qscdewazx

21
UNIVERSITAS INDONESIA PAPER KELOMPOK SOSIOLOGI RELASI ETNISITAS HUBUNGAN ETNIS DAN PEMBANGUNAN BANGSA DI ASIA TENGGARA KASUS ETNIS CINA DISUSUN OLEH: ADI NURACHMAN 1206252972 CARMEN PRIYANKA 1006692606 DWI SAPUTRA HARIYADI 1206272766 NUR FADILAH 1206254675 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM SARJANA REGULER 1

Upload: zhao-xiong

Post on 21-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

FUYYYYYYYY

TRANSCRIPT

Page 1: QSCDEWAZX

UNIVERSITAS INDONESIA

PAPER KELOMPOK SOSIOLOGI RELASI ETNISITAS

HUBUNGAN ETNIS DAN PEMBANGUNAN BANGSA DI ASIA TENGGARA

KASUS ETNIS CINA

DISUSUN OLEH:

ADI NURACHMAN 1206252972

CARMEN PRIYANKA 1006692606

DWI SAPUTRA HARIYADI 1206272766

NUR FADILAH 1206254675

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

PROGRAM SARJANA REGULER

DEPOK

MEI 2014

1

Page 2: QSCDEWAZX

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Terdapat berbagai cerita dan isu yang berkembang mengenai etnis Cina yang berada di Indonesia

dimulai sejak jaman penjajahan Belanda hingga saat ini. Banyak relasi yang terjadi sejak kedatangan etnis

Cina ke Indonesia untuk melakukan perdagangan hingga munculnya penjajahan oleh Belanda yang

membuat posisi etnis Cina secara stratifikasi sosial berada di atas etnis pribumi. Salah satu poin yang telah

disepakati oleh pendiri Indonesia ketika mereka memutuskan untuk membangun sebuah negara yang

diberi nama Indonesia, adalah fakta bahwa negara terdiri dari berbagai kelompok etnis, masing-masing

memiliki beragam kebiasaan, tradisi dan budaya. Politik SARA yang dipraktikkan pada era orde baru

menyebabkan masyarakat Indonesia tersegregasi ke dalam kotak-kotak yang dilabeli oleh salah satu unsur

dari empat elemen (suku, agama, ras, antargolongan) untuk menjaga keamanan dan keteraturan nasional

dan untuk menghindari konflik. Namun, dalam segeregasi ini, etnis Cina dianggap sebagai “others” bukan

sebagai “we” oleh masyarakat pribumi.

Setelah masa orde baru berakhir, terdapat beberapa perubahan termasuk perubahan pada

hubungan etnis di Indonesia. Tetapi perubahan ini dapat menghasilkan dua kecendrungan, pertama

kecendrungan untuk menghasilkan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan (khususnya dalam

etnis), dan disisi lain adanya kecendrungan untuk menghasilkan sikap ketidaktoleranan terhadap

perbedaan-perbedaan yang ada. Perlakuan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia mengikuti pola-pola

yang digambarkan oleh Horowitz antara pribumi dan non-pribumi. Cina, menjadi non-pribumi, diskriminasi

oleh pribumi dalam jangka kewarganegaraan dan proses untuk memperoleh kewarganegaraan. Etnis Cina

dilihat pribumi terlalu dekat dan terkait dengan pihak yang berkuasa (yang memiliki otoritas), orang-orang

kaya atau konglomerat dan kelompok yang menikmati kemakmuran yang lebih dibanding kelompok

lainnya. Hal ini menjadi alasan mengapa etnis Cina dianggap sebagai others oleh pribumi. Dalam kasus

ekstrim, ketidakcocokan antara nasionalisme dan demokrasi akan menimbulkan kasus etnosentris dan

nasionalisme yang sempit. Dalam paper kelompok ini akan lebih dijelaskan mengenai relasi etnisitas

antara orang Indonesia dan Cina dilihat saat pasca kemerdekaan hingga runtuhnya rezim Soeharto.

2

Page 3: QSCDEWAZX

BAB II

URAIAN MENGENAI FAKTOR-FAKTOR TERKAIT

1.2. Unity in Diversity: Etnis Cina dan Pembangunan Bangsa

Dimulai dari saat Indonesia merdeka, terdapat diskriminasi yang terlihat jelas kepada etnis Cina

yang tinggal di Indonesia. Pada periode sebelumnya dari awal republik, periodisasi sejarah etnis Tionghoa

dapat dibagi lagi menjadi rezim Soekarno, rezim Soeharto, diikuti oleh periode berjalan reformasi. Terdapat

empat konsep utama yang dapat dilihat dalam pembahasan ini, yaitu unity (kesatuan), diversity

(keragaman), nation-building (pembangunan bangsa), dan ethnic Chinese (etnis Cina atau Tionghoa).

Pada masa pembangunan di masa orde baru, konsep kesatuan yang dinyatakan dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus ditinjau dalam menghadapi gejolak konflik bersenjata separatis,

dan konflik antar etnis dan antar agama yang telah mengoyak struktur masyarakat, sejak sepuluh tahun

terakhir pemerintahan Soeharto dan semakin cepat setelah kejatuhannya sebagai presiden. Masih

kurangnya otonomi daerah dan implementasi untuk mengelola masing-masingg daerah membuat nada-

nada skeptis dari rakyat muncul.

Keragaman adalah sebuah konsep yang dimasukkan dalam moto Indonesia yaitu Bhinneka

Tunggal Ika atau persatuan dalam keberagaman. Keragaman ini dinyatakan dalam sifat majemuk

masyarakat Indonesia yang mempunyai sekitar 300 kelompok etnis yang dianggap "pribumi". Ada juga

empat kelompok etnis keturunan asing, yang terdiri dari orang-orang Cina, Belanda, Arab, dan asal India.

Lima agama dunia (Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu) yang diwakili. Selain itu, ada sekitar empat

ratus sistem kepercayaan adat, biasanya disebut sebagai Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

(Ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa). Ada tiga variasi dari sistem kekerabatan (matrilineal, patrilineal,

parental); Dua jenis sistem perkawinan: monogami dan poligami bagi mereka yang beragama (dalam hal

ini, Islam) menyediakan untuk ini. (Tan, 2004: 21)

Pada saat yang sama masyarakat Indonesia memiliki karakteristik "dualistik". Mayoritas dari

penduduk adalah orang yang berbasis pedesaan (rural-based), sementara minoritas berada di wilayah

perkotaan. Hal tersebut telah mengakibatkan situasi dikotomi yang ditandai dengan ketidaksetaraan atau

hubungan asimetris yang mempunyai potensi untuk meledak dan hubungan yang dianggap penuh dengan

ketidakadilan.

