pembuatan pupuk cair dari sampah sayuran by ryan tito
DESCRIPTION
Laporan Praktikum Pengolahan Limbah, D3 Teknik Kimia Universitas RiauTRANSCRIPT
Laporan Praktikum Dosen PembimbingPengolahan Limbah Elvie Yenie, ST., M.Eng
PEMBUATAN PUPUK CAIR DARI SAMPAH SAYURAN
Kelompok : II (Dua)
Nama : Rita P. Mendrova (1107035609)
Ryan Tito (1107021186)
Yakub J. Silaen (1107036648)
LABORATORIUM DASAR-DASAR PROSES KIMIA
PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2013
Abstrak
Penanganan masalah sampah masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa tertangani dengan tuntas, terutama di kota-kota besar. Pengelolaan sampah dapat dilakukan secara preventive, yaitu memanfaatkan sampah salah satunya seperti usaha pengomposan. Selama ini pupuk kompos yang dihasilkan dari sampah organik dalam bentuk padat. Namun, jarang yang berbentuk cair, padahal kompos cair ini lebih praktis digunakan, prosesnya relatif lebih mudah, dan biaya pembuatan yang dikeluarkan juga tidak terlalu besar. Tujuan dari percobaan ini yaitu membuat Mikroorganisme Lokal (MOL) dari tapai sebagai bioaktivator, membuat pupuk cair dari sampah sayuran, mempelajari pengaruh dosis bioaktivator pada proses pengomposan, mengukur pH, dan menghitung rendemen. Percobaan dilakukan dengan memvariasikan dosis MOL yang digunakan, yaitu sebesar 20 ml dan 30 ml dengan lama perendaman 7 hari. Berdasarkan hasil percobaan, pemberian variasi dosis MOL pada lama perendaman 7 hari tidak memberikan pengaruh pada pH pupuk kompos cair. Nilai pH yang diperoleh yaitu 4. Pemberian starter berupa Mikroorganisme Lokal (MOL) memberikan dampak yang nyata pada pupuk kompos cair, yaitu peningkatan rendemen. Pada lama perendaman 7 hari, rendemen yang dihasilkan mengalami peningkatan di setiap penambahan dosis MOL dimana diperoleh 63% pada dosis MOL 20 ml dan 77,45% pada dosis MOL 30 ml.
Kata Kunci : sampah; kompos; kompos cair; MOL; bioaktivator; rendemen.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah
diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak
bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya lagi dan dari segi
lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam
(Amurwarahaja, 2006).
Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan
mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat. Peningkatan aktivitas
manusia, lebih lanjut menyebabkan bertambahnya sampah. Faktor yang
mempengaruhi jumlah sampah selain aktivitas penduduk antara lain adalah
jumlah atau kepadatan penduduk, sistem pengelolaan sampah, keadaan geografi,
musim dan waktu, kebiasaan penduduk, teknologi serta tingkat sosial ekonomi
(Depkes RI., 1987). Penanganan masalah sampah masih menjadi permasalahan
serius yang belum bisa tertangani dengan tuntas, terutama di kota-kota besar.
Sampah yang tidak ditangani dengan serius bisa mengakibatkan pencemaran, baik
polusi udara, polusi air, maupun polusi tanah.
Sampah membawa dampak yang buruk pada kondisi kesehatan manusia.
Bila sampah dibuang sembarangan atau ditumpuk tanpa ada pengelolaan yang
baik, maka akan menimbulkan berbagai dampak kesehatan yang serius.
Tumpukan sampah rumah tangga yang dibiarkan begitu saja akan mendatangkan
tikus got dan serangga yang membawa kuman penyakit.
Berdasarkan komposisi kimianya, maka sampah dibagi menjadi sampah
organik dan sampah anorganik. Penelitian mengenai sampah padat di Indonesia
menunjukkan bahwa 80% merupakan sampah organik, dan diperkirakan 78% dari
sampah tersebut dapat digunakan kembali (Outerbridge, ed., 1991). Maka
pengelolaan sampah dapat dilakukan secara preventive, yaitu memanfaatkan
sampah salah satunya seperti usaha pengomposan (Damanhuri, 1988).
Selama ini pupuk kompos yang dihasilkan dari sampah organik dalam
bentuk padat. Namun, jarang yang berbentuk cair, padahal kompos cair ini lebih
praktis digunakan, prosesnya relatif lebih mudah, dan biaya pembuatan yang
dikeluarkan juga tidak terlalu besar (Hadisuwito, 2007). Bahan baku kompos cair
yang sangat bagus dari sampah organik yaitu bahan organik basah atau bahan
organik yang mempunyai kandungan air tinggi seperti sisa buah-buahan dan
sayur-sayuran. Selain mudah terkomposisi, bahan ini juga kaya akan nutrisi yang
dibutuhkan tanaman. Semakin besar kandungan selulosa dari bahan organik (C/N
Rasio) maka penguraian oleh bakteri akan semakin lama (Purwendro dan
Nurhidayat, 2006).
