puisi makrab

22
PUISI UNTUK AYAH Karya : Pramoedya Ananta Toer Tidak, Bapak, aku tak akan kembali ke kampung. Aku mau pergi yang jauh (Gadis Pantai. hal. 269) Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah Pulang ke teduh matamu Berenang di kolam yang kau beri nama rindu Aku, ingin kembali Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman Memetik tomat di belakang rumah nenek. Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku, Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi

Upload: suprex-mu-anto

Post on 13-Jul-2016

256 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

pUISI

TRANSCRIPT

Page 1: Puisi Makrab

PUISI UNTUK AYAH

Karya : Pramoedya Ananta Toer

Tidak, Bapak, aku tak akan kembali ke kampung.

Aku mau pergi yang jauh (Gadis Pantai. hal. 269)

Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah

Pulang ke teduh matamu

Berenang di kolam yang kau beri nama rindu

Aku, ingin kembali

Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman

Memetik tomat di belakang rumah nenek.

Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,

Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur

Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi

Aku ingin kembali ke rumah, Ayah

Tapi nasib memanggilku

Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi

Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata

Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya

Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah

Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada

Maka aku menungganginya

Maka aku menungganginya

Menyusuri hutan-hutan jati

Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya

Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa

Page 2: Puisi Makrab

Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,

Mencipta banjir dari genangan air mata

Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir

Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun

pagi

Hujan ingin bercerai dengan banjir

Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu

Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya

Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan

setia

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk.

Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga-abadi. Di

depan sana ufuk yang itu juga-abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat

menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu

BUDAK

 

mungkin pagi itu

engkau bangun tidur

untuk yang penghabisan

sebagai manusia

 

pada pagi berikutnya

Page 3: Puisi Makrab

pada pagi selanjutnya

engkau berubah pendulum

sekadar budak

di sebuah negeri jauh

dari jangkau kenang

kampung halaman

 

koran-koran lalu menyebut

dirimu "Sumiati"

tkw tergores rajah siksa

seorang majikan

di negeri padang pasir

hingga kemudian

sungai-sungai darah

terhampar di

sekujur tubuhmu

atas nama relasi

budak-majikan

dan engkau lantas

terpilin perih

samudera derita

tiada tara.

hingga kemudian

sebuah gunting

memotong-motong bibirmu

dan lalu pilu kemanusiaan

seantero nusantara

menggemakan kidung

airmata

untuk dirimu yang

Page 4: Puisi Makrab

sungguh nestapa

 

pada samudera

penderitaan itu

setiap ombak

menghempas pantai

serupa cambuk

sangatkan perih

pada tubuhmu yang

meringkih perih rintih

 

oh Sumiati

engkau berdaulat meraih

mimpi kemakmuran.

tapi negara dan

penyalur tenaga kerja

begitu bengis menyulap

dirimu

sekadar komoditas ekspor

untuk setumpuk devisa.

 

kini,

dalam bisul nanah aniaya

berdoalah engkau

Sumiati

agar negerimu ini

segera khatam

menuju kalimat akhir

bab penutup

kitab kuasa

Page 5: Puisi Makrab

angkara murka

 

berdoalah

Sumiati

agar negerimu

tak mengejawantah

sebagai bumi berjejak

kaum budak

berpuak-puak budak

 

berdoalah engkau.

berdoalah....

 

2010

 

(7)

Puisi Karya

Anwari WMK

Surat Pramoedya Ananta Toer kepada Goenawan Mohamad

Page 6: Puisi Makrab

saya bukan nelson mandela

saya tidak memerlukan basa-basi

gampang amat gus dur minta maaf

dan mengajak rekonsiliasi

dia bicara atas nama siapa?

NU atau Presiden?

kalau NU, kenapa dia bicara sebagai presiden?

kalau presiden, kenapa DPR dan MPR dilewatkan?

biarkan DPR dan MPR yang bicara

tak usah presiden

yang saya inginkan adalah tegaknya hukum

dan keadilan di Indonesia

penderitaan kami adalah urusan negara

kenapa DPR dan MPR diam saja?

saya tidak mudah memaafkan orang

karena sudah terlalu pahit menjadi orang Indonesia

Page 7: Puisi Makrab

basa-basi baik saja

tapi hanya basa-basi

selanjutnya mau apa?

maukah negara menggantikan kerugian

orang-orang seperti saya?

