lesi rongga mulut akibat radioterapi

29
STEP 1 1. Burning mouth sensation (BMS): Gejala berupa nyeri pada mulut yang biasanya ditemukan pada 2/3 anterior lidah, palatum durum, dan bibir, ejala berupa panas dan terbakar, gejala tidak disertai gejala klinis maupun laboratoris. 2. Kanker nasofaring: Kanker yang terdapat pada belakang antara nasofaring dan hidung yang berasal dari epitel pseudostratified columnar tipe respiratori dan epitel non keratinisasi, etiloginya yaitu virus epstein bar, genetis, faktor lingkungan, contoh: ikan asin (mengandung neutrosamin yang dapat mengaktifkan virus tersebut). 3. Apthous stomatitis: Lesi pada mukosa rongga mulut yang sering terjadi dengan ulser yang biasanya terletak pada jaringan lunak yaitu bibir, palatum durum, dan lidah. Apthus stomatitis ada dua tipe yaitu akut dan kronis. 4. Terapi radiasi: Terapi yang bertujuan untuk membunuh sel sel yang tumbuh dengan cepat seperti sel kangker yaitu dengan memenfaatkan proses ionisasi dengan dosi kurang dari 75 cgy bila lebih dari itu akan 1

Upload: dewi-majidah

Post on 12-Aug-2015

268 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: lesi rongga mulut akibat radioterapi

STEP 1

1. Burning mouth sensation (BMS):

Gejala berupa nyeri pada mulut yang biasanya ditemukan pada 2/3

anterior lidah, palatum durum, dan bibir, ejala berupa panas dan terbakar,

gejala tidak disertai gejala klinis maupun laboratoris.

2. Kanker nasofaring:

Kanker yang terdapat pada belakang antara nasofaring dan hidung

yang berasal dari epitel pseudostratified columnar tipe respiratori dan

epitel non keratinisasi, etiloginya yaitu virus epstein bar, genetis, faktor

lingkungan, contoh: ikan asin (mengandung neutrosamin yang dapat

mengaktifkan virus tersebut).

3. Apthous stomatitis:

Lesi pada mukosa rongga mulut yang sering terjadi dengan ulser

yang biasanya terletak pada jaringan lunak yaitu bibir, palatum durum, dan

lidah. Apthus stomatitis ada dua tipe yaitu akut dan kronis.

4. Terapi radiasi:

Terapi yang bertujuan untuk membunuh sel sel yang tumbuh

dengan cepat seperti sel kangker yaitu dengan memenfaatkan proses

ionisasi dengan dosi kurang dari 75 cgy bila lebih dari itu akan

menyebabkan degenerasi asinar, fibrosis, dan atropi.

STEP 2

1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek

samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ?

2. Apa efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?

3. Apa terapi yang sesuai pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?

STEP 3

1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek

samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ?

1

Page 2: lesi rongga mulut akibat radioterapi

a. Evaluasi jaringan periodonsium dan gigi yang mejadi karies infeksi

serta merawat karies bila ada.

b. Kontrol plak.

c. Hidup sehat, contoh: olah raga dan makan makanan yang begizi.

d. Foto panoramik untuk mengetahui kelainan yang ada.

2. Efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?

a. Mukosa tampak eritomathous dan terdapat perbahan histologi dan

fisiologi.

b. Perubahan pada kelenjar ludah rongga mulut karena xerostomia yang

disebkan karena sel asinar yang terganggu karena radiasi, jadi volume

saliva turun, protein saliva naik, PH rendah dan bakteri meningkat.

Hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva adalah:

1) Dosis <10 gray dapat menyebabkan penurunan volume saliva

2) Dosis 10-15 gray dapat menyebabkan hiposalivasi

3) Dosis 15-40 gray dapat menyebabkan reduksi sliva semakin nyata

dan reversibel

4) Dosis > 40 gray dapat menyebabkan kerusakan sel kelenjar saliva

memperparah kelenjar salivasi

c. Osteoradionekrosis adalah nekrosis pada tulang yang disebabkan oleh

radiasi. Gejalanya adalah rasa sakit yang berdenyut-denyut, tulang

yang nekrosis dengan adanya fistula orokutaneus dan sequester, fraktur

patologis, supurasi, dan halitosis karena adanya jaringan yang

nekrosis.

d. Mukositis yaitu rasa nyeri pada saat menelan mukosa tampak berwarna

putih yang terpinya yaitu denga makan makanan yang bernutrisi,

pemberian obat kumur, obat sedatif dan vitamin C serta kontrol OH,

pakai anastesi lokal serta antiseptik.

e. Gigi dapat terjadi mengalami hiperemia sensitif terhadap termis dan

dapat terjadi gangguan erupsi gigi yang sedang berkembang tumbuh.

