box) silinder
atau ovoid, sedang aplikator intrauterin bebentuk tabung (tandem).3,7
Untuk menghindarkan para petugas terkena radiasi pemasangan zat
radioaktif sangat dianjurkan menggunakan teknik after loading. Terdapat 2 cara,
yaitu:
- after loading secara manual
aplikator intrauterine dan intravaginal dipasang dalam keadaan kosong.
Setelah dilakukan pemeriksaan lokalisasi pemasangannya dengan alat
radiodiagnostik atau lokalisator, maka penderita dapat dibawa ke kamar
khusus. Zat radioaktif dimasukkan di kamar tersebut, sehingga penyinaran
pada petugas sangat kecil.
- remote controlled after loading system
setelah pemasangan aplikator telah dilaksanakan dengan sempurna, maka
aplikator dihubungkan dengan pipa ke tempat penyimpanan zat radioaktif.
Cara memasukkan zat ini ke dalam aplikator dilakukan dalam ruangan
khusus dengan menggunakan tombol, dan setelah radiasi selesai, tombol
16
lain ditekan sehingga zat radioaktif kembali ke tempat penyimpanan.
Dengan cara ini seluruh petugas sama sekali terbebas dari radiasi.7
Untuk memberantas metastasis kelenjar dengan efek sampingan seringan-
ringannya dipergunakan pesawat megavolt, seperti telecobalt atau linear
accelerator.
Kombinasi radiasi eksternal dan intrakaviter tergantung pada stadium
karsinoma serviks uteri ialah sebagai berikut:
Stadium I dan IIA :
Radiasi whole pelvis 1,8-2 Gy per kali, total 45-46 Gy
Radiasi Intrakaviter LDR / HDR dosis ditetapkan di titik A sebagai
tambahan sehingga di titik A mencapai dosis Ekuivalen 65 Gy/ 6,5
minggu.
Stadium IIB – IVA :
Radiasi whole pelvis 1,8-2 Gy per kali, total 45- 50 Gy
Radiasi intrakaviter LDR / HDR, dengan dosis di titik A, ekuivalen
dengan radiasi eksternal 70 – 80 Gy/ 7-8 minggu dan parametrium
mendapat tambahan sekitar 10-16 Gy.
Dengan catatan :
LDR : laju dosis radiasi 0,4- 2 Gy /jam
HDR : laju dosis radiasi 12 Gy/jam atau lebih.8
Peranan kemoterapi pada karsinoma serviks saat ini sudah mulai
dikembangkan. Kebanyakan terapi sitostatika pada kanker serviks hanya bersifat
adjuvant (tambahan) pengobatan standar operasi atau radiasi. Dasar pengobatan
tersebut merupakan usaha untuk merusak sel-sel tumor ganas melalui intervensi
proses-proses molekuler dalam sel-sel tumor ganas tanpa merusak terlampau
banyak sel-sel normal. Regimen yang sering digunakan adalah:
- Mitomycine C (MMC) sebagai terapi tunggal
- Mitomycine C – 5 Fluorouracil (MMC – 5FU)
- Mitomycine C – Bleomicin (BM) atau kombinasi berdasar cisPlatinum,
misalnya:
Mitomycine C – cisPlatinum (MMC – P)
17
Mitomycine C-Oncovin-cisPlatinum-Bleomycin (MOPB)
Epirubicin – cisPlatinum (EP)
CisPlatinum-Vinblastin-Bleomycin (PVB).
Respon pengobatan dengan sitostatika ini berkisar antara 19-50%. Akhir-akhir ini
telah dikembangkan pemberian sitostatika pada karsinoma serviks mendahului
terapi pembedahan atau terapi radiasi. Pemberian sitostatika dengan cara ini
disebut sebagai terapi neoadjuvant. Pemberian sitostatika yang diberikan
bersamaan dengan radiasi disebut kemoterapi concomitant.3,4
G. Efek Samping Radioterapi
Efek samping radioterapi bervariasi pada tiap pasien. Secara umum efek
samping tersebut tergantung dari dosis terapi, target organ dan keadaan umum
pasien. Beberapa efek samping berupa kelelahan, reaksi kulit (kering, memerah,
nyeri, perubahan warna dan ulserasi), penurunan sel-sel darah, kehilangan nafsu
makan, diare, mual dan muntah bisa terjadi pada setiap pengobatan radioterapi.
