rabu, 19 oktober 2011 nservasi - ftp.unpad.ac.id · tidak ingin kembali terusik seperti di masa...

1
25 RABU, 19 OKTOBER 2011 USANTARA nservasi SEKITAR 600 kepala keluarga hidup di Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kaliman- tan Barat. Mereka terbagi dalam tiga kelompok besar, yakni warga Dayak asli, Dayak pen- datang, dan warga Melayu. Ketiga kelompok itu memi- liki karakteristik yang berbeda. Begitupun saat menyikapi masuknya investor ke wilayah mereka. Fenomena itu diungkapkan Tito Indrawan, seorang aktivis lingkungan. Pria yang sudah melakukan pendampingan di Laman Satong selama 10 tahun terakhir tersebut melihat perbe- daan itu menjadi dinamika di masyarakat. “Mereka mampu mengatasi perbedaan,” kata pegiat yang bergabung dalam Yayasan Palung ini. Sebagian besar penduduk dari dua suku Dayak yang ada memeluk agama Katolik. Islam menjadi agama bagi seluruh warga Melayu. Namun, tokoh seperti Paulus Untu, yang menjadi pemuka bagi warga Dayak, ternyata tidak membiarkan warga Me- layu tidak memiliki masjid. Ketua Dewan Adat Dayak Ke- camatan Matan Hilir Utara itu bergerak dan menggerakkan warganya membantu pendi- rian tempat ibadah bagi umat Islam. “Kami dan mereka bersau- dara. Apalagi, mereka juga sudah hidup bertahun-tahun di tanah ini,” ungkap Paulus, yang ditemui di rumahnya, pekan lalu. Menurut Tito, warga Dayak asli, seperti Paulus memang bersifat sangat terbuka. Me- reka menerima, bahkan sangat berharap, investor masuk dan berusaha di wilayah ini. “Sudah puluhan tahun, war- ga Dayak asli hidup sangat sederhana, bahkan cenderung miskin. Karena itu, tangan me- reka terbuka lebar saat inves- tor hendak berusaha, dengan harapan juga membawa kema- juan ekonomi bagi warga,” jelasnya. Dukung konservasi Dayak dengan sifat asli mereka ialah warga yang sa- ngat bergantung pada hutan. Mereka harus berburu un- tuk mendapat daging dan berladang secara berpindah di wilayah hutan. Kebiasaan itulah yang membuat mereka hidup sangat sederhana. Di sisi lain, warga Dayak pendatang memiliki pengalaman buruk dengan investor. Mereka bermukim di Laman Satong karena daerah asli me- reka sudah dirambah, baik oleh perusahaan hak pengusahaan hutan maupun usaha berbasis hutan lainnya. “Karena itu, ketika mereka sudah bermukim di Laman Sa- tong, warga Dayak pendatang tidak ingin kembali terusik seperti di masa lalu,” tandas Tito. Tokoh Dayak pendatang, Yohanes Terang, tidak mem- bantah anggapan itu. “Saya tidak sepakat ketika kita hidup dengan mempertahankan alam dinilai sebagai warga terting- gal, bahkan miskin. Selama ini, dengan mengolah alam, semua rumah di Laman Satong sudah memiliki sepeda motor, bahkan banyak yang lebih dari satu.” Soal kedatangan investor ke wilayahnya, secara pribadi Yo- hanes menolak karena dampak- nya merusak alam. “Tapi, saya tidak bisa memaksa semua orang bersikap seperti saya. Kalau warga menerima, itu hak mereka,” tandasnya. Namun, ketika PT Kayung Agro Lestari, sebuah perke- bunan kelapa sawit, datang dengan konsep melepas lahan mereka untuk kawasan kon- servasi, mantan Kepala Desa Laman Satong ini tersenyum lebar. “Saya orang konser- vasi. Kalau perusahaan hendak melakukan konservasi, saya mendukung.” (AR/SG/N-1) Mereka Terpisah tapi tidak