Karies radiasi juga dapat terjadi untuk melindungi terjadinya karies

2

Page 3: lesi rongga mulut akibat radioterapi

radiasi tersebut menggunakan pasta gigi yang berflour atau flour

topikal.

f. Kasus TMJ dapat dilatih membuka dan menutup mulut.

Efek samping dari terapi radiasi dapat diminimalkan dengan

penggunaan radioprotektor amyfostine. Dalam penelitian, amyfostine

dapat melindungi mice, rat, guinea pig, anjing dan monyet dari dosis

radiasi yang mematikan. Jaringan normal yang dapat dilindungi oleh

amyfostine yaitu kelenjar saliva, sumsum tulang, ginjal, kulit, mukosa

oral, sistem imun, testis, dan esofagus.

3. Terapi pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?

a. Terapi BMS:

Dapat disesuaikan pada penyebabnya yaitu ada 4:

1) Sistemik

2) Lokal

3) Idiopatik

4) Psikologi

Contoh yang dapat dilakukan yaitu:

1) Meningkatkan asupan nutrisi pada pasien yang defisiensi nutrisi

2) Mengotrol penyakit sistemik

3) Mengganti resep obat yang menyebabkan BMS

4) Xerostomia dapat memakai obat kumur

5) Depresi menggunakan obat anti depresan

b. Terapi apthous stomatitis

1. Menggunakan obat kortikosteroid topikal, analgesik dan anti

mikroba.

2. Menggunakan clorheksidin

3. Terapi dapat difokuskan pada simtom, kausatif atau suportif.

3

Page 4: lesi rongga mulut akibat radioterapi

STEP 4

Mapping:

STEP 5

Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan pasien yang sedang

melakukan terapi radiasi, pra-terapi, selama terapi, dan pasca radiasi yang

berhubungan dengan kedokteran gigi.

STEP 6

Mandiri

STEP 7

Penatalaksanaan Efek Samping Pada Rongga Mulut Dari Radioterapi Secara

Umum:

1. Pra Radioterapi

Sebelum dilakukan terapi radiasi, rongga mulut pasien terlebih

dahulu diperiksa dan dirawat oleh dokter gigi. Hal ini mencegah fokal

infeksi. Perawatan yang dapat dilakukan sebelum radioterapi yaitu

4

Terapi Radiasi

Efek Samping Di Rongga Mulut

GigiBurning Mouth Sensation

TulangMukosa Kelenjar Saliva

Penatalaksanaan

Page 5: lesi rongga mulut akibat radioterapi

restorasi, skalling, pemolesan dan perawatan endodonti pada gigi non vital

serta yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan kecekatan gigi tiruan.

Untuk mencegah karies radiasi, pasien diwajibkan melakukan

topical aplikasi fluor 1% digunakan 2 hari sekali selam 5 menit/

penggunaan pasta gigi dengan kandungan fluor 3% NaF dua kali sehari.

Selain itu juga perlu mengistruksikan pada pasien untuk mengonsumsi diet

yang tidak kariogenik. Penggunaan bulu sikat gigi yang lembut, kumur-

kumur dengan khlorheksidin, pemakaina dental floss dpat pula digunakan

untuk memaksimalkan pembersihan plak (Ginting, 2009).

