protein uji protein
TRANSCRIPT
PROTEIN: uji proteinRabiatul Adawiyah (G84080001)1, Putra2, Waras Nurcholis3,
Mahasiswa Praktikum1, Asisten Praktikum2, Dosen Praktikum3
Struktur dan Fungsi BiomolekulDepartemen Biokimia, FMIPA, IPB
2010
Abstrak
Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi, dan memiliki struktur yang sangat bervariasi. Perubahan struktur protein disebut denaturasi. Percobaan uji protein bertujuan mengetahui factor-faktor yang menyebabkan protein terdenaturasi. Percobaan yang dilakukan dalam uji protein, meliputi pengendapan protein oleh logam dan garam, uji koagulasi, uji alkohol, dan denaturasi protein. Pengendapan oleh logam, yaitu protein direaksikan dengan logam Ag, Hg, dan Pb. Pengendapan oleh garam menggunakan natrium sulfat, kemudian diuji dengan uji Millon dan uji Benedict. Asam asetat dan pemanasan dilakukan pada uji koagulasi. Uji alkohol dan denaturasi dilakukan dengan penambahan HCl, NaOH, dan buffer asetat 4.7 pada campuran alkohol dan protein, tetapi denaturasi tidak menggunakan alkohol. Hasil percobaan, yaitu logam yang paling bahaya adalah logam Ag. Garam mendenaturasi protein secara reversible. Penambahan alkohol dapat mendenaturasi protein terutama dalam keadaan isolistrik. Protein paling banyak terdenaturasi pada keadaan basa dan isolistrik.
Pendahuluan
Protein merupakan senyawa organik kompleks dengan bobot molekul
tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang
dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida (Hart 2003). Protein adalah
instrumen yang mengekspresikan informasi genetik. Protein di dalam sel dalam
jumlah yang sangat besar, masing-masing membawa fungsi spesifik yang
ditentukan oleh gen yang sesuai. Protein sangat bervariasi fungsinya (Lehninger
1994). Protein disusun oleh dua puluh asam amino. Asam amino tersebut terdiri
atas 9 asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat dibuat tubuh dan harus
diperoleh dari makanan) dan 11 asam amino non esensial (Campbell et al. 2002).
Arsitektur suatu protein terdiri atas tiga tingkatan struktur yang saling
berimpitan, yaitu struktur primer, sekunder, tersier, dan kuarterner. Struktur
primer suatu protein adalah urutan uniknya yang terdiri atas asam amino. Strutur
sekunder protein, yaitu sebagian besar segmen-segmen dalam rantai
polipeptidanya yang terlilit dan terlipat secara berulang dalam pola yang
membentuk protein secara keseluruhan. Lapisan yang tumpang tindih di atas pola
struktur sekunder adalah struktur tersier protein yang terdiri atas pemutar balikan
tak beraturan dari ikatan antara rantai-rantai samping berbagai asam amino.
Struktur kuarterner adalah keseluruhan struktur protein yang dihasilkan dari
penggabungan semua subunit polipeptida ini (Sumardjo 2009).
Rantai polipeptida dengan suatu urutan asam amino tertentu dapat secara
spontan mengatur diri mengambil suatu bentuk tiga dimensi yang dipertahankan
oleh interaksi-interaksi yang menyebabkan struktur sekunder dan tersier. Keadaan
ini terjadi secara normal ketika protein sedang disintesis dalam sel. Namun,
konformasi protein juga tergantung pada kondisi fisik dan kimiawi lingkungan
protein tersebut. Jika pH, konsentrasi garam, suhu, atau aspek lain dari
lingkungannya diubah, protein tersebut bisa terbuka dan kehilangan konformasi
aslinya. Perubahan pada protein tersebut disebut denaturasi (Campbell et al.
2002).
