punya retty (jangan memplagiasi)

41
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Fenomena ruang publik Ruang dalam istilah umum yang didefinisikan sebagai tempat manusia baik individu maupun berkelompok melalukan aktivitas, yang sering dipahami oleh banyak orang memiliki batas fisik, sehingga keberadaannya dipahami dengan jelas dan mudah. Ruang terbagi atas ruang dalam (interior) dan ruang luar (eksterior). Ruang terbuka publik merupakan salah satu jenis ruang luar. Secara kefungsian, istilah ruang terbuka publik di kalangan masyarakat umum memiliki arti yang sama dengan ruang publik, yaitu ruang luar yang biasanya digunakan secara bebas oleh masyarakat sekitar untuk beraktivitas dan berinteraksi sosial. Ruang publik atau ruang terbuka publik pada pusat kota biasanya digunakan sebagai pusat wadah aktivitas luar bagi masyarakat. Saat ini ruang terbuka publik menjadi salah satu elemen kota yang selalu mengalami perkembangan akan isu dan fenomena yang terjadi. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan penduduk kota, ketersediaan tempat tinggal dan wadah untuk berkegiatan akan semakin sempit. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menyebutkan bahwa kepadatan penduduk Indonesia mencapai sekitar 135 jiwa/km 2 , dibandingkan dengan kepadatan penduduk pada tahun 2010 yang hanya 125 jiwa/km 2 . Penyediaan lahan untuk area terbuka publik pun sering dibatasi atau malah diabaikan. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 disyaratkan luas RTH minimal 30% dari luas wilayah (negara, provinsi, kota/kabupaten), sedangkan ruang terbuka hijau publik minimal adalah 20% dari luas wilayah. Namun pada kenyataannya, hanya kurang lebih 10% hingga 20% dari keseluruhan luas perkotaan yang dapat dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau, yang artinya fakta luas RTH publik juga kurang memenuhi. Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa area terbuka publik saat ini masih kurang memenuhi kebutuhan manusianya dalam hal penggunaan sarana tersebut. Pada akhirnya, penggunaan area terbuka publik yang sudah ada saat ini menjadi kurang teratur. Penggunaan ruang publik yang fungsinya telah ditetapkan oleh pemerintah daerah maupun kota akhirnya tidak sesuai lagi dengan apa yang ada di lapangan. Kepadatan penduduk ini berdampak pula pada tuntutan masyarakat itu sendiri

Upload: retty-puspasari

Post on 03-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

skrip

TRANSCRIPT

Page 1: punya Retty  (jangan memplagiasi)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Fenomena ruang publik

Ruang dalam istilah umum yang didefinisikan sebagai tempat manusia baik individu

maupun berkelompok melalukan aktivitas, yang sering dipahami oleh banyak orang memiliki

batas fisik, sehingga keberadaannya dipahami dengan jelas dan mudah. Ruang terbagi atas

ruang dalam (interior) dan ruang luar (eksterior). Ruang terbuka publik merupakan salah satu

jenis ruang luar. Secara kefungsian, istilah ruang terbuka publik di kalangan masyarakat

umum memiliki arti yang sama dengan ruang publik, yaitu ruang luar yang biasanya

digunakan secara bebas oleh masyarakat sekitar untuk beraktivitas dan berinteraksi sosial.

Ruang publik atau ruang terbuka publik pada pusat kota biasanya digunakan sebagai pusat

wadah aktivitas luar bagi masyarakat.

Saat ini ruang terbuka publik menjadi salah satu elemen kota yang selalu mengalami

perkembangan akan isu dan fenomena yang terjadi. Seiring dengan perkembangan dan

pertumbuhan penduduk kota, ketersediaan tempat tinggal dan wadah untuk berkegiatan akan

semakin sempit. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menyebutkan

bahwa kepadatan penduduk Indonesia mencapai sekitar 135 jiwa/km2, dibandingkan dengan

kepadatan penduduk pada tahun 2010 yang hanya 125 jiwa/km2. Penyediaan lahan untuk area

terbuka publik pun sering dibatasi atau malah diabaikan. Dalam UU No. 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

05/PRT/M/2008 disyaratkan luas RTH minimal 30% dari luas wilayah (negara, provinsi,

kota/kabupaten), sedangkan ruang terbuka hijau publik minimal adalah 20% dari luas

wilayah. Namun pada kenyataannya, hanya kurang lebih 10% hingga 20% dari keseluruhan

luas perkotaan yang dapat dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau, yang artinya fakta luas

RTH publik juga kurang memenuhi. Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa area

terbuka publik saat ini masih kurang memenuhi kebutuhan manusianya dalam hal

penggunaan sarana tersebut. Pada akhirnya, penggunaan area terbuka publik yang sudah ada

saat ini menjadi kurang teratur. Penggunaan ruang publik yang fungsinya telah ditetapkan

oleh pemerintah daerah maupun kota akhirnya tidak sesuai lagi dengan apa yang ada di

lapangan. Kepadatan penduduk ini berdampak pula pada tuntutan masyarakat itu sendiri

Page 2: punya Retty  (jangan memplagiasi)

2

dalam memenuhi kebutuhannya yang beragam di tengah sempitnya lahan yang disediakan.

Dampak lain dari permasalahan tersebut ialah masalah terbentuknya pola-pola ruang aktivitas

yang ditimbulkan akibat dari tuntutan akan pemenuhan terhadap aspek kehidupan secara

kompleks oleh masing-masing individu, seperti kebutuhan akan sarana sosial dan rekreatif,

sarana untuk mencari nafkah (ekonomi), serta kebutuhan-kebutuhan lain apapun yang dapat

dilakukan di ruang publik tersebut, tergantung tingkat kebutuhan penggunanya serta adanya

potensi sekitar kawasan yang dapat berpengaruh.

1.1.2 Ruang publik Taman Bungkul di Kota Surabaya

Kota Surabaya merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur dan merupakan kota

terbesar ke dua setelah kota Jakarta. Sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia,

Surabaya memiliki latar budaya dan sosial yang beragam, baik budaya lokal Surabaya itu

sendiri, hingga budaya luar lokal yang dapat menciptakan karakter sosial-budaya Surabaya

itu sendiri. Oleh karena itu, Kota Surabaya juga memiliki beragam sejarah yang

melatarbelakangi terbentuknya karakter tersebut. Ruang publik merupakan salah satu tempat

yang dapat merefleksikan latar budaya dan sosial masyarakat penggunanya. Di kota Surabaya

sendiri, pengadaan taman sebagai ruang publik telah banyak dikembangkan, dengan harapan

bahwa taman-taman tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh warga sebagai sarana

sosial dan rekreasi.

Kawasan Taman Bungkul Surabaya adalah salah satu kawasan publik yang

didalamnya mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat yang datang mengunjunginya.

Sebagai salah satu ruang terbuka publik, Taman Bungkul mewadahi berbagai macam

aktivitas sosial dan budaya masyarakatnya. Setelah Taman Bungkul direvitalisasi oleh

Pemkot Surabaya pada tahun 2007 dengan mengusung tema education, entertainment dan

sport, taman tersebut menyediakan berbagai fasilitas atau sarana yang bersifat rekreatif

seperti arena skate-board, playground dan amphitheater terbuka serta didukung dengan

adanya akses wifi atau hotspot, Taman Bungkul menjadi ruang publik yang dapat

menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Taman Bungkul awalnya dibangun karena

adanya makam tokoh sejarah seperti Ratu Kamboja, Ratu Campa, Tumenggung Jayengrono

dan Ki Ageng Supo (Mbah Bungkul yang kini dipakai sebagai nama taman). Keberadaan

Taman Bungkul yang pada awalnya berupa hutan belantara, dahulu merupakan tempat untuk

refleksi diri.

Page 3: punya Retty  (jangan memplagiasi)

3

Saat ini, Taman Bungkul menjadi tempat wisata yang terbagi menjadi dua, yaitu

wisata religi makam Mbah Bungkul yang berada di bagian belakang dan wisata rekreatif

Taman Bungkul itu sendiri yang berada di bagian depan yang difungsikan sebagai taman

rekreasi dan olah raga masyarakat sekitar. Makam Mbah Bungkul sendiri terdiri atas satu

bangunan masjid dan pusara-pusara di samping masjid. Selain itu juga terdapat beberapa

bangunan rumah warga yang berada di sepanjang koridor jalan masuk menuju area makam

dan masjid. Kegiatan penunjang seperti PKL juga terdapat di sekeliling

makam Mbah Bungkul. Karakter bangunan yang terdapat didalamnya merupakan bangunan

yang bercirikan bangunan Islam dengan dilengkapi gapura pada pintu masuknya. Menurut

Faber (1991), ornamen-ornamennya juga mencirikan bangunan asal dari pembawa Islam di

Pulau Jawa yang diadaptasikan dengan arsitektur Hindu Jawa yang terlihat pada gerbang

masuk makamnya. Inilah yang menjadi bukti bahwa Taman Bungkul telah ada sejak zaman

kerajaan Hindu berada di tanah Jawa. Bukti lain sejarah eksistensi Taman Bungkul juga

dikemukakan oleh Navitas (2011), bahwa Taman Bungkul sekitar tahun 1800-an hingga

1900-an dikenal sebagai kampung yang bernama Desa Bungkul. Setelah itu, pada tahun 1920

di bawah pemerintahan Belanda, kampung tersebut digusur dan hanya menyisahkan sepetak

lahan dan makam yang hingga kini dikenal sebagai Taman Bungkul. Dilihat dari latar

sejarahnya, maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi Taman Bungkul yang sampai saat ini

adalah dikarenakan oleh keberadaan makam tersebut. Sebagai salah satu tokoh penyebar

agama Islam di Surabaya, makam Mbah Bungkul juga memiliki potensi sebagai kawasan

wisata religi.