Dari hal tersebut muncul pemikiran Soekarno mengenai konsep bangsa dan pembangunan bangsa

yang secara komprehensif dijelaskan sebagai “Lahirnya Pantja Sila” pada tanggal 1 Juni 1945. Ketika

memberi penjelasan pada Pancasila, ia mengatakan lima prinsip dapat dikompresi menjadi satu istilah

yang benar-benar Indonesia yaitu gotong royong atau saling kerjasama. Selain itu, dilihat pula partisipasi

dan keterwakilan etnis Cina dalam proses pembangunan bangsa Indonesia. Selain Pancasila yang

digagaskan oleh Soekarno, terdapat pula semangat pergerakan kebangsaan dari para kaum intelektual

muda Indonesia pada tanggal 28 October 1982, yaitu Sumpah Pemuda.

Semangat reformasi yang dihasilkan oleh perubahan pemerintahan, dan harapan yang tinggi yang

menyertainya, membuat etnis Cina terkejut dengan kepatuhan mereka pada hukum dan peraturan yang

secara terbuka mulai terlihat diskriminatif dan dikenakan pada mereka oleh pemerintah Soeharto.

3

Page 4: QSCDEWAZX

Salah satu aspek penting dari aspek partisipasi dan representasi dari etnis Cina adalah selama

awal pembentukan Republik, sebagai anggota Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau

BPUPK. Salah satu orang keturunan Tionghoa yang ikut dalam BPUPK adalah Liem Koen Hian. Dia

adalah seorang jurnalis, yang menjadi erat terkait dengan nasionalis Indonesia seperti Dr Tjipto

Mangunkusumo. Bersama dengan sejumlah peranakan Cina lainnya ia mendirikan Partai Tionghoa

Indonesia (PTI) pada bulan September tahun 1932, yang merupakan nasionalisme pro-Indonesia. Leo

Suryadinata telah mengamati: "Liem Koen Hian adalah seorang peranakan yang tinggal di Indonesia dalam

waktu transisi. Dia sedang mencari identitasnya dan hampir menemukannya, tapi pada akhirnya ia gagal

"(Suryadinata 1995, hlm. 110).

Kisah Liem Koen Hian dan daftar anggota BPUPK indikasi bahwa dalam masa kolonial dan pada

periode pra-kemerdekaan ada etnis Tionghoa yang berpartisipasi aktif dalam perjuangan nasionalisme dan

kemerdekaan. Semangat inklusif yang ditunjukkan pada awal Republik berlanjut selama periode dua puluh

Presiden Soekarno, yang memiliki tujuh menteri etnis Tionghoa di berbagai cabinet nya.

Terlihat jelas bahwa terdapat etnis Cina yang aktif dalam politik selama pemerintahan Soekarno.

Tidak diragukan lagi, yang paling aktif, paling terlihat, dalam politik Indonesia mainstream, dan yang

berlangsung sepanjang rezim Soekarno adalah Siauw Giok Tjhan. Ia umumnya dikenal sebagai "Bung

Siauw" atau "Cak Siauw". Dia didukung sejak awal karir politiknya yang diungkapkan dalam gagasan

bahwa etnis Tionghoa sebagai kelompok harus dianggap sebagai salah satu dari banyak kelompok etnis di

masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, etnis Tionghoa sebagai suku Tionghoa harus dapat terus

memelihara dan mengekspresikan warisan budaya, dan tradisi Cina mereka. Dengan demikian mereka

akan menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia dan istilah yang digunakan untuk proses ini adalah

integrasi. Dia secara jelas mengutarakan pandangannya tentang sosialisme dan percaya bahwa hanya

sosialis yang akan membuat "masalah Cina" di Indonesia dapat diselesaikan.

Sebuah upaya yang lebih terorganisir untuk melawan ide-ide dan kegiatan Siauw Giok Tjhan dan

Baperki datang sekitar lima tahun setelah pemilu September 1955. Ini berasal dari sekelompok sepuluh

intelektual China peranakan, yang termasuk di dalamnya Injo Beng dan Auwjang Peng Koen. Kelompok ini

mendukung asimilasi sukarela, dan menolak semua tindakan koersif untuk mencapai tujuan ini. Pernyataan

ini juga menolak konsep "integrasi" Siauw Giok Tjhan.

Pada bulan Januari 1961, sebuah seminar tentang tema Kesadaran Nasional diselenggarakan di

Bandungan (Ambarawa). Pada akhir seminar yang diadakan tanggal 15 Januari tersebut, sebuah

pernyataan disebut sebagai piagam asimilasi terbentuk dengan tiga puluh penandatangan. Kelompok ini

yakin bahwa satu-satunya cara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur adalah melalui proses

asimilasi. Dalam kaitannya dengan etnis Cina atau Warganegara Indonesia Keturunan Tionghoa . . .

"Asimilasi berarti bagi orang-orang asal Cina untuk bergabung dan diterima dalam bangsa Indonesia,

dengan cara demikian pada akhirnya kelompok yang awalnya berbeda, menjadi tidak ada lagi" (hal. 143).

Akhir dari era Soekarno juga berarti akhir dari kegiatan politik yang terorganisir dari etnis Tionghoa.

Selain fakta bahwa pemerintahan Soeharto melarang organisasi etnis Cina, kecuali untuk olahraga dan

asosiasi pemakaman, etnis Tionghoa sendiri menghindari untuk terlibat dalam segala kegiatan yang terkait

4

Page 5: QSCDEWAZX

dengan politik. Hal tersebut dilakukan karena hukum dan peraturan yang diskriminatif dan represif terhadap

etnis Cina, dan yang secara jelas merupakan penyalahgunaan hak-hak sipil dan budaya mereka.

