prosiding - pbsj.umpwr.ac.idpbsj.umpwr.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/prosiding-seminar-28... ·...
TRANSCRIPT
i
ii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA JAWA SEBAGAI
PENGUAT BUDI PEKERTI PESERTA DIDIK UNTUK
MENGHADAPI MEA
28 Maret 2016
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO Alamat : Jalan K.H. A. Dahlan No 3 Telp/ Fax (0275) 321494 Purworejo
54111
iii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
“Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Penguat Budi Pekerti Peserta
Didik untuk Menghadapi MEA”
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang
Editor :
Aris Aryanto, S.S., M.Hum.
Herlina Setyowati, M.Pd.
Rochimansyah, M.Pd.
Penyunting :
Yuli Widiyono, M.Pd.
Eko Santosa, S.Pd., M.Hum.
Zuly Qurniawaty, S.Pd., M.Hum.
ISBN: 978-602-74499-0-9
Diterbitkan Oleh :
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Alamat : jalan K.H.A. Dahlan No 3 dan 6 Telp/Fax (0275) 321494 Purworejo
54111
Website: Digilib.umpwr.ac.id
iv
KATA PENGANTAR
Pasar bebas Asia Tenggara atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
akhirnya telah bergulir. artinya, mobilitas manusia secara bebas keluar masuk
Indonesia, begitupun sebaliknya. hal ini mengisyaratkan masyarakat Indonesia
harus siap bersaing dengan Negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
mau tidak mau persaingan sudah ada di depan mata, dan masyarakat Indonesia
harus siap menghadapinya. selain memperbaiki kualitas produk lokal, Sumebr
Daya Manusia (SDM) tentu saja juga harus ditingkatkan kemampuan dan
ketahanannya karena Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi faktor penentu
dalam menyokong pembangunan dalam segala bidang. untuk itu, perlu
diupayakan suatu usaha untuk mencetak manusia-manusia Indonesia yang
tangguh dalam menghadapi gejolak zaman. maka, usaha nyata yang dapat
dilakukan salah satunya melalui pendidikan karena pendidikan sebagai tolok ukur
kualitas SDM suatu Negara.
Seminar Nasional dengan tema “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa
sebagai Penguat Budi Pekerti Peserta Didik untuk Menghadapi MEA” sebagai
event yang menjadi petanda semakin kuatnya kesadaran bersama akan pentingnya
pembelajaran budi pekerti yang tercerap dalam kearifan lokal budaya nusantara
terutama dalam hal ini adalah bahasa dan sastra daerah.
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M.
Hum. dan Prof. Dr. Sukirno M. Pd. sebagai Pembicara Utama dalam seminar.
tidak lupa kami haturkan terimakasih kepada para pemakalah pendamping dan
seluruh peserta dari kalangan akademisi, guru, mahasiswa yang telah
berpartisipasi dalam kegiatan Seminar Nasional ini. Semoga dengan penerbitan
buku prosiding ini dapat menjadi bahan permenungan dan referensi bagi semua
kalangan terutama guru sebagai ujung tombak pendidikan.
Purworejo, Maret 2016
Panitia
Pelaksana
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Pengembangan Materi Ajar Bahasa Jawa di Sekolah
Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum. ̴ 1
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa berbasis Kuantum dan Tembang Macapat
sebagai Penguat Budi Pekerti Peserta Didik Menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asia
Prof. Dr. Sukirno, M.Pd. ̴ 9
Pendidikan Bahasa, Sastra, Budaya di Sekolah dan Masyarakat sebagai Wujud
Strategi Budaya Menuju Peradaban Dunia
Eko Santosa, S.Pd., M.Hum. ̴ 24
(Tanggap) Ing Sasmita Amrih Lantip dalam Serat Wulangreh Suatu Kajian
Pragma-Semiotik
Aris Wuryantoro ̴ 34
Memasyarakatkan Kandungan Isi Naskah Jawa Klasik sebagai Bentuk
Implementasi Pendidikan Budi Pekerti
R. Adi Deswijaya, S.S., M.Hum. ̴ 44
Revitalisasi Nilai-Nilai Sejarah dan Pendidikan Budi Pekerti Melalui Kesenian
Ketoprak
Bagus Wahyu Setyawan ̴ 61
Budaya Ujung sebagai Sarana Pendidikan Budi Pekerti Bagi Masyarakat Jawa
Sawitri, S.Sn.M.Hum ̴ 71
Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat Tingkat Sosial Masyarakat
Bayu Indrayanto, S.S., M.Hum. ̴ 85
Inovasi Proses Pengajaran Tembang Macapat Menggunakan Media Audio sebagai
Upaya optimalisasi Fungsi Pembelajaran Bahasa Daerah di Era MEA
Astiana Ajeng Rahadini ̴ 95
Mendekatkan Kesenian tradisional Ketoprak kepada Masyarakat Pendidikan
Budi Waluyo ̴ 104
Bahasa Ibu : Kepunahan, Pelestarian, dan Pengembangan
Djoko Sulaksono, M.Pd. ̴ 114
Optimalisasi Potensi Kearifan Lokal Bahasa dan Budaya Jawa sebagai strategi
Peningkatan Nilai Budi Pekerti dan Penguatan Jati Diri dalam Menyongsong
MEA
Favorita Kurwidaria ̴ 124
vi
Penguatan Sikap Positif sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa Ibu dalam
Masyarakat Tuturnya
Kenfitria Diah Wijayanti. ̴ 137
Sejarah dan Pandangan tentang Kebijakan Bahasa (Strategi Menghadapi MEA)
Rahmat, S.S., M.A. ̴ 146
Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Sangu Pati II Karya Ki Padma Sujana
Yuli Widiyono, M, Pd. ̴ 156
Nilai-Nilai Luhur Budaya Jawa dalam Lakon Wayang Sawitri Karya Ki
Nartosabdo Sumbangannya Bagi Pendidikan Budi Pekerti
Aris Aryanto, S.S., M.Hum. ̴ 169
1
PENGEMBANGAN MATERI AJAR BAHASA JAWA DI SEKOLAH
Oleh:
Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum.
Universitas Negeri Semarang
PENDAHULUAN
Judul makalah saya adalah pengembangan materi ajar bahasa Jawa, artinya
persoalan ini termasuk dalam lingkup pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah
proses, yaitu proses membelajarkan siswa yang tadinya tidak mengerti menjadi
mengerti. Dengan demikian, materi ajar merupakan bagian dari serangkaian
proses pembelajaran sehingga sangat berkait dengan rencana, proses, dan evaluasi
pembelajaran. Di samping itu, materi ajar harus dikembangkan mulai dari
kesesuaian kurikulum dan bagaimana mengukurnya apakah materi ajar sudah
tersampaikan dengan benar. Pada diskusi siang ini makalah ini saya bagi kedalam
empat subbagian. Pertama, dibicarakan gambaran umum kurikulum, bagaimana
kurikulum seharusnya disusun dan kaitannya dengan kurikulum tiga belas. Bagian
kedua, dibicarakan arah dan strategi penyusunan kurikulum kaitannya dengan
materi ajar. Bagian ketiga, berisi pengembangan materi ajar bahasa Jawa, dan ke
empat penutup.
PEMBAHASAN
1. Kurikulum
Diskusi siang ini menjadi menarik kaitannya dengan persoalan kurikulum
bahasa Jawa yang sekarang ini diterapkan. Saya beri nama kurikulum tiga belas,
artinya kurikulum Bahasa Jawa yang disesuaikan dengan kurikulum tiga belas.
Harapan saya, hasil diskusi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
(rekomendasi) apakah kurikulum bahasa Jawa masih perlu dievaluasi atau
memperkuat apakah kurikulum tiga belas bahasa Jawa itu sudah sangat cukup dan
layak dilanjutkan.
Yang pertama-tama muncul dalam kaitan dengan materi ajar kurikulum tiga
belas bahasa Jawa adalah banyaknya keluhan beratnya muatan materi ajar.
2
Keluhan inilah yang harus diselesaikan oleh para guru untuk menyikapi materi
ajar yang dianggap memberatkan itu. Titik berat kurikulum tiga belas mengacu
pada kurikulum nasional (kurtilas) sehingga kurikulum tiga belas bahasa Jawa
lebih didasarkan pada pendidikan karakter. Lebih dari itu, apakah kurikulum
bahasa Jawa memiliki karakteristik yang berbeda dengan kurikulum bahasa
Indonesia misalnya, atau sebenarnya sama? Atau lebih jauh lagi apakah
kurikulum bahasa Jawa harus sama dengan kurikulum bahasa Inggris? Inilah
berbagai persoalan mendasar sebenarnya yang selama ini menggelayut di benak
saya.
