psikodermatologi

Upload: rizkyumar

Post on 11-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Referat ilmu penyakit kulit & kelamin tentang psikodermatologi

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUANApa itu psikodermatologi? Disebut juga psikokutaneus, adalah cabang ilmu subspesialisasi yang masih kurang diapresiasi karena relatif masih baru yakni kurang lebih baru sepuluh tahun namun hal yang perlu diperhatikan ada pada interaksi antara dermatologi dan psikiatri. Lebih sederhananya, hal tersebut adalah interaksi antara pikiran dan kulit. Lebih dari sepertiga pasien yang berobat dengan gangguan kulit memiliki masalah kejiwaan yang mendasari keadaan kulit mereka. Meskipun tingginya prevalensi masalah psikodermatologi ini dalam praktek sehari-hari, namun hal tersebut masih belum well-recognized atau dipahami betul oleh kebanyakan dokter. Menurut survei dari para dokter di Washington State menunjukkan bahwa hanya 18 % dari dermatologis dan 21 % dari psikiater melaporkan pemahaman yang jelas dari psikodermatologi. Selain itu, hanya 42 % dermatologis dan 22 % dari psikiater yang menanggapi survei tersebut, dilaporkan "sangat nyaman" dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan psikokutaneous. Dengan demikian, tampak ada kurangnya pemahaman dan keyakinan antara dermatologis dan psikiater dalam membahas, mendiagnosis, dan mengobati pasien psikodermatologi. Ketika banyak dermatologis mendengar kata psikodermatologi, pikiran pertama yang mungkin muncul adalah pasien aneh yang datang ke klinik dengan mengeluh kutu merayap keluar dari kulitnya. Meskipun hal tersebut adalah memang bagian dari psikodermatologi, istilah psikodermatologi sendiri sebenarnya mencakup spektrum yang luas, contohnya dari mulai stres yang dapat memperburuk penyakit eksim. Karena spektrum dan bahasan dari istilah ini jauh dan lebar, timbul suatu dorongan untuk membuat penggolongan untuk istilah psikodermatologi. Kita dapat mengkategorikan gangguan psiko-kutaneous ke dalam kategori yang berbeda terhdap kondisi psikodermatologi dan gangguan kejiwaan yang mendasari yang dapat memperburuk kondisi kulit.BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kategorisasi Psikodermatologi

Psikodermatologi membahas interaksi antara pikiran dan kulit. Psikiatri lebih fokus pada "internal" penyakit yang tak kasat mata dan dermatologi difokuskan pada penyakit yang kasat mata. Menghubungkan 2 disiplin ilmu tersebut adalah interaksi yang kompleks antara neuroendokrin dan sistem kekebalan tubuh yang telah digambarkan sebagai NICS (Neuro-immuno-cutaneous system). Interaksi antara kulit sistem saraf dan kekebalan tubuh telah dijelaskan oleh pelepasan mediator dari NICS. NICS juga dilaporkan turut berperan buruk dalam perjalanan beberapa penyakit inflamasi kulit dan kondisi kejiwaan. Pada lebih dari sepertiga pasien dermatologi, manajemen yang efektif dari kulit kondisi melibatkan pertimbangan faktor-faktor psikologis yang terkait. Dermatologi telah menekankan perlunya konsultasi kejiwaan pada umumnya, dan faktor psikologis dapat menjadi perhatian khusus dalam kondisi dermatologi keras kronis seperti eksim, prurigo, dan psoriasis.

Di antara banyak kondisi, psikodermatologi digolongkan menjadi 4 subkategori: gangguan psiko-fisiologis, gangguan kejiwaan primer, gangguan kejiwaan sekunder, dan gangguan sensoris kulit. Masing-masing dari macam gangguan ini nantinya akan dibahas secara individu. Antara subkategori penyakit psikodermatologi satu dengan lainnya tidak saling eksklusif. Misalnya, jerawat dapat dipicu oleh stress dan kondisi psiko-fisiologis. Jerawat juga dapat menyebabkan kecemasan sosial dan depresi karena cacat pada kulit penderitanya, yang akan dikategorikan sebagai kondisi kejiwaan sekunder.