1.3. Kelanjutan Etnis Cina di Indonesia

Terdapat berbagai pertanyaan apakah banyak etnis Cina di Indonesia, hal ini dikarenakan jumlah

sensus di jaman Kemerdekaan tahun 1961, dimana penekanan jumlah kelompok etnis ditekan karena

alasan politik.Melihat dari hal ini peneliti mempelajari kelompok etnis tersebut menggunakan Volkstelling

(sensus) dari 1930 yang dilakukan oleh pemerintah colonial yang mempunyai informasi dari berbagai

jumlah kelompok etnis termasuk etnis Cina sendiri.Di dalam sensus pada tahun 2000 terdapat pertanyaan

mengenai etnisitas,didalam Leo Suryadinata seorang tokoh ekonomi dan demografi di Universitas

Indonesia memberikan informasi ditaraf tingkat provinsi mengenai sensus itu sendiri ternyata jumlah etnis

Cina sedikit daripada yang dinyatakan sebelumnya.Hal ini dikarenakan identifikasi social dimana kelompok

etnis Cina tersebut tidak mengindikasikan diri mereka sebagai etnis Cina maupun keturunan Cina.Namun

hal ini menjadi informasi yang sangat berguna untuk informasi umum serta untuk pemilihan presiden di

tahun 2004.

Akan tetapi terdapat hal yang di perhatikan oleh kelompok etnis Cina dimana kejadian tragedi May

1998 membuat kelompok tersebut tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik.Setelah paska

Soeharto,kelompok etnis Cina mulai ikut berespon serta berpartisipasi dalam berbagai bentuk seperti saat

di era Soekarno. Walau etnis Cina tidak berpatisipasi dalam aktivitas organisasi namun mereka tetap focus

pada bisnis mereka.Hal lain yang berbeda adalah munculnya kelompok aktivis di etnis Cina ini karena

dimasa lalu mereka dimanfaatkan sebagai kambing hitam dan sekarang kelompok aktivis tersebut mulai

masuk ke dalam partai politik untuk tujuannya melindungi kelompok etnis mereka serta mempertahankan

kepentingan mereka.

Ide tersebut disadari pertama oleh kelompok etnis Cina yang muda yakni Lieus

Sungkharisma,anggota dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang merepresentasikan pemuda

Buddha,ia juga yang membuat Partai Reformasi Tionghoa(PARTI),dimana partai tersebut tidak berhasil

dalam memasuki kategori partai besar didalam pemilihan 1999 karena tidak yakin bahwa partainya masuk

ke dalam kategori legitimasi serta sedikitnya vote kepada partai mereka.Berikutnya terdapat Partai Bhineka

Tunggal Ika yang dimulai oleh etnis Cina yang dipimpin oleh Nurdin Purnomo.Partai ini tidak memiliki

kepemimpinan etnis Cina namun sukses didalam penerimaan kontestan dalam pemilu 1999.

Selanjutnya terdapat survey untuk potensi didalam perilaku pemilihan oleh kelompok Etnis Cina

yang dilakukan oleh majalah Tempo,enam bulan sebelum pemilihan di bulan Juni.Mereka memilih lima

kota yang dinyatakan sebagai tingkat konsentrasi yang tinggi dari etnisitas Cina yaitu kota Jakarta,

Bandung, Semarang, Medan dan Pontianak dimana survey tersebut dipilih 753 responden(50% laki-laki

dan selebihnya perempuan) dan hasilnya adalah kelompok partai yang paling banyak dipilih yaitu PDIP

dengan megawati (70%),PAN yaitu Amien Rais (36%),PARTI dari Lieus S (24%),PKB dengan

Abdurrahman Wahid atau Gusdur , NU diposisi keempat (15%) dan Golkar diposisi kelima (13%).Dijaman

pemerintahan Megawati ini dipertanyakan kesungguhannya untuk menghapus hukum diskriminasi dan

perilaku terhadap etnis Cina.Namun dipemerintahannya Megawati tidak menghapuskan hukum maupun

5

Page 6: QSCDEWAZX

regulasi tersebut,beliau hanya mengintervensi dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia(SBKRI)

namun hal ini juga untuk Hendrawan(pemain badminton yang ingin mengikuti Turnamen Thomas

Cup).Beliau juga tidak mempertahankan hal tersebut,yang sebelumnya telah dilakukan dijaman Soeharto

(1996) dan Habibie (1999).Sekarang masih terdapat banyak kasus dimana etnis Cina harus membuat

SBKRI dan dokumen lainnya untuk digunakan maupun diperbaharui dibawah Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia.

Para aktivis ini tidak ingin membentuk partai politik yang lebih memilih menjadi kelompok penekan

dengan panggilan “Forum”.Terdapat berbagai contoh kelompok tersebut yaitu Forum Masyarakat untuk

Solidaritas dan Demokrasi(FORMASI) yang mempunyai dua kelompok,yang satu adalah kelompok yang

ingin membentuk partai politik mengatasnamakan identitas Cina didalam partainya yang ingin melindungi

hak serta kepentingan etnis Cina dan kelompok lainnya adalah kelompok penekan yang memiliki tujuan

untuk memperoleh keuntungan untuk seluruh kelompok termasuk etnis Cina.Namun forum tersebut tidak

berhasil dan menghilang.

Berikutnya terdapat Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) cabang dari Bakom PKB yang

dibentuk pada 26 Agustus 1998 dimana terdapat kelompok asimilasi yang diketuai oleh K.Sindhunata lalu

digantikan pada tahun 1995 oleh Yuwono Sudarsono.Anggota lainnya adalah etnis

India,Jawa,Minangkabau dan sisanya dua etnis Cina seorang pengacara dan pengusaha besar.Mantan

anggota dewan dari forum tersebut kebanyakan etnis Cina yaitu dua sarjana ilmu politik dari CSIS,dua

pengusaha besar etnis Cina dan dua pengusaha besar etnis Indonesia.Forum ini menyatakan bahwa

mereka bukan lagi dibawah pengawasan Kementrian Dalam Negeri begitu pula dengan Bakom

PKB.Perhatian forum ini tertuju pada promosi pembangunan bangsa menggunakan mekanisme advokasi

kepada para pemimpin negara dan kegiatan pada tingkat wacana melalui dialok umum dan seminar yang

melibatkan berbagai macam orang.