Marilah kita mencoba melihat gambaran umum kurikulum terutama pada
aspek tujuan pembelajaran, sebelum kita mengembangkan materi ajar. Hal ini
penting untuk dasar pengembangan materi ajar yang kita diskusikan siang ini.
Sebagaimana disebutkan di depan, bahwa materi ajar tidak dapat dilepaskan
dengan tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum.
Sebelum merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam
rumusan kurikulum mestilah harus diketahui karakteristik kurikulum tersebut
termasuk di dalamnya adalah sifat kurikulum tersebut. Tujuan pembelajaran dari
kurikulum harus dinyatakan dengan jelas. Apa yang akan dicapai setelah siswa
selesai belajar bahasa Jawa. Oleh karena itu, kita dapat menentukan arah dan
strategi misalnya pada jenjang sekolah dasar sampai mana selanjutnya diteruskan
jenjang beikutnya sampai tercapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Dalam
kaitan ini, saya berpendapat bahwa tujuan pembelajaran bahasa Jawa adalah
membuat siswa terampil berbahasa Jawa dengan baik sesuai dengan unggah-
ungguh basa.
Terampil berbahasa Jawa artinya terampil menyimak, berbicara, membaca,
menulis, dan apresiasi sastra sesuai dengan unggah ungguh bahasa Jawa. Tujuan
ini harus dijabarkan dalam arah dan strategi. Arah setiap jenjang serta strategi
setiap jenjang harus dirumuskan sehingga tujuan akhir dari pembelajaran bahasa
Jawa dapat tercapai. Artinya, seorang siswa SMA yang lulus harus menguasai
keterampilan tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Jawa. Ia
mestilah harus terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis sesuai
3
dengan unggah ungguh bahasa serta mampu mengapresiasi karya sastra dengan
baik. Dengan demikian, lulusan SMA dapat digolongkan dalam kategori para
sepuh:ngerti basa atau wis njawani. Supaya tujuan kurikulum tercapai, arah dan
strategi antara jenjang sekolah dasar dan menengah harus berkesinambungan dan
berjenjang. Karenanya, materi ajar disesuaikan dengan tujuan yang hendak
dicapai sehingga tidak akan muncul materi yang tumpang tindhih dan terlalu
berat.
Apakah tujuan pembelajaran kurikulum bahasa Jawa yang sekarang, yaitu
kurikulum tiga belas sudah disusun secara jelas? Jika sudah apakah tujuan itu
sudah dirumuskan arah dan strateginya sehingga tujuan tersebut dapat tercapai
dengan baik? Inilah yang harus kita cermati sehingga proses pembelajaran bahasa
Jawa kita sekarang ini menjadi jelas dan terarah.
2. Arah dan Strategi Penyusunan Kurikulum
Arah dan strategi merupakan langkah strategis untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai. Arah merupakan road map sehingga dapat
diketahui dan direkam jejaknya. Ibarat rel kereta, arah tergelar menuju tujuan
yang hendak dituju. Strategi merupakan cara untuk melengkapi arah yang akan
dituju. Rel merupakan jalan panjang yang harus ditempuh. Proses pembelajaran
bahasa Jawa memerlukan waktu mulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah
menengah, artinya proses pembelajaran berlangsung kira-kira 12 tahun.
Sementara, tujuan pembelajaran bahasa Jawa yang hendak dicapai adalah
mengarahkan siswa terampil berbahasa Jawa dengan baik sesuai dengan unggah-
ungguh basa.
Oleh karena itu, arah dan strategi jelas dibedakan ke dalam tiga jenjang.
Mengapa? Hal ini karena karakteristik siswa di setiap jenjang sangat berbeda, jika
dilihat dari segi pembelajaran bahasa dan karakter kepribadian siswa. Implikasi
dari itu, materi ajar mestilah harus disesuaikan dengan karakteristik siswa di
setiap jenjang. Jelasnya, target sasaran setiap jenjang harus mencerminkan
kesinambungan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
dalam kurikulum. Apa target yang harus dicapai siswa lulusan sekolah dasar
4
enam tahun dan apa target yang harus dicapai siswa setiap jenjang berikutnya.
Selanjutnya, materi ajar yang bagaimana supaya target tujuan di setiap jenjang
tercapai.
Inilah sebenarnya persoalan yang sedang kita hadapi di samping persoalan-
persoalan eksternal di luar kurikulum, misalnya persoalan kondisi guru, buku ajar,
dan sebagainya. Pada diskusi siang ini saya berpendapat dan sodorkan di hadapan
hadirin untuk didiskusikan bersama.
Materi ajar untuk anak sekolah dasar, terutama kelas pemula (kelas satu
dan dua) semestinya ditikberatkan pada dua keterampilan berbahasa, yaitu
mendengarkan (menyimak dan berbicara). Mengapa demikian? Anak usia kelas
satu dan dua memiliki kepekaan bahasa yang sangat kuat. Oleh karena itu,
pembelajaran mendengarkan kosakata merupakan langkah strategis seseorang
nantinya mampu memproduksi kata yang mereka kuasai. Di samping itu, secara
kejiwaan siswa kelas satu dan dua memiliki karakteristik menerima respon dari
luar yang kuat. Otak bagian medan Brocca dan Wernik dalam proses
pembelajaran bahasa sangat peka dalam usia ini. Kosakata bahasa Jawa terutama
ragam ngaka saangatlah banyak dan variatif. Kosakata bahasa Jawa ragam ngaka
dapat ditemukan di lingkungan siswa belajar. Artinya, bahasa Jawa ragam itulah
sesungguhnya bahasa ibu siswa tersebut.
Implikasi dari itu, materi ajar bahasa Jawa di jenjang kelas satu dan dua
sebaiknya disesuaikan dengan sumber belajar di lingkungan siswa. Implikasi
kedua adalah materi ajar untuk jenjang kelas itu sebaiknya adalah bahasa Jawa
ragam ngaka sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian, varian bahasa Jawa
(dalan istilah linguistik: dialek) menjadi lestari dan terjaga sebagai bahasa ibu
mereka. Pemilihan materi ajar yang dipilih bahasa Jawa ragam ngaka yang ada di
lingkungan siswa juga sudah sesuai dengan prinsip belajar. Prinsip pembelajaran
yang pertama mestilah prinsip belajar dari yang mudah ke yang sulit. Arah
pembelajaran bahasa Jawa di jenjang kelas satu dan dua menjadi jelas, siswa
mampu mendengarkan dan berbicara bahasa Jawa ragam ngaka di lingkungannya
dengan baik. Bagimana strateginya? Strategi untuk mencapai target sebagaimana
dirumuskan dalam arah di setiap jenjang harus disesuaikan dengan karakteristik
5
psikologi siswa. Dalam konteks ini, peran pembelajaran sastra menjadi penting.
Melalui teknik bercerita (bisa menggunakan metode sosiodrama), materi dapat
tersampaikan dengan menyenangkan sesuai dengan dunia anak. Dengan demikian,
materi ajar dongeng batau cerita yang ada di lingkungan siswa menjadi pilihan
strategi berikutnya.
Demikian selanjutnya, arah dan strategi beikutnya disusun sesuai dengan
jenjang kelas, dan karakter siswa sampai akhirnya selesai pada tahap akhir
pembelajaran, yaitu kelas tiga SMA. Di jenjang ini, jelas materi ajar lebih sulit
atau katakanlah paling sulit, yaitu berbicara bahasa Jawa dalam ragam krama
sesuai dengan unggah-ungguh basa. Namun, jika setiap jenjang sudah ditentukan
arah dan strateginya saya berkeyakinan siswa akan samapai ke tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai.
3. Pengembangan Materi Ajar Bahasa Jawa
Para guru yang berbahagia dan terhormat, di bagian ini saya uraikan
pengalaman saya mengembangkan materi ajar yang saya tulis di buku ajar yang
saya buat, yaitu dalam Prigel Basa Jawi untuk siswa SMA terbitan Erlangga.
Materi dengan topik rumah adat misalnya, siswa diajak berselancar mengetahui
seluk beluk rumah adat. Ada beberapa buku yang beredar justru mengembangkan
materi ini seperti misalnya jenis rumah adat, cara membuat rumah adat, bahan
yang dibuat, dan seterusnya. Pertanyaannya, apakah kita ingin mencetak siswa
setelah mempelajari topik rumah adat itu mampu mebuat rumah adat seperti
tukang misalnya?
Materi berikut adalah pokok bahasan makanan tradisional. Banyak juga
buku yang beredar sebagai pegangan guru untuk digunakan sebagai mahan ajar
memuat berbagai jenis makanan tradisional, mulai dari tempat, jenis, bahan, dan
lagi-lagi cara membuatnya. Pertanyaan sama saya ajukan apakah kita akan
mencetak siswa setelah lulus mempelajari materi pokok bahasan makanan
tradisional untuk menjadi ahli membuat jenis makanan tradisional?