Kebotakan bisa terjadi tetapi hanya pada area yang terkena radioterapi. Radiasi
tidak menyebabkan kehilangan rambut yang total. Pasien yang menjalani radiasi
eksternal tidak bersifat radioaktif setelah pengobatan sehingga tidak berbahaya
bagi orang di sekitarnya. Efek samping umumnya terjadi pada minggu ketiga atau
keempat dari pengobatan dan hilang dua minggu setelah pengobatan selesai. 4
Untuk mengurangi efek samping radioterapi beberapa hal perlu dilakukan.
Bila terdapat kelelahan, pasien dianjurkan untuk tetap beraktivitas seperti biasa,
bila memang diperlukan maka aktivitas bisa dikurangi, usahakan untuk bisa tidur
nyenyak di malam hari serta beristirahat yang cukup. Bila terjadi kehilangan nafsu
makan maka sebaiknya pasien dianjurkan untuk makan segala makanan yang
diinginkan, makan dalam jumlah kecil tetapi sering, hindari memakan makanan
yang kering, minum banyak air, bisa diberikan makanan suplemen untuk
meningkatkan nafsu makan. Perubahan kulit yang terjadi bisa dikurangi dengan
tidak menggunakan produk-produk pada kulit sebelum radioterapi, menggunakan
18
baju yang tidak terlalu sempit, menggunakan sabun yang lembut dan air hangat
pada saat membasuh tubuh, dilarang menggosok terlalu keras pada area yang
terkena radioterapi, hindari temperatur yang terlalu panas atau terlalu dingin serta
hindari sinar matahari langsung. Pada umumnya efek samping dari radioterapi
akan hilang dengan sendirinya setelah pengobatan dihentikan. Tetapi pada
beberapa kasus yang jarang akan terjadi efek samping yang berkepanjangan
karena radiasi menyebabkan kerusakan pada organ dalam yang berhubungan atau
berdekatan dengan tempat tumor.4
H. Prognosis
Pronosis kanker servik uteri dipengaruhi oleh umur penderita, keadaan
umum, tingkat klinik keganasan, ciri-ciri histologik sel tumor dan sarana
pengobatan. Angka ketahann hidup 5 tahun untuk karsinoma invasif stadium Ia
sekitar 98 %, stadium I yaitu 74-90 %, stadium II yaitu 45-60 %, stadium III yaitu
20-25 %, dan stadium IV sebesar 5-10 %.7
Tindak lanjut dari setiap tindakan terapi harus diperhatikan secara seksama
uintuk menghindari komplikasi yang mungkin terjadi. Pada tindakan konisasi
perlu diperhatikan adanya stenosis servik yang menyebabkan dismenorea,
granulasi dan insufisiensi servik sehingga mengganggu kehamilan berikutnya.7
Sesudah tindakan operatif, perlu dperhatikan komplikasi urologi, terutama
gangguan fungsi kandung kemih. Setelah tindakan radiologik, harus diperhatikan
problem koitus, fistel radiologik, gejala sistitis, dan prokitis hemoragik.7
BABIII
LAPORAN KASUS
19
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jepara
Agama : Islam
No. CM : C478129
Tanggal Masuk : 05 februari 2015
II. ANAMESIS
Autoanamnesis tanggal 24 Februari 2015.
a. Keluhan Utama : Keluar darah dari jalan lahir
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
1,5 tahun yang lalu sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh
keputihan terus menerus. Warna putih kental , Keputihan berbau (+), nyeri
pinggang (+), sehari ganti pembalut sebanyak 3x, nyeri perut bawah
(+)hilang timbul, pegel-pegel (-),nyeri saat BAK (-), nyeri saat
berhubungan seksual (+) , perdarahaan saat berhubungan seksual (+),
riwayat trauma (-). Karena takut, pasien datang ke bidan untuk
memeriksakan dan dikatakaan keputihan biasa serta tidak ada kelainan.