Terpecah SENYUM Tito Indrawan langsung mengembang ketika membuka lembaran dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) yang diajukan PT Laman Mining. Perusahaan tambang itu menulis adanya siamang yang hidup di hutan Kalimantan, di wilayah Kabu- paten Ketapang, Kalimantan Barat. “Mana mungkin ada siamang di Kalimantan. Binatang itu endemik Pulau Sumatra,” kata Tito. Aktivis lingkungan di Yayasan Palung itu ya- kin konsultan yang ditunjuk PT Laman Mining tidak masuk ke hutan dan meneliti dengan benar habitat yang ada di sana. Ia menduga dokumen amdal itu didapat dengan cara copy- paste saja. Lebih dari 10 tahun Tito men- dampingi warga Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, untuk memuliakan lahan dan hutan. Beberapa tahun terakhir, masyarakat terguncang akibat perselisihan dua inves- tor yang masuk ke daerah itu, PT Laman Mining dan PT Kayung Agro Lestari. Berikut petikan wawancara dengan Manajer Perlindungan Satwa dan Habitat Yayasan Palung ini. Apa sikap Anda terkait de- ngan masuknya dua perusa- haan ke Laman Satong? Sebagai pegiat lingkungan, saya tidak pernah setuju de- ngan keinginan perusahaan tambang dan perkebunan sawit masuk ke daerah yang keba- nyakan merupakan kawasan hutan ini. Namun, masyarakat menerima karena mereka ingin maju dan sejahtera. Kami tidak mungkin memaksakan ke- hendak. Namun, kami akan berusaha meminimalkan keru- sakan lingkungan. Bagaimana pandangan Anda soal usaha pertambangan? Ada pengalaman buruk yang dialami warga di Keca- matan Kendawangan, yang masih bertetangga dengan Kecamatan Matan Hilir Utara. Saat perusahaan tambang masuk, mereka mendapat manfaat ekonomi yang besar dan mampu mengangkat ke- sejahteraan warga. Namun, itu hanya bertahan enam tahun. Saat deposit bahan tambang ludes, kondisi warga kembali terpuruk. (Kondisi mereka) Bahkan lebih buruk daripada sebelum tambang masuk karena alam dan tanah mereka sudah rusak. Reklamasi hanya janji. Bukankah tambang bisa menjadi sumber pendapatan asli daerah? Di Ketapang, itu tidak ter- jadi. Dari sektor tambang, pendapatan asli daerah yang terkumpul per tahun rata-rata hanya Rp7 miliar-Rp8 miliar. Itu sangat menyesakkan ka- rena Pemerintah Kabupaten Ketapang sudah menerbitkan izin untuk sekitar 140 perusa- haan tambang. Bagaimana pendapat Anda tentang ide konservasi yang diusung PT Kayung Agro Lestari? Di masyarakat ada pro dan kontra soal kawasan konser- vasi yang diajukan PT Kayung. Dengan nama konservasi, seakan-akan (lahan) menjadi kawasan tertutup yang tidak boleh dijamah warga. Padahal, warga Dayak sangat bergan- tung pada hutan, untuk ber- buru, berladang, dan memetik hasil hutan. Konsep konservasi yang diajukan PT Kayung seharus- nya masih bisa diakses secara luas oleh warga karena sudah puluhan tahun hidup mereka menyatu dengan areal itu. Jika itu yang dilakukan, mungkin warga akan menerima kon- sep konservasi yang diajukan. (AR/SG/N-1) Masyarakat Menerima karena Ingin Maju a Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. BASE CAMP: Tapak seluas ratusan meter persegi yang akan digunakan sebagai base camp salah satu perusahaan tambang ini terpapar di sekitar blok Bukit Pinang, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. FOTO-FOTO: DOK. ANJ