Jawaban pertanyaan saya jangna dijawab dengan serampangan. Marilah kita
lihat apa karakter kurikulum tiga belas dan apa tujuan pembelajaran yang hendak
6
dicapai. Dengan demikian, jika setelah selesai mempelajari rumah adat kemudian
makanan tradisional siswa dapat dan mampu membuat rumah adat dan membuat
makanan tradisional akan melenceng dari tujuan pembelajaran. Dengan gampang,
kita juga bisa terpeleset pendapat bahwa ini pelajaran bahasa Jawa dengan topik
ngawur? Pandangan ini juga dapat menjerumuskan atau sesat berpraduga.
Marilah kita mencoba melikat dasar atau hakikat kurikulum tiga belas itu.
Bahwa kurikulum bahasa Jawa tiga belas sebenarnya mengacu pada kurikulum
nasional yang kita sebut kurikulum duaribu tiga belas (kurtilas) yang menekankan
segi karakter. Inilah kunci jawabnya. Oleh karena itu, materi ajar dengan pokok
bahasan rumah tgradisional dapat dikembangkan sesuai dengan karakter
kurikulum. Dalam buku yang saya tulis, siswa diajak mampu menghargai dan
bangga dengan rumah tradisional yang kita miliki bukan bagaimana cara membuat
rumah tradisional itu. Diuraikan bentuk bangunan serta bagian dan fungsinya.
Fungsi bangunan disesuaikan dengan konteks topografi lingkungan kita, misalnya
mengapa rumah joglo harus memiliki atap yang miring sekian serajat?
Lingkungan kita adalah lingkungan tropis sehingga curah hujan sangat tinggi juga
kemarau sangat seimbang dengan musim hujan. Air yang jatuh di genting beratap
miring akan cepat jatuh ke tanah. Berbagai langit-langit di atas yang ksong
memungkinkan ssirkuliasi udara sahant sehat. Oleh karena di cuaca panas kita
tidak akan merasa panas dan seterusnya dan seterusnya. Akhirnya siswa diajak
memahami berbagai fungsi yang pada ahirnya siswa menjadi bangga memiliki
jenis rumah yang tangguh terhadap gempa (terbuat dari kayu dengan kaitan yang
memungkinkan tahan gempa), memiliki fungsi rumah hunian yang nyaman dan
seterusnya.
Pengembangan materi ajar pokok bahasan makanan tradisional juga
didasarkan pada karakteristik kurikulum.Siswa diajak belajar lingkungan yang ada
di wilayah Jawa Tengah. Misalnya makanan tiwul sebagaimana kita singgung di
muka. Geografis dan topografis menjadi jawaban yang membuat siswa menjadi
terkagum dan pada akhirnya bangga terhadap berbagai jenis makanan tradisional
yang kita jumpai.
7
Materi wayang yang ada juga dapat menggelincirkan kita jika kita kurang
hati-hati mengembangkannya. Sama seperti pokok bahasan yang telah disebut,
pokok bahasan Gatutkaca gugur misalnya jika diajarkan wantah tidak pas untuk
diajarkan kepada siswa. Kita akan mengajarkan peperangan, kematian, kebencian
dan ini tidak sesuai dengan prinsip pembelajaran kita. Oleh karena itu, kita harus
mengembangkannya ke arah keteladanan. Sifat kepahlawanan sebagai tokoh yang
patut diteladani menjadi penting ditonjolkan. Hal-hal yang berbau kekerasan harus
dihilangkan.
Pengembangan materi sebagaimana saya lakukan tersebut sesuai dengan
prinsip pengembangan. Langkah pertama anadalah analisis kebutuhan. Kita butuh
materi keteladanan untuk mendidik siswa berkarakter baik (ngerti unggah-ungguh
basa). Kita juga butuh nilai kebanggaan dan menghargai yang kita miliki. Pokok
bahasan rumah adat dan makanan tradisional sarat memiliki nilai-nilai yang kita
butuhkan untuk pemebelajaran. Pokok bahasan cerita wayang memiliki nilai-nilai
keteladanan serta nilai-nilai sosial yang kita butuhkan. Memang, dalam cerita
wayang banyak nilai filosofisnya tetapi itu terlalu tinggi bagi anak usia remaja.
KESIMPULAN
Dari paparan di depan dapat diambil simpulan bahwa pengembangan materi
ajar tidak dapat dilepaskan dari kerangka kurikulum, terutama tujuan
pembelajaran. Setiap aspek kurikulum saling melengkapi. Tujuan pembelajaran
harus dicapai dengan menyusun arah danstrategi sehingga terget setiap jenjang
pendidikan dapat diukur dengan jelas. Materi pembelajaran harus sesuai dengan
tingkat jenjang sekolah dengan memperhatikan aspek pemerolehan bahasa dan
perkembangan jiwa siswa. Pengembangan materi ajar seyogyanya disesuaikan
dengan prinsip pengembangan dan didasarkan dengan tujuan pembelajaran serta
karakteristik kurikulum. “Tiada gading yang tak retak”.
8
DAFTAR RUJUKAN
Supriyanto, Teguh. 2013. Bedah Kurikulum Bahasa Jawa 2013. Makalah (belum
diterbitkan). Semarang: FBS Unnes.
Widiyartono, Gandung., Teguh Supriyanto, dkk. 2014. Prigel Basa Jawi kangge
Siswa Kelas X SMA. Jakarta Erlangga.
9
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
BERBASIS KUANTUM DAN TEMBANG MACAPAT
SEBAGAI PENGUAT BUDI PEKERTI PESERTA DIDIK MENGHADAPI
MASYARAKAT EKONOMI ASIA
Oleh:
Prof. Dr. Sukirno, M.Pd.
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Abstrak
Tujuan penyusunan makalah ini adalah memaparkan dua model pembelajaran
bahasa dan sastra Jawa sebagai penguat budi pekerti peserta didik yang inovatif
dan kreatif, yaitu pembelajaran berbasis kuantum dan tembang macapat.
Pembelajaran berbasis kuantum memperhatikan tiga ciri, yaitu konteks, isi, dan
langkah tandur (tumbuhkan, alami, namai, demonstrasi, ulangi, dan rayakan).
Pembelajaran berbasis tembang macapat bersumber pada tembang macapat.
Adapun langkah-langkahnya menggunakan langkah tandur. Kedua model tersebut
sudah diujicobakan oleh beberapa pakar dan hasilnya berpengaruh positif
terhadap motivasi dan hasil belajar siswa. Direkomendasikan dua model tersebut
untuk digunakan oleh para guru sebagai alternatif pembelajaran bahasa dan sastra
Jawa.
Kata kunci: pembelajaran bahasa dan sastra jawa, berbasis, kuantum,
tembang macapat
PENDAHULUAN
Tahun 2016 merupakan tahun pertama memasuki Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA). Dengan demikian perdagangan bebas yang mencakup barang dan
jasa antarsesama negara anggota Asean tidak ada batasnya lagi. Diprediksi mereka
akan membanjiri Indonesia sebagai eksportir, infestor, pencari kerja, maupun
sebagai turis. Hal ini membawa dampak terutama bagi pekerja di bidang tenaga
medis, arsitek, dokter gigi, perawat, akuntan, tenaga riset, dan pariwisata yang
memiliki spesialisasi dibutuhkan di negara Asean. Pertanyaannya adalah
mampukah barang dan jasa Indonesia bersaing dengan barang dan jasa negara
Asean lainnya?
10
Agar pekerja Indonesia tidak kalah bersaing, kita harus pandai membekali
diri dengan aneka keterampilan seperti bahasa Inggris dan keterampilan bahasa
dan budaya lokal yang dapat dieksport atau dapat dijual kepada para turis asing di
negara kita sendiri. Satu-satunya kekayaan Indonesia yang tidak perlu
mengimport ke luar negeri adalah bahasa dan budaya lokal. Agar bahasa dan
budaya kita dapat dipertahankan, dikembangkan, dan dapat mendatangkan
keberkahan, kita perlu memperkuat bahasa dan budaya lokal kita melalui jalur
pendidikan, khususnya model pembelajarannya. Beberapa model pembelajaran
yang cocok yaitu pembelajaran berbasis kuantum dan tembang macapat.
Pembelajaran adalah proses belajar dan mengajar. Bahasa dan sastra Jawa
adalah semua bentuk teks bahasa dan sastra yang menggunakan bahasa dan sastra
Jawa. Berbasis maksudnya berpusat atau bersumber. Kuantum maksudnya
dipercepat. Tembang macapat maksudnya semua tembang Jawa yang termasuk
jenis tembang macapat. Penguat maksudnya memperkuat, budi pekerti maksudnya
perilaku atau tingkah laku. Peserta didik maksudnya siswa. Menghadapi MEA
maksudnya menyambut atau menghadapi masyarakat ekonomi asean. Jadi,
maksud istilah judul makalah ini adalah penjelasan konsep pembelajaran bahasa
dan sastra Jawa yang berpusat pada model kuantum dan tembang macapat untuk
menanamkan budi pekerti siswa yang kokoh dalam menghadapi masyarakat
ekonomi Asean.