2. Selama Radioterapi

Selama pelaksanaan radioterapi kanker pada daerah leher dan

kepala, dokter gigi melakukan perawatan–perawatan terhadap efek

samping di rongga mulut:

a. Pada pasien yang mengalami xerostomia saat radioterapi maka dapat

diberikan terapi pilocarpine dan saliva pengganti.

b. Pada pasien yang mengalami kerusakan kuncup kencap saat

radioterapi dapat dengan memberikan supplemen makanan yang

mengandung mineral besi.

c. Pada pasien yang mengalami mukositis saat radioterapi dierikan terapi

analgesic, tablet hisap yang berisikan campuran antimikroba

polimiksin E, Tobramisin, dan amfoterisin B.

d. Pada pasien yang mengalami karies radiasi dapat dilakukan perawatan

restorative gigi.

e. Pada pasien yang mengalami trismus dapat dilakukan latihan secara

simultan membuka dan menutup mulut agar tidak terjadi fibrois otot

dan ligamen yang mengelilingi temporo mandibular joint, sehingga

otot pengunyahan dan ligament kehilangan elastisitasnya.

f. Pada pasien yang mengalami osteoradionekrosis dapat diberikan

pembuangan ttulang yang nekrosis, perbaikan vaskularisasi dan

jaringan yang rusak, terapi antibiotik (Ginting, 2009).

5

Page 6: lesi rongga mulut akibat radioterapi

3. Pasca Radioterapi

Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir, dokter gigi dapat,

melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien setiap tiga bulan

sekali. Kondisi mutu dan kecekatan gigi tiruan pasien harus diperiksa. Jika

dilakuakn pencabutan gigi, maka diberikan terapi hyperbaric oxygen dan

antibiotic sistemik pada pasien. Dan perlu menginstruksikan pasien untuk

tetap memelihara kebersihan rongga mulut pasien (Ginting, 2009).

a. Penatalaksanaan Sindrom Mulut Terbakar (BMS)

Sindrom mulut terbakar (BMS) digunakan untuk menerangkan

adanya keluhan rasa terbakar pada lidah, palatum, atau bibir. Dimasa

lampau istilah glosodinia, stomatopirosis, dan diestesia oral digunakan

untuk menerangkan kondisi ini (Lewis, 1998).

Pemeriksaan mukosa mulut pada BMS tidak menunjukkan adanya

suatu abnormalitas. Kadang-kadang pasien menunjukkan daerah yang

dicurigakan tapi umumnya itu hanya merupakan papilla lingual yang

menonjol atau kelenjar sebasea (Lewis, 1998).

Ada 3 tipe penderita BMS itu sendiri:

Tipe 1 rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun tidur dipagi

hari tetapi akan terasa bila hari telah siang.

Tipe 2 rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah bangun

dan menetap sampai penderita tidur lagi.

Tipe 3 rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-tempat

yang tidak umum, seperti dasar mulut dan tenggorokan

(Lewis, 1998).

Sindrom mulut terbakat (BMS) ini merupakan kondisi

multifaktorial dengan berbagai faktor presipitasi. pengobatan awal

meliputi penyelidikan semua penyebab potensial dan oleh karena itu kita

perlu dilakukan bebagai tes (Lewis, 1998).

6

Page 7: lesi rongga mulut akibat radioterapi

Pemeriksaan hematologi harus bias membedakan sindrom ini

dengan defisiensi nutrisi dan diabetes militus. Kandidosis dapat dideteksi

dengan melakukan pengapusan, usapan, dan kumur-kumur (Lewis, 1998).

Pengobatan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan yang telah

diuraikan. Pengobatan yang pertama harus mencakup member penjelasan

kepada pasien tentang sifat masalah dan bahwa ada gangguan serius

terutama kanker pada mulut. Pasien harus diberikan vitamin B1 300 mg

sekali seharidan vitamin B6 50 mg setiap 8 jam untuk waktu 1 bulan

(Lewis, 1998).