1.1.3 Fenomena pemanfaatan ruang di Taman Bungkul sebagai ruang publik

Dalam fenomenanya, Taman Bungkul saat ini masih terkesan kurang menyelaraskan

kawasan sosial-rekreatif dengan kawasan religi Makam Mbah Bungkul. Hal ini terlihat dari

intensitas pengunjung baik di area sosial-rekreatifnya maupun pada area makam Mbah

Bungkul yang sama banyak. Sebagai salah satu wisata religi bagi masyarakat lokal maupun

dari luar kota, Makam Mbah Bungkul seakan tenggelam oleh modernisasi yang terjadi di

Taman Bungkul itu sendiri. Terlebih setelah taman ini direvitalisasi oleh Pemkot Surabaya

tahun 2007 yang mengusung tema education, entertainment dan sport. Dari hasil survey yang

dilakukan oleh Kurniawanto tahun 2007 dalam menggali pengetahuan masyarakat tentang

Taman Bungkul, diketahui hanya 22% responden yang mengetahui adanya Makam Mbah

Bungkul di belakang Taman Bungkul. Dengan fenomena tersebut, ketimpangan sosial

memang telah terjadi pada ruang aktivitas antara ruang sosial (rekreatif) pada Taman

Page 4: punya Retty  (jangan memplagiasi)

4

Bungkul itu sendiri dengan ruang religi di kawasan makam Mbah Bungkul. Dapat

disimpulkan bahwa desain Taman Bungkul saat ini masih kurang menjadikan wisata religi

Makam Mbah Bungkul sebagai bagian dari Taman Bungkul.

Permasalahan sosial juga beberapa kali terjadi di taman ini seperti adanya

penggunaan ruang publik taman sebagai tempat asusila (mesum) para pemuda yang seringnya

dilakukan di sekitar area makam, seperti bersandar pada tembok area makam Mbah Bungkul.

Padahal kawasan tersebut sering dikunjungi peziarah, baik dari lokal ataupun luar kota.

Kejadian tersebut kerap mendapat kritikan dari beberapa pihak seperti politisi bahkan Ketua

Pengurus Cabang NU. Hal tersebut juga diperjelas dengan adanya desakan dari Pengurus

Cabang NU kepada Pemkot Surabaya yang menuntut adanya revitalisasi kembali.

Menurutnya, revitalisasi tersebut dimaksudkan semata-mata untuk mencegah perbuatan

asusila, namun bukan berarti revitalisasi tersebut menjadikan kawasan tersebut murni

menjadi kawasan religius. Dalam usulan oleh Pengurus Cabang NU juga tidak akan

mematikan ruang publik yang saat ini sudah ada. Sebab usulan tersebut menitikberatkan pada

redesain kawasan agar bisa menyatu dengan area makam yang ada di dalamnya. Dengan

demikian, tata lingkungan fisik pada Taman Bungkul saat ini hanya mengedepankan

kepentingan taman sebagai sarana sosial-rekreatif saja, tanpa melihat kawasan religi makam

Mbah Bungkul sebagai tonggak sejarah eksistensi taman, yang sebenarnya berpotensi dalam

menciptakan kawasan wisata religi yang dapat berjalan selaras dengan wisata rekreatifnya

dan tanpa adanya ketimpangan sosial dalam pemanfaatan ruang publik kota.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah yang muncul di dalam latar belakang adalah:

1. Adanya kecenderungan ketimpangan sosial dalam pemanfaatan ruang publik Taman

Bungkul Surabaya

2. Tata lingkungan fisik Taman Bungkul sebagai ruang publik masih kurang

menyesuaikan pola aktivitas masyarakatnya.

1.3 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan diselesaikan dalam studi ini adalah:

1. Bagaimana kesesuaian antara pola aktivitas sosial dan religi dengan tata lingkungan

fisik pada ruang publik Taman Bungkul Surabaya?

Page 5: punya Retty  (jangan memplagiasi)

5

2. Bagaimana rekomendasi tata lingkungan fisik Taman Bungkul sebagai ruang publik

kota yang dapat mengakomodasi segala aktivitas sesuai dengan potensi wisata

rekreatif serta religi yang dimiliki?

1.4 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam studi ini adalah:

1. Lokasi studi berada di Kawasan Taman Bungkul Surabaya

2. Batasan penelitian ditekankan pada dua aspek yaitu pola ruang aktivitas sosial-religi

dan tata lingkungan fisik kawasan Taman Bungkul Surabaya

3. Pemecahan masalah ditekankan pada pengidentifikasian pola aktivitas yang terjadi

dan tata lingkungan fisik kawasan tersebut yang mempengaruhi elemen fisik kota dan

lansekap pada Kawasan Taman Bungkul (termasuk area makam Mbah Bungkul)

1.5 Tujuan

Adapun tujuan dari studi ini adalah:

1. Mengetahui pola ruang sosial dan religi yang terbentuk di Kawasan Taman Bungkul

Surabaya

2. Mengetahui kesesuaian antara pola ruang aktivitas dengan tata lingkungan fisik pada

kawasan Taman Bungkul Surabaya

3. Memperoleh rekomendasi penataan lingkungan fisik kawasan Taman Bungkul

Surabaya untuk menyeimbangkan potensi kawasan ziarah Makam Mbah Bungkul dan

kawasan taman sosial-rekreatif sebagai kesatuan wisata di Taman Bungkul

1.6 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dengan adanya studi ini adalah:

1. Bagi Akademisi

Dapat memberikan kajian dan sebagai bahan literatur untuk dunia pendidikan,

khususnya perencanaan wilayah dan kota dalam menentukan konsep pemanfaatan

ruang publik di kawasan Bungkul Surabaya sebagai ruang publik yang menunjang

berbagai macam aktivitas di dalamnya.

2. Bagi Pemerintah Kota Surabaya

Page 6: punya Retty  (jangan memplagiasi)

6

Dapat sebagai wacana dan pola pikir bagi para perancang kota dan stake holder dalam

mempertimbangkan konsep pemanfaatan ruang publik di kawasan Taman Bungkul

Surabaya sehingga dapat dijadikan bahan masukan.

3. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi dan wawasan baru mengenai ruang publik yang

mengarah pada hasil yang diperoleh dari identifikasi pola ruang aktivitas sosial dan

religi yang terjadi dan kesesuaiannya dengan tata lingkungan fisik pada kawasan

Taman Bungkul sebagai setting perilakunya.

1.7 Sistematika Penelitian

Adapun sistematika penulisan laporan penelitian ini terdiri dari lima bab yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian tentang kesesuaian antara pola

aktivitas terjadi di Kawasan Taman Bungkul Surabaya dengan tata lingkungan fisik

kawasannya. Selain itu dalam bab ini juga dibahas terkait permasalahan, maksud,

tujuan dan ruang lingkup penelitian objek studi.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas mengenai kajian pustaka yang digunakan sebagai acuan referensi

dalam penelitian. Pada kajian pustaka terdiri dari tinjauan umum yang berisi tentang

tinjauan ruang publik dan ruang terbuka publik, tinjauan pola ruang aktivitas dan

ruang sebagai setting perilaku, tinjauan tata lingkungan fisik serta penelitian-

penelitian terdahulu.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang metode yang akan digunakan dalam menganalisis

permasalahan yang timbul sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Metode yang

digunakan adalah metode deskriptif kualitatif (yang menjabarkan kesesuaian antara

pola aktivitas dan tata lingkungan fisik yang muncul pada ruang publik tersebut).

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil dari penelitian yang dilakukan mengenai kesesuaian

pola aktivitas dan tata lingkungan fisik pada objek studi. Pada kajian hasil dan

pembahasan ini terdiri atas tinjauan umum lokasi studi, kondisi eksisting, hasil

Page 7: punya Retty  (jangan memplagiasi)

7

analisis, hasil sintesis yang menguraikan hasil olahan data primer (hasil observasi dan

wawancara) dan data sekunder yang mendukung, serta rekomendasi sebagai

pemecahan masalah yang terjadi pada objek studi tersebut.

BAB V : PENUTUP

Bab ini membahas tentang kesimpulan serta saran mengenai hasil dari seluruh

pembahasan pada Bab IV.

Page 8: punya Retty  (jangan memplagiasi)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Ruang Publik

Ruang publik ialah salah satu elemen kota yang berfungsi sebagai sarana interaksi

sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Menurut Anita

(2012), pengertian ruang publik (public spaces) adalah suatu ruang dimana seluruh

masyarakat mempunyai akses untuk menggunakannya. Sebagai salah satu elemen kota, ruang

publik memiliki fungsi utama untuk menampung berbagai aktivitas bersama. Selain itu, peran

ruang publik bagi masyarakat kampung kota sangat penting, selain menyangkut tata ruang

fisik lingkungan, ruang publik juga mengemban fungsi dan makna sosial dan kultural yang

sangat tinggi (Anita dkk., 2012). Menurut Darmawan (2003), pentingnya fungsi ruang

terbuka publik dalam perencanaan kota adalah sebagai berikut:

1. Sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat, baik formal maupun informal

2. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor, jalan yang menuju ke arah ruang

terbuka publik tersebut dan ruang pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai

pembagi ruang-ruang fungsi bangunan di sekitarnya.

3. Sebagai tempat pedagang kaki lima

4. Sebagai paru-paru kota yang dapat menyegarkan kawasan tersebut.

Berdasarkan pelingkupannya, menurut Carmona, dkk (2003), ruang publik dapat

dibagi menjadi beberapa tipologi antara lain :

1. External public space

Ruang publik jenis ini biasanya berbentuk ruang luar yang dapat diakses oleh semua orang

(publik) seperti taman kota, alun-alun, jalur pejalan kaki, dan lain sebagainya.

2. Internal public space

Ruang publik jenis ini berupa fasilitas umum yang dikelola pemerintah dan dapat diakses

oleh warga secara bebas tanpa ada batasan tertentu, seperti kantor pos, kantor polisi,

rumah sakit dan pusat pelayanan warga lainnya.

3. External and internal “quasi” public space

Page 9: punya Retty  (jangan memplagiasi)

9

Ruang publik jenis ini berupa fasilitas umum yang biasanya dikelola oleh sektor privat dan

ada batasan atau aturan yang harus dipatuhi warga, seperti mall, diskotik, restoran dan lain

sebagainya.

Sedangkan menurut Brodin (2006), berdasarkan proses pembentukannya, ruang

publik terbagi atas:

a. Ruang Publik Metafora (Metaforic Public Space)

ruang publik ini dimaknai tidak menurut perwujudan fisiknya atau fungsi, tetapi menurut

bagaimana peranan ruang tersebut. Ruang terbentuk dalam konteks sosial yaitu dari proses

komunikasi antar manusia.

b. Ruang Publik Harfiah (Literal Public Space)

ruang publik ini dimaknai langsung sesuai sifat fungsional dan pelingkup fisiknya. Brodin

(2006) juga mengungkapkan bahwa ruang publik harfiah tidak terbentuk berdasarkan

aktivitas atau proses komunikasi yang terjadi, melainkan karena adanya akses.

