proyek silvia

158
Pagi itu Umar Syafe’i datang ke camp Jayabaya lebih awal. Dia mau menghadiri rapat tentang pelaksanaan proyek baru garapan genk Jayabaya yang baru dibentuknya bersama teman-teman sekampus. Umar Sayafe’i. Dia lah penggagas lahirnya genk Jayabaya sekaligus motor pengerak genk Jayabaya. Umar syafe’i ini orangnya cerewet habis. Dia bisa cepat akrab sama seseorang dan langsung mengajaknya ngobrol sekian jam. Bayangkan coba, orang yang baru dikenalnya aja sampai capek dengar dia ngomong apalagi anggotanya? Itu makanya setiap orang agak takut dia ajak ngobrol, bukan apa-apa, mesti dengar dia ngomong sampai sekian jam tanpa henti tentu beresiko terjangkit penyakit telinga dan mata, soalnya objek yang dipandang itu tidak sedap banget. Hehehe.... Sebenarnya sih di rumah Umar tidak begitu cerewet, dia itu jagoannya keluarga. Bayangin dia satu-satunya anak laki-laki dari 6 bersaudara. Gile, saudara cewek sebanyak itu tentu bisa dibanyangin betapa bisingnya rumah. Hehehe. Ada lagi nih julukan buat si Umar dia sering dibilang Aspalnya Tukul Arwana, artis fenomenal saat ini. Dari gayanya, mulutnya sampai rambutnya juga mirip. Tapi Umar yang nyentrik tidak risih kalau dia dibilang mendompleng ketenaran si Tukul. 1

Upload: pinny

Post on 06-Jun-2015

321 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

proyek ini belum kelar... tapi tolong dikasih komen yah. thanks. oh ya, met kenal semua... kalau berminat untuk menerbitkan novel aku tunggu yah.... tolong hubungi email atau telp. 08126371528

TRANSCRIPT

Pagi itu Umar Syafe’i datang ke camp Jayabaya lebih awal. Dia mau menghadiri

rapat tentang pelaksanaan proyek baru garapan genk Jayabaya yang baru dibentuknya

bersama teman-teman sekampus.

Umar Sayafe’i. Dia lah penggagas lahirnya genk Jayabaya sekaligus motor

pengerak genk Jayabaya. Umar syafe’i ini orangnya cerewet habis. Dia bisa cepat akrab

sama seseorang dan langsung mengajaknya ngobrol sekian jam. Bayangkan coba, orang

yang baru dikenalnya aja sampai capek dengar dia ngomong apalagi anggotanya? Itu

makanya setiap orang agak takut dia ajak ngobrol, bukan apa-apa, mesti dengar dia

ngomong sampai sekian jam tanpa henti tentu beresiko terjangkit penyakit telinga dan

mata, soalnya objek yang dipandang itu tidak sedap banget. Hehehe....

Sebenarnya sih di rumah Umar tidak begitu cerewet, dia itu jagoannya keluarga.

Bayangin dia satu-satunya anak laki-laki dari 6 bersaudara. Gile, saudara cewek

sebanyak itu tentu bisa dibanyangin betapa bisingnya rumah. Hehehe. Ada lagi nih

julukan buat si Umar dia sering dibilang Aspalnya Tukul Arwana, artis fenomenal saat

ini. Dari gayanya, mulutnya sampai rambutnya juga mirip. Tapi Umar yang nyentrik

tidak risih kalau dia dibilang mendompleng ketenaran si Tukul.

Oke lah cukup dengan si Arwana. Puas....? Puas? Ngejek orang memang

pekerjaan yang paling menyenangkan tapi sudah menjadi sifat buruk manusia yaitu

tidak mau berada pada posisi sebaliknya. Tidak adil memang. Cobalah terima kelebihan

dan kekurangan orang. Bukankah dengan kekurangan yang dimiliki setiap orang

semakin bercermin terhadap kekuasaanNya. Lihat saja Mastur, Ucok Baba, Acil, Tukul,

Dorce dan sederet artis lainnya yang sanggup mengemas kekurangan yang dimiliki

dengan talenta masing-masing dan akhirnya mereka juga bisa sukses.

Umar menyadari dirinya jelek tapi dia bangga setidaknya dia masih bisa

berprestasi. Muka boleh jelek tapi hati dan prestasi belum tentu jelek. Bukannya

sombong, sudah ada buktinya. Seabrek acara kampus yang ditangganinya selalu sukses

dipuji dan disponsori banyak pihak. Mukanya yang jelek tidak menghalangi dirinya

untuk berhubungan dengan dunia bisnis. Dia tetap PeDe menemui koleganya, melobi

sponsornya, atau jadi MC di acara yang dibuat sendiri olehnya walaupun banyak pihak

yang memberi dia predikat tidak masuk hitungan. (hehe... kejam banget yah?)

1

Lain Umar, lain pula cerita tentang anggota-anggotanya. Ada si-Togar, wong

ndeso dari Belawan. Dia ini orang Batak. Seperti yang kita tau suara orang Batak itu

kuat-kuat. Kita yang belum kenal dia kalau bicara sama dia pasti mengira nih orang

kasar banget tapi sebenarnya tidak begitu kok. Bisa dibayangkan dong, bagaimana

ramenya dunia kalau misalnya si tukang berkicau seperti Umar ketemu sama si suara

halilintar-nya Togar?

Suara boleh aja kuat dan kasar tapi tidak dengan hatinya. Togar punya perasaan

yang halus, mudah kasihan sama orang lain yang kehidupannya tidak mampu. Itu

karena kehidupan Togar dulu pun susah. Orang tuanya mengharapkan hasil tangkapan

nelayan untuk dijual di pasar sentral Medan. Tapi karena harga BBM yang terus

melambung sehingga banyak nelayan yang mogok melaut jadi yah setoran hasil laut

juga berkurang. Belum lagi nih, adik-adiknya Togar masih ada 3 yang masing-masing

masih sekolah, butuh banyak biaya. Togar memahami keadaan ortunya, dengan modal

nekat dan uang seadanya dia merantau ke Singapura. Dengan mengantongi ijasah SMU-

nya yang tidak seberapa itu, dia nekat berangkat ke negeri Singa itu dengan beberapa

teman sekampungnya. Dia hendak mengikuti jejak teman sekampung halamannya yang

sukses mengisi pundi-pundi uang. Togar bekerja keras.

Dipelajarinya sistem kerja masyarakat negara itu yang diakui memiliki etos kerja

yang lebih baik daripada masyarakat Indonesia. Contohnya aja, orang Singapura sangat

suka menggunakan jasa transportasi umum yang disediakan oleh pemerintah selain

karena hemat, aman, cepat, bersih pula. Masyarakat sana bukan tidak mampu membeli

mobil dan bergaya petantang-petenteng, tapi mereka sangat mendukung program

pemerintah untuk hidup bebas dari polusi udara yang disebabkan oleh asap knalpot.

Jadi, tidak heran kalau negaranya bersih, bebas sampah, dan asap sampai ke seluruh

sudut kota. Togar mempelajari banyak hal baik dari negeri tetangganya.

2

Togar bekerja sebagai buruh di pabrik pengalengan makanan produk Jepang

kualitas ekspor. Tidak tanggung-tanggung Togar sanggup bekerja 2 shift sekaligus.

Separuh gajinya selalu dia kirim buat orang tuanya. Setelah 3 tahun merantau, Togar

mulai fasih berbahasa Inggris. Pokoknya ok lah, tidak perlu capek-capek les Bahasa

Inggris lagi. Nah, dari uang yang dikirimkan oleh Togar ortunya pun sudah dapat

membuka toko makanan ternak di pasar sentral. Berkat Togar pula lah adik-adiknya

dapat tamat sekolah dan malah ada yang dikuliahkan ke perguruan tinggi sekeliber

USU.

Empat tahun berlalu, Togar pun pulang dari Singapura. Dilihatnya Medan sudah

berubah jadi kota Metropolitan, dimana setiap masyarakatnya sudah banyak yang

memiliki HP. Sampai-sampai tukang becak aja bisa punya HP untuk mempelancar

bisnis-nya. Sekarang pelanggannya tinggal telepon ke HP jika membutuhkan jasa

becak-nya. Belum lagi banyak gedung-gedung menjulang tinggi, pembangunan mall

sungguh menjamur. Hotel-hotel dan apartemen pun tidak mau kalah banyaknya. Seolah-

olah memperlihatkan pada dunia bahwa, dialah gadis yang sedang bersolek. Yah,

walaupun kadang yang dipercantik hanya luarnya doang. Yang urgensi atau hakiki sama

sekali tidak terperhatikan oleh PEMKO. Masih banyak gepeng, anak-anak yang

serharusnya sekolah malah jadi peminta-minta di jalanan yang penuh lampu-lampu

terang dan diantara mobil-mobil mewah seliweran. Atau masih banyak jalanan yang

rusak parah di pinggiran kota yang tidak pernah terperhatikan karena PEMKO hanya

serius mempercantik pusat kota. Sebenarnya PAD kota Medan cukup membangun

infrastruktur atau memberikan jaminan sosial yang lebih baik buat masyarakat tapi lagi-

lagi korupsi sungguh menyengsarakan rakyat. Jadi apa kata dunia? Hari gini masih

KKN. Hehe...

Sudah ah, ngapain jadi bahas politik? Mendingan bahas si-Togar. Dia sekarang

sudah buka counter HP. Yang disuruh jaga counter, adik perempuannya yang paling

bungsu, yang sekarang lagi kuliah di USU Fakultas Sastra. Setelah satu tahun di Medan,

Togar pun memutuskan untuk kuliah lagi, dia mendaftar di USU dan diterima di

Fakultas Teknik.

3

Kayaknya cukup cerita tentang Togar. Kita beralih ke anggota cowok genk

Jayabaya yang lain. Namanya Frantinus Martin. Ehm, namanya aja udah keren.

Frantinus Martin yang biasa dipanggil Frans ini bintangnya anak Fakultas Hukum. Dia

anak basket, jago maen musik, pencipta lagu, dia tajir, tubuhnya atletlis, orangnya down

to earth, orangnya pintar... kuliah Ok, bergaul apa lagi. Dia punya banyak teman dari

semua fakultas (ya, emang sih kadang sampai tidak bisa bedakan yang mana tulus jadi

teman dan mana yang hanya mau manfaatin teman). Banyak cewek yang naksir sama

dia termasuk aku. Hehe...

Tapi... ada yang ngerasa heran tidak? Kok orang yang seprestasi Frans hanya

jadi anggota genk dan yang tidak habis pikir itu kenapa dia mau yah dipimpin sama

orang yang jueleknya bukan main kayak si Umar? Nah itu lho hebatnya si-Umar.

Tolong jangan sensi sama mukanya yang jelek. Karena jelek-jelek gitu, dia paling laku

dijadikan tempat curhat dan tempat konsultasi anak se-kampus. Apalagi cewek-

ceweknya, semua bakal lari kepada dia waktu putus cinta atau cinta tak sampai terutama

yang tak sampai ke Frans. Hehe...

Ini lagi-lagi membuktikan, No body’s perfect in the world. Tiap-tiap orang

emang sudah di kasih Tuhan talentanya masing-masing yang berbeda-beda. Nah,

sekarang tergantung sama orangnya, apakah mau dikembangkan atau hanya disia-

siakan?

Lanjut... kalau terus ngomongin cowok-cowok, emang tidak akan ada habis-

habisnya. Genk Jayabaya tidak melulu berisi cowok lho, ada juga anggota ceweknya.

Aracel duluan. Aracel itu orangnya pendiam, dia lebih suka memperhatikan orang

daripada ikut serta dalam obrolan anak se-genk. Cuman, tolong jangan sesekali nyengol

dia dengan niatan bercanda yang berlebihan. Dia bisa langsung ceplos marah di tempat

kalau emang kamu salah. Ya, kalau lagi tidak bicara sih tidak bicara tapi kalau sudah

bicara nih anak kadang bisa kasar. Kayak pisau bermata dua yang tajam menusuk ke ulu

hati. Ehm, kita yang sudah lama berteman sama dia saja kadang masih suka sakit hati

kalau dia sudah marah. Cuman kita maklumkan saja, memang sudah tabiatnya begitu.

Huh, kayaknya mau mulai bilangin kejelekan orang deh. Stop! Ganti topik.

4

Aracel jago dandanin orang lho. Wah, semua cewek bakal dipoles jadi cantik

deh. Kalau ada yang nanya apa selamanya orang yang hobi bereksperimen dengan make

up juga harus hobi dandan? Tidak juga. Buktinya Aracel tetap suka make up natural

kalau mau ke kampus atau acara apapun. Wajahnya memang sudah cantik tanpa harus

di make up kok, kulitnya putih halus bebas jerawat, imut-imut, manis, kayak wajahnya

Marshanda itu lho. Ada lagi nih repotnya berteman sama Aracel, dia sering jadikan aku

kelinci percobaan ide-ide gilanya. Aku bisa jadi putri yang feminin, bergaya groovy,

bergaya vintage sampai dandanan gaya punk yang dominan dengan warna hitam.

Ueeek..., aku malas dekat-dekat Aracel kalau kreatifitasnya tiba-tiba muncul sebab dia

bisa memaksa untuk mendadani aku sampai ke aksesorisnya semua. Kadang nih anak

payah kalau tidak diturutin kemauannya dia bisa ngambek berhari-hari ama aku, ujung-

ujungnya yang susah si ketua juga. Acara manggung dan show-shownya terganggu

karena make up artisnya ngambek. Hehe... Udah gitu ketuanya bakal ngomel, akhirnya

heboh sekampung buat ngebujuk si Aracel. Tapi belakangan kita-kita sudah tau kalau

alih-alih si Aracel itu ngambek supaya Frans perhatian sama dia. Karena kalau Frans

yang membujuk pasti deh senyum manis langsung mengambang tapi coba deh kalau

yang membujuk itu Umar atau Togar, huh... boro-boro senyum, bisa-bisa dia makin Be-

Te. Aracel punya satu orang kakak yang lagi kuliah di Perth, Australia. Ya, kita anggota

genk sampai hari ini juga belum pernah lihat wajahnya langsung sih tapi Aracel pernah

kasih kami lihat fotonya. Asli cantik banget. Ehm, nggak kalah cantik sama Aracel.

Kakaknya jarang pulang maklum biaya pulang emang mahal. Lagipula kakaknya sudah

dapat pekerjaan disana jadi mana bisa nyempatin sering pulang.

Ehm, aku dan Aracel sama-sama dari fakultas Ekonomi cuman berbeda jurusan.

Aku mengambil jurusan Akuntansi sedangkan Aracel ambil jurusan Manajemen.

5

Sekarang giliran aku, kenalin namaku Alexia Savira. Dari namaku saja ketahuan

kalau aku itu tomboi. Belum lagi dandanan dan gaya keseharianku. Rambutku aja tidak

pernah panjang melebihi dagu. Mama selalu geleng-geleng dan merepet panjang kalau

aku pulang dari salon soalnya setiap kali aku pulang dari sana, rambutku pasti semakin

pendek beberapa centi. Belum lagi kebiasaanku yang bisa main grasa-grusu saja sama

cowok. Tapi eeiit... jangan coba-coba ngelaba karena aku paling benci cowok genit dan

murahan. Aku lebih mudah bergaul sama cowok dibandingkan sama cewek jadi tidak

heran kalau teman cowok aku tuh lebih banyak. Malah herannya tempat curhatan aku

tuh bukan sesama cewek seperti lazimnya cewek-cewek lain. Cuman, aku tidak

termasuk salah satu pasiennya Umar lho.

Kalau ditanya enakkan mana berteman sama cowok atau sama cewek? Aku

cuman bisa kasih gambaran begini, kalau berteman sama cowok itu kita tidak usah jaim

karna cowok benci kita jaim. Kalau kita berteman sama cowok kita mesti pintar-pintar

masuk ke zona mereka karena dengan begitu kita akan semakin tahu sisi kehidupan

menurut cara pandang mereka. Ya walaupun tidak selamanya informasi yang kita dapat

itu baik, pintar dan bijak milih juga lar. Aku kurang setuju dengan pandangan orang

yang memberi stereotip bahwa punya banyak teman cowok itu adalah cewek nggak

benar, itu salah banget! Nah, setuju atau tidaknya itu terpulang kembali ke masing-

masing individu dengan segenap latar belakang pemikiran masing-masing.

Aku punya satu orang abang. Namanya Joshia. Dialah cowok yang paling dekat

sama aku. Kadang-kadang dia nyebelin tapi nyenengin. Kadang dia usil tapi nyegerin

aku dari suntuk. Dia tukang ngadu makanya kami sering berantem dan cekcok namun

dia paling khawatiran kalau ada sesesuatu terjadi sama aku. Mungkin cara dia khawatir

sama aku ditunjukkan dengan cara yang tidak lazim. Dia emang abang terbaik yang

diberikan Tuhan sama aku. Ssstttt, jangan sampaikan pujian ini sama dia yah, kalau

nggak dia bakal Ge-Er setengah mati sama aku. Hehe...

Masing-masing anggota genk kan sudah ada riwayatnya. Nah, sekarang aku mau

ceritain sedikit awal berdirinya genk Jayabaya. Hari pertama kuliah, setiap mahasiswa-

mahasiswi baru harus mengikuti OSPEK. Aracel, aku dan togar masih mahasiswa baru

kala itu. So, tak terkecuali kami pun harus mengikutinya.

6

Setiap mahasiswa baru diharuskan untuk mengikuti setiap arahan dari senior.

Yang jadi pusat perhatian tentu Togar. Dia selalu berbahasa Inggris di setiap

kesempatan yang akhirnya membuat beberapa senior merasa kesal dengan dirinya

karena dianggap terlalu pamer kefasihannya berbahasa Inggris. Yang lebih membuat

para senior marah karena Togar tidak mau patuh terhadap perintah mereka. Togar

memang tidak setuju universitas masih melakukan OSPEK, yang dinilainya hanya ajang

untuk menindas adik kelas. Karena perlawanan Togar itulah maka para senior semakin

membenci dirinya, mereka merencanakan sesuatu sampai akhirnya mereka sepakat

untuk menganiaya Togar di aula yang sepi pada hari OSPEK yang ke-2.

Aracel dan aku yang hendak ke kantin dan melewati aula tidak sengaja melihat

Togar yang hanya bisa pasrah saja dikeroyok oleh beberapa orang yang memegangi

dirinya. Togar begitu tidak berdaya karena masing-masing orang telah memegangi

tangan dan kakinya. Rencana awal ke kantin berbalik menjadi mencari pertolongan.

Kami teriak histeris namun jalan antara aula dan kantin yang kosong itu meredam suara

kami. Kami terus berlari mencari pertolongan sampai akhirnya kami bertabrakan

dengan Umar dan Franstinus yang notabenenya anak hukum.

Kami mengatur nafas kami yang ngos-ngosan.

“Eits.., adek-adek ini habis narik becak dimana? Kok kecapekan gini?” Umar

berdiri sambil mengibas-ngibas celananya yang kotor akibat mencium tanah. Aracel

membantuku berdiri.

“To-long Bang..., disana ada pengroyokan mahasiswa baru,” kataku masih

dengan nafas yang terengah-engah. Aracel juga sama. Dia menyapu peluh di keningnya

dengan tangan. Tampak pucat menghiasi wajahnya yang imut.

“Tolong adek-adek ini ngomong yang jelas. Kampus kita ini terkenal aman jadi

tidak mungkin terjadi pengeroyokan seperti yang adek-adek bilang. Adek-adek ini salah

liat kali.”

“Kami serius. Kalau tidak percaya mari ikut kami.”

Kami segera berlari. Melihat kami berlari, Frans dan Umar pun segera mengikuti

kami, hingga....

Frans dengan sigap mendobrak pintu Aula.

“Ada apa ini?” Umar maju duluan.

7

“Ada urusan apa sama kalian? Emang dia siapanya kalian?” Orang ini bersiap-

siap menurunkan kembali tinjunya ke muka Togar.

“Walaupun dia bukan siapa-siapanya kami tapi kami tetap berhak membelanya.”

Umar mundur sedikit. Dia pasang kuda-kuda.

“Ach, jangan sok jadi pahlawan kesiangan kalian. Apalagi kamu Sapiii, apa

kamu mau aku buat tambah jelek?”

“Yang cewek-cewek tolong minggir dulu soalnya sebentar lagi akan terjadi

pertumpahan darah. Atau kalian melapor saja ke ruang dosen.” Umar sekarang bergaya

bak petinju. Tapi sebelum Umar membuktikan kata-katanya, lawannya yang agak

bongsor langsung maju duluan.

“Ach, tidak usah banyak cincong kamu!”

Ketepak...!, Satu tinju mendarat mulus di mulut Umar.

“Auuu...uchhh...uchh...,” Umar mengusap-usap mulutnya yang makin jontor.

“Makanya lain kali kamu tidak usah banyak omong.”

Melihat Umar sudah KO, tiga orang yang agak tinggi kurus itu datang

menghampiri Frans dan mulai ngajak duel. Dengan sigap Frans menghadapi mereka,

dan baku hantam pun tidak terelakkan. Frans lihai menampik setiap pukulan yang

dilancarkan oleh lawan-lawannya. Pelan-pelan Umar mulai mundur dari arena

perkelahian. Akhirnya dia hanya jadi pesorak seperti sedang nonton acara Smack Down

di televisi.

“Apa-apan ini? Frans, Umar? Lho?” Pak Syamsil binggung melihat

mahasiswanya sudah pada berjatuhan dan berdarah-darah.

“Ada pengaduan bahwasannya disini terjadi pengeroyokan. Kalian semua ikut

saya ke ruang biro, sekarang juga!”

Pak Syamsil, Dosen yang juga ketua biro Universitas USU itu turun tangan

langsung menangani kasus ini.

Togar yang terluka lumayan parah segera dilarikan ke rumah sakit Pringadi.

Mahasiswa senior yang berjumlah empat orang tadi hampir setengahnya juga

mengalami luka yang cukup parah dan dibawa ke ruang UKS.

“Saya mau kalian ceritakan kepada saya apa penyebab keroyokan ini?”

Suasana ruang biro Fakultas Ekonomi ramai sejenak. Dua orang yang tadi

menggeroyok Togar ditambah Umar, Frans, aku, Aracel dan juru ketik cukup membuat

8

ruangan itu terasa Nyesak. Mana ruangannya pake AC alam semakin membuat gerah

orang-orang yang ada di dalamnya.

“Kenapa kalian pandang-pandangan? Bapak mau kalian jelasin kejadian yang

sebenarnya. Lalu kalian, Umar dan Frans, kenapa bisa sampai terlibat perkelahian?”

Masing-masing masih diam.

“Maaf, Pak. Kami mau jadi saksi. Sebenarnya kejadiannya begini....(Aracel

mulai menceritakan apa yang telah kami lihat). Jadi sebenarnya 2 orang ini tidak

bersalah, malah mereka lah yang menolong teman kami yang sama-sama mahasiswa

baru itu.”

“Kalian sebagai senior bukannya memberi contoh yang baik malah melakukan

tindakan anarkis. Kamu juga Frans tidak seharusnya main hakim sendiri. Memalukan!”

Emosi Pak Syamsil meledak. Yang lain hanya bisa diam, pasrah. “Besok kami

akan mendengarkan penjelasan dari korban. Kalian berempat akan diproses oleh biro

dan harus bertanggung jawab penuh terhadap biaya perawatan korban penganiayaan

kalian dan tentunya hukuman skorsing juga harus kalian jalani. Umar dan Frans, kalian

akan kami jadikan saksi. Kalian harus tetap disini menjalani pemeriksaan.”

“Baik, Pak.”

Pak Syamsil mengantarkan Aracel dan aku keluar dari ruangan biro. Dia

berterima kasih atas keberanian kami melaporkan tindakan anarkisme senior kepada

mahasiswa baru seperti ini.

“Sepertinya satu-satunya tindakan untuk mencegah anarkisme ini adalah

menghentikan program OSPEK. Bapak tidak mau ada korban penganiyaan lagi setiap

tahun. Universitas tidak mencetak tukang jagal tapi Universitas diharapkan mencetak

anak-anak bangsa yang siap pakai!” Pak Syamsil kelihatan amat menyesal.

“Ehm, itu memang lebih baik, Pak. Kami sangat mendukung keputusan Bapak.”

“Terima kasih Alexia dan Aracel. Untung ada kalian yang segera melaporkan

kejadian pengeroyokan tersebut. Kalau tidak, pasti akan jatuh korban lagi.”

“Sama-sama, Pak. Kami Cuma tidak ingin ada kekerasan di kampus.”

“Betul. Akan kami usahakan itu tidak terjadi lagi.”

“Ya. Kami permisi dulu, Pak. Masih ada kelas yang harus kami ikuti.”

9

“Ya. Ya..”

***

“Kamu hebat Frans... Belajar dari mana cara berantem ala mafia tadi?”

Yang dipuji hanya senyum tipis. Entah senyum karna kesenangan dipuji atau

senyum geli melihat mulut Umar yang makin jontor akibat pukulan tadi. Umar masih

saja mengosok-gosok bibirnya yang terasa nyeri. Frans hanya mengeleng-geleng

kepalanya. Aduh, Mar, kok kamu makin jelek aja?, batinnya Haha...

Tidak sengaja Aku dan Aracel bertemu lagi dengan Umar dan Frans yang

sepertinya baru selesai menjalani pemeriksaan di biro. Mereka menegur duluan.

“Makasih ya, kalian sudah melapor ke tempat yang tepat. Oh ya, tadi kalian bilang

kalian anak semester satu, fakultas apa?”

Kami berdua telah larut dalam keteduhan mata Frans.

“Namaku Frantinus Martin, ini Umar Syafe’i. Kami anak fakultas hukum

semester 5.”

Mereka mengulurkan tangan ke kami tapi kami cuman bisa benggong.

“Lho, lho Frans. Kok mereka jadi begini? Kamu apakan mereka?”

“Aku tidak lakukan apa-apa. Tidak tau nih kenapa mereka bisa jadi begini?”

Kami masih saja membatu, terhanyut dalam kedamaian mata Frans. Entah setan

apa yang membuat kami hampir tidak berkedip ketika melihat dalam matanya?

“Waduh Frans.. Aku tidak mau ikut-ikutan deh. Tanggung jawab sendiri.”

“Eh, eh.... Kamu tidak boleh pergi.”

10

Buru-buru ditariknya kerah baju Umar.

“Hello, kalian baik-baik aja kan?”

“Ach, tidak apa-apa.”

“Tadi kalian ngomong apa?”

“Kami baru ngenalin diri. Sekarang gantian dong.”

“Oeh.... Aku, Alexia Savira. Dia, Aracel. Kami dari fakultas Ekonomi tapi beda

jurusan.”

“Frans, gawat....! Ini jamnya masuk kelas. Ingat tidak kalau kita bakal ada kuis?”

“Oh iya, benar. Kami duluan deh. Met kenal.”

“Sama-sama.”

Ampun, senyuman itu....! tomboi-tomboi begini aku masih bisa ngerasain yang

namanya getaran kagum saat aku menatap dalam matanya Frans.

***

“Frans, jadi ikut Pak Syamsil ke rumah sakit tidak?”

“Jadi. Dia pergi sendiri. Sekarang, kita cari dulu dua orang cewek yang semalam

itu. Apa mereka mau ikutan tidak?”

“Ach, ngapain pake ngajak cewek segala? Ntar malah bikin repot. Kita perginya

berdua aja.”

“Ih, apa-apan sih kamu. Kalau kamu nempel terus sama aku, yang ada

reputasiku bakal jatuh.”

“Nah kan kayaknya udah mau mulai ngejek. Yah, sudahlah terserah kamu aja...”