MOL (Mikroorganisme Lokal) merupakan sekumpulan mikroorganisme
yang bisa diternakkan, fungsinya dalam konsep zero waste sebagai starter
(mempercepat pengomposan) dalam pembuatan kompos organik. Dengan MOL
ini, maka konsep pengomposan ini dapat selesai dalam waktu tiga minggu.
Pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan melalui pemanfaatan MOL dalam
pembuatan kompos diharapkan mampu memelihara kesuburan tanah,
meningkatkan populasi mikroba tanah, kelestarian lingkungan, serta dapat
mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah. (Wulandari, 2009).
Pada percobaan ini, pupuk kompos cair dibuat dengan bioaktivator
Mikroorganisme Lokal (MOL), dengan alasan bahwa MOL tersebut lebih mudah
dibuat sendiri, murah, dan fungsinya sama dengan bioaktivator komersial lainnya.
1.2 Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan pembuatan pupuk cair dari sampah sayuran antara lain
sebagai berikut:
1. Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL) dari tapai sebagai bioaktivator
2. Pembuatan pupuk cair dari sampah sayuran
3. Mempelajari pengaruh dosis bioaktivator pada proses pengomposan
4. Mengukur pH
5. Menghitung rendemen
1.3 Landasan Teori
1.3.1 Sampah
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah
diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak
bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya lagi dan dari segi
lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam
(Amurwarahaja, 2006).
Sedangkan menurut Azwar (1990), sampah (refuse) adalah sebagian dari
sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang
umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan
industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya)
dan umumnya bersifat padat.
Sumber sampah yang terbanyak berasal dari pemukiman dan pasar
tradisional. Sampah pasar khususnya, seperti pasar sayur mayur, pasar buah, atau
pasar ikan, jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik
sehingga lebih mudah ditangani. Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya
sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari sampah organik dan
sisanya anorganik (Sudradjat, 2006).
1.3.2 Jenis-jenis Sampah
Menurut Purwendro dan Nurhidayati (2006), sampah tergolong dalam tiga
jenis, yaitu:
Sampah Organik
Sampah Organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan,
maupun tumbuhan. Sampah organik sendiri dibagi menjadi sampah
organik basah dan sampah organik kering. Istilah sampah organik basah
dimaksudkan sampah yang mempunyai kandungan air yang cukup tinggi,
contohnya kulit buah dan sisa sayuran. Sedangkan bahan yang termasuk
sampah organik kering adalah sampah yang mempunyai kandungan air
yang rendah, contohnya kayu, ranting kering, dan dedaunan kering.
Sampah anorganik
Sampah anorganik bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah ini berasal
dari bahan yang dapat diperbaharui (recycle) dan sampah ini sulit terurai
oleh jasad renik. Jenis sampah ini misalnya bahan yang terbuat dari
plastik dan logam.
Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Sampah B3 yang dikategorikan beracun dan berbahaya bagi manusia.
Umumnya sampah ini mengandung merkuri seperti kaleng bekas cat
semprot atau minyak wangi.
1.3.3 Pupuk
Berdasarkan sumber bahan yang digunakan, pupuk dibedakan menjadi
pupuk anorganik dan pupuk organik.
Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang telah
diubah melalui proses produksi sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah
diserap tanaman. Sementara itu, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari
bahan organik atau makhluk hidup yang telah mati. Bahan organik ini akan
mengalami pembusukan oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan
berbeda dari semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena
kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro
(Hadisuwito, 2007).
Berdasarkan cara pembuatannya, pupuk organik terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu: pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Jenis pupuk
yang tergolong dalam kelompok pupuk organik alami benar-benar langsung
diambil dari alam, seperti dari sisa hewan, tumbuhan, tanah, baik dengan atau
tanpa sentuhan teknologi yang berarti. Pupuk yang termasuk dalam kelompok ini
antara lain pupuk kandang, kompos, pupuk hijau, humus, dan pupuk burung.
Pupuk organik buatan dibuat untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman
yang bersifat alami atau non kimia, berkualitas baik, dengan bentuk, ukuran, dan
kemasan yang praktis, mudah didapat, didistribusikan, dan diaplikasikan, serta
dengan kandungan unsur hara yang lengkap dan terukur. Berdasarkan bentuknya,
ada dua jenis pupuk organik buatan, yaitu padat dan cair (Marsono dan Paulus,
2001).
Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dibagi menjadi dua, yakni pupuk
cair dan padat. Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan –
bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang
kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Sedangkan pupuk organik padat
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang
berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan kotoran manusia yang berbentuk
padat (Hadisuwito, 2007).
Menurut Litauditomo (2007), jenis sampah organik yang dapat diolah
menjadi pupuk organik adalah:
1. Sampah sayur baru
2. Sisa sayur basi, tetapi ini harus dicuci terlebih dahulu, diperas, lalu
dibuang airnya.
3. Sisa nasi.
4. Sisa ikan, ayam, kulit telur.
5. Sampah buah (anggur, kulit jeruk, apel, dan lain-lain). Tapi tidak termasuk
kulit buah yang keras seperti kulit salak.
Jenis sampah organik yang tidak bisa diolah adalah:
1. Protein seperti daging, ikan, udang, juga lemak, santan, susu karena
mengundang lalat sehingga tumbuh belatung.
2. Biji-biji utuh atau keras seperti biji salak, asam, lengkeng, alpukat, dan
sejenisnya. Buah utuh yang tidak dimakan karena busuk dan berair seperti
pepaya, melon, jeruk, anggur.
3. Sisa sayur yang berkuah harus dibuang airnya, kalau bersantan harus
dibilas air dan ditiriskan.
1.3.4 Pupuk Cair Organik
Menurut Simamora, dkk (2005), pupuk cair organik adalah pupuk yang
bahan dasarnya berasal dari hewan dan tumbuhan yang sudah mengalami
fermentasi dan bentuk produknya berupa cairan. Kandungan bahan kimia di
dalamnya maksimum 5%. Penggunaan pupuk cair memiliki beberapa keuntungan
sebagai berikut:
1. Pengaplikasiannya lebih mudah jika dibandingkan dengan pengaplikasian
pupuk organik padat.
2. Unsur hara yang terdapat di dalam pupuk cair mudah diserap tanaman.
3. Mengandung mikroorganisme yang jarang terdapat dalam pupuk organik
padat.
4. Pencampuran pupuk organik cair dengan pupuk organik padat
mengaktifkan unsur hara yang ada dalam pupuk organik padat tersebut.
Dibandingkan dengan pupuk anorganik, pupuk organik cair umumnya
tidak merusak tanah dan tanaman walaupun digunakan sesering mungkin. Selain
itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat sehingga larutan pupuk yang
diberikan ke permukaan tanah bisa langsung digunakan oleh tanaman
(Hadisuwito, 2007).
1.3.5 Kompos
Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan - bahan
hijauan dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat
proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa
ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea. Sampah kota bisa juga digunakan
sebagai kompos dengan catatan bahwa sebelum diproses menjadi kompos sampah
kota harus terlebih dahulu dipilah-pilah, kompos yang rubbish harus dipisahkan
terlebih dahulu. Jadi yang nantinya dimanfaatkan sebagi kompos hanyalah
sampah-sampah jenis garbage saja (Wied, 2004).
Pada prinsipnya semua bahan yang berasal dari makhluk hidup atau bahan
organik dapat dikomposkan. Seresah, daun-daunan, pangkasan rumput, ranting,
dan sisa kayu dapat dikomposkan. Kotoran ternak, binatang, bahkan kotoran
manusia bisa dikomposkan. Kompos dari kotoran ternak lebih dikenal dengan
istilah pupuk kandang. Sisa makanan dan bangkai binatang bisa juga menjadi
kompos. Ada bahan yang mudah dikomposkan, ada bahan yang agak mudah, dan
ada yang sulit dikomposkan. Sebagian besar bahan organik mudah dikomposkan.
Bahan yang agak mudah dikomposkan antara lain: kayu keras, batang, dan
bambu. Bahan yang sulit dikomposkan antara lain adalah kayu-kayu yang sangat
keras, tulang, rambut, tanduk, dan bulu binatang (Sriyanto, 2009).
Berbeda dengan proses pengolahan sampah yang lainnya, maka pada
proses pembuatan kompos baik bahan baku, tempat pembuatan maupun cara
pembuatan dapat dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Kompos dapat
digunakan untuk tanaman hias, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan maupun
tanaman padi disawah. Bahkan hanya dengan ditaburkan diatas permukaan tanah,
maka sifat-sifat tanah tersebut dapat dipertahankan atau dapat ditingkatkan.
Apalagi untuk kondisi tanah yang baru dibuka, biasanya tanah yang baru dibuka
maka kesuburan tanah akan menurun. Oleh karena itu, untuk mengembalikan atau
mempercepat kesuburannya, maka tanah tersebut harus ditambahkan kompos
(Sulistyoroni, 2005).