Menurut Hakim (1987), berdasarkan sifatnya, ruang publik diklasifikasikan menjadi

2 yaitu:

a. ruang publik tertutup, yaitu ruang publik yang terdapat di dalam bangunan

b. ruang publik terbuka, yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan, juga dapat disebut

sebagai ruang terbuka (open space)

2.1.1 Kriteria ruang publik

Menurut Carr dalam Anita dkk (1992:19) terdapat tiga kualitas utama sebuah ruang

publik, yaitu:

a. tanggap (responsive), berarti bahwa ruang tersebut dirancang dan dikelola dengan

mempertimbangkan kepentingan para penggunanya.

b. demokratis (democratic), berarti bahwa hak para pengguna ruang publik tersebut

terlindungi, pengguna ruang publik bebas berekspresi dalam ruang tersebut, namun tetap

memiliki batasan tertentu karena dalam penggunaan ruang bersama perlu ada toleransi

diantara para pengguna ruang.

c. dan bermakna (meaningful), berarti mencakup adanya ikatan emosional antara ruang

tersebut dengan kehidupan para penggunanya.

Page 10: punya Retty  (jangan memplagiasi)

10

Menurut Carr dalam Carmona (2003), ruang publik akan berperan secara baik jika

mengandung unsur antara lain:

a. Comfort

Merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan ruang publik. Lama tinggal seseorang

berada di ruang publik dapat dijadikan tolok ukur kenyamanan ruang publik. Dalam hal ini

kenyamanan ruang publik antara lain dipengaruhi oleh: environmental comfort yang

berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari, angin; physical comfort

yang berupa ketersediannya fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk;

socialand psychological comfort.

b. Relaxation

Merupakan aktivitas yang erat hubungannya dengan psychological comfort. Suasana rileks

mudah dicapai jika badan dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat

dibentuk dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman/pohon, air dengan

lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di

sekelilingnya.

c. Passive engagement

Aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Kegiatan pasif dapat

dilakukan dengan cara duduk-duduk atau berdiri sambil melihat aktivitas yang terjadi di

sekelilingnya atau melihat pemandangan yang berupa taman, air mancur, patung atau

karya seni lainnya.

d. Active engagement

Suatu ruang publik dikatakan berhasil jika dapat mewadahi aktivitas kontak/interaksi antar

anggota masyarakat (teman, famili atau orang asing) dengan baik.

e. Discovery

Merupakan suatu proses mengelola ruang publik agar di dalamnya terjadi suatu aktifitas

yang tidak monoton.

Menurut Project for Public Spaces, ada empat kualitas utama sebuah ruang publik

dapat dikatakan berhasil:

1. Mudah diakses (Access and Linkage)

Aksesibilitas yang baik dalam sebuah ruang publik adalah kemudahan dalam menemukan

dan mencapainya. Ruang publik dapat ditangkap baik secara visual maupun fisik, dan

dapat terlihat baik dari kejauhan maupun dari dekat.

2. Banyak orang yang terlibat dalam kegiatan di sana (Uses and Activities)

Page 11: punya Retty  (jangan memplagiasi)

11

Ruang publik yang baik dapat memberi kesempatan semua orang untuk berpartisipasi di

dalamnya, melakukan keberagaman aktivitas.

3. Nyaman dan punya citra yang baik (Comfort and Image)

Kenyamanan pada ruang publik mencakup aspek keamanan, kebersihan, ketersediaan

sarana beraktivitas.

4. Tempat sosialisasi (Socialibility)

Ruang publik yang berhasil dapat mengakomodasi orang-orang untuk berinteraksi dan

bersosialisasi

2.2 Ruang Terbuka Publik

Menurut Hakim dalam Mukti (2011), ruang terbuka adalah ruang yang dipergunakan

oleh masyarakat yang dapat diakses secara langsung maupun tidak, dalam kurun waktu

terbatas maupun dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan menurut Shirvani dalam Zulfina

(2011), ruang terbuka adalah salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam

Gambar 2.1: Diagram Indikator Kualitas Utama Ruang Publik

menurut Project for Public Spaces

Page 12: punya Retty  (jangan memplagiasi)

12

pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial. Ruang publik yang berbentuk ruang

terbuka dapat digunakan sebagai wahana rekreasi, paru-paru kota, memberikan unsur

keindahan, penyeimbang kehidupan kota, memberikan arti suatu kota dan kesehatan bagi

masyarakat kota.

Tujuan ruang terbuka publik (Carr dalam Mukti,1992) adalah:

1. Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan masyarakat menjadi motivasi dasar dalam penciptaan dan pengembangan

ruang terbuka publik yang menyediakan jalur untuk pergerakan, pusat komunikasi, dan

tempat untuk merasa bebas dan santai.

2. Peningkatan Visual (Visual Enhancement)

Keberadaan ruang publik di suatu kota akan meningkatkan kualitas visual kota tersebut

menjadi lebih manusiawi, harmonis, dan indah.

3. Peningkatan Lingkungan (Environmental Enhancement)

4. Pengembangan Ekonomi (Economic Development)

Pengembangan ekonomi adalah tujuan yang umum dalam penciptaan dan pengembangan

ruang terbuka publik.

5. Peningkatan Kesan (Image Enhancement)

Merupakan tujuan yang tidak tertulis secara jelas dalam kerangka penciptaan suatu ruang

terbuka publik namun selalu ingin dicapai.

Menurut Carr dalam Mukti (1992), macam-macam tipologi ruang terbuka publik:

1. Taman-taman publik (public parks), yang termasuk taman publik adalah:

a. Taman publik/pusat (public/central parks), termasuk dalam zona ruang terbuka pada

yang dibangun dan dipelihara oleh publik, terdapat pada dekat pusat kota, dan biasanya

lebih luas dibandingkan dengan taman lingkungan.

b. Taman di pusat kota (downtown parks), merupakan taman hijau yang berada pada pusat

kota, dapat berupa taman tradisional dan bernilai histori.

c. Taman lingkungan (neighbourhood parks), yaitu ruang terbuka yang dibangun dalam

lingkungan permukiman. Pengelolaan taman tersebut oleh publik karena menjadi

bagian dari pembangunan perumahan privat tersebut, yang mana antara lain taman

bermain, fasilitas olah raga, dan sebagainya.

d. Taman mini (mini/vest-pocket parks), yaitu taman kota berukuran kecil yang dibatasi

oleh bangunan gedung-gedung.

Page 13: punya Retty  (jangan memplagiasi)

13

2. Lapangan dan plaza (squares and plaza), antara lain lapangan pusat (central squares) dan

corporate plaza.

3. Taman peringatan (memorial parks), yang merupakan tempat umum untuk mengenang

seseorang atau peristiwa penting di daerah/wilayah tertentu, bisa dalam skala lokal atau

nasional.

4. Pasar (markets), salah satu contoh dari pasar adalah pasar petani (farmers markets) yang

memiliki karakteristik sebagai sebuah ruang terbuka atau berupa koridor jalan yang

digunakan sebagai pasar, dapat bersifat temporer/tidak tetap (semi-fixed).

Menurut Shirvani (1985), terdapat enam kriteria desain tak terukur, antara lain :

1. Pencapaian (access)

Akses memberikan kemudahan, kenyamanan dan keamanan bagi para pengguna untuk

mencapai tujuan dengan sarana dan prasarana transportasi yang mendukung kemudahan

aksesibilitas yang direncanakan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan pengguna

sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam menjalankan

aktivitasnya.

2. Kecocokan (compatible)

Kecocokan adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi, kepadatan, skala dan bentuk

massa bangunan.

3. Pemandangan (view), pemandangan berkaitan dengan aspek kejelasan yang terkait dengan

orientasi manusia terhadap bangunan. View dapat berupa landmark. Nilai visual ini dapat

diperoleh dari skala dan pola serta warna, tekstur, tinggi dan besaran.

4. Identitas (identity), identitas adalah nilai yang di buat atau di munculkan oleh objek

(bangunan/ Manusia) sehingga dapat di tangkap dan dikenali oleh indera.

5. Rasa (sense), rasa atau suasana yang ditimbulkan. Sense ini biasanya merupakan simbol

karakter dan berhubungan dengan aspek ragam gaya yang disampaikan oleh individu/

kelompok bangunan atau kawasan.

6. Kenyamanan (livability), kenyamanan adalah kenyamanan untuk tinggal atau rasa

kenyamanan untuk tinggal atau beraktivitas di kawasan.

Page 14: punya Retty  (jangan memplagiasi)

14

2.3 Tinjauan Pola Ruang Aktivitas

2.3.1 Definisi pola ruang aktivitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pola adalah distribusi peruntukan ruang

dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan

ruang untuk fungsi budi daya.

Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika

kehidupan sosial suatu masyarakat (Hakim dalam Mukti, 2011). Jayadinata dalam Ramdlani

(1999) merumuskan beberapa faktor yang menjadi penentu dalam pola penggunaan lahan

yang salah satunya adalah faktor perilaku masyarakat (social behaviour) yang dipengaruhi

oleh nilai-nilai sosial dan proses sosial yaitu: Sentralisasi, (terkumpulnya penduduk

disebabkan oleh prasarana ekonomi) dan desentralisasi.

Rapoport (1977) menyatakan bahwa terjadinya aktivitas di suatu lingkungan

termasuk ruang publik dapat dianalisa dalam empat komponen:

1. Aktivitas sesungguhnya (makan, berbelanja, minum, berjalan).

2. Aktivitas spesifik untuk melakukannya (berbelanja di bazaar, minum di bar, berjalan di

jalan, duduk di lantai, makan bersama orang lain).

3. Aktivitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi yang mana menjadi bagian dari sistem

aktivitas (berbelanja sambil bergosip, pacaran sambil jalan jalan).

4. Aktivitas simbolik (berbelanja sebagai konsumsi yang menyolok, memasak sebagai religi,

cara menegakkan identitas sosial).

2.3.2 Hubungan antar pola ruang aktivitas

Menurut Ayu (2014), ada saat di mana terdapat aktivitas lain yang tidak

mengganggu aktivitas lainnya yang terjadi secara bersamaan namun bukan menjadi suatu

konflik (disebut dengan istilah coexisting), sehingga muncul perbedaan sifat ruang/tempat

yang terjadi dalam suatu bangunan. Hal tersebut juga dapat terjadi dalam skala kawasan

perkotaan.