“Ayolah kita cari sama-sama. Kamu kan lebih tau dimana fakultas Ekonomi?”

“Repot amat deh! Ya sudah lah, ayo...”

***

“Akhirnya ketemu kalian juga...”

“Ada apa?”

“Kalian mau ikut kami pergi ke rumah sakit sekarang? Tidak menganggu jadwal

perkuliahan kalian kan?”

“Jadwal kami kosong pagi ini.”

“Kalau gitu tunggu apa lagi? Ayo kita pergi.”

11

Alis mata Frans turun sebelah. Tadi waktu Frans mengajaknya mencari dua

orang cewek ini, dia menolak hebat. Tapi sekarang....

“Kok kamu tiba-tiba semangat gini?”

“Ditemanin cewek-cewek cantik, siapa sih yang sanggup nolak? Bangga pula

orang kayak aku selalu dikelilingi sama cewek cantik. Hehehe....”

Umar cekikikan sendiri.

“Udah jelek, sombong pula jadi orang!”

“Nah ini yang yang aku tidak suka dari kamu Frans. Suka ngiri sama orang.

Puas? Puas?”

Tukul... Tukul... Sadar dong!

***

Togar dikelilingi orang tua, handai tolan dan adik-adiknya. Kamar pasien itu

sontak sesak dijejeli orang sekampung. Itulah orang Batak. Rasa persaudaraannya masih

kental. Ketika salah satu sanak saudara mendapat kemalangan maka yang lain akan

langsung datang berkumpul untuk membantu.

“Ach.., malang kali nasib kamu, bah! Baru saja kami bahagia karena kau masuk

perguruan tinggi sekeliber USU sekarang kau sudah terkapar tak berdaya disini.

Sebenarnya, kau sudah berbuat salah apa sampai-sampai senior kelas kau menghajar

kau sampai begini? Hampir sekarat nya’ kau,” Ujar Tulangnya Togar, duduk di samping

ranjang.

“Sudah kubilang, Tulang, aku itu tidak bersalah. Aku hanya berniat kuliah

bukannya cari susah,” kata Togar masih dengan keadaan lemas.

Togar memang terluka cukup parah. Matanya bengkak dan nampak berdarah di

bagian putih matanya. Kepalanya bocor dan harus mendapat sepuluh jahitan, belum lagi

memar di sekujur badannya. Mau mati saja rasanya.

“Taunya kau! Baiklah Tulang percaya sama kau. Tulang tau kau ini anak baek

tidak mungkin lah mencari masalah duluan. Nanti siang biar Tulang yang datang ke

kampus kamu untuk buat pengaduan. Tidak bisa begini kau. Sudah kau yang dipukul,

kau pula yang harus nanggung biaya rumah sakit. Hajab lah!”

“Makasih, Tulang.”

“Sudahlah istirahat aja lah kau biar cepat sembuh.”

12

Baru mau merem. Eh, rupanya gerombolan siberat alias 3 orang yang telah

memukul Togar datang menjenguk. Yang satu lagi tidak bisa datang karena mengalami

bonyok di mukanya akibat dari tonjokan Frans. Cuman dia yang lukanya cukup parah,

yang lainnya hanya luka dan memar ringan. Yang parah itu pun sekarang sedang

menjalani pemeriksaan dokter di rumah sakit Haji.

“Tulang, tolonglah aku...”

“Kenapa kau? Mereka teman kau kan?”

“Iya, kami datang untuk minta maaf atas tindakan pemukulan yang telah kami

lakukan.”

“Jadi kalian yang sudah buat keponakanku babak belur begini? Kurang aja

kalian!” Emosi Tulang Togar meledak seketika.

“Tahan, Paman....”

Frans dan Umar mencoba menahan tangan Tulangnya Togar yang dengan ringan

melayang. Beberapa saudara Togar yang lain pun sudah berkerumun sambil marah-

marah.

“Lepaskan..., biar aku beri mereka pelajaran. Disuruh kuliah yang benar malah

berkelahi, mau jadi apa kalian? Palak kali aku lihat anak muda yang sok jagoan kayak

kalian!” ujar Tulang Togar dengan emosi yang meletup-letup.

“Maaf... Kami benar-benar khilaf dan salah paham terhadap Togar. Kami datang

kemari untuk minta maaf dan menawarkan tali persahabatan,” kata salah satu yang

bertubuh agak bongsor. Terdengar tulus dan penuh penyesalan.

“Enak kali kau pikir? Dengan kata maaf kau itu, bisa langsung sembuh

keponakanku ini?” salah satu saudara Togar.

“Iya, kami akan tanggung semua biaya rumah sakit Togar sampai dia benar-

benar sembuh,” kata mereka sambil terus berkata menyesal telah melakukan pemukulan

terhadap Togar.

“Gimana, Gar? Kau maafkan mereka?”

“Aku tentu memaafkan mereka.”

“Jadi gimana sudah selesai masalahnya?” Pak Syamsil baru datang.

“Siapa lagi Bapak ini?”

“Ini Pak Syamsil, ketua biro fakultas USU. Dia inilah yang menangani kasus

keponakan Bapak.” Umar memperkenalkan.

13

Tulang Togar dan Pak Syamsil bersalaman.

“Saya turut bertanggung jawab atas pemukulan keponakan Bapak. Saya sudah

tidak setuju dengan adanya OSPEK. Yang berkedok pengenalan kampus tapi nyatanya

setiap tahun selalu jatuh korban seperti ini. Saya malu sekali terhadap keluarga ini.”

“Saya akan janji adanya proses hukuman bagi mereka.”

“Saya sudah maafkan mereka.”

“Bagus, Togar. Kamu memang bersifat mulia walaupun sudah ditindas masih

sanggup memaafkan. Namun, proses hukuman harus tetap diberikan pada mereka

supaya mereka jera.”

“Saya hanya minta pertanggungjawaban dari biaya rumah sakit saya.”

“Tentu. Mereka harus menanggung biaya administrasi rumah sakit kamu sampai

kamu benar-benar sembuh seperti semula.”

“Terima kasih atas bantuannya.”

“Sama-sama.”

Tulang Togar, Pak Syamsil dan ketiga orang tadi permisi, mereka hendak ke

kasir mengurus semua administrasi yang ada.

***

“Gimana keadaan kamu sekarang, Gar?”

“Udah baikkan sih cuman badanku ini masih sakit semua. Remuk rasaku.”

“Gar, ajaklah teman kau itu duduk,” Mamaknya Togar mengambilkan kami satu

persatu bangku.

“Tidak usah sungkan gitu lar, Tante,” jawab Umar malu-malu.

“Mak, mereka inilah yang telah menyelamatkan Togar. Kalau tidak ada mereka

tidak mungkin lah Togar bisa selamat.”

“Terima kasih lah, Nak-ku. Keluarga kami sangat berhutang budi sama kalian, ”

ucap Ibunya Togar sambil menjabat tangan Umar dan Frans.

“Tidak usah berterima kasih, Tante. Kami ikhlas bantu anak ibu. Kami biasa

nolong orang itu tidak tanggung-tanggung. Ibu tenang aja setelah kejadian ini Togar

pasti aman kalau berteman dengan kami.”

14

Kadang kayak gini yang ngeselin dari Umar. OmDo! Alias Omong Doang yang

besar. Aku dan Alexia cuman bisa tersungging dengar Umar ngomong. Habisnya

sombongnya itu lho, kagak nahan!

“Hanya Tuhan lah yang sanggup membalas budi kebaikan kalian. Ibu doakan

supaya kalian murah rejeki, selamat di perjalanan, sehat selalu,....” dan masih banyak

lagi doa-doa yang dipanjatkan ibunya Togar. Ini acara sunatan atau apa sih? Hehe...

“Terima kasih, Bu. Kami sudah mau pulang. Kasihan dua cewek itu nanti pulang

kesiangan.”

“Iya, iya.”

“Cepat sembuh kawan.”

“Ya.”

“Mari Bu....,” kata kami serentak.

“Hati-hati, Nak-ku.”

***

“Tidak kusangka ibunya Togar baiknya minta ampun. Aku sampai ditawarin

catering gratisan setiap kuliah.”

“Wah, bagus dong. Kamu jadi tidak nambah beban kantinnya kampus.”

“Beban? Justru Ujang paling senang kalau aku datang makan ke tempatnya. Aku

kan bawa rejeki buat dia. Pokoknya jualannya pasti tidak bersisa.”

“Bukannya rejeki tapi rugi! Orang kamu nambah makan tapi juga nambah

ngutang kok. Haha...”

“Ih, pelan-pelan dong kalau ngomong tentang hutang. Aku kan malu sama

cewek-cewek dibelakang.”

“Masih ada urat malu? Kirain! Hehe...”

Umar berbubah cemberut.

“Eh, bercanda kok. Gitu aja langsung merajuk.”

“Jadi akhirnya kamu mau di cateringin sama ibunya Togar?” tanyanya untuk

menetralkan suasana kaku.

“Ya nggak lah. Aku tuh tidak mau repotin orang lain. Aku ikhlas nolong

anaknya,” kata Umar omong kosong.

15

“Ya deh. Yang cewek-cewek mau diantar kemana? Balik kampus atau diantar ke

rumah masing-masing,” kata Frans terpaksa meng-iyakan daripada Umar tambah

ngambek.

“Terserah...,” jawab Aracel. “Ke rumah aja...,” jawabku.

Kok jawabannya tidak kompak gitu? Yang satu pasrah banget, yang satu ngotot

banget.

“Jadi baeknya gimana? Yang mana nih yang mesti aku dengar?”

“Aku...,” kalau yang ini kompak sekali.

Umar melempar tatapannya bergantian ke Frans, Aracel dan aku secara

bergantian. Frans mengangkat bahunya. Memasukkan gigi lalu tancap gas.

“Ya sudah deh. Aku antar ke rumah masing-masing aja.”

“Ok.”

***

“Oh, jadi rumah kalian berdekatan.”

“Iya. Hanya beda 3 blok saja. Kalian mau masuk dulu?”

“Ehm, tidak deh. Lain hari aja ya, kami masih ada urusan.”

“Makasih ya sudah ngantarin kami pulang.”

“Makasih buat aku mana?”

“Ngapain?”

“Hehe... aku cuman bercanda kok. Kalian jangan tanggapin dengan serius

dong.”

“Ok deh. Bye...”

Umar melambai-lambaikan tangannya tanda perpisahan. Amit-amit deh seumur-

umur baru kali ini kami ketemu orang kayak dia.

***

Sejak kejadian itu...

Umar, Frans, Togar, Aracel dan aku makin sering diskusi, kumpul, sharing dan

curhat. Masing-masing sudah kayak saudara dan ikatan batin yang kuat.

16

Sampai suatu hari atas ide Umar yang sangat mulia dan berpandangan jauuuuhh

ke depan maka dari itu, lahirlah sebuah genk yang diberi nama Jayabaya. Lho kok

dikasih nama Jayabaya? Karena genk ini diharapkan tetap jaya sampai masing-masing

anggota sudah separuh baya. Walaupun usia sudah paruh baya tapi masih punya prestasi

dan perkumpulan yang solid. Harapan yang sangat indah, bukan?

Eitss... jangan konotasikan genk ini kepada makna negatif karena perkumpulan

ini sungguh bersih dan jauh dari kegiatan-kegiatan yang negatif apalagi yang cuma

membuang-buang uang atau waktu.

Visi dan Misi genk Jayabaya jelas....

Visinya: Menciptakan lapangan kerja buat anggotanya dan mencetak SDM yang

handal, berdaya guna untuk lingkungan masyarakat pada umunya dan lingkungan

kampus pada khususnya.

Misinya: Memulai kegiatan-kegiatan yang positif, mencetak dan

mempertahankan prestasi, mencetak SDM yang handal, berbelas kasih, bersahabat

dengan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Setelah Visi dan Misi genk jelas, dibuat juga peraturannya.

“Genk Jayabaya ini beranggotakan orang-orang yang bersih dan bebas dari

narkoba, miras, rokok, judi dan pergaulan bebas maka dari itu, jika salah satu anggota

terbukti mencoba salah satu jenis larangan itu maka akan langsung dikeluarkan secara

tidak hormat.”

***

Umar masuk ke ruangan meeting. Dia langsung mengambil tempat di

singasananya sebagai ketua genk. Semua orang duduk mengintari satu sama lain. Ini lah

rapat tentang pelaksanaan proyek baru garapan genk Jayabaya.

“Siapa saja yang sudah hadir siang ini?”

“Seperti yang kamu liat. Disini cuman ada aku, kamu dan Togar.”

“Aracel dan Frans kemana? Ada berita dari mereka?”

“Not yet. Bahkan nomor mereka satu-satu pada di luar jangkauan.”

“Coba aku hubungi mereka lagi,” aku berinisiatif. Ku tekan nomor Aracel.

“Uch, lagi-lagi tidak aktif.”

“Busyet, kemana mereka tanpa berita kayak gini?”

17

“Sabar, Mar. Kita tunggu saja bentar lagi.” Togar seperti biasa masih santai.

“Mar-Mir-mar. Ini menyangkut masa depan genk. Kalau disiplin aja nggak ada,

mau jadi apa kita nanti?” ini lah akibatnya kalau buat ketua emosi. Dia pasti akan

ceramah panjang lebar. Lagi asyik-asyik ceramah, eh... yang diceramahin panjang umur.

Mereka datang bersamaan ke camp.

“Sorry kami terlambat.”

“Sora... Sori.. Enak aja kalau ngomong. Kita sudah tungguin kalian hampir satu

jam. Tau?”

“Tau. Tau.”

“Enak aja bilang tau tapi toh terlambat juga.”

“Kalau gitu jawabannya kami ganti; nggak tau,” Frans nyengir.

“Makanya jangan hanya semau kalian berdua aja dong. Terlambat nggak

konfirmasi dulu. Mau dihubungin HPnya nggak aktif. Gimana sih?”

Ini akibatnya kalau sudah buat Umar marah. Dia bisa nyerocos kayak air...

Keran kali! Beneran, dia paling pantang marah karena dia bisa ceramah panjang lebar.

Pokoke sampe dia puas.

Singkat cerita...

“Rapatnya jadi nggak nih?” Aku mulai tidak tahan nunggu Umar yang kelamaan

ceramah.

“Jadi. Kita mulai saja agenda pertemuan hari ini tapi saya harap kejadian seperti

ini tidak terulang lagi.”

“Nah, teman-teman... Setelah setahun genk Jayabaya ini terbentuk saya mau

Jayabaya ada naungannya jadi bukan hanya sekadar genk yang tidak menghasilkan apa-

apa.”

“Setuju!” suara kami serentak kayak koor paduan suara.

“Saya mau Jayabaya kelak menjadi wadah bagi anggotanya menyalurkan

kreakitifitas, ide, saran dan kritik sehingga akhirnya Jayabaya hadir untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Umar rada nggak nyambung ya? hehe....

“Lalu sesi berikutnya dengar pendapat dari anggotanya. Kira-kira dari antara

kalian, ada nggak ide yang mendukung misi terbaru genk kita ini?”

18

“Bagaimana kalau kita membuat koran gratis. Koran yang isinya tentang

lifestyle anak Medan,” Aracel memberi pendapat setelah sekian lama masing-masing

anggota diam dan saling tatap-tatapan.

“Ide yang cemerlang! Hal seperti ini masih langka di Medan. Kalau yang gratis

didukung dengan isinya yang bagus, pasti banyak yang nyari. Cuman masalahnya, bikin

yang gratisan tentu perlu adanya sokongan modal yang kuat apalagi diantara anggota

Jayabaya nggak ada ortu yang buka percetakan sendiri. Mau tarik sponsor atau income

dari iklan tentu harus membangun image dari korannya dulu. Kalau masyarakat aja

tidak ada yang kenal sama koran itu, siapa toh yang mau pasang iklan disitu? Buang-

buang duit perusahaan aja, pasang iklan di koran yang tidak terkenal. Ujung-ujungnya

malah tambah beban tapi efek dari promosi atau iklan tidak ada. Ya, nggak?” pendapat

Togar tidak kalah menariknya.

“Membangun image atau brand dari suatu produk tentu tidak murah dan

gampang. Apalagi dengan anggota dan dana yang minim. Jangan sekali-dua kali terbit,

eh, yang selanjutnya malah bangkrut,” kata Togar mantap.

“Aduh, mulai negative thinking lagi deh!” aku berusaha menengahi.

“Ide yang bagus... Patut untuk dipertimbangkan. Ada ide yang lain?”

Togar berdiri. Dia hendak memberi pendapat.

“Bagaimana kalau kita buat perpustakaan keliling. Buku-buku yang semakin

mahal tentu menghambat niat belajar anak-anak kurang mampu apalagi anak-anak

jalanan itu. Mereka niat banget untuk belajar tapi uang buat beli buku, tidak ada. Mana

terpikirkan lagi belajar kalau harga buku pelajaran saja lebih mahal dari sembako.”

“Aku yakin niat belajar mereka tinggi sayang tidak didukung dengan

kemampuan materi sehingga membuat mereka sangat tergantung pada uluran tangan

orang yang peduli. Aku mau mengajak kalian semua untuk peduli dengan nasib mereka,

bagaimana?” perkataan Togar disambut dengan tepuk tangan. Setiap anggota memberi

dukungan penuh terhadap prospek yang diberikan.

“Baiklah, aku akan minta bantuan papa untuk mencarikan mobil bekas yang

dijual murah. Kita bisa buat pementasan amal untuk mengumpulkan dana pembelian

mobil tersebut.” masukan dari Frans boleh juga.

“Minta belikan saja mobil baru sama papa kamu? Untuk apa mesti adain pentas

seni amal buat ngumpulin uangnya?” kataku agak nyeleh.

19

“Tidak. Tidak boleh. Ehmmm.., aku tidak setuju. Ini proyek genk Jayabaya yang

pertama jadi aku tidak mau membangun image genk yang buruk. Dan proyek ini sama

sekali tidak ada hubungannya dengan orang tua Frans.”

Frans langsung menghubungi papanya dan papanya langsung ok! Lampu hijau

sudah diberikan, pinjaman lunak akan segera dikucurkan berarti dana segar untuk

memulai kegiatan amal sudah dapat dilaksanakan.

Baru berjalan 2 minggu saja setelah hasil rapat memutuskan bahwa ide Togarlah

yang diterima, sudah banyak mahasiswa lain yang menyatakan kesiapan mereka

membantu dalam bentuk materi, tenaga dan properti.

“Jadi sudah berapa banyak buku-buku yang terkumpul sampai hari ini?”

“Kalau buku pelajaran sudah terkumpul sekitar 200-an. Buku-buku komik,

ensiklopedia, buku pengetahuan umum, agama, dll.

“Kerja yang bagus Aracel. Kerja kamu juga rapi bahkan kamu mengelompokkan

buku-buku menurut jenis ilmunya.”

Dasar Umar, manis banget. Mentang-mentang nih ada hati sama Aracel

“Lalu kamu Alexia, informasi apa yang telah kamu peroleh?”

“Dari pantauan dan survei yang aku dan Togar lakukan beberapa hari ini, kami

sudah dapat memetakan titik-titik rawan buta huruf dan wilayah yang KuPer informasi.

Nah, setelah melewati beberapa kali diskusi, kami menetapkan rute dan jadwal

perjalanan perpustakaan keliling ini.”

“Bagus. Kerjasama yang kompak.”

“Terima kasih.”

Aku dan Togar loncat kegirangan karena usaha kami berpanas-panas ria di

lapangan, mensurvei ke setiap sudut jalan raya yang penuh dengan anak jalanan selama

seminggu penuh ini tidak sia-sia. Pujian dari Umar seperti memberi energi buat kami.

“Ok. Frans dan aku telah membuat konsep acaranya. Rencananya acara amal

akan kita laksanakan hari Sabtu siang dan puncak acaranya akan dilakukan gunting pita

dan peluncuran perjalannya rute pertama mobil perpustakaan keliling ini.”

“Konsep acaranya, bla... bla... bla...”

Sungguh melelahkan... Setiap anggota genk pun siap bergadang demi suksesnya

proyek pertama genknya.

20

Seperti kata motivator no.1 di Indonesia, Andrie Wongso, “Sekali jarum besi

ditancapkan ke bumi, pantang untuk dicabut kembali.”

Sampai akhirnya mereka terus mencetak sukses-sukses proyek berikutnya. Genk

Jayabaya terus memperluas jangkauannya proyeknya sampai-sampai genk Jayabaya

mulai mampu menyewa suatu gedung untuk operasionalnya. Komunikasi yang baik,

kerjasama yang baik, dan team yang solid sangat menentukan sukses tidaknya suatu

genk dan itu telah terbukti dalam genk Jayabaya. Namun, tentu kami juga mengalami

masa-masa sulit seperti beberapa hari belakangan ini..

Di suatu siang yang panas,

Semua anggota genk diajak berkumpul bersama. Aku berdiri, “Ehm, pertama

aku minta maaf nih kalau aku sudah dadakan mengajak kalian meeting.”

“Sudah kumpul semua. Kamu mulai sajalah.” Umar memberi kode buat aku

maju.

“Aku mau kasih tau kabar buruk buat kalian semua. Pembukuan genk akhir-

akhir ini agak kacau.”

Aku meletakkan kertas laporan keuagan di meja dan langsung disambar oleh

masing-masing anggota.

“Kacau gimana, Lex?” Umar meletakkan kembali kertas yang dipegangnya.

Umar berubah serius.

Aku berubah sewot.

“Please, jangan panggil aku begitu. Kamu kira aku cowok?”

“Emang cowok!”

“Cewek gini kok,” aku hendak membusungkan dada akibat tidak terima

perkataan Umar tapi karena disitu ada anggota yang lain aku menggurungkan niatku.

“Udah... Udah. Tidak penting bahas begituan. Tadi kamu mau bilang apa, Vi?”

Aracel penasaran.

“Gini lho teman-teman setelah aku audit pembukuan kita, aku menemukan

neraca yang tidak seimbang.

“Kita banyak terima sumbangan dalam bentuk likuid dan modal kerja lainnya

tapi...”

Semua tegang...

21

“Tapi apa?” kata Umar tidak sabar.

“Dilaporan bulan ini terlihat bahwa kita rugi.”

“Apa?” jawab anggota serentak.

“Ya, begitulah kenyataannya.”

“Kok baru ketauan sekarang kalau kita rugi? Kamu periksa pembukuan tidak

sih? Gimana kerja kamu selama ini?” Umar langsung naik tensi.

“Lho kok jadi salah aku? Kan kita sama-sama sibuk proyek ini-itu. Belum lagi

jadwal kuliah yang padat. Kamu mikir tidak sih sebelum ngomong, Mar?” tembakku

tidak kalah sengit.

“Bukankah kita semua sudah punya tugas masing-masing yang disusun di awal

pembentukan genk ini? Ya, masing-masing harus tanggung jawab di bidang masing-

masing dong.”

“Lagipula, di genk ini yang ngerti pembukuan dan semua tetek bengeknya

cuman kamu. Jadi kalau ada masalah kayak gini tentu aku perlu pertanggungjawaban

dari kamu.”

“Tapi jangan langsung nembak gitu dong kalau ngomong.”

“Umar, Alexia, jaga emosi kalian. Ini bukan saatnya bertengkar. Lagipula

masalah ini tidak bisa terselesaikan jika kalian bertengkar. Kita kasih saja waktu buat

calon akuntan kita ini kembali mengaudit dengan seksama semua pembukuan kita.

Besok kita lanjut bahas masalah ini lagi. Ok?” Frans memberi ide.

“Ya, lebih baik begitu.”

Bagus juga bubar daripada berada di dalam ruangan itu lebih lama lalu terjadi

atraksi laga kambing. Hehe...

Aku langsung banting pintu ruang santai gedung operasional genk. Yang jalan di

belakang membuntutin aku tentu kaget bukan kepalang. Hantaman pintu besi itu lho,

busyet! Bisa-bisa retak tuh dinding. Ini cowok atau cewek? Kok kasar banget?

“Huh, apa sih maksud si Umar itu? Mau bilang bahwa kerjaan aku tidak beres?”

“Ya. Ya. Aku tau kerjaanku dihadapan dia mana pernah dipuji sih? Sapa suruh

setiap kali aku suruh dia lihat laporan pembukuan bulanan, dia diam saja. Kalau tidak

ngerti tanya dong. Jangan taunya cuman marah-marah.”

22

“Sudah lah, cukup. Kau jangan ikut-ikutan emosi. Kontrol emosimu. Kau ini

perempuan. Lembut lah dikit.” Kata Togar, berdiri di sampingku lalu memegang

bahuku.

“Bukan gitu, Gar. Siapa sih yang tidak akan emosi kalau langsung di skak

begitu? Seharusnya dia kasih aku waktu buat jelasin permasalahannya.” Aku

menyentakkan tangannya sampai tangannya terhempas dari bahuku.

“Bukannya aku enak aja di genk ini. Emang aku tidak punya andil dalam

membesarkan nama genk Jayabaya sampai setenar ini? Jawab, Gar!” kataku dengan

tangan etrlipat di dada.

“Alexia, coba tenangkan dirimu. Kau marah-marah gini juga tidak akan

menyelesaikan masalah. Kau hanya akan membuang-buang tenaga, mendingan kau

fokus sama masalah utamanya.”

“Soal omongan Umar jangan kau pikirkan. Sayangnya Akuntansi bukan bidang

yang aku sukai dan aku dalamin saat ini jadi aku tidak paham benar dan tadi aku tidak

bisa membelamu.”

Dengerin itu, aku jadi terharu... adem banget! Kembali mentralkan darah tinggi

yang sudah sempat naik ke ubun-ubun dan mendidih disana.

“Makasih. Aku masih sanggup kerja sendiri. Akan aku buktikan bahwa aku

tidak hanya duduk-duduk aja di genk ini.”

“Bagus. Kalau gitu kita cari makan, yuk.”

“Yuk...”

“Eitss.., tunggu. Biar aku yang buka pintu.”

Mataku mensipit.

“Tenang, aku hanya mengantisipasi agar bangunan ini laik pakai 2 tahun

mendatang. Soalnya biaya sewanya sudah dibayar dimuka, Bos..”

Tawaku hampir meledak namun aku tahan.

Good joke!, setidaknya itulah pendapat aku.

***

“Enak kan makanan disini?”

“Ehm... ehmmm...”

23

“Kok cuman gitu reaksi kau. Orang-orang disini makan sampe nambah, kau

selera pun tidak.”

“Masih mikirin masalah tadi? Uhhh, aku tidak suka kau loyo begini. Alexia

yang aku kenal itu garang, tegar, kayak batu gantung yang di Parapat itu. Bukan lembek

kayak Tahu, gini.” Togar mengangkat Tahu gorengnya lalu mengayun-ayunkan Tahu

tersebut.

“Setelah ini aku akan bantu carikan referensi buku Akuntansi buat kamu. Trus,

aku sudah bilangin sama cleaning service buat bersihkan ruangan meeting kita supaya

kamu bisa menggunakannya.”

“Tidak usah, Gar. Di rumah aku juga bisa ngerjain.”

“Tak apa-apalah. Aku yang tanggungjawab kalau si-Umar tidak senang nanti.”

“Baiklah. Terima kasih.”

“Sama-sama.”

“Ayo, makan yang banyak. Kamu butuh tambahan tenaga supaya bisa mikir,

kan?” Togar trus menyendok nasi gurihnya dengan lahap.

“Udah cukup.”

“Ach, gimananya kau ini? Baru makan dua-tiga sendok aja sudah cukup kau

bilang? Ayolah Alexia, kau ini mesti take care sama kesehatan badan kau itu.”