1.3.6 Prinsip Pengomposan
Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh
tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak
sama dengan C/N tanah. Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik
mempunyai kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan
tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman. Namun, umumnya bahan organik
yang segar mempunyai C/N yang tinggi, seperti jerami padi 50-70, daun-daunan >
50 (tergantung jenisnya), kayu yang telah tua dapat mencapai 400.
Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik
sehingga sama dengan tanah (<20). Dengan semakin tingginya C/N bahan maka
proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Di dalam
perendaman bahan-bahan organik pada pembuatan kompos cair terjadi aneka
perubahan hayati yang dilakukan jasad renik. Perubahan hayati yang penting yaitu
sebagai berikut:
1. Penguraian hidrat arang, selulosa, dan hemiselulosa.
2. Penguraian zat lemak dan lilin menjadi CO2 dan air.
3. Terjadi peningkatan beberapa jenis unsur di dalam tubuh jasad renik
terutama nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Unsur-unsur tersebut
akan terlepas kembali bila jasad-jasad renik tersebut mati.
4. Pembebasan unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi
senyawa anorganik yang berguna bagi tanaman.
Akibat perubahan tersebut, berat, isi bahan kompos tersebut menjadi
sangat berkurang. Sebagian senyawa arang hilang, menguap ke udara. Kadar
senyawa N yang larut (amoniak) akan meningkat. Peningkatan ini tergantung
pada perbandingan C/N bahan asal. Perbandingan C/N akan semakin kecil berarti
bahan tersebut mendekati C/N tanah. Idealnya C/N bahan sedikit lebih rendah
dibanding C/N tanah (Murbondo, 2004).
Kecepatan suatu bahan menjadi kompos dipengaruhi oleh kandungan C/N
semakin mendekati C/N tanah maka bahan tersebut akan semakin lebih cepat
menjadi kompos. Tanah pertanian yang baik mengandung unsur C dan N yang
seimbang. Setiap bahan organik mempunyai kandungan C/N yang berbeda.
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat,
selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin, menjadi CO2 dan air. 2) zat putih telur
menjadi amonia, CO2 dan air. 3) penguraian senyawa organik menjadi senyawa
yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan
hilang atau turun. Dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan
demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Indriani,
2004).
Tabel 1.1. Kandungan C/N dari berbagai sumber bahan organik
No Jenis Bahan Organik Kandungan C/N
1. Urine Ternak 0,8
2. Kotoran Ayam 5,6
3. Kotoran Sapi 15,8
4. Kotoran Babi 11,4
5. Kotoran Manusia 6 – 10
6. Darah 3
7. Tepung Tulang 8
8. Urine Manusia 0,8
9. Eceng Gondok 17,6
10
.Jerami Gandum 80 – 130
11
.Jerami Padi 80 – 130
12
.Ampas Tebu 110 – 120
13
.Jerami Jagung 50 – 60
14
.Sesbania sp. 17,9
15
.Serbuk Gergaji 500
16
.Sisa Sayuran 11 – 27
(Simamora dan Sulundik, 2006)
1.3.7 Pengomposan Anaerobik
Proses pengomposan anaerobik berjalan tanpa adanya oksigen. Biasanya,
proses ini dilakukan dalam wadah tertutup sehingga tidak ada udara yang masuk
(hampa udara). Proses pengomposan ini melibatkan mikroorganisme anaerob
untuk membantu mendekomposisikan bahan yang dikomposkan. Bahan baku
yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan organik yang yang
berkadar air tinggi.
Pengomposan anaerobik akan menghasilkan gas metan (CH4),
karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah
seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat.
Gas metan dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar alternatif (biogas). Sisanya
berupa lumpur yang mengandung padatan dan cairan. Bagian padat ini yang
disebut kompos padat dan yang cair disebut kompos cair (Simamora dan
Sulundik, 2006).
1.3.8 Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Pupuk Organik
Pembuatan pupuk organik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Perbandingan Karbon-Nitrogen (C/N) bahan baku pupuk organik
Nitrogen adalah zat yang dibutuhkan bakteri penghancur untuk tumbuh
dan berkembangbiak. Timbunan bahan kompos yang kandungan nitrogennya
terlalu sedikit (rendah) tidak menghasilkan panas sehingga pembusukan bahan-
bahan menjadi amat terlambat. Oleh karenanya, semua bahan dengan kadar C/N
yang tinggi, misalnya kayu, biji-bijian yang keras, dan tanaman menjalar, harus
dicampur dengan bahan yang berair. Pangkasan daun dari kebun dan sampah-
sampah lunak dari dapur amat tepat digunakan sebagai bahan pencampur
(Murbandono, 2000).
Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N)
dalam satu bahan. Semua makhluk hidup terbuat dari sejumlah besar bahan
karbon (C) serta nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Unsur karbon dan bahan
organik (dalam bentuk karbohidrat) dan nitrogen (dalam bentuk protein, asam
nitrat, amoniak, dan lain-lain) merupakan makanan pokok bagi bakteri
anaerobik.Unsur Karbon (C) digunakan untuk energi dan unsur nitrogen (N)
digunakan untuk struktur sel dan bakteri. Bakteri memakan habis unsur C 30 kali
lebih cepat daripada memakan unsur N. Pembuatan kompos yang optimal
membutuhkan rasio C/N 25/1 sampai 30/1 (Yuwono, 2006).
Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber
energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk
pertumbuhan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan
yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan berat kering), sedang C/N diakhir proses
adalah 12-15. Harga C/N tanah < 20 sehingga bahan-bahan yang mempunyai
harga C/N mendekati C/N tanah dapat langsung digunakan (Damanhuri dan
Padmi, 2007).
2. Ukuran Bahan
Semakin kecil ukuran bahan, proses pengomposan akan lebih cepat dan
lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas pada bahan yang
lembut daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran bahan yang
dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm. Sedangkan pada
pengomposan anaerobik, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumat-
lumatnya sehingga menyerupai bubur atau lumpur. Hal ini untuk mempercepat
proses penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran bahan (Yuwono,
2006).
3. Komposisi Bahan
Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.
Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan
kotoran hewan.
4. Jumlah mikroorganisme
Dengan semakin banyaknya jumlah mikroorganisme, maka proses
pengomposan diharapkan akan semakin cepat.
5. Kadar air Bahan
Kadar air bahan yang dianjurkan dalam pengomposan aerobik adalah 40-
50%. Kondisi ini harus dijaga agar mikroorganisme aerobik dalam kompos dapat
bekerja dengan baik dan tidak mati. Terlalu banyak kadar air akan berakibat
bahan semakin padat, melumerkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroba
dan memblokir oksigen yang masuk. Namun, apabila air terlalu sedikit maka
bahan kering dan tidak mendukung mikroba.
Pengomposan secara anaerobik membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu
50% ke atas. Kadar air yang banyak pada proses anaerobik diperlukan bakteri
untuk membentuk senyawa-senyawa gas dan beraneka macam asam organik
sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air juga akan
memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau (Yuwono,
2006).
6. Suhu
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan karena
berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Suhu optimum yang
bagi pengomposan adalah 40-60oC. Bila suhu terlalu tinggi mikroorganisme akan
mati. Bila suhu relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam
keadaan dorman.
7. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu,
dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk
menaikkan pH.
Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami
penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam proses
pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses
selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik
yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan
mendekati normal (Djuarnani, dkk, 2005).
Kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan pemberian
kapur. Namun dengan pemantauan suhu bahan kompos secara tepat waktu dan
benar suudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral tanpa
pemberian kapur (Yuwono, 2006).
1.3.9 Mikroorganisme Lokal (MOL)
Mikroorganisme lokal (MOL) adalah aktivator atau starter kompos yang
diperlukan untuk mempercepat pengomposan namun dibuat sendiri dan berasal
dari sampah organik rumah tangga. Keunggulanan penggunaan MOL tentu saja
karena murah meriah tanpa biaya. MOL merupakan kumpulan mikroorganisme
yang bisa “diternakkan”, fungsinya dalam konsep zero waste adalah untuk starter
pembuatan kompos organik. Dengan MOL ini maka konsep pengomposan bisa
selesai dalam waktu 3 mingguan (Wulandari dkk, 2009). Selain untuk starter
kompos, MOL bisa juga dipakai untuk pupuk cair dengan cara diencerkan terlebih
dahulu, 1 bagian MOL dicampur 15 bagian air (Vidi Januardani, 2009).
Menurut Wulandari, dkk (2009), ada tiga bahan utama yang menyusun
MOL, yaitu:
1. Karbohidrat: Bisa dari air cucian beras (tajin), nasi bekas (basi), singkong,
kentang, gandum. Bahan yang paling sering digunakan adalah air tajin.
2. Glukosa: bisa dari gula merah bata diencerkan dengan air (diulek sampai
halus), bisa dari cairan gula pasir, bisa dari gula batu dicairkan, bisa dari
air gula, air kelapa.
3. Sumber Bakteri: Bisa dari keong, kulit buah-buahan misalnya tomat,
pepaya, dan lain - lain, lalu bisa juga dari air kencing, atau apapun yang
mengandung sumber bakterinya.
Pada prinsipnya MOL tidak berbeda dengan prinsip pembuatan kompos,
hanya saja prinsip pembuatan MOL membutuhkan lebih banyak air dan sedikit
udara. Untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme, ditambahkan gula atau
bahan-bahan organik yang manis, seperti air kelapa, air tebu, air nira, dan buah-
buahan yang manis. Bahan-bahan membuat MOL juga tidak berbeda dengan
bahan-bahan kompos, hanya saja volume bahan organiknya lebih sedikit dan lebih
banyak air, ditambah dengan gula atau bahan organik yang manis.