1 bulan lalu, pasien merasa tidak ada perbaikan. Keputihan dirasakan
semakin bebau busuk. Warna kuning kental, dan kadang disertai darah
mrongkol. Nyeri saat berhubungan dengan suami (+) dan keluar darah.
Karena dirasakan tidak ada perbaikan, pasien dirujuk ke RS Jepara di
spesialis kebidanan.
bulan april 2014 pasien dilakukan biopsi di leher rahim dan dikatakan
ada kanker leher rahim. Kemudian pasien dirujuk ke RSDK karena
keterbatasan alat di RS Jepara.
Pasien rutin berobat di POLI Ginekologi dan direncanakan untuk
kemoterapi dan dilanjutkan dengan kemoradiasi. Mulai bulan Juli 2014
20
pasien mendapatkan kemoterapi NAC Platosin yang pertama. Pasien rutin
kemoterapi sampai bulan Januari 2015.
7 hari SMRS, pasien mengeluh keluar darah dari jalan lahir terus menerus,
darah perongkol (+), sehari ganti pembalut sebanyak 5x, nyeri perut bawah
(+) sering, dan pasien terasa lemas. Oleh keluarga pasien di bawa ke IGD
RSDK. Selama perawatan di RSDK pasien melanjutkan terapi kemoradiasi.
Kemoterapi Platosin concomitant ke 8, 9 bersamaan dengan radiasi ke I, VI,
XI. Saat akan melanjutkan kemoterapi ke 10 dan radiasi ke XI pasien drop
sehingga ditunda.
c. Riwayat Obstetri :
P2A0, anak terkecil berusia 19 tahun.
d. Riwayat Kawin:
1 kali pada usia 26 tahun
e. Riwayat Haid :
HPHT tidak jelas
f. Riwayat KB :
Disangkal
g. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayatasma (+) sejak masih muda, hipertensi (-), penyakit DM (-), penyakit
jantung (-), riwayat operasi daerah panggul (-), riwayat keganasan sebelumnya
(-).
h. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.
i. Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita adalah seorang ibu rumah tangga dan suami petani, memiliki 2
anak yang sudah mandiri. Biaya pengobatan ditanggung BPJS.
Kesan: sosial ekonomi kurang
21
III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 24 Februari 2015)
Keadaan umum: Baik, kesadaran kompos mentis.
Status generalis:
Tanda Vital : Tekanan Darah : 120/80 mm Hg
Nadi : 84x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36,9 oC
BB sekarang : 56 kg
TB : 150 cm
Kepala : Mesosefal, turgor dahi cukup
Mata : Konjungtiva palpebra anemis +/+
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran nnll (-)
Thoraks :
Pulmo :
Inspeksi : Simetris saat statis - dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi: Suara dasar = vesikuler,
Suara tambahan : hantaran -/-, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi: Iktus cordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di spatium interkosta V, 2 cm medial linea
midklavikula sinistra
Perkusi : Konfigurasi jantungdalam batas normal
Auskultasi : Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi: datar, gambaran gerak usus (-), venektasi (-)
22
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
Genitalia Eksterna: Perempuan, dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
Status Ginekologik:
Vaginal Toucssher : Fluxus (+) / Fluor (-)
Vulva-uretra : tak ada kelainan
Vagina : infiltrat +/+ 1/3 distal
Portio : berbenjol-benjol, rapuh, mudah berdarah
Corpus uteri : sebesar telur bebek
Adneksa parametrium : infiltrat +/+, sampai dinding
pelvis.