Gambar 1. Diagram Venn yang menunjukkan overlap antara dermatologi dan psikiatri.Gangguan psiko-fisiologisIni adalah gangguan kulit murni yang tampaknya dipeburuk oleh stres dan/atau faktor emosional. Contoh yang paling umum adalah psoriasis, eksim, dan hiperhidrosis. Griesemer dkk telah melakukan survei terhadap 4.576 subjek dan bertanya apakah pemicu emosional memperburuk keadaan kulit mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemicu emosional bervariasi dengan kondisi kulit yang berbeda, mulai dari 0% untuk nevus dan 100% untuk hiperhidrosis.

Gangguan Jiwa Primer

Kondisi dimana gangguan kejiwaan menyebabkan tanda-tanda self-induce dan gejala pada kulit. Tidak ada lesi kulit primer. Kategori ini adalah gangguan psikodermatologi paling khas yang mendapat perhatian dermatologis. Beberapa contoh dari gangguan kejiwaan utama termasuk trikotilomania, waham parasitosis, dan neurotic excoriations. Gangguan Jiwa Sekunder

Gangguan ini adalah kondisi kejiwaan, seperti depresi, kecemasan, dan fobia sosial yang merupakan konsekuensi dari penyakit kulit. Beberapa gangguan kulit, seperti jerawat dan alopecia areata, meskipun tidak mengancam jiwa, tetapi memiliki dampak psikososial yang berat pada kualitas hidup pasien.

Gangguan Sensory Cutaneous Ini adalah sensasi kulit yang tidak normal pada pasien tanpa lesi kulit primer atau identifikasi diagnosis yang bertanggung jawab untuk sensasi abnormal yang dirasakan. Berbeda jenis sensasi mungkin termasuk gatal, rasa terbakar, menggigit, menyengat atau merayap.

2.2 Gangguan Jiwa Yang MendasariGangguan Psikokutaneus dapat dikategorikan dengan gangguan kejiwaan yang mendasari yang memberikan kontribusi untuk kondisi kulit. Beberapa dermatologis merasa kurang nyaman dalam membuat diagnosis psikiatri pada pasien mereka. Untungnya, ada hanya beberapa diagnosis psikiatri yang secara signifikan dapat berdampak kulit. Kondisi ini juga biasanya cukup terlihat dan sulit untuk diabaikan. Empat poin paling penting dalam gangguan kejiwaan yang umum terlihat dalam dampak dermatologis adalah kecemasan, depresi, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), dan psikosis.

KecemasanKecemasan ditandai dengan kekhawatiran yang berlebihan atas peristiwa atau kegiatan yang sulit dikendalikan pasien. Gejala terkait mungkin termasuk sering buang air kecil, sesak napas, gelisah, lekas marah, kelelahan, kesulitan berkonsentrasi, ketegangan otot dan gangguan tidur. Ketika seorang pasien datang dengan keluhan "tertekan" atau "tegang", penting untuk menelusuri gangguan kecemasan yang mendasari keluhan tersebut.Depresi Depresi ditandai dengan mood depresi, yang mungkin dikaitkan dengan hilangnya minat atau kesenangan. Terkait gejala depresi mungkin termasuk perubahan selera makan, perubahan dalam tidur, kelelahan, psikomotor retardasi atau agitasi, perasaan putus asa, tidak berdaya dan tidak berharga, kesulitan berkonsentrasi, dan pikiran berulang tentang kematian atau ide-ide tentang kematian, bunuh diri. Gejala-gejala depresi ini biasanya menyebabkan penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.

Obsesive-Compulsive Disorder OCD ditandai dengan obsesi dan dorongan yang kuat. Obsesi mengacu pada pikiran yang terus-menerus dan mengganggu yang menyebabkan banyak kesulitan yang dirasakan sebagai hal asing dan tidak pantas bagi pasien. Biasanya, pasien mencoba untuk menekan pikiran yang tidak diinginkan melalui ritual atau perilaku lainnya. Dorongan didefinisikan sebagai perilaku repetitif atau tindakan fisik bahwa orang tersebut merasa didorong untuk melakukan dengan atau tanpa obsesi. Sebuah tanda terkait dari OCD, adalah bahwa pasien memiliki wawasan ketidaktepatan akan obsesi dan dorongannya. Jika pasien tidak memiliki tilikan/insight sama sekali akan hal ini, diagnosis yang berbeda seperti gangguan waham atau psikosis harus dipertimbangkan.