1.3.10 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan berat kering terhadap berat basah dan
dinyatakan dalam persen. Menurut Taib, dkk (1989), rendemen dapat ditentukan
dengan cara bahan ditimbang sebelum diolah yang dinyatakan sebagai berat
basah. Kemudian setelah selesai diolah bahan ditimbang kembali dan dinyatakan
sebagai berat kering. Kemudian rendemen dapat dihitung dengan rumus:
Rendemen=Berat akhirBerat awal
x100 % (Taib dkk, 1989).
BAB II
METODELOGI PERCOBAAN
2.1. Bahan dan Alat
2.1.1. Bahan-bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sampah sayuran, air
sumur, tapai, gula pasir, gula merah, air bekas cucian beras (cucian pertama).
2.1.2. Alat-alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ember ukuran 25 liter
sebanyak 2 buah, karung beras ukuran 20 kg, botol air mineral 1,5 liter, panci,
kompor, gelas ukur 10 ml, kertas indikator pH dan timbangan.
2.2. Prosedur Percobaan
2.2.1 Prosedur Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL):
Mikroorganisme Lokal (MOL) dari tapai dibuat dengan mencampurkan
tapai yang terbuat dari singkong sebanyak 100 gram dengan 1,125 liter air sumur
serta 150 gram gula pasir. Campuran tersebut dimasukkan dalam botol, kemudian
diaduk hingga merata dan disimpan selama 5 hari tanpa ditutup. Setelah 5 hari,
jika dicium telah berbau wangi alkohol, maka MOL telah bisa dipakai.
2.2.2 Prosedur Pembuatan Cairan Molase
Cairan molase dibuat dengan cara memasukkan air sebanyak 500 ml ke
dalam panci dan diletakkan di atas kompor. Lalu air dipanaskan. Setelah
mendidih, gula merah dimasukkan ke dalam panci sebanyak 500 gram, diaduk
hingga terlarut merata, kemudian didinginkan.
2.2.3 Proses Pengomposan
Sampah sayuran dirajang dengan ukuran 1-3 cm. Sampah yang telah
dirajang kemudian dimasukkan ke dalam karung 20 kg sebanyak 2,5 kg dan
ditekan sampai padat. Karung diikat dengan tali. Larutan media dibuat dengan
cara mencampurkan air sumur 1 liter, cairan molase 500 ml, air bekas cucian
beras (air tajin) 1 liter, dan larutan MOL dengan dosis 20 ml dan 30 ml, lalu
dimasukkan ke dalam ember. Karung yang berisi sampah sayuran dimasukkan ke
dalam larutan media sampai terendam. Beban diletakkan di atas karung agar
karung tidak mengapung. Ember ditutup rapat dengan plastik dengan cara
mengikat erat dengan tali pada bagian atas ember. Lalu disimpan di tempat yang
teduh dan terhindar dari sinar matahari langsung selama 7 hari. Setelah fermentasi
selesai, tutup ember dibuka dan karung dikeluarkan dari ember. Kompos cair siap
untuk dianalisis.
2.2.4 Diagram Alir Pembuatan Pupuk Kompos Cair
Proses pembuatan pupuk kompos cair dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Diagram Alir Pembuatan Pupuk Kompos Cair dari Sampah Sayuran
dengan Menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL) sebagai Bioaktivator
Persiapan Bahan dan Alat
Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL) + Pembuatan Molase
Sampah dirajang dengan ukuran 1-3 cm
Sampah dimasukkan ke dalam karung dan diikat
Karung yang berisi sampah sayuran dimasukkan ke dalam ember lalu ditutup rapat-rapat
Fermentasi selama 7 hari
Pengambilan sampel
Analisis pH akhir dan rendemen
Larutan media dengan mencampurkan MOL (dosis 20 ml dan 30 ml), air sumur, cairan molase, dan air cucian
beras
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Hasil percobaan pembuatan pupuk cair dari sampah sayuran disajikan
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Data Hasil Percobaan
No Sampel Pupuk CairLama Fermentasi 7 Hari
pH akhir Rendemen
1 Dosis MOL 20 ml 4 63 %
2 Dosis MOL 30 ml 4 77,45 %
3.2. Pembahasan
3.2.1. pH
20 300
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4 4
Dosis MOL (ml)
pH
Gambar 3.1 Hubungan Dosis MOL dengan pH
Menurut Djuarnani, dkk (2005), derajat keasaman pada awal proses
pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang
terlibat dalam proses pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam
organik. Pada proses selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan
mengkonversikan asam organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki
derajat keasaman yang tinggi dan mendekati normal.