Terapi obat antidepresi trisiklik mempunyai peran pada penderita

BMS yang tidak mempunyai faktor-faktor presipitasi lainnya. Karena

beberapa obat trisiklik mempunyai aktivitas anxiolytic, antidepresan dan

relaksan otot, obat-obat ini bermanfaat bagi mereka yang menderita

ansietas, depresi, fobia akan kanker atau yang mempunyai aktivitas

parafungsional. Pada umumnya prognosis untuk BMS tipe 1 lebih baik

dari pada tipe 2, karena tipe yang disebutkan terakhir, kecemasan kronis

merupakan penghambat kesembuhan. Prognosis BMS tipe 3 umumnya

baik, asalkan faktor diet baik dan tidak dijumpai adanya faktor alergisecara

keseluruhan, pasien penyakit BMS ini 70% dapat disembuhkan (Lewis,

1998).

b. Penatalaksanaan Mukositis Oral

Mukositis:

Mukositis oral didefinisikan sebagai suatu eritem dan ulserasi di

mukosa oral yang terjadi pada pasien dengan kanker yang dirawat dengan

kemoterapi dan/atau radiasi di daerah yang berdekatan dengan rongga

mulut. Lesi mukositis oral seringkali terasa sangat sakit dan mengganggu

asupan nutrisi, kebersihan mulut sehingga meningkatkan resiko terjadinya

infeksi lokal dan sistemik. Oleh karena itu, mukositis oral merupakan

komplikasi perawatan kanker yang sangat berpengaruh padaa terapi

7

Page 8: lesi rongga mulut akibat radioterapi

kanker dan seringkali terkait dengan komplikasi yang berhubungan dengan

dosis terapi (Vera, 2007).

Gambar 1. Lesi mukositis oral pada mukosa (A) bukal dan (B) lateral

lidah yang terjadi pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa di lidah

yang menerima radiasi dan kemoterapi.

Mukositis oral terjadi akibat efek inflamasi dan sitotoksik dari

pemberian radioterapi dan atau kemoterapi. Mukositis oral akibat

radioterapi secara patofisiologis merupakan efek langsung sitotoksik

terhadap epitel dan respon inflamasi lokal. Selain itu, radiasi juga akan

mengenai struktur fasial dan oral termasuk kelenjar saliva mayor. Saliva

membantu mengatur homeostasis oral dengan perannya sebagai pelembab,

pelumas, bufer, dan antimikroba. Perubahan kuantitas dan kualitas saliva

akan berefek pada fisiologi, pertahanan, dan ekologi mikrobial orofaring,

sehingga menurunkan kemampuan proteksi mukosa mulut (Leung, 2003).

Insidensi mukositis oral biasanya ditemukan cukup tinggi pada

pasien dengan tumor primer di rongga mulut, orofaring atau nasofaring,

pasien dengan perawatan kemoterapi konkomitan, pasien yang

menerima radiasi lebih dari 5000 cGy dan pasien yang menerima terapi

radiasi fraksinasi (Lalla, 2008).

Beberapa faktor diketahui mempunyai peran dalam membedakan

timbulnya mukositis oral pada pasien yang menjalani kemoterapi dan/ atau

radiasi untuk kanker di regio kepala dan leher. Faktor-faktor tersebut

adalah usia, jenis kelamin, penyakit sistemik, ras dan faktor spesifik

yang terkait dengan jaringan. Faktor spesifik jaringan meliputi jenis

8

Page 9: lesi rongga mulut akibat radioterapi

jaringan epitel, kebersihan rongga mulut yang terkait dengan mikroba

oral dan fungsi jaringan (Lalla, 2005).

Penatalaksanaan Mukositis Oral:

Sampai saat ini, terapi paliatif merupakan pilihan untuk

menatalaksana pasien dengan mukositis oral. Beberapa upaya

penatalaksanaan dengan intervensi terapi saat ini sedang dikembangkan.

Berdasarkan rekomendasi dari MASCC/ISOO, penatalaksanaan klinis

mukositis oral yang disebutkan dalam “Panduan Mukositis Oral”

mencakup: asupan nutrisi yang adekuat, kontrol rasa sakit, kontrol

mikroorganisme oral, mengatasi keluhan mulut kering, mengatasi

perdarahan oral dan terakhir adalah intervensi dengan upaya terapi (Lalla,

2005).

Menurut Eilers (2004), beberapa intervensi yang dapat dilakukan

untuk mukositis akibat kemoterapi atau radiologi adalah:

1. Oral care protocol

Oral care atau perawatan mulut merupakan salah satu tindakan

yang bertujuan menjaga kesehatan mulut. Oral care protocol dapat

membantu meminimalkan efek mukositis akibat kemoterapi,

karena dapat mengurangi jumlah mikroflora, nyeri dan perdarahan,

serta mencegah infeksi.