“Aku mau balik ke markas dulu. Buru-buru ni.”

“Aku antar yah.”

“Tidak usah. Kamu lanjutin aja makan siang kamu. Aku bisa balik sendiri.”

“Ah, tunggu lah kau. Tunggu. Tunggu.” Togar buru-buru meletakkan sendok

lalu menjumpai pemilik warung nasi untuk membayar.

Alexia berjalan mantap. Dia yakin bahwa rugi kali ini hanya karena

kesalahannya mencatat biaya dan tentunya itu tidak membahayakan.

Togar agak khawatir Alexia depresi menghadapi laporan keuangan yang minus.

Alexia sudah terlanjur hidup sebagai jiwanya jadi apa pun yang terjadi sama

Alexia sedikit banyak juga berdampak pada dirinya. (Ups.., kecuali dampak pada nafsu

makan. Hehe...).

“Alexia...!”

Dua laki-laki sekarang berdiri dihadapannya. Yang satu lagi ganteng kayak

Brad Prit yang satu lagi item kayak Will Smith.

24

Alexia jadi caggung kalau dicegat seperti ini.

“Kenapa kalian menghalangi jalan aku? Aku buru-buru nih! Minggir, mingir!”

“Bentar dulu!”

“Akan aku selesaikan. Kalian nggak usah takut pokoknya aku tanggungjawab.”

“Hei, bukan masalah itu.”

“Trus?”

“Togar mana?”

“Tadi aku tinggal di warung nasi sana.” Tanganku menunjuk ke seberang jalan.

“Ampun deh! Susul, cepat!”

“Hah, aneh! Kenapa mesti disusul?”

“Kita butuh dia sebagai jubir.”

“Hahhh?” aku makin binggung.

“Ada lembaga pendidikan Singapura yang tertarik menjalin kerjasama di bidang

pendidikan, sosial dan budaya. Oke, nggak tuh?”

“Serius?”

“Dua rius, malah!”

“Hahaha...”

“Kok kamu ketawa? Sinting!”

“Akhirnya usaha kita selama ini tidak sia-sia. Promosi kesana-kemari, baru hari

ini lah aku lihat hasilnya.”

“Aku salut sama kamu, Frans. Kamu kan yang paling rajin mempercantik blog

tentang genk kita di internet,” pujiku.

“Dibantu sama Aracel juga kok,” kata Frans sambil cengar-cengir.

“Oh...”

Sebel. Sebel. Sebel. Kok ujung-ujungnya cuman proyek mereka berdua aja yang

berhasil. Umar dan Alexia sama-sama manyun sangking jelousnya. Ya, iyalah. Si Umar

kan sukanya sama Aracel. Kalau aku diam-diam nyimpan sebongkah asa cinta untuk

Frans.

“Telepon. Telepon si Togar itu,” kata Umar tiba-tiba.

“Ye, telepon aja sendiri. Kenapa mesti aku?”

“Hape aku habis pulsa, Alex.”

25

“Sudah berapa kali aku bilang jangan panggil aku begitu! Panggil aku Savira

atau Vira, Tau?”

“Nggak penting! Bahas namanya nanti-nanti aja. Mending telepon Togar dulu

sebelum tawaran emas hilang dari genggaman kita.”

Frans geleng-gelang kepala liat aku dan Umar.

“Sini pake Hape aku saja!”

“Iya ni, Alex pelit!”

“Kamu tuh!”

“Aku bokek.”

“Dasar, Sapii’i.” Ejekku. Umar dan aku hampir tonjok-tonjokan walaupun

sebenarnya Umar tidak berani kasar sama cewek.

“Halo... Gar, lagi dimana? Apa? Perpus? Buat apa?”

“Kami tunggu kamu di tempat parkir sekarang. Iya, cepetan yah.”

“Selesai.”

Frans mengembalikan HP E-seriesnya ke saku kemeja.

Anak ini memang selalu tempil mentereng. Mobil bagus, HP keren, orangnya

juga ok. Singkatnya perfect deh.

“Aku mau balik ke markas nyelesaikan laporan keuangan. Masalah ini tentunya

kalian cowok-cowok lebih ngerti. See ya...”

“Ok. See you.”

***

“Vi, darimana aja?”

“Habis makan siang trus ketemu Frans dan Umar di tempat parkir.”

“So, kamu sudah tau?”

“Ya, iyalah.”

“Tos dulu dong.”

Tangan kamu bertubrukan. Tossttts...

“Hehm, kita mesti kerja lebih giat lagi untuk mengembangkan genk kita.”

“Ya.”

“Minggu ini aja, sudah ada seratusan orang yang ngeblog ke situs genk kita.

Keren, kan?”

26

“Iya.”

“Bahkan polling yang kita adakan selalu padet diminati sever.”

“Iya.”

“Iya. Iya. Iya. What’s wrong? Kok lemes?”

“Nothing.”

“Aku pake ruang meeting.” Aku langsung ngeloyor pergi.

“VI...!”

“Huh... promosi!” Aku meletakkan tas lalu mengeluarkan beberapa lembar

kertas ukuran folio. Aku balik fokus sama laporan keuangan yang sedang memenuhi

meja meeting. Aku bongkar kembali voucher-voucher yang terklep bersama dengan

kertas folio.

Hehm, ternyata aku ingat beberapa bon yang belum aku catat trus ada honor

hasil kerja genk Jayabaya yang belum ditagih. “Ach, gimana nggak minus kalau semua

piutang menumpuk nggak dicairkan jadi kas. Sementara hutang dan biaya nggak bisa

ditunda penggeluarannya,” desisku pelan.

Sip! Cara pertama, telepon dulu kolega yang berpiutang. Pastikan tanggal

transfer tunggakan honor terus buat perincian cash flow. Mana estimasi inflow yang

akan diterima sampai minggu ini lalu buat perincian outflow yang terdiri dari perincian

pembayaran hutang yang telah jatuh tempo dan estimasi kas minimum. Ini begini. Ini

begitu.

Hah, selesai juga. Aku agak terkejut melihat jam tanganku. Sudah jam

sembilanan. Aku merenggangkan pinggangnya yang sakit semua. Lalu aku

membereskan kertas-kertas yang berserakan di meja.

Ketika berdiri di pintu, HPku berbunyi.

“Halo...,” malas-malas aku mengangkatnya.

“Hei, sister. Jam berape pulang? Udah malam masih keluyuran aja. Ingat lho

kamu tuh anak gadis.”

“Iya, cerewet! Ni juga sudah mau pulang.”

“Mau diRBT-in nggak?”

“Pake nanya. Ya, mau lah.”

“Hehe... Kirain kamu bisa pulang sendiri.”

27

“Boleh aja asal tahan tuh dengar Papa dan Mama ngomel, sama adek semata

wayang aja berkera!”

“Wek, curang! Kamu ada bekingnya. Takut!”

“Ya sudah. Sekarang aku tunggu di depan markas Jayabaya. Nggak pake lama.”

“Dasar!”

“Biarin!”

“Tunggu 15 menit lagi.”

“Ok.”

***

Markas Jayabaya jam segini sudah sepi. Entah kemana semua penghuninya?

Tiba-tiba....

“Mbak,” seseorang menepuk bahuku.

“Aaacchhh....,” teriakku membahana.

“Maaf, saya Asep. Office boy disini.”

Aku membalikkan badan sambil terus mengurut dada sangking kagetnya.

“Astaga, kamu mengangetkan saya. Ada apa, Sep? Kenapa kamu jam segini

belum juga pulang?”

“Tadi saya dititipi pesan mesti tunggu sampai Mbak pulang dulu baru boleh

pulang.”

“Ngapain?”

“Bersihin ruangan yang tadi Mbak pakai.”

“Besok kan masih bisa, Sep.”

“Saya pun diminta siap sedia mana tau Mbak perlu sesuatu.”

“Ach, tidak perlu begitu... saya sudah selesai. Mereka sudah pada pulang ya?”

“Iya. Mbak sendiri?”

“Saya juga mau pulang. Lagi tunggu jemputan. Kamu juga pulang aja nanti saya

aja yang kunci kantor.”

“Baiklah, Mbak. Saya ke dalam ambil barang saya dulu.”

“Cepat yah, Sep. Jemputan saya datang 10 menitan lagi.”

“Iya. Iya.”

Tidak lama kemudian...

28

“Terima kasih ya, Mbak.”

“Iya. Sama-sama.”

“Asep permisi pulang dulu.”

“Iya.”

Tidak lama kemudian, HPku berdering kembali, dentingan piano dari Alicia

Keys mengalun pelan, ada SMS masuk.

Met malam... Masih di markas? Jangan dipaksa kali. Ingat Take care sama

kesehatan kamu. Besok kamu masih bisa ngerjain lagi dikala pikiran kamu masih

fresh.

Rupanya SMS dari Togar.

Markas tumben jam segini sudah kosong? Ni juga mau pulang kok. Balasku

padanya.. Tidak lama kemudian, ada lagi SMS yang masuk. Lagi-lagi dari Togar.

Iya. Kami lagi buat proposal di rumah Frans. Ya sudah take care yah.

Sip deh. Jawabku singkat.

“Ho...hoo... SMS-an sama siapa kamu? Serius banget?”

“Alexia. Cuman cheking apa dia masih dimarkas atau tidak?”

“Wue..., perhatian banget!”

“Dia kan perempuan. Tinggalin dia berdua sama OB jam segini tentu

berbahaya.”

“Ye, tuh anak kan mirip cowok. Bahkan lebih galak dari cowok jadi mana ada

cowok yang berani macam-macam? Haha...”

“Mar, bisa nggak sih kamu nggak terus mengolok-ngolok dia? Bagaimana pun

kerasnya tapi dia tetap tidak akan terima kalau dia tidak diakui sebagaimana mestinya.”

“Ei, biasa aja dong. Aku tuh sebenarnya juga mengakui dia sebagai cewek tapi,

cewek jadi-jadian.”

Bruaakkk! Togar memukul meja. Umar yang asyik ketawa kaget setengah mati.

Dia langsung terdiam dan wajahnya berubah pucat pasi.

“Hati-hati kalau ngomong! Ngaca dong sebelum kamu ngomong. Apa kamu

sudah lebih baik dari dia?”

Togar emosi. Dia mengambil jaket kulit, kunci sepeda motor dan helm

racingnya. Langkahnya besar-besar ketika keluar dari kamar Frans.

29

“Ada apa nih? Kok pulang? Apa prosopalnya sudah selesai?” kata Frans ketika

berpas-pasan di tangga.

“Persetan sama proposal!” Togar terus menuruni tangga dan pulang.

Busyet!

***

“Bro, kenapa Togar?”

“Nggak tau? Tiba-tiba aja dia marah-marah sampai mukulin meja.”

“Kok bisa sampai begitu?”

“Iya. Aku ngomongin Alexia tapi malah Togar yang sensitif.”

“Ach, apanya kalian ini?” Frans geleng-geleng kepala.

***

Besok Paginya,

“Maaf yah teman-teman kalau misalnya aku ngajak kalian meeting pagi-pagi.

Aku mau kasih liat laporan keuangan bulan Maret.”

“Jadi gimana tindak lanjut persoalan kemarin?”

“Setelah aku cek kembali pos-pos laporan keuangan memang terjadi sedikit

kesilapan. Piutang-piutang menumpuk dan belum dicairkan dalam bentuk kas.

Sedangkan pengeluaran tiba-tiba tinggi di bulan Maret akibatnya tiba-tiba laporan laba-

rugi bulan Maret ini terlihat minus. Alias rugi.”

“Jadi?”

“Ya. Terpaksa bulan ini laporan keuangan tersaji begitu. Penagihan piutang kan

tentu memakan waktu.”

“Kamu perlu seseorang untuk membantu kamu?”

“Untuk saat ini, tidak.”

“Kamu yakin?”

“Ya. Aku hanya perlu bekerja lebih jeli lagi. Kalau aku boleh usul, aku lebih

perlu membeli program khusus accounting untuk pengolahan data.”

“Berapa biayanya?”

“Satu juta.”

“Kas kita cukup?”

30

“Untuk sekarang belum cukup. Bulan depan saja aku membelinya.”

“Laksanakan.”

Hehehe... kok kayak komando pramuka?

“Aku rasa cukup sekian yang mau saya sampaikan. Untuk selanjutnya, aku kasih

kesempatan buat Umar.”

“Togar mana, Frans?,” tanyaku setengah berbisik ketika aku kembali ke tempat

dudukku.

“Tau tuh semenjak pulang dari rumahku, HPnya langsung tidak aktif sampai

sekarang.”

“Lho, emangnya dia kenapa?”

“Aku juga tidak tau pasti. Kayaknya semalam dia ada adu mulut sama Umar.”

Aduh. Aduh. Frans tolong dong bicara pake bahasa yang sopan. Kan semua juga

tau mulutnya Umar kayak Tukul mana bisa diadu dengan bibir Togar yang tebal?

Hehehe...

“Oh gitu? Ehm...,” aku menghela nafas.

“Masalahnya?”

“Aku juga tidak tau?”

Beberapa menit kemudian Umar membubarkan anggotanya.

“Aracel, kamu pulang sama siapa?”

“Belum mau pulang, Mar. Aku masih ada kelas Metodologi penelitian nanti

siang.”

“Oh ya, Umar... Aku mau kasih tau sesuatu sama kamu.”

“Apa itu?”

“Aku tidak bisa jadi make up artist kamu minggu ini. Aku mau pulkam sama

Frans.”

“Lho, kok sama Frans? Berdua?”

“Iya, lupa yah? Frans kan satu kampung sama aku bahkan rumah nenek kita

berdekatan.”

“Aku ikut yah.”

“Buat apa? Bukannya kamu ada show? Rejeki kok disia-siakan?”

31

Biarin. Biarin! Kehilangan rejeki dalam bentuk materi aku masih sanggup

mencarinya kembali. Tapi kalau sampai kehilangan cinta, aku tidak rela! Ini

menyangkut masa depan, bagaimanapun harus aku perjuangkan, gerutu Umar dalam

hati.

“Tanya aja sama Frans, kamu boleh nginap di rumah neneknya tidak? Kalau di

rumah nenek aku sih, big no way!”

“Kenapa?”

“Aku tidak mau dituduh macam-macam sama keluarga besar aku. Bawa cowok

pulang, nginep lagi. Oh, no. No!” Aracel beranjak keluar dari markas menuju ke taman.

Umar mengikuti dari belakang.

“Jadi pulang berdua sama Frans itu wajar?”

“Jangan gila dong! Aku cuman numpang mobil dia, tidak ada maksud lain.”

“Aku tetap mau ikut.”

“Terserah.”

Aku berlari ke taman dimana Aracel dan Umar berada.

“Tau dimana Togar sekarang?”

“Tidak salah tanya sama kami?”

“Apanya yang salah? Dia anggota genk kita. Tanggungjawab bersama.”

“Apa yang telah terjadi semalam?”

Aracel terpelongok. Sama bodohnya dengan aku. Tatapan kami berdua ke Umar

seakan hendak membunuhnya. ‘Apa?’, satu pertanyaan yang ada di mata aku dan

Aracel.

“Tidak ada apa-apa.”

“Bohong! Dia masih ada SMS aku semalam tapi setelah itu Hape-nya blank. Out

of service area. Bukannya kalian ngerjain proposal bareng?”

“Ya. Tapi setelah itu dia pulang dengan emosi.”

“Apa yang sudah terjadi?”

“Mana aku tau?”

“Dia tiba-tiba sensitif waktu aku bahas tentang kamu.”

Mataku membulat hampir sebesar bola pimpong.

“Asal kamu tau nona Alexia Savira yang terhormat, dia sensitif dan langsung

membela kamu ketika aku ngejekin kamu. Dia sebenarnya....”

32

Sebelum Umar melanjutkan perkataannya, aku langsung menjatuhkan buku-

buku yang ada dipelukanku dan lemas seketika.

“Jangan disambung, Umar. Muka Alexia tiba-tiba pucat. Angkat dia ke bangku

sana.”

“Emang benar gaya aja yang tomboi tapi perasaannya lemah juga. Belum juga

selesai cerita eh, sudah shock duluan.”

“Duh, kenapa sih kalian? Kok aneh gini?”

“Vi, minum dulu,” Aracel membuka botol air minuman yang dibawanya lalu

menegakkan ke mulutku.

“Thanks,” kataku setelah merasa mendingan.

“Buat repot aja tiba-tiba lemas.”

“Husssh...!” Aracel mencubit lengan Umar.

“Yang paling penting sekarang pastikan dulu Togar ada dimana?” Aracel

mengimbau Umar.

“Iya.”

“Beberapa hari lagi aku sudah mau pulkam. Eh, kalian malah buat masalah

kayak gini. Kalau begini aku aku mana bisa tenang di kampung.”

“Pulkam? Sama siapa?” tanyaku.

“Frans.”

“Ach...”

Dunia seakan kiamat buat aku. Aku tiba-tiba merasa semakin pusing. Nasib.

Nasib.

“Pingsan?” Umar tepelongok melihat aku tidak sadarkan diri.

“Ya, iyalah. Aneh! Apa yang sudah terjadi sih?” Aracel tidak kalah

binggungnya.

“Siram aja.”

“Eh, tidak boleh.”

“Ach, repotin terus deh.”

“Bawa ke markas!”

“Ach, mimpi apa aku semalam?” gerutu Umar.

Umar menggotong tubuhku yang masih belum sadarkan diri.

***

33

Aracel terus mengipas-ngipas wajahku sambil sesekali terus mengosokkan

minyak angin di daerah T wajahku.

Mencium bau minyak angin itu lama-lama membuat aku sadar.

“Eh, Alexia sudah sadar.”

“Minum. Minum,” perintah Aracel kepada Umar untuk menyediakan air putih

hangat.

Beberapa saat kemudian Umar datang membawa pesanan Aracel. Dikasihnya

aku minum perlahan-lahan.

“Vi, kamu kurang sehat ya? Periksa ke dokter, yuk.”

“Aku sehat. Tadi cuman...,” aku menggantung perkataanku.

“Tidak perlu dibahas. Mendingan aku pulang aja, mau istirahat di rumah.”

“Ya, deh. Perlu diantar?”

“Tidak. Aku minta dijemput aja sama abang.”

“Bagus.”

“Thanks ya semuanya.”

“Ok. Take care.”

***

“Ma, kata teman Alexia tadi Alexia sempat pingsan.”

“Benar begitu, Vi?”

“Tadi pagi kamu sehat-sehat aja. Ada apa?” Mama langsung mendekati aku.

Memperhatikan aku dari ujung rambut ke ujung kaki lalu balik lagi mengulangnya

sampai dua kali.

“Tidak apa-apa. Cuman shock dengar berita si Togar ngilang.”

“Hubungannya sama kamu?” Joshia pasang muka begonya.

“Ya, hubungan sebagai sesama anggota genk doang.”

“Bener nih?” Joshia mencolek pipiku.

“Iya. Percaya deh.”

“Trus kok kamu shock sampai pingsan?” sambungnya.

“Ya tidak apa-apa.”

“Bohong tuh, Ma.”

34

“Jangan mulai komporin Mama yah.”

“Wek, kenyataannya dia sering SMS dan telepon kamu kan?”

“Ya sih tapi tidak lebih dari teman.”

“Aku kagak percaya. Mami, akhirnya anak mami ini sudah kebuka jodohnya.

Akhirnya cewek tomboi kayak kamu bisa jatuh cinta juga. Haha...”

“Setan!”

“Vi, sopan sedikit!” Mama mengingatkan.

“Biarin!”

“Aduh, punya anak dua aja begini ributnya. Mama pusing!”

“Udah bubar. Vi, kamu masuk kamar. Josh, kamu bantu Pak Kasim potong

rumput.”

“Rasain!” ejekku.

“Bubar cepat!” suara mama meninggi.

Semua pada bubar. Takut sih sama macan betina.

***

“Kenapa sih yang suka sama aku itu bukan Frans? Kenapa mesti Togar?”

“Frans mau pulkam sama Aracel? Hancur hatiku. Hiks... Hiks.....” Aku

memeganggi dadaku. Tiba-tiba aku berubah cenggeng. Cinta memang bisa mengubah

seseorang jadi lemah tidak berdaya.

“Malam sayang. Makan dulu, yuk,” Mama masuk ke kamar sambil membawa

pegagan berisi makan malam.

“Kok cemberut? Ada apa?”

“Ma, apa cewek tomboi tidak boleh jatuh cinta?”

“Kata siapa? Cinta aja tidak pandang usia atau latar belakang.”

“Trus kata bang Josh tadi?”

“Ohh itu, jangan dipikirin. Dia tuh cuman iri sama kamu. Kan sudah terbukti,

kamu lebih cepat laku daripada dia.”

“Bisa aja nih, Ma.”

“Emangnya anak perempuan Mama lagi jatuh cinta sama siapa sih?”

“Sama Togar?” tebak Mama asal.

“Bukan. Bukan.”

35

“Jadi?”

“Frans,” jawabku semangat.

“Ach, anak mama memang pintar, pilihan yang bagus. Mama jadi teringat

Papamu dulu,” Mama tersenyum geli sendiri.

“Ach, Mama genit. Via lagi pusing nih.”

“Kenapa lagi sayang? Ada yang bisa Mama bantu?”

“Frans mau pulkam sama Aracel?”

“Cuma berdua?”

“Iya. Mereka kan satu kampung.”

“Minta ikut aja. Bilang kamu lagi butuh refreshing.”

“Emang manjur?”

“Ya, dicoba dulu.”

“Heffh...,” aku menghela nafas.

Aku mengambil HP Nokia N-70 dari bawah bantal, menekan tombol cari nomor

Aracel, setelah itu menekan tombol call. Beberapa lama kemudian terdengar nada

sambung miliknya Mia Ratu, Ingat Kamu. Sedikit terhibur dengan liriknya yang lucu.

Tak berapa lama kemudian,

“Halo, Acel lagi dimana?”

“Lagi di Mc. Donnals sama Frans dan sepupunya.”

“Heh, emang kamu tidak kuliah?”

“Bolos, Bu. Hehe... Sepupu Frans datang dari Jakarta tadi sempat singgah ke

markas trus ketemu aku yang lagi benggong. Ya udah, aku diajak kemari.”

Huh, kesel. Kesel. Selalu aja Aracel yang punya kesempatan buat dekat sama

Frans. Aku kan juga pengen, gerutuku.

“Trus jam berapa pulang?”

“Ada apa, Vi? Ada penting yah? Mau ke rumah?”

“Iya. Mau ke rumah kamu. Penting!”

“Ya udah, jam delapan aku baru ada di rumah.”

“Jam delapan? Malam banget?”

“Aduh, please deh! Kenapa sih?”

“Oh ya, tanyain Frans dong. Ada dapat kabar belum dari Togar?”

36

“Kamu ngomong aja sendiri. Nih, orangnya!” Aracel menyodorkan HPnya ke

Frans.

“Ada apa, Vi? Serius banget?”

“Hehm, Togar. Apa dia sudah ada beritanya?”

“Togar? Belum ada tuh. Dia tidak hubungi kamu?”

“Tidak. Kemana yah dia?”

“Ach, pasti ada apa-apa antara kamu dan Togar. Dia begitu mengkhawatirkan

kamu begitu pun kamu. Cocok kali kalian kulihat. Hehe..”

Ih, Frans salah paham. Aku bukan cinta sama Togar tapi cinta sama kamu.

Kacau, nih! Benar-benar makin kacau!

“Aku...”

“Malu-malu kalian mengakuinya. Kami tidak akan menentang hubungan kalian.

Kami fear jika dalam satu genk itu ada yang saling memadu kasih. Haha, romantis kali!

Jadi keinspirasi ciptain lagu buat kalian.”

“Ya sudah. Whatever. Kalau ada berita call me. Ok?”

“Ok.”

“Bye...”

Runyam deh!

****

Aku langsung duduk di samping ranjang Aracel ketika aku masuk ke dalam

kamarnya.

Aracel yang baru keluar dari kamar mandi terkejut dengan tamu yang baru

datang.

“Huh, pinggir. Pake langsung duduk di ranjang aku,” katanya sambil mengambil

hairdryer di atas meja kecil yang berada tepat di samping ranjang.

“Wee, pelit!” kataku sambil menjulurkan lidah ke arahnya. Aku langsung

berpindah ke sofa kecil yang empuk di dekat lemari bajunya.

“Ada apa malam-malam gini kamu bela-belain datang ke rumah aku?”

“Aku mau ikut kamu pulkam, boleh?” tanyaku hati-hati.

“Apa?”

Aku menganggung-anggukkan kepala, “Iya, Pulkam.”

37

Aracel membatalkan rencana dia mengecokan hairdryer ke steker.

“Ada apa lagi ini? Umar minta ikut, sekarang kamu juga. Togar menghilang...

Apa-apan nih?”

“Siapa yang jaga markas? Mau jadi apa kalau markas hanya berisi OB tanpa

kegiatan?”

“Kalian ini kenapa?” Aracel membanting hairdryernya ke ranjang lalu dia

sendiri juga terduduk di ranjang. Aku hanya cuekin dia.

“Aku juga butuh refreshing,” jawabku asal.

“Vi, ini bukan acara rekreasi. Ini acara keluarga.”

“Whatever lar. Aku mau ikut,” kataku ngotot.

“Sinting!”

“Kalian bilang aja sama Frans. Aku tidak mau ikut campur deh.”

“Gampang tu.”

“Ach, capek deh....,” Aracel cuek. Di cokkannya hairdryernya yang super bising

itu lalu mengeringkan rambut panjangnya.

Aku membalikkan badanku duduk selonjoran di sofa empuknya lalu menekan

tombol TV. Hoaaammmm...., ngantuk juga.

Aku tidak peduli dengan suara bising dari hairdryer Aracel, aku pun turut

menyetel volume TV untuk mengimbangi suara hairdryernya. Aracel pun tidak

memperdulikan lagi aku mau apa? Dia sudah terbiasa menerima aku sebagai tamunya.

Dan aku selalu duduk selonjoran di sofa, menyetel TV sesuka aku atau bahkan nonton

sampai ketiduran di kamarnya yang adem karena ber-AC.

Beberapa saat kemudian aku pun sudah terlelap.

“Ih, nih anak, pake tidur pula. Heh-em, cewek kok tidurnya ngangkang? Heran!”

HPku berbunyi, refrain lagu MLTR, pain my love. Panggilan dari rumah.

“Halo...”

“Vi, kamu lagi dimana?”

“Gila kamu ya, Mama hampir pingsan waktu tau kamu jam segini belum

pulang? Katanya ke rumah Aracel? Eh, jam segini belum pulang?” suara di seberang

sana terdengar cemas.

“Maaf, saya Aracel. Ini Bang Josh ya?”

38

“Aracel? Ini bukannya nomor Adek aku? Ops,” Josh tampak kebinggungan. Dia

melihat kembali nomor yang tadi dipanggilnya. Benar kok nomor Alexia, adiknya.

Nama di layar ponselnya malah tertulis, Jinggo sister.

“Iya, ini emang Hapenya Alexia. Dia ketiduran di kamar aku.”

“Astaga! Dia? Aman kan?”

“Aman....”

“Syukur! Amin...!” beberapa saat kemudian, “Dia aman, Ma. Tidur di rumah

Aracel tuh.”

“Ha-lo. Mau dibangunin, Bang?”

“Hah? Apa?”

“Apa Alexianya mau dibangunin, Bang?”

“Ehm, nyenyak tidak?”

Aracel melirik ke arah Alexia sesaat. Aduh, tidurnya udah kayak kebo gitu!,

kasihan juga kalau dibangunin.

