punya putera

10
MERAJUT PASARIBU DAN SARUKSUK DALAM SILSILAH Oleh : Drs, T. U. Pasaribu *) ABSTRAK MARGA, itulah suatu identitas keluarga Batak. Orang Batak harus bermarga. “Marga” artinya jalan, hubungan dalam kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilinier secara patrilinier. Bermula dari nama seseorang, kemudian keturunannya menjadikan nama itu nama identitas keluarga, di kenal dengan sebutan “marga”, dan setiap orang Batak, pria, dirajut dalam silsilah (tarombo) marga. Akan halnya PASARIBU sebagai marga, dalam silsilah Batak, ternyata tidak dijumpai seseorang yang bernama PASARIBU secara eksplisit. Akibatnya timbul kesulitan memastikan sejak kapan marga itu muncul dan siapa saja yang berhak menggunakan marga itu sebagai identitas keluarga patrilinier. Dan makalah ini merupakan hasil studi yang panjang, yang berusaha menemukan jawaban sekaligus mencoba meluruskan berbagai pendapat yang kurang memiliki informasi dan kajian kuat tentang hal itu. Studi ini menyimpulkan bahwa Sariburaja I adalah Pasaribu pada generasi ke III, dan Saruksuk menempati posisi pada generasi ke-IX pada silsilah Pasaribu – Saruksuk. Kata kunci : Posisi Pasaribu, dan Saruksuk. I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Kalau kepada orang yang bermarga Pasaribu di ajukan pertanyaan ini : Siapa orang yang bernama Pasaribu? Boleh jadi pertanyaan itu dianggap aneh, mengada-ada, mencari kerumitan, bahkan mungkin dianggap pertanyaan yang mencurigakan. Jawaban berapi- api penuh semangat yang timbul boleh jadi mungkin begini : Bukankah sudah begitu banyak orang bermarga Pasaribu tersebar di Bumi Nusantara dan bahkan manca negara, yang berprofesi sebagai petani, nelayan, tukang becak, gelandangan, pengusaha, pegawai negeri, pejabat rendah, menengah dan pejabat tinggi? Pasaribu menyebar dimana-mana, karena panggilan tugas maupun

Upload: boris-sitorus

Post on 27-Oct-2015

47 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

ada

TRANSCRIPT

Page 1: Punya Putera

MERAJUT PASARIBU DAN SARUKSUKDALAM SILSILAH

Oleh : Drs, T. U. Pasaribu *)

ABSTRAKMARGA, itulah suatu identitas keluarga Batak. Orang Batak harus bermarga. “Marga” artinya jalan, hubungan dalam kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilinier secara patrilinier. Bermula dari nama seseorang, kemudian keturunannya menjadikan nama itu nama identitas keluarga, di kenal dengan sebutan “marga”, dan setiap orang Batak, pria, dirajut dalam silsilah (tarombo) marga.

Akan halnya PASARIBU sebagai marga, dalam silsilah Batak, ternyata tidak dijumpai seseorang yang bernama PASARIBU secara eksplisit. Akibatnya timbul kesulitan memastikan sejak kapan marga itu muncul dan siapa saja yang berhak menggunakan marga itu sebagai identitas keluarga patrilinier. Dan makalah ini merupakan hasil studi yang panjang, yang berusaha menemukan jawaban sekaligus mencoba meluruskan berbagai pendapat yang kurang memiliki informasi dan kajian kuat tentang hal itu. Studi ini menyimpulkan bahwa Sariburaja I adalah Pasaribu pada generasi ke III, dan Saruksuk menempati posisi pada generasi ke-IX pada silsilah Pasaribu – Saruksuk.Kata kunci : Posisi Pasaribu, dan Saruksuk.

I. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Kalau kepada orang yang bermarga Pasaribu di ajukan pertanyaan ini : Siapa orang yang bernama Pasaribu? Boleh jadi pertanyaan itu dianggap aneh, mengada-ada, mencari kerumitan, bahkan mungkin dianggap pertanyaan yang mencurigakan. Jawaban berapi-api penuh semangat yang timbul boleh jadi mungkin begini : Bukankah sudah begitu banyak orang bermarga Pasaribu tersebar di Bumi Nusantara dan bahkan manca negara, yang berprofesi sebagai petani, nelayan, tukang becak, gelandangan, pengusaha, pegawai negeri, pejabat rendah, menengah dan pejabat tinggi? Pasaribu menyebar dimana-mana, karena panggilan tugas maupun karena desakan keadaaan. Tidakkah mereka itu menjadi fakta adanya seseorang bernama Pasaribu pernah hidup, kemudian turunannya mengabadikan nama itu menjadi marga keturunannya seperti halnya marga-marga lain yang menjadikan nama leluhur jadi marga pada umumnya.

Page 2: Punya Putera

Ada semacam pendapat yang mengatakan hanya Habeahan, Bondar dan Gorat saja yang masuk marga Pasaribu. Alasannya, orang bertiga itulah anak kandung Sariburaja III yang mereka sebut Pasaribu. Itulah konstruksi pikir yang dikembangkan. Karena Habeahan, Bondar dan Gorat saja anak kandung Sariburaja III, maka perkumpulan Pasaribu yang dibentuk pada berbagai tempat cenderung mencakup hanya tiga sub unit marga itu saja. Di Jakarta rumus ini dipaksakan dalam bentuk daftar hadir, urusan adat, publikasi lisan, internet maupun cetak. Kalau ada sub unit marga dari pomparan (turunan) Borbor bergabung ke dalam perkumpulan Pasaribu maka rumus yang digunakan terhadap sub unit marga itu bukan rumus uniliner secara patriliner tetapi menggunakan rumus Ikrar Borbor Marsada. ( ?)

Di negeri Tapian Nauli, Poriaha, Negeri Unte Mungkur, Tapanuli Tengah, setiap kali ada acara besar yang membawa nama (1) Siambaton, (2) Narasaon, (3) Sorba Dibanua, di situ, Pasaribu selalu mereka posisikan sebagai hulahula, dan Pasaribu menerima posisi itu dari dulu sampai sekarang tanpa komentar. Tetapi sejak munculnya Konsep Tarombo Borbor Marsada yang disusun oleh Mangaradja Salomo yang mencantumkan putera pertama Datu Dalu bernama Sariburaja III dan didalam tanda kurung ditulis Pasaribu, sebagai berikut, Sariburaja III (Pasaribu), maka sejak saat itu muncul rumus yang baru yakni Pasaribu adalah Sariburaja III dalam sundut (generasi) ke sepuluh (X) menurut silsilah Mangaraja Salomo. (MS PAsaribu) ,puteranya yakni, Habeahan, Bondar dan Gorat merupakan generasi ke satu (I) yang menggunakan Pasaribu sebagai marga sehingga menjadi Habeahan Pasaribu, Bondar Pasaribu dan Gorat pada generasi ke XI. Ini berarti Pasaribu sebagai marga paling cepat ada pada generasi ke XII dengan demikian bukanlah hulahula dari Sianbaton, Narasaon dan Sorba Dibanua seperti yang dilakukan di Tapanuli tangah itu. Demikian, N. Sipahutar, (Ompu Tiar Dolok) dalam makalahnya pada forum Dialog Nasional Saruksuk, 1988.

POKOK MASALAHOrang Batak dikenal teguh terhadap persatuan dan kesatuan keluarga. Sejak mencari jodoh menjadi pasangan hidup selalu ditekankan supaya calon pasangan itu dari kalangan boru ni tulang (anak paman) dengan alasan melanjutkan hubungan keluarga terhadap garis ibu (matrilinier) dalam kerangka Dalihan Na Tolu. Agar tercapailah persatuan dan kesatuan itu orang terus-menerus berbicara tentang posisi dalam silsilah, komposisi darah dalam kaitan perkawinan leluhur sampai yang terkini, horizontal ataupun vertikal, yang diungkapkan dalam praktek jambar (hak). Biasanya timbul beda pendapat karena beda sumber dan beda lubuk. Ada yang dapat di kompromikan yakni yang menyangkut pelaksanaan adat, tetapi menyangkut posisi

Page 3: Punya Putera

dalam silsilah harus sudah pasti dan menggunakan parameter yakni hanya satu silsilah yang sah.