Saryono (2007:1) menjelaskan bahwa hasil-hasil pembelajaran berbagai
bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholder). Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkem-
bangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan
proses pembelajaran atau hasil pembelajaran melaju lebih dahulu daripada proses
pembelajaran sehingga hasil-hasil pembelajaran tidak cocok dengan kenyataan
kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-
temuan kajian yang baru dari berbagai bidang tentang pembelajaran membuat
metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai
permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pembelajaran menuntut
diupayakannya pembaharuan paradigma dan metodologi pembelajaran. Dengan
11
demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan
meningkat.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembela-
jaran, kalangan pendidik dan pakar pendidikan berusaha menyelaraskan, menye-
rasikan, memutakhirkan, memperbaharui proses pembelajaran dengan pandangan-
pandangan dan temuan-temuan baru di berbagai metodologi pembelajaran. Oleh
karena itu, metodologi pembelajaran silih berganti dipertimbangkan, digunakan
atau diterapkan dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Bahkan bermunculan
secara serempak; satu falsafah dan metodologi pembelajaran dengan cepat
dirasakan usang dan ditinggalkan, kemudian diganti dengan dimunculkan satu
falsafah dan metodologi pembelajaran yang lain.
Beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah bermunculan berbagai
falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun
akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya,
malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya, yaitu model pembelajaran
kontekstual, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran berbasis
masalah, model pembelajaran berbasis komputer, model pakem, dan model
pembelajaran kuantum (cuantum learning).
Dibandingkan dengan falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya,
model pembelajaran kuantum tampak lebih populer dan lebih banyak disambut
gembira oleh berbagai kalangan di Indonesia berkat penerbitan beberapa buku
mengenai hal tersebut oleh penerbit Nuansa, Bandung [Accelerated Learning For
The 21st Century], penerbit Dahara Prize, Semarang [How to Learn Anything
Quickly], penerbit KAIFA Bandung [Quantum Learning, Quantum Writing,
Quantum Teaching, dan 99 Cara Menjadi Anak Anda Bergairah Menulis].
Walaupun demikian, masih banyak pihak yang mengenali pembelajaran
kuantum secara terbatas–terutama terbatas pada hakikat pembelajaran kuantum,
bangun (konstruks) utamanya, dan penerapannya dalam pembelajaran. Ini
berakibat belum dikenalinya pembelajaran kuantum secara utuh dan lengkap.
Berikut ini dipaparkan dua model pembelajaran bahasa dan sastra Jawa yang
12
inovatif dan kreatif yaitu model pembelajaran berbasis kuantum dan tembang
macapat.
PEMBAHASAN
A. PEMBELAJARAN BERBASIS KUANTUM
1. Pengertian Belajar Kuantum
Belajar kuantum atau belajar cepat diambil dari istilah quantum learning
(dePorter dan Hernacki, 2003), quantum teaching (dePorter, Reardon, dan
Nouire (2002), accelerated learning (Rose dan Nicholl, 2003), dan how to learn
anything quickly (Linksman, 2004). Istilah lain yang erat dengan belajar kuantum
adalah suggestology atau suggestopedia (Lozanov dalam dePorter dan Hernacki,
2003).
Rose dan Nicholl (2003: 125) menjelaskan bahwa untuk memperoleh
informasi secara cepat dapat melalui gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik.
Linksman (2004: xii) mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kecepatan
belajar dengan gaya belajar yang berbeda, seperti visual, auditori, taktile, dan
kinestetis. Gaya belajar visual mengandalkan penglihatan yang ditangkap mata.
Gaya belajar auditori mengandalkan pendengaran dan pembicaraan. Gaya
belajar taktile mengandalkan penyentuhan pada objek secara fisik maupun
emosi, dan penciuman. Gaya belajar kinestetik mengandalkan kekuatan motorik
atau gerak. dePorter dan Hernacki (2003:12) menjelaskan bahwa quantum
learning pada hakikatnya adalah metode, kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan
seluruh proses yang dapat menghemat waktu, mempertajam pemahaman dan
daya ingat, dan membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan
bermanfaat serta sebagai obat penawar yang menghidupkan dan memperkuat
kembali kegembiraan dan kecintaan belajar. Profil semacam itu sangat cocok
diterapkan dalam pembelajaran sastra karena karya sastra merupakan karya
kreatif yang melibatkan banyak indra.
dePorter, Reardon, dan Nouire (2002:6) menjelaskan bahwa belajar
dengan model kuantum adalah proses pembelajaran dengan cara menyingkirkan
13
hambatan yang menghalangi proses belajar yang mudah dan alamiah dengan
menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan
pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian, dan keterlibatan aktif siswa dan
guru.
Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria telah mengadakan
penelitian eksperimen dengan model belajar suggestology atau suggestopedia.
Pada simpulannya dikatakan bahwa sugesti terbukti efektif di sekolah dan untuk
semua tipe orang dari segala usia, pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti
memengaruhi situasi dan hasil belajar. Sugesti berarti memberikan kesan,
bisikan, pendapat, anjuran, nasihat, atau saran yang dikemukakan untuk diper-
timbangkan (Echols dan Shadily, 1992:567). Selain itu, sugesti juga berarti
dorongan atau pengaruh yang dapat menggerakkan hati orang (Depdikbud,
1996:969). Sugesti dapat disampaikan secara langsung melalui tulisan atau lisan
dan dapat disampaikan secara tidak langsung melalui lambang, gambar, kode,
hadiah, dan tugas. Dengan sugesti, akan muncul motivasi atau dorongan yang
timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu
tindakan dengan tujuan tertentu.
Pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dengan model belajar kuantum
tidak dapat dipisahkan dengan keterampilan berbahasa seperti menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Sejalan dengan beberapa pendapat tersebut
di atas dapat dikatakan bahwa belajar kuantum adalah petunjuk, kiat-kiat,
strategi, dan seluruh proses yang dapat menghemat waktu untuk mempercepat
dan mengoptimalkan hasil belajar siswa dengan cara membangun komunikasi
yang membangkitkan semangat belajar siswa dengan mengunakan media yang
tepat dan memberikan keleluasaan siswa menggunakan gaya belajar serta
melakukan kegiatan belajar secara berulang-ulang sebagai proses belajar yang
menyenangkan.
2. Tujuan Belajar Kuantum
14
Tujuan utama pembelajaran kuantum adalah membantu siswa
mempercepat dan mengoptimalkan hasil belajar siswa sesuai dengan indikator-
indikator pencapaian. Untuk mencapai tujuan tersebut, tugas guru secara umum
adalah menyugesti, mengaktifkan, memfasilitasi, menggerakkan, menyalurkan,
mengarahkan, mengevaluasi sikap dan perilaku individu belajar siswa sambil
terus-menerus memotivasi belajar siswa. Oleh karena itu, belajar bahasa dan
sastra Jawa berbasis kuantum perlu diwujudkan.
3. Manfaat Belajar Kuantum
Setidaknya, ada enam hal penting yang mendorong penulis
mengembangkan belajar berbasis kuantum. Keenam hal penting tersebut
dijelaskan sebagai berikut: (a) belajar berbasis kuantum memanfaatkan siswa
untuk mengembangankan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sistem informasi dan
komunikasi yang semakin cepat dan modern: (b) belajar berbasis kuantum
mewujudkan pembelajaran yang lebih demokratis, menarik, dan menyenangkan;
(c) belajar berbasis kuantum memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih
materi ajar yang cocok dan belajar sesuai dengan gaya atau kebiasaan belajar yang
digemari; (d) belajar berbasis kuantum dapat menciptakan proses belajar dengan
hasil belajar maksimal; (e) belajar berbasis kuantum menghasilkan proses belajar
yang dihasilkan menyenangkan bagi siswa dan guru; (f) belajar berbasis kuantum
mampu mengantar siswa menyelesaikan tugas yang mendekati sempurna dalam
waktu yang cepat.
Pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban terhadap siswa dan guru. Setiap siswa memiliki hak
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan kompetensi
dasar yang dibelajarkan. Siswa mempunyai hak untuk memilih materi
pembelajaran, memilih gaya belajar pribadi, dan memperoleh pengakuan hasil
belajar. Guru mempunyai kewenangan dan kreativitas sebagai pengatur/pengelola
proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan dari awal sampai dengan
akhir pembelajaran, sehingga dapat mewujudkan tujuan pembelajaran yang telah
15
dirancang sebelumnya. Kewajiban siswa adalah menyimak, membaca, berdiskusi,
menulis, dan mengerjakan tugas-tugas pembelajaran. Guru mempunyai kewajiban
merencanakan, melaksanakan pembelajaran dengan menumbuhkan semangat
belajar siswa, membimbing, memberikan kesempatan siswa berlatih, dan meng-
evaluasi proses dan hasil belajar siswa.
Pembelajaran dikatakan menarik dan menyenangkan apabila pembelajaran
itu mampu membangkitkan hasrat dan semangat siswa untuk memerhatikan atau
ingin tahu banyak lagi tentang substansi yang dibelajarkan. Pembelajaran yang
menarik dan menyenangkan memerlukan adanya pengelolaan kelas, tata ruang,
media dan sumber belajar yang memadai, dan cara belajar yang bervariasi.
Suasana belajar yang seperti itu akan menggairahkan minat siswa dalam belajar.
Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan membuat pembelajaran itu men-
jadi mudah. Pembelajaran yang mudah dapat diselesaikan dengan waktu yang
cepat. Konsep pembelajaran yang demokratis, menarik dan menyenangkan telah
dikemas dalam pembelajaran berbasis kuantum.
4. Asumsi/Landasan Berpikir Belajar Kuantum
Pembelajaran berbasis kuantum ini dilandasi oleh sejumlah asumsi atau
landasan berpikir sebagai berikut: (a) memuat skemata yang dapat menumbuhkan
pemahaman dan minat siswa dalam belajar, (b) melatih kemandirian dan tanggung
jawab siswa dalam memilih materi dan gaya belajar yang dikehendaki, (c) melatih
kerja sama dengan sesama siswa dalam mendiskusikan hasil identifikasi maupun
proses belajar sehingga terjadi persaingan yang sehat, (d) melatih kepemimpinan
khususnya dalam membahas tugas kelompok maupun pelaksanaan lomba dan
publikasi, (e) memberi kesempatan kepada siswa belajar secara terus-menerus
atau berulang-ulang sehingga diperoleh pengalaman belajar yang lengkap, (f)
membentuk kebiasaan belajar siswa menjadi lebih efektif, kritis, imajinatif,
kreatif, produktif, dan menyenangkan, (g) memanfaatkan media pembelajaran
yang ada di sekitar siswa dan melatih siswa siap menghadapi berbagai situasi
dalam perubahan, (h) melibatkan berbagai keterampilan berbahasa (menyimak,
16
berbicara, membaca, menulis, apresiasi sastra) secara terpadu, sehingga diperoleh
hasil belajar yang tuntas.
5. Ciri-Ciri Belajar Kuantum
dePorter, Reardon, dan Noruie (2002:9) memaparkan tiga hal pokok yang
menjadi ciri-ciri pembelajaran berbasis kuantum, yaitu yang berhubungan
dengan konteks, isi, dan langkah-langkah pembelajaran.
a. Konteks
Konteks ada tiga bentuk, yaitu (1) bahasa, (2) media, dan (3) lingkungan
belajar. Ketiga bentuk itu diusahakan dapat menciptakan suasana belajar
menyenangkan dan mendukung proses belajar. Bahasa yang dimaksudkan di
sini adalah bahasa guru diharapkan dapat membangkitkan semangat belajar
siswa. dePorter dkk. (2002:17) menjelaskan cara membuat suasana yang
menggairahkan, yaitu (i) guru harus menggunakan bahasa yang mampu
membangkitkan niat belajar, (ii) bahasa guru harus dapat menciptakan jalinan
rasa simpati dan saling pengertian, (iii) bahasa guru dapat menciptakan
suasana riang dan menakjubkan, (iv) bahasa guru dapat menciptakan rasa
saling memiliki, dan (v) perilaku berbahasa guru dijadikan teladan siswanya.
Intinya, bahasa guru mudah dipahami, objektif, intelektual, akrab, menarik,
penuh humor, dan banyak kata bersifat sugesti. Selain itu, muatan isi
pembicaraan harus menimbulkan multiinteraksi antarsiswa dan guru dalam
membangkitkan inspirasi dan imajinasi yang tampak dalam aktivitas
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Media adalah alat bantu pembelajaran. Ada tiga media yang dapat
digunakan pada belajar berbasis kuantum, yaitu media pandang, media
dengar, dan media pandang-dengar. Media yang digunakan dalam strategi
belajar kuantum adalah media yang dapat membantu memperlancar proses
belajar dan membantu siswa yang memiliki gaya belajar berbeda-beda. Media
pandang seperti bahan ajar/buku, majalah, surat kabar, alat-alat peraga, alat
tulis, papan tulis, gambar, dan benda-benda serta suasana yang ada di sekitar
17
lingkungan belajar. Media tersebut untuk memenuhi siswa yang lebih suka
membaca atau belajar dengan kekuatan mata. Media dengar seperti radio
kaset, pesawat radio, pesawat telepon, telepon genggam, rekaman suara
berbagai peristiwa, dan suara-suara yang ada di sekitar lingkungan belajar.
Media tersebut untuk membantu siswa yang gaya belajarnya mengandalkan
kekuatan pendengaran. Alat pandang-dengar misalnya televisi, kaset video,
VCD, DVD, CD, komputer program multimedia, pementasan, dan media
pandang-dengar di sekitar lingkungan belajar. Media itu untuk memenuhi
siswa yang gemar belajar membaca sambil menyimak sekaligus.
Lingkungan belajar yang diciptakan yaitu lingkungan belajar yang
aman, nyaman, mendukung proses belajar, santai, dan menggembirakan.
Untuk mewujudkan lingkungan seperti itu ada dua lingkungan yang harus
diciptakan, yaitu fisik dan suasana. Lingkungan fisik diciptakan dengan cara
memanfaatkan aktivitas fisik untuk belajar dalam bentuk gerakan anggota
badan seperti (membaca, menulis, menyanyikan, memerankan), membuat
perubahan tempat belajar yang sesuai, belajar dengan menggunakan berbagai
metode, permainan, dan perlombaan. Adapun lingkungan suasana adalah
terciptanya suasana yang nyaman, cukup penerangan, tersedianya media
belajar yang memadai yang di dalamnya ada unsur gambar yang bergerak,
dialog, musik, peristiwa, dan enak dipandang.
b. Isi
Isi pembelajaran berbasis kuantum adalah pembelajaran yang mengkaji
isi materi pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar. Isi materi terdapat
dalam silabus dan sistem penilaian. Silabus sudah memuat standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, indikator pencapaian, teknik
penilaian dan sumber belajar. Namun, untuk mencapai indikator pencapaian
belajar diperlukan kejelian dan kreativitas guru dalam memilih dan menentu-
18
kan isi materi pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran, dan
mengevaluasi proses dan hasil belajar sastra. Evaluasi pembelajaran bahasa
dan sastra berbasis kuantum tediri atas evaluasi proses dan evaluasi hasil
belajar. Guru mempunyai banyak waktu untuk mengevaluasi proses belajar
siswa karena model pembelajaran ini menempatkan guru berperan sebagai
fasilitator, motivator, evaluator, konselor, dan narasumber. Evaluasi proses
dilaksanakan sejak awal sampai dengan akhir pelajaran. Evaluasi proses
diperoleh melalui angket penilaian observasi. Evaluasi hasil diperoleh setelah
siswa selesai melakukan aktivitas belajar.
c. Langkah-Langkah Pembelajaran
Secara umum, langkah-langkah pembelajaran berbasis kuantum
memiliki spesifikasi terciptanya proses belajar secara individual dengan
menggunakan kebiasaan belajar yang disukai dan kebebasan menentukan
kreativitas dalam mengemukakan gagasan dengan memanfaatkan fungsi otak
kanan dan otak kiri. Di sisi lain, penerapan pembelajaran ini juga menciptakan
proses belajar sosial karena saling berbagi pengalaman dengan sesama siswa
dalam kelompok kecil maupun kelompok besar dan terciptanya diskusi kelas
antara siswa dengan guru. Langkah-langkah pembelajaran ini memberikan
peluang kepada siswa untuk memperoleh banyak pengalaman karena
aktivitas belajar yang berulang-ulang tidak pernah berhenti. Selain itu,
langkah-langkah pembelajaran ini juga menciptakan suasana belajar yang me-
nyenangkan karena siswa dapat menggunakan dan menikmati media belajar
yang lebih lengkap, menikmati karyanya, mendapat perhatian teman dan
guru, serta adanya penyaluran melalui perlombaan secara lisan maupun
tulisan.
