prroposal

25
KEMAMPUAN KITIN DARI LIMBAH CANGKANG KEPITING BAKAU DALAM MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL PADA LEMAK SAPI Proposal diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Oleh: SUBHAN HADI KUSUMA 1206103010010

Upload: subhan-hadi-kusuma

Post on 04-Jan-2016

223 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kitin

TRANSCRIPT

Page 1: Prroposal

KEMAMPUAN KITIN DARI LIMBAH CANGKANG KEPITING BAKAU DALAM MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL PADA LEMAK SAPI

Proposal

diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

SUBHAN HADI KUSUMA 1206103010010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGIFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM, BANDA ACEH

2015

Page 2: Prroposal

1

KEMAMPUAN KITIN DARI LIMBAH CANGKANG KEPITING BAKAU DALAM MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL PADA LEMAK SAPI

1. Latar Belakang

Kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi produk hewani yang berlebihan

merupakan kebiasaan yang buruk. Terlebih lagi, masyarakat Aceh yang sering

melakukan kegiatan meugang setiap hari-hari besar menjadikan kebiasaan yang

berdampak buruk bagi kesehatan. Hal ini dikarenakan, produk-produk hewani

khususnya daging sapi memiliki kadar lemak yang sangat tinggi. Jika tidak diiringi

dengan olahraga yang cukup serta pola makan yang baik akan mengakibatkan

munculnya timbunan lemak dalam tubuh terutama kolesterol. Salah satu penyakit

akibat kebiasaan tersebut adalah hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia

merupakan kondisi fisik yang menunjukkan adanya kenaikan kadar kolesterol di

dalam darah (Martati, 2008:158). Hiperkolesterolemia menyebabkan aterosklerosis

dan faktor utama untuk penyakit kardiovaskular seperti jantung koroner (Park,

2010:1457). Karena itu, perlu dicarikan pemecahan dengan pendekatan ke arah

pencegahan dan peningkatan kualitas hidup. Salah satu senyawa yang dapat

mereduksi kadar kolesterol adalah senyawa kitin.

Kitin merupakan poly-beta-1,4-N-acetylglucosamine (GlcNAc) yang

merupakan komponen utama eksoskeleton artropoda, seperti kepiting dan udang

(Khoushab, 2010:1989). Kitin juga merupakan sumberdaya alam yang dapat

diperbarui dan polimer terbanyak setelah selulosa. Struktur kimia kitin mirip dengan

selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa

Page 3: Prroposal

2

gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah

gugus asetamida (Muzzarelli, 1985 dalam Hargono, 2008:54).

Kulit kepiting mengandung kitin paling tinggi (70%) dari bangsa krustasea.

Kitin telah banyak digunakan untuk penjernihan air, kosmetika, pengobatan serta

feed additive. Aktivitas kitin sebagai feed additive meningkatkan kualitas makanan

terkait dengan komponen fungsional, selain mampu menurunkan kolesterol karena

bersifat hipokolesterolamik (Warsono, 2004:56). Kitin merupakan senyawa yang

tidak beracun sebagai unsur serat makanan dan dapat menurunkan kadar kolesterol.

Senyawa kitin sulit dicerna oleh tubuh karena berupa polimer glukosa, namun

dapat mengikat racun dan glukosa didalam tubuh. Glukosa yang terdapat pada

kitin tidak berubah menjadi glukosa darah sehingga tidak menambah produksi

kolesterol. Kitin mampu menurunkan absorbsi kolesterol lebih efektif daripada

selulosa dan mempunyai potensi sebagai hipokolesterolemik yang tinggi serta

digesti dan absorpsi lemak dalam traktus intestinal berinteraksi dengan pembentukan

misela atau emulsifikasi lipid pada fase absorbsi (Suryaningsih, 2006:63).

Indonesia merupakan negara maritim kaya akan bahan baku kitin yang

banyak terdapat dalam kulit udang, kulit kepiting, dan cumi-cumi yang akan

menjadi bahan baku alam yang sangat potensial dalam produksi kitin dan kitosan.