Ehm, mau komplain tidak mungkin. Ntar yang sedarah sakit hati adiknya

dibilang mirip kebo. haha...

“Nyenyak banget,” kata Aracel kemudian.

“Oh..., tuh anak asal-asalan. Mau nginep kok tidak bilang-bilang. Sori ya, Aracel

kalau sudah merepotkan kamu.”

“Ach, tidak pa-pa. Alexia sudah aku anggap saudara aku sendiri.”

“Ok deh. Ops, sampe lupa, satu lagi nih yang mesti aku sampaikan.”

“Apa itu, Bang?”

“Adik aku itu kalau tidur suka ngorok jadi jangan terkejut malam-malam kalau

dengar suara kodok di kamar kamu. Haha....,” Joshia tertawa renyah di seberang

membuat kuping Aracel pekak.

“Iya. Iya. Tidak pa-pa.”

“Makasih ya.”

“Sama-sama.”

Klik. Percakapan itu berakhir. Aracel menepuk jidatnya. Masyaalah,

gumamnya.

Aracel memperbaiki cara tidurku yang meringkuk kayak udang. Diberikannya

aku bantal dan selimut hangat. Dibiarkannya aku terbuai dalam mimpi.

39

Aracel menyamber HP miliknya dari atas meja rias lalu terduduk di ranjang

empuk. Dibukanya Message box, lalu membaca satu persatu message yang masuk.

Lovely sister,

Hai, my sweetest sister, are you all right in there? Sorry, i can’t telepone

you because my homework make me very busy. I hope can go home at June this year.

I’m tired, i was want have a holiday with our family. Take care, give my warm heart for

mother and father. Ok?

Selalu saja begitu, gumamnya. Hanya menyampaikan pesan pendek namun

tidak pernah punya waktu untuk ngobrol. Sesibuk apa sih emangnya? Kenapa keluarga

dikorbanin? Huh, desisnya lelah.

Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu kamar terdengar makin cepat.

“Siapa?”

“Mama nih.”

“Ya, bentar.”

Agak malas-malas Aracel mengangkat badannya.

Begitu pintu terbuka Mama langsung nyelonong masuk.

“Ada apa, Ma?”

“Alexia, mana?”

“Tuh,” Aracel menunjuk ke arah sofa.

“Tidur?”

“Iya.”

“Belum makan kok udah tidur?”

“Nggak tau.”

“Ya, dah. Makan malam sudah dimulai tuh.”

“Ehm...,” Aracel berjalan gontai kembali ke ranjang.

“Lho, lho, lho? Kenapa kamu ini?”

“Acel rindu sama kakak. Acel rindu sama suasana kakak sebelum pergi ke Perth.

Sekarang tiap kali makan malam cuman ada keheningan,” kata Aracel sambil

menunduk. Dia mengigit-gigit bibirnya menahan tanggis.

“Kakakmu pasti sangat ingin pulang. Kami sebagai orang tuanya juga sangat

merindukannya tapi lihat juga dong keadaan disana. Kita tidak boleh egois.”

40

“Tapi, dia makin jarang menghubungi kita. Paling banter cuman SMS. Emang

SMS berefek apa?”

“Mama pun begitu mengkhawatirkannya. Dia berjuang tinggal sendirian, takut

disana berteman dengan orang tidak benar, pergaulan sana kan sangat bebas. Namun,

kalau Mama terus memikirkan yang buruk-buruk, malah akan makin menambah beban

Mama. Lebih baik Mama percayakan sepenuhnya pada dia sambil terus berdoa agar dia

dihindarkan dari mara bahaya.”

“Makanya kamu pun harus sama seperti Mama. Tegar. Dan belajar yang rajin

agar Papa mengirimkan kamu melanjutkan kuliah bersama kakak kamu.”

“Iya. Pasti.”

“Sekarang makan, yuk.”

“Aku tidak begitu selera, Ma.”

“Tidak selera pun mesti makan sedikit.”

“Ada makanan kesukaan kamu lho. Rendang ayam.”

“Ma, apa Kak Isabel sudah melupakan kita?”

“Ach, tidak mungkin dong, sayang. Dia begitu merindukan kita pastinya,

buktinya dia msih nyempatin SMS kamu walaupun jadwal kuliah dan kerja yang padat.

Ya, kan?”

“Iya sih. Tapi..., aku takut kehilanggan dia.”

“Mama juga, sayang. Mama harap kamu tidak buruk sangka. Let’s your heart go

with her.”

“Ya deh.”

“Ayo, makan... Papa sudah nunggu di bawah. Apa Alexia mau kita bangunin aja

biar rame?”

“Tidak usah deh. Dia tidurnya nyenyak banget. Kasihan kalau dibangunin.”

“Ya sudah. Mama turun dulu ntar kamu cepat nyusul.”

“Yes, Mom.” “Ok.”

Beberapa saat kemudian, Aracel berjalan ke sofa. Melihat kondisi tidurku. Huh,

baru tidur bentar, selimutnya sudah tidak karuan. Benar-benar lasak nih anak,

pikirnya. Dirapikannya letak selimut dan bantalku lalu melangkah keluar kamar.

“Malam, Pa...”

“Malam juga, Acel.”

41

“Gimana kuliah kamu?” Tanya Papa ketika Aracel menyendok nasi goreng yang

sudah disediakan Mama ke mulutnya.

“Baik. Bulan depan sudah mau ujian semester. ”

“Hasil ujian Acel pertengahan semester ini juga bagus.”

“Bagus. Baru mau masuk tingkat III kan kamu?”

“Yap.”

“Masih panjang perjalanannya.”

“Ach, Papa... Siapa suruh daftarin aku untuk jenjang kuliah yang 4 tahun?”

“Papa tidak mau kamu nyusul kakakmu. Di rumah ini sudah cukup sepi tanpa

kakakmu. Lagipula kalau kuliah kakakmu selesai harusnya dia yang harus balik ke

mari.”

“Ach, tapi yang ada malah dia semakin sibuk disana. Dan nampaknya dia

menikmatinya tuh.”

“Selagi masih yang positif-positif sih Papa tidak masalah. Asal kakakmu pandai

jaga diri. Jangan ikut-ikutan budaya barat yang terlalu bebas.”

“Kak Isabel bilang Juni tahun ini mau pulang.”

“Papa sudah tau. Dia sudah kabarin Papa lewat SMS.”

“Bagus deh. Aku sudah tidak sabar ketemu dengannya.”

“Kami juga, sayang.”

Setelah itu suasana kembali dingin. Selesai makan Papa beranjak ke ruang tamu

untuk membaca koran. Mama membereskan meja makan. Aracel lebih memilih naik ke

kamarnya. Mama menatap prihatin pada anaknya. Dia tau Aracel pasti sangat

merindukan kakaknya.

Sampai di kamar, Aracel binggung mau melakukan apa. TV masih saja hidup

tapi nggak jelas siapa yang mau nenggok. Aku masih tidur dengan nyenyaknya di sofa.

Aracel mengeluarkan Laptop dari tasnya lalu menconnectkan ke internet. Aracel

log in ke Mig33beta. Beberapa saat kemudian Aracel sudah online dengan nick name

Acel^_^Glowing. Di lihatnya Frans dengan nick Frans_mars online. Diajaknya lah

Frans Private chat. Padahal tadi sore dia dan Frans sudah ngobrol banyak namun selalu

saja terasa kurang. Frans emang enak diajak ngobrol tentang semua hal.

Acel^_^Glowing: Selamat malam...

Frans_mars: Malam juga.

42

Acel^_^Glowing: Udah makan?

Frans_mars: Sudah dong. Kamu sendiri?

Acel^_^Glowing: Udah. Baru aja.

Frans_mars: Eh, aku sudah hubungi orangtua Togar tapi mereka juga tidak tau

tuh Togar dimana?

Acel^_^Glowing: Hah? Masaq sih? Kemana tuh anak? Udah 2 hari juga dia

tidak kuliah?

Frans_mars: Entah tuh. Menghilang pula disaat genting gini.

Acel^_^Glowing: Kalian juga sih bercandanya berlebihan.

Frans_mars: Hehehe... Aku tidak ikut-ikutan lho.

Acel^_^Glowing: Iya juga sih. Ketua tuh, kadang ngomong tidak pake mikir

dulu. Makanya jadi gini deh. Yang susah kan kita semua.

Frans_mars: Yah, macam tidak kenal si kunyuk itu aja kalau lagi bercanda.

Kadang emang tidak ada batasannya. Udah maklumin aja. Hehe..

Acel^_^Glowing: Iya, cuman jangan keseringan minta maklum. Kesabaran

orang kan ada batasnya.

Frans_mars: Aku coba nasehatin dia deh. Cuman, aku takut dia malah balik

ceramahin aku panjang lebar. Kamu kan tau sifatnya?

Acel^_^Glowing: Takut nih ye...! haha...

Frans_mars: Kalau cowok yang ngobrol sama dia pasti bawaanya emosi. Tapi

kalau dia ngobrol sama cewek apalagi kalau sama kamu, kamu ngerasa tidak kalau dia

lembut banget?

Acel^_^Glowing: Hush, ngegosip aja kamu. Bilang aja kamu mau minta bantuan

aku buat nasehatin si ketua, pake muter-muter.

Frans_mars: Ya gitu deh. Hehehe...

Acel^_^Glowing: Iya deh. Hehehe... Aku mau off dulu. Bye...

Frans_mars: Aku juga. Capek banget. Besok sepupu aku balik ke Jakarta jadi

aku mau ngantarin ke bandara. Pesawat jam sepuluh. Aku agak siang baru ke markas,

ok?

Acel^_^Glowing: Ok

Frans_mars: Bye. Sweet dream.

43

Aracel menekan tombol options dan memilih untuk keluar dari Mig33beta.

Oahmmm, ngantuk nih! Tidur ah. Disingkirkannya Laptop ke tempat sembarangan lalu

menarik selimut dan tidur.

Besoknya, aku pun terbangun ketika alarm di HP aku berbunyi keras.

Mengagetkan aku yang tertidur pulas. Aku terkejut ketika mataku menyisir ruangan

kamar. Terlihat lain dari kamarku yang biasanya. Tidak terlihat ada poster-poster motor

GP dan Valentino Rossi, pembalap favoritku. Ini kamar siapa? Pikiran yang masih

diawang-awang membuat aku belum bisa berpikir dengan jernih.

“Baru bangun, Bos?”

“Udah jam delapan nih. Saatnya ke kampus. Masih molor.”

Aku tertawa sendiri. Bodoh banget. Kok bisa-bisanya aku tidak ingat bahwa

semalam aku sudah tertidur di kamar Aracel.

Aracel menatap aku aneh. Aku hanya melemparkan senyum lagi.

“Mandi sana. Nih, handuknya. Pasti kamu mimpi basah deh makanya kamu

senyum-senyum.”

“Wek, nggak tuh. Negative thinking,” jitakku sambil melangkah ke kamar

mandi.

Aracel ngondok setengah mati aku memperlakukannya begitu. Hehe...

****

Siang itu, anggota genk berkumpul. Mereka membahas tentang kepergiaan

Togar sampai tentang acara pulkam Frans dan Aracel.

“Jadi kami boleh ikut pulkam, tidak?”

“Kalian serius, Mar?”

“Ya, iyalah. Dua rius, malah.”

“Ehm...,”

Semua tegang.

“Aku sih senang-senang aja kalian ikut.”

“Hoorrrree...,” teriak aku dan Umar.

“Heh? Kalian ini. Togar nanti cemana?” Aracel tiba-tiba seperti kebakaran

jenggot.

44

“Sampai hari ini aja dia tidak ada kabar beritanya. Apa kalian tidak ada yang

khawatir sama keadaan Togar? Apa kita semua masih bisa senang-senang kalau

misalnya salah satu anggota kita ngilang sampai hari ini belum ada kabar beritanya?”

Sesaat kemudian semua diam. Aracel memang ada benarnya. Mengapa kami jadi

egois begini?

“Aku coba telepon Togar lagi. Mana tau nomornya sudah aktif.”

Frans mengeluarkan HP E-seriesnya.

“Hei, tersambung.”

Kita sontak semangat.

Tuuuut.... tuuuuuuttt.... tuuuut....

“Tapi tidak diangkat,” katanya datar.

“Hah, binggung deh. Kenapa di genk kita bisa muncul keretakan kayak gini?”

Tidak lama kemudian,

Seseorang berjaket kulit, berambut cepak, berkulit agak sawo matang masuk ke

markas sambil menenteng helm racingnya.

Dari sejak dia masuk sampai dia duduk, setiap pasang mata terus mengikuti

geraknya. Suasana tegang seketika.

“Aku datang pada waktu yang tidak tepat atau....?” Togar membuka jaketnya

lalu mendudukan pantatnya pada salah satu kursi lipat.

“Tidak. Kamu datang tepat waktu dan kesempatan yang tepat.”

“Ada apa sama kalian? Kok pada bengong kayak baru lihat hantu saja?”

“Kami justru heran, kamu darimana? Kok baru muncul hari ini?” Aku mulai

angkat bicara.

“Oh itu. Aku ke rumah Tulangku di Pematang Siantar. Aku refreshing sambil

bersilahturahmi sama keluarga. Aku banyak merenung beberapa hari ini. Tidak

seharusnya aku marah hanya karena masalah sepele.”

“Masalah apa sih?” Aracel, aku dan Frans menatap lekat-lekat Umar dan Togar

bergantian.

“Ach, sudah lah. Aku malu jelasinnya....”

Togar berdiri dan mengulurkan tangan ke Umar. Umar mengapai tangan Togar

dan menjabatnya erat.

45

“Maaf, kawan. Tapi jujur, aku beneran tidak suka kau bilang dia begitu,” kata

Togar kemudian.

“Ya, aku juga minta maaf. Aku tau perasaan kamu sama dia. Tapi kenapa kamu

tidak ungkapkan saja? Mesti kali kamu pendam-pendam begini?”

“Nanti-nanti lah itu. Yang penting aku bisa ketemu dia tiap hari, liat dia

tersenyum dan ceria tiap hari. Tidak jadi pacar pun aku sudah senang.”

Yang lain hanya terpelongok. Habis yang lain pada tidak ngerti apa yang sedang

mereka berdua katakan.

“Bagaimana proposal kita? Sudah jadi?”

“Aduh, bro. Kita kan tunggu kabar dari kamu. Selama kamu tidak ada ya kami

minta waktu sama orang Singapura itu. Untung mereka mau ngerti.”

“Ach, sori lah kalau gitu. Nanti aku tebus itu.”

“Gitu dong. Tidak pake ngambek lagi.”

“Hahaha...”

Tawa kami meledak. Semua baekkan lagi. Yang begini baru dikatakan kompak.

Mampu bersatu kembali setelah ada ombak kesalahpahaman.

“Frans, ngerjain proposalnya tetap di rumah kamu, kan?”

“Terserah. Tapi, aku rencana pulkam lusa. Jadi kalian bisa pakai kamar aku

sepuasnya.”

“Lho, nggak boleh gitu dong. Kita ini satu team. Masaq kita ngerjainnya di

rumah kamu tapi pemilik rumahnya nggak ada. Buatnya di kamar kamu lagi, apa kata

dunia?”

“Aku dan keluarga aku sudah percaya sama kalian. Jadi fine-fine aja.”

“Oh, please... kita tetap butuh kamu sebagai team work. Kita butuh ide kamu

dalam hal design grafis, adobe photoshop, semua yang berhubungan dengan internet.”

Umar memberikan tatapan paling meyakinkan. Ada rencana dibalik rayuannya: dia

hanya ingin mengagalkan rencana pulang kampung Frans dan Aracel.

“Baiklah. Aku turut bertanggungjawab atas genk ini. Aku pun tidak tenang

pulkam jika disini masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.”

“Aku pun begitu,” sambung Aracel.

“Baiklah kita semua sudah satu Misi, satu Visi: Memajukan Jayabaya. Setuju?”

“Setuju!” seru kami kompak.

46

“Kalau gitu jam 7 malam kita kumpul di rumah Frans. Gimana?”

“Ok.”

Melihat sudah tidak ada yang mau dibahas, Togar cepat-cepat bilang, “Teman-

teman bisa tinggalin aku berdua sama Alexia?”

“Tentu. Lama juga boleh.” Ketua begitu bersemangat.

Setelah satu persatu keluar sekarang yang ada tinggal 2 pasang mata yang

bertatap-tatapan.

“Sori sudah membuatmu khawatir. Aku pergi tanpa kabar beberapa hari.”

Aku agak heran dengan kata-kata Togar. “Semua anggota genk juga khawatir

sama kamu.”

“Cuman, tidak sekhawatir kau. Setelah aku aktifkan Hape aku, aku baru tau

banyak SMS kau yang masuk. Aku berterima kasih sekali terhadap atensimu. Dan harus

kau tau bahwa aku kembali, itu karena kau.”

Aku hanya menatap Togar datar. Dia telah salah mengartikan SMS-SMS yang

aku kirimkan kepadanya. Sepertinya Togar sadar bahwa aku meresponnya datar.

“Ach, sudahlah. Aku malu. Aku memang payah!” katanya kemudian. “Yuk, kita

kumpul sama lain aja.”

Togar akhirnya memutuskan untuk merem dulu semua niatnya untuk

mengungkapan letupan perasaannya sampai waktu yang tepat.

“Oke,” jawabku walaupun binggung.

“Akhirnya genk kita akur lagi. Aku senang deh!” seperti biasa aku tetap periang.

“Ya,” jawabnya lemas.

Sekali lagi kegalauan muncul dihatiku ketika tanganku dan tangan Togar

bersamaan meraih gagang pintu ruang meeting. Hah, aku sungguh tidak mampu

menyembunyikan perasaan kacau dalam hatiku.

“Sudah?” tanya Umar sesaat ketika kami keluar.

“Apanya yang sudah?” aku balik tanya.

“Sudah,” jawab Togar pelan.

“Berhasil?” sambung Umar lagi.

Togar mengangkat bahunya lalu melangkah ke dapur.

“Ach, payah! Apanya kau ini?”

“Kamu yang kenapa?” aku sewot.

47

“Ach,” Umar mengacak-acak rambutnya. Entah apa maksudnya?

Aku cabut dari camp menuju kampus. Aku terus bersiul-siul sangking

bahagianya. Lega banget deh, Frans dan Aracel sudah batal PulKam. Si Togar juga

sudah ketemu.

Beberapa langkah keluar dari camp, Hape langsung bunyi, refrain lagu Pain My

Lovenya MLTR, idnya Home.

“Ya, halo.”

“Halo, adekku sayang... Lagi ada dimana?”

“Tumben panggilnya pake sayang-sayang. Biasanya juga panggil Bos sama aku.

Haha...” tawaku meledak namun kemudian mereda karna malu dilihatin orang sekitar.

“Lagi di markas. Baru mau ke kampus. Napa?”

“Woi, hari ini kamu jangan lupa pulang lagi. Mama senewen kehilanggan anak

gadisnya yang tomboi. Kamu mau buat mama jantungan. Hahaha...”

“Ops, sori. Kasih Hapenya ke Mama dong.”

“Wek, dasar anak durhaka. Kalau nggak ditelepon juga lupa tuh kasih kabar.”

“Iya. Iya. Cory. Kasih dong Hapenya ke Mama.”

“Iya.” Joshia menjauhkan Hapenya dari telingga lalu mengopernya ke Mama.

“Vi, kamu baek-baek aja?”

“Baek banget, malah.”

“Mama?”

“Hampir kena serangan jantung.”

“Ach, serius?”

“Iya. Gara-gara kamu. Please lain hari kalau mau nginep di rumah siapa pun itu

calling dulu ke rumah. Jangan buat satu rumah heboh kayak semalam.”

“Haha... sori, Mom. Janji lain hari tidak lagi. Mama bakal jadi the first yang tau

dimana keberadaan Vira.”

“Bagus. Trus kamu lagi dimana?”

“Mau ke kampus, Ma. Hari ini masak enak nggak?”

“Nggak. Kepala Mama hampir pecah mikirin kamu, mana sempat Mama

masak.”

48

“Yeee, apa-apaan sih. Kan baru satu hari Vira nggak ada di rumah lagipula

cuman nginep di rumah Aracel yang beda cuman tiga gang dari komplek rumah. Masa

segitu heboh di rumah.”

“Iya. Kamu anak gadis Mama satu-satunya. Bisa bahaya kalau nggak dijaga.

Kalau si-Josh sih nggak bisa hamil. Kalau kamu, coba?”

Joshia tertawa sampai mata berair.

“Huh, selalu begitu,” kataku dengan nada ngambek.

“Jadi mau kamu Mama mesti gimana?”

“Vira sudah dewasa, Vira juga nggak centil jadi cowok-cowok juga mikir mau

jahatin aku.”

“Ya deh. Alasannya selalu begitu.”

“Mama masak dong. Vira hanya satu mata kuliah jadi cepet pulang.”

“Iya.”

“Udah dulu ya, Mom. Makin lama ngobrol ntar Vira telat.”

“Hati-hati ya..”

“Sip.”

“Bye..., Mmmuaah.”Aku mencium manja Mamanya. Eh, yang betul mencium

HPku.

***

Mata kuliah hari ini cukup membosankan sih, Bank dan Lembaga Keuangan

Lainnya, dosen yang ngajar sudah tua. Kerjaannya nggak nyatat buku sampai habis pasti

nerangin buku seperti radio rusak. Habisnya suaranya yang pelan dan serak hampir

nggak kedengeran.

Mata Alexia hampir terbelalak melihat tulisan Bapak Ismeth yang kecil-kecil di

papan tulis. Kalau sudah nyatat begini semua mahasiswa berebut bergeser mencari

bangku paling depan. Tapi giliran dosennya lagi nerangin pasti deh bangku paling

depan kosong semua. Haha...

Untung Alexia cepat-cepat mendudukkan pantatnya di satu bangku keramat

yang tersisa.

49

“Jadi, yang perlu kalian garis bawahi pakai pulpen merah adalah bagian ini,

fungsi dan tanggung jawab Bank Sentral,” kata Pak Ismeth soor sendiri. Diteruskannya

menulis sampai satu papan tulis penuh.

“Nanti kalian cari literature lain untuk menambahkan poin fungsi yang telah

saya catatkan ini. Dan cari peraturan pemerintah yang mengatur tentang lembaga Bank

Sentral. Kumpul minggu depan.”

Pak Ismeth mengakhiri kuliah. Selalu saja begitu, meninggalkan begitu banyak

tugas dan permasalahan yang tidak tuntas terbahaskan.

Mahasiswanya panas-dingin dalam ruangan. Mau ditinggal saja, nanti pas ujian

keluar pula soal dari sub bab ini. Mau lanjut nyatat juga buat mata rusak. Tulisannya

yang kecil itu, mana tahan!

Ana, mahasiswi berkacamata super tebal itu pun sampai mensipit-sipitkan

matanya waktu mencatat.

“Woi, kepala orang-orang depan jangan halangi orang belakang dong!” bentak

dari belakang.

Haha... Kacian juga mahasiwa yang kurang beruntung di belakang, selain akan

sakit mata pastinya leher mereka juga akan lebih panjang beberapa centi.

“Alexia, aku minjam catatan kamu pulang aja yah,” kata Hans, anak transferan.

“Aduh, catatanku kucel gini,” kataku sambil mengangkat kertas binder yang

penuh coretan yang telah dicocokkan dengan catatan dengan Ana.

“Nggak pa-pa lah asal ada. Daripada aku sakit mata lihat tulisan Akong kamu.

Haha,” Hans tertawa ngejek.

“Akong kamu tuh. Minta pensiun aja, napa? Aku kadang prihatin juga dengan

cara ngajarnya.”

“Wue, perhatian bener nih cucu,” ledeknya lagi. “Hahaha, pasti deh IP kamu

paling tinggi.”

“Ilmu Pendekatan maksudmu? Huh, maunya!” aku menjitak kepalanya sambil

menyerahkan kertas binder yang agak amburadul itu.

“Balikin yah besok. Aku mau mencatatnya balik biar rapi. Lagipula dua minggu

lagi sudah mau persiapan mid.” Aku membereskan modul kuliah jam berikutnya.

“Tugas kita?”

“Ya, kumpul sebelum mid semester.”

50

“Nebeng yah,” katanya kemudian.

“Yeee, cari sendiri dong.”

“Payah!”

“Kamu yang payah. Usaha dong.”

“Iya. Iya. Ni juga sudah usaha,” Hans tertawa renyah sendirian sedangkan aku

menatapnya aneh. Dasar nih anak, mau enaknya aja.

“Nggak lucu yah?” Hans balik menatapku aneh. “Banget!” kataku sambil

meninggalkannya.

Keluar dari ruangan kelas membuatku seakan baru keluar dari neraka yang

panas. Aku mau melegakan kerongkonganku yang kering. Ku sempatkan melongok ke

Mading. Hah, nggak ada berita yang penting. Pada kemana sih anggota BEM yang

ngurus Mading ini? Kok isinya membosankan.

“Hei, melamun!” Frans dan Aracel menghampiriku.

“Hai, darimana?” tanyaku, menatap mereka berdua bergantian.

“Ehm, baru dari markas. Susun rencana buat persiapan nanti malam.”

“Oww.. trus sekarang?”

“Mau makan NasGor di depan sana.”

“Ikut,” kataku

“Ayo lah,” jawab Frans senang.

“Togar dan Umar nggak ikut?”

“Mereka itu kayak saudara yang lama nggak jumpa. Ngobrol terus, nggak ada

capeknya.”

“Haha...”

Kami berjalan berjejer. “Oh ya, Frans. Kamu lagi nyusun kan sekarang? Skripsi

kamu, gimana?” tanyaku iseng.

“Iya, baru juga tahap pengajuan judul.” “Dosennya agak payah ditemui.”

“Apa semua dosen begitu?” tanyaku ingin tau.

“Ya, tergantung juga dapat dosen pembimbing yang kayak gimana? Ada

beberapa dosen sih emang super sibuk jadi susah ditemui.”

“Ambil penelitian apa?”

“Aku sih mau meneliti tentang tindakan kriminal berupa pembajakan hak cipta.”

“Wah, bagus juga tuh,” kataku memberinya semangat.

51

“Tapi kalau spesifiknya, pembajakan hak cipta apa nih?” tanyaku lagi.

“Aku lebih tertarik pada pembajakan program-program komputer dan internet.

Hahaha...”

“Hacker-hacker gitu maksud kamu?” tanya Aracel dengan mata berbinar.

“Yap.”

“Sekarang kan banyak program bajakan yang hanya mengandalkan kode

cracker. Jadi, kita bisa menjalankan program itu tanpa harus membeli lisensinya.

Bahkan situs Bank Indonesia sekarang bisa diusili cracker.”

“Bahaya dong. Data-data penting keuangan negara bisa dimanipulasi tuh.”

Aracel makin bersemangat.

“Untungnya. He-he, kebiasaan orang Indonesia yah kalau ada petaka masih ada

untungnya. Jadi pelakunya itu hanya mengganti data-data di situs yang disusupinya

dengan tulisan inisial dirinya. Jadi data di halaman situs itu full dengan tulisan ‘Hacked

By LeQhi’ gitu.”

“Huff, untung aja tidak fatal. Hehehe,” mereka berdua tertawa berbarengan.

Aku hanya dapat menatap binggung dengan istilah-istilah yang dipakai Frans

amaupun Aracel. Sama sekali nggak ngerti tuh. Aku baru tau rupanya aku segaptek ini?

Kalau udah gini aku mana bisa ikut ngobrol. Hah, aku hanya bisa jadi kambing congek.

“Oh ya, aku lupa nih Mama aku masak di rumah. Jadi, aku nggak ikutan kalian

makan deh.”