Langkah-langkah pembelajaran berbasis kuantum menggunakan enam
langkah pokok yang dikenal dengan istilah TANDUR, yaitu tumbuhkan, alami,
namai, demonstrasi, ulangi, dan rayakan. (i) Tumbuhkan yaitu menumbuhkan
19
pemahaman dan minat siswa terhadap materi ajar/kompetensi dasar yang
dipelajari, menyugesti siswa dengan cara menjelaskan tujuan dan manfaat
belajar materi yang diajarkan bagi kehidupan siswa. (ii) Alami yaitu siswa
mengalami secara langsung sesuai dengan kegemaran siswa masing-masing
seperti menyimak rekaman atau membaca contoh-contoh teks untuk
diidentifikasi unsur-unsurnya. (iii) Namai yaitu membicarakan hasil identifikasi
unsur-unsur materi dalam diskusi kelompok. (iv) Demonstrasi yaitu siswa
mendemonstrasikan materi yang diajarkan sesuai dengan indikatornya. (v)
Ulangi yaitu memperbaiki kembali hasil belajarnya berdasarkan saran dari
teman dan guru sehingga hasil belajarnya menjadi semakin sempurna. (vi)
Rayakan yaitu aktivitas siswa dan guru untuk menilai atau memberi
pengakuan hasil kerja siswa melalui perlombaan atau publikasi hasil karyanya.
B. PEMBELAJARAN BERBASIS TEMBANG MACAPAT
1. Pengertian Belajar Berbasis Tembang Macapat
Belajar bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang macapat yaitu belajar
bahasa dan sastra Jawa bersumber pada teks dan konteks tembang macapat. Teks
pembelajaran berupa tembang macapat. Sedangkan konteksnya adalah makna dari
tembang macapat yang dipelajari. Pemilihan teks tembang macapat disesuaikan
dengan suasana peserta didik. Pembelajaran dapat dilakukan secara klasikal,
kelompok, maupun individual.
2. Tujuan Belajar Berbasis Tembang Macapat
Tujuan belajar berbasis tembang macapat ada tiga ranah, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. Tujuan pengetahuan yaitu mengenali, mengkaji,
mengapresiasi, dan menghayati bentuk dan makna tembang macapat yang
dipelajari. Bentuk tembang dapat dikaji berdasarkan nama atau judul tembang, titi
laras, jumlah larik dalam satu pada tembang, jumlah kata dalam satu larik, kosa
kata, guru lagu tembang, dan guru wilangan tembang. Adapun kajian makna dapat
ditinjau dari karakter tembang, makna, dan amanat tembang. Tujuan keterampilan
20
diarahkan pada kemampuan peserta didik menyanyikan tembang sesuai dengan
guru lagu dan guru wilangan, terampil menceritakan unsur-unsur tembang
macapat kepada orang lain, dan kemampuan mencipta tembang macapat.
Sedangkan ranah sikap, peserta didik menghayati makna dan amanat tembang
sebagai pesan moral atau pembentuk karakter atau budi pekerti yang diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Manfaat Belajar Berbasis Tembang Macapat
Belajar bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang macapat sangat
bermanfaat dalam menanamkann nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
tembang macapat yaitu (a) dapat menambah wawasan peserta didik terhadap
bahasa dan sastra Jawa; (b) dapat menambah kecintaan peserta didik terhadap
bahasa dan sastra Jawa; (c) dapat membentuk karakter dan budi pekerti peserta
didik yang sopan dan santun; (d) dapat mewarisi, mempertahankan, dan
mengembangkan bahasa dan sastra Jawa; (e) dapat membentengi masuknya
budaya asing akibat pergaulan masyarakat ekonomi asia (MEA).
4. Langkah-Langkah Belajar Berbasis Tembang Macapat
Langkah pokok pembelajaran bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang
macapat ditempuh enam tahap seperti yang terdapat dalam pembelajaran berbasis
kuantum yaitu langkah TANDUR. (a) Tumbuhkan motivasi dan pemahaman
peserta didik terhadap tembang macapat yang akan disampaikan. (b) Arahkan
siswa untuk mengalami sendiri dengan cara menyimak atau membaca contoh
tembang macapat yang dipelajari. (c) Ajaklah siswa untuk menamai hasil
pemahaman tembang yang dipelajari dalam diskusi kelompok sehingga siswa
dapat mengenali amanat atau pesan moral tembang itu. (d) Arahkan peserta didik
untuk mendemonstrasikan atau menyanyikan tembang atau mencipta tembang
macapat berdasarkan guru lagu dan guru wilangan yang benar. (e) Ajaklan siswa
untuk memperbaiki cara nembang dan atau mencipta tembang berdasarkan saran
teman atau guru. (f) Selanjutnya akhirilah pembelajaran itu dengan merayakan
hasil belajar siswa dengan pujian, nilai, tepuk tangan, atau lomba-lomba dan
pemberian hadiah yang membanggakan siswa.
21
5. Contoh Tembang Macapat
Beberapa contoh tembang macapat yang dapat dijadikan sebagai sumber
belajar bahasa dan sastra Jawa berbasis tembang macapat yaitu tembang Pucung,
Kinanthi, Gambuh, Durma, Maskumambang, Asmaradana, Mijil, Dhandhanggula,
Sinom, Pangkur, dan Megatruh. Terlampir beberapa jenis tembang macapat yang
dapat dijadikan sebagai sumber belajar bahasa dan sastra Jawa.
PENUTUP
Pembelajaran berbasis kuantum diaplikasikan dalam konteks, isi, dan
langkah TANDUR. Konteks meliputi aspek bahasa guru, media, dan lingkungan
belajar. Isi pembelajaran disesuaikan dengan kurikulum atau KTSP. Langkah
TANDUR terdiri atas enam tahapan yaitu tumbuhkan, alami, namai, demonstrasi,
ulangi, dan rayakan. Pembelajaran berbasis tembang macapat bersumber pada teks
dan konteks tembang macapat. Teks tembang dikaji untuk memperoleh
pengetahuan, sedangkan konteks tembang dikaji untuk memperoleh pendidikan
karakter dan pembentukan budi pekerti yang baik. Dua model pembelajaran
tersebut di atas dapat dijadikan sebagai model pembelajaran bahasa dan sastra
Jawa yang tepat untuk memperkuat budi pekerti peserta didik dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
DAFTAR RUJUKAN
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia SMA dan MA. Jakarta.
Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional.
dePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Business: Membiasakan
Bisnis secara Etis dan Sehat. Bandung: Kaifa. .
dePorter,B., Reardon, M., Naurie, S.S. 2002. Quantum Teaching: Mempraktikan
Quantum Learning di Ruang Kelas. Penerjemah, Ary Nilandari. Bandung:
Kaifa.
22
dePorter, B. dan Mike H. 2003. Quantum Learning. Penerjemah, Alwiyah Abdur-
rahman. Bandung: Kaifa.
Linksman, R. 2004. How to Learn Anything Quickly. New York: Barnes & Noble
Books.
Meier, Dave. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-
Hill.
Rose, C. dan Nicholl, M.J. 2003. Accelerated Learning For The 21st
Century.
Terjemahan oleh Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa.
Sagala, S. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Saryono, J. 2009. Pembelaran Kuantum sebagai Model Pembelajaran yang
Kreatif. Malang: UM Press.
Sukirno. 2009. Menulis Kreatif Wacana Narasi dengan Strategi Belajar
Akselerasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukirno. 2013. Belajar Cepat Menulis Kreatif Berbasis Kuantum. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suratno, Hadi. Suwarni. dkk. Tuntunan Sekar Macapat. Semarang: Adi Karya.
Temple, C., Ruth, N, and Nancy, B. 1988. The Beginning of Writing. Boston:
Allyn and Bacon, Inc.
Tompkins, G.E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Producct. New
York: Macmillan College Publishing Company.