2. Agen kumur

Agen kumur sering digunakan dalam pencegahan mukositis.

Secara umum, agen kumur digunakan untuk membilas debris dan

membantu mulut tetap lembut dan lembab. Agen kumur harus

memiliki karakteristik sebagai pembersih non-iritatif dan tidak

membuat mulut kering. Zat yang dapat berperan sebagai pembersih

mulut antara lain normal saline, sodium bikarbonat, campuran

normal saliine dengan sodium bikarbonat, madu, dan beberapa

jenis herbal tertentu.

9

Page 10: lesi rongga mulut akibat radioterapi

3. Pelindung mukosa

Pelindung mukosa diharapkan dapat meningkatkan proses

penyembuhan dan regenerasi sel.

4. Agen antiseptik

Yang termasuk dalam agen anti septik antara lain chlorhexidine,

hidrogen peroksida, dan povidone iodine.

5. Agen anti inflamasi

Agen anti inflamasi berfungsi untuk mengurang inflamasi yang

terjadi akibat mukositis. Beberapa agen anti inflamasi diantaranya

kamilason liquid, chamomile, dan kortikosteroid oral.

6. Agen topikal

Agen topikal adalah agen yang diberikan untuk memberikan

proteksi mukosa secara topikal, diantaranya adalah lidocaine,

capsaicine, dan morfin topikal.

c. Penatalaksanaan Xerostomia

Xerostomia merupakan istilah untuk keadan mulut yang kering,

sama seperti xeroptalmia yang digunakan untuk mata yang kering dan

xerodemia untuk kulit yang kering (Gayford,1990).

Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva

primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi

obat. Penyakit kelenjar saliva primer meliputi sindrom Sjorgen, kerusakan

pasca radiasi, atau anomali pertumbuhan. Penyebab sistemik sekunder dari

xerostomia meliputi kegelisahan kronis, dehidrasi, atau terapi obat (Lewis,

1998).

Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan

kanker telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar

saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena

radioterapi (Amerongan, 1991).

10

Page 11: lesi rongga mulut akibat radioterapi

Dosis Gejala

<10 Gray Reduksi tidak tetap sekresi saliva

10-15 Gray Hiposalia yang jelas dapat ditunjukkan

15-40 Gray Reduksi masih terus berlangsung, reversibel

>40 Gray Kerusakan irreversibel kelenjar

Tabel 1. Hubungan antara dosis dan penyinaran dan sekresi saliva

Menurut Gayford (1990) penatalaksanaan xerostomia untuk kasus

yang ringan dapat dirawat dengan cara banyak minum. Selain itu larutan

kumur mulut seperti gliserin dari timol juga dapat digunakan untuk pasien

tertentu. Larutan kumur yang mengandung metil selulose 1% dapat

membantu pada keadaan yang parah, larutan ini tidak berbahaya bila

tertelan pasien karena dapat membantu mendorong makanan ke esofagus.

Terapi yang diberikan untuk penderita xerostomia diberikan

tergantung keparahan dari xerostomia. Bila xerostomia disebabkan oleh

pemakaian obat-obatan, maka terapi yang dilakukan adalah mengganti

obat dari kategori yang sama. Sedangkan bila terjadi xerostomia berat

dapat digunakan obat perangsang saliva maupun zat pengganti saliva.

Sekresi saliva dapat dirangsang dengan pemberian obat-obatan yang

mempunyai pengaruh merangsang melaui sistem syaraf parasimpatism

seperti pilokarpin, karbamilkolin, dan betanekol. Selain itu, salivix yang

berbentuk tablet isap berisi asam malat, gumarab, kalsium laktat natrium

fosfat, lycasin dan sorbitol juga dapat merangsang produksi saliva. Permen

karet yang mengandung xylitol juga dapat menginduksi sekresi saliva

(Amerongan, 1991).