“Lho, Vi. Kan sudah dipesenkan satu buat kamu.”

“Iya. Sori-sori. Aku lupa sudah janji sama Mamaku buat makan di rumah.”

“Bye...,” kataku sambil melambaikan tangan dan berjalan menjauh.

“Huh, sapa yang makan nanti itu?”

“Hahaha, dasar Alexia... Ya udah ntar diminta bungkus aja. Kita bawa ke

markas. Dua cowok di markas pasti nggak akan nolak rejeki.”

“Betul banget.”

“Alexia kenapa sih kok buru-buru gitu?”

“Mana aku tau. Tadi dia baik-baik aja.”

“Dasar aneh.”

***

52

Aku segera menyetop taksi ketika ada di trotoar jalan. Huff, untung aku segera

dapat taksi kalau tidak, mumet juga. Hari ini benar-benar jadi hari yang melelahkan buat

aku. Togar, Mama, Pak Ismeth, Frans di tambah lagi Aracel benar-benar membuatku

lelah.

Pulang-pulang, aku langsung menghenyakkan tubuhku ke sofa panjang di ruang

tamu depan. Mama sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuanku. Bukan apa-apa,

sampai buka sepatu sneakers aja belum. Tas selempang masih bergelantungan di

pundak. Mama tambah pening lihat aku. Di dekatinya aku lalu duduk di samping

badanku. “Vi, kamu kenapa lagi?”

“Tidak pa-pa. Cuman agak capek.”

“Kalau capek, istirahatnya di kamar. Jangan di ruang tamu. Lagipula ini loh,

mbok sepatu dan tas dibuka dulu.” Mama membantuku melepaskan tas dan sepatu.

Mama memang selalu begitu, memperlakukan aku seperti anak kecil.

“Biarin aja, kenapa sih?” aku agak menolak disuruh membuka sepatu.

“Daripada tidurnya pake sepatu. Nyamanan mana, kalau sudah dibuka kayak

gini?” Mama berhasil membuka sepatu sneakersku.

“Vi, kamu jangan biasakan kebanyakan malasnya dong. Umur kamu sudah 20-

an sebentar lagi masuk semester 4, seharusnya dengan jenjang seperti itu kamu tidak

tiduran dengan gaya begini lagi.”

“Apa hubungannya sih?”

“Mama cuman pengen lihat anak gadis mama ini berubah. Jadi agak feminim,

ngerti dandan. Mama kira setelah kamu berteman sama Aracel sedikit banyak kamu bisa

terpengaruh sama gaya kemayunya dia. Tapi eh, yang ada malah kamu tambah jinggo,

ketularan gaya-gaya laki-lakinya Umar, Togar dan Frans.”

“Mama jadi takut anak mama jadi punya jiwa laki-laki. Padahal Vi, sebenarnya

kamu cantik lho.”

Dengar pujian Mama aku langsung bangkit dan duduk tegak. “Ma, sebenarnya

Vira juga mau berubah. Cuman, Vira ngak mau terlalu drastis. Takut diketawain sama

anggota genk lain.”

“Betul itu, Vi?”

“Ya iya-lah.”

53

“Mama sesekali Vira ajak ke salon dong. Mama ajarin facial, manicure, spa dan

segala macamnya.”

“Bukannya Mama sudah sering ajak kamu tapi kamu sendiri yang tidak mau.

Alasan kamu kan paling banyak. Yang diurusin cuman masalah genk dan genk melulu.”

“Trus kapan nih, Ma?”

“Hari libur aja yah, Vi.”

“Nice idea.”

“Tentu dong. Ma-ma.” Mama memegang dadanya.

“Oh ya, rumah kok sepi? Bang Josh kemana?”

“Tadi pamit sama Mama sih bilang mau PKL, dia kan lagi nyusun skripsi dia

yang terus tertunda-tunda.”

“Papa sudah nagih gelarnya. Maklum, harusnya kan dia sudah diwisuda 2 tahun

yang lalu. Abangmu aja yang kebanyakan main-main jadinya itu kuliah ngak beres-

beres,” kata Mama sambil membereskan bantal sofa.

“Papa kan bentar lagi mau kasih anak perusahan farmasi ke abangmu. Biar ada

tanggung jawabnya. Kalau tidak dimulai dari sekarang, takutnya keenakan main-main.

Kerjaannya hanya gombal sana-sini. Takutnya dianya dia kelewat batas. Kalau sempat

hamilin anak gadis orang kan malu.”

“Tapi, Bang Josh nggak sejahat itu. Vira percaya Bang Josh masih beriman.”

“Mudah-mudahan aja, iya.”

“Akan Vira bantu pantau deh... Kan jelek-jelek gitu dia abang Vira yang paling

nyenengin. Haha,” tawaku lepas. Mama hanya menyambut dengan seulas senyum tipis

lalu beranjak ke dapur mempersiapkan makan siang untukku.

***

Vi, ntar malam ikutan kita buat proposal di rumah Frans nggak? Sebuah

SMS masuk ke kotak pesanku. Pesan dari Aracel.

Ikut. Tapi aku dijemput kan? Balasku tanpa malu.

Ye..., dasar kayak ratu aja kamu. Pake jemput-jemput segala. Balasnya

beberapa saat kemudian.

Jadi ceritanya nggak bisa diminta tolong lagi nih? Kan biar perginya

bareng.

54

Kok jadi kamu yang ngambek? Haha... Iya deh, kamu siap-siap aja jam 7.

Ingat On time ya, Bos! Isi SMS terakhir lebih mirip ancaman.

Iya, Bos...

Aku mengakhiri acara SMS ria siang itu.

Hehm , emang nggak ada waktu istirahatnya deh.

Beberapa saat ketika aku mau mengambil handuk, Hapeku berbunyi lagi. Kali

ini lagu Letto, Permintaan Hati. Itu tandanya panggilan masuk dari Togar.

“Hallo.”

“Halo, Alexia. Lagi ngapain kau?”

“Baru mau mandi. Kenapa, Gar?”

“Ach, nggak. Nanti malam kau ada ikut buat proposal bareng kan?”

“Ada. Ada.”

“Lalu perginya sama siapa?”

“Sama Aracel.”

“Lho, Aracel bilang tadi sama aku bahwa dia nanti langsung ke rumah Frans

sendiri lalu dia minta aku menjemput kau.”

“Hah? Aracel bilang gitu?”

“Iya lah.”

Aku buru-buru menutup telepon lalu menelepon Aracel.

“Wei, apa-apa sih kamu ini? Tadi SMS bilang bisa jemput aku jam tujuh. Kok

jadi Togar sih yang mau kamu suruh jemput aku?” aku langsung merepet panjang sesaat

setelah ada yang mengangkat tanpa memberi salam terlebih dahulu.

“Kan aku bilang kamu siap-siap aja jam segitu. Aku nggak ada bilang aku yang

mau jemput,” jawabnya tenang.

“Jadi, kamu minta Togar jemput aku?” tanyaku dengan nada melengking.

“Iya,” jawabnya hanya dengan nada datar.

“Aceellll...” teriakku panjang.

Entah karena terkejut atau tidak tahan dengan pekikanku yang membahana itu,

Aracel menutup teleponnya tiba-tiba.

Hah, sudahlah apa boleh buat. HP ku berbunyi lagi, dari Togar.

55

“Halo, Alexia, kenapa tadi kau tutup telepon aku? Mana setelah itu line kau

sibuk. Kau tidak suka yah aku jemput? Bilang saja jangan kau langsung tutup telepon

tiba-tiba.” Tersirat bahwa Togar sakit hati tadi aku tiba-tiba menutup teleponnya.

“Tadi aku nggak sengaja, Gar. Maaf ya...”

“Oh, begitu ya. Ya sudah tidak pa-pa. Jadi, gimana? Jadi kau mau aku jemput

atau tidak?”

“Kamu jemput aja deh,” jawabku pasrah.

“Jam tujuh ya, Bu. On time. Ok?”

“Ok.”

***

“Malam, Tante...”

“Malam. Kamu Togar kan?”

“Iya, betul, Tante.”

“Ada apa yah?”

“Mau jemput Alexia, kami mau buat proposal di rumah Frans.”

“Ohhh gitu. Alexia masih di kamarnya tuh. Bentar Tante panggilkan dulu, kamu

duduk aja dulu di ruang tamu, yah.”

“Baik, Tante.”

“Kamu mau minum apa?” “Ach, tidak usah Tante. Aku baru dari rumah.

Lagipula bentar aja nggak enak buat repot,” Jawab Togar Cepat.

Mama Alexia tersenyum tipis lalu berjalan ke belakang, hendak memanggil

Alexia. Dicarinya ke kamar tapi aku tidak ada. Lalu Mama jalan ke belakang dan

melihatku sedang duduk termenung di samping kolam renang.

“Vi, Togar sudah datang jemput tuh. Katanya mau pergi buat proposal bareng.”

Mama menghampiriku

“Oh udah datang ya,” jawabku santai sambil masih memainkan air kolam.

“Jumpai tuh.”

Aku masih asyik memainkan air kolam, membuat lingkaran-lingkaran dalam air

atau sesekali mengericikkan air ke kaki.

“Sejak kapan kamu suka di jemput sama Togar?” tanya Mama hati-hati.

Otakku berpikir cepat, terus mencari jawaban yang tepat.

56

“Tadi, rencananya mau pergi sama Aracel tapi...” Aku mengantung cerita.

“Kenapa?” tanya Mama hati-hati.

“Aracelnya malah pergi sendiri,” jawabku dengan muka sendu.

“Hah, kalian ini. Ya, sudah. Kamu jumpai aja dulu Togar, kan nggak sopan

membiarkan dia nunggu terlalu lama.”

“Iya deh. Aku langsung pergi ya..., takutnya udah lama ditunggu anggota lain.”

Mama menganguk setuju, “Hati-hati, Sayang..”

“Iya.”

“Hai,” sapaku pada Togar.

“Hai. Sudah siap? Yuk, berangkat.”

“Yuk.”

“Mama-mu mana? Aku mau pamit sama dia dulu.”

“Tidak usah. Tadi sudah aku pamitkan.”

“Gitu ya? Baiklah, jalan.”

“Gar, kamu bisa bawa mobil kan?”

“Kenapa?”

“Ach, nggak. Cuman nanya doang. Kalau bisa kan mobil di garasi ada satu lagi

yang kosong. Kamu bawa aja.”

“Wew, aku tidak mau ambil resiko. Sudah aku tidak mampu beli, malah mesti

ganti. Hahaha... Kita perginya pake keretaku aja.”

“Gitu yah? Aku nggak ada helm.”

“Tenang aja. Semua sudah aku persiapkan. Kau ini tinggal ikut aja.”

“Iya deh.”

“Ini helm-mu. Siap?”

“Iya.”

Kereta Scorpio Togar berdiri gagah di halaman rumah yang remang-remang di

termari lampu taman. Warna merah metaliknya sungguh menggoda. Bodynya yang

gagah juga amat mempesona setiap pasang mata yang memandangnya. Togar

membelinya dari hasil kerja kerasnya di Singapura. Dia amat menyayangi Scorpio-nya,

hal itu tampak dari body-nya yang super mengkilat.

57

Togar menenteng helm racingnya, seperti seorang pembalap yang hendak

masuk ke arena balap. Aku berlari kecil menuju pagar, membuka pagar besi yang besar

itu dengan kewalahan. Togar tersenyum mengejekku. Dia menstater Scorpio-nya lalu

menancap gas lalu berhenti tepat di hadapanku. Aku agak terkejut lalu spontan

menghindar. Lagi-lagi Togar tersenyum, ya masih senyum mengejek. Kali ini aku

benar-benar mati gaya. Sifat tomboi aku tiba-tiba hilang entah kemana? Aku ibarat

seorang putri yang sedang dijemput oleh pangerannya. Haha... aku malah mematung di

depan Togar yang sedari tadi menungguku duduk dibelakangnya.

“Alexia, jangan melamun dong. Kita mesti buru-buru, sudah ditunggu sama

anggota lain.”

“Ups, iya.”

Naik ke tempat dudukan yang lumayan tinggi itu cukup merepotkan aku.

Posisinya pun menungging, membuat aku tidak nyaman. Aku binggung harus gimana

sekarang?

“Pegangan ya, Bu. Aku mau nambah kecepatan nih. Lagipula aku mau cari jalan

alternatif.”

Belum mendapat persetujuanku aja, Togar sudah menambah laju keretanya.

Hampir saja aku terjugkal kebelakang jika aku tidak cepat-cepat mengaitkan tanganku

ke pinggang Togar. Aku tidak tau aku mendapat keberanian darimana mengaitkan

tangan ke pinggang Togar.

Kami memasuki komplek perumahan elite di kota Medan, Graha Metropolitan.

Disini lah kumpulan-kumpulan orang-orang Medan yang kaya. Rumah-rumah di

komplek ini kebanyakan berukuran seluas lapangan sepak bola. Rumah Frans di blok G,

di samping rumah Frans baru berdiri satu rumah yang sama besarnya dengan rumah

Frans. Megah, mewah dan entah kata apa lagi yang cocok megambarkannya. Rumah

Frans berwarna abu-abu metalik. Elegan sekali. Di tengah-tengah rumahnya ada air

mancur yang sesekali dioperasikan. Maklum, biaya perawatannya sangat tinggi.

Memasuki komplek, kami dihadang oleh beberapa satpam. Yang satu kayaknya

orang baru saolnya dia agak ketat memperlakukan kami. Yang lain, seperti biasa hanya

senyum-senyum menyambut kami. Bahkan, satpam yang agak berkulit hitam itu sempat

bercanda dengan Togar dan menyindirnya ‘tumben hari ini bonceng cewek.’

58

Togar menyahutnya dengan kedipan mata. Lalu kembali menstater scorpionya,

melenggang pergi.

Sesampai di depan rumah, kami disambut dengan jejeran mobil-mobil mahal.

Mulai dari Honda CRV, Mecedes Benz, Ford, dan Daihatsu Xenia. Togar memencet

bel. Beberapa saat kemudian, bibik rumah berlari kecil dan membukakan pintu.

Bibik itu menjelaskan bahwa kami sudah di tunggu di atas kamar majikannya.

Dituntunya kami sampai ke kamar yang dimaksud.

“Akhirnya datang juga,” sambut Umar.

“Lama banget?” sambung Frans.

“Tadi sempat cari jalan alternatif yang paling dekat dengan komplekmu.”

“Bagus deh. Sudah kumpul semua. Pak ketua, dimulai dong.”

Aku menarik-narik baju Aracel, aku pingin dengar penjelasan dari dia. Tapi dia

tidak berani menatapku. “Maaf, aku mau ke kamar mandi.”

Aracel berjalan keluar kamar, aku dengan siggap mengikutinya.

“Acel, tunggu. Tunggu.” Aku berusaha meraih tangannya dan menghentikan

langkahnya. Setelah teraih, Aracel tampak tidak bisa lari lagi dariku. Dia masih

membelakangiku.

“Apa maksud kamu meminta Togar mengantarku?”

“Maksud kamu, Vi? Aku tidak ngerti,” jawabnya santai.

“Bohong. Kamu pasti tau jawaban atas pertanyaanku.” “Kamu tidak suka?”

“Iya. Kamu sudah tau aku tidak suka lalu kenapa kamu bantu?”

“Vi, aku tau kamu marah. Aku juga lancang. Tapi coba pikir lagi, apa salah

kalau dia mengantarmu kemari?”

“Bukan begini caranya.”

“Ok. Maaf.”

“Ach, sudahlah. Aku tidak mengerti kenapa kalian begitu ngotot menjodohkan

aku dengan Togar.”

“Karena dia cinta sama kamu.”

“Jangan menduga-duga.”

“Kamu yang jangan dibutakan oleh keperkasaan kamu. Kamu pikir kamu tidak

akan butuh laki-laki? Jangan munafik,” tembaknya sengit.

“Tapi bukan dia. Bukan Togar, Cel,” jawabku dengan nada kesal.

59

“Jadi, siapa?” desak Aracel.

Togar yang mendengar semua pembicaraan aku dan Aracel hanya dapat menelan

ludah dan beranjak pergi dengan segudang tanda tanya di dada. Dia juga penasaran

siapa laki-laki yang beruntung itu. Tapi dia juga tidak berani mendengar jawaban yang

jujur.

“Aku belum menemukannya,” jawabku singkat.

“Sebelum kamu temukan, kamu boleh dong kasih Togar kesempatan.”

“Aku tidak bisa,” kataku langsung kembali ke kamar Frans.

“Kalian ini kayak main petak umpet. Yang satu ketemu, yang satu lagi hilang.

Aracel kemana? Kapan mulainya nih? Bisa-bisa nanti kita kemalaman pulang karna

belum menyelesaikan satu pekerjaan apapun.” Sindir Umar.

Aku tidak mau memperdulikannya, aku duduk aja di lesehan di lantai di

samping Togar. Togar pun pura-pura asyik memainkan Laptop milik Frans.

“Jadi, apa yang bisa aku bantu?”

“Kamu bantu aku mengoreksi tulisan proposal yang aku ketik aja.”

Togar menyorong Laptop ke ke samping, tepat di hadapanku.

“Tolong kamu perbaiki kata yang kurang sempurna dan baca lagi apakah

kalimat yang aku buat itu efektif untuk menarik minat investor?” tanya Togar.

“Baiklah.”

“Aku mau diskusi sama Umar dulu.” Togar bangkit dan menghampiri Umar

yang membaca koran hari ini.

“Ada apa?” Umar langsung tanggap.

“Tidak ada apa-apa.”

“Jangan bohong, Kawan. Muka kusut begitu. Dihampiri cewek idaman malah

lari, tidak mungkin kamu tidak apa-apa.”

“Stttt....,” Togar merapatkan jarinya ke mulut. “Jangan keras-keras. Nanti saja

kita bicarakan.”

Mata Umar ligat menangkap sosok Aracel yang baru masuk. “Sip, kawan,”

jawabnya menyudahi kegiatan membacanya. Dilipatnya koran itu lalu memberi aba-aba

berkumpul jadi satu di meja bundar dengan anak-anak kursi yang berwarna coklat kayu.

“Kita sama-sama mulai aja yah diskusi hari ini.”

“Frans proyek persentasi pake Microsoft power point kamu sudah siap?”

60

“Sedikit lagi. Tinggal edit beberapa bagian aja.”

“Bagus deh. Kalau proposal kamu, Gar?”

“Lagi dalam proses pengeditan sama Alexia.”

“Ohhh, jadi apa hari ini bisa kita selesaikan semua?”

“Sepertinya bisa.”

“Aku mau kasih pendapat, apa tidak sebaiknya dalam proposal yang dibuat itu

juga dilampirkan laporan keuangan genk kita? Agar lebih transparan. Investor tentu

sangat menilai kinerja keuangan selain kinerja teknikal.”

“Ide yang masuk akal. Aku juga sempat terpikir hal itu. Kamu masukkan aja

lampiran laporan keuangan genk kita per tiga bulan,” katanya sambil membetulkan letak

pena.

“Cuman aku lihat kamu datang tidak membawa apa-apa. Kalau harus menunggu

besok baru kamu kumpulkan tentu tidak efektif.”

“Aku bawa Flash disk data-data keuangan genk kita kok. Semua sudah

tersimpan dalam Flash disk ini. Tinggal colok aja, aku sudah bisa mengeprintnya saat

ini juga.”

“Bagus deh.”

“Ada lagi problem yang lain?”

“Kayaknya kita belum buat janji ketemu sama investor itu,” Togar mengigatkan.

“Astaga, benar kita belum melakukannya.”

“Aku cari dulu nomornya di kontak Hapeku.”

“Gar, aku perlu bantuan kamu. Kamu paling fasih berbahasa inggris diantara

kami.”

“Telepon lah dulu,” kata Toagr.

“Aha, tersambung juga....”

Setelah tersambung, Umar buru-buru menyodorkan Hapenya ke Togar. Togar

pun meraihnya dan segera menyingkir dari kerumunan. Selain untuk mendapatkan

signal terbagus juga menghindari bunyi berisik dari anggota. Frans dan Umar

mengikutinya sampai ke sofa panjang di sudut ruangan.

Aku dan Aracel duduk berdua saling tatap-tatapan.

“Vi, kamu masih marah?”

“Buat apa?”

61

“Betul nih.”

“Asal lain kali jangan ulangi kelancangan kamu itu.”

“Janji, Bos,” Aracel mengeluarkan jari kelingkingnya ke udara. Aku

menyambutnya.

“Kok lama yah mereka? Aku lapar nih. Haha..”

“Iya, ngapain aja mereka? Oh ya, Vi, ngomong-ngomong gimana tadi waktu

dibonceng Togar?”

“Biasa aja.”

“Haha... Kayaknya temanku ini sudah tidak normal. Masa dibonceng dengan

sepeda motor yang udah sekeliber Scorpion, sedikitpun chemistri itu nggak terjadi?”

“Maksudmu?”

“Aneh, kamu tidak tau apa pura-pura tidak tau?”

“Sudahlah aku tidak mau bahas yang tidak penting. Ya, perasaannya sama aja

waktu dibonceng atau di jemput sama abangku. Tidak lebih.”

“Ups, oke. Jangan jutek dong.”

“Aku tidak mau dengar lagi kamu bahas soal Togar sama aku. Kalau

bersangkutan sama masalah genk , aku mau bahas. Kalau udah melenceng gini, no

comment!”

“Ya deh.”

“Sudah beres!” Umar paling histeris.

“Akhirnya beres juga. Tos dulu semua!” sahutnya lagi.

“Apanya beres? Proposalnya aja belum beres. Surat pejanjiannya juga belum

terbuat.” Frans menginagtkan Umar agar jangan kesenangan dulu.

“Ach, semuanya bisa menyusul itu. Yang penting dia belum berubah pikiran dan

sudah buat janji buat pertemuan besok.”

“Mari kita selesaikan masalah yang lain.”

“Surat legalitasnya biar aku dan Frans yang buat. Nah, kalian buat aja proposal

semenarik mungkin. Aku pergi dulu sama Frans mau cari makan,” tanya Umar.

“Kalian mau titip beli apa?” sambung Frans cepat.

“Nasi goreng 2 bungkus.”

“Kau, Gar? Titip?”

“Aku masak sendiri saja.” “Ada kan persediaan makanan di lemari es kamu?”

62

“Bisa’nya kau masak?” semua bertanya dengan keheranan.

“Ya, jelas bisa lah. Kalian kan tau aku tinggal 3 tahun di Singapur sendiri. Kalau

terus beli makanan fast food mana mungkin aku bisa bertahan dan menyisakan uang

hasil kerjaku.”

“Hah?” semua masih bengong.

Aku yang paling cepat sadar dari kebengonganku.

“Boleh nggak nih masak di rumah kamu, Frans?”

“Boleh dong, asal tuan rumahnya juga dapat bagian.”

“Ye, emang cuman kamu yang mau ngetes masakan Togar? Kami juga mau,”

sambung Aracel sambil mendorong tubuh Frans.

“Ya, tuan rumah dulu dong. Kalian belakangan. He-he,” Frans tertawa

cekikikan.

“Trus tunggu apa lagi?” kata Frans setelah pulih dari rasa gelinya.

“Apa kita semua perlu ikut ke dapur melihat acara masak-memasak ala Togar?”

“Terserah. He-he,” sambung Togar.

“Ayo.”

“Nah, Gar dilihat dulu dalam kulkas, cukup nggak barang-barang yang kamu

perlukan?”

“Wah, sudah cukup lengkap makanan di kulkas kau ini. Malah lebih mirip

persediaan buat pesta. Apa tiap kali sengaja di stok segini buanyaknya?”

“He-he. Iya tuh, biasanya Bik Ijah yang urus semua. Dia yang belanja sekaligus

kepala koki di rumah ini. Kalau Mamaku sih setuju-setuju aja kalau belanja segitu

banyaknya,” kata Frans sambil mengambil sebotol Coca-cola dari lemari es satunya lagi

yang terpisah dengan lemari es berisi sayur dan lauk.

“Di stok segitu banyak sapa yang makan?”

“Iya. Kadang aku sempat kesal kalau Bik Ijah sudah mulai boros masak. Padahal

kebanyakan yang makan juga cuman aku dan para pembantu. Papa dan Mama cuman

sesekali pulang ke rumah.”

“Emang keluargamu super sibuk yah?” Aku mengambil segelas Coca-cola yang

tadi di tuangkan Frans.

“Iya. Aku anak yang kesepian. Makanya aku senang sekali kalau kalian mau

datang ke rumahku seperti hari ini.”

63

“Kok nggak bilang-bilang? Boleh sering-sering nih,” Umar nyengir.

“Huh, minta yang gratisan tuh,” ledek kami seperti paduan suara.

Setelah memilih-milih bahan-bahan yang diperlukan, Togar minta disediakan

alat masak sama Bik Ijah. Yang lain duduk di meja marmer bundar sambil mengobrol.

Togar tampak lihai memotong sosis, wortel, tomat, dan timun.

Udang-udang gala yang disediakan Frans begitu mengoda selera. Ehm, Frans

sampai geleng-geleng kepala melihat kelihaian Togar mengayunkan alat pengongseng.

“Yang cewek-cewek pun kalah dibuat Togar. Hehe... Beruntung lah yang

mendapatkan Togar ini. Sudah mandiri, punya toko sendiri, jago masak lagi,” promosi

Umar.

“Hayo siapa yang mau daftar jadi pacarnya Togar?” sambung Frans.

“Woi, kalian jagan muji aku terus. Nanti aku jadi besar kepala dan nggak bsia

masak nih karna keberatan kepala,” jawab Togar rendah hati.

“Kamu konsen saja lar sama masakan kita. Jangan nguping dong. Hahaa,” Umar

tertawa ngakak.

“Wei, bantuin dulu aku ini. Jangan duduk-duduk aja.”

Aku melompat refleks hendak membantu, membuat yang lain heran.

“Sudah dibantu Alexia saja yah. kita sudah asyik ngobrol nih,” kata Umar pura-

pura sibuk cari bahan obrolan sama Frans. Frans pun asyik pula ikutin bahan cerita

Umar.

Aku mendekat pelan ke sosok tegap bercelemek.

“Sini aku bantuin,” kataku caggung.

“Hah? Oh ya, kamu ambilkan piring-piring aja.” Togar tidak kalah caggungnya

seperti aku.

Aku menyerahkan piring-piring seperti diminta Togar. Togar lagi-lagi

memperlihatkan kelihaiannya menghias NasGor yang begitu wangi rempah-rempah itu

dengan potongan sosis goreng mentega, wortel, timun dan tomat.

“Bantuin aku hidangkan ke mereka, yuk.”

“Ok.”

“Hati-hati yah.”

“Iya.”

“Kalau nggak enak jangan kalian hina ya.”

64

“Udah syukur dimasakin masa mau dihina lagi. Bisa dibilang, nggak tau

diuntung nih. Haha...” Umar tidak mampu menahan diri untuk meyendok nasi

dihadapannya.

“Eh, Mar. Tunggu mereka dulu. Sama-sama makan dong,” Alexia menepuk

tangan Umar.

“Iya. Iya. Tapi jangan kuat-kuat dong kamu menepuknya, tangannya kan masih

mau pake punya” kata Umar sambil meringis kesakitan.

“Habisnya kamu nggak sabaran.”

“Sudah komplet kan? Nih, masih ada sisa satu baskom. Yang kurang nanti boleh

nambah yah.”

“Wah, kayak pesta besar aja nih...,” kata Umar semangat.

“Sekarang kita mulai makannya, yuk. Sudah lapar nih. Makin berselera aja aku

lihat udang galanya ini,” kata Umar santai.

“Huh, dasar tidak tau malu!” ejek Aracel agak kasar.