Lampiran Beberapa jenis tembang macapat
PUCUNG
Ngelmu iku kalakone kanthi laku
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur
angkoro
Ilmu itu bisa tercapai karena usaha
mulainya dengan niat yang kuat
maksudnya kuat jiwa dan raganya
usaha yang baik akan membasmi yang
jahat
Bapak pucung, wader kali sodheripun,
miwah jenang sela,
kekanthening suruh gambir,
apuranta, yen wonten lepat kawula
23
MASKUMAMBANG
Adhuh nyawa putraku bocah kang sigit
lamun sira padha
diwasa ing tembe buri
den bisa wruh tata krama
DHANDHANGGULA
Luwih becik urip jaman mangkin
Kudu sregep tlaten lawan sabar
Nyangkul samubarang gawe
Sanguine ati jujur
Linambaran sruning pangesti
Tetakon aja sungkan
Mrih undhaking ngelmu
Mumpung sira maksih mudha
Upayanen aywo kongsinutuh diri
Ing mbenjang gesangira
Rama ibu tansah muji dhikir
Mrih katekan panjangkaning putra
Kasembadan sedyane
Rina wengi jinurung
Iku wajib padha den eling
Ngabekti mring wong tuwa
Njunjung asma luhur
Lubering rasa katresnan
ibu rama marang putra tanpa tandhing
Nuli walesmu apa
GAMBUH
Tuwa mudha wajib angleluri
Ngembangaken mring sekar macapat
Binudi mrih lestarine
Tetilaran kang luhur
Ngemot isi wewarah gati
Tumrap ing kautaman
Dimen nora kleru
Makarti sadina-dina
Datan wani dalan kang sisip
Mulane kawruhana
Nora kurang kesenian adi
24
Jawa Tengah kedhung ing budhaya
Maneka warna coreke
Kabeh wajib den rangkul
Yekti iku bandha kang aji
Yen pinter nggulawentah
Sumber dayanipun
Bias anyembuh kuncara
Nusantara tan keri lan manca nagri
Ngumandhang sabuana
MEGATRUH
Bareng mijil sinuson sacekapipun
tan ngetag rina lan wengi
watone anake besuk
bisa gawe marem ati
jebul malah kok mangkono
PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA, BUDAYA DI SEKOLAH DAN
MASYARAKAT SEBAGAI WUJUD STRATEGI BUDAYA MENUJU
PERADABAN DUNIA
Oleh:
Eko Santosa, S.Pd. M.Hum.
Universitas Muhammadiyah Purworejo
PENDAHULUAN
Di era global, otonomi daerah (Otda), dan gejala multikultural ini, banyak
pihak selalu meragukan terhadap eksistensi budaya tradisi, salahsatu contoh
sebagai studi kasus adalah budaya tradisi Jawa. Budaya Jawa selalu dianggap
marginal, kurang bergengsi, kolot, kurang kompetitif, dan selalu dipertaruhkan.
Hal ini dimungkinkan juga ada pada budaya tradisi daerah lainnya selain Jawa.
Bahkan seringkali, entah secara riil (blak-blakan) maupun terselubung, masih ada
yang mempertanyakan kemampuan budaya Jawa jika harus kontak dengan
percaturan budaya lain.
Kenyataan yang sulit dipungkiri itu menggejala, karena khalayak (awam)
sering memandang dengan „kacamata hitam‟ dan sebelah mata terhadap budaya
25
tradisi (Jawa). Seringkali mereka belum mengetahui esensi budaya Jawa yang
kaya akan keluhuran. Gerak jiwa dan karya lahiriah orang Jawa, yang menurut
Partokusumo (1995:109) didasari naluri: memayu hayuning sarira (memelihara
keselamatan diri), memayu hayuning bangsa, dan juga memayu hayuning bawana
(menjaga keselarasan, ketenteraman, keselamatan dunia)-mungkin kurang
menyentuh dan jarang dirujuk sebagai suatu keunggulan budaya oleh pihak lain.
Akibat dari semua itu, memang tidak terlalu salah jika “pengajaran budaya
(Jawa)” pun menjadi kurang berdampak luas. Hal ini juga diakui oleh pihak
Depdiknas, bahwa selama tiga tahun terakhir seakan-akan kita gagal dalam
membentuk budi pekerti bangsa (2000:3). Padahal, jika nation and character
building ini terabaikan cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Bangsa kita yang
selama ini dikenal berbudaya, bisa jadi kelak dituding menjadi kurang beradab.
Bagaimanakah menyikapinya?
PEMBAHASAN
1. Tradisi Kebudayaan (Jawa) sebagai strategi dalam Otonomi Daerah
Terkait permasalahan tersebut, perlu strategi yang jelas. Strategi
kebudayaan sebagai suatu sistem atau cara yang ampuh dalam menyikapi
fenomena perkembangan pendidikan dan budaya dewasa ini. Kini yang menjadi
tantangan budaya Jawa, adalah bagaimana „membuka mata‟ generasi baru dan
dunia luas agar mengangguk, salut, yakin, dan percaya. Ini jelas bukan hal yang
mudah, jika tanpa ketekunan dan proses yang mendasar. Karena itu, perlu upaya
meyakinkan dunia modern bahwa budaya tradisi (Jawa) ternyata bersifat terbuka,
luwes, lentur, toleran momot (akomodatif), dan optimistik. Perlu strategi baru
khususnya mengahadapi era otonomi daerah yang memerlukan persaingan ketat
ini, agar pihak lain mau „angkat topi‟ kalau budaya Jawa menyimpan
keistimewaan, seperti pandangan Robert J Keyle (1998), peneliti antrophologi
Australia, yang menyatakan: orang Jawa suka meredam (tidak senang konflik),
bersikap „ngalah‟ (mengalah), mawas diri, dan mengendalikan diri.
Lebih jauh lagi, perlu strategi baru agar kebudayaan (Jawa) memiliki nyali
sebagai modal pencerahan hidup manusia. Antara lain, kalau budaya tersebut
mampu menjadi komponen pencipta good governance (Nasikun, 2001:2). Ini
26
semua adalan tantangan berat, yakni bagaimana langkah strategis agar budaya
Jawa itu tidak lagi sebagai legitimasi kekuasaan, instrumen liberasi, melainkan
mampu menciptakan civil society di era global, otonomi daerah, dan multikultural.
Tantangan budaya (Jawa) di era global dan multikultural ini,
sesungguhnya bisa datang dari dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam, adalah
datang dari pemerhati budaya Jawa itu sendiri dan tantangan dari luar berasal dari
orang di luar komunitas budaya (Jawa). Misalkan saja adanya percobaan
perumusan budaya Jawa oleh „orang kita‟ yang selama ini „memojokkan‟ dan
„melemahkan‟ perlu ditinjau kembali. Seperti halnya yang terungkap dalam buku
Manusia Jawa tulisan Marbangun Hardjowirogo (1989:11-26) yang menegatifkan
budaya Jawa, yakni bersikap lamban, perasa, feodalistik, suka menggerutu,
fatalistik, dan lain-lain. Betulkah sajian semacam ini didasarkan tinjauan secara
kritis. Belum lagi ditambah dengan munculnya buku Ciri Budaya Manusia Jawa
oleh J Tukiman Taruna yang seakan-akan menganggap orang Jawa juga negatif
dalam berpikir tentang hidup dan kehidupan, seperti sikap nylekuthis, masih perlu
ditinjau ulang.
Lebih tajam lagi, Eki Syahrudin, mantan anggota Komisi VII DPR RI
menyatakan dengan getol ketika seminar bertajuk Membangun Sikap dan Perilaku
Budaya Bangsa Indonesia Abad XXI, 17 Desember 1997 di Taman Mini
Indonesia Indah – bahwa budaya Jawa yang cenderung bersifat kratonik itu sudah
kurang layak sebagai modal menyongsong abad XXI nanti. Budaya stratik itu
harus dirombak, diganti dengan budaya demokratik. Pasalnya, budaya kratonik itu
justru menghambat kemajuan dan kreativitas bangsa. Budaya semacam ini, sering
„anti kritik‟, melainkan lebih ke arah „ABS‟ (asal bapak senang) dan jilatisme.
Implementasi budaya Jawa yang kraton life dan terlalu hirarkhis itu,
menghendaki bawahan harus patuh. Bawahan harus bisa ngapurancang, tutup
mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih, jika pinjam istilah Darmanta Jatman.
Budaya ini akan „mematikan‟ prestasi. Kurang memupuk jiwa untuk berkembang
secara wajar. Memang menyakitkan sentilan tajam begitu, meskipun pada satu
sisih juga ada benarnya.
27
2. Tradisi Kebudayaan (Jawa) sebagai Kearifan Lokal
Sampai saat ini istilah kearifan lokal masih problematis,yang dimaksud
apa, kabur. Jika lokal itu etnis, daerah, kurang jelas. Etnis sendiri masih dapat
dibagi menjadi lokal-lokal lain. Orang menangkap lokal, bisa menterjemahkan hal
yang sempit secara georgafis. Katakan saja keraifan lokal Jawa. Berarti, Jawa
sebagai lokal etnis. Anehnya, kearifan yang ”dipandang” lokal, sering ada yang
mengglobal. Mondial. Hal ini tidak perlu dianggap repot. Toh akhirnya, yang
mendunia pun akarnya lokal. Maksudnya, seluruhnya berasal dari jati diri lokal.
Jika begitu, lokal bisa juga merujuk pada jati diri. Boleh-boleh saja.
Menurut hematnaya, kearifan lokal juga dari dan untuk selingkungnya.
Namun, kebermaknaan yang lokal itu sering ditarik ke batas luas. Hingga
menyebabkan yang lokal tetapi bermuatan global. Atas dasar ini, dapat saya
simpulkan kearifan lokal adalah kebijaksanaan (kawicaksanan) yang berasal dari
dan untuk lokal maupun mondial. Kearifan termaksud bersifat abadi. Kearifan itu
tulus.
