Download - Puisi Makrab
PUISI UNTUK AYAH
Karya : Pramoedya Ananta Toer
Tidak, Bapak, aku tak akan kembali ke kampung.
Aku mau pergi yang jauh (Gadis Pantai. hal. 269)
Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu
Aku, ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
Memetik tomat di belakang rumah nenek.
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,
Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur
Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi
Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata
Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya
Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah
Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada
Maka aku menungganginya
Maka aku menungganginya
Menyusuri hutan-hutan jati
Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya
Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,
Mencipta banjir dari genangan air mata
Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun
pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu
Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan
setia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk.
Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga-abadi. Di
depan sana ufuk yang itu juga-abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat
menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu
BUDAK
mungkin pagi itu
engkau bangun tidur
untuk yang penghabisan
sebagai manusia
pada pagi berikutnya
pada pagi selanjutnya
engkau berubah pendulum
sekadar budak
di sebuah negeri jauh
dari jangkau kenang
kampung halaman
koran-koran lalu menyebut
dirimu "Sumiati"
tkw tergores rajah siksa
seorang majikan
di negeri padang pasir
hingga kemudian
sungai-sungai darah
terhampar di
sekujur tubuhmu
atas nama relasi
budak-majikan
dan engkau lantas
terpilin perih
samudera derita
tiada tara.
hingga kemudian
sebuah gunting
memotong-motong bibirmu
dan lalu pilu kemanusiaan
seantero nusantara
menggemakan kidung
airmata
untuk dirimu yang
sungguh nestapa
pada samudera
penderitaan itu
setiap ombak
menghempas pantai
serupa cambuk
sangatkan perih
pada tubuhmu yang
meringkih perih rintih
oh Sumiati
engkau berdaulat meraih
mimpi kemakmuran.
tapi negara dan
penyalur tenaga kerja
begitu bengis menyulap
dirimu
sekadar komoditas ekspor
untuk setumpuk devisa.
kini,
dalam bisul nanah aniaya
berdoalah engkau
Sumiati
agar negerimu ini
segera khatam
menuju kalimat akhir
bab penutup
kitab kuasa
angkara murka
berdoalah
Sumiati
agar negerimu
tak mengejawantah
sebagai bumi berjejak
kaum budak
berpuak-puak budak
berdoalah engkau.
berdoalah....
2010
(7)
Puisi Karya
Anwari WMK
Surat Pramoedya Ananta Toer kepada Goenawan Mohamad
saya bukan nelson mandela
saya tidak memerlukan basa-basi
gampang amat gus dur minta maaf
dan mengajak rekonsiliasi
dia bicara atas nama siapa?
NU atau Presiden?
kalau NU, kenapa dia bicara sebagai presiden?
kalau presiden, kenapa DPR dan MPR dilewatkan?
biarkan DPR dan MPR yang bicara
tak usah presiden
yang saya inginkan adalah tegaknya hukum
dan keadilan di Indonesia
penderitaan kami adalah urusan negara
kenapa DPR dan MPR diam saja?
saya tidak mudah memaafkan orang
karena sudah terlalu pahit menjadi orang Indonesia
basa-basi baik saja
tapi hanya basa-basi
selanjutnya mau apa?
maukah negara menggantikan kerugian
orang-orang seperti saya?