A. Teori Linkage

Dalam sebuah ruang perkotaan, suatu tempat harus memiliki hubungan (linkage)

dengan tempat lain. Suatu elemen penghubung (linkage) dalam suatu kawasan akan

membantu orang untuk mengerti adanya fragmen kota sebagai bagian dalam keseluruhan

kota. Dalam teori linkage, ada tiga macam pendekatan yang dipakai:

1. Linkage visual

Page 15: punya Retty  (jangan memplagiasi)

15

Linkage visual mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Dalam linkage

visual dikenal dua cara penghubungan yaitu dengan menghubungkan dua daerah secara

netral atau dengan mengutamakan (memfokuskan) pada suatu daerah. Tujuan dari linkage

visual ini adalah menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain yang memiliki

perbedaan karakteristik spasial atau kefungsian dengan cara menciptakan harmonisasi

dalam penyusunan elemen fisik atau elemen visual. Ada lima elemen untuk menciptakan

linkage visual yang membentuk hubungan secara visual, yakni garis, koridor, sisi, sumbu,

dan irama.

2. Linkage yang struktural

Suatu kawasan dalam ruang kota hendaknya tidaknya hanya memperhatikan hal-hal yang

bersifat visual saja, tetapi juga hubungan strukturalnya. Sama seperti pada linkage visual,

linkage struktural dapat diamati dua perbedaan pokok yaitu dengan menggabungkan dua

daerah secara netral atau dengan mengutamakan (memfokuskan) satu daerah. Tidak setiap

kawasan memiliki arti struktural yang sama di dalam kota, sehingga cara hubungannya

secara hierarkis juga dapat berbeda (menyamakan dua kawasan atau mengutamakan salah

satu).

3. Linkage Kolektif

Linkage kolektif merupakan linkage yang mengutamakan aspek sirkulasi sebagai

penghubung antartempat atau antarkawasan. Secara luasan wilayah yang dihubungkan

dengan sistem linkage kolektif ini terdapat tiga macam untuk menciptakan linkage tersebut

antara lain:

a. Composition Form

b. Group Form

c. Mega Form

Gambar 2.2: Dua macam hubungan struktural secara diagramatis

?

?

Penggabungan

Penerusan

Page 16: punya Retty  (jangan memplagiasi)

16

B. Teritorialitas

Menurut Laurens (2005), teritorialitas adalah sebuah perwujudan ego atau privasi

seseorang, terkait adanya rasa memiliki, ingin mempertahankan atau dalam menggunakan

sesuatu. Dengan kata lain, teritorialitas merupakan pola tingkah laku dalam sebuah wilayah

yang dianggap telah adanya suatu hak kepemilikan bagi seseorang atau sekelompok orang

yang menempati atau menggunakannya. Lebih jauh lagi, teritorialitas juga memiliki fungsi

sosial dan komunikasi. Teritorialitas dapat mencerminkan berbagai lapisan sosial dalam

masyarakat. Menurut Altman (1980), teritori ruang diklasifikasikan atas dasar derajat, privasi,

afiliasi dan kemungkinan pencapaian. Klasifikasi tersebut antara lain:

1. Teritori Primer

Teritori primer merupakan tempat-tempat yang sifatnya pribadi, hanya boleh dimasuki

oleh orang-orang yang sudah akrab atau telah mendapat izin.

2. Teritori Sekunder

Teori sekunder merupakan tempat-tempat yang dimiliki bersama sejumlah orang yang

sudah cukup saling mengenal.

3. Teritori Publik

Teritori publik merupakan tempat-tempat yang bersifat terbuka untuk umum, seperti pusat

perbelanjaan, taman rekreasi, dan sebagainya. Namun terkadang teritori ini dapat dikuasai

oleh individu atau kelompok tertentu dan tertutup bagi kelompok lain.

Terdapat banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk membuat

demarkasi teritori. Semakin banyak sebuah desain mampu menyediakan teritori primer bagi

penghuninya, desain tersebut akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan penggunanya.

2.4 Tinjauan Ruang Sebagai Setting Aktivitas (Behaviour Setting)

2.4.1 Ruang sebagai setting aktivitas sosial

Secara umum, istilah behaviour setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang

stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria sebagai berikut:

a. Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku (standing pattern of

behaviour). Dapat terdiri atas satu atau lebih pola perilaku.

b. Dengan tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu), milieu ini berkaitan dengan pola

perilaku

c. Membentuk suatu hubungan yang sama antarkeduanya

d. Dilakukan pada periode waktu tertentu

Page 17: punya Retty  (jangan memplagiasi)

17

2.4.2 Ruang sebagai setting aktivitas religi Islam

Secara umum, ruang religi menurut Norget dalam Taufani (2000), merupakan ruang

yang terwujud pada suatu tempat khusus/sakral (sacred) atau pada waktu yang memiliki

kesakralan tertentu (Norget, 2000). Ruang religi adalah yang yang digunakan untuk aktivitas

yang bersifat keagamaan dan adat-istiadat (budaya).

Aziz et al. (2004) menjelaskan bahwa secara umum tujuan dan motivasi masyarakat

dalam melakukan ziarah ke makam tokoh (wali) ialah untuk berdoa meminta keselamatan

dan kesehatan, syukuran, serta sebagai bentuk ekspresi kecintaan/kebaktian pada tokoh.

Ziarah ke makam tokoh telah dipandang sebagai bagian dari rutinitas keagamaan. Fenomena

keberagaman aktivitas religi ziarah ke makam tokoh dapat dipengaruhi oleh faktor waktu.

Menurut Ayu (2014), beberapa aktivitas ritual (religi) yang dilaksanakan ada yang bersifat

rutin maupun insidentil, seperti kegiatan doa rutin, peringatan 1 suro, peringatan haul, ritual

malam jumat legi dan selamatan. Selain itu, intensitas penggunanaan ruang-ruang ritual

tertentu juga dapat dipengaruhi tingkat aksesibilitas oleh pengunjung. Hal itulah yang dapat

menciptakan ruang-ruang religi yang bersifat tetap dan yang bersifat temporal (sementara)

yang hanya akan muncul kembali saat terdapat suatu peringatan (Agustapraja dalam Ayu,

2014).

2.5 Tinjauan Tata Lingkungan Fisik

Elemen fisik dalam suatu kawasan dapat membentuk karakter pola ruang aktivitas

yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini, elemen fisik tersebut ialah elemen-elemen kawasan

yang berperan penting dalam mengakomodasi fungsi dan penggunaan ruang-ruang aktivitas

yang terjadi pada kawasan tersebut. Dengan demikian, aktivitas serta pola perilaku

masyarakat pengguna ruang tersebut terjadi juga dipengaruhi oleh adanya elemen fisik yang

mendukung terbentuknya pola-pola aktivitas tersebut.

Menurut Kustianingrum (2013) ruang terbuka publik merupakan tempat harus dapat

diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, elemen fisik

berperan penting dalam mendukung aktivitas serta membentuk pola perilaku pengguna

ruangnya.

Urban Design memiliki tekanan pada penataan lingkungan fisik kota. Menurut

Shirvani (1985), ada 8 elemen fisik perancangan kota yang berperan dalam pembentukan

pola ruang aktivitas, diantaranya:

1. Tata Guna Lahan

Page 18: punya Retty  (jangan memplagiasi)

18

Tata guna lahan yang dimaksud ialah juga meliputi pola pemanfaatan ruang. Pada

kawasan yang dianggap kurang dapat mewadahi aktivitasnya lagi, maka seharusnya dapat

dikembangkan atau disesuaikan menurut kebutuhan dan pola perilaku pemakainya. (Mirsa,

2012)

2. Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)

3. Sirkulasi dan Perparkiran (Parking and Circulation)

Struktur ruang kota biasanya terbentuk oleh adanya pola jaringan sirkulasi, yang mana

menghubungkan fungsi satu dengan yang lainnya dalam sebuah kawasan. Jadi dengan kata

lain, pola sirkulasi juga dapat mempengaruhi terbentuknya pola pemanfaatan ruang di

dalamnya. Jalan (sirkulasi) yang baik ialah jalan yang dapat mewadahi penggunanya

dalam melakukan segala kegiatan yang berbeda-beda (Mirsa, 2012). Penataan lingkungan

fisik kawasan yang disesuaikan dengan fungsi/pemanfaatan ruang salah satunya ialah

dengan unsur-unsur jaringan pergerakan, yaitu antara kepentingan pejalan kaki, kendaraan

bermotor dan kendaraan tak bermotor (Kautsary, 2002).

4. Ruang Terbuka (Open Space)

5. Tanda-tanda (Signage)

Penempatan dan kelengkapan tanda-tanda/penanda dalam sebuah kawasan dapat

berpengaruh terhadap kemudahan seseorang dalam mendapat informasi atau menemukan

arah. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada pola pemanfaatan ruang dalam kawasan

perkotaan. Apabila kelengkapan atau penempatannya tidak sesuai, maka pola penggunaan

ruang kawasan bisa jadi tidak terjadi seperti yang telah direncanakan. Hatmoko dalam

Mirsa (2012) menyatakan bahwa kelengkapan penanda juga merujuk pada sesuatu yang

dapat menjadikan ruang koridor (jalan) menjadi lebih menarik dan mendukung

terbentuknya suatu aktivitas, contohnya keteduhan dan tempat duduk yang banyak dipilih

pengunjung untuk istirahat, dan jalur pejalan kaki yang cukup.

6. Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)

Perencanaan jalur pejalan kaki tidak hanya merupakan upaya peningkatan kualitas visual,

elemen pejalan kaki yang nyaman merupakan elemen pendukung yang salah satunya dapat

menciptakan lebih banyak aktivitas retail dan akhirnya akan membantu peningkatan

reproduktivitas sosial budaya dan ekonomi (Shirvani, 1985 dan Marco, 2003).