Pemanfaatan kepiting umumnya baru terbatas untuk keperluan makanan,

biasanya hanya dagingnya saja yang diambil sedangkan cangkangnya dibuang,

padahal cangkang kepiting mengandung senyawa kitin yang cukup tinggi yaitu,

sekitar 20-30 % berat kulit keringnya. Sedangkan kulit kepiting sendiri merupakan

limbah pengalengan kepiting yang belum diolah secara maksimal (Hendri,

Page 4: Prroposal

3

2008:271). Karena itu, perlu dimanfaatkan limbah tersebut, salah satunya dengan

cara mengekstraksi kitin dalam mereduksi kadar kolesterol pada lemak hewani

terutama lemak sapi.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka penulis

melakukan penelitian dengan judul “Kemampuan Kitin dari Limbah Cangkang

Kepiting Bakau dalam Menurunkan Kadar Kolesterol pada Lemak Sapi”.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Apakah kitin dari cangkang

kepiting bakau berpotensi terhadap penurunan kadar kolesterol pada lemak sapi?”.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui kemampuan kitin dari

limbah cangkang kepiting bakau dalam menurunkan kadar kolesterol pada lemak

sapi.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai alternatif penyelesaian dalam memecahkan masalah

hiperkolesterolemia.

2. Sebagai informasi bagi para masyarakat tentang pemanfaatan limbah

cangkang kepiting yang mampu menjadi solusi permasalahan

hiperkolesterolemia yang berdampak buruk bagi kesehatan.

Page 5: Prroposal

4

3. Sebagai informasi bagi penelitian di masa mendatang untuk solusi

penurunan kolesterol yang lebih efektif.

5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya kemampuan kitin dari limbah

cangkang kepiting bakau dalam menurunkan kadar kolesterol pada lemak sapi.

6. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi Biokimia, Gizi dan Kesehatan, Struktur

Hewan, dan Fisiologi Hewan.

7. Definisi Istilah

Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam penulisan maka perlu

dirumuskan definisi istilah yaitu:

1. Kemampuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata

dasar mampu. Kemampuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kemampuan kitin dalam menurunkan kadar kolesterol lemak sapi

2. Kitin merupakan poly-beta-1,4-N-acetylglucosamine (GlcNAc) yang

merupakan komponen utama eksoskeleton artropoda, seperti kepiting

dan udang (Khoushab, 2010:1989). Kitin dalam penelitian ini diambil

dari limbah cangkang kepiting bakau Scylla spp.

3. Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan salah satu jenis kepiting dari

famili Portunidae yang hidup di perairan pantai yang ditumbuhi

Page 6: Prroposal

5

mangrove (Wjijaya, 2011:15). Kepiting bakau dalam penelitian ini

diperoleh dari nelayan kepiting di daerah ekosistem mangrove,

Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.

4. Kolesterol adalah steroid paling melimpah dalam tubuh hewan. Banyak

steroid dalam jumlah kecil bertindak sebagai hormon pada hewan.

Kolesterol plasma terikat pada lipoprotein (Wilibraham, 1992:426).

Sumber Kolesterol dalam penelitian ini yaitu kolesterol pada lemak sapi

(gajih).

Page 7: Prroposal

6

8. Landasan Teoritis

8.1 Kepiting Bakau

Kepiting bakau merupakan salah satu spesies yang dominan di ekosistem

mangrove. Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam

subfamili yaitu Carcinae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Phodopthalminae dan

Portuninae. Ada 234 jenis yang tergolong dalam famili Portunidae di wilayah Indo

pasifik barat dan 124 jenis di Indonesia. Portunidae tergolong dalam kelompok

kepiting perenang, karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan dapat

digunakan untuk berenang. Kepiting bakau genus Scylla dinamakan demikian karena

banyak ditemukan di wilayah hutan bakau/mangrove (Syafitri, 2014: 7).

Kepiting bakau ditutupi oleh karapakas yaitu kulit yang terdiri atas kitin

bercampur bahan baku yang telah mengeras. Karapaks berbentuk bulat pipih,

dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain

terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya

besar disebut capit yang berfungsi memegang, tiga pasang kaki jalan dan sepasang

kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung (Karim, 1998

dalam Wijaya, 2011: 17)

Kepiting Bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove

dan memanfaatkan ekositem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni

Page 8: Prroposal

7

sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran, kepiting Bakau

melangsungkan perkawinan juga diperairan hutan mangrove, Demikian pula dengan

juvenile kepiting Bakau yang bermigrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-

angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia, 2008: 60).