Terdapat tiga organisasi yang berfungsi sebagai kelompok penekan yaitu

a. Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa atau INTI (Indonesia Tionghoa),ketua umumnya yaitu

Drs Eddy Lembong.INTI ini menandatangani persetujuan untuk bekerjasama dengan Universitas

Islam Nasional Syarif Hidayatulah atau yang dikenal dengan Institut Agama Islam

Nasional(IAIN).Dimana pemimpin dari INTI ini kebanyakan beretnis Cina.

b. Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) yang dibentuk oleh Ester Jusuf Indahyani seorang pengacara

beretnis Cina.Dimana beliau dan kelompoknya berjuang untuk menghapuskan berbagai bentuk

diskriminasi.Pada peringatan kedua dari organisasi ini,mereka menerbitkan buku “Dua Tahun

Solidaritas Nusa Bangsa” yang isinya berupa urutan dari hukum dan regulasi yang mendiskriminasi

etnis Cina dan mempengaruhi dari sudut kewarganegaraan,aspek social budaya dan agama dari

jaman colonial sampai 1988.Fokus dari aktivitas mereka adalah menghapuskan diskriminasi dan

ketidakadilan

c. Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi dimana pemimpinnya beretnis Cina dan Indonesia,ketuanya

adalah Anton Supit yaitu pengusaha beretnis Cina

6

Page 7: QSCDEWAZX

Selanjutnya terdapat kelompok lain yang dinamakan “Paguyuban” yaitu kelompok organisasi yang

dibentuk oleh berbagai orang yang membutuhkan dukungan dari kelompok,seperti asosiasi yang

mempunyai pemikiran yang sama,yang berbagi perasaan ketidakpastian dan kegelisahan mereka selama

priode panjang mengalami situasi susah dan mereka yang siap membantu satu sama lain ketika

dibutuhkan.Contohnya Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia(PSMTI) yang telah teregistrasi

sebagai organisasi didalam Kementrian Dalam Negerian pada September 1993.Ketuanya adalah Brigjen

TNI Tedy Jusuf yang hanya diketahui umumnya adalah jendral berbintang satu yang beretniskan Cina.

Terakhir adalah individu yang memutuskan sendiri bagaimana Etnis Cina berpartisipasi dalam politik dan

dapat masuk ke dalam tiga partai politik besar seperti Golkar,PDI,PPP atau bergabung dengan partai baru.

1.4. Hubungan Pribumi dan Non-Pribumi di Era Reformasi melalui Perspektif Pribumi

1.4.1. Faktor penyebab Etnis Cina menjadi target korban kerusuhan Mei 1998

Politik SARA yang dipraktikkan pada era orde baru menyebabkan masyarakat Indonesia

tersegregasi ke dalam kotak-kotak yang dilabeli oleh salah satu unsur dari empat elemen (suku, agama,

ras, antargolongan) untuk menjaga keamanan dan keteraturan nasional dan untuk menghindari konflik.

Namun, dalam segeregasi ini, etnis Cina dianggap sebagai “others” bukan sebagai “we” oleh masyarakat

pribumi. Politik SARA bisa dibilang sukses pada dua puluh tahun pemerintahan presiden Soeharto, namun

sepuluh tahun terakhir pemerintahan Soeharto, politik SARA malah menjadi ancaman atau pemincu konflik

SARA karena adanya kesenjangan sosial yang membuat masyarakat pribumi termarginalisasi.

Etnis Cina dilihat pribumi terlalu dekat dan terkait dengan pihak yang berkuasa (yang memiliki

otoritas), orang-orang kaya atau konglomerat dan kelompok yang menikmati kemakmuran yang lebih

dibanding kelompok lainnya. Hal ini menjadi alasan mengapa etnis Cina dianggap sebagai others oleh

pribumi. Imam Syafii, seorang reporter Jawa Pos dalam mengomentari mengapa etnis Cina selalu menjadi

target kemarahan massa, ia menulis artikel di mana di artikelnya ia meenyampaikan bahwa “dosa” etnis

Cina yang memicu tindakan brutal dan kejam masyarakat pribumi kepada mereka.

Pertama, ia mengindikasi terdapat hubungan sekunder yang tidak harmonis antara etnis Cina

dengan lingkungannya yang lebih luas terutama oleh masyarakat pribumi. Fenomena ini muncul karena

kesuksesan etnis Cina dalam mendominasi sektor ekonomi karena sosialisasi lingkungan dan budayanya

yang membuat etnis Cina lebih tertarik dan ahli dalam sektor ekonomi atau perdagangan. Kedua, Syafii

juga melihat ada perasaan buruk pada etnis Cina karena kecendrungan mereka untuk hidup secara

eksklusif baik dari lokasi tempat tinggalnya maupun dari sosialisasi atau lingkaran pergaulannya. Lebih

jauh lagi, kedekatan etnis Cina pada konglomerat dan pihak yang berkuasa meningkatkat kecurigaan

masyarakat pribumi terhadap etnis Cina.

Anita Lie sebagai warga etnis Cina juga menulis artikel sebagai self-criticism bagi komunitasnya

sendiri. Ia tidak membantah apa yang telah ditulis dalam artikelnya, justru ia menambahkan lagi “dosa”

warga etnis Cina. Ia mengatakan, dosa terbesar etnis Cina adalah penerimaan mereka terhadap apa yang

mereka anggap sebagai “takdir”. Maksud takdir di sini adalah, selama masa orde baru, sektor yang terbuka

bagi etnis Cina adalah sektor ekonomi dan mereka menerima hal tersebut sebagai takdir yang tidak dapat

diubah, bahwa hak dan tugasnya di negara ini terbatas pada sektor ekonomi saja.

7

Page 8: QSCDEWAZX

Selain itu, Anita Lie juga menanggapi pernyataan Syafii mengenai tempat tinggal eksklusif warga

etnis Cina, ia mengatakan bahwa reporter tidak jeli dalam mengamati karena tempat tinggal etnis Cina

yang eksklusif bukan berdasarkan kecendrungan kesamaan etnis, namun kesaaan kelas karena pada

kenyataannya hanya sedikit warga etnis Cina yang hidup di kawasan tempat tinggal eksklusif tersebut.

Kesalahan lain dari warga etnis Cina adalah keengganan mereka dalam menolak tuduhan yang

menyatakan mereka identik atau sama dengan Eddy Tansil dan Hartono, dan bahwa mereka juga

sebenarnya marah dan menentang perbuatan konglomerat Cina yang terlibat dalam korupsi dan kolusi

dengan beberapa anggota birokrasi pemerintahan.

1.4.2. Persepsi Pribumi mengenai tragedi Mei 1998

Serangkaian kejadian yang terjadi pada 13 dan 14 Mei menjadi awal mula jatuhnya Soeharto dan

pemerintahan orde barunya merupakan tragedi nasional yang mana etnis Cina terutama kaum wanitanya

menjadi korban utama dalam peristiwa ini. Peristiwa ini menjadi guncangan besar bagi bangsa yang

menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai slogan nasional. Peristiwa ini kemudian dianalisis oleh Tim

Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah setelah insiden terjadi. TGPF pun melihat

terdapat pola yang sama dalam kericuhan-kericuhan yang terjadi. Kemudian analisis kejadian ini pun

dibagi menjadi dua bagian yanitu analisis pada level makro dan level mikro.