7. Pendukung Kegiatan (Activity Support)

8. Preservasi (Preservation)

Page 19: punya Retty  (jangan memplagiasi)

19

Rapoport (1982) mengkategorikan elemen fisik dalam sebuah kawasan berdasarkan

elemen pembentukannya menjadi 3 yaitu:

1. fixed element, yaitu elemen tetap yang tidak dapat berpindah tempat (contoh: bangunan)

2. semi-fixed element, yaitu elemen pendukung yang dapat tetap namun dapat berubah pula

dengan cepat, memfasilitasi kegiatan dalam suatu kawasan ruang publik (contoh: street

furniture atau elemen dekorasi, sistem penanda, parkir)

3. non-fixed element, yaitu elemen yang berhubungan langsung dengan tingkah laku atau

perilaku yang ditujukan oleh manusia itu sendiri yang selalu tidak tetap, seperti posisi

tubuh dan postur tubuh serta gerak anggota tubuh. (contoh: pejalan kaki, pergerakan

kendaraan).

2.6 Tinjauan Riset Terdahulu

Dalam jurnal berjudul Sosial Budaya Pembentuk Permukiman Masyarakat Tengger

Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan oleh Primanita dkk. (2010), menggunakan teori

Rapoport dalam Nuraini (2004:11) sebagai definisi yang menjelaskan bahwa terbentuknya

lingkungan binaan dimungkinkan karena adanya proses pembentukan wadah fungsional yang

dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting rona lingkungan, baik yang

bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung

mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keterkaitan antara sistem aktivitas

dengan ruang sebagai tempat pelaksanaannya membentuk pola pergerakan (lintasan) dan

hierarki ruang tertentu di dalam permukiman masyarakat Tengger Desa Wonokitri. Sosial

budaya pembentuk permukiman diidentifikasi berdasarkan empat aspek, yaitu riwayat

terbentuknya desa (legenda/sejarah), tokoh pendiri/pelindung desa, pola ruang pada beberapa

jenis kegiatan.

Sedangkan pada jurnal berjudul Fleksibilitas Teritori Ruang Religi pada Pesarean

Gunung Kawi Kabupaten Malang oleh Ayu dkk. (2014), menggunakan teori dengan

pendekatan budaya dan tradisi keislaman yang akhirnya membentuk pola ruang-ruang

tertentu yang digunakan dalam berbagai aktivitas religi pada waktu-waktu tertentu oleh

berbagai kelompok pengunjung.

Hasil dari studi tersebut menunjukkan adanya teritori ruang, di mana terdapat

beberapa aktivitas religi yang dilaksanakan pada Pesarean Gunung Kawi, baik yang besifat

Page 20: punya Retty  (jangan memplagiasi)

20

rutin maupun insidentil. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan pada beberapa tempat yang

sama oleh kelompok pengunjung yang berbeda.

Page 21: punya Retty  (jangan memplagiasi)

21

Tabel 2.1 Tinjauan Riset Terdahulu

No. Peneliti dan Obyek

Penelitian Metode penelitian Tujuan Hasil Penelitian

Temuan Terkait

Tema yang akan

Dilakukan

Pembeda

1. Dianing Primanita

Ayuninggar

Sosial Budaya

Pembentuk

Permukiman

Masyarakat Tengger

Desa Wonokitri,

Kabupaten Pasuruan

Metode deskriptif eksploratif

yang terdiri dari

analisis deskriptif

analisis behaviour mapping

dengan metode person

centered mapping

analisis family tree.

Mengidentifikasi dan

menganalisis karakteristik

sosial budaya yang

membentukpermukiman

di Desa Wonokitri.

Sosial budaya pembentuk

permukiman diidentifikasi

berdasarkan empat aspek,

yaitu riwayat terbentuknya

desa (legenda/sejarah),

tokoh pendiri/pelindung

desa, pola ruang pada

kegiatan sosial budaya,

serta pola ruang yang

terbentuk berdasarkan

hubungan kekerabatan.

Identifikasi pola

ruang tebentuk

berdasarkan sosial

budaya kawasannya,

dengan

menggunakan

sampel-sampel

kegiatan sosial yang

terjadi.

Pada penelitian tersebut

menggunakan analisis

behaviour mapping

(pemetaan perilaku)

dengan menentukan

jumlah sampel objek

yang diamati (dalam

kasus tersebut ialah

bangunan).

Sedangkan pada

penelitian yang akan

dilakukan cukup dengan

menggunakan teknik

pemetaan aktivitas

(activity mapping) untuk

menemukan pola ruang

yang terbentuk

2. Dhinda Ayu

Fleksibilitas Teritori

Ruang Ritual Pada

Pesarean Gunung

Kawi Kabupaten

Malang

Menggunakan metode deskriptif

kualitatif.

Selanjutnya untuk mengetahui

penggunaan ruang religi

dilakukan dengan melakukan

pengamatan dan wawancara,

mengamati masyarakat sebagai

pengunjung Pesarean Gunung

Kawi dalam melakukan ritual

pada suatu ruang dengan pelaku

ritual lain yang berbeda.

Mengetahui faktor-faktor

yang menyebabkan

terjadinya fleksibilitas

ruang pada pelaksanaan

ritual di Pesarean Gunung

KawiKabupaten Malang

Terdapat beberapa aktivitas

ritual yang dilaksanakan

pada Pesarean Gunug

Kawi, baik yang bersifat

rutin maupun insidentil,

dan ada beberapa kegiatan

religi yang dilakukan pada

beberapa tempat yang sama

oleh kelompok pengunjung

yang berbeda.

Identifikasi pola

ruang yang terjadi

berdasarkan analisis

terhadap jenis

aktivitas dalam

waktu-waktu tertentu

Dalam penelitian

tersebut hanya terfokus

pada kegiatan ritual,

mengingat lokasi

penelitian merupakan

Kompleks Pesarean

yang banyak digunakan

untuk aktivitas ritual.

Page 22: punya Retty  (jangan memplagiasi)

22

3. Dwi Kustianingrum,

dkk.

Fungsi dan Aktivitas

Taman Ganesha

sebagai Ruang

Publik di Kota

Bandung

metode fenomenologi,

mengambil data melalui

observasi lapangan mengenai

fungsi yang terjadi, kelengkapan

sarana dan prasarana serta

mengambil data berupa foto dan

gambar kerja taman. Metode

penelitian ini mengambil data

melalui obervasi lapangan

dengan mengambil data berupa

foto, gambar kerja Taman

Ganesha serta menganalisis

fungsi dan aktivitas serta

kelengakapan sarana dan

prasarana di Taman Ganesha.

Mengidentifikasi fungsi

dan aktivitas yang terjadi

pada Taman Ganesha

Bandung, serta

menganalisis kelengkapan

elemen lansekap yang ada

pada taman tersebut, yang

berpengaruh terhadap

pola aktivitas disana.

Taman Ganesha setiap

harinya mempunyai

aktifitas yang beraneka

ragam secara fungsional,

antara kegiatan rekreatif

dan non-rekreatif.

Analisis kelengkapan

elemen lansekap

menunjukkan adanya

beberapa ketidaksesuaian

yang menyebabkan

kurangnya akomodasi dan

kenyamanan pengunjung.

Identifikasi

berbagai jenis

kegiatan sosial di

taman yang

dianalisis melalui

pengamatan

lapangan setiap

hari, sehingga

diketahui

perbedaan

intensitas dan

jenis kegiatan

yang terjadi

antara hari biasa

dengan akhir

pekan/hari libur.

Identifikasi

elemen lansekap

untuk mengetahui

kesesuaian fungsi

taman dengan

kecukupan

sarana-

prasarananya.

Dalam penelitian

tersebut hanya terfokus

pada kegiatan sosial,

karena lokasi dan

lingkungan sekitar yang

hanya menunjang

kegiatan sosial dan

rekreasi.

Identifikasi elemen

lansekap hanya sebatas

mengevaluasi

kesesuaian dengan

kebutuhan yang

seharusnya ada pada

taman, tidak sampai

pada analisis kaitan

antara elemen tersebut

dengan pola ruang

aktivitas yang terbentuk.

Page 23: punya Retty  (jangan memplagiasi)

23

2.7 Landasan Teori

Dalam mencapai tujuan dari studi mengenai hubungan pola ruang religi dan sosial ini,

teori yang dapat dipakai sebagai acuan adalah sebgai berikut:

LITERATUR RISET 1 RISET 2 KESIMPULAN

PRINSIP

DASAR

POLA

RUANG

distribusi

peruntukan ruang

dalam suatu wilayah

yang meliputi

peruntukan ruang

untuk fungsi budi

daya serta tempat

untuk

keberlangsungan

aktivitas.

Proses pembentukan

wadah fungsional

yang dilandasi oleh

pola aktivitas manusia

serta pengaruh setting

rona lingkungan,

sehingga

mempengaruhi pola

kegiatan dan proses

pewadahannya (pola

ruang).

Pola ruang yang

terbentuk merupakan

sebuah pola yang

memiliki teritori

(batas) dalam hal

pemanfaatan

ruangnya.

Pola ruang pada dasarnya

merupakan ruang-ruang

yang terbentuk akibat

adanya keberagaman

fungsi dan aktivitas yang

terjadi didalamnya.

.

PARAMETER

4 kualitas utama

ruang publik oleh

PPS:

1. Mudah diakses

2. Banyak orang

yang terlibat

dalam kegiatan di

sana

3. Nyaman dan

punya citra yang

baik

4. Tempat

sosialisasi

Sosial budaya

pembentuk

permukiman

diidentifikasi

berdasarkan empat

aspek,

yaitu riwayat

terbentuknya desa

(legenda/sejarah),

tokoh pendiri /

pelindung desa, pola

ruang pada kegiatan

sosial budaya, serta

pola ruang yang

terbentuk berdasarkan

hubungan

kekerabatan.

Tolak ukur dalam

studi pola ruang yang

digunakan adalah

dengan pendekatan

budaya dan tradisi

keislaman yang

akhirnya membentuk

pola ruang-ruang

tertentu yang

digunakan dalam

berbagai aktivitas

religi pada waktu-

waktu tertentu oleh

berbagai kelompok

pengunjung.

Dalam kasus di Kawasan

Taman Bungkul, pola

ruang dapat diidentifikasi

menurut:

1. jenis pemanfaatannya

(kegiatan sosial-religi)

2. waktu penggunaannya

(intensitas: tetap-

temporal, lama-sebentar)

3. jenis pelaku

aktivitasnya, dengan dapat

memperhatikan teori PPS

sebagai parameter

kualitas ruang publik

tersebut, terkait

pemecahan masalah

mengenai keberadaan

Bungkul sebagai ruang

publik sekaligus tempat

wisata berbasis rekreatif

maupun religi tersebut

Dalam teori linkage,

ada tiga macam

pendekatan: linkage

visual, struktural

(hirarki) dan bentuk

yang kolektif.