Cavum douglas : teraba cairan (+)
Rektal Toucher : Tonus sfingter ani cukup, mukosa licin, infiltrat -/-,
Free cancer space -/-
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (05 Februari 2015)
Darah rutin
Hb : 9,33 gr/dl
Lekosit : 6,66 x 103/mm³
Trombosit : 334.000 /mm³
GDS : 108 mg/dl
Kimia klinik
Ureum : 17 mg/dl
Creatinin : 1 mg/dl
SGOT : 16
SGPT : 32
Na+ : 140 mmol/L
23
K+ : 3,6mmol/L
Cl- : 105mmol/L
b. Laboratorium (07 Februari 2015)
Darah rutin
Hb : 11,9 gr/dl
Lekosit : 8,3 x 103/mm³
Trombosit : 401.000 /mm³
c. Laboratorium (16 Februari 2015)
Darah rutin
Hb : 11,3 gr/dl
Lekosit : 10,5 x 103/mm³
Trombosit : 208.000 /mm³
d. Laboratorium (24 Februari 2015)
Darah rutin
Hb : 9,15 gr/dl
Lekosit : 5,50 x 103/mm³
Trombosit : 203.000 /mm³
e. EKG (05 februari 2015) : Normosinus rhytm
f. X foto toraks PA (tanggal 17 Mei 2014) :
24
Cor : CTR< 50 %
Bentuk dan letak jantung dalam batas normal
Pulmo : Corakan vaskuler tidak meningkat
Tampak opasitas pada lapangan bawah paru kiri yang superposisi
dengan costa 8 posterior.
Diafragma dan kedua sinus costophrenicus baik.
Struktur tulang normal, tak tampak lesi litik/sklerotik pada tulang.
Kesan :
- Cor tidak membesar
- Tampak opasitas pada lapangan bawah paru kiri yang superposisi dengan
costa 8 posterior curiga metastasis pada paru.
g. X foto pelvis PA (tanggal 21 Mei 2014) :
25
Kesan :
- Sacroilitis pada sacroilium joint dextra.
- Tak tampak metastasis pada pelvis.
h. USG Abdomen (tanggal 21 April 2014) :
26
Hepar : ukuran tak membesar, parenkim normal, ekogenesitas normal, tak
tampak nodul, vena porta tak melebar, vena hepatica tak melebar.
Duktus biliaris : intra dan ekstrahepatal tak melebar
27
Vesika fellea : ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu, tak
tampak sludge.
Lien : ukuran normal, v. lienalis tak melebar
Pankreas : parenkim homogen, tak tampak massa, maupun kalsifikasi
Ginjal kanan : bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak
melebar
Ginjal kiri : bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak
melebar
Aorta : tak tampak nodul paraaorta
Vesika urinaria : dinding tak tampak menebal, permukaan rata, tak tampak
batu, tak tampak massa
Uterus : ukuran membesar, struktur inhomogen
Tampak cairan di cavum Douglass
Tampak massa kistik bentuk bulat, batas tegas di regio adneksa kanan
Kesan : Massa di cerviks uteri dan cairan di cavum douglass
Masa kistik di regio adneksa kanan
i. Biopsi & Pemeriksaan PA (26 april 2014) :
Makro : Sediaan biopsy berupa campuran jaringan berukuran 2cc, warna
kecokelatan
Mikro : Menunjukan bekuan darah, massa sklerotik dalam kelompok sel
epithelial pleimorfik, chromatin kasar, mitosis abnormal dapat
ditemukan, disertai keratinisasi.