Pada level makro, kejadian ini tidak dapat dipisahkan dari konteks dinamika sosial dan politik

Indonesia saat itu. Pada level ini ditandai dengan serangkaian peristiwa seperti pemilu tahun 1997, krisis

ekonomi, pertemuan MPR/DPR 1998, demonstrasi mahasiswa, dan penculikan aktivis-aktivis mahasiswa.

Dari serangkaian kejadian yang menimpa bangsa Indonesia saat itu, krisis ekonomi yang melanda

Indonesia menjadi peristiwa yang mendorong kerusuhan dan kekerasan massa yang berlebihan karena

krisis ekonomi semakin memperluas jarak antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin dan

memperkuat persepsi ketidakadilan di masyarakat.

Hal ini pun menghasilkan terlepasnya hubungan sosial yang semakin meluas dan mengakibatkan

munculnya konflik horizontal dan konflik vertikal. Selain serangkaian perisstiwaa ynag mempengaruhi

kerusuhan Mei 1998 pada level makro di atas, kelompok Muslim radikal yang termarginalisasi selama

pemerintahan orde baru juga turut andil dalam memanipulasi emosi pengikutnya untuk membuat mereka

merasa bahwa mereka juga didiskriminasi dan perlu mengambil langkah untuk melindungi diri mereka.

Menurut laporan TGPF pun menunjukkan bahwa kemarahan yang ditujukan pada warga etnis Cina karena

prasangka rasial terhadap etnis Cina di masyarakat. Laporan TGPF yang menyatakan terdapat pola yang

sama baik dari perencanaan sampai eksekusi kerusuhan yang terjadi di beberapa kota khususnya di

Jakarta hati-hati menyimpulkan bahwa ada konspirasi nasional yang telah direncanakan dengan baik.

TGPF menambahkan bahwa kurangnya koordinasi antara kekuatan keamanan, antisipasi yang

kurang, pelaksanaan perintah yang sembarangan, pihak keamanan yang mengijinkan kekerasan tersebut

terjadi, dan angka pihak keamanan yang terbatas dibandingkan dengan luasnya area tempat kekerasan

atau kerusuhan tersebut terjadi. Kerusuhan ini juga terkait dengan kekerasan seksual yang dialami oleh

kaum wanita non-pribumi (etnis Cina). Namun Ignas Kleden berpendapat bahwa kerusuhan Mei 1998

bukan hasil dari kebencian etnis, memang perbedaan ras, etnis,dan budaya dapat menyebabkan

8

Page 9: QSCDEWAZX

gangguan dalam komunikasi, tetapi mereka tidak secara alami mendorong kemarahan etnis. Hubungan

antar etnis hanya akan mengubah ke permusuhan dan kekerasan apabila perbedaan-perbedaan tersebut

berdampingan dengan dominasi salah satu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lainnya yang mana

tidak disebabkan oleh beberapa konsekuensi alami tetapi lebih karena kebijakan pemerintah.

1.4.3. Perubahan sikap masyarakat Pribumi terhadap etnis dan kebudayaan Cina

Setelah masa orde baru berakhir, terdapat beberapa perubahan termasuk perubahan pada

hubungan etnis di Indonesia. Tetapi perubahan ini memiliki bisa menghasilkan dua kecendrungan, pertama

kecendrungan untuk menghasilkan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan (khususnya dalam

etnis), dan disisi lain adanya kecendrungan untuk menghasilkan sikap ketidaktoleranan terhadap

perbedaan-perbedaan yang ada. Selepas pemerintahan orde baru runtuh, presiden B.J. Habibie pun

menurunkan instruksi presiden untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi di seluruh

kebijakan pemerintah dan implementasinya.

Selanjutnya presiden Abdurrahman Wahid juga mencabut Instruksi Iresiden No.14 tahun 1967

mengenai pelarangan praktik ritual, kepercayaan, tradisi dan adat untuk etnis Cina. Saat ini sebagian besar

masyarakat Indonesia pun lebih menunjukkan sikap toleransi yang lebih tinggi kepada warga etnis Cina

dan kebudayaannya dan Indonesia mulai memasuki paham multikulturalisme. Namun pada kenyataannya

paham multikulturalisme yang dianggap telah dianut atau dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia masih

bersifat dangkal dan memperdayakan. Karena pada dasarnya Indonesia masih pada masa transisi dan

jalan menuju demokrasi, multikulturalisme, dan pluralisme yang harus dilalui masih panjang.

Hal ini dibuktikan pada konflik-konflik yang terjadi setelah orde baru runtuh di beberapa daerah di

Indonesia yang masih didasarkan pada SARA. Meskipun pada dasarnya konflik-konflik tersebut berasal

dari masalah-masalah kecil atau sepele, masalah ini didukung dengan prasangka yang dimiliki antar

individu yang bertikai sehingga konflik ini berujung pada konflik kelompok. Konflik-konflik ini masih menjadi

ancaman bagi masyarakat Indonesia karena sewaktu-waktu konflik ini bisa muncul kembali karena masih

adanya sifat etnosentrisme, tindakan streotip dan menggeneralisasi, kemiskinan, kecemburuan sosial, dan

kepercayaan negatif lainnya.

1.5. Nasionalisme, Membangun Bangsa dan Identitas Cina

Salah satu poin yang telah disepakati oleh pendiri Indonesia ketika mereka memutuskan untuk

membangun sebuah negara yang diberi nama Indonesia, adalah fakta bahwa negara terdiri dari berbagai

kelompok etnis, masing-masing memiliki beragam kebiasaan, tradisi dan budaya. Dalam mekanisme

menjalankan negara dan bangsa, prinsip ini membuatnya mungkin bagi setiap orang untuk melestarikan

dan praktek / agama, adat istiadat dan tradisi dan budaya. Prinsip ini diwujudkan dalam Moto nasional

Binneka Tunggal Ika, yang pada dasarnya berarti "Kesatuan dalam keragaman". Prinsip ini, yang secara

eksplisit menuntut kerjasama semua elemen bangsa dalam pembangunan bangsa, dan etnis, agama, dan

kebudayaan, sebagai dasar dari pemerintah. Namun demikian, prinsip mudah diformulasikan daripada

prakteknya. Sejak tahun 1950-an hingga sekarang, ada berbagai perjuangan di daerah, antara yang

dimulai beberapa dengan PRRI Permesta, Timor Leste Gerakan Aceh Merdeka (GAM, atau gerakan Aceh

9

Page 10: QSCDEWAZX

Merdeka) dan Pembebasan Papua – telah berkembang menjadi gerakan separatis yang kuat. Pergerakan

tersebut terutama disebabkan oleh peran kuat dan pengaruh negara dan pemerintah pusat yang

didominasi oleh sebagian besar kelompok etnis yang cenderung mengabaikan aspirasi regional dan

kelompok minoritas lainnya.