Upload: danglien

Post on 29-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RABU, 19 OKTOBER 2011 nservasi - ftp.unpad.ac.id · tidak ingin kembali terusik seperti di masa lalu,” tandas Tito. Tokoh Dayak pendatang, Yohanes Terang, tidak mem- ... Satwa dan

25RABU, 19 OKTOBER 2011USANTARA

nservasi

SEKITAR 600 kepala keluarga hidup di Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kaliman-tan Barat. Mereka terbagi dalam tiga kelompok besar, yakni warga Dayak asli, Dayak pen-datang, dan warga Melayu.

Ketiga kelompok itu memi-liki karakteristik yang berbeda. Begitupun saat menyikapi masuknya investor ke wilayah mereka.

Fenomena itu diungkapkan Tito Indrawan, seorang aktivis lingkungan. Pria yang sudah melakukan pendampingan di Laman Satong selama 10 tahun terakhir tersebut melihat perbe-daan itu menjadi dinamika di masyarakat. “Mereka mampu mengatasi perbedaan,” kata pegiat yang bergabung dalam Yayasan Palung ini.

Sebagian besar penduduk dari dua suku Dayak yang ada memeluk agama Katolik. Islam menjadi agama bagi seluruh warga Melayu.

Namun, tokoh seperti Paulus Untu, yang menjadi pemuka bagi warga Dayak, ternyata tidak membiarkan warga Me-layu tidak memiliki masjid. Ketua Dewan Adat Dayak Ke-camatan Matan Hilir Utara itu bergerak dan mengge rakkan warganya membantu pendi-rian tempat ibadah bagi umat

Islam.“Kami dan mereka bersau-

dara. Apalagi, mereka juga sudah hidup bertahun-tahun di tanah ini,” ungkap Paulus, yang ditemui di rumahnya, pekan lalu.

Menurut Tito, warga Dayak asli, seperti Paulus memang bersifat sangat terbuka. Me-reka menerima, bahkan sangat berharap, investor masuk dan berusaha di wilayah ini.

“Sudah puluhan tahun, war-ga Dayak asli hidup sangat sederhana, bahkan cenderung miskin. Karena itu, tangan me-reka terbuka lebar saat inves-tor hendak berusaha, dengan harapan juga membawa kema-juan ekonomi bagi warga,” jelasnya.

Dukung konservasiDayak dengan sifat asli

me reka ialah warga yang sa-ngat bergantung pada hutan. Mereka harus berburu un-tuk mendapat daging dan berladang secara berpindah di wilayah hutan. Kebiasaan itulah yang membuat mereka hidup sangat sederhana. Di sisi lain, warga Dayak pendatang memiliki pengalaman buruk dengan investor.

Mereka bermukim di Laman Satong karena daerah asli me-reka sudah dirambah, baik oleh

perusahaan hak pengusahaan hutan maupun usaha berbasis hutan lainnya.

“Karena itu, ketika mereka sudah bermukim di Laman Sa-tong, warga Dayak pendatang tidak ingin kembali terusik seperti di masa lalu,” tandas Tito.

Tokoh Dayak pendatang, Yohanes Terang, tidak mem-bantah anggapan itu. “Saya tidak sepakat ketika kita hidup dengan mempertahankan alam dinilai sebagai warga terting-gal, bahkan miskin. Selama ini, dengan mengolah alam, semua rumah di Laman Satong sudah memiliki sepeda motor, bahkan banyak yang lebih dari satu.”

Soal kedatangan investor ke wilayahnya, secara pribadi Yo-hanes menolak karena dampak-nya merusak alam. “Tapi, saya tidak bisa memaksa semua orang bersikap seperti saya. Kalau warga menerima, itu hak mereka,” tandasnya.