Psikosis Psikosis didefinisikan oleh ide-ide palsu atau khayalan pada yang menetap pada pasien. Dalam waham murni, pasien tidak memiliki tilikan atau insight bahwa pikiran atau idenya adalah salah. Menurut definisi, pasien dengan waham tidak dapat mengutarakan keyakinannya. Pasien dengan OCD mungkin menyerupai pasien gangguan waham karena preokupasi dengan kondisi kulit mereka. Namun, perbedaannya adalah bahwa pasien OCD memiliki wawasan yang lebih bersifat irrasional dari pikiran dan perilaku mereka.2.3 Kegunaan Psikologik KulitStimulasi kulit tertentu merupakan kebutuhan dasar setiap organisme. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan, bahwa neonatus menghisap dan menjilat. Pelukan atau usapan mengakibatkan emosi normal. Pada daerah erogen emosi akan berlebih, misalnya: perasaan pada sentuhan dan perubahan suhu, sebaliknya juga rasa pruritus atau nyeri.PRURITUS

Pruritus merupakan hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila gradasi berubah, maka mungkin tidak akan timbul pruritus, tetapi rasa nyeri. Sensitivitas pruritus bervariasi, bergantung pada perbedaan perseorangan dan regio yang terkena. Garukan memperingan rasa gatal, karena merubah impuls aferen pada korpus spinalis. Keadaan emosional penderita dapat mempengaruhi ambang rangsang apresiasi sadar terhadap pruritus. Gosokan merupakan stimulasi kutan. Respon terhadap stimuli dari lingkungan merupakan varietas pelbagai reaksi, misalnya vasokonstriksi dan vasodilatasi arteriolar.

Respon psikologik

Respon psikologik pada pruritus bergantung pada berat pruritus dan dan status emosional penderita. Bila stimulasi pruritus berlangsung sering, lama, dan tanpa diketahui penyebabnya, maka akan timbul perasaan takut, tegang, dan cemas. Lambat laun dapat timbul perubahan pada personalitas penderita.

Manifestasi klinik

Manifestasi klinis dari pruritus adlah tanda-tanda garukan dan ekskoriasi. Pada garukan akut dapat timbul urtika, sedangkan pada garukan kronik dapat timbul perdarahan kutan dan likenifikasi. Garukan dengan kuku menyebabkan ekskoriasi linear pada kulit dan laserasi pada kukunya sendiri. Keringanan perasaan gatal dengan garukan hanya akan ada, bila kausa pruritus tidak terletak di alat sentral.

Kausa

Pruritus dapat disebabkan oleh faktor eksogen atau endogen.

a. Kausa eksogen, misalnya dermatitis kontak (pakaian, logam, benda asing), rangsangan oleh ektoparasit (serangga, tungau skabies, pedikulus, larva migrans), atau faktor lingkungan, yang membuat kulit lembab atau kering.

b. Kausa endogen, misalnya reaksi obat atau penyakit. Sebagai contoh dapat disebut diskriasia darah, limfoma keganasan alat dalam, dan kelainan hepar atau ginjal. Acapkali kausa secara klinis pada permulaan belum diketahui.

Pruritus primer

Pruritus primer berarti pruritus tanpa adanya penyakit dermatologik atau alat dalam dan dapat bersifat lokalisata atau generalisata. Pruritus primer mungkin bersifat psikogenik, artinya disebabkan oleh komponen psikogenik, yang meberi stimulasi pada itch center. Hal tersebut dapat terjadi pada penderita dengan ciri bawaan (trait) perasaan malu, perasaan bersalah, eksebhisionisme, atau masokisme.

PENGARUH SOMATO-PSIKIS

Lesi-lesi yang merupakan cacat (disfigurasi) terutama pada muka, merupakan trauma psikologik pada penderita, misalnya akne yang berat atau pada luka kecelakaan. Pada anak, dermatitis atopik atau prurigo yang terinfeksi sekunder dapat merupakan trauma pula. Penderita akan menjadi introspektif, menyendiri, tetapi ada juga penderita yang tidak kooperatif dan agresif. Disini akan dibicarakan dua kelainan, yakni delusio parasiter dan fobia.