Protein yang terdenaturasi akan menjadi inaktif dan kehilangan fungsi
biologisnya. Sebagian besar protein terdenaturasi ketika dipindahkan dari
lingkungan aqueous ke suatu pelarut organik, seperti eter atau kloroform; protein
akan menjadi terbalik (bagian luar masuk ke bagian dalam), daerah hidrofobiknya
berganti tempat dengan bagian hidrofiliknya. Protein bersifat amfoter, yaitu dapat
bereaksi dengan larutan asam dan basa. Apabila protein dipanaskan atau ditambah
etanol absolut, maka protein akan menggumpal (terkoagulasi). Proses koagulasi
protein timbul seiring dengan proses denaturasi (Jain 2005). Agen denaturasi lain,
meliputi bahan kimiawi yang merusak atau mengganggu ikatan hidrogen, ikatan
ionik, dan jembatan disulfida yang mempertahankan suatu bentuk protein.
Denaturasi dapat juga disebabkan oleh panas yang berlebihan, yang mengagitasi
(merangsang) rantai polipeptida sedemikian rupa sehingga cukup untuk mengatasi
interaksi lemah yang menstabilkan konformasi tersebut (Campbell et al. 2002).
Kelarutan protein di dalam suatu cairan, sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain, pH, suhu, kekuatan ionik dan konstanta dielektrik pelarutnya.
Protein seperti asam amino bebas memiliki titik isoelektrik yang berbeda-beda.
Titik Isoelektrik adalah keadaan ketika protein tidak mempunyai selisih muatan
atau jumlah muatan positif dan negatifnya sama, sehingga tidak bergerak ketika
diletakkan dalam medan listrik. Protein pada saat keadaan pH isoelektrik sangat
mudah diendapkan karena pada saat itu muatan listriknya nol (Hart 2003).
Percobaan yang dilakukan dalam uji protein, meliputi pengendapan
protein oleh logam dan garam, uji koagulasi, uji alkohol, dan denaturasi protein.
Percobaan tersebut bertujuan mengetahui faktor-faktor yang dapat mendenaturasi
protein. Selain itu, kondisi yang menyebabkan protein terdenaturasi dapat dilihat
melalui percobaan-percobaan tersebut.
Bahan dan Metode
Percobaan dilakukan di laboratorium pendidikan Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam, Institut Pertanian Bogor. Waktu
percobaan, yaitu Senin, 25 Oktober 2010, pukul 08.00 WIB. Uji protein yang
dilakukan, yaitu pengendapan oleh logam, pengendapan oleh garam, uji koagulasi,
pengendapan oleh alkohol, dan denaturasi protein.
Pengendapan oleh logam. Larutan albumin sebanyak 3 ml ditambahkan 5
tetes larutan HgCl2 2%. Percobaan diulangi dengan menambahkan Pb-asetat 5%
dan AgNO3 ke dalam larutan albumin.
Pengendapan oleh garam. Larutan albumin sebanyak 5 ml dijenuhkan
dengan menambahkan (NH4)2SO4 sedikit demi sedikit. Campuran tersebut diaduk
hingga mencapai titik jenuh, kemudian disaring. Uji kelarutan campuran tersebut
dengan air. Endapan diuji dengan pereaksi Millon, dan filtrat diuji dengan
pereaksi Biuret.
Uji koagulasi. Asam asetat 1 M sebanyak 2 tetes ditambahkan ke dalam
2.5 ml larutan albumin. Tabung dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit.
Endapan diambil dengan batang pengaduk, kemudian uji endapan tersebut dengan
pereaksi Millon.
Pengendapan oleh alkohol. Tabung reaksi sebanyak tiga buah disediakan
dan dibuat campuran sesuai tabel dibawah ini:
Tabung 1 2 3Larutan albumin 2.5 ml 2.5 ml 2.5 ml
HCl 0.1 M 0.5 ml - -NaOH 0.1 M - 0.5 ml -
Buffer asetat pH 4.7 - - 0.5 mlEtanol 95% 3 ml 3 ml 3 ml
Perhatikan perbedaan proses pengendapan protein oleh logam, protein oleh
garam, dan protein oleh alkohol.