Hasil PA : keratinizing squamous cellcarsinoma cervix uteri, well
differentiated
V. DIAGNOSIS
Karsinoma Sel Skuamus Serviks Uteri stadium IIIB
28
VI.PROGRAM RADIOTERAPI
Lapangan Radiasi
Dosis Terapi
TTD : 5000 cgy
Fraksinasi : 200 cgy
Seminggu : diberikan 25 kali, 5 kali dalam seminggu. Pasien telah
mendapatkan sebanyak 10 x radioterapi selama pengobatan (terakhir tanggal
24 februari 2015)
Evaluasi selama terapi :
Laboratorium (16 Februari 2015)
Darah rutin
Hb : 11,3 gr/dl
Lekosit : 10,5 x 103/mm³
Trombosit : 208.000 /mm³
Laboratorium (24 Februari 2015)
Darah rutin
Hb : 9,15 gr/dl
Lekosit : 5,50 x 103/mm³
29
Trombosit : 203.000 /mm³
BAB IV
PEMBAHASAN
30
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan utama keluar darah dari jalan
lahir. Dari anamnesis didapatkan 1 tahun yang lalu sebelum masuk rumah
sakit, penderita mengeluh keputihan terus menerus. Warna putih kental ,
Keputihan berbau (+), nyeri pinggang (+), sehari ganti pembalut sebanyak 3x,
nyeri perut bawah (+)hilang timbul, nyeri saat berhubungan seksual (+) ,
perdarahaan saat berhubungan seksual (+). 7 hari SMRS, pasien mengeluh
keluar darah dari jalan lahir terus menerus, darah perongkol (+), sehari ganti
pembalut sebanyak 5x, nyeri perut bawah (+) sering, Nafsu makan berkurang, BB
menurun. Pasien telah menjalani kemoterapi sebanyak 7x dan dijadwal untuk
sinar radioterapi ke XI pada tanggal 10 februari 2015 di RSDK.
Keluhan yang sering dijumpai penderita sesuai dengan gejala yang biasa
ditemukan pada pasien karsinoma cervix yaitu terdapat perdarahan abnormal,
contact bleeding, fluor abnormal, dan nyeri perut di bagian bawah. Contact
bleeding terjadi pada 75-80% kasus carsinoma cerviks uteri. Perdarahan yang
timbul akibat terbukanya pembuluh darah, makin lama makin sering terjadi,
bahkan terjadi perdarahan spontan. Perdarahan spontan umumnya terjadi pada
tingkat klinik yang lebih lanjut, terutama pada kanker yang bersifat eksofitik dan
dapat menyebabkan anemia. Perdarahan yang muncul sebagai akibat dari
neovaskularisasi dari tumor yang rapuh. Rasa nyeri pada perut terjadi akibat
infiltrasi sel kanker ke serabut saraf. Pada pasien karsinoma cervix biasanya juga
disertai gangguan kencing (disuria) dikarenakan adanya infiltrasi kanker ke ureter
sehingga menyebabkan obstruksi total dan terjadi gangguan kencing. Pada pasien
ini tidak didapatkan gangguan dalam berkemih sehingga kemungkinan infiltrasi
sel kanker ke ureter dapat disingkirkan.
Dari pemeriksaan fisik dengan vaginal toucher ditemukan Fluxus (+), pada
vagina terdapat infiltrat +/+ 1/3 distal, pada portio teraba masa berbenjol-benjol,
rapuh, mudah berdarah, Corpus uteri sebesar telur bebek.