“Udah jangan berdebat lagi. Waktunya makan, keburu dingin nanti malah jadi

tidak enak.”

“Iya, betul tuh.”

Umar buru-buru menyomot satu udang galanya lalu dengan rakus mengunyah

sosis goreng mentega yang begitu mengodanya sejak tadi. Tak lama kemudian dia

berujar, “Wah, Gar... saran aku nih kamu mendingan buka restoran aja daripada buka

counter Hape. Pasti lebih menguntungkan.”

“Iya, yang pastinya Umar lah yang jadi pelanggan setia kamu,” ejek Frans.

“Hahaha...”

Togar hanya mengangapinya dingin. “Jangan bercanda melulu deh,” katanya

setengah ragu.

“Serius nih, Gar.”

“Aku belum kepikiran nih untuk ganti profesi. Lagipula aku belum Pe-De untuk

menjual masakanku ini untuk orang lain.”

“Enak kok, Gar. Lebih enak daripada masakan yang di jual di depan kampus itu.

Kalau tau dari dulu kamu bisa masak seperti ini tiap kali ada event kita tidak perlu

menyewa jasa catering lagi. Kita sewa aja kamu buat jadi juru masak. Ya, tidak?”

Aracel meminta pendapat kami. Kami semua mengangguk setuju.

65

“Ach, jangan berlebihan gitu dong. Aku kan hanya masak untuk kalangan

sendiri aja.”

“Kita bantu deh, Gar. Kamu perlu apa?” sambung Aracel.

“Modal? Gampang, ada Frans yang bisa diminta tolong kucurkan kredit.

Promosi? Gampang, ada Umar dan Aracel yang bisa jadi promotor handal. Butuh

pembantu, ada Alexia yang begitu cekatan tuh bantuin kamu,” cerocos Umar.

“Makasih atas saran kalian. Akan aku pikirkan lagi.”

“Jangan pikir-pikir lagi. Aku setuju sekali kalau ini jadi proyek garapan kita

berikutnya,” kata Umar semakin semangat.

“Ach, kalian ini...,” kata Togar malu-malu.

“Serius lho, Gar. Kami dukung banget deh.”

“Iya. Iya. Kalian aja yang urus. Aku kan hanya kokinya.”

“Eps, jangan gitu dong..... kita semua itu rata. Nggak ada yang ngerasa jadi ini

atau itu,” kata Umar dengan mulut penuh udah gala.

“Betul!” sahut Frans.

“Alexia, jangan diam aja dong. Biasanya kamu ini cerewet dan banyak ide.”

Aku hanya bisa tersenyum.

“Ditanya malah senyum. Jadi gimana?”

“Terserah sama yang bersangkutan. Kalau emang niat, ya sama-sama kita

bantu.”

“Ya, Gar. Kamu niat nggak?”

“Sebetulnya nggak. Tapi karna liat kalian semua begitu bersemangat. Aku mau

coba.”

“Horeee...,” Umar cas dengan Frans.

“Aku senang ada teman kayak kamu. Selalu mau mencoba memecahkan semua

rintangan.”

“Aku tidak akan seberani ini kalau tidak ada dukungan dari kalian semua,” kata

Togar sambil melirik ke arahku, membuat aku salah tingkah.

“Aku tambuh yah,” Umar langsung menyendok pakai centongan kayu.

Semua melihatnya prihatin. Nih, anak nggak tau malu banget.

“Wah, kenyang lo. Frans, Togar terima kasih sudah menjamu kami kayak gini.

Kalau sudah kenyang, mau mikir apapun cepat.”

66

“Gar, pokoknya selesai proposal kita buat, kita bicarakan lagi. Ok?”

“Sip lah.”

Setelah selesai makan Umar, Frans dan Aracel duduk santai di ruang tamu depan

sedangkan aku membantu Togar yang bersikeras mau mencuci sendiri piring-piring

yang kotor.

“Sudah, Bu. Kau ikut gabung saja sama mereka. Biar aku kerjakan sendiri.”

“Nggak pa-pa juga kan aku bantu kamu.”

“Ya emang tidak pa-pa tapi aku grogi.”

“Huh, apa-apaan sih kamu ini. Macam baru kenal aku hari ini aja deh,” aku

mendorong tubuhnya.

Togar tersenyum manis kepadaku.

“Alah-alah...., macam suami-istri aja ku tenggok kalian berdua ini. Mesra kali.

Sampai-sampai cuci piring pun berduaan.” Frans mendekati kami berdua membuat aku

specless berat. Piring yang berbusa itu hampir lepas dari tanganku kalau aku tidak

cepat-cepat sadar bahwa itu piring mahal.

“Iri kali aku lihat kemesraan kalian ini. Sudah lah cepat-cepat lah kalian

resmikan hubungan kalian ini.”

“Ach, kamu ini ngomong apa Frans?”

“Gar, what are you waiting for?”

“Bukan saat yang tepat untuk membahas itu sekarang. Aku tidak mau buru-

buru.”

Frans melihat ke arahku, aku tidak berani menatapnya. Padahal aku sangat ingin

menjelaskan padanya.

“Haha... Aku tinggalkan saja kalian. Anggap saja tadi aku tidak ada, kalian

lanjutkan saja lar pembicaraan kalian yang terputus itu.”

“Ngerti juga kau.”

“Tentu.”

“Makasih, Kawan.”

Setelah ku lihat Frans agak jauh baru ku tanya, “kalian ngomongin apa sih?”

“Menurut kamu?”

“Yee, kalau aku tau ngapain aku tanya lagi?”

“Kalau nggak ngerti ya sudah nggak usah dibahas.”

67

“Kamu kok jadi skeptis gini sama aku. Mulai dari panggil aku dengan panggilan

Ibu, menghindar dari aku, sikap kamu beberapa jam ini sungguh berubah. Kenapa,

Gar?”

“Mungkin hanya perasaan kamu saja.”

“Gar, aku mau kamu memperlakukan aku sama seperti biasa saja.”

“Sekarang aku juga bersikap biasa saja.”

“Baiklah. Mungkin hanya perasaan aku saja.”

Setelah itu yang ada hanya diam. Aku cepat-cepat menata kembali piring-piring

yang telah dicuci ke rak, setelah itu melangkah pergi untuk bergabung dengan mereka

yang duduk sambil bercanda heboh.

“Eh-eh, pengantin barunya sudah siap cuci piring,” olok-olokan mereka

membuat aku mual.

“Wei, kalian bisa nggak sih jaga mulut kalian! Jangan taunya cuman mengejek

aja,” aku sontak naik pitam. Frans terkejut, menatapku prihatin.

“Alexia, tadi kami cuman bercanda. Kok kamu tanggapinnya serius?”

“Aku minta kalian jangan bahas lagi apapun itu menyangkut aku dengan Togar.

Baik dengan niat bercanda ataupun serius! Ok?” aku angkat kaki, hendak pulang tapi

ditahan sama Aracel.

“Vi, tenangkan emosi kamu. Maaf deh kalau kami bercandanya berlebihan.

Kami nggak tau kalau kamu tidak suka kami jodoh-jodohkan sama Togar.”

“Perlu kalian tau: aku masih sanggup mengurus sendiri masalah jodohku!”

“Iya. Iya. Tapi jangan walk out dong. Masalah proposal belum kelar.”

Aracel benar. Aku tidak boleh mengcampur adukkan masalah perasaan dengan

masalah genk.

“Janji deh, lain kali kami tidak akan ungkit-ungkit lagi masalah perjodohan ini.”

“Ok.”

Semua mulai seperti biasa lagi. Masing-masing sibuk dengan tugasnya. Tugas

pun lebih cepat selesai.

Hapeku berbunyi, “Hoi, my sister... udah mau pulang belum?”

“Ehm, udah tuh.”

“Perlu di jemput nggak?”

“Perlu dong.”

68

“Wah, bukannya sekarang sudah ada yang RBT-in kamu?”

“Heh, sapa yang bilang?”

“Ada deh. Informan abangmu ini kan selalu akurat.”

“Pasti deh dari Mama. Gosipin aku apa aja?”

“Mana berani gosipin kamu. Ini fakta, Bung.”

“Aku cewek jangan panggil aku Bung.”

“Ups, sori. Pulang minta diatarin sama Togar lagi dong biar aku sesekali cuti

RBT-in kamu. Aku kan nggak pernah digaji sama kamu.”

“Ye, kan sudah digaji sama Papa.”

“Lain dong. Seharusnya aku dapat tip juga dari kamu. Kan pelayanan aku selalu

memuaskan. Antar-jemput selalu on time. Ya, nggak?”

“Nggak pake.” “Jemput aja sekarang. Aku tinggal beres-beres doang.”

“Gitu deh, kalau sudah bicara soal uang, adekku ini paling pandai buat

membelokkan pembicaraan. Dasar pelit!”

“Awas yah!”

“Ups, takut... sekarang kan body guard adekku ini tambah banyak aja. Haha,”

Josh tertawa cekikikan memekakkan telingga.

“Udah-udah. Siap-siap jemput aku sana. Ngobrol lagi.”

“Ok. Ngomong-ngomong Aracelnya ada disana juga kan?”

“Ada. Napa?”

“Tisam dong sama dia. Oh ya, aku bawa mobil aja yah biar sekalian antarin dia

pulang.”

“Wek, dia mana mau sama pengganguran macam kamu.”

“Nah, kan gitu. Abang sendiri kok dijelek-jelekin harusnya kan dibantu.”

“Aku bukan mak comblang. Kalau mau, usaha aja sendiri!”

“Payah!”

“Biarin! Jemput sekarang!”

“Iya. Iya. Jangan teriak, Bu!”

“Nggak pake lama.”

“Sip.”

Sesaat setelah menutup telepon, Aracel mendekatiku, “Dijemput, Bu?”

“Yap.”

69

“Lho, bukannya tadi datangnya sama Togar?”

“Trus? Apa pulangnya juga mesti sama dia?”

“Tidak sih. Kalau gitu aku nebeng kamu aja yah. Boleh?”

“Harusnya nggak boleh.”

Muka Aracel berubah masam, “Pelit!”

“Percaya aja kamu. Kalau bukan nebeng ke aku, kamu mau pulang sama siapa?”

“Paling juga minta antarin Frans.”

“Ups, kalau gitu kamu ikut aku aja. Kalau diantarin Frans kan mesti mutar-

mutar dulu ke rumah Umar.”

“Yup.”

Aku membereskan kertas folio berisi tulisan laporan keuangan genk, ku

serahkan kepada Frans untuk dijilid bersama proposal besok.

“Sudah yah, aku dan Aracel pulang dulu. Aku dijemput.”

“Baiklah. Take care ya.”

“Ok.”

Togar dengar aku mau pulang tapi dia tidak bereaksi. Dia cuek aja.

“Gar, makasih yah,” kataku sambil menghampirinya.

“Buat apa?”

“Tadi kamu sudah mengantarkan aku kemari.”

“Ach, tidak apa-apa.” “Aku pulang dijemput,” potongku cepat.

“Oh gitu yah? Baiklah. Hati-hati yah.”

“Makasih.”

Beberapa saat kemudian HPku bunyi, dari Joshia, rupanya dia sudah sampai di

bawah.

“Kalau gitu. Aku pamit dulu.” Aku mengambil tas dan memberitahukan Aracel

bahwa Joshia sudah menunggu dibawah.

“Sampai jumpa semua....”

“Iya.”

***

“Sudah lama?” aku membuka pintu depan dan menempatkan pantatku pada jok

yang empuk itu.

70

“Sudah dong. Tadi katanya sudah beres-beres, nyatanya lama.”

“Gitu aja ngambek.”

“Iya dong. Kalau di tempat rame sih tidak pa-pa tapi kalau di tempat sepi seperti

ini, siapa yang berani!”

“Percuma dong muka sanggar tapi takut hantu!”

“Kamu lebih penakut dari abangmu ini. Kadang-kadang mau ke kamar mandi

aja minta ditemanin sama Bik Inah. Hahaha...”

Aku malu hati lalu ku senggol tangannya Josh, “Hush, jangan buka aib adek

sendiri dong!”

“Kan cuman Aracel yang tau, Janji deh Togar nggak akan ku kasih tau tentang

ini!” katanya sambil mengedipkan mata.

Aku langsung naik tensi. Ku tarik telingganya sampai dia mengaduh kesakitan.

Aracel menatapku prihatin.

“Udah dong. Jangan main kekerasan. Auch, auch,” Joshia terus mengusap-usap

telingganya yang terasa perih.

“Kalian tidak pernah akur yah?” aku binggung ini pernyataan atau pertanyaan.

“Iya nih, Aracel. Kamu lihat sendiri kan dia lebih galak daripada cowok.

Menurutmu ada tidak yang berani ja-” sebelum sempat Joshia melanjutkan

perkataannya aku sudah mau menjewer kupingnya lagi tapi dia cepat tanggap dan

langsung tancap gas.

***

“Thanks ya.”

“Nggak masalah. Sering-sering juga boleh.”

“Ya deh. Makasih atas tawarannya.”

“Kami nggak singgah lagi yah,” Kata Joshia kePe-Dean. Sapa juga yang mau

nawarin persingahan?

“Ok. See you,” katanya sambil melambaikan tangan ke kami yang di dalam

mobil.

“Da....,” kata Josh sambil menekan tombol menutup jendela.

“Pulang kita, Dek?”

“Ya iyalah. Masa nginep?”

71

“Sip deh.”

***

“Gar, semalam kamu buat janji jam berapa?”

“Jam sembilan pagi ini. Dia bilang kalau sudah mau sampai dia telepon aku

lagi.”

“Sudah jam sembilan kurang kok tanda-tanda mereka mau telepon tidak ada?”

“Sabar.”

Lima menit kemudian yang dibicarakan menelepon ke kantor dan mengatakan

bahwa mereka sudah ada di depan markas. Buru-buru Umar menyambut mereka.

Langsung dibawanya ke ruang meeting markas. Emang lebih enak ngobrol disitu.

Soalnya itu satu-satunya ruangan yang ber-AC di markas.

Togar sudah bersiap-siap unjuk kebolehannya berbahasa Inggris namn ternyata

orang Singapura itu sudah fasih berbahasa Indonesia. Togar jadi malu hati semalam

sudah mengeluarkan semua kebolehannya. Frans dan Umar saling tatap lalu sesaat

kemudian mencoba tenang.

“Perkenalkan kami. Saya Mr.James, dan yang ini Mr.Anthony,” kata Mr.James

dengan bahasa Indonesia yang terdengar janggal.

“Iya. Saya Umar, ketua dari genk ini. Ini Frans dan Togar, anggota aktif di genk

ini. Masih ada 2 anggota lain yang cewek tapi mereka sedang ada urusan kuliah.”

“Oh begitu. Tidak apa-apa. Kita mulai saja pertemuan kita hari ini. Gimana?

Atau anda ma menunggu anggota lain bergabung dengan kita?”

“Ach, tidak usah yah. Kita mulai saja sekarang. Gimana?” Umar meminta

persetujuan Togar dan Frans. Mereka setuju saja.

“Yah, kami dari Lembaga pemerintah Singapura yang konsern di bidang sosial

dan budaya. Kami hendak membangun kerjasama dengan warga Indonesia yang kami

nilai punya Visi dan Misi yang sama dengan kami yaitu membangun masa depan

generasi bangsa yang bebas dari narkoba, minuman beralkohol, dan pergaulan bebas,”

kata Mr.James yang ternyata blasteran Jawa-Singapura. Badannya tegap serupa dengan

Mr.Anthony yang asli orang Inggris yang sedang meneliti tentang kebudayaan Melayu

Indonesia.

72

“Cara kita menjauhkan mereka dari gejala-gejala globalisasi itu adalah dengan

pendekatan sosial dan kebudayaan. Sekaligus menjalin kerjasama di bidang pariwisata,”

Mr.Anthony menambahkan dengan bahasa Indonesia yang terdengar celet.

“Kami sudah sering mengunjungi situs kalian di dunia maya. Kami nilai

kelompok kalian ini sangat sesuai dengan Visi dan Misi lembaga kami. Maka dari itu

kami hendak berkerjasama.”

“Kami setuju sekali kalau ada kerjasama lembaga antarnegara seperti ini. Tapi,

kalau boleh lebih jelasnya. Kerjasama ini bentuknya seperti apa?” Togar angkat bicara.

“Ya. Pertama kami akan kucurkan dana buat pengembangan program baik yang

sedang direncanakan atau sedang berjalan buat kelompok terpilih. Selanjutnya per 3

bulan sekali kita akan merevisi dan mengevaluasi keberhasilan program tersebut. Jika

tidak ada perkembangan maka kami akan menghentikan bantuan dan mengalihkan

bantuan dalam bentuk lain.”

“Kalau boleh tau. Bentuk lain gimana yang Bapak-Bapak maksudkan?” Frans

membetulkan duduknya.

“Kami akan kucurkan bantuan tidak lagi dalam bentuk likuid seperti uang tunai

namun kami akan beri bantuan dalam bentuk alat-alat kerja yang disubsidi oleh negara

kami.”

“Oh...,”

“Dan itu pun ada syaratnya jika dalam enam bulan kami mengevaluasi tidak ada

perkembangan kegiatan yang berarti dari kelompok ini. Maka total kami akan hentikan

kerjasama.”

“Sebenarnya kami sangat suprise sekali bahwa ada kelompok yang ternyata

beranggotakan young man kayak kalian. Apalagi dilihat dari usia pembentukan

kelompok kalian yang baru more than 2 years saja prestasi yang kalian ukirkan sudah

lumayan mengagumkan. Good work!” puji Mr.Anthony dengan bahasa campur-campur.

“Iya. Belum lagi kelompok ini ternyata bukan berasal dari kota besar seperti

Jakarta. Kami lebih suprising lagi,” tambah Mr. Anthony, lagi.

73

Menerima pujian dari mereka, Umar, Togar dan Frans tidak langsung berpuas

diri. Umar, Togar dan Frans memaparkan bahwa anak daerah sebenarnya banyak

memiliki potensi namun karena pemerintah sendiri kurang memberi perhatian terhadap

perkembangan kelompok-kelompok seperti Jayabaya ini, terpaksa mereka berusaha

sendiri. Mereka juga memaparkan rencana Jayabaya kedepan. Bla, bla-bla.

“Kami boleh lihat tau alamat jelas dari lembaga Bapak-Bapak?”

“Boleh. Ini saya berikan kartu nama saya pribadi dan ini kartu nama lembaga

kami.”

“Kami masih ada waktu 3 hari di Medan. Nanti akan kami telepon lagi kalian

untuk memastikan kapan dana akan ditransfer dan kita memulai proyek perdana.”

“Baiklah. Ini kami berikan proposal dari Jayabaya untuk melengkapi data-data

yang telah Bapak-Bapak ketahui dari situs internet.”

“Terima kasih. Sepertinya kami tidak punya waktu yang lebih lama lagi.

Soalnya kami mau menemui klien yang lain.”

“Terima kasih juga, Pak.”

“We are happy to meet you. Nice day. Thank you.”

“Thanks too.”

“Ok.”

Setelah itu mereka berjabat tangan. Umar mngantarkan Mister-mister itu sampai

ke mobil. Dan ketika dia langsung heboh ketika masuk ke markas.

“Akhirnya...., tidak sia-sia usaha kita.”

“Hush, jangan senan dulu, Mar, ini belum apa-apa. Bukan kah tadi dia bilang

mau ketemu klien yang lain. Berarti dia masih akan menyeleksi kelompok lain.”

“Aku tidak peduli. Aku optimis, kesempatan emas ini akan jatuh ke kelompok

kita,” kata Uamr optimis. Nih anak memang selalu optimis dalam menghadapi hidup.

“We hope so.”

“Kalau tidak ada lagi yang mau diurus, aku mau cabut dulu. Mau kampus. Ada

mau kumpulin tugas.” Togar mengambil helm racingnya. “Ok,” jawab Umar dan Frans.

“Kalian tidak acara lain?”

“Kalau aku sih nanti siang mau jumpai dosen pembimbing. Pengajuan judul

skripsi aku sampai hari ini terkatung-katung, tidak ada jawaban. Apa diterima atau

tidak?”

74

“Hahaha, aku aja masih tenang-tenang aja, Frans.”

“Orang kamu tidak mau usaha.”

“Let it flow.”

“Alah, macam ngerti tuh, apa lah artinya? Iya let it flow, baru setelah itu jadilah

kamu dapat gelar Mahasiswa abadi. Mau?” tanya Frans serius.

“Ya, nggak mau lar, Frans.”

“So?”

“Masih ada beberapa mata pelajaran aku yang nilainya hancur. Mau ikut ujian

khusus dulu baru aku bisa mengajukan judul. Soalnya SKS aku belum cukup.”

“Makanya jangan kemalasan kuliah. Bolos aja kau kerjaannya. Haha..,” Togar

meneouk-nepuk bahu temannya itu.

“Ach sudah lah. Kalau ngobrol terus nanti terlambat pula aku ke kampus,” Togar

bawa jaket kulitnya, berjalan keluar.

“Jaga markas baek-baek ya ketua.”

“Emang aku apaan?”

“Hehehe..., jangan tersinggung dong. Ntar yang ada kamu makin jelek,” kata

Frans sambil ngacir pergi.

“FRANS....”

***

Aku masuk ruang perkuliahan yang masih sepi. Hanya ada Hans, dan beberapa

anak transferan yang tidak aku kenal.

“Hai,” sapa Hans.

“Hai. Cata-”

“Nih,” potong Hans cepat sambil menyodorkan 2 lembar kertas binder dengan

tulisan amburadul.

“Tumben ngerti.”

“Ya iya lah. Dari kamu masuk sampai duduk di jidat kamu itu seperti sudah

tertulis ‘kembalikan catatanku’. Hehehe,” Hans tertawa garing.

“Bagus deh kalau sadar.”

“Oh, ya. Tugas Akong kamu sudah selesai?”

“Hufff, lupa! Aduh,” aku menepuk jidatku.

75

“Tumben-tumbenan kamu lupa padahal aku liat kemarin kamu catat dengan

tulisan besar-besar pakai stabilo warna, lagi.”

“Aku sudah beberapa hari ini tidak buka binder. Entah sudah jadi apa semua

catatan di binderku ini,” kataku jujur.

“Ya ya, Miss Sibuk. Heran deh,” kata Hans kemudian.

“Apanya yang buat kamu heran?”

“Kamu itu sibuk nge-genk atau pacaran?”

“Wek, sembarangan ngomong. Sudah tidak usah dibahas.”

“Jadi, tugas aku bisa nebengin kamu kan?” tanyanya sambil mengedip-

ngedipkan matanya.

“Mana bisa gitu? Usaha dong!”

“Udah. Ini juga lagi usaha.”

“Wek, cari sendiri. Aku mau ke perpus. Ikut?”

“Perpus? Hah,” dia menghela nafas panjang lalu dengan gontai mengikutiku.

Hans, orang chinese campuran. Mukanya oriental, matanya sipit banget, kulitnya

putih bersih. Orang keturunan kayak dia emang tergolong minoritas di Universitas

Negeri kayak USU. Entah karena jatah kursi untuk mereka yang sedikit atau memang

minat mereka sendiri terhadap Universitas Negeri yang kurang?

“Alexia,” sapa Togar.

Dilihatnya aku dengan Hans. Hans melemparkan senyum tapi hanya dibalas

dengan muka datar Togar.

“Oi, darimana?”

“Dari markas,” jawabnya singkat. Togar terus melirik ke Hans, aku segera

mengerti.

“Nih, Hans. Anak transferan, satu tingkatan sama aku.” Hans mengulurkan

tangan.

“Togar,” jawabnya sambil meraih uluran tangan Hans.

“Mau kemana?”

“Perpus. Mau ngerjain tugas,” jawabku.

“Gitu? Ya udah, aku juga mau masuk kuliah.”

Aku mengangguk pelan lalu melanjutkan jalan. Setelah agak jauh Hans baru

bertanya, “Siapa tadi? Sombong banget.”

76

“Hehehe... Emang gitu?” aku menyengol bahunya.

“Apa karena aku orang keturunan jadi kelihatan aneh kalau berteman sama

kamu?”

“Ach, tidak. Mana mungkin Togar begitu. Perasaan kamu aja.”

“Tapi dia melihatku dengan sinis.”

“Jangan gitu dong Hans. Kan selama ini aku berteman sama kamu juga tidak

pernah pandang kamu dari suku mana. Santai aja.”

“Aku juga harap gitu. Soalnya dari pertama aku masuk kuliah disini kelihatan

banyak yang melihatku dengan tatapan aneh. Pun, jarang banget orang kayak kalian

mau berteman sama orang keturunan kayak kami ini.”

“Buktinya aku sudah jadi teman kamu. Togar kan pertama kali jumpa kamu.

Kalau kamu sudah kenal lama dia pasti penilaian kamu bakal berubah deh.”

“Sudah, ayo, kita cari bukunya.”

“Terima kasih,” katanya kemudian.

“Buat apa?”

“Kebaikan kamu selama ini. Kamu juga bukan tipe pemilih dalam berteman. Itu

yang buat aku senang temenan sama kamu.”

“Udah?” tanyaku jaim.

“Ada satu lagi yang aku suka dari kamu.” Dia tersenyum.

“Kamu tidak pelit, suka bantuin orang, kamu orangnya ramah, dan lain-lain,”

cerocosnya.

“Huh, mau minta tolong ngerjain tugas, bilang aja,” kataku sambil menjitaknya.

“Ya gitu deh. Alexia, aku malas banget masuk ke perpus. Kayaknya bukan

tipeku deh baca buku-buku tebal. Baru liat aja kepalaku sudah pusing apalagi kalau

suruh aku baca.”

“Jangan banyak alasan!” aku menariknya masuk.

“Tulis dulu yah nama di buku kunjungan perpustakaan, Dek,” kata penjaga

perpustakaan yang berambut keriting.

“Iya,” sahutku ramah. Setelah aku membubuhkan namaku aku menyodorkan

pena ke Hans, “Tulis nama kamu,” perintahku sambil menyodorkan pena ke

tanggannya. Dia menerimanya ogah-ogahan.

“Tidak usah. Kamu sudah cukup mewakili aku,” tolaknya.

77

“Dasar!”

“Bu, kalau boleh tau buku tentang Bank dan Lembaga Keuangan lainnya di

sebelah mana yah?”

Mata Ibu itu menyisir ruangan perpustakaan yang cukup luas dan penuh dengan

rak-rak buku. “Sebelah situ, Dek. Nanti kamu jalan lurus aja trus mentok di bagian

paling ujung. Ada rak berkode B,” katanya sambil menunjuk rak yang dimaksud.

“Oh, iya, iya. Makasih.”

“Sama-sama.”

Hans mengikutiku dari belakang, sama-sama mencari ‘rak berkode B’ yang

dimaksud.

“Alexia, ruangan perpustakaan di USU tidak sesederhana yang aku pikirkan

selama ini. Hehe-”

“Hush, jangan keras-keras ketawanya. Menggangu, tau! Ntar kamu bisa diusir

dari sini,” kataku sambil mencubit lengannya. “Kalau kamu mau bacaan yang agak

santai, itu ada tempatnya.” Aku menunjuk ke arah selatan. Disana disediakan taman

bacaan seperti nuansa Cafe, dekat dengan kantin kecil plus tempat duduk sofa yang

empuk. Tapi ada syarat bayaran tertentu untuk jadi anggota taman bacaan itu.

“Bilang kek dari tadi.”

“Makanya jangan pikir bahwa perpustakaan itu identik dengan keseriusan.

Universitas ini sudah menerapkan sistem perpustakaan modren. Jadi, mahasiswa tidak

ada yang malas lagi ke perpus kayak kamu.”