Bila zat perangsang saliva tidak memadahi untuk mengatasi

keluhan mulut kering, maka digunakan zat pengganti saliva. Pengganti

saliva ini tersedia dalam bentuk cairan (V.A Oralube), spray (Saliva

Orthana), dan tablet hisap (polyox). Zat ini memiliki persyaratan antara

lain bersifat reologis, pengaruh buffer, peningkatan remineralisasi dan

menghambat demineralisasi, mengahmbat pertumbuhan bakteri dan sifat

pembasahan yang baik (Amerongan, 1991).

11

Page 12: lesi rongga mulut akibat radioterapi

Menurut Greenberg (2003), terapi yang dapat dilakukan untuk

perawatan pasien yang mengalami xerostomia dapat dibagi menjadi 4

kategori, antara lain:

1. Terapi preventive

Terapi preventive ini bukan bertujuan untuk mencegah

terjadinya xerostomia, melainkan mencegah terjadinya infeksi lain

akibat xerostomia. Aplikasi flouride secara topikal pada pasien

xerostomia dibutuhkan untuk mengontrol karies gigi. Frekuensi

aplikasi fluor bisa dimodifikasi, tergantung keparahan disfungsi

kelenjar saliva dan perkembangan karies. Selain itu, terapi

antijamur juga dapat diberikan karena pada pasien xerostomia

resiko infeksi rongga mulut termasuk candidiasis lebih tinggi.

(Greenberg, 2003).

2. Terapi simtomatik

Pada terapi simtomatik, air merupakan hal yang penting.

Berkumur dengan air dapat membantu melembabkan rongga

mulut. Akan tetapi pasien harus menghindari obat kumur yang

mengandung alkohol, gula atau penguat rasa yang dapat

mengiritasi mukosa kering yang sensitif (Greenberg, 2003).

3. Stimulasi secara lokal

Stimulasi saliva secara lokal atau topikal juga merupakan

terapi xerostomia. Mengunyah akan menstimulasi aliran saliva

secara efektif, seperti rasa manis dan asam. Pasien xerostomia tidak

dianjurkan untuk mengkonsumsi produk yang mengandung gula

dan pemanis karena dapat meningkatkan resiko karies (Greenberg,

2003).

4. Stimulasi secara sistemik

Pemberian obat secara sistemik juga dapat menstimulasi

saliva. Contohnya antara lain: bromhexidine anetholetrithione

pilocarpine, hydrochloride (HCl) dan cevimeline HCl (Greenberg,

2003).

12

Page 13: lesi rongga mulut akibat radioterapi

d. Penatalaksanaan Karies Radiasi

Perubahan pada saliva akibat radioterapi menyebabkan resiko

karies gigi pada passien yang mengalamai radioterapi meningkat. Hal ini

disebabkan karena penurunan pH saliva, dimana pH saliva yang asam

merupakan tempat yang cocok dalam perkembangan bakteri kariogenik,

seperti Streptococcus Mutans dan Lactobacillus yang dapat menyebabkan

terjadinya demineralisasi gigi secara berlahan (O’Brien, 1982).

Selain itu pada pasien radioterapi pulpa gigi yang terkena radiasi

mengalami hyperemia pulpa sehingga gigi menjadi sangat sensitive

terhadap rangsang panas dan dingin ( O’Brien, 1982).

Pencegahan yang dapat dilakukan ialah menjaga oral hygine

seperti dengan menghilangkan seluruh plak dan melkukan penyikatan gigi

dengan benar. Pemberian gel sodium floride 1% secara topikal dapat

mengurangi resiko terjadinya karies radiasi, penelitian menunjukkan

bahwa penggunaan gel floride 2 kali sehari efektif dalam mencegah karies

radiasi. Selain itu, penggunaan obat kumur berfloride atau kombinasi

dengan khlorhexidine juga efektif jika dilakukan setiap hari (Kielbassa,

2006).

13

Page 14: lesi rongga mulut akibat radioterapi

Tabel 2. Perawatan gigi sebelum selama dan sesudah radioterapi pada

pasien kanker kepala dan leher (Kielbassa, 2006).

e. Penatalaksanaan Osteoradionekrosis dan Trismus

Osteoradionekrosis:

Mekanisme kerusakan sel-sel tulang sampai saat ini masih dalam

perdebatan, apakah kerusakan sel-sel tulang karena efek langsung

14

Page 15: lesi rongga mulut akibat radioterapi

radioterapi kanker daerah kepala dan leher terhadap sel-sel tulang atau

karena efek sekunder radioterapi yang menyebabkan kerusakan pembuluh

darah. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan kerusakan sel-sel

tulang.