Persatuan dan kesatuan yang menjadi tujuan dari berbagai gagasan yang diwujudkan dalam bentuk upaya tentu saja menjadi kehendak semua orang batak dan akan menjadi kenyataan manakala parameternya sudah ada, satu sislsilah dan diterima oleh keseluruhan anggota komunitas. Tetapi menyangkut komunitas Pasaribu? Orang yang pertama menggunakan Pasaribu sebagai nama, predikat, atau gelar kehormatan, hingga tahun 1987, secara eksplisit hal itu tidak ditemukan dalam silsilah batak yang terbit dalam bentuk buku. Itu berarti bahwa komunitas Pasaribu yang begitu besar dan dihormati banyak marga karena posisi sebagai hulahula atau tulang, memerlukan studi yang mendalam dan melalui studi itulah jawaban tuntas dapat ditemukan, dan itulah yang disajikan dalam makalah ini.

TUJUAN

Siapa orang pertama yang menggunakan nama Pasaribu memang merupakan pertanyaan besar dan memerlukan jawaban. Tidak demi kepentingan teoritis saja tetapi terutama untuk kepentingan praktis di kalangan pomparan dari orang yang bernama Pasaribu itu. Pada generasi berapa marga Pasaribu muncul, siapa-siapa nama boru (saudara perempuan)-nya, dan menikah (muli) kepada siapa, dari marga apa pada generasi itu, dan pada masing-masing generasi berikutnya. Konsep Tarombo Borbor Marsada, yakni sebuah makalah yang dipersiapkan oleh Mangaradja Salomo untuk Kongres di Haunatas (1938) dan diharapkan mampu menjawab pokok masalah, ternyata tidak jadi dibahas, padahal Tarombo dan Marga bagi orang Batak penting untuk mempersatukan. Zaman ini adalah zaman persatuan. Makin dewasa makin bersatu.

KERANGKA BERPIKIR

Berbicara mengenai silsilah (Tarombo), seringkali orang Kristen terobsesi terhadap Silsilah Yesus Kristus karena sebelum kelahiran Yesus Kristus, penderitanNya, kematianNya, dan kebangkitanNya yang di tulis dalam Injil, terlebih dahulu diperkenalkan silsilahNya yang tertulis dalam Mateus I, bahwa Daud adalah marga Yesus Kristus, selanjutnya disebut dalam Mateus 17, sebagai berikut :Jadi seluruhnya ada : empat belas keturunan dari Abraham, sampai Daud, empat belas keturunan Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan Babel sampai Kristus. Dan kalau direnungkan Injil Mateus ini dalam-dalam ternyata peranan silsilah begitu penting sehingga harus didahulukan sebelum segala sesuatu yang lain di lanjutkan. Para

Page 4: Punya Putera

leluhur Batak juga menekankan hal mirip, begini :“Na tiniptip sanggar, bahen huru-huruan”Jolo“Sinungkun marga, asa binoto partuturan”(dahulukan tanya marga, supaya tahu kriteria sapaan)