“Kalau semua universitas secanggih ini sih aku yakin deh tidak ada mahasiswa

yang semalas aku.”

“Hehe...,” aku tertawa sinis.

“Aku kesana dulu yah.”

“Wue, mana bisa gitu. Cari sama-sama dulu bukunya.”

“Huh, mataku sudah sipit begini. Mau kamu buat tambah sipit,” katanya sambil

menunjuk ke matanya.

“Salah sendiri kenapa mata kamu sipit gitu!”

“Bukan mauku. Ini sudah dari sononya. Sudah dari pabriknya gitu.”

Aku hampir tertawa ngakak kalau saja aku lagi di lapangan atau tempat lain.

Hans melihatku sedih. Aku segera mengerti dan kembali cari-cari buku.

78

Beberapa saat aku sibuk cari buku tidakku perhatikan lagi Hans kemana?

“Ini bukunya, Hans. Dari daftar pustakanya nampak ada fungsi-fungsi Bank

Sentral.” Aku menyerahkan buku itu ke Hans tapi ternyata orangnya sudah tidak ada di

sampingku.

“Ye, orangnya nyelonong pergi. Nggak sopan!”

Aku berjalan ke meja ibu pengurus perpustakaan, ketika aku malihat ke arah

selatan, Hans sudah santai duduk di sofa sambil memesan minuman. “Kartu

anggotanya, Dek,” kata ibu-ibu berambut keriting tadi. Aku mencari kartu anggota

perpustakaan yang ku simpan di dompet.

“Ini, Bu.”

“Tunggu bentar yah,” katanya sambil mengecek kartu anggota. Aku melotot ke

arah Hans yang sekarang mengambil acak buku bacaan yang tersedia di taman bacaan

yang aku ceritakan itu tapi Hans tidak melihatku.

“Tidak mau diperpanjang jadi anggota taman bacaan aja, Dek. Biayanya murah

dan fasilitasnya lebih ok,” katanya sambil menyodorkan kembali kartu anggotaku yang

telah diparaf.

“Ehm, tadi teman adek baru aja daftar jadi anggota. Liat tuh, dia tampak

menikmati suasana taman bacaan kan?”

Huh, setan! Tadi waktu aku ajak ke perpustakaan dia ngeluh. Sekarang dia sudah

enak-enakan duduk sambil baca kayak di Cafe, Keluhku.

“Dek, mau?”

“Iya. Lain kali aja deh, Bu.”

“Oh, iya. Iya.”

Aku membalikkan badan lalu meninggalkan perpustakaan.

***

Aku bersiul-siul ceria. Tapi tiba-tiba berubah serius ketika menangkap dua insan

yang duduk berduaan di kursi panjang depan sebuah ruang perkuliahan fakultas

Ekonomi.

“Aracel nanti sore kita jalan, yuk.”

“Mau kemana?”

79

“Nonton. Aku diajak sama anak relasi Papaku. Tapi aku malas pergi berdua

sama dia.”

“Lho kok gitu?”

“Ceweknya ganjen. Cantik sih cantik tapi gayanya itu manja. Aku tidak suka.”

“Kalau kamu ajak aku apa tidak akan kenapa-kenapa?”

“Tidak kenapa-kenapa dong. Malah aku senang kalau kamu ikut. Jalan sama dia

kan sekadar untuk menyenangkan hati orang tuanya.”

“Yee, tolak aja dengan halus daripada kasih dia kesempatan.”

“Aku tidak mampu menolaknya. Orang tuanya relasi kerja Papaku, menolaknya

sama saja dengan mencelakan Papaku.”

“Tapi menerima ajakannya sama saja mencelakan kamu,” kata Aracel sambil

mengetok kepala Frans.

“Gitu deh,” jawab Frans singkat, cengar-cengir kegirangan diketok.

“Aku jemput kamu duluan aja baru jemput dia, oke?”

“Oke.”

“Makasih yah,” katanya tulus.

“Tidak pa-pa.”

Hatiku tiba-tiba berang. Padahal tadi rencana mau masuk kelas mata kuliah

Ekonomi Pembangunan tapi kakiku tertahan untuk melintas di depan mereka. Aku

berbalik badan keras lalu ke markas.

***

“Oi, tidak kuliah kamu?” tanya Umar yang duduk santai di markas.

“Tidak.” Jawabku lalu duduk di sofa markas.

“Bolos aja yah,” ejek Umar.

“Apa urusannya sama kamu?” tanyaku kesal.

“Weist, baru datang aja kamu sudah marah-marah. What’s up?” tanyanya

binggung liat aku yang datang-datang sudah marah-marah.

“Bukan urusan kamu. Cerewet!” sergahku. Membuat Umar langsung terdiam.

“SEPPP!” teriakku.

“Iya. Iya. Ada apa?” yang dipanggil buru-buru datang.

“Buatin aku teh manis dingin,” perintahku.

80

“Baik,” jawab Asep sambil mengangguk-angguk.

“Tidak pakai lama,” kataku tengil.

“Judes banget sih,” gumam Asep tidak jelas.

Umar buang muka. Dia pura-pura sibuk sama Handphonenya.

Setelah beberapa saat diam, “Mar, nanti malam ada acara?” tanyaku memecah

keheningan.

“Heh?” dia terkejut.

“Ada acara tidak?” tanyaku lagi.

“Mau ngajak kencan yah?” Umar malah balik tanya.

Perutku langsung mual mendengar pertanyaan Umar. “Iya. Kita nonton.”

“APA?” teriak Umar dengan gaya menjijikkan. Aku melihatnya tajam.

“Lex, kamu mau ajak aku nonton?” tanyanya dramatis. Kayak lagi main di acara

opera sabun.

“Iya,” jawabku terpaksa.

“Apa tidak salah sasaran? Kamu mau jadikan aku kelinci percobaan yah

sebelum memantapkan diri mengajak Togar?” tanyanya menghujat.

“Aku serius ngajak kamu, titik. Mau atau tidak?” tanyaku kesal.

Umar berpikir keras sampai-sampai urat-urat di keningnya nonjol-nonjol. Hehe..

“Aku tidak enak menolakmu,” katanya sambil memutar-mutar tangannya

dengan polos.

Aku makin muak tapi ku tahankan karena aku pergi dengan satu tujuan.

“Tumben kamu baik mau ngajak aku jalan,” kata Umar sambil duduk mendekat.

“Lagi pengen aja,” kataku sambil mendorong pantat Umar yang mendekat.

“Jangan-jangan...” Umar lagi-lagi berekspresi menjijikan.

“Ini real aku memang lagi pengen aja, jangan salah paham, oke?” sambarku

cepat, mematahkan spekulasinya.

“Hehehe...” Umar tertawa ngakak.

“Biarin, aku tau kamu suatu hari juga bakal ngaku, Lex,” kata Umar tidak jelas.

Aku memutuskan ke ruang operasional untuk beristirahat sekaligus menghilangkan

penat.

“Ini tehnya,” kata Asep ketika pintu operasional terbuka. “Taruh disini.”

Tunjukku pada meja komputer.

81

“Sep, titip pesan sama anggota lain supaya jangan sembarangan masuk ke

ruangan ini karena aku mau istirahat.”

“Baik, Mbak.”

Aku mengambil posisi enak buat tidur sejenak. Aku menyusun beberapa kursi

lipat lalu naik ke atas, tidur dengan sandaran tas selempang. Memang ribet sih tapi aku

tidak peduli, aku hanya mau mengistirahatkan badan dari kepenatan. Aku menyetel

alarm di ponselku supaya aku terbangun tepat jam Lima agar aku bisa siap-siap

menjalankan misi nanti sore. Sejurus kemudiaan aku sudah terlelap.

***

“Sep, kok anggota tidak ada di markas. Kemana yah?” Togar menghempaskan

tasnya ke sofa ruang tamu.

“Mas Umar baru aja pulang dari sini. Dia sudah sedari tadi pagi disini, duduk

nonton TV. Kalau Mbak Alexia istirahat di ruang operasional. Nah yang belum nampak

itu Bang Frans dan Aracel.”

“Oh gitu...”

“Tapi, tolong Mbak Alexia-nya jangan diganggu Mas soalnya tadi dititipi pesan

begitu.”

“Sip deh,” kata Togar sambil menepuk bahu Asep. “Sep, buatin aku kopi yah,”

kata Togar kemudian.

“Capucinno seperti biasa kan, Mas?”

“Yoi.”

Tangan Togar menekan tombol On pada TV.

***

Alarm ponselku berdering kencang, aku memang sengaja mensetingnya

sedemikian rupa agar aku benar-benar terbangun jam 5 sore.

Aku tersentak kaget, ketika bangun ku rasakan semua badanku nyilu berat.

Mungkin karena posisi dan tempat tidurnya yang tidak nyaman. Aku hampir tidak

sanggup berdiri dengan tegak. Walaupun sakit aku mencoba berjalan untuk mengapai

teh manis yang tadi dibuatkan untukku.

82

Setelah minum aku duduk sebentar di kursi komputer dan memegang kepalaku

yang ikut-ikutan puyeng. Aku mau berjalan keluar dengan segenap sisa-sisa tenaga yang

ada. Pelan ku buka pintu operasional tapi sesaat kemudian jatuh terduduk tepat setelah

pintu opersaional terbuka lebar.

Gedebbbbukkkk, bunyi yang keras ketika badanku ambuk ke tanah.

Togar terperanjat kaget berhubung karena ruang operasional dan ruang tamu

lumayan dekat. Togar berlari ke sumber suara itu dan mendapatiku sudah terbujur

lemas. Asep pun ikut-ikutan panik, dia berlari ke arahku melihat keadaanku. Togar

sigap mengendong tubuhku ke sofa di depan ruang tamu. Togar semakin panik ketika

melihatku yang pucat pasi. Togar tiba-tiba emosi dan membentak-bentak Asep buat

mengambil es buat kompres.

Togar kelewat panik sampai tidak mampu berpikir jernih. Dia panik menelepon

dokter rumah sakit kenalannya. Dengan bicara yang tidak jelas sampai akhirnya

terduduk lemas sendiri.

“Mas, tadi Mbak Alexia baik-baik saja. Kenapa waktu keluar tiba-tiba jadi

begini?” Asep bersuara terus menganti kompresan.

“Jangan-jangan Mbak Alexia sakau di dalam kamar,” katanya kemudian.

“Jangan sembarangan bicara kamu, Sep!” sergah Togar keras.

“Mana tau, Mas, soalnya Mbak Alexia tidak biasanya istirahat di ruang

operasional itu.”

“Itu kebetulan saja. Kita tunggu saja sampai dokternya datang.”

“Saya hanya berasumsi lho Mas,” kata Asep polos. Eh sok berasumsi dia.

Hehehe....

“Saya tau! Sudah sana buatkan air hangat!” perintah Togar. Dia tidak ingin Asep

semakin berasumsi yang tidak-tidak sama Alexia.

“Baik lah.” Asep patuh.

Togar sudah agak tenang. Togar takut asumsi Asep ada benarnya. Acccgggh,

kenapa jadi begini?

***

“Bagaimana, Dok?” Togar harap-harap cemas.

83

“Tidak pa-pa kok. Dia ini kecapekan jadi mudah pingsan, banyakin istirahat dan

minum multivitamin aja.”

“Ohhhh, syukur lah,” kata Togar sambil mengurut dada. Asep pun ikut-ikutan

berbuat demikian.

“Taruh minyak angin aja biar cepat siuman,” lanjut sang Dokter.

“Iya, Dok.” Togar menurut.

“Saya tidak buka resep lagi yah soalnya penyakitnya ringan. Multivitaminya

bisa dibeli bebas. Tapi yang paling bagus multivitamin penambah darah,” kata Dokter

sambil memberes-bereskan stetoskopnya ke dalam tas.

Togar mengangguk-angguk.

Dokter itu menolak bayaran soalnya dia mengenal baik Togar. Setelah

pemeriksaan selesai, Togar dan Dokter itu berberbicang-bincang di luar.

***

Aku bangun dengan sakit kepala yang luar biasa. Aku mencoba bangkit pelan-

pelan, tapi aku kembali terjatuh. Entah mengapa badanku terasa payah saat ini?

Aku memusatkan pikiran dan mencoba bangkit lagi kali ini aku berhasil duduk.

Asep yang melihatku susah payah bangkit membantuku duduk dengan baik. Dia

mengambilkan air hangat untuk ku minum.

“Mas Togar lagi pergi beli obat. Kalau boleh tau Mbak kenapa yah, kok tiba-tiba

pingsan?”

“Saya juga tidak tau nih, Sep. Bangun tidur badanku sakit semua,” jawabku

lemah.

“Mbak sih pake tidur di deretan kursi lipat,” katanya pelan.

“Bisa aja gara-gara itu.”

“Kalau masih sakit Mbak tiduran aja dulu.”

Aku mengangguk-angguk saja melihat Asep balik ke dapur.

HPku berdering. Aku merogoh kantong celana dan mengeluarkan HP yang terus

berdering itu dengan susah payah.

Dari Umar,

“Halo, Miss Alexia jadi tidak kita pergi? Aku mesti tunggu kamu dimana? Aku

dijemput kan? Hehehe...” aku makin muak mendengar suara itu.

84

“Masih di markas, Bos. Kayaknya rencana kita harus dibatalkan berhubung aku

tiba-tiba tidak enak badan,” kataku kepadanya sambil menahan rasa muak yang telah

memuncak.

“Lha, apanya kamu ini? Aku sudah dandan ganteng, rapi, kamu malah bilang

tidak jadi,” katanya kecewa.

“Iya. Sorri banget. Aku memang tidak bisa.”

“Oke lah. Batal pun tidak apa-apa lah. Mungkin bukan rejekiku pergi sama

kamu.”

“Jangan gila dong,” kataku sambil menutup percakapan.

Frans dan Aracel pasti sedang bersenang-senang saat ini. Huh, selalu gagal

maning-gagal maning...

***

Togar memasuki markas, di tangannya ada sepelastik obat.

“Sudah lama sadarnya?” tanyanya terkejut melihat aku sudah terduduk di sofa.

“Iya,” jawabku singkat.

“Gimana sekarang kau?” tanyanya lagi dengan muka khawatir.

“Agak lumayan, Gar.”

“Sudah berapa kali ku bilang take care lah kau dengan kesehatan kau sendiri.

Untung kau pingsan di markas, coba kalau tadi kau tiba-tiba terjatuh lemas di jalanan,”

Togar mulai berceramah.

Aku melihatnya sendu. Ini anak tidak pernah berhenti kasih perhatiaan sama

aku.

“Ini aku belikan kau multivitamin. Mudah-mudahan bermanfaat,” katanya

sambil menyodorkan sepelastik obat yang tadi dipegangnya.

“Aku terus merepotkan kamu, Gar,” kataku kemudian.

“Ngomong apa kau ini. Tidak bisa aku lihat kau pucat kayak mayat gini. Bisa

jantungan aku kau buat,” katanya semangat.

Aku tersenyum.

“Serius ini. Aku khawatir sama kamu. Aku mau selalu lihat kau sehat, ceria,

aktif seperti biasa,” Togar keceplosan. Aku tersenyum, lagi.

85

“Kamu istirahat bentar habis itu aku antar pulang nanti.”

“Tidak usah, Gar. Aku bisa minta jemput sama abangku.”

“Apa gunanya aku disini kalau kamu masih merepotkan abangmu untuk datang

jemput kamu,” kata Togar terdengar ngotot.

Aku pun luluh dan setuju.

***

“Aku tidak singgah lagi yah. Kau cepat masuk. Nanti mandinya pake air hangat

yah. Trus habis makan jangan lupa diminum Multivitamin yang aku beli tadi....,” Togar

tiba-tiba berhenti ngomong karena melihatku terbegong menatapnya.

Tiba-tiba nih anak berubah cerewet, pikirku.

“Ada satu lagi, kalau malam-malam kau tidak enak badan lagi jangan segan-

segan telepon aku. Oke?”

“Ya.”

“Bagus. Sudah yah, aku pulang dulu. Masuk sana.” Togar mendorong pelan

badanku.

“Terima kasih.”

Togar menstater Scorpionya lalu tancap gas.

***

Keesokkan harinya,

Umar masuk ruangan markas dengan memakai kacamata hitam besar mirip yang

selalu digunakan oleh Ian Kasela, vokalis band Radja. Entah angin apa hari ini dia

staylist banget dengan kacamata seperti itu.

Aku yang duluan sampai dan duduk di sofa ruang tamu melihatnya aneh. “Ada

apa?” tanyaku kemudian ketika dia duduk tepat di sampingku.

“Aku lagi sedih, Lex.”

Raut muka Umar berubah sedih.

“Heeh, masalah apa?” tanyaku hati-hati.

“Tumben kamu tidak marah aku panggil Lex,” katanya sambil tersenyum sinis.

“Untuk sesekali tidak pa-pa lah. Kok sedih, kenapa kamu?”

Umar melepas kacamatanya, cukup membuatku terkejut, matanya sembab kayak

baru nangis. Tapi buru-buru dia memakai kembali kacamata itu.

86

“Aku patah hati. Cintaku selama ini bertepuk sebelah tangan. Dia sudah ada

yang punya. Tapi sakitnya, orang itu teman dekat aku sendiri....,” kata Umar dengan

suara parau. Dia diam sejenak. Entah menahan airmata atau apa?

“Aku tidak nyangka aku ditikung sama teman baikku,” jawabnya kemudian.

“Emang siapa?”

“Menurut kamu? Emang aku bisa mencintai siapa lagi selain dia. Dia lah yang

selalu hadir dalam setiap mimpi-mimpiku, dia lah yang selalu ada di pikiranku setiap

aku terbangun-”

“Siapa sih?” sambarku cepat. Daripada dengar dia ngomong bertele-tele.

“Aracel dan Frans pacaran yah.” Aku tidak tau apakah itu pertanyaan atau

penyataan.

Aku terkejut langsung kututup mulutku. “Semalam aku hendak ke rumah Aracel

tapi baru sampai gang kompleknya aku tampak dia diantar sama Frans. Mereka-”

Umar kembali berhenti. Dia mencoba menenangkan gemuruh di dadanya dan

terlihat jelas dia mencoba menahan air mata yang sudah mau jatuh berderai.

“Nanti perasaan kamu aja,” kataku menenangkannya sebisaku.

“Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mereka mesra banget,” kata Umar

sedikit hiperbola.

“Trus,” aku memancingnya untuk menceritakan apa saja yang dilihatnya.

“Iya gitu. Aku tidak sanggup melihatnya. Aku hanya bisa pulang sambil terus

meratapi nasib. Sebenarnya aku juga sadar, apa lah aku ini jika dibandingkan sama

Frans yang anak gedongan itu,” ucapnya lirih.

“Hush, kamu ini. Emang Aracel cewek matre!” hajarku.

“Emang bukan sih, cuman, logika aja lar. Mana ada cewek sekarang yang mau

pacaran sama cowok yang tidak punya kendaraan, masih kuliahan, pengangguran, de el-

el seperti aku ini,” sindirnya.

“Mana jelek lagi.” katanya lalu menunduk.

Aku prihatin dengarnya. Binggung mau komentar apa?

Sabar, Mar. Diterima aja. Emang sudah nasibmu begitu...

“Aku memang seperti punguk yang merindukan bulan.”

Pagi itu, Uamr benar-benar mencurahkan seluruh isi hatinya kepadaku sampai

tertumpah semua. Kayak air yang terisi kenepuhan dan tertumpah keluar. Mulai dari

87

kapan sukanya dia kepada Aracel sampai kejadian semalam dia melihat Aracel dan

Frans bermesraan di depan rumah. Umar menceritakan itu dengan emosi meluap-luap

dan terbungkus juga rasa sakit di hati.

“Aku tidak tahan lagi, Lex,” katanya ketika mengakhiri cerita.

“Mau aku apakan pikiran ini supaya aku jangan terus mikirin dia?” tanyanya lalu

menatap mataku. Tersirat luka di matanya yang gelap.

“Hehm, sebetulnya bukan salah Acel juga sih. Selama ini kan kamu tidak pernah

bilang suka sama dia. Dengan kesinglean dia, dia berhak dong jalan sama siapa saja,”

kataku sedikit membela Aracel.

“Jadi?” tanyanya binggung.

“Kamu coba utarakan aja,” aku coba kasih ide.

“Serius ini, Lex!” serunya kesenangan.

“Iya dong. Diterima atau tidak, itu urusan belakang. Setidaknya kamu sudah tau

sampai mana usaha kamu,” kataku lagi. Memompakan semangat kepadanya. Umar pun

ibarat kesetrum. Dia seperti dapat energi baru. Tapi tidak lama kemudian drop lagi.

“Aku malu,” katanya lugu.

“Apa yang perlu kamu permalukan? Kamu punya hak suka sama siapapun, tidak

terkecuali pada Aracel!” seruku agak marah dengar dia pesimis kayak sekarang.

Tiba-tiba Aracel masuk ke markas. Sendirian. Cantik kali dia hari ini, dengan

rambut dikeriting spiral dan anting yang senada dengan warna hijau bajunya. Wajah

imut Aracel makin mengemaskan.

“Ada apa nih tadi waktu aku buka pintu namaku sudah disebut?” tanya Aracel

tiba-tiba.

“Tidak ada,” jawabku buru-buru.

“Oh..., trus ada apa nih pagi-pagi sudah kumpul?” Aracel melihat ke Umar dan

aku bergantian.

“Tidak ada apa-apa,” jawabku lagi.

“Oh..., bener nih tidak ada apa-apa?” Aracel memencingkan matanya.

“Iya,” jawab kami berdua kompak.

“Di ruangan gini kok pake kacamata?” tanya Aracel kepada Umar yang belum

juga membuka kacamatanya.

“Iya. Aku lagi sakit mata, takut kalian ketularan.” Umar berbohong.

88

“Oh..., cakep juga tuh. Beli dimana?” puji Aracel. Umar semangat sesaat.

“Maksudnya kacamatanya lho ya yang cakep,” Aracel tiba-tiba menegaskan

membuat Umar kembali mayun.

“Beli di pasar,” jawab Umar singkat.

“Pasar mana?” tanya Aracel, lagi, makin penasaran.

“Belawan,” jawab Umar asal.

“Emang di Belawan ada pasar apa? Ada jual asesories juga ya?” Aracel terus

menodong Umar dengan pertanyaan-pertanyaan nggak penting. Umar engan

menjawabnya lagi. Tapi kasihan juga.

“Iya,” jawab Umar singkat lalu beranjak ke dapur.

Aracel melihatnya binggung menatap ke aku dan minta penjelasan, aku hanya

mengangkat bahu dan bilang mau berangkat ke kampus.

“Hari ini ada kelas apa aja, Non?” tanya Aracel sambil berusaha mensejejerkan

langkahnya denganku.

“Cuman satu les habis itu kosong.”

“Iya tapi les apa?”

“Pak Penting.”

“Oh, Bapak yang pendek dan keriting itu, ngajar apa tuh... Aduh aku lupa.”

“Ekonomi Makro,” jawabku sambil melihatnya bentar lalu berpaling lagi.

“Iya.”

“Hari ini bagaimana kabarmu?”

Pertanyaan Aracel barusan menghentikan langkahku. “Baek.”

“Semalam kata Togar kamu pingsan lagi.”

“Kapan dia bilang sama kamu?”

“Semalam malam. Sebenarnya kamu punya masalah kesehatan yang kamu

sembunyikan tidak?”

“Tidak.”

“Benar nih?”

“Ya. Bener lah. Orang aku selalu sehat gini masa kalian bilang sakit.”

“Ya tidak sih. Kami kan khawatir juga kalau kamu tiba-tiba pingsan begitu. Kita

periksa sama-sama yuk nanti pulang kuliah.”

“Ach, buat apa?”

89

“Buat kontrol aja. Kalau pun nanti dokter bilang kamu sehat, lebih bagus kan?”

“Ehm, buang-buang waktu aja.”

Aku berjalan lagi dan terus mempercepat langkahku agar tidak terkejar Aracel.

“Berlebihan, buang-buang waktu, huh!” aku mengeluh.

“Vi, kamu terlalu keras kepala!” Aracel menghentakkan kakinya lalu mengerutu

tidak jelas. Aku tidak mau mendengar lagi semua kata-katanya.

***

Hari ini menjadi hari yang panjang buatku. Aku tidak konsen sama penjelasan

dosen dan bahkan tulisan di catatanku tidak jelas lagi. Pikiranku saat ini menjelimet.

Semua berputar dan membuatku sakit kepala.

“Alexia, coba kamu jelaskan siklus Akuntansi!” Pak Idhar-yang sering di

panggil Pak Penting-sudah berada tepat di depanku.

“Ehm...” Pak Idhar menatapku penuh harap sedangkan aku masih benggong.

“Gimana mau membuat suatu sistem informasi Akuntansi dalam suatu

perusahaan jika siklus Akuntansi secara umum saja kalian tidak tau!” hardiknya lalu

menjauhi tempat dudukku.

“Bukankah itu pelajaran di semester lalu? Kalian seharusnya sudah bisa

menguraikannya dengan lancar. Siklus itu kan menjadi dasar setiap perjalanan kalian

belajar tentang Akuntansi?” sindirnya lagi.

“Whatever lah,” desisku pelan.

“Jadi siapa yang bisa menjelaskan dengan baik siklus Akuntansi di kelas ini?”

Semua pada diam dan menunduk. Pelajaran yang membosankan.

Pak Idhar geleng-geleng. Dia berinisiatif mejelaskan sendiri dan mengambar

besar-besar di papan tulis.

***

“Oi, kenapa kamu? Bengong aja kayak ayam sakit.” Hans mendekatiku.

“Tidak pa-pa.”

“Makan, yuk.”

“Pergi aja sendiri. Aku nggak mood.”

“Eist, gaya banget. Makan pun mesti liat mood dulu. Aku traktir deh kali ini.”

“Aku beneran nggak mood.”

90

“Lagi dapat ya?” tanyanya kegatelan.

“Ih, please deh. Udah awas-awas, sana,” usirku.

“Ho-ho-ho. Ya udah. Asal tidak nyesal. Padahal aku mau kenalin kamu sama

teman transferan juga, fakultas Sasta. Steven namanya. Orangnya oke lho.”

“Huh, promosi. Tidak minat.”

“Hah, aku sudah tau pasti komentar kamu juga gitu. Kapan kamu ada minat

sama cowok? Perasaan temanmu cowok semua. Hahaha...,” ejeknya.

“Biarin. Suka-suka dong.”

“Oke. Oke. I know.”

“Aku tinggal yah. Udah ditunggu soalnya.”

“Wek, pergi aja. Nggak ada yang butuh kamu disini,” kataku cuek.

Hans tersenyum kecut.

***

Malam harinya di kamar.

Apa yang terjadi sama aku? Badanku makin lama terasa makin lemah saja. Apa

yang mereka khawatirkan benar adanya? Hufffh, mudah-mudahan saja tidak pa-pa.

Aku merentangkan badanku ke ranjang. Menarik selimut dan tidur.

***

“Gar, liat Alexia tidak?” tanya Aracel ketika baru sampai di markas sore itu.

“Ups, tidak tuh. Hapenya juga tidak aktif,” kata Togar.

“Kok gitu yah?” tanya Aracel lagi.

Togar mengangkat bahunya.

“Aku khawatir dia membunyikan sesuatu,” kata Aracel pelan.

“Aku pun sama,” kata Togar sambil mengangguk.

“Ach, mudah-mudahan saja dugaan kita salah semua,” kata Togar tenang.

“Hai,” sapa Frans, masuk ke markas.