8.2 Kitin, Kitosan dan Membran Kitosan

Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer N-asetil-D-glukosamin yang saling

berikatan dengan ikatan β (1→4). Kitin adalah Kristal amorphous bewarna putih,

tidak berasa , tidak berbau, dan tidak dapat larut dalam air, pelarut organik

umumnya, asam organik dan basa encer. Sumber kitin yang sangat potensial adalah

kerangka luar crustacean (seperti udang, kepiting, rajungan, dan lobster), serangga,

dinding yeast dan jamur, serta mollusca (Muzzarelli, 2011c). Di alam, kitin

merupakan senyawa yang tidak berdiri sendiri tetapi bergabung dengan senyawa

lain. Pada crustacea, kitin bergabung dengan protein, garam anorganik (CaCO3),

dan pigmen (Suhardi, 1992).

Kulit kepiting mengandung protein (15,60%-23,90%), kalsium karbonat

(53,70%-78,40%) dan kitin (18,70%-32,20%), sedangkan kulit udang mengandung

protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan kitin (15%-20%) (Syafitri,

2014 :13). Menurut Suhardi, 1992 dalam Yunita dan Sanjaya, 2007: 31, kandungan

kitin dalam cangkang kepiting sekitar 71,4%.

Kitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari

proses deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan bersifat sebagai

polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali dengan pH di atas 6,5.

Page 9: Prroposal

8

Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan

asam sitrat (Mekawati dkk, 2000).

Secara umum proses pembuatan kitosan meliputi 3 tahap, yaitu

deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan

mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan

yang cukup. Proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral

(CaCO3) dengan menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan

kitin, sedangkan proses deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil

dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi

(Yunizal dkk., 2001). Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dengan NaOH dapat

dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 8.1 Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dengan NaOH

Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan

menyebabkan lepasnya gugus asetil dari molekul kitin. Gugus amida pada kitin akan

berikatan akan berikatan dengan gugus amina bebas –NH2 (Mekawati dkk., 2000).

Dengan adanya gugus ini kitosan dapat mengadsorpsi ion logam dengan membentuk

Page 10: Prroposal

9

senyawa kompleks (khelat). Kitosan bersifat mudah mengalami degradasi secara

biologi, tidak beracun, mempunyai berat molekul rata-rata diatas 120.000, tidak

pada pH 6,5 (Budiyanto, 1993).

Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk

molekul, menahan komponen dari material yang mempunyai ukuran lebih besar

daripada pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran

lebih kecil. Filtrasi dengan menggunakan membran, selain berfungsi sebagai sarana

pemisahan juga berfungsi sebagai sarana pemekatan dan pemurnian dari suatu laruta

yang dilewatkan pada membran tersebut (Agustina dkk., 2005). Dalam beberapa

dekade terakhir, kitosan banyak digunakan dalam pembuatan membran, walaupun

dari segi proses pembuatan membran kitosan relatif lebih sederhana dan

membutuhkan waktu yang relatif singkat. Namun, membran yang berbahan kitosan

saja akan menghasilkan membran yang tidak berpori. Salah satu membran yang

dikembangkan adalah membran kitosan-silika (Afif, 2012).

8.3 Logam Merkuri

Merkuri atau Hydragyrum (Hg) merupakan jenis logam berat yang berbentuk

cair pada temperatur kamar, bewarna putih-keperakan. Merkuri membeku pada

temperatur -38,9oC dan mendidih pada temperatur 357oC (Setiabudi, 2005 dalam

Fitri, 2010: 3).

Secara alamiah, pencemaran Hg berasal dari kegiatan gunung api atau

rembesan air tanah yang melewati deposit Hg. Apabila masuk ke dalam perairan,

merkuri mudah ber-ikatan dengan klor yang ada dalam air laut dan membentuk

Page 11: Prroposal

10

ikatan HgCl.Dalam bentuk ini, Hg mudah masuk ke dalam plankton dan bisa

berpindah ke biota laut lain. Merkuri anorganik (HgCl) akan berubah menjadi

merkuri organik (metil merkuri) oleh peran mikroorganisme yang terjadi pada

sedimen dasar perairan. Merkuri organik sangat beracun dan bersift bioakumulatif

(Widodo, 2008 dalam Fitri, 2010: 3).