Marga itu berkait dengan silsilah. Dalam silsilah ada marga-marga, kalau begitu apakah silsilah itu? Silsilah itu adalah turunan. Apakah yang turun atau diturunkan itu? Yang turun atau diturunkan itu ialah darah. Apakah darah itu? Darah itu adalah hidup atau kehidupan. Kehidupan itu adalah darah. Kalau tidak berdarah berarti mati, sekalipun itu rumput. Yang hidup berarti berdarah, dan yang berdarah harus mencari turunannya dan leluhurnya, itulah silsilah (Tarombo). Itulah sebabnya orang Batak merasa berkepentingan memiliki silsilah supaya tahu dari mana ia datang dan kemana harus pergi. Kalau tidak tahu datang dari mana, pasti tidak tahu harus pergi kemana. Orang Batak harus tahu ayah kandung (parsinuan) dan leluhur yang diciptakan Allah (Debata) dan kita kembali kepada Allah yang hidup dan sumber kehidupan kita, karena puncak silsilah manusia adalah Adam orang pertama yang diciptakan Allah, dan manusia harus kembali kepada Allah, Sang Pencipta.

METODOLOGIStudi ini menggunakan tiga (3) macam metode, yakni, metode observasi partisipatif, metode kualitatif dan metode kajian kepustakaan. Selaku orang Batak saya memang berpartisipasi di dalam berbagai kegiatan dalam kultur masyarakat Batak yang sekaligus menjadi objek pengamatan saya. Tetapi sebagai pengamat tetap harus menjaga netralitas dan objektifitas dalam mengumpulkan informasi.

Metode observasi, ini juga menggunakan teknik pengumpulan data lain seperti wawancara atau mengkaji data sekunder dari berbagai dokumen yang relevan. Penggunaan metode wawancara ini terutama terhadap responden, yang tergolong “key informant”. Data mengenai Pasaribu sudah ada dalam benak pikiran resonden. Yang di gali adalah persepsi responden itu terhadap data yang ada. Persepsi responden itu tentu saja mengandung subjektifitas karena menyangkut martabat dan harga diri responden, dan karena itu, persepsi itu perlu diinterpretasikan.

Tidak semua kualitas data ini dapat diandalkan. Silsilah yang menjadi pegangan dan pedoman komunitas marga seharusnya dapat diandalkan oleh anggota komunitas marga itu, seandainya, menyetujui hanya satu saja silsilah yang berlaku dalam komunitas itu. Tapi ternyata silsilah yang anggota pegang

Page 5: Punya Putera

masing-masing sering berbeda dan mustahil menentukan mana silsilah yang paling otentik. Yang diusahakan dalam studi yang menggunakan metode kepustakaan ini adalah melakukan daya analisis kritis yang tinggi, meng “cross-check” data dengan dokumen lain sampai akhirnya diperoleh data yang paling meyakinkan dan mendekati kebenaran logis.

II. PASARIBU DAN SARUKSUK DALAM BERBAGAI SILSILAH

1. BUKU “ TAROMBO PASARIBU BONDAR “(TPB)

Buku ini disusun oleh AH. Pasaribu, Penerbit PT. Turang, Medan, 1980. Tidak menjelaskan mengapa buku ini diberi label : “Khusus untuk Borbor Pasaribu dohot boruna”. Memang ada Borbor Marsada (Borbor Bersatu) yakni suatu perjanjian (padan) dari Limbong, Sagala dan Malau, pada saat Borbor masih dalam kandungan, yang isinya, mereka harus bersatu bersama Borbor melawan (maralohon) turunan (pomparan) dari Ilontungon (hal.55, bandingkan dengan TBM hal.50 “Limbong, Sagala, dan Malau juga Borbor, karena merekapun kehujanan/Borbor). Sedangkan Borbor Pasaribu, dengan menggunakan predikat Pasaribu maksudnya mungkin sebagai marga Raja Borbor. Buku Tarombo Pasaribu-Bondar diterbitkan dan diedarkan khusus untuk Pasaribu dari kalangan Borbor keseluruhan, bukan cuma untuk Habeahan, Bondar, dan Gorat, saja.

Karena studi ini dimaksudkan untuk mencari, menelusuri serta menemukan informasi Pasaribu dalam buku ataupun dalam silsilah untuk memastikan sejak generasi keberapa marga Pasaribu itu ada dan siapa orang pertama pemilik Pasaribu itu sebagai nama diri. Dan didalam buku Tarombo Pasaribu Bondar secara hurufiah ditulis begini.