Terabanya massa pada pasien ini di daerah tersebut menunjukkan lokasi
tumor terletak di portio serviks uteri. Dan ditemukan metastasis ke dinding
pelvis dan adneksa parametrium. Tanda keganasan yang muncul yaitu adanya
31
masa yang rapuh dan perdarahan. Infiltrat yang muncul pada vagina sampai ke
admeksa parametrium menunjukan ada nya respon radang yang menyebar
sampai ke sana atau adanya metastasis ke sana.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu hematologi klinik pada tanggal 5
februari didapatkan Hb: 9,3 gr/dl ini menunjukkan penderita mengalami anemia
ringan disebabkan karena terdapatnya pendarahan. Pada pemeriksaan radiologis
yaitu x-foto thorax AP cor tak tampak membesar dan tampak gambaran opasitas
yang dicuriagai metastase pada pulmo. Metastasis ke pulmo dapat melalui
limfogen atau melalui hematogen. Dari hasil USG abdomen ditemukan adanya
Massa di cerviks uteri dan cairan di cavum douglass dan masa kistik di regio
adneksa kanan. Sedangkan dari biopsi & pemeriksaan PA yang merupakan
diagnosis pasti carsinoma cerviks uteri didapatkan hasil yaitu keratinizing
squamous cellcarsinoma cervix uteri, well differentiated sehingga diagnosis pada
pasien ini adalah Karsinoma Sel Skuamus Serviks Uteri stadium IIIB
Berdasarkan data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis Karsinoma sel
skuamus serviks uteri stadium IIIb. Oleh karena itu, maka penatalaksanaan
penderita ini dimulai dengan pemberian kemoterapi platosin adjuvant sebanyak 7
kali dan dilanjutkan dengan kemoterapi concomitant (bersamaan) dengan
eksternal radiasi dengan dosis 5000cGy selama 5 minggu, masing-masing
1000cGy tiap minggunya dan diberikan 5x per minggu, dengan fraksinasi 200cGy
tiap kali penyinaran. 1-2 minggu setelah seluruh rangkaian radiasi eksternal
selama 25 kali selesai, maka akan dilanjutkan dengan afterloading I dan II dengan
interval 1-2 minggu.
BAB V
KESIMPULAN
Karsinoma cervix uteri merupakan keganasan dimana terjadi proses
displasia sel skuamosa endoserviks (gangguan proses maturitas) di daerah
squamo-columner junction. Di antara lima jenis kanker terbanyak pada wanita,
32
kanker servik uteri menduduki peringkat pertama. Manifestasi klinis yang timbul
pada pasien dengan karsinoma cervix uteri tergantung dari pengaruh tumor pada
daerah yang terkena dan sekitarnya, serta daerah metastasisnya (apabila ada).
Pada awal perkembangannya kanker serviks tidak memberi tanda-tanda dan
keluhan. Gejala yang seringkali muncul seiring dengan pertumbuhan tumor yaitu
timbulnya fluor yang keluar dari vagina ini, makin lama akan berbau busuk,
kemudian dapat timbul contact bleeding, bahkan terjadi perdarahan spontan dan
dapat menyebabkan anemia. Juga dapat menimbulkan rasa nyeri. Infiltrasi kanker
ke ureter menyebabkan obstruksi total, sehingga terjadi gangguan kencing.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang yang mengarah kepada diagnosis karsinoma epidermoid serviks uteri
dan penentuan stadium. Setelah dilakukan penegakkan diagnosis, maka
dilakukan terapi yang sesuai dengan stadiumnya berupa pemberian rangkaian
terapi kemoradiasi.
Pada pasien ini didapatkan diagnosis pasti dari hasil pemeriksaan
histopatolgis. Penegakan diagnosis penting untuk menentukan terapi atau
tindakan selanjutnya. Terapi yang dipilihpada kasus ini adalah kemoterapi dan
dilanjutkan dengan kemoradiasi. Diharapkan dari terapi yang telah dilakukan
dapat menunjukan perbaikan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://digilib.unsri.ac.id/download/Dasar-Dasar%20Radioterapi.pdf
2. WHO. New cancer report offers hope for patients and communities (press
release). Accessed at www.who.int/cancer.
33
3. http://www.cancer.org/docroot/cri/content/
cri_2_4_4x_how_is_cervical_cancer_treated_8.asp?sitearea=cri
4. http://digilib.unsri.ac.id/download/Dasar-Dasar%20Radioterapi.pdf
5. Underwood, JCE. Traktus genitalis wanita. Dalam : Patologi umum dan
sistemik. Edisi bahasa Indonesia. Ed : Sarjadi. EGC. Jakarta. 2000 : 573-
606.
6. http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/cervical/Patient/page1
7. Mardjikoen, Prastowo.Tumor ganas alat genital. Dalam : Hanifa W
(editor). Ilmu kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta. 1999 : 367-403.
8. Subandini, Slide kuliah : Radioterapi Kanker Ginekologi. 2011.
34