minta maaf saja tidak cukup
dirikan dan tegakkan hukum
semuanya mesti lewat hukum
harus jadi keputusan DPR dan MPR
tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf
ketika saya dibebaskan dari Pulau Buru
saya menerima surat keterangan
bahwa saya tidak terlibat G30S/PKI
namun setelah itu tidak ada tindakan apa-apa
saya sudah kehilangan kepercayaan
saya tidak percaya gus dur
saya tidak percaya goenawan mohamad
kalian ikut mendirikan rezim orde baru
saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia
tak terkecuali intelektualnya
mereka selama ini memilih diam
dan menerima fasisme
mereka ikut bertanggung jawab atas penderitaan
yang saya alami
bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan orba
dalam hitungan hari, minggu, atau bulan
mungkin saya akan mati
karena penyempitan pembuluh darah jantung
basa-basi tak lagi menghibur saya
TANGIS KEKUASAAN
negeri ini
penuh sesak 235 juta jiwa
awan gamang bergelayut
di langit nusantara tanpa batas
lalu para pengamen
di bus-bus kota,
bernyani tentang,
yang kaya makin kaya
yang miskin tambah miskin
hari ini seperti kemarin
tak ada lembar baru ditorehkan
sebagai tanda
jiwa kekuasaan mendewasa
hari ini seperti kemarin
jiwa kekuasaan masih merapuh
serupa bocah meleler ingus
mengeja gagap alfabeta
menghapal susah arah mata angin
di atas gunung kekuasaan
sang pemimpin minta dielukan,
namun hari ini masih seperti kemarin
tak ada lembar baru musti ditorehkan
tragedi mengiris luka bangsa
sang pemimpin serupa anak panggung
menangis di atas podium
mengetalasekan tumpah airmata
dan kita pun lantas tersenyum getir
sebab paham
semua itu hanya airmata kekuasaan
tanpa hati, tanpa nurani
seorang office boy berucap:
“tiba-tiba perut saya mual
serasa hendak muntah di wajah
tuan pemimpin”
Bandara Soekarno-Hatta, 22 Oktober 2010
(9)
Puisi Karya
Anwari WMK
KUIL DEMOKRASI
kami bersusah payah memberi kalian kursi
agar kalian duduk nyaman di kuil demokrasi
sebab, ada rindu beranak-pinak
agar semesta sukma kami yang rakyat
leluasa berenang samudera kemakmuran
kami lalu titip aspirasi di sudut-sudut batin kalian
melalui kerja politik tanpa redup
dan kalian musti mampu menangisi
segenap luka perih kami
bukankah, kami terlanjur kalian sebut “rakyat”?
tapi kini, mengapa kalian berubah
bocah ingusan
kalian minta kuil demokrasi bersulap wujud
bangunan tigapuluh enam lantai
dilengkapi kolam renang, dilengkapi pusat kebugaran
dilengkapi spa, dilengkapi apotik, dilengkapi minimarket
ada apa kalian ini?
kalian juga minta
ruang kerja 120 meter persegi untuk setiap orang
sinting macam apa kalian ini?
tahukah kalian yang lena mendengkur
saat sidang soal rakyat
duit satu koma enam trilun rupiah mengubah
kuil demokrasi
ekuivalen biaya kesehatan duapuluh dua juta
kaum miskin seantero negeri
apa kalian paham
bermimpi saja mengubah kuil demokrasi
sudah lebih dari cukup bagi kalian
tamat sebagai manusia
kalian lantas bermetamorfosis
srigala atau buaya atau burung hering
memakan bangkai
semestinya ……..
di comberan kalian hakiki
bukan di kuil demokrasi
Jakarta, 1 September 2010
(13)
Puisi Karya
Anwari WMK
REMBULAN BERLUMUR DARAH
para gerombolan. gigih memanah rembulan,
mendeklarasikan diri sebagai
wakil utusan halilintar
seorang yang
ditahbiskan pemimpin,
garang berseru kepadaku
: masuk dalam barisan, panah rembulan,
berperang tanpa angan.
tegas jawabku
: aku hanya penguasa pena,
cuma berkuasa atas pena.
sang pemimpin menyalak,
marah serupa nyala api
: anjing kurap. maspuslah kau
bersama pena.
: ukir kepalsuan dirimu bersama pena.
dengan kumandang penuh komando
ketua gerombolan lain berucap
: hayo, panah rembulan, panah rembulan
kini, kuterpaku.
dengan pena saksikan
rembulan terkoyak
ribuan panah.
rembulan mendesah,
darah tertumpah
gerombolan bersorak,
rembulan berlumur darah
perang telah khatam. akhirnya.
dan rembulan tersudutkan takdir
semata sebagai pecundang
dan di perpustakaan pribadiku
darah terciprat di halaman-halaman buku
darah rembulan.
buku lantas terkapar
gagap memberi jawab
hanya pedagang keliling yang mewarta
: ribuan balita kurang gizi
: anak-anak jalanan bertelanjang kaki
melawan matahari
: perempuan miskin tewas
saat melahirkan bayi
: kaum tuna tanah berubah nasib
jadi cacing
: dan gelandangan menyaru
lalat-lalat menjijikkan di
keramaian kota
kata si pedagang keliling
: itu karena rembulan berlumur darah
ya …….
karena rembulan berlumur darah.
Ciganjur, 5 Juni 2010