Perbedaan penurunan nilai pH disebabkan perbedaan jumlah asam organik
yang dihasilkan (Fitria, 2008). Jika aktivitas mikroorganisme rendah, maka
penguraian bahan organik juga berlangsung lambat sehingga menghasilkan asam
organik yang jumlahnya rendah.
Berdasarkan Gambar 3.1, hasil yang diperoleh dari percobaan
mununjukkan bahwa pemberian variasi dosis MOL pada lama perendaman 7 hari
tidak memberikan pengaruh pada pH pupuk kompos cair. Nilai pH yang diperoleh
yaitu 4. Hal ini disebabkan karena proses fermentasi yang menggunakan
bioaktivator Mikroorganisme Lokal (MOL) yang terbuat dari tapai tersebut
mengandung mikroba Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae
memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhannya, yaitu nutrisi
sebagai sumber energi terutama gula, pH optimum 4-5, temperatur optimum 28 ºC
- 30ºC (Kusnadi dkk, 2009). Dengan demikian, derajat keasaman (pH) optimum
proses fermentasi anaerob pada pembuatan pupuk kompos cair akan sama dengan
pH pertumbuhan mikroorganisme yang ada di dalamnya. Dari percobaan yang
dilakukan, nilai pH yang diperoleh belum memenuhi SNI 19-7030-2004, dimana
pH minimum 6,80 dan maksimum 7,49. Menurut Yuwono (2006) Kondisi asam
pada proses pengomposan bisa diatasi dengan pemberian kapur.
3.2.2. Rendemen
20 300
25
50
75
100
63
77.45
Dosis MOL (ml)
Ren
dem
en (
%)
Gambar 3.2. Hubungan Dosis MOL dengan rendemen
Berdasarkan Gambar 3.2 dapat dilihat bahwa peningkatan dosis MOL juga
akan meningkatkan rendemen yang dihasilkan. Untuk lama perendaman 7 hari,
rendemen yang dihasilkan mengalami peningkatan di setiap penambahan dosis
MOL dimana diperoleh 63% pada dosis MOL 20 ml dan 77,45% pada dosis MOL
30 ml.
Pengomposan diartikan sebagai proses biologi oleh kegiatan
mikroorganisme dalam mengurai bahan organik. Bahan yang dibentuk
mempunyai volume yang lebih rendah daripada bahan dasarnya (Sutanto, 2002).
Peningkatan dosis MOL akan meningkatkan jumlah mikroba yang digunakan.
Mikroba ini akan menyerap air dan oksigen dari udara, kemudian
menggunakannya untuk mengubah karbohidrat, lemak, dan lilin menjadi air dan
CO2 sehingga kadar air kompos menjadi tinggi. Karena kadar air kompos tinggi,
maka rendemen kompos akan semakin tinggi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Pemberian variasi dosis MOL pada lama perendaman 7 hari tidak
memberikan pengaruh pada pH pupuk kompos cair. Nilai pH yang
diperoleh yaitu 4.
2. Pemberian starter berupa Mikroorganisme Lokal (MOL) memberikan
dampak yang nyata pada pupuk kompos cair, yaitu peningkatan rendemen.
Pada lama perendaman 7 hari, rendemen yang dihasilkan mengalami
peningkatan di setiap penambahan dosis MOL dimana diperoleh 63% pada
dosis MOL 20 ml dan 77,45% pada dosis MOL 30 ml.
4.2. Saran
Untuk percobaan selanjutnya, perlu dicoba komposter yang memiliki
sistem aerasi sehingga kelembaban dan temperatur terpelihara dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amurwarahaja, I. P., (2006), “Analisis Teknologi Pengolahan Sampah Dengan
Proses Hirarki Analitik dan Metode Valuasi Kontingensi Studi Kasus di
Jakarta Timur, Makalah Falsafah Sains”, Institut Pertanian Bogor, Ilmu
Pengolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana,
Bogor.
Damanhuri, E., (1988), “Optimasi Lahan Sanitary Landfill, Suatu Konsep”, Jurnal
Tehnik Penyehatan Edisi Mei.
Depkes, RI., (1987), “Pedoman Bidang Studi Pembuangan Sampah”, Akademi
Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi (APKTS), Proyek Pengembangan
Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan, Jakarta.
Djuarnani, N., Kristian, B.S., Setiawan, (2005), “Cara Tepat Membuat Kompos”,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Fitria, Yulya., (2008), “Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Limbah Cair Industri
Perikanan Menggunakan Asam Asetat dan EM4 (Effective
Microorganisme 4)”, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusnadi, dkk., (2009), “Pemanfaatan Sampah Organik Sebagai Bahan Baku
Produksi Bioetanol Sebagai Energi Alternatif”, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Murbondo, L., (2004), “Pupuk Organik Padat, Pembuatan Aplikasi”, Penebar
Swadaya, Jakarta.