“Anggo goar ni Gr. Tateabulan, ndang pola dimargahon pomparanna, goar ni anakna Sariburaja do parjolo dimargahon pomparanna gabe marga Pasaribu; ima humeba-heba dohot marga Sumba”.Siboru Sanggul Haomasan boru ni Sariburaja namuli tu Tn Sorbadibanua, br Pasaribu do margana (hal 55).

(Tentang nama Guru Tateabulan, belum dijadikan marga oleh turunannya, nama puteranya Sariburaja (pertama) yang dijadikan marga turunannya menjadi marga Pasaribu, itulah yang merambat bersama marga Sumba).

Karena dalam silsilah Pasaribu Bondar yang disusun AH. Pasaribu ini menempatkan Sariburaja pada generasi ke-III, ini artinya bahwa Pasaribu yang pertama muncul segaris bersama Raja Uti, Limbong, Sagala, Malau, dan Sori Mangaraja dari lingkungan Sumba. Masih dalam halaman yang sama pada generasi ke-V,

Page 6: Punya Putera

yakni Raja Hatorusan II bergelar Balahasunu, itu tetap menggunakan Pasaribu sebagai marga komunitasnya. Selanjutnya Raja Doli yang bergelar Datu Tala Dibabana, di Sianjur Mulamula, tetap setia membawa ‘bendera’ marga Pasaribu dalam generasi ke-VI. Tetapi putera-puteranya karena sudah banyak (matorop mabue) kemudian nama-nama puteranya itu dinobatkan (di paampe) jadi marga yang baru sehingga, antara lain, Sipahutar menjadi marga Sipahutar. Sekalipun demikian Sipahutar tetap konsisten sebagai Pasaribu karena boruna, Matasopiak, yang menikah (muli) ke Sitorus Pane di Sitorus Parsambilan tetap memakai boru Pasaribu. Hingga saat ini marga Sitorus martulang (berpaman) kepada marga Pasaribu sebagai bukti Sipahutar memang Pasaribu. Semua putera Datu Tala Dibabana menggunakan marga Pasaribu. Baru setelah bercucu berbuyut di tempat yang baru masing-masing menggunakan sub unit Sipahutar menjadi marga Sipahutar, Raja Hatioran menjadi marga Harahap, turunan dari Raja Tanjung menjadi marga Tanjung, dan turunan dari Rambe Raja menjadi marga Rambe. Identik dengan ini, turunan dari Habeahan menjadi marga Habeahan, turunan dari marga Bondar menjadi marga Bondar dan turunan dari Gorat menjadi marga Gorat, serta turunan dari Raja Saruksuk menjadi marga Saruksuk.

Dan setelah melakukan pengkajian secara lebih mendalam, AH. Pasaribu dalam bukunya Tarombo Pasaribu-Raja Bondar kemudian dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pertama : Saribu Raja I = Pasaribu;

Kedua : Yang masuk marga Pasaribu adalah, semua turunan Sariburaja I, yakni semua sub unit dari Borbor. Limbong, Sagala dan Malau (tentu) dapat masuk dalam komunitas marga Pasaribu karena diikat oleh Nai Marata.Ketiga : Dalam silsilah ini Saruksuk menempati posisi generasi VIII jadi, Pasaribu Saruksuk = Pasaribu, segaris dengan Pompang Balasaribu, Matondang, Tarihoran, Parubahaji, dan Parapat.