Secara historis dapat dikatakan bahwa minoritas yang tidak puas dengan pemerintah pusat yang

dipandang sebagai perpanjangan dari pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terbukti dalam, misalnya, sistem

hukum. Sistem hukum dan buku-buku hukum (baik perdata dan pidana) yang digunakan di negara ini

diwariskan dari Belanda. Hal yang sama berlaku dari sistem kewarganegaraan. Pemerintah kolonial

membagi masyarakat menjadi tiga kelas: a.European b. orang Timur Asing, dan c.pribumi, masing-masing

dengan hak-hak yang berbeda dan dengan praktek-praktek diskriminatif terhadap dua kategori dibawah.

Ketika bangsa-negara dibentuk dan Eropa yang dibuang, klasifikasi warga berkelanjutan, dengan

perlakuan yang diskriminatif terhadap etnis Cina, yang sebelumnya dimasukkan ke dalam kategori kedua

Faktor lainnya adalah nasionalisme dan demokrasi. Tidak dapat disangkal bahwa pembentukan

Republik Indonesia adalah puncak dari perjuangan nasionalis kemerdekaan yang dimulai pada tahun

1920-an. Di samping ini, Konstitusi sementara yang diterapkan selama periode liberal (hingga pertengahan

1950-an) dan kembali ke UUD 1945 yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 dan

pembentukan dewan perwakilan untuk setiap daerah dan pusat, membuktikan bahwa apa pun yang

dipraktekkan, Indonesia pada dasarnya demokrasi. Namun, menurut Horowitz, nasionalisme dan

masyarakat yang dipisahkan oleh unsur etnis karakteristik negara-negara berkembang dan sayangnya, di

negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, nasionalisme tidak kompatibel dengan demokrasi. Hal ini

karena dalam masyarakat yang pluralistik identitas etnis menyediakan satu pembedaan yang jelas untuk

memutuskan siapa yang dapat berpartisipasi dan yang tidak dapat berpartisipasi dalam politik (Horowitz

1998, p.430). Dia lebih lanjut menyatakan bahwa dalam hubungan etnis, faktor sejarah sering mendorong

pembentukan sebuah konsep masyarakat yang eksklusif. Misalnya, otoritas atau sebagian besar sering

menentukan siapa yang menjadi otoritas di daerah tertentu. Jawabannya biasanya akan keprihatinan ras

atau kelompok etnis yang dianggap berada di sana pertama. Mereka yang menganggap leluhur mereka

untuk menjadi yang pertama untuk tiba di suatu tempat biasanya mengklaim hak-hak politik yang lebih

besar dan kekuasaan atau bahkan mengambil orang lain oleh kekuatan (ibid., ms.).

Perlakuan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia mengikuti pola-pola yang digambarkan oleh

Horowitz. Cina, menjadi non-pribumi, diskriminasi oleh pribumi dalam jangka kewarganegaraan dan proses

untuk memperoleh kewarganegaraan. Dalam kasus ekstrim, ketidakcocokan antara nasionalisme dan

demokrasi akan menimbulkan kasus etnosentris dan nasionalisme yang sempit, yang, misalnya, terjadi di

Yugoslavia dan munculnya pemimpin ultra-nationalistik seperti Slobodoan Milosevitch dengan program

pembersihan etnis nya. Tragedi Mei 1998 belum mencapai titik ekstrem seperti itu karena hampir semua

orang mengutuk kekejaman dan menurut banyak laporan, banyak korban atau mungkin korban

diselamatkan oleh pri maupun non-pribumi.

Besarnya pengaruh bangsa lebih dari orang-orang dan individu, konsep nasionalisme, yang sering

tidak kompatibel dengan demokrasi, dan obsesi orang dalam kekuatan untuk mempertahankan negara

yang terintegrasi dan bersatu yang, menurut Hikam, alasan bahwa masyarakat sipil tidak didirikan di

10

Page 11: QSCDEWAZX

Indonesia. Kecenderungan ini pada dasarnya memiliki konsep-konsep pluralistik marginal, akhirnya

menimbulkan diskriminatif minoritas, khususnya Tionghoa di Indonesia (Hikam, 1998, p.1). Tekanan pada

etnis Cina mengubah nama – meskipun ini tidak wajib – kewajiban mereka untuk menunjukkan SBKRI

(Surat bukti kewarganegaraan Indonesia untuk semua hal yang berhubungan dengan birokrasi dan simbol

khusus pada kartu identitas, adalah contoh praktik kebijakan pemerintah ini. Beberapa tokoh terkemuka

dari etnis Tionghoa di Indonesia, misalnya, dianggap sebagai perjanjian kewarganegaraan Indonesia-Cina

tahun 1950-an sebagai sebuah kesalahan yang dibuat oleh kedua negara. Karena Perjanjian ini, Tionghoa

di Indonesia dipaksa untuk secara aktif memilih untuk mempertahankan kewarganegaraan Cina mereka

atau untuk menjadi warga negara Indonesia. Jika perjanjian ini tidak telah dibuat, sesuai dengan hukum

Belanda yang diadopsi oleh pemerintah pasca kolonial, etnis Cina akan secara otomatis menerima

kewarganegaraan Indonesia.