1. Delusio parasiterDelusio terhadap parasitosis terutama terdapat pada wanita, berusia diatas 40 tahun walaupun kadang-kadang juga terdapat pada anak muda. Penderita yakin benar bahwa pada kulitnya terdapat infestasi oleh parasit sehingga timbul perasaan bersalah dan ketakutan. Penderita memiliki personalitas yang obsesional, berarti khayalan tetap menghantuinya. Keadaannya lebih berat daripaa fobia. Pada penderita muda dapat disertai skizofrenia, pada orang tua depresi involusional. Pengobatannya sulit dan penyakit dapat menetap selama bertahun-tahun.2. Fobia Fobia adalah perasaan takut yang spesifik dan neurotik. Penyakit merupakan simbol konflik neurologik dan akan menghasilkan kecemasan (anxiety). Kecemasan bersifat obsesif kompulsif. Contohnya adalah akarofobia dan sifilofobia.

Akarofobia adalah perasaan takut terkena penyakit pada hewan atau benda kecil tertentu, misalnya tungau, cacing, atau jarum pentul.

Sifilofobia pada umumnya disertai perasaan bersalah dalam bidang seksual (sexual guilt). Yang aneh ialah, pada penderita yang benar-benar menderita sifilis biasanya tidak mempunyai perasaan tersebut. Ada kalanya sifilofobia terdapat pada penderita dengan permulaan skizofrenia.KELAINAN PSIKO-KUTAN

Pada kelainan psiko-kutan yang merupakan etiologi primer adalah emosi. Dalam golongan ini termasuk pergerakan kompulsif. Eksoriasi neurotik, dermatitis artefisialis, hiperhidrosis, trikotilomania.

1. Pergerakan kompulsif

Dalam pergerakan-pergerakan kompulsif (seperti terpaksa) termasuk beberapa manipulasi mekanik, misalnya:

a. Menjilat bibir (lip licking), sehingga pada kulit perioral tampak penebalan, sisik dan krusta, serta hiperpigmentasi.

b. Menggali dengan kuku jari tangan atau menggosok dengan tangan

c. Mengorek kulit kepala hingga timbul nodul (pickerous nodulus)

d. Menggigit atau menggerogoti kulit2. Ekskoriasi neurotik

Pada beberapa bagian badan, terutama di muka, lengan atas, dan punggung tampak ekskoriasi dengan krusta hemoragik atau supuratif serta sikatriks. Lesi-lesi tersebut ternyata dibuat penderita sendiri dengan cara menggaruknya. Kebiasaan ini merupakan tic, misalnya berlangsung setiap hendak tidur selama beberapa menit sampai sejam.3. Dermatitis artifisialis

Dermatitis artefisialis dibuat oleh penderita sendiri, misalnya dengan zat kimia, secara fisis, atau mekanis. Lokalisasi terutama yang dapat dijangkau oleh tangan penderita sendiri. Dermatitis mempunyai tepi angular dan timbul dalam waktu relatif cepat sebab dibuat secara artifisial. Pengobatannya berupa pendekatan secara psikiatrik. Penderita tidak dapat ditanya secara terus terang (konfrontatif), sebab hal tersebut akan menimbulkan homeostatis emosional. Homeostatis berarti pemeliharaan status yang ada menjadi mantap dengan mengadakan koordinasi proses-poses fisiologik.4. Hiperhidrosis lokalisata dengan sumber emosional

Hal tersebut terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, dan regio aksilaris tanpa ada stimulus suhu (termal). Keadaan demikian dapat disertai komplikasi, yakni infeksi bakterial atau fungus dan terjadi reaksi hiperkeratotik.5. Trikotilomania

Trikotilomania timbul karena penderita setiap kali menarik rambut pada salah satu area, misalnya rambut kepala, alis, kelopak mata, ketiak, atau daerah pubis. Pada anak, rambut yang tertarik kemudian dimakan. Adapula penderita yang memainkan rambut yang digulung, diantara jari-jari tangan.

2.4 Menghubungkan Antara Dermatologi dan PsikiatriPasien psikodermatologi seringkali memberikan tantangan tersedniri bagi dokter yang menanganinya. Hal ini tidak lain karena sulitnya penggalian keluhan utama dari anamnesis sehingga menimbulkan frustrasi dan terkadang juga banyak ketidaksepahaman antara gejala klinis dengan kriteria diagnosis sehingga lebih menyulitkan dokter untuk mengambil keputusan diagnosis apa yang tepat untuk pasien tersebut. Menurut jurnal dari Frontline Medical Communication ada beberapa cara yang mungkin dapat menghindari frustrasi yaitu :Empati

Dengan melihat situasi dari sudut pandang pasien, dokter dapat lebih memahami pasien dan mempersiapkan nasihat pada waktu pengobatan. Hal ini penting untuk tidak bingung untuk memberikan empati atau simpati, yang berarti kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Berbeda dengan simpati, empati tidak terlalu dalam memberikan perhatian terhadap keadaan emosional atau setuju dengan sudut pandang pasien.