Merkuri dapat masuk kedalam tubuh individu melalui makanan atau

minuman, pernafasan, dan kontak langsung melalui kulit. Keracunan merkuri terjadi

karena merkuri teroksidasi atau terikat dengan sulfida. Uap merkuri cepat teroksidasi

ketika bernafas sehingga dalam dosis berlebihan akan menimbulkan keracunan

(Syafitri, 2014: 16)

9. Metode Penelitian

9.1 Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen pola

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 kali ulangan

dengan lamanya waktu kontak terhadap membran kitosan dengan taraf 30 menit, 60

menit, 90 menit dan 120 menit.

9.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium FKIP Kimia dan Biologi

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian ini akan dilaksanakan mulai

tanggal…bulan…2014.

Page 12: Prroposal

11

9.3 Bahan dan Alat Penelitian

9.3.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cangkang, air yang

tercemar merkuri, kertas saring (Waltmant), NaOH 2% dan 50%, aquadest, HCl,

CH3COOH 2%, tertaetil ortosilikat (TEOS), etanol.

9.3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ayakan (ukuran 80

mesh), refluks, oven (memmerth), AAS (Shimadzhu AA-6300), hot plate stirer,

magnetik stirer, termometer, pengaduk, alat tulis, neraca listrik, ball mill

(pulverisette 6), pH indikator (merck), alat uji dead end.

9.4 Prosedur Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap isolasi

kitin dari cangkang kepiting bakau, tahap pembuatan membran kitosan-silika, dan

tahap uji air yang tercemar merkuri dengan mebran kitosan-silika.

9.4.1 Isolasi kitin dari Cangkang Kepiting Bakau

Pada tahap isolasi kitin dari cangkang kepiting bakau, cangkang kepiting

dihaluskan dengan menggunakan Ball Mill selama 30 menit dengan kecepatan sudut

450 rpm, lalu serbuk yang dihasilkan diayak menggunakan ayakan 80 mesh. Proses

pemurinian kitin yang berasal dari serbuk limbah cangkang kepiting selanjutya

Page 13: Prroposal

12

melalui tahap deproteinasi dan dimenarilisasi. Proses deproteinasi dilakukan dengan

ditambahkan NaOH 1M 3% dengan perbandingan 1:6 (b/v) untuk menghilangkan

protein dan lemak dari kitin. Kemudian dipanaskan pada suhu 65oC selama 4 jam.

Dicuci sampel tersebut sampai pH netral dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam

pada suhu 80oC. Pada Proses demineralisasi dilakukan penambahan HCl 1M 2%

pada serbuk hasil deproteinasi dengan perbandingan 1:10 (b/v) untuk menghilangkan

garam anorganik atau mineral dari kitin, terutama CaCO3. Dipanaskan pada suhu

65oC selama 1 jam. Lalu dikeringkan pada suhu 85oC selama 24 jam (Yunianti,

2014: 25).

9.4.2 Proses Pembuatan Membran Kitosan-Silika

Pada tahap pembuatan membran kitosan, terlebih dahulu kitin yang sudah

dihasilkan dilakukan proses deasetilasi dengan penambahan NaOH 50% dengan

perbandingan 1:20 (b/v) pada suhu 120oC selama 120 menit. Selanjutnya dilakukan

pencucian dengan aquadest hingga pH netral. Setelah itu dikeringkan pada suhu

80oC selama 24 jam. Setelah dihasilkan kitosan, maka untuk pembuatan membran

kitosan yang dalam penelitian ini adalah pembuatan membran kitosan-silika, maka

sebanyak 1gr kitosan dilarutkan dalam 100ml CH3COOH 2% dan distirer selama 1

jam (larutan kitosan 1%) . Selanjutnya pembuatan sol silika dengan cara 3, 34 ml

TEOS 0,004 M ditambahkan 15 ml etanol, kemudian dengan gelas kimia lain 10 ml

etanol ditambahkan dengan 25 ml HCl 0,03 M kemudian ditambahkan larutan diatas

secara perlahan-lahan , diaduk dan distirer selama 24 jam (sol silika). Selanjutnya sol

silika ditambakan pada larutan kitosan silika 1:1 (b/v). larutan diaduk menggunakan

Page 14: Prroposal

13

magnetik stirrer selama 30 menit. Larutan yang telah homogen selanjutnya

dituangkan ke dalam cetakan cawan petri dan dikeringkan pada suhu kamar hingga

diperoleh kitosan-silika kering. Untuk melepas membran dari cetakan, diperlukan

perendaman dengan menggunakan NaOH 1% . Membran yang diperoleh selanjutnya

dibilas dengan aquadest hingga netral (Yunianti, 2012).