Hal paling aneh terjadi pada tahun 2002 di sebuah insiden di Garut, ibukota dari salah satu

Kabupaten di Jawa Barat. Pada 30 Juni dan 1 Juli 2002, situasi di Garut, sebuah kota yang biasanya

damai, tiba-tiba menjadi tegang karena masalah isu anti-kekerasan Cina akan meletus. Untungnya, berita

itu hanya desas-desus tidak berdasar. Namun ternyata bahwa sumber desas-desus ini adalah sebenarnya

pemerintah daerah itu sendiri, yang seharusnya bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban atau

wilayahnya. Ini dipicu oleh kasus yang melibatkan pengusaha kecil bernama Acun Somabrata (Sie Anda

Le), 62 tahun, yang membiayai hidupnyadengan penjualan obat di toko kecil. Ternyata bahwa di balik toko

obat, ia menawarkan layanan perbankan ilegal. Ia menerima deposito bulanan dengan tingkat bunga

bulanan 10 persen. Tentu ini sangat menarik karenabunga bank tabungan hanya ditawarkan 13 persen

dalam bunga per tahun. Akhirnya Acun terjebak ke dalam utang 4,2 milyar Rupiah yang tidak bisa dia

bayar. 200 kliennya , yang terdiri dari manusia di jalan, pegawai negeri sipil, dan prajurit yang takut bahwa

mereka tidak akan mendapatkan uang mereka kembali sehingga mereka melaporkan kasus ini ke polisi.

Berita ini, yang segera menyebar ke seluruh kota, membuat kliennya yang lain merasa gelisah, akhirnya

berubah menjadi rumor kemungkinan kerusuhan seperti di tragedi Mei. Musyawarah Pimpinan Daerah

(Muspida) terdiri dari birokrat kota, polisi, militer, dan penuntut umum memperburuk situasi itu ketika

mendistribusikan undangan untuk berbagai lingkaran etnis Cina. Undangan memberikan tekanan pada

etnis Cina untuk memberikan kontribusi untuk membayar hutang Acun atau akan ada kerusuhan anti-Cina.

Sekitar 400 etnis Cina menerima undangan Muspida dan dalam pertemuan Bupati Garut, Dede Satibi,

meminta mereka untuk membantu Acun untuk membersihkan utang atau kerusuhan akan terjadi di kota.

Permintaan Bupati mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang menghadiri pertemuan. Pada

akhirnya, para peserta pada pertemuan menuntut bahwa kasus dibawa ke pengadilan dan keluarga Acun

yang bertanggung jawab atas hutangnya. Bagaimanapun, Bupati terus menarik bagi etnis Cina untuk

mengambil tanggung jawab untuk utang Acun (Suara Pembaruan, 31 Juli 2002). Kasus ini tidak terdengar.

Mungkin karena para birokrat di Garut yang malu oleh liputan media nasional yang tertarik oleh kasus ini,

ilustrasi ini menunjukkan kekuatan dari otoritas dan kenyataan bahwa masih ada orang yang

menggeneralisasi etnis Cinake dalam satu kategori.

Penulis lain, Salim berkata ada tiga fakta. Pertama, adanya pemerintahan yang terlalu kuat bagi

masyarakat pasca kolonial yang masih lemah, mengakibatkan pemerintah yang tidak dikendalikan oleh

11

Page 12: QSCDEWAZX

orang-orang. Kedua, fakta bahwa minoritas sebesar 4 persen mendominasi 60 persen dari ekonomi.

Ketiga, pemerintah sebagai pengelola urusan ekonomi telah menempatkan terlalu banyak penekanan pada

pengembangan, mengabaikan kesetaraan. Semua ini telah membuka peluang besar untuk korupsi dan

kolusi yang pada gilirannya telah menyebabkan konflik etnis dan tindakan kekerasan (1998 berkata, p.60).

Masih ada perdebatan tentang Apakah etnis Cina mendominasi 60 persen dari asset-aset nasional.

Namun, ia berpendapat bahwa kekerasan yang ditujukan untuk etnis Cina disebabkan oleh faktor-faktor

ekonomi. Maharani menggarisbawahi pentingnya pendidikan untuk mempersiapkan generasi muda untuk

menerima etnis dan budaya heterogenitas (Maharani, 1999).

Pendidikan kewarganegaraan, yang mengajarkan para pemuda untuk menerima heterogenitas

dalam etnis dan budaya, untuk menerima kenyataan bahwa menjadi berbeda adalah tidak dosa, untuk

menerima prinsip pluralisme dan bahwa perbedaan berkembang menjadi antagonis, tentu saja, ideal.

Sayangnya, kita harus menunggu waktu yang sangat lama untuk melihat perubahan dari pendidikan ini di

generasi berikutnya. Namun ini tidak berarti bahwa program harus ditunda. Dalam hal pemuda Indonesia,

ada harapan bahwa mereka akan menerima pluralisme.

1.6. Hambatan bagi Pribumi dan Non Pribumi dalam Keramahan Hubungan

Hubungan antara pribumi dan non-pribumi di pasca Orde Baru di Indonesia meningkatkan kedua

belah pihak telah datang untuk beberapa tingkat pemahaman, terutama dalam hal toleransi terhadap

perbedaan. Tapi ini masih pada tahap awal dalam pengembangan dan hubungan baik mungkin masih

dangkal. Meskipun lingkungan kondusif, periode Transisi ini rapuh dan dapat dengan mudah kambuh,

mungkin karena akibat dari situasi rezim Orde Baru. Hambatan untuk pengembangan hubungan baik,

hampir semua penulis disebut dalam bab ini menunjuk ke faktor ekonomi (terlepas dari faktor-faktor lain)

sebagai penyebab utama dari permusuhan terhadap etnis Cina. Hal ini dinyatakan sebelumnya dalam bab

ini bahwa kekerasan terhadap etnis Cina adalah bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu bahkan

ketika dipicu oleh faktor-faktor non-rasial.

Sebagai kesimpulan, beberapa hal yang dapat menghalangi pembentukan baik hubungan antar

etnis dan intra etnis, terutama antara pribumi dan non-pribumi (dalam hal ini, Tionghoa di Indonesia).

Pertama, faktor yang paling dominan dalam pendapat saya adalah krisis ekonomi yang tidak menunjukkan

tanda-tanda perbaikan. Negara-negara Asia lainnya yang telah dipukul oleh krisis ekonomi tapi telah

bangkit kembali pada kaki mereka sendiri. Sebaliknya, Indonesia masih belum pulih. Hal ini terutama

karena elit Indonesia telah sibuk berkelahi satu sama lain daripada bekerja untuk membangun ekonomi

dan melihat ke dalam bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak dengan fokus dengan

cara meningkatkan ekonomi namun fokus merancang strategi untuk memungkinkan mereka untuk

memenangkan pemilihan umum mendatang yang dijadwalkan akan berlangsung pada tahun 2004.