Manajemen HarapanPenting bagi dokter untuk menyampaikan informasi tentang bagaimana keadaan sesungguhnya dari penyakit yang diderita pasien tentang bagaimana rencana perawatan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Menghindari memberikan harapan palsu kepada pasien juga menjadi hal yang sangat penting mengingat dampak psikologis yang akan terjadi pada pasien. Jadi cara terbaik adalah memberikan edukasi di awal pembicaraan tentang bagaimana kondisi pasien sesungguhnya, risiko pengobatan, dan prognosis pengobatan, dengan begitu akan lebih mudah bagi kita untuk mengontrol kepatuhan pasien meminum obat dan mempererat hubungan dokter-pasien.2.5 Cara pendekatan pasien psikodermatologi

Kondisi psiko-fisiologis

Pengurangan stres adalah pendekatan umum untuk merawat pasien dengan kondisi psikofisiologis, seperti eksim, hipertrikosis, dan jerawat. Stres tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari dan dapat disebabkan oleh hubungan, pekerjaan, anak-anak, kematian anggota keluarga, atau bahkan kematian hewan peliharaan.

Namun, dari penelitian didapatkan bahwa terdapat beberapa solusi untuk membantu pasien menemukan cara untuk mengendalikan stres mereka untuk mencegah memburuknya kondisi kulit mereka. Pilihan tersebut termasuk farmakologis dan perawatan non-farmakologis. Sebagai contoh, jika seorang pasien memiliki gangguan kecemasan yang mendasari pencetus kondisi kulit, lini pertama pengobatan farmakologis adalah untuk mencoba obat anti ansietas, seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Perawatan nonfarmakologis meliputi terapi perilaku kognitif atau latihan relaksasi, seperti meditasi atau yoga. Pasien dapat menangani stres lebih baik ketika mereka menerapkan gaya hidup hidup seimbang yang meliputi olahraga, hubungan yang sehat dengan teman dan keluarga, dan karier yang memuaskan.Kondisi Psikiatri Primer

Pasien dengan kondisi kejiwaan utama bisa menjadi yang paling menantang untuk mengelola. Secara khusus, pasien dengan delusio parasitofobia perlu didekati secara berbeda karena mereka memiliki kebutuhan khusus dan tidak memiliki wawasan tentang kondisi mereka. Menunjukkan empati terhadap delusi pasien tidak berarti setuju dengan mereka. Berpura-pura setuju dengan mereka dapat memperkuat ide terpaku atau perilaku. Namun, penting untuk mengakui gejala dan membiarkan mereka tahu bahwa Anda akan bekerja dengan mereka untuk menemukan penyebabnya, meskipun mungkin tidak ada kondisi kulit intrinsik.Kondisi Psikiatri Sekunder Pendekatan yang paling efektif untuk pasien dengan kondisi kulit yang menyebabkan gangguan kejiwaan seperti kecemasan atau depresi adalah dengan menghilangkan gangguan kulit menggunakan pengobatan agresif. Meskipun kelainan kulit kronis yang tidak mengancam jiwa, namun dapat memberikan dampak negatif pada psikososial, fisik, pekerjaan, dan kualitas hidup pasien. Sebagai contoh, pasien dengan vitiligo telah menderita stigma sosial yang parah dalam budaya tertentu. Di India, wanita dengan vitiligo sering didiskriminasi dalam suatu pernikahan, dan mereka sering disebut sebagai penderita kusta putih. Dengan memperlakukan gangguan kulit secara agresif, kondisi kejiwaan sekunder lebih meningkat. Langkah berikutnya dalam mengobati pasien dengan kejiwaan sekunder kondisi adalah manajemen harapan.