9.4.3 Uji Efektifitas Membran Kitosan

Pada tahap filtrasi air yang tercemar logam merkuri dilakukan dengan alat uji

“dead end”. Membran yang akan diuji dipotong berbentuk lingkaran Kemudian

membran diletakkan dibagian bawah alat penguji yang telah dilapisi kertas saring.

Air yang telah tercemar oleh merkuri sebanyak 50 ml dimasukkan kedalam alat,

ditutup rapat dan kemudian dialirkan pada tekanan 1 atm. Larutan yang disaring

akan diuji menggunakan Spektrofometri Serapan Atom (SSA) dan spektrofotometer

UV-Visible.

9.6 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan ANOVA (Analysis of

Varian) satu arah. Untuk mengetahui konsentrasi logam merkuri setelah dilewatkan

membran, dilakukan pengukuran nilai absorbansi dengan menggunakan instrumen

spektrofotometer UV-Visible. Nilai absorbansi yang diperoleh dimasukkan pada

persamaan regresi dari kurva kalibrasi, untuk selanjutnya dapat dihitung koefisien

rejeksinya. Koefisien rejeksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Page 15: Prroposal

14

R=1−CpCf

×100 %

Dimana,

R = Koofesien rejeksi (%)

Cp = Konsentrasi zat terlarut dalam permeat,

Cf = Konsentrasi zat terlarut dalam umpan

(Kusumawati, 2012 :43-52)

DAFTAR PUSTAKA

Afif, Sagita. 2012. Modifikasi Membran Kitosan-Silika-Cu Sebagai Filter dan Adsorben Urea. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 3: 106-116

Agung, L. 2012. Paparan Merkuri di Daerah Pertambangan Emas Rakyat Cisoka Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Makalah Ilmiah. Vol. 7 No. 3

Agustina, et al. 2005. Penggunaan Teknologi Membran Pada Pengolahan Air Limbah Indutri Kelapa Sawit

Page 16: Prroposal

15

Aprilia, Sri. 2006. Pembuatan Membran Komposit Khitosan-Selulosa dari Limbah Kulit Kepala Udang. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 5: 28-35

Budiyanto, D. 1993. Teknologi Khitin dan Khitosan. Direktorat Jenderal Perikanan: Jakarta

Firdani, Andika. 2011. Pengembangan Model Rancangan Set Alat Filtrasi dengan Media Filter Membran Kitosan-Glutaraldehida. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia. 2: 69-77

Fittri, Y. 2010. Pengaruh Limbah Merkuri Penggilingan Bijih Emas di Kawasan Krueng Sabee Terhadap Perkembangan Tikus (Rattus wistar) Pranatal. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala

Mekawati, dkk. 2000. Aplikasi Kitosan Hasil Transformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains dan Matematika. 8: 51-54

Muzzarelli, R. A. A. 2011. Potential of Chitin/Chitosan-Bearing Materials for Uranium Recovery. Carbohydrate Polymers 84. Science Direct Journal.

Rahayu, L. H. Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Limbah Cangkang Ranjungan (Portunus pelagicus) Untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor. 11: 45-49

Siahainenia, Laura. 2013. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suhardi. 1992. Kitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. UGM Yogyakarta

Syafitri, Resa. 2014. Kemampuan Kitin dari Limbah Cangkang Kepiting Bakau Genus Scylla dalam Pengikatan Merkuri (Hg) di Perairan Krueng Sikulat Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala

Widodowati, W. 2008. Efek Toksik Logam Pencegahan Dan Penanggulangan Pencemaran. Yogyakarta: Andi Offset

Yunianti, Shofiyah. 2012. Pemanfaatan Membran Kitosan-Silika untuk Menurunkan Kadar Ion Logam Pb(II) dalam Larutan. UNESA Journal of Chemistry. 1:108-115

Yusnizal, dkk. 2001. Ekstraksi Khitosan dan Kepala Udang Putih (Penaeus merguensis). J. Agric. 3: 113-117

Page 17: Prroposal

16