Denaturasi protein. Tabung reaksi sebanyak tiga buah disediakan dan
dibuat campuran sesuai tabel dibawah ini:
Tabung 1 2 3Larutan albumin 4.5 ml 4.5 ml 4.5 ml
Buffer asetat pH 4. 7 - - 0.5 mlHCl 0.1 M 0.5 ml - -
NaOH 0.1 M - 1 ml -
Tabung tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 15 menit dan
didinginkan pada suhu kamar. Tabung 1 dan 2 yang telah dipanaskan
ditambahkan 5 ml buffer asetat pH 4.7 dan perhatikan perubahan yang terjadi.
Hasil dan Pembahasan
Koagulasi protein dapat disebabkan oleh keadaan lingkungan sekitar yang
dapat mendenaturasi protein. Beberapa penyebab terdenaturasinya protein, yaitu h
penambahan asam, basa, logam berat, garam, dan alkohol serta suhu tinggi pada
protein. Percobaan yang dilakukan untuk melihat beberapa faktor yang dapat
menimbulkan koagulasi pada protein, meliputi pengendapan oleh logam,
pengendapan oleh garam, uji koagulasi, pengendapan oleh alkohol, dan denaturasi
protein.
Hasil percobaan pengendapan oleh logam (Tabel 1) menunjukkan
bahwaalbumin dapat diendapkan oleh penambahan HgCl2, dan AgNO3, tetapi
tidak dengan penambahan Pb-asetat. Logam Ag, Hg, dan Pb merupakan logam
transisi, dan posisi logam Ag dan Hg lebih reaktif daripada Pb pada sistem
periodik unsur. Albumin yang ditambahkan Pb-asetat tidak menimbulkan endapan
putih, hanya mengkeruhkan warna larutan. Endapan putih terbentuk pada albumin
yang ditambahkan HgCl2 dan AgNO3. Endapan lebih banyak terbentuk pada
penambahan AgNO3 dibandingkan penambahan HgCl2. Reaksi antara logam
dengan protein dapat menyebabkan terputusnya rantai samping pada protein yang
menyebabkan protein menjadi tidak aktif. Selain itu, logam tersebut dapat
memutuskan ikatan disulfida dan ikatan pada jembatan garam. Protein yang
terdenaturasi terlihat dari endapan putih yang terbentuk. Logam Ag+ bermuatan 1
yang nilainya lebih kecil dari Hg2+ sehingga lebih reaktif dan ikatan antara gugus
a b c
–COOH dan –NH2 dengan ion logam yang terbentuk sangat kuat untuk memutus
ikatan disulfida dan ikatan pada jembatan garam (Ophart 2003).
Tabel 1 Pengendapan oleh logamLarutan garam logam Hasil Pengamatan
HgCl2 2% ++Berwarna putih susu,
terdapat endapanPb-asetat 5% + Berwarna putih keruh
AgNO3 5% +++Berwarna putih susu, ada
endapan
Keterangan:+++: Terbentuk banyak endapan putih++ : Terbentuk endapan putih+ : Terbentuk sedikit endapan putih- : Tidak terbentuk endapan putih
Gambar 1 pengendapan protein oleh logam (a) HgCl2, (b) Pb-asetat, (c) AgNO3
Percobaan kedua, yaitu pengendapan protein oleh garam. Garam yang
digunakan untuk menggumpalkan protein adalah natrium sulfat. Hasil percobaan
penggumpalan protein oleh garam (Tabel 2) menunjukkan bahwa terjadi
penggumpalan protein saat ditambahkan garam natrium sulfat. Penggumpalan
yang terjadi setelah penambahan garam disebabkan oleh tertariknya mantel air
koloid hidrofil oleh elektrolit, peristiwa ini disebut salting out. Endapan protein
tersebut diuji kelarutannya terhadap air, dan menunjukkan bahwa endapan
tersebut larut dalam air. Endapan yang melarut kembali berarti albumin
mengalami denaturasi dapat balik (reversible) atau redenaturasi yang hanya
mengganggu ikatan struktur tertier protein pada salah satu ikatan rantai samping
(Poedjiadi 1994).Namun, endapan tersebut seharusnya tidak larut air karena
salting out. Kondisi ini menyebabkan protein tidak dapat lagi melarutkan garam
sehingga larutan jenuh. Uji Millon (Gambar 2b) yang dilakukan terhadap endapan
yang terbentuk menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya warna kuning,
yang membuktikan bahwa endapan tersebut mengandung protein. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan garam tidak merusak protein, garam hanya
menutupi permukaan protein yang aktif. Uji Benedict (Gambar 2ª) yang dilakukan
terhadap filtrat memberikan hasil negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa filtrat
tersebut tidak mengandung protein. Hal ini berarti protein sudah mengendap
secara sempurna sehingga tidak tersisa lagi pada filtrat.