Page 24: punya Retty  (jangan memplagiasi)

24

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif yang

mendeskripsikan dengan jelas mengenai pola ruang sosial dan religi yang terjadi di sekitar

kawasan Taman Bungkul Kota Surabaya berdasarkan aktivitas suatu masyarakat sesuai

behavior setting-nya. Penelitian dilakukan agar dapat mengetahui pola-pola ruang aktivitas

yang terbentuk pada kawasan dan kesesuaiannya dengan tata lingkungan fisik Taman

Bungkul yang berperan dalam pembentukan pola aktivitas tersebut. Untuk itu, penelitian ini

mengarah pada penelitian arsitektur berbasis perilaku.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(a) observasi lapangan, dalam hal ini untuk mengamati pola aktivitas yang ada pada kawasan

Bungkul, yang nantinya akan menunjukkan bagaimana pola interaksi yang ada di sana.

Selain itu, observasi juga dilakukan untuk mengamati pola tata lingkungan fisik kawasan

Taman Bungkul tersebut.

(b) melakukan pemetaan (mapping) aktivitas yaitu dengan metode place-centered mapping,

untuk menunjukkan aktivitas dalam sebuah gambar skematis, mengidentifikasi jenis dan

pola aktivitas yang terbentuk, serta menunjukkan keterkaitan aktivitas tersebut dengan

tata lingkungan fisik kawasan yang ada di ruang publik tersebut. Metode person-centered

mapping digunakan untuk menunjukkan kecenderungan pergerakan orang-orang dalam

menggunakan ruang publik tersebut.

(c) menggunakan metode time budget untuk mengamati perilaku berdasarkan periode waktu

tertentu (jam-jam tertentu dan hari-hari tertentu), dan

(d) teknik wawancara informal.

3.2 Objek Dan Lokasi Penelitian

3.2.2 Lokasi penelitian

Wilayah kajian meliputi seluruh wilayah taman Bungkul yang meliputi ruang publik

yang menjadi sarana sosial-rekreatif, kawasan ziarah Makam Mbah Bungkul serta koridor

jalan lingkungan yang mengelilingi kawasan Taman Bungkul tersebut.

Page 25: punya Retty  (jangan memplagiasi)

25

: Taman Bungkul

: Makam Mbah Bungkul

3.2.2 Objek penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah masyarakat pengunjung kawasan Taman Bungkul

serta pengunjung kawasan ziarah makam Mbah Bungkul, yang tujuannya untuk mengamati

aktivitas mereka yang membentuk pola ruang tersebut. Selain itu objek yang akan diamati

dalam penelitian ini ialah pada elemen tata lingkungan fisik kawasan yang berpengaruh

langsung pada pembentukan karakteristik pola aktivitas di kawasan tersebut.

3.3 Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2009:38), variabel penelitian pada dasarnya adalah segala

sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

A. Pola aktivitas, yang terdiri atas:

1. Jenis aktivitas, yang terdiri atas aktivitas sosial dan religi, yang mana merupakan

berbagai tingkah laku atau aktivitas masyarakat dalam menggunakan ruang publik

Taman Bungkul. Jenis aktivitas yang akan diamati antara lain:

a. Aktivitas utama

Gambar 3.1 Lokasi Penelitian

Page 26: punya Retty  (jangan memplagiasi)

26

1) terkait aktivitas sosial: duduk santai, bermain, berjalan-jalan, olahraga,

mengobrol, makan

2) terkait aktivitas religi: beribadah, ziarah, wudlu/bersuci

b. Aktivitas pendukung

1) terkait aktivitas sosial: parkir kendaraan, berjalan, berjualan

2) terkait aktivitas religi: parkir kendaraan, makan, berjalan

2. Waktu aktivitas

Waktu penelitian didasarkan pada intensitas penggunaan Taman Bungkul pada saat

ramai dikunjungi. Waktu-waktu tersebut antara lain:

a. Hari biasa, yang bisa diamati pada hari senin-jumat, dengan waktu pengamatan

yang beragam yaitu:

1) Pagi hari, yang bisa diamati pada sekitar jam 06.00–08.00 untuk mengamati

pemanfaatan ruang publik dalam beraktivitas sosial yang ada di taman saat

pagi hari (olahraga dan sebagainya).

2) Siang hari, yang akan diamati pada sekitar jam 12.00–14.00, agar bisa

mengamati pola aktivitas sosial dan religinya pada saat menjelang hingga

selesai waktu sholat dhuhur.

3) Sore hari, yang akan diamati pada sekitar jam 16.00–18.00, agar bisa

mengamati pola aktivitas sosial-rekreatif taman yang cenderung lebih ramai

karena berakhirnya jam kerja atau jam sekolah, juga untuk mengamati pola

aktivitas religi pada menjelang waktu sholat maghrib.

4) Malam hari, yang akan diamati pada antara jam 19.00 hingga jam 21.00.

waktu-waktu tersebut dipilih untuk dapat diamati aktivitas sosialnya,

terutama aktivitas-aktivitas menyimpang seperti asusila yang bisa lebih

banyak terjadi saat malam hari.

b. Hari libur, yang bisa diamati pada hari sabtu dan minggu

Jam pengamatan juga disesuaikan seperti pada hari biasa. Namun, yang

membedakan hanya pada hari minggu pagi, di mana pengamatan akan

dilakukan setiap kurang lebih 2 jam yaitu pada jam 06.00, jam 08.00 dan jam

10.00 untuk mengamati aktivitas religi di kawasan makam serta aktivitas sosial

taman yang dikarenakan adanya Car Free Day di Jalan Raya Darmo.

3. Jenis Pelaku Aktivitas

Page 27: punya Retty  (jangan memplagiasi)

27

Jenis pelaku aktivitas dibedakan atas kelompok jumlah penggunanya dan rentang

usia.

a. Berdasarkan jumlah penggunanya, pengamatan pola ruang aktivitas dibedakan

atas individu (1 orang), berpasangan (2 orang), dan berkelompok (≥ 3 orang)

b. Berdasarkan rentang usianya, pengamatan pola aktivitas dibedakan atas usia

anak (≤ 12 tahun), usia remaja atau pemuda (13-20 tahun), dan usia dewasa atau

orang tua (≥ 21 tahun).

B. Tata lingkungan fisik dalam setting perilakunya, yang terdiri atas:

1. Fixed-element, yang terdiri dari elemen tetap kawasan seperti bangunan tetap,

prasarana jalan bagi kendaraan dan jalur pejalan kaki

2. Semi-fixed element, yang terdiri atas street-furniture kawasan, seperti signage, PKL,

tempat parkir pada tepi jalan.

Tabel 3.1 Varibel Aspek Pola Aktivitas

Tujuan Variabel Sub-Variabel Indikator Metode

Mengidentifikasi

pola aktivitas

dalam hal

pemanfaatan

ruang publik

Jenis Aktivitas

Sosial (utama dan

pendukung) dan

Religi (utama dan

pendukung)

Intensitas Kegiatan Observasi

(Pemetaan Aktivitas

dengan metode

place-centered

mapping)

Zonasi

pemanfaatan ruang

publik

Jenis Pelaku

Aktivitas

Pengunjung

(Taman Bungkul

dan Makam Mbah

Bungkul)

Usia Pengunjung

Observasi

(Pemetaan Aktivitas

dengan metode

place-centered

mapping) dan

Wawancara

Informal

Pedagang

Zona untuk para

pedagang (warung

dan PKL)

Waktu

Terjadinya

Aktivitas

Hari Biasa – Hari

Libur Intensitas

Penggunaan Ruang

Publik

Observasi Pagi – Siang –

Sore – Malam

Page 28: punya Retty  (jangan memplagiasi)

28

Tabel 3.2 Variabel Aspek Tata Lingkungan Fisik

Tujuan Variabel Sub-Variabel Indikator Metode

Mengidentifikasi

Tata Lingkungan

Fisik dalam

Membentuk Pola

Aktivitas

(Behavioral

Setting)

Fixed Element

Perkerasan jalan dan

pedestrian way,

bangunan, tembok

pembatas, titik

pohon dan vegetasi

Batas fisik yang

menjadi teritori

pembentuk pola

aktivitas Observasi

Orientasi

Dimensi

Semi-Fixed

Element

Street Furniture dan

signage

Kecenderungan

elemen tersebut

dalam

mempengaruhi pola

perilaku

Observasi

Orientasi

Dimensi

Pedagang Kaki Lima

(PKL)

Pengaruh

pemanfaatan ruang

publik di sekitar area

PKL

Observasi dan

Wawancara

Informal

3.4 Tahap Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan adalah langkah awal dilakukannya penelitian ini, diperlukan

beberapa persiapan sebelum melakukan proses penelitian antara lain:

1. Mencari data mengenai Taman Bungkul Surabaya

2. Melakukan observasi awal berupa pengamatan mengenai kondisi kawasan Taman

Bungkul Surabaya untuk memperoleh gambaran awal tentang fenomena kehidupan sosial

dan religi masyarakat pengunjung kawasan tersebut. Observasi dilakukan sebagai salah

satu upaya untuk mengidentifikasi pola ruang aktivitas yang terbentuk.

3. Mengumpulkan literatur atau pustaka terkait dengan pembahasan penelitian. Fungsi dan

tinjauan pustaka sebagai landasan teori dan penetapan variabel penelitian yang digunakan

saat melakukan pengamatan di lapangan.

4. Menetukan metode penelitian yang sesuai untuk digunakan dalam pelaksanaan penelitian.

Page 29: punya Retty  (jangan memplagiasi)

29

5. Menetapkan analisis data yang digunakan dalam melakukan penelitian hingga penyusunan

laporan penelitian.

3.4.2 Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua cara yaitu:

1. Pengambilan data primer dengan cara observasi langsung pada objek penelitian antara lain

dokumentasi foto pengamatan objek secara langsung untuk mengamati perilaku

berdasarkan periode waktu tertentu dan melakukan wawancara informal dengan

masyarakat sekitar.

2. Pengambilan data sekunder dengan cara pengumpulan data-data penunjang penelitian

yang dimiliki oleh arsip juru kunci makam (bila ada) serta arsip pemerintah daerah/kota

Surabaya yang dapat menunjang proses penelitian.