Kedua, terkait erat dengan faktor pertama yang disebutkan di atas adalah bahaya dalam

menampilkan kekayaan berlebihan. Di saat krisis seperti kerusuhan Mei, kecemburuan sosial dapat

memicu pemberontakan. Komunikasi dengan berbagai tokoh intelektual dan menonjol di komunitas etnis

Cina telah mengkorfimasi adanya ketakutan etnis Cina. Tapi secara umum mereka percaya bahwa rasisme

telah menurun karena efek mengejutkan dari tragedi Mei 1998. Namun, semua yang berpendapat bahwa

12

Page 13: QSCDEWAZX

jika kerusuhan terjadi lagi di Jakarta, target tidak hanya orang-orang Cina tetapi semua orang yang

mengendarai mobil. Beberapa pihak yang mencari kesempatan untuk memicu kerusuhan rasial bisa

mendesak massa untuk menyerang pengemudi mobil dengan cara ini. Hal ini bisa terjadi karena dalam

pikiran orang-orang, orang Cina identik dengan yang kaya.

Faktor ketiga adalah etnosentris, yang berasal dari pribumi serta lingkaran non-pribumi. Sebagai

contoh, adanya tuntutan untuk menghilangkan dan menghapuskan penggunaan istilah Cina dan untuk

menempatkan ekspresi Tionghoa kembali digunakan untuk merujuk kepada etnis Cina dan istilah Tiongkok

merujuk kepada negara Cina dan telah menyebabkan gangguan yang di beberapa lingkaran pribumi.

Contoh lain adalah permintaan untuk mempertimbangkan etnis Cina sebagai suku, sebuah istilah yang

digunakan untuk merujuk kepada kelompok etnis yang sejajar dengan Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak,

Madura, dan lain-lain. Argumen terhadap usul ini adalah apabila Cina dianggap suku, harus ada tempat

asal. Etnis Cina tidak memiliki tempat asal dan karena itu tidak dapat dianggap sebagai sebuah suku.

Pembentukan partai Cina dan bentuk lain dari Asosiasi yang diduga yang eksklusif juga dapat

menyebabkan antipati. Saat partai berdasarkan ras telah didirikan, yaitu Partai Reformasi Tionghoa

Indonesia (reformasi Partai dari Tionghoa Indonesia). Tiga figur sosial terkemuka-Hikam, Surya Paloh,

Kwik Kian Gie-salah satunya etnis Cina, menganggap partai ras ini ketinggalan zaman. Selain itu, ada

Perhimpunan INTI (Association of Tionghoa Indonesia) yang sering dituduh menjadi " Baperki Baru "-sayap

kiri organisasi Cina selama era Soekarno. Namun demikian, penulis ini melihat langkah untuk mendirikan

Asosiasi berdasarkan ras sebagai respons atas fakta bahwa selama tiga puluh tahun pemerintahan Orde

Baru, tidak ada bahkan salah satu pihak yang dapat melindungi masyarakat Cina dan kebutuhan mereka

ketika mereka berada di bawah ancaman. Benny Setiono, seorang penulis yang juga anggota Komite

Manajemen INTI, melaporkan kebangkitan dari Asosiasi klan-klan Cina dengan dukungan keuangan yang

sangat kuat tetapi yang berorientasi ke arah daratan Cina dan budaya Cina dan manajemen yang sangat

paternalistik, mirip dengan luar negeri Cina organisasi di masa lalu.

13

Page 14: QSCDEWAZX

BAB III

PENUTUP

1.7. KESIMPULAN

Terlepas dari kenyataan bahwa banyak pemimpin pribumi telah merubah sikap mereka terhadap

Tionghoa Indonesia dan budaya Cina sejak tragedi Mei. Kebencian terhadap Cina masih tetap ada.

Multikulturalisme disebut yang disebut oleh banyak pemimpin pribumi adalah terbatas dan dangkal. Hal ini

tidak lebih dari toleransi dan persamaan dari budaya Cina dengan budaya asli. Orang pribumi Indonesia

masih berprinsip bahwa merekalah penduduk asli dan etnis Cina dianggap orang asing yang diharapkan

untuk menyesuaikan diri dengan bangsa Indonesia dan nasionalisme. Persepsi bahwa Tionghoa Indonesia

terus memiliki status unggul ekonomi juga menimbulkan kebencian antara pribumi. Karena tidak ada

penerimaan penuh Tionghoa di Indonesia sebagai asli Indonesia, posisi mereka di Indonesia masih

berbahaya. Ini disertai dengan belum selesai proses reformasi - belum terselesaikan masalah sosial,

politik, dan masalah-masalah ekonomi. Jika ada pergolakan politik atau ekonomi lain,kejadian yang tidak

diinginkan mungkin saja dapat terjadi lagi.

Posisi dari Etnis Cina tetap lemah selama situasi ekonomi tidak stabil, situasi politik yang tidak stabil

serta situasi sosial dan kehidupan sehari-hari yang membuat tekanan stress.Walaupun sekarang Etnis

Cina sudah dibiarkan mandiri oleh negara dan pemerintah karena situasi umum dimana masih terdapat

konflik etnis dan agama antar kelompok etnis pribumi,masih adanya perselisihan abadi diantara berbagai

organisasi Islam dan kelanjutan kekerasan diberbagai area seperti Aceh dan Papua.Dimana Etnis Cina

harus merefleksikan bagaimana mengembangkan penampilan kelompok mereka di Etnis Indonesia dan

Etnis lainnya. Dimana kedepannya pasti akan tetap terdapat kendala dan hambatan namun setiap

kelompok didalam masyarakat harus membuat usaha untuk membuat kapasitas bernegosiasi dijalan ini

dengan terampil dan dengan cara damai.

REFERENSI

Suryadinata, Leo. 2004. Ethnic Relations and Nation-Building in Southeast Asia: The Case of the Ethnic

Chinese. Singapore. ISEAS / NIAS Press. Chapter 2: Unity in Diversity: Ethnic Chinese and Nation-

Building in Indonesia. Tan, Mely G..

Suryadinata, Leo. 2004. Ethnic Relations and Nation-Building in Southeast Asia: The Case of the Ethnic

Chinese. Singapore. ISEAS / NIAS Press. Chapter 3: Pri and Non-Pri Relations in the Reform Era: A

Pribumi Perspective. Dahana, A..

14