Protein mengalami koagulasi pada percobaan uji koagulasi protein yang
ditambahkan asam asetat dengan bantuan pemanasan. Penambahan asam asetat
bertujuan agar larutan albumin mencapai pH isolistriknya, titik isolistrik albumin
berada pada pH 4.55-4.90 (Poedjiadi 1994). Muatan gugus amino dan karboksil
bebas akan saling menetralkan pada pH isolistrik sehingga molekul bermuatan
nol dan mudah diendapkan (Winarno 2002). Ketika pemanasan dilakukan dan
mencapai temperatur diatas 60oC kelarutan protein akan berkurang karena pada
temperatur yang tinggi energi kinetik molekul protein meningkat sehingga terjadi
getaran yang cukup kuat untuk merusak ikatan atau interaksi rantai samping pada
struktur tertier dan kuartener yang menyebabkan koagulasi. Hasil uji koagulasi
protein menunjukkan bahwa endapan tidak larut air yang berarti protein telah
terdenaturasi oleh pemanasan yang dilakukan. Uji Millon (Gambar 3) tidak
memberikan warna apapun juga menunjukkan bahwa protein juga tidak terdapat
dalam filtrat.
Tabel 2 Data uji pengendapan protein oleh garam
Perlakuan Hasil uji KeteranganEndapan Uji kelarutan Uji Millon
++
Larut dalam airLarutan putih keruh, endapan kuning putih
Filtrat Benedict - Larutan berwarna biru
Gambar 2 Pengendapan oleh garam (a) uji Benedict, (b) uji Millon
a b
a b c
Tabel 3 Data uji koagulasi protein
Perlakuan pada endapan Hasil uji KeteranganUji kelarutan - Tidak larut dalam airUji Millon - Tidak berwarna
Gambar 3 Uji koagulasi (uji Millon)
Ikatan hidrogen terjadi antara gugus amida dalam struktur sekunder
protein. Ikatan hidrogen antar rantai samping terjadi dalam struktur tersier protein
dengan kombinasi berbagai asam amino penyusunnya (Ophart 2003). Ikatan ini
dapat dirusak dengan penambahan alkohol sehingga protein akan mengalami
pengendapan. Hasil percobaan pengendapan protein oleh alkohol setelah ditambah
etanol 95%, terlihat warna putih keruh pada larutan protein yang ditambahkan
HCl. Larutan yang ditambahkan NaOH hanya memiliki endapan yang sangat kecil
jumlahnya. Larutan yang ditambahkan buffer asetat pH 4.7 membentuk endapan
yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa protein banyak terdenaturasi ketika
ditambahkan buffer asetat 4.7.