2. “TAROMBO BORBOR MARSADA “ (TBM)

Tarombo ini ditulis oleh Mangaraja Salomo Pasaribu gelar Patoean Sarangna Diborngin, Gepensioneerd Asistant Demang. Merupakan makalah yang dipersiapkan untuk pertemuan (kongres) (1938) di Haoenatas-Balige, Toba. Makalah ini begitu tebal dan mencakup secara luas marga-marga turunan Sariburaja pertama. Berbagai peristiwa legendaris disajikan di dalamnya sehingga menarik untuk di simak. Sayang, silsilah (TBM), ini tidak dibahas di dalam kongres itu, karena waktu yang sempit dan membicarakan terlalu banyak hal yang seharusnya tidak

Page 7: Punya Putera

prioritas. Padahal undangan yang menghadiri Kongres itu hampir merepresentasikan Borbor Marsada secara lengkap dan kompeten. Sekalipun tidak dibahas dan tidak disahkan (hal.294) tarombo TBM ini telah menjadi pegangan bagi sebagian Pasaribu yang berasal dari Haoenatas yang disebut sebagai Bona Pasogit dan mereka terima sebagai kebenaran tradisi, “sudah given” tidak perlu pembuktian, dari dulu, memang begitu karena itu tidak perlu diperdebatkan, katanya.

Tetapi, sekalipun silsilah TBM ini masih merupakan makalah tetapi tetaplah menarik untuk bahan diskusi, sebab yang menjadi fokus perhatian studi ini adalah Pasaribu Dalam Silsilah. Dan berkait dengan Pasaribu, Mangaraja Salomo dalam TBM pada halaman 208 mencatat begini :

“Ditopot Si Bagot ni Pohan, anak ni Toean Sorba Dibanoea, i ma Nai Antingmalela boru ni Sariburaja II hira na manoendoeti, ai Toean Sori Mangaraja ompoe ni Si Bagot ni Pohan i pe hela ni Pasaribu do (hela ni Saribu Raja I na di Parik Saboengan Siandjoer Moelana).” Artinya, Si Bagot ni Pohan yakni Putera Sorbadibanua menikah dengan Nai Anting Malela putri Sariburaja II mengikuti (manunduti) Tuan Sori Mangaraja kakeknya Si Bagot Ni Pohan, juga mantu (hela)-nya Pasaribu (menantu Saribu Raja I dari Parik Sabungan / Sianjur Mulana)”.

Masih dalam buku TBM itu, pada halaman 61, Pasaribu sudah ada pada generasi ke-IV segaris dengan Raja Borbor dikenal dengan nama “Pasaribu Parsulambak Golang-golang” yang lahir dari isteri ke-IV Saribu Raja I (Pasaribu). Mengenai Sariburaja dengan isterinya Parsulambak Golang-golang diceritakan begini : Pepatah mengatakan. “Bangun-bangun nabara tobu ura-uraon, molo dung dibaen hata sitongka do pauba-ubaon”, singkatnya, kalau sudah diucapkan pantang berubah-ubah, yakni suatu janji antara Saribu Raja I dengan isterinya untuk tidak cerai. Walaupun tidak usah berkumpul. Suatu saat Saribu Raja I mencari, kemudian menemukan Sisulambak Golang-golang pada kayu tua (najangguton). Kepada Saribu Raja dia mengatakan, saya tidak mengatakan kau ingkar janji, kau punya banyak turunan (gabe) dan selamat (horas). Mengenai yang kulahirkan itu saat engkau tinggal masih dalam kandungan, anak yang pertama laki-laki dan anak yang kedua perempuan. Wajahnya dan adatnya tidak mirip manusia tetapi sama dengan kami. Karena itu pada turunan kita harus dipesankan supaya tidak saling bermusuhan, dengan syarat begini : supaya manusia putera Saribu Raja menggambari wajah mereka dengan arang bila mana memasuki hutan lebat supaya tidak diganggu turunan (pinompar) Parsulambak Golang-golang. “Karena anakku yang dua ini bukan manusia juga bukan hantu di hutan rimba yang rimbun ini”. Konon itulah sebabnya orang menyebut anak Parsulambak Golang-golang yang tetap sebagai

Page 8: Punya Putera

mitos sampai saat ini.