Sensory Cutaneous

Ketika seorang pasien merasakan sensasi tidak menyenangkan pada kulit, seperti gatal-gatal, terbakar, atau menyengat, etiologi organik untuk gejala-gejala ini harus disingkirkan (neuropati perifer). Oleh karena itu, pasien mungkin perlu evaluasi perawatan primer atau neurologi untuk memastikan tidak ada kondisi yang mendasari untuk mendapatkan perawatan, seperti diabetes. Dengan asumsi tidak ada kondisi medis yang menyebabkan gejala ini, dan pasien memiliki gangguan sensoris kulit murni, beberapa jurnal menyarankan strategi berikut. Salah satu pendekatan untuk pasien dengan gangguan sensorik kulit adalah untuk memeriksa pasien untuk kondisi kejiwaan komorbid, seperti depresi atau kecemasan..Telah terbukti bahwa pasien dengan depresi dan kecemasan umumnya mengalami sensasi secara berlebihan. Oleh karena itu, dasar pengobatan kondisi psikotik ini dapat mengurangi rasa ketidaknyamanan. Pada pasien yang tidak memiliki komorbiditas dengan kondisi kejiwaan, antihistamin atau antidepresan trisiklik dapat digunakan kepada pasien tersebut. Obat-obat ini adalah merupakan drugs of choice, telah melalui metode "trial and error" dan bekerja baik terutama untuk gejala seperti terbakar, tersengat atau terasa tergigit. Jika pasien tidak dapat mentolerir obat-obat ini atau ada sedikit kemanjuran, percobaan SSRI mungkin bermanfaat.BAB III

KESIMPULAN

Psikodermatologi telah berkembang sebagai subspesialisasi baru yang muncul dari psikiatri dan dermatologi. Sayangnya, hubungan antara penyakit kulit dan jiwa lebih sering dianggap remeh. Lebih dari sekedar cacat kosmetik, gangguan dermatologi yang dikaitkan dengan berbagai masalah psikopatologis yang dapat mempengaruhi pasien, keluarganya, dan masyarakat secara bersama-sama. Peningkatan pemahaman tentang isu-isu, pendekatan biopsikososial, dan penghubung antara dokter perawatan primer, psikiater dan dematologis bisa sangat berguna dan sangat bermanfaat terhadap keberlangsungan terapi. Manfaat dari perawatan pasien yang kompleks bersama dengan psikiater sangat dianjurkan. Penciptaan unit terpisah antara psikodermatologi dan penelitian multi-center tentang hubungan kulit dan jiwa dalam bentuk prospektif studi kasus-terkontrol dan percobaan terapeutik multi-site dapat memberikan wawasan yang lebih dalam, menarik, dan menyenangkan di bidang kedokteran.DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, etc. 2008. Fitzpatrick Dermatology in General Medicine. USA: McGraw-Hill, Seventh edition, pp 362-366.2. Stulberg DL, Wolfrey J. 2004. Pityriasis Rosea. USA: American Family Physician, Volume 69, pp 87-92.

3. Gonzales LM, Allen R, Janniger CK, Schwartz RA. 2005. Pityriasis Rosea: An Important Papulosquamous Disorder. USA: International Journal of Dermatology, volume 44, pp 757-764.4. Browning JC. 2009. An Update on Pityriasis Rosea and Other Similiar Childhood Exanthems. USA: Current Opinion in Pediatrics, volume 21, pp 481-485.

5. Barakbah J, Pohan SS, Sukanto H, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: RSUD Dr. Sutomo, hal 91-93.

6. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi ke 6, hal: 197.7. Chuch A, L, ee A, Zawar V, etc. 2005. Pityriasis Rosea- An Update. Indian J Dermatol Venereol Leprol, volume 71 issue 5, pp 311-3158. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. 2010. Rooks Textbook of Dermatology. UK: Wiley-Blackwell, eighth edition, pp 1566-15699. Hunter J, Savin J, Dahl M. 2002. Clinical dermatology. Blackwell: third edition, pp 63-6410. Zaidi Z, Lanigan SW. 2010. Dermatology in Clinical Practice. Springer, pp 195-196

11. Mallory SB, Bree A, Chern P. 2005. Illustrated Manual of Pediatric Dermatology Diagnosis and Management. Taylor & Francis, pp 38-39

12. James WD, Berger TG, Elston DM. 2011. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. Saunders Elesevier: eleventh edition, pp 204-205.13. Wolf K, Johnson RA. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. McGraw-Hill: Sixth Edition, pp 122-124.

16