3. Kompilasi dan analisis data, dengan melakukan pemetaan (mapping) aktivitas, untuk

menunjukkan pola aktivitas dan menjelaskan keterkaitan pola aktivitas tersebut dengan

tata lingkungan fisik kawasan sebagai wujud perancangan kota yang berpengaruh dalam

pembentukan karakteristik pola ruang sosial-religi di kawasan ruang publik tersebut.

3.5 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Untuk mencapai tujuan penelitian ini diperlukan data-data untuk menunjang

kelengkapan dalam melakukan kegiatan penelitian. Data dibagi menjadi dua yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil observasi lapangan secara langsung,

sedangkan data sekunder didapat dari literatur berupa buku dan jurnal ilmiah.

3.5.1 Data primer

Data Primer merupakan data yang bersumber dari hasil observasi berpartisipasi yaitu

dengan mengembangkan konsep-konsep di lapangan atau peneliti terlibat secara penuh di

lapangan (Nazir, 1999). Data primer didapat langsung dari penelitian adalah data kualitatif.

Data primer diperoleh melalui dua cara yaitu:

A. Wawancara

Tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang lebih detail dan akurat dalam

menguatkan hasil observasi di lapangan terkait adanya fenomena atau apabila ada

permasalahan yang terjadi pada Taman Bungkul jika data yang dibutuhkan tidak dapat

ditemukan dalam literatur. Wawancara ditujukan kepada antara lain:

Page 30: punya Retty  (jangan memplagiasi)

30

1. Narasumber yang mengetahui sejarah dan perkembangan Taman Bungkul beserta

Makam Mbah Bungkul Sejarah dan perkembangan Taman Bungkul Surabaya.

Tujuannya adalah untuk mengklarifikasi serta mendapat data yang lebih akurat bahwa

eksistensi Taman Bungkul tidak lepas dari sejarah Makam Mbah Bungkul serta adanya

isu atau fenomena yang beredar di masyarakat mengenai perkembangan dan perubahan

yang terjadi.

2. Masyarakat pengunjung taman dan makam, yang akan diwawancarai secara informal dan

tak terstruktur. Tujuan wawancara ini adalah untuk membuktikan atau mencari data yang

lebih detail terhadap hasil pengamatan di lapangan mengenai aktivitas yang dilakukan

serta pemanfaatan sarana di ruang publik sebagai setting aktivitas mereka.

B. Observasi Lapangan

Observasi lapangan digunakan dengan mengadakan survey atau pengamatan langsung

ke lokasi objek penelitian. Observasi ini dilakukan dengan pengambilan gambar

menggunakan kamera digital. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk mengamati dan

memahami fenomena pemanfaatan ruang publik sebagai sarana beraktivitas sosial dan religi,

terkait adanya makam Mbah Bungkul tersebut.

3.5.2 Data sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang penelitian. Data sekunder dalam penelitian

antara lain:

A. Data statistik pengunjung Taman Bungkul dan daftar pengunjung Makam Mbah

Bungkul, yang dapat dipakai sebagai penunjang proses observasi dan tahap analisis data,

di mana dari data tersebut dapat diketahui tingkat intensitas pengunjung, berdasarkan

jenis pelaku aktivitas pengunjungnya.

B. Agenda kegiatan yang diselenggarkan oleh pengelola taman dan makam yang dapat

membantu proses observasi lapangan dan analisis data, di mana dari data tersebut dapat

diketahui jenis dan intensitas kegiatan, serta membantu dalam penyusunan jadwal

observasi, yang dapat belajar dari pengalaman pengadaan kegiatan sebelumnya.

C. Gambar kerja Taman Bungkul Surabaya, seperti site-plan atau layout-plan, yang dapat

membantu dalam proses observasi lapangan. Data tersebut dapat memudahkan dalam

pembuatan mapping aktivitas dan tata lingkungan fisik kawasan.

Page 31: punya Retty  (jangan memplagiasi)

31

3.6 Tahap Analisis

Setelah melakukan pengumpulan data-data (primer dan sekunder) yang dibutuhkan,

maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis data, di mana dalam hal ini data primer

hasil observasi selanjutnya dianalisis sehingga didapat hasil dan kesimpulan mengenai

permasalahan dalam penelitian ini.

Analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini disesuaikan dengan variabel

penelitian yaitu pola aktivitas sosial-religi dan tata lingkungan fisik kawasan ruang publik.

Variabel pola aktivitas terdiri dari jenis aktivitas, waktu aktivitas dan jenis pelaku aktivitas.

Sedangkan pada variabel tata lingkungan fisik kawasan ruang publik terdiri atas komponen

fixed, komponen semi-fixed dan komponen non-fixed, untuk mengidentifikasi setting

perilakunya. Adapun langkah analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:

A. Analisis pola aktivitas sosial-religi

Pada analisis pola aktivitas terdapat variabel yang dibahas meliputi jenis aktivitas, waktu

aktivitas serta jenis pelaku aktivitas. Analisis dari variabel-variabel tersebut berupa

penerjemahan hasil observasi berupa mapping aktivitas yang telah diamati pada proses

observasi. Hasil penerjemahan tersebut merupakan kesimpulan yang berupa zoning

pemanfaatan ruang publik secara umum pada Taman Bungkul.

B. Analisis tata lingkungan fisik kawasan ruang publik

Pada analisis tata lingkungan fisik kawasan terdapat variabel yang dibahas meliputi

komponen fix, komponen semi-fix dan komponen non-fix, untuk mengidentifikasi setting

perilakunya. Analisis dari variabel-variabel tersebut berupa penerjemahan hasil observasi

berupa mapping persebaran elemen-elemen fisik kawasan sebagai pendukung

terbentuknya pola aktivitas yang terjadi. Hasil penerjemahan tersebut merupakan

kesimpulan yang berupa penjabaran secara deskriptif mengenai kesesuaian antara pola

aktivitas yang terjadi dengan tata lingkungan fisik kawasan yang berperan penting dalam

menunjang aktivitas-aktivitas yang terjadi di ruang publik Taman Bungkul tersebut.

3.7 Tahap Rekomendasi

Dari hasil analisis-sintesis kemudian dapat dilakukan tahap rekomendasi yang sesuai

dengan tinjauan teori dan literatur sebelumnya untuk menanggapi permasalahan pada ruang

publik Taman Bungkul Surabaya yang ditemukan selama proses penelitian. Rekomendasi

bertujuan sebagai alternatif masukan dalam penataan lingkungan fisik sebagai kriteria

minimal yang harus dipenuhi pada sebuah ruang publik, terkait dengan pola aktivitas yang

terjadi. Rekomendasi ini berupa design guideline atau rincian konsep awal desain yang dapat

Page 32: punya Retty  (jangan memplagiasi)

32

memaksimalkan penggunaan ruang publik sesuai dengan potensi kawasan yang dimiliki,

yang mana dalam kasus Taman Bungkul ini yang lebih dikenal memiliki potensi pada wisata

sosial-rekreatifnya agar dapat menyelaraskan dengan potensi wisata religi yang juga terdapat

pada ruang publik tersebut.

Page 33: punya Retty  (jangan memplagiasi)

33

Data

- data primer, yang meliputi

- data deskriptif hasil pengamatan mengenai fenomena aktivitas

sosial dan religi yang ada di kawasan Taman Bungkul Surabaya

- mapping hasil pengamatan lapangan mengenai fenomena aktivitas sosial dan religinya,

dan terbentuknya pola ruang tersebut berdasarkan waktu (hari biasa-libur, pagi-siang-malam),

serta jenis kegiatannya (sosial-rekreatif dan religi).

- mapping hasil pengamatan lapangan mengenai persebaran elemen fisik (elemen

lansekap kawasan): akses, sirkulasi dan parkir, vegetasi, signage, pedestrian ways dan

street furniture.

- foto hasil dokumentasi lapangan

- data hasil wawancara informal kepada beberapa masyarakat

pengunjung Taman dan Makam Mbah Bungkul, dan juru kunci makam.

- data sekunder, yang meliputi peta persil kawasan, site-plan/layout-plan taman, RDTRK dan Perda Surabaya serta SOP sebagai acuan dalam memberikan rekomendasi.

Analisis Data

mengolah data yang ada hingga dapat diketahui hasil yang ingin diungkap mengenai pola ruang, yang meliputi:

- tabel daftar aktivitas berdasarkan waktu dan intensitas penggunaannya

- mapping mengenai batas fisik dan non-fisik kawasan yang menjadi teritori tiap jenis aktivitas yang terjadi antara pada ruang sosial dan religi.

- evaluasi kekurangan elemen fisik yang berpengaruh pada pola pemanfaatan ruang publik yang kurang sesuai, terkait adanya aktivitas sosial serta religi yang ada dalam satu kawasan.

Kesimpulan Dan Pemecahan Masalah

pemecahan masalah dalam penelitian ini berupa rekomendasi desain elemen fisik pada beberapa spot kawasan yang menjadi potensi untuk dikembangkan, dibenahi atau

direvitalisasi.

3.8 Kerangka Penelitian

Page 34: punya Retty  (jangan memplagiasi)

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tinjauan Umum

Penelitian ini mengambil lokasi di Kawasan Taman Bungkul Surabaya, yang terdiri

atas area sosial-rekreatif Taman Bungkul, area religi Makam Mbah Bungkul, serta koridor

jalan yang mengelilingi Taman Bungkul. Koridor jalan yang ada meliputi Jalan Taman

Bungkul, Jalan Serayu dan Jalan Progo yang merupakan jalan lingkungan yang berada di

sebelah utara, timur dan selatan Taman Bungkul, serta Jalan Raya Darmo yang merupakan

jalan raya besar yang juga menjadi bagian dari ruang publik tersebut. Taman Bungkul

merupakan taman dengan luas 14.517 m².

4.1.1 Sejarah dan perkembangan taman

Taman ini merupakan taman yang direvitalisasi oleh Pemkot Surabaya pada tahun

2007. Pada awalnya, taman ini merupakan lahan kosong berupa lapangan yang tidak banyak

digunakan oleh warga karena minimnya prasarana yang dapat menjadi penunjang aktivitas

pada ruang publik tersebut. Kondisi taman sebelum direvitalisasi hanya memiliki playground

kecil yang berada di sebelah timur serta perkerasan-perkerasan pada taman yang menandai

adanya jalur sirkulasi dan panggung kecil terbuka yang berada di tengah.