Namun, ketika PT Kayung Agro Lestari, sebuah perke-bunan kelapa sawit, datang de ngan konsep melepas lahan mereka untuk kawasan kon-servasi, mantan Kepala Desa Laman Satong ini tersenyum lebar. “Saya orang konser-vasi. Kalau perusahaan hendak melakukan konservasi, saya mendukung.” (AR/SG/N-1)

Mereka Terpisah tapi tidak Terpecah

SENYUM Tito Indrawan langsung mengembang ketika membuka lembaran dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) yang diajukan PT Laman Mining. Perusahaan tambang itu menulis adanya siamang yang hidup di hutan Kalimantan, di wilayah Kabu-paten Ketapang, Kalimantan Barat.

“Mana mungkin ada si amang di Kalimantan. Binatang itu endemik Pulau Sumatra,” kata Tito.

Aktivis lingkungan di Yayasan Palung itu ya-

kin konsultan yang ditunjuk PT Laman Mining tidak masuk ke hutan dan meneliti dengan benar habitat yang ada di sana. Ia menduga dokumen amdal itu didapat dengan cara copy-paste saja.

Lebih dari 10 tahun Tito men-dampingi warga Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, untuk memuliakan lahan dan hutan.

Beberapa tahun terakhir, masyarakat terguncang akibat

perselisihan dua inves-tor yang masuk ke

daerah itu, PT Laman Mining dan PT Kayung Agro Lestari.

Berikut petikan wawancara dengan Manajer Perlindungan Satwa dan Habitat Yayasan Palung ini.

Apa sikap Anda terkait de-ngan masuknya dua perusa-haan ke Laman Satong?

Sebagai pegiat lingkungan, saya tidak pernah setuju de-ngan keinginan perusahaan tambang dan perkebunan sawit masuk ke daerah yang keba-nyakan merupakan kawasan hutan ini. Namun, masyarakat

menerima karena mereka i ngin maju dan sejahtera. Kami tidak mungkin memaksakan ke-hendak. Namun, kami akan berusaha meminimalkan keru-sakan lingkungan.

Bagaimana pandangan Anda soal usaha pertambangan?

Ada pengalaman buruk yang dialami warga di Keca-matan Kendawangan, yang masih bertetangga dengan Kecamatan Matan Hilir Utara. Saat perusahaan tambang masuk, mereka mendapat manfaat ekonomi yang besar

dan mampu meng angkat ke-sejahteraan warga.

Namun, itu hanya bertahan enam tahun. Saat deposit bahan tambang ludes, kondisi warga kembali terpuruk. (Kondisi mereka) Bahkan lebih buruk daripada sebelum tambang masuk karena alam dan tanah mereka sudah rusak. Reklamasi hanya janji.

Bukankah tambang bisa menjadi sumber pendapatan asli daerah?

Di Ketapang, itu tidak ter-jadi. Dari sektor tambang,

pendapat an asli daerah yang terkumpul per tahun rata-rata hanya Rp7 miliar-Rp8 miliar. Itu sangat menyesakkan ka-rena Pemerintah Kabupaten Ketapang sudah menerbitkan izin untuk sekitar 140 perusa-haan tambang.

Bagaimana pendapat Anda tentang ide konservasi yang diusung PT Kayung Agro Lestari?

Di masyarakat ada pro dan kontra soal kawasan konser-vasi yang diajukan PT Ka yung. Dengan nama konservasi,

seakan-akan (lahan) menjadi kawasan tertutup yang tidak boleh dijamah warga. Padahal, warga Dayak sangat bergan-tung pada hutan, untuk ber-buru, berladang, dan memetik hasil hutan.

Konsep konservasi yang diajukan PT Kayung seharus-nya masih bisa diakses secara luas oleh warga karena sudah puluhan tahun hidup mereka menyatu dengan areal itu. Jika itu yang dilakukan, mungkin warga akan menerima kon-sep konservasi yang diajukan. (AR/SG/N-1)

Masyarakat Menerima karena Ingin Maju

a Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. BASE CAMP: Tapak seluas ratusan meter persegi yang akan digunakan sebagai base camp salah satu perusahaan tambang ini terpapar di sekitar blok Bukit Pinang, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

FOTO-FOTO: DOK. ANJ