“Pasaribu” muncul lagi dalam halaman 167 yakni pada generasi ke-VI, bernama Datu Tala Dibabana (Raja Doli). Mereka enam bersaudara putera Balasahunu (Hatorusan II). Putera yang ke-VI bernama Sindar Mataniari disebut juga dengan nama julukan Datu Mombang Napitu. Disini muncul istilah “Pasaribu” dalam suatu acara seremonial saat hendak memulai mengukir rumah Datu Mombang Napitu. Ipar (Lae) Mombang Napitu bernama Pangantik (Panggorga) diminta mengukir (manggorga) rumah Datu Mombang Napitu. Saat upacara seremonial makan itu Pangantik Panggorga memulai pembicaraan (marhata) pada Datu Mombang Napitu, begini : “Ale lae Pasaribu, dimulana mangan on ahu di hutam on, tangkas ma ho marsuhari,…”. Yang perlu di catat dalam kutipan ini adalah, bahwa Datu Mombang Napitu adalah Pasaribu, sudah menjadi marga dari Datu Mombang Napitu (tentu juga marga dari lima abangnya bersaudara: Datu Tala Dibabana, Rimbang Saudara, Datu Altong dan Simargolang).

Pada halaman 206, Mangaraja Salomo mencatat suatu peristiwa yang di kenal dengan peristiwa “Pasaribu nieak ni poring” pada generasi ke-VII yakni generasinya Datu Rimbang Soaloon (Sariburaja II). Peristiwa ini mengenai diaspora Pasaribu dari Silindung ke Barus melalui suatu diplomasi tipuan dari Guru Mangaloksa. Konon, Guru Mangaloksa berlari pontang-panting dengan nafas terengah-engah datang melapor ke Pasaribu selaku penguasa kampung Huta Barat yakni kampung mertua Guru Mangaloksa, katanya, ”Kampung Huta Barat juga sudah terkepung dan semua penduduk sudah pindah meninggalkan kampung mereka. Pasaribu juga supaya pindah ke tempat lain menyelamatkan diri dari kepungan musuh.” Katanya itulah alasan eksodus itu, dan dalam perjalanan yang terburu-buru serta ketakutan, ada rombongan yang menginjak poring yakni sejenis talas mengeluarkan bunyi. Bunyi poring yang terinjak ini menambah ketakutan rombongan sehingga terpaksa berjalan lebih cepat seperti dikejar sesuatu. Perjalanan rombongan Pasaribu yang seakan dikejar sesuatu inilah yang dikenal dengan julukan “Pasaribu nieak ni poring”. Menurut MS. Pasaribu yang menulis peristiwa ini dalam TBM, Pasaribu yang berdomisili di Silindung pada waktu itu adalah Pasaribu Bondar yang ditipu Guru Mangaloksa supaya meninggalkan Silindung. Tetapi dalam konteks (Pasaribu Bondar) ini, MS. Pasaribu telah melakukan kesalahan. Karena Guru Mangaloksa hidup pada generasi ke-VII sedangkan Bondar lahir pada generasi ke-XI, menurut silsilah TBM. Dan kalau Pasaribu Bondar-lah waktu itu yang berdomisili di Silindung itu artinya Pasaribu Bondar sudah merupakan komunitas. Pasaribu Bondar sebagai komunitas diperkirakan ada paling cepat pada Generasi ke-XIV yakni Bondar Pasaribu dengan sejumlah buyut. Tidak masuk akal Guru Mangaloksa yang hidup

Page 9: Punya Putera

dalam generasi ke-VII mengusir Pasaribu Bondar pada generasi ke-XIV dari Silindung dengan julukan “Pasaribu nieak ni Poring”. Karena Guru Mangaloksa (generasi ke-VII) yang mengusir Pasaribu, tentulah yang diusir itu Pasaribu dari generasi ke-VII juga, dan yang diusir itu bukan Bondar karena Raja Bondar saat itu belum lahir.

Kesimpulan :Pertama : Sariburaja I = PasaribuKedua : Saruksuk berada pada posisi generasi ke-V, jadi Pasaribu Saruksuk = Pasaribu, segaris dengan Balasahunu (Hatorusan II), Damanik,Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Torihoran, Gurning, Rambe