Selain itu, di taman tersebut terdapat kompleks pemakaman salah seorang penyebar

agama Islam di Kota Surabaya, yaitu Ki Ageng Supo, atau yang lebih dikenal dengan nama

Mbah Bungkul. Sejak dahulu, kompleks makam tersebut telah ada sejak zaman kerajaan

Mahapahit. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya corak pada gerbang makam yang berciri

arsitektur hindu jawa (Faber, 1991). Beberapa perubahan fisik pada Taman Bungkul dari

zaman dahulu hingga sekarang tidak pernah sampai pada mengubah tata lingkungan fisik

ataupun sampai menggusur Kawasan Makam Mbah Bungkul tersebut (Navitas, 2011).

Karena latar sejarah itulah taman yang ada sampai saat ini dikenal dengan nama Taman

Bungkul. Sampai saat ini, keberadaan Makam Mbah Bungkul menjadi salah satu tempat

tujuan bagi para peziarah baik dari dalam kota maupun luar kota.

Page 35: punya Retty  (jangan memplagiasi)

35

4.2 Kondisi Eksisting

Setelah direvitalisasi oleh Pemkot Surabaya, lahan kosong tersebut diubah menjadi

taman dengan berbagai sarana dan prasarana yang dapat menunjang berbagai aktivitas sosial-

rekreatif serta dapat digunakan sebagai sarana olahraga, karena adanya pembangunan sarana

dan prasarana seperti perbaikan sarana playground, pembangunan beberapa sport area di

taman tersebut, antara lain arena skateboard dan lapangan hijau, serta pedestrian way dan

area parkir sepeda yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan aktivitas jogging

ataupun bersepeda di sekitar taman. Sedangkan lahan kosong yang berada di sebelah timur

Kawasan Makam Mbah Bungkul dijadikan sebagai area sentra kuliner.

Keterangan:

: Area Publik (lahan kosong)

: Panggung

: Playground

: Toilet

: Kompleks Makam Mbah

Bungkul

a

b

c

Gambar 4.1 Layout Eksisting Taman Bungkul Sebelum Revitalisasi

Gambar 4.2 Kondisi Eksisting Taman Bungkul Sebelum Revitalisasi;

(a) Main Entrance Taman Bungkul; (b) Playground; (c) Main Entrance Makam Mbah Bungkul

Sumber: DKP Kota Surabaya, 2006

a b c

Page 36: punya Retty  (jangan memplagiasi)

36

Keterangan:

: Area Publik (RTH dan Sport Arena)

: Panggung terbuka

: Playground

: Plaza Area

: Kompleks Makam Mbah Bungkul

: Sentra Kuliner

Gambar 4.3 Layout Taman Bungkul (Setelah Revitalisasi)

Page 37: punya Retty  (jangan memplagiasi)

37

4.3 Analisis Pola Ruang Aktivitas

4.3.1 Pola ruang aktivitas Taman Bungkul

Seperti yang telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya mengenai kondisi eksisting

Taman Bungkul, bahwa taman tersebut merupakan ruang publik yang difungsikan sebagai

sarana rekreasi dan bersosialisasi. Tak jarang pula ruang publik tersebut digunakan sebagai

sarana belajar. Keberagaman aktivitas yang terjadi pada taman tersebut dipengaruhi oleh

faktor waktu. Hal inilah yang juga mempengaruhi intensitas keramaian (jumlah pengguna)

yang berbeda pada tiap zona ruang publik ataupun intensitas waktu berlangsungnya masing-

masing aktivitas tersebut.

Pada Taman Bungkul ini, aktivitas yang berlangsung sangat beragam. Adanya

aktivitas utama serta aktivitas pendukung yang terjadi tergantung dari jenis pelaku

aktivitasnya. Pada Taman Bungkul ini terdapat dua jenis pelaku yang dominan yaitu

pengunjung/penikmat fasilitas ruang publik dan pedagang, baik pedagang tetap sentra kuliner

maupun pedagang kaki lima. Aktivitas-aktivitas tersebut digolongkan antara lain:

A. Aktivitas utama, yaitu aktivitas yang menjadi tujuan utama pengunjung menggunakan

ruang publik. Aktivitas utama yang dilakukan pengunjung/penikmat Taman Bungkul

antara lain:

1. Bermain/rekreasi

2. Bersosialisasi

3. Olah raga (yang biasa dilakukukan pada pagi hari)

4. Duduk santai

5. Belajar

6. Berjalan-jalan santai

7. Makan atau membeli makanan kecil

Sedangkan aktivitas utama yang dilakukan pedagang sentra kuliner maupun pedagang

kaki lima di sekitar taman ialah aktivitas berjualan.

B. Aktivitas pendukung, yaitu aktivitas sekunder yang menjadi pendukung tercapainya

aktivitas yang menjadi tujuan utama atau bisa juga pelengkap dalam sebuah serangkaian

aktivitas dalam rangka pemenuhan kepuasan. Di Taman Bungkul ini, aktivitas pendukung

yang terlihat dilakukan oleh pengunjung/penikmat ruang publik ialah antara lain:

1. Parkir kendaraan

2. Berjalan (berpindah tempat)

3. Berfoto

Page 38: punya Retty  (jangan memplagiasi)

38

4. Makan atau membeli makanan kecil

Sedangkan aktivitas pendukung yang dilakukan oleh pedagang di sekitar taman ialah

parkir kendaraan (bila pedagang memiliki sarana transportasi atau pengangkut barang

dagangan) dan aktivitas berjalan yang tujuannya hanya untuk mencapai ke tempat

pedagang tersebut berjualan tetap atau sebagai cara mereka berjualan dengan

berkeliling/tidak tetap (pedagang kaki lima).

Adanya aktivitas utama dan pendukung yang terjadi setiap hari di Taman Bungkul

memilki intensitas kepadatan pelaku aktivitas dan lama terjadinya aktivitas yang berbeda-

beda. Bahkan antara pagi, siang, sore dan malam hari memiliki intensitas keramaian yang

berbeda-beda pula. Pada hari biasa (senin-jumat) aktivitas utama seperti bermain, berjalan-

jalan dan sebagainya mulai ramai terjadi saat sore hari. Pada pagi dan siang hari aktivitas

tersebut tidak banyak terlihat, dikarenakan masih dalam waktu aktif bekerja dan jam sekolah

bagi anak-anak. Sedangkan pada akhir pekan (sabtu-minggu) intensitas keramaian yang

terjadi di taman sangat tinggi dibandingkan dengan pada hari-hari biasa. Pada hari sabtu dan

minggu aktivitas rekreasi lebih banyak dilakukan dari pagi hari hingga malam hari.

Perbedaannya, pada hari sabtu malam di Taman Bungkul selalu ada bazar yang menjadi suatu

fenomena tersendiri bagi Taman Bungkul, dan pada sabtu malam taman tersebut selalu ramai

dipenuhi pengunjung dalam rangka bermalam minggu.

Keterangan:

: Area untuk aktivitas rekreasi

(berjalan-jalan, bermain, olahraga)

: Area untuk aktivitas makan (sentra

kuliner

Page 39: punya Retty  (jangan memplagiasi)

39

4.3.2 Pola ruang aktivitas Makam Mbah Bungkul

4.4 Analisis Tata Lingkungan Fisik

4.4.1 Tata lingkungan fisik Taman Bungkul

4.4.2 Tata lingkungan fisik Makam Mbah Bungkul

4.5 Analisis Behavioral Setting pada Kawasan Taman Bungkul

4.6 Sintesis Behavioral Setting pada Kawasan Taman Bungkul

Page 40: punya Retty  (jangan memplagiasi)

40

DAFTAR PUSTAKA

Agustapraja, H.R., Agung, M. N., &Lisa, D. W. 2011. Ruang Budaya pada Upacara Karo di

Desa Ngadas, Tengger. Makalah dalam Seminar Nasional Local Tripod. Jurusan

Arsitektur Universitas Brawijaya

Anita, J., dkk. 2012. Kajian Terhadap Ruang Publik Sebagai Sarana Interaksi Warga di

Kampung Muararajeun Lama, Bandung.Jurnal Online,Jurusan Tenik Arsitektur

Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional, Volume 1

Nomor 1, Juli. hal. 1-12.

Aziz, A. A. 2004. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap

Kekeramatan Makam-Makam Kuno di Lombok). Jurnal Penelitian Keislaman I

(1): hal. 59-77.

Ayu, D., Antariksa, S., & Abraham, M. R. 2014. Fleksibilitas Teritori Ruang Religi pada

Pesarean Gunung Kawi Kabupaten Malang. Architecture Journal, Fakultas Teknik

Universitas Brawijaya, Volume 7 Nomor 1, Juni. hal. 20-28.

Ayuninggar, D. P., Antariksa, S., & Dian, K. W. 2012. Sosial Budaya Pembentuk

Permukiman Masyarakat Tengger Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan,

Architecture Journal, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Volume 5 Nomor 1,

Maret. hal. 14-31.

Carmona, M. et al. 2003. Public Spaces-Urban Spaces, The Dimensions of Urban Design.

Burlington: Architectural Press.

Eka, Devi V. 2013. Pola Ruang Aktivitas Pengrajin Perak-Emas di Desa Pulo kabupaten

Lumajang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.

Kustianingrum, D., dkk. 2013. Fungsi dan Aktifitas Taman Ganesha Sebagai Ruang Publik di

Kota Bandung. Jurnal Online,Jurusan Tenik Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan Institut Teknologi Nasional, Volume 1 Nomor 2. Agustus. hal. 1-14.

Mirsa, Rinaldi. 2012. Elemen Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mukti, L. S., Lisa, D. W., & Sigmawan, T. P. 2011. Ruang Terbuka Publik Pada Pusat

Perdagangan Dan Jasa Agribis Dolopo, Kabupaten Madiun. Architecture Journal,

Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.

Sirvani, Hamid.1985. The Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold

Company.

Page 41: punya Retty  (jangan memplagiasi)

41

Zahnd, Markus. 2012. Perancangan Kota Secara terpadu: Teori Prancangan Kota dan

Penerapannya. Yogyakarta: KANISIUS.

http://www.pps.org/reference/grplacefeat/ , diakses pada 8 Desember 2014

http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2015/02/25/ngenesnya-ruang-publik-kita-708793.html

diakses 26maret2015 oleh andi kurniawan, 25feb2015