Tabel 4 Pengendapan oleh alkoholTabung Hasil Gambar
HCl 0.1 M ++
NaOH 0.1 M +
Gambar 4 Uji kogulasi (a) HCl, (b) NaOH, (c) buffer asetat
Buffer asetat pH 4.7 +++
Keterangan:+++ : endapan sangat banyak++ : endapan cukup banyak+ : endapan sedikit- : tidak ada endapan
Denaturasi protein meliputi gangguan dan kerusakan yang
mungkin terjadi pada struktur sekunder dan tersier protein. Denaturasi tidak cukup
kuat untuk memutuskan ikatan peptida karena struktur primer protein tetap sama
setelah proses denaturasi. Denaturasi terjadi karena adanya gangguan pada
struktur sekunder dan tersier protein. Struktur protein tersier terdiri atas empat
jenis interaksi yang membentuk ikatan pada rantai samping seperti; ikatan
hidrogen, jembatan garam, ikatan disulfida, dan interaksi hidrofobik non polar,
yang kemungkinan mengalami gangguan. Denaturasi yang umum ditemui adalah
proses presipitasi dan koagulasi protein (Ophart 2003).
Denaturasi memiliki derajat yang bertingkat, dari ringan sampai berat.
Pada denaturasi ringan, yang berubah hanya struktur konformasi rantai
polipeptida, yaitu lipatan-lipatan rantai membuka. Derajat denaturasi ringan masih
masih reversibel dan dapat kembali ke struktur semula (renaturasi). Perubahan
yang terjadi ialah lipatan atau gulungan rantai polipeptida membuka secara tidak
beraturan, tetapi struktur kerangka kovalennya tetap utuh. Denaturasi berat
merubah struktur konformasinya dan ikatan-ikatan kovalen antara residu-residu
asam amino dapat rusak sampai putus. Derajat denaturasi berat bersifat
irreversibel (Hawab 2003). Denaturasi protein ditunjukkan oleh tabel 5.
Penambahan HCl tidak menimbulkan gumpalan atau endapan pada larutan
albumin. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan HCl dalam jumlah kecil tidak
dapat mendenaturasi protein. Albumin yang ditambahkan NaOH dan buffer asetat
membentuk suatu serat atau gumpalan putih. Hal ini menunjukkan bahwa protein
paling banyak terdenaturasi pada keadaan isolistrik dan dalam kondisi basa.
Tabel 5 Denaturasi proteinTabung Hasil Gambar
HCl 0.1 M Larutan tidak berwarna
NaOH 0.1 M Terdapat serat-serat putih
Gmbar 5 denaturasi Protein (a) HCl, (b) NaOH, (c) buffer asetat
Buffer asetat pH 4.7Gumpalan putih
mengapung
a b c
Simpulan
Protein dapat didenaturasi oleh logam. Logam yang paling merusak
protein adalah logam Ag. Garam menggumpalkan protein karena keadaan salting
out, bukan dengan merubah bentuk struktur protein. Garam mendenaturasi protein
secara reversible. Denaturasi juga disebabkan karena suhu yang sangat tinggi
sehingga mengakibatkan struktur protein menjadi rusak. Penambahan alkoholpada
protein dapat menyebabkan protein terdenaturasi. Denaturasi protein yang
menghasilkan banyak gumpalan, yaitu ketika lingkungannya dalam kondisi basa
dan dalam keadaan isolistrik.
Daftar Pustaka
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi. Jilid 1. Lestari R, penerjemah; Safitri A, editor. Terjemahan dari: Biology. Jakarta: Erlangga.
Hart C, Craine LE, dan Hart DJ. 2003. Kimia Organik: Suatu Kuliah Singkat. Achmadi SS, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry.
Hawab HW. 2003. Pengantar Biokimia. Malang : Bayu Media Publishing
Jain JL, Jain S, Jain N. 2005. Fundamentals of Biochemistry. New Delhi: S. Chand & Co.
Lehninger AL. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jilid ke-1. Thenawidjaya M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Ophart CE. 2003. Virtual Chembook: Denaturation of Protein. [terhubung berkala]. www.elmhurst.edu.class.fst. [11 November 2010].
Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Pr
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.