“Hai,” jawab Aracel dan Togar serentak.

“Ach, ada apa ini?” tanya Frans binggung.

“Sudah lewat kami bicarakan jadi tidak mungkin ulang lagi,” kata Aracel pura-

pura cuek.

“Ach, aku kan baru datang,” kata Frans merasa dicuekin.

91

“Salah sendiri jam segini baru masuk kantor,” Togar menambahkan.

“Kalian berdua sepakat untuk menskak aku yah?”

Togar dan Aracel tertawa. “Perasaan!” seru mereka kompak.

“Baik lah.”

“Habis darimana?”

“Biasa objekan dikit-dikit.”

“Wek, ngapaian anak bos ambil objekan?” sindir Aracel.

“Aku kan niat juga nikah pake uangku sendiri. Hehehe,” Frans tertawa

cekikikan.

“Bisa jadi gosip besar nih,” Togar menambahkan.

“Hahaha...., emang sudah ada calonnya?” tanya Aracel tidak mau kalah.

“Ada deh,” kata Frans sambil maen mata.

“Maen rahasia-rahasiaan dia sama kita, Gar. Menurutmu orang kayak gini masih

bisa kita ajak berteman?” kata Aracel dengan nada bercanda.

“Ya, buang aja lar kalau sudah mentiko kayak gini,” jawab Togar tidak mau

kalah.

“Hehehehe,” tawa mereka bertiga membahana.

Setelah pulih dari tertawa, “Kemana Umar dan Alexia?”

“Sibuk objekan juga kali,” jawab Aracel.

“Oh..., ternyata makin banyak orang yang ikut-ikutan. Hehehe...,” kata Frans

sambil berhumor.

“Jelas. Ada Bos kasih contoh pasti anak buah juga ikut-ikutan gitu.”

“Tapi aku kan selalu kasih contoh yang bagus,” kata Frans dengan gaya

khasnya.

“Iya. Iya,” kata Aracel sok mengalah.

“Oh ya, ngomong-ngomong soal dana dari lembaga Singapura itu apa sudah

cair? Kayaknya kita sudah harus melakukan pemeliharaan terhadap gedung kantor kita.

Belum lagi tagihan-tagihan sudah mau berdatangan,” kata Togar mengingatkan.

“Beberapa hari yang lalu aku cetak buku tabungan genk sih tidak ada.” Aracel

membetulkan duduknya.

“Udah kamu bilang sama Ketua?” tanya Togar kemudian.

“Belum. Beberapa hari tidak ketemu dia,” jawab Aracel.

92

“Ya udah. Kalau sudah ketemu jangan lupa tanyakan, kapan dana itu kita

terima,” pesan Togar.

“Beres.”

Beberapa saat kemudian telepon kantor berdering,

“Halo,” sapa Aracel lembut.

“Haloooo...,” jawab yang diseberang sana, keras.

“Dari siapa, mau cari siapa?”

“Dari Deren nih, mau cari Agil.”

“Agil siapa yah? Disini nggak ada nama begitu. Maaf mungkin Anda salah

sambung,” jawab Alexia lembut.

“Ach, jangan boong lu. Kalau nggak mau anak lu temenan lagi sama gue bilang

dong, jangan pake ngarang nama Agil nggak ada,” jawab orang diseberang sana

sanggar. Terdengar agak kasar. “Sinting nih orang,” kata Aracel sambil menjauhkan

telepon dari telingganya. Dia tidak mau jadi pekak dengar suara cempreng kayak

gendang topeng monyet.

“Siapa?” tanya Frans binggung tapi juga pengen tau.

“Nggak tau. Kayaknya salah sambung tapi dia ngotot,” jawab Aracel pasrah.

“Sini,” kata Frans sambil merebut telepon.

“Kantor Jayabaya disini, Anda mau bicara sama siapa?” tanya Frans mimik

muka serius.

“Agil, kemana aja lu? Tadi emak lu kan, nggak kasih lu angkat telepon seperti

biasa kan?” tanya orang di seberang sana tetap ngotot.

“Maaf disini kantor, Mas. Lagipula tidak ada nama Agil disini,” jawab Frans

sabar.

“Ahhhhh, lu sama aja dengan emakmu. Sok nggak kenal! Oke, kalau tidak mau

kenal lagi juga nggak pa-pa. Kita PUTUS....” sergak orang di seberang tanpa kera-kera.

KLIK.... Telepon terputus telak.

“Aneh-aneh aja orang sekarang. Bayakkan orang stress,” kata Frans sambil

meletakan kembali teleponnya.

“Iya. Aku aja capek dengar dia ngomong tadi,” keluh Aracel.

93

Togar hanya celingak-celinguk. Dia tidak konsen sama kejadian apa pun di

markas. Pikirannya melayang ke rumah Alexia, dia membayangkan keadaan Alexia saat

ini.

“Gar, Cel, aku balik yah. Mau pulang dulu,” pamit Frans.

“Tumben pulang cepat. Bukannya kamu biasa lebih suka hindari rumah kamu

yang sepi itu?” ejek Aracel.

“Tapi aku mau objekan lagi. Kalau bau gini, mana ada yang mau,” katanya

sambil memperhatikan bajunya-yang masih terlihat rapi-dengan mimik muka tidak

nyaman.

“Hehehe, gaya lu!” Frans berhasil menghindar dari bantal sofa yang hampir

mendarat mulus di keningnya.

“Aku balik yah,” kata Frans cengar-cengir.

“Iya. Hati-hati...”

“Oke. yang perlu hati-hati itu teman di sebelah kamu. Kayaknya dia udah

benggong hampir setengah jam,” ucap Frans sambil melirik ke arah Togar yang masih

saja melamun kayak ayam sakit. Frans bangkit dari duduknya lalu berjalan ke pintu

markas.

“Tau tuh, pada sakit ayan semua,” kata Aracel asal. Aracel iseng membuat Frans

terhenti sesaat di pintu melihat apa gerangan yang mau dibuat oleh Aracel. Ditariknya

bulu hidung Togar sampai Togar menjerit seksi, “Waaaaadooooow,” pekiknya sukses.

“Alhamdullilah.....,” panjat Aracel dan Frans senang.

“Gar, kamu masih hidup?” tanya Frans nyeleh.

“Ya, iya lah. Kalian ngapain aku barusan?” tanya Togar mengusap-usap

hidungnya yang perih dan memerah kayak hidung babi.

“Tadi emang kamu mimpi diapain?” tanya Aracel pura-pura bego.

“Disepak sama banteng,” kata Togar sambil berlalu ke kamar mandi tanpa

menoleh ke teman-temannya.

Frans dan Aracel saling tatap lalu tertawa terpingkal-pingkal.

“Aku balik yah. takut terlambat nih,” kata Frans buru-buru.

“Iya.”

***

94

“Halo, Tante... Alexia-nya ada?” tanya Togar di seberang telepon. Dia sekarang

mencari tempat yang tenang di markas agar dapat menelepon ke rumahku tanpa

diketahui oleh anggota yang lain.

“Ada. Lagi di kamar. Daritadi pagi belum keluar tuh,” jawab Mama mengenali

suara si empunya suara.

“Dia baek-baek aja kan, Tan?” tanya Togar SKSD sama Mamaku.

“Baek, Nak Togar,” kata Mama lembut.

“Astaga Tante kenalin suaraku...,” kata Togar kesenangan dan terharu dengan

perkataan Mama.

“Tentu dong. Yang sering telepon ke rumah cari Vira kan cuman Nak Togar,”

jawab Mama tidak bermaksud untuk membuat Togar makin Ge-Er. Tapi berhubung

karena perasaan Togar sedang berbunga-bunga maka dia makin kesenangan. Dia kira

Mamaku senang kalau dia terus melepon anaknya.

“Hari ini Alexia kok tidak masuk kuliah, Tan?” tanya Togar makin berani kasih

panggilan gaul sama Mama.

“Tidak pa-pa. Katanya malas aja keluar,” jawab Mama agak kesel karna Togar

makin SKSD.

“Oh gitu, kalau ada apa-apa. Mohon sama Tante jangan sungkan-sungkan minta

tolong sama aku. Pasti aku akan selalu siap sedia untuk langsung datang membantu

Alexia,” kata Togar begitu serius.

“Iya. Iya. Makasih ya. Kamu perhatian sekali sama anak saya. Ada apa nih?”

tanya Mama kemudian, sudah tidak tahan terpancing sama omongan Togar yang begitu

menjurus pada rayuan pulau kelapa sama CarMer (Calon Mertua-red).

“Ehm, ehm..., aku... ehmmm, aku.,” Togar tergagap-gagap menjawabnya.

Pengen dia jujur tapi masih malu.

“Maaf Nak Togar kenapa?” tanya Mama binggung dengar suara Toagr yang

tidak jelas.

“Aku..., aku-” Togar masih saja tergagap. Jantungnya saat ini berlari estafet

padahal sedari tadi dia hanya duduk. Dia begitu grogi ditanya begitu. Walaupun

umurnya sudah 27 tahun tapi Alexia adalah cinta pertamanya. Gadis yang pertama dan

yang terakhir dicintainya. Togar tau umur dia dan Alexia terpaut cukup jauh, 7 tahun,

95

tapi Togar menawarkan cinta tulus yang dapat menembus ruang dan waktu. Hehehe..,

kok jadi melankolis gini sih? Sok romantis, hehehe...

“Nak Togar, masih ada yang mau dipesan sama Vira? Tante mau lanjutin masak

nih,” kata Mama yang membuyarkan pikiran Togar.

“Tidak ada, Tan. Terima kasih...,” kata Togar pasrah. Dia gagal mengumpulkan

keberanian untuk jujur mengungkapkan perasaannya.

Mama mengeleng-geleng ketika menutup telepon.

***

“Mam, aku pulang...,” teriak Joshia ketika sampai di ruang tamu.

“Kok sepi? Pada kemana sih?” tanya Joshia entah pada siapa?

Dia berjalan ke belakang melihat ke dapur. Nihil. Tidak ada satu pun orang sore

itu.

Joshia membuka lemari es, mengambil sebotol susu dan menegaknya buas. Dia

tidak berhenti di situ, tidak puas hanya menegak susu, Joshia kembali membuka lemari

es dan menemukan sepotong roti dan sozis. Di embatnya dengan rakus. Heran deh liat

anak ini, baru balik dari hutan atau gimana sih? Kok berubah jadi super primitif gini?

“Ach, kenyang...,” kata Joshia sambil duduk kekenyangan.

Aku turun dan berjalan ke dapur. Aku mendapati Joshia sedang duduk malas-

malasan di kursi. Aku melihatnya prihatin. Sampah bekas makanan dan botol susu

berserakan di meja.

“Bang Josh....!” teriakku kesal.

“Oi, adekku sayang. Napa?” tanya Joshia sambil menucek-ngucek matanya.

“Sayang... kentut,” kataku asal.

“Uh, kamu ini jorok banget deh,” kata Joshia melihatku jijik.

“Tidak salah kamu? Kamu tuh lebih jorok tau, ini makan tidak diberesin,”

kataku sambil menunjuk ke meja makan yang berantakan. Joshia sadar kalau aku tidak

suka.

“Kan masih ada kamu yang bisa bantu aku beresin meja makan,” katanya sambil

mengedipkan matanya.

96

“Enak aja. Tidak tanggung jawab kamu. Kebiasaan jelek kok dipelihara!”

nasehatku. Joshia hanya melihatku sebentar lalu berkata, “Vi, kamu laen hari ini? Sakit?

Mukamu pucat!”

“Jangan ngalihkan pembicaraan deh!” sindirku keras.

“Serius, Vi. Kamu itu laen banget. Sakit bilang sakit, biar aku antarkan ke

dokter.”

“Tidak suah. Terima kasih...,” aku berlari meninggalkan Joshia yang

terpelongok melihat perubahan sikapku yang jadi skeptis gitu.

“Ada yang tidak beres nih,” kata Joshia sambil segera membereskan meja makan

dan menyusulku.

Aku menutup pintu kamar, tiduran di ranjang dan menutup telingga dengan

bantal. Aku tidak mau dengar semua orang bilang dia sakit. Joshia mengetuk pelan

pintu kamar adiknya-tidak ada jawaban-berkali-kali. Joshia mengkhawatirkan

perubahan sikap adiknya yang tiba-tiba jadi tertutup. Lama tidak ada jawaban, Joshia

pun berhenti mengetuk lalu masuk ke kamarnya yang tidak bersebrangan dengan kamar

adiknya.

***

Lain lagi cerita Umar....

Semenjak dia melihat Frans mengantarkan Aracel pulang malam itu, tiada hari

tanpa derai air mata. Mungkin spreinya sudah basah kuyup sejak malam itu, penuh

ingus dan iler. Hihhhhhhh....

Umar menyesali kenapa dia bisa kalah cepat dari Frans. Kalau misalnya Aracel

lebih memilih Frans karena cowok itu lebih segala-galanya dari dia, itu sudah bisa di

terimanya saat ini tapi tolong dong jangan pake ‘menusuk dari belakang’. Lebih baik

kasih aja Umar makan racun tikus langsung daripada menderita sakit hati seperti ini.

Umar tau diri, dirinya memang tidak pantas dipilih. ‘Karena aku bukan

pilihan....,’ nyanyi Umar yang sama sekali tidak mirip Iwan Fals.

“Mar.........” teriakkan Emaknya membahana dari luar kamar. “Kamu masih mau

dikamar sampai kapan?” tanya Emaknya lagi masih dengan volume Bambooo.

“Apa, Mak...?” jawabnya sambil menahan isakan. Dia makin sedih karna

menyadari bahwa setengah dari kekecewaan yang harus ditelannya saat ini disebabkan

97

oleh emaknya juga. Mewariskan rambut gelombang klimis, bibir jontor plus rambut

tipis di sekitar bibir kayak Tukul, kulit hitam bersisik, jidat lebar, dan hidung pesek.

Huhhhhh, isakan Tukul eh Umar makin menjadi-jadi.

“Nanggis aja kerjaan kamu. Mau jadi apa kamu? Kuliah tidak beres, kerja pun

belum ada...,” ceramah Emaknya Umar makin menyayat hati. Hati Umar makin sakit

dengar penghinaan dari Emaknya. Dia makin bosan hidup lagi di dunia yang fana ini.

“Mak, cukup. Jangan kamu tambah lagi beban untukku, aku tidak sanggup lagi

Mak...,” kata Umar dengan hati yang nyilu.

“Emak pun sudah bosan nasehatin kamu,” kata Emak cuek.

“”Mak, aku lagi patah hati,” katanya. Tanggisnya kembali meledak.

Rupanya apa yang barusan dibilang sama Umar kedengaran sama emaknya.

“Apa kamu bilang? Patah hati? Kapan kamu pacarannya?” tanya Emak agak sensi.

“Huhhuuuu....Mak kenapa kamu begitu tega terhadap anakmu ini... Apa aku

tidak boleh jatuh cinta?” tanya Umar sesengukkan.

“Astaga Mar, kamu ini mikirin perut aja belum kelar kok mau pikirin pacar.

Lagipula cewek mana yang matanya sudah berkatarak itu?” tanya Emaknya sengit.

Segitu sensitifnya dengan anak laki-laki satu-satunya.

“Aku cinta sama Aracel, Mak!” teriak Umar dari dalam kamar.

“Apa? Aracel yang anak gedongan itu? Astaga Mar, apa kamu lagi mimpi?”

tanya Emak yang sudah ada di depan pintu. Menjerit disitu.

“Iya, Mak. Cuman dia yang sanggup merontokkan jiwaku. Meremukkan hati

kecilku, membuat aku tidak berdaya seperti ini,” kata Umar semelankolis lagu Dina

Mariana.

“Ampun deh, Mar.....,” kata emak tidak sanggup dengar jeritan hati Umar. Emak

mual mendengar omong kosong Umar.

“Teresah kamu aja.... Emak bosen nasehatin kamu. Bukannya mikirin duit buat

makan dulu eh malah mikirin pacaran. Sinting kamu, Mar!” kata Emak cukup keras.

“Kenapa tidak ada yang mau ngerti perasaan aku? Sungguh teganya.... dirimu

teganya-teganya-teganya....,” kata Umar sambil nyanyi-nyanyi tidak jelas. Suaranya

yang fals sama sekali tidak enak di dengar. Emak dan adik-adiknya sampai tidak tahan

dengar suara dari dalam kamar. Mereka pada menutup telingga pakai kapas.

98

Umar terus menanggis sesengukkan tapi akhirnya berhenti ketika melihat

majalah adeknya yang tertinggal di kamarnya. Disana depan cover disebutkan bahwa

dalam majalah tersebut ada tips untuk menghilangkan rasa sakit karna patah hati. Umar

langsung berhenti menanggis dan dengan buat menyambar majalah tersebut.

Dibukanya halaman yang dimaksud lalu membacanya buru-buru, ‘Tips

Mengatasi Patah Hati’

Pertama, coba lah menyibukkan diri Anda dengan kegiatan baru yang sama

sekali jauh dari si dia. Lambat laun anda pasti akan melupakan dia dan terhanyut dalam

lingkungan dan kesibukkan baru Anda.

Umar berhanti sesaat untuk bersandar pada kursi. Dia menelaah kembali apa

yang baru saja dibacanya. Mungkin ada benarnya juga, tapi aku mesti cari kegiatan

baru apa?, batin Umar.

Dilanjutnya lagi. Kedua, ganti target incaran Anda. Mungkin dia memang bukan

lah jodoh Anda. Bukankah masih banyak kuntum bunga yang lebih harum mewangi di

laur sana, lalu kenapa Anda terhenti hanya pada dirinya? Tenang saja there’s always

somebody for someone. Umar kembali bersemangat habis membaca tips kedua ini.

Umar buru-buru meletakkan majalah itu dan berlari ke cermin besar yang ditaruh di

dekat lemari pakaian. Dia terus meneliti wajahnya. Dia terus memuji dan mencari-cari

kelebihan dari wajahnya. Ehmmm, walaupun agak sulit menemukannya. Dia akhrinya

bergumam, “ternyata yang bisa aku banggakan dari diri aku hanya wajah yang mirip

Tukul.” Dia menghela nafas, berat.

Dia mau mulai nanggis lagi tapi buru-buru ditahannya. Dia berubah pikiran,

“aku tidak boleh cenggeng,” katanya mantap. “Putus cinta sekali tentu hal yang biasa.

Cowok seganteng Indra L.Brugman aja bisa patah hati masa aku tidak?” Umar kembali

melihat dirinya di cermin. “hmmm, kalau Aracel belum bisa menerima aku. Bukan kah

masih akan banyak Aracel-aracel lainnya di luar sana?” ujar Umar mantap.

Umar bertekad untuk merubah haluan. Dia menganti target pengejaran. Tapi...,

entah siapa?

“MAR......,” teriak Emak dari belakang.

“Iya....!” jawab Umar tidak kalah hebat kuatnya.

“Mau sampai kapan kamu bertapa di dalam? Mau sampai dapat ilham dulu dari

Tuhan supaya kamu cepat ditobatkan?” sindir Emaknya.

99

“Huh, Emak ini apa-apaan sih? Macam anakmu ini penjahat aja harus bertobat?”

tanya Umar yang sekarang sudah keluar dari kamar. Rambutnya sudah rapi, penampilan

perlente lengkap dengan kemeja bunga-bunga dan kacamata hitam besarnya. Emak

terkejut melihat anaknya yang tiba-tiba berpakaian rapi bak penyanyi era 80-an.

“Mau kemana kau?” tanya Emak sambil mendekati Umar. Memegang-megang

bajunya lalu melihatnya dari ujung rambut ke ujung kaki. “Baju darimana ini?” tanya

Emak lagi, sensi.

“Pergi kampus, Mak. Alah, emak ini emang sensi banget sama anaknya. Ya, beli

lah. Masa curi? Gini-gini Umar kan ketua genk Mak. Kalau Umar tidak jaga penampilan

ya bisa diketawain orang sekampung. Lapipula apa-apaan sih, Mak...,” kata Umar

sambil meliuk-luikkan badannya yang geli gara-gara Emak terus mencium wangi

parfum di badannya.

“Wangi bener? Beli juga?” tanya Emaknya nyaris kayak polisi.

“Ya, elah Emak. Gaya sikit kenapa? Ini kan parfum mahal. Belinya juga bukan

di pasar monja biasa. Ini belinya di Mall,” kata Umar gaya.

“Bagus. Banyak duitmu selama ini tapi pelit kali kau kalau Emak minta.

Durhaka kau jadi anak,” skak Emak kepada Umar. Umar takut jadi batu kayak Malin

Kundang.

“Ach, Emak...,” katanya memelas.

“Iya. Simpan saja uangmu dan biarkan aja kau lihat orang rumah kelaparan,”

kata Emak hiperbola. Yah, emang keluarga Umar tergolong menengah ke bawah.

Dengan tanggungan anak-anak yang masih sekolah kadang-kadang berdampak juga

pada uang belanjaan. Apalagi Bapaknya Umar hanya PNS di kantor Camat. Bisa

dibayangkan dong gaji PNS golongan C itu gimana? Makanya orang tua Umar berharap

Umar cepat menamatkan sekolahnya lalu mencari kerja agar dapat sedikit membantu

perekonomian keluarga.

Cepat-cepat Umar merogoh kantongnya dan menemukan selembar uang

50ribuan. Dia memberikan pada Emaknya dengan muka terpaksa. Padahal cuman itu

satu-satunya uang tersisa di kantongnya.

Emak merebut dengan cepat uang tersebut dan tersenyum penuh kemenangan.

Emak sekarang berubah 180 derajat, dia baik kali sama Umar. “Nakku kau mau

100

makan?” tanya Emak dengan lemah lembut walaupun sama sekali tidak terlihat lembut.

Hehehe...

“Mak, masak apa?” tanya Umar semangat. Dia pun merasa lapar sedari tadi di

kamar.

“Semur jengkol, rendang jengkol,” jawab emak santai. “Ach, Emak ini. Gimana

mau keren kalau makanannya masih jengkol? Bisa-bisa teman sekampus aku pada lari

karena kebauan,” kata Umar kesal.

“Heh, dasar anak tak tau terima kasih. Jangan sok deh jadi anak gedongan.

Mentang-mentang teman kamu semua anak orang kaya trus kamu mau ikut-ikutan.

Gitu? Ingat Mar, dapat makan 3 kali sehari saja sudah syukur. Ngucap sama Tuhan

banyak terima kasih. Kamu masih nuntut ini-itu. Orang di luar sana sudah banyak yang

nggak makan, Mar...,” repet emak panjang kali lebar. Umar cepat-cepat angkat kaki dari

rumah. Bisa makin panjang nih kalau nggak cepat-cepat melarikan diri.

Ini deh turunan Emak yang tidak disukainya, cerewet. Hehehe...

Umar berlari ke depan gang. Di setopnya Beca mesin. Setelah negosiasi harga,

diminta lah untuk diantarkan ke markas.

***

“Bentar ya, Pak,” kata Umar. Dia lalu berlari-lari ke dalam dan menjumpai

Togar.

“Ada apa? Kok lari-lari?” tanya Togar binggung.

“Tolong, Gar,” Jawab Umar ngos-ngosan.

“Apa yang mesti ditolong?”

“Pinjamkan aku duit,” katanya malu-malu.

“Oh...., berapa?” tanyanya.

“20ribu. Buat bayar beca,” kata Umar polos.

“Ya, ampun, Mar,” kata Togar sambil mengeluarkan uang 50ribuan dari kantong

kemeja.

Buru-buru disambarnya uang etrsebut lalu berlari lagi ke luar, menemui si

tukang beca.

“Nih, Pak. Terima kasih ya...,” katanya sambil menyodorkan uang 50ribuan

tersebut.

101

“Waduh, tidak ada uang pas aja?” Bapak itu merogoh-rogoh kantongnya dan

mendapati bahwa uangnya tidak cukup untuk pengembalian.

“Tidak ada, Pak.”

“Gimana yah? Coba Adek pinjam dulu sama teman adek,” sarannya.

Pak ini juga sudah pinjam sama teman, sahut Umar dalam hati.

“Bentar ya, Pak.”

Umar mempercepat langkahnya menuju tukang bakso yang biasa keliling

kompleks kantor.

“Pak Surip, baksonya satu mangkok. Ini uangnya, saya minta uang

kembaliannya dulu,” katanya sedikit maksa.

“Buru-buru banget, Mas...,” kata Pak Surip itu tenang.

“Iya. Saya mau bayar beca.”

“Biasanya datang sama Mas Frans,” katanya lagi. Eh, malah ngajak ngobrol.

Dasar Pak Surip.

“Cepat, Pak. Tidak enak ditunggu...,” kata Umar sambil ketakutan. Habisnya

muka si Abang beca berubah masam karena kelamaan nunggu.

“Iya. Bentar, Mas. Sabar. Orang yang itu udah daritadi. Saya mesti buatkan

punya dia dulu,” katanya santai.

“Saya hanya butuh uang kembaliannya dulu lho, Pak,” kata Umar tidak sabar.

“Oh, uangnya berapa?”

Umar menyodorkan uang berwarna biru itu ke Pak Surip. “Tumben hari ini

bayar, Mas,” sindir Pak Surip. Ihhhhh, orang tua ini kok makin cerewet aja?, keluh

Umar dalam hati. Mukanya berubah merah kayak tomat. Malu, marah, kesal semua

campur-campur jadi satu. Umar hanya dapat diam pasrah.

Pak Surip menghitung uang kembalian dari Umar, menyodorkan pada Umar dan

menerima uang dari Umar. Uamr langsung sumimgrah. Dia kembali ke Abang beca itu

lalu menyodorkan uang 20ribuan dengan tidak rela.

Buat ongkos aja sudah habis 20 ribu, huhhhh, jerit Umar dalam hati.

“Pak, antar ke markas yah,” jerit Umar dari kejauhan. Dia malas balik ke

seberang jalan. Dia juga takut Pak Surip nanti menanyainya macam-macam.

Togar masih duduk disitu nonton Tivi.

Umar menepuk kaki Togar lalu bertanya, “Udah makan?”

102

“Sudah. Kamu?”

“Aku beli bakso Pak Surip. Mau?”

“Oh, nggak lar. Masih kenyang.”

“Kok sepi sih, Gar?” tanya Umar heran.

“Sibuk objekan.”

“Ach, objekan apa? Bagi-bai dong,” kata Umar semangat.

“Nggak tau tuh,” jawab Togar cuek.

“Huhhh,” keluh Umar, cemberut dicuekin Togar.

“Oh ya, Mar, sudah kamu hubungi lagi lembaga dari Singapura itu? Kok mereka

belum juga mengucurkan dana ke genk sesuai perjanjian?” tanya Togar kemudian.

Umar menepuk jidatnya, “Astaga, Gar, aku lupa. Betul juga yah, kok sampai

hari ini mereka tidak menghubungi kita lagi?”

“Yeeee, kita yang punya kepentingan masa kita tunggu sampai mereka

menelepon kita dulu?”

“Tapi kan dia sendiri yang bilang kalau ada pentransferan dana mereka akan

menghubungi kita dan proyek pemgembangan akan segera dimulai,”

“Ini sudah lewat 1 minggu sejak mereka datang,” kata Togar sambil melihat

kalender di dinding.

“Iya... Berarti?” Umar mengantung niatnya melanjutkan.

“Bukan rejeki kita....,” sambung Togar menenangkan.

“Achhhh,” gerutu Umar.

“Padahal kita perlu sekali dana likuid sekarang. Akhir-akhir ini kita sepi job.

Kalau tidak tertutup biaya operasional bulan ini bisa-bisa kita utang lagi sama Bokapnya

Frans,” kata Togar menjelaskan.

103

104