minta maaf saja tidak cukup

dirikan dan tegakkan hukum

semuanya mesti lewat hukum

harus jadi keputusan DPR dan MPR

tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf

ketika saya dibebaskan dari Pulau Buru

saya menerima surat keterangan

bahwa saya tidak terlibat G30S/PKI

namun setelah itu tidak ada tindakan apa-apa

saya sudah kehilangan kepercayaan

saya tidak percaya gus dur

saya tidak percaya goenawan mohamad

kalian ikut mendirikan rezim orde baru

saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia

tak terkecuali intelektualnya

mereka selama ini memilih diam

dan menerima fasisme

mereka ikut bertanggung jawab atas penderitaan

yang saya alami

bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan orba

Page 8: Puisi Makrab

dalam hitungan hari, minggu, atau bulan

mungkin saya akan mati

karena penyempitan pembuluh darah jantung

basa-basi tak lagi menghibur saya

TANGIS KEKUASAAN

 

negeri ini

penuh sesak 235 juta jiwa

awan gamang bergelayut

di langit nusantara tanpa batas

lalu para pengamen

di bus-bus kota,

bernyani tentang,

yang kaya makin kaya

yang miskin tambah miskin

 

hari ini seperti kemarin

tak ada lembar baru ditorehkan

sebagai tanda

jiwa kekuasaan mendewasa

hari ini seperti kemarin

Page 9: Puisi Makrab

jiwa kekuasaan masih merapuh

serupa bocah meleler ingus

mengeja gagap alfabeta

menghapal susah arah mata angin

 

di atas gunung kekuasaan

sang pemimpin minta dielukan,

namun hari ini masih seperti kemarin

tak ada lembar baru musti ditorehkan

 

tragedi mengiris luka bangsa

sang pemimpin serupa anak panggung

menangis di atas podium

mengetalasekan tumpah airmata

dan kita pun lantas tersenyum getir

sebab paham

semua itu hanya airmata kekuasaan

tanpa hati, tanpa nurani

 

seorang office boy berucap:

“tiba-tiba perut saya mual

serasa hendak muntah di wajah

Page 10: Puisi Makrab

tuan pemimpin”

 

Bandara Soekarno-Hatta, 22 Oktober 2010

 

(9)

Puisi Karya

Anwari WMK

KUIL DEMOKRASI

 

kami bersusah payah memberi kalian kursi

agar kalian duduk nyaman di kuil demokrasi

sebab, ada rindu beranak-pinak

agar semesta sukma kami yang rakyat

leluasa berenang samudera kemakmuran

kami lalu titip aspirasi di sudut-sudut batin kalian

melalui kerja politik tanpa redup

dan kalian musti mampu menangisi

segenap luka perih kami

bukankah, kami terlanjur kalian sebut “rakyat”?

 

tapi kini, mengapa kalian berubah

bocah ingusan

Page 11: Puisi Makrab

kalian minta kuil demokrasi bersulap wujud

bangunan tigapuluh enam lantai

dilengkapi kolam renang, dilengkapi pusat kebugaran

dilengkapi spa, dilengkapi apotik, dilengkapi minimarket

ada apa kalian ini?

kalian juga minta

ruang kerja 120 meter persegi untuk setiap orang

sinting macam apa kalian ini?

 

tahukah kalian yang lena mendengkur

saat sidang soal rakyat

duit satu koma enam trilun rupiah mengubah

kuil demokrasi

ekuivalen biaya kesehatan duapuluh dua juta

kaum miskin seantero negeri

apa kalian paham

bermimpi saja mengubah kuil demokrasi

sudah lebih dari cukup bagi kalian

tamat sebagai manusia

kalian lantas bermetamorfosis

srigala atau buaya atau burung hering

memakan bangkai

Page 12: Puisi Makrab

 

semestinya ……..

di comberan kalian hakiki

bukan di kuil demokrasi

 

Jakarta, 1 September 2010

 

(13)

Puisi Karya

Anwari WMK

 

REMBULAN BERLUMUR DARAH

 

para gerombolan. gigih memanah rembulan,

mendeklarasikan diri sebagai

wakil utusan halilintar

 

seorang yang

ditahbiskan pemimpin,

garang berseru kepadaku

: masuk dalam barisan, panah rembulan,

berperang tanpa angan.

Page 13: Puisi Makrab

 

tegas jawabku

: aku hanya penguasa pena, 

cuma berkuasa atas pena.

 

sang pemimpin menyalak,

marah serupa nyala api

: anjing kurap. maspuslah kau

bersama pena.

: ukir kepalsuan dirimu bersama pena.

 

dengan kumandang penuh komando

ketua gerombolan lain berucap

: hayo, panah rembulan, panah rembulan

 

kini, kuterpaku.

dengan pena saksikan

rembulan terkoyak

ribuan panah.

rembulan mendesah,

darah tertumpah

gerombolan bersorak,

Page 14: Puisi Makrab

rembulan berlumur darah

 

perang telah khatam. akhirnya.

dan rembulan tersudutkan takdir

semata sebagai pecundang

 

dan di perpustakaan pribadiku

darah terciprat di halaman-halaman buku

darah rembulan.

 

buku lantas terkapar

gagap memberi jawab

 

hanya pedagang keliling yang mewarta

: ribuan balita kurang gizi

: anak-anak jalanan bertelanjang kaki

melawan matahari

: perempuan miskin tewas

saat melahirkan bayi

: kaum tuna tanah berubah nasib

jadi cacing

: dan gelandangan menyaru

Page 15: Puisi Makrab

lalat-lalat menjijikkan di

keramaian kota

 

kata si pedagang keliling

: itu karena rembulan berlumur darah

ya …….

karena rembulan berlumur darah.

 

Ciganjur, 5 Juni 2010