Sel osteoblas cenderung lebih radiosensitif deibandingkan dengan

osteoklas sehingga terjadi peningkatan aktifitas lisis sel tulang.

Radioterapi kanker kepala dan leher mengakibatkan penebalan dinding

arteri yang mendorong terjadinya trombosis dan kerusakan pembuluh

darah yang kecil. Jaringan akan mengalami hipovaskuler, hipoksi dan

hiposeluler. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan tulang rentan

mengalami infeksi dan nekrosis (Vissink et al, 2003).

Penatalaksanaan Perawatan Osteoradionekrosis:

Pencegahan timbulnya osteoradionekrosis merupakan tindakan

yang sangat penting. Pengendalian yang tepat dan bimbingan perawatan

bagi periodontium benar-benar sangat diperlukan. Jika pencabutan gigi di

bagian rahang yang disinar tak dapat dihindarkan, tindakan ini harus

dilakukan oleh ahli bedah mulut (Maxymiw et al, 1989).

Selama pelaksanaan radioterapi kanker daerah kepala dan leher,

dokter gigi melakukan perawatan-perawatan terhadap efek samping di

rongga mulut yang diantaranya adalah perawatan yang dilakukan untuk

osteoradionekrosis. Pembuangan tulang yang nekrosis perlu dilakukan

sehingga terjadi perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak disekitar

tulang dengan didukung terapi antibiotik (Vissink et al, 2003).

Trismus:

Trismus menurut Mosby Dental Dictionary (2004) adalah kejang

pada otot mastikasi yang menyebabkan ketidakmampuan untuk membuka

mulut. Trismus dapat terjadi karena invasi dari kanker tersebut ke otot

mastikasi, saraf yang menginervasi (biasanya paling sering adalah blok

mandibular), TMJ dan jaringan pendukung lainnya. Terapi radiasi untuk

15

Page 16: lesi rongga mulut akibat radioterapi

terapi kanker di kepala dan leher sering menyebabkan trismus pada pasien

(Stubblefield, 2011).

Saat otot mastikasi termasuk dalam daerah penyinaran,

dimungkinkan terjadinya fibrosis dari otot yang dapat menyebabkan

terjadinya trismus. Osteoradionekrosis juga dapat menyebabkan terjadinya

gejala-gejala seperti trismus dan nyeri (Dhanrajani, 2002). Kesulitan

membuka rahang bawah meningkat kemungkinannnya menyebabkan

trismus saat pasien menerima radiasi dengan dosis melebihi 10 Gy tiap

fraksi pada daerah otot pterigoid (Stubblefield, 2011).

Menurut Dhanrajani (2002), penatalaksanaan trismus tergantung

dari gejala yang timbul dan dirasakan oleh pasien. Biasanya trismus

menyebabkan rasa tidak nyaman dan disfungsi dari rahang. Tingkatannya

bervariasi dari ringan sampai parah, namun yang sering adalah ringan.

Jika pasien mengeluhkan terjadinya nyeri dan disfungsi dari rahang, maka

terapi yang dilakukan adalah:

1. Terapi dengan panas

Terapi ini dilakukan dengan cara meletakkan handuk basah yang

panas pada daerah yang terkena selama 15-20 menit setiap jam.

2. Pemberian analgesic

Pemberian aspirin digunakan untuk menangani nyeri yang timbul

saat trismus sekaligus memberikan efek antiinflamasi. Selain itu,

dapat digunakan juga analgesic golongan narkotik untuk

meredakan nyeri jika tidak mengalami perbaikan.

3. Pemberian muscle relaxant

Pemberian muscle relaxant yang dianjurkan adalah diazepam 2.5-5

mg tiga kali sehari.