Simamora, S., dan Sulundik, (2006), “Meningkatkan Kualitas Kompos”,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Taib, G., G. Said, S. Wiraatmaja., (1989), “Operasi Pengeringan dan Pengolahan
Hasil Pertanian”, Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Tim Penyusun. 2013. Penuntun Praktikum Pengolahan Limbah. Pekanbaru :
Program Studi D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.
Wied, Hary Apriaji., (2004). “Memproses Sampah”, Penebar Swadaya, Jakarta.
Yuwono, D., (2006), “Kompos dengan Cara Aerob Maupun Anaerob untuk
Menghasilkan Kompos yang Berkualitas”, Penebar Swadaya, Jakarta.
LAMPIRAN A
ANALISIS DATA
1. Analisis pH Akhir
Pengukuran pH menggunakan kertas indikator pH universal, yaitu dengan
mencelupkan kertas indikator ke dalam pupuk cair dan membaca serta
membandingkan pH pupuk cair pada range pH yang tersedia di kemasan
belakang kertas indikator pH universal.
2. Analisis Rendemen
Semua bahan dimasukkan ke dalam ember, kemudian ditimbang sebagai
berat awal. Setelah fermentasi selesai, maka kompos cair yang di dalam ember
ditimbang kembali sebagai berat akhir. Kemudian rendemen dapat dihitung
dengan rumus:
Rendemen=Berat akhirBerat awal
x100 %
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
Data Perhitungan Rendemen :
Berat ember kosong + karung = 1.125 gr
Berat ember + karung + bahan awal
Dosis MOL 20 ml = 3700 gr
Dosis MOL 30 ml = 3675 gr
Maka berat bahan :
Dosis MOL 20 ml = 2.575 gr
Dosis MOL 30 ml = 2.550 gr
Berat ember + karung + kompos cair
Dosis MOL 20 ml = 2.750 gr
Dosis MOL 30 ml = 3.100 gr
Maka berat kompos cair :
Dosis MOL 20 ml = 1.625 gr
Dosis MOL 30 ml = 1.975 gr
1. Kompos Cair dengan MOL 20 ml
Rendemen ( %)= Berat KomposCairBerat Bahan
x100 %
¿ 1.625 gr2.575 gr
x 100 %
¿63%
2. Kompos Cair dengan MOL 30 ml
Rendemen ( %)= Bera t KomposCairBerat Bahan
x100 %
¿ 1.975 gr2.550 gr
x 100 %
¿77,45 %
LAMPIRAN C
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum : Pembuatan Pupuk Cairan dari Sampah Sayuran
Hari/Tanggal Praktikum : Kamis/21 November 2013
Pembimbing : Elvie Yenie, ST., M.Eng
Asisten Laboratorium : Sukamin
Kelompok : II
Anggota : Rita Puryani Mendrova (1107035609)
Ryan Tito (1107021186)
Yakub Jeffery Silaen (1107036648)
Hasil Percobaan :
Hasil percobaan disajikan pada Tabel C.1
Tabel C.1 Data Hasil Percobaan
No Sampel Kompos CairLama Fermentasi 7 Hari
pH akhir Rendemen
1 Dosis MOL 20 ml 4 63%
2 Dosis MOL 30 ml 4 77,45%
Berat ember kosong + karung = 1.125 gr
Berat ember + karung + bahan awal
Dosis MOL 20 ml = 3700 gr
Dosis MOL 30 ml = 3675 gr
Maka berat bahan :
Dosis MOL 20 ml = 2.575 gr
Dosis MOL 30 ml = 2.550 gr
Berat ember + karung + kompos cair
Dosis MOL 20 ml = 2.750 gr
Dosis MOL 30 ml = 3.100 gr
Maka berat kompos cair :
Dosis MOL 20 ml = 1.625 gr
Dosis MOL 30 ml = 1.975 gr
1. Kompos Cair dengan MOL 20 ml
Rendemen ( %)= Berat KomposCairBerat Bahan
x100 %
¿ 1.625 gr2.575 gr
x 100 %
¿63%
2. Kompos Cair dengan MOL 30 ml
Rendemen ( %)= Berat KomposCairBerat Bahan
x100 %
¿ 1.975 gr2.550 gr
x 100 %
¿77,45 %
Pekanbaru, 21 November 2013
Asisten Laboratorium,
Sukamin
LAMPIRAN D
DOKUMENTASI
Gambar D.1 Pupuk caair hasil percobaan
Gambar D.2 Penentuan pH akhir pupuk cair