Terapi utama untuk trismus adalah terapi fisik, dimana pasien

dianjurkan untuk berlatih membuka dan menutup mulut secara periodic

untuk mengembalikan fungsi dari TMJ. Pasien dianjurkan untuk latihan

membuka dan menutup mulut dan menggerakkan mandibula kea rah

lateral selama 5 menit setiap 3 - 4 jam sehari (Dhanrajani, 2002).

16

Page 17: lesi rongga mulut akibat radioterapi

Anastesi dapat membantu mengatasi masalah trismus namun

hanya untuk waktu yang singkat. Jika diperlukan suatu tindakan

perawatan gigi saat terjadi trismus dapat dilakukan cara ini untuk

membantu dalam melakukan perawatan. Penggunaan alat untuk merawat

trismusyang dianjurkan adalah stacked tongue depressor, corkscrew

device, dan alat lain yang di gunakan secara komersial misalnya TheraBite

Jaw Motion Rehabilitation System (TB) dan juga Dynasplint Trismus

System (DTS) ( Stubblefield, 2011).

a. Tongue depressor

b. Corkscrew device

c. TheraBite Jaw Motion Rehabilitation System

d. Dynasplint Trismus System

17

Page 18: lesi rongga mulut akibat radioterapi

DAFTAR PUTAKA

Amerongan A.V.N. 1991. Ludah dan Kelenjar Ludah. Arti bagi Kesehatan Gigi.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Dhanrajani. P. J dan o. Jonaidel. 2002. Trismus: Aetiology, Differential Diagnosis

and Treatment. Dent Update 2002; 29: 88–94.

Eilers, J. 2004. Nursing intervention and supportive car for the prevention and

treatmen of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology

Nursing Forum. 31(4). P 13-28.

Gayford, J.J dan Lewis, Michael. 1990. Tinjauan Klinis Ilmu Penyakit Mulut.

Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine). Jakarta: EGC.

Ginting Rehulina, Ivanameilyn. 2009. Efek Samping Radioterapi Kanker Daerah

Kepala dan Leher Pada Rongga Mulut. Dentica Dental Journal. Vol. 14.

Jakarta. Hal 82-86.

Greenberg, M.S et al. 2003. Burket’s Oral Medicine. 10th edition. Hamilton

Ontario: Bc Decker Inc.

Kielbassa Andrej M, dkk. 2006. Radiation-related damage to dentitition.

Germany.

Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2005. Oral Mucositis. Dent Clin Nort Am.

49(1):167-84.

Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2008. Management Of Oral Mucositis In

Patients With Cancer. Dent Clin Nort Am.52(1):61-viii.

Leung WK, Dassanayake, Yauu JYY, Jin LJ, Yam WC, Samaranayake LP. 2003.

Oral Colonization, Phenotypic, And Genotypic Profiles Of Candida

Species In Irradiated, Dentate, Xerostomic Nasopharyngeal Carsinoma

Survivors. J Clin Microbial. 38(6): 2219-26.

Lewis, MAO. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widya Medika.

Maxymiw WG, Wood RE. 1989. The Role Of Dentistry In Head And Neck

Irradiation. Scientific Journal. 55: 193-8.

O’Brien, Richard C. 1982. Dental Radiography : An Introduction for Dental

Hygienist and Assistants. Philadhelpia: W. Saunders Company.

18

Page 19: lesi rongga mulut akibat radioterapi

Stubblefield, Michael D. 2011. Radiation Fibrosis Syndrome: Neuromuscular and

Musculoskeletal Complications in Cancer Survivors. American Academy

of Physical Medicine and Rehabilitation. Vol. 3. P. 1041-1054.

Veraa-Llonch M, Oster G, Ford CM, Lu J, Sonis. 2007. Oral Mucositis And

Outcomes Of Allogeneic Hematopoietic Stem-Cell Transplatation In

Patients With Hematologic Malignancies. Support Care Cancer.15(5):

491-6.

Vissink A, Burlage FR, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes RP.

2003. Prevention And Treatment Of The Consequences Of Head And

Neck Radiotheraphy. Crit Rev Oral Biol Med. 14(3): P. 187-94.

Vissink A, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes RP. 2003. Oral

Sequelae Of Head And Neck Radiotheraphy. Crit Rev Oral Biol Med.

14(3). P. 199-212.

19