Kearifan lokal, dinyatakan sebagai gumpalan makna. Di dalamnya ada
jaring-jaring makna. Di dalamnya pula ada jutaan bahkan milyaran makna. Maka,
kearifan lokal juga ibarat sumur, tak akan habis ditimba maknanya, di musim
kemarau sekalipun. Dia, menurut hemat saya memiliki sifat open interpretation.
Oleh sebab itu, sebuah kearifan lokal dapat ditafsir apa saja, menurut konteks dan
kebutuhan.
Kearifan lokal merefer pada aspek daya nalar. Karena, kata arif berarti
bijak. Bijak, memiliki daya nalar yang jernih. Orang bijak, adalah yang mampu
berpikir dengan nalar sempurna. Sebagai misal, andai kata pemerintah mengadili
pencuri ayam dengan koruptor milyaran adil, berarti bijak (arif). Sebaliknya, jika
pengadilan terkesan emban cindhe emban siladan, artinay tak arif.
Dalam kearifan lokal terkenadung local genius. Bahkan, tak diragukan lagi
local emotional-nya. Itulah pemikir yang menggunakan konsep ‟nalapadhanga”.
Misal, seorang A (pegawai bank) diminta mengisi kamar yang penuh apa saja,
jika dipenuhi dengan uang ratusan ribu ditata miring – orang itu tak bijak, karena
instrumentalis. Orang lain seorang B (petugas pengairan), mungkin akan mengisi
28
kamar dengan air, penuh, juga kurang bijak, karena lebih materialis. Sementara
yang lain C (dukun), akan mengambil lampu 40 watt, teranglah kamar itu.
Mindset yang dibangun sang spiritualis, cenderung menggunakan inteligensi
spiritualis.
Apapun yang mereka gunakan dalam mengambil kebijakan, sah-sah saja.
Yang penting, efesiensi dan efektivitas semestinya dipegang oleh orang arif.
Orang yang arif, memang wicaksana. Dalam bertindak, biasanya penuh
pertimbangan. Hal ihwal kearifan ini, sebenarnya telah include dalam budaya
Jawa. Pijar-pijar kearifan lokal Jawa, telah lekat di benak orang Jawa. Sayangnya,
banyak pihak masih belum mau tahu tentang hal ini.
Kearifan lokal Jawa, amat banyak macamnya. Sendi-sendi hidup orang
Jawa, hampir semuanya berupa kearifan lokal. Tak sedikit orang Jawa yang
memiliki bundhelan (bothekan), memuat kearifan lokal. Masalahnya, memang
ada kearifan lokal yang semestinya ditinjau ulang. Jangan-jangan kearifan lokal
termaksud sudah tidak sesuai dengan jaman. Misalkan saja, ungkapan alon-alon
waton klakon, masih relevankah? Paling tidak, jika kurang relevan, tentu
membutuhkan penafsiran kembali. Kecuali itu, masalahnya merasakah kita
memiliki kearifan lokal yang demikian indah dan kaya itu. Jika ya, implementasi
bagaimana. Jangan-jangan sekedar dilisankan atau ditulis sebagai prasasti hidup,
sayang sekali. Oleh karena, tanpa ada niat tulus untuk mengimplimentasikan
kearifan itu dalam hidup utuh, sia-sia. Jadi sampah, bukan? Nyaris seperti
‟kotoran kuda‟ di aspal jalan raya. Jadi kearifan-kearifan lokal sangatlah penting
sebenarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan identitas dan
jatidiri bagi bangsa secara nasional, karena kearifan-kearifan lokal itulah yang
membuat suatu budaya bangsa memiliki akar (Suminto A Sayuti, 2005).
Sumber-sumber kearifan lokal yang ada dalam tradisi dan budaya
masyarakat Jawa antara lain berupa ungkapan, tuturan, ajaran, pepiridan, unen-
unen, dan lain-lainnya perlu diidentifikasi dan diintrepretasi;Dari bahasa dan
sastra Jawa benyak terkandung nilai-nilai luhur: tentang kejiwaan, kepercayaan,
keyakinan dan spiritualitas (aspek Ketuhanan Yang Maha Esa), kebersamaan,
toleransi, rela berkorban, dan semangat 'mamayu hayuning sasama' (aspek
29
Kemanusiaan yang adil dan beradab), semangat cinta tanah air, dan 'mamayu
hayuning nusa Bangsa' (aspek Persatuan Indonesia), semangat rela berkorban,
'sepi ing pamrih rame ing gawe' (aspek Kerakyatan), 'adil paramarta, 'sing sapa
salah seleh' (aspek Keadilan). Hasil identifikasi terhadap kearifan lokal yang ada
perlu dikaji dan diintrepretasi agar menjadi sumber inspirasi untuk memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan dalam rangka mewujudkan ketahanan budaya dan
ketahanan Bangsa; Masyarakat Jawa sebagai kelompok mayoritas memiliki
peranan yang cukup besar dalam memberdayakan nilai-nilai dan kearifan lokalnya
dalam mewujudkan persa-tuan dan kesatuan bangsa berdasarkan makna Bhineka
Tunggal Ika. Kearifan lokal perlu diaktualisasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui upaya-upaya nyata di berbagai aspek,
kehidupan (hasil KBJ IV Semarang, 2006).
3. Upaya Pelestarian dan Pengembangan kritis Kebudayaan (Jawa).
Upaya pengembangan kritis kebudayaan dapat dicontohkan sbb:
1. Sarasehan tingkat lokal /daerah melalui bincang budaya bahasa dan sastra
Jawa, talk show bahasa dan sastra Jawa disiarkan melalui Televisi lokal
ataupun Nasional. Lokal contohnya Yogya TV, TATV Surakarta, JTv Jawa
Timur, Tv banyumas, TVRI Yogyakarta, TVRI Semarang, TVRI Surabaya.
2. Konferensi Bahasa Jawa tingkat Nasional, dengan mengundang pakar-pakar di
bidang bahasa dan sastra Jawa, sastrawan, budayawan, seniman lokal, seniman
daerah, seniman-seniman luar daerah, wartawan, guru-guru dan profesional
lain dari tiga propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY, dan siapa saja yang
peduli ikut berpartisipasi dalam pelestrian dan pengembangan bahasa dan
sastra Jawa.
3. Kongres bahasa Jawa tingkat Internasional dengan mengundang pakar luar
negeri dan dalam negeri. Pakar dari dalam negeri yakni mengundang peserta
yang ahli/ pakar di bidang bahasa dan sastra Jawa, sastrawan, budayawan,
seniman lokal, seniman daerah, seniman-seniman luar daerah, swartawan,
guru-guru dan profesional lain dari tiga propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan DIY, dan siapa saja yang peduli ikut berpartisipasi dalam pelestrian dan
30
pengembangan bahasa dan sastra Jawa, sedangkan dari peserta luar negeri
mengundang negara-negara yang ada seperti; Inggris, Jepang, Belanda,
Amerika, Canada, Suriname, Malaysia, Australia, Spanyol, Portugal, China
atau negara lainnya yang mempunyai kompeten peduli pada bidang sastra,
bahasa bahkan budaya di Jawa.
4. Koordinasi Bahasa dan Sastra Jawa antar propinsi (Jateng, DIY, Jatim) dengan
membuat rancangan kegiatan lomba, festival dan gelar seni bahasa dan sastra
Jawa seperti macapat, geguritan, drama Jawa, pranatacara medharsabda dan
nyandra, antawacana dhalang dan lainnya dengan membuat ketetapan bergilir
dalam penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan, pengembangan pelestarian
bahasa dan sastra Jawa ini.
5. Pembuatan Ensiklopedia Bahasa dan Sastra budaya Jawa dengan
pendokumentasian rapi semua kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian dan
pengembangan bahasa dan sastra Jawa dan menyusun panduan yang dibuat
buku, majalah dan pendataan dan pengelompokan semua ragam kegiatan yang
menyangkut bahasa dan sastra budaya Jawa.
6. Eksplorasi naskah kuna Bahasa Jawa dengan menyalin kembali naskah-naskah
kuna Jawa dengan transliterasi dan terjemahan, dibuat buku, majalah dan
hasilnya disebarluaskan pada kalangan profesional baik akademis maupun
nonakademis sebagai bahan materi pembelajaran bahasa dan sastra budaya
Jawa.
7. Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Jawa dengan mengundang pakar luar
negeri dan dalam negeri. Pakar dari dalam negeri yakni mengundang peserta
yang ahli/ pakar di bidang bahasa dan sastra Jawa, sastrawan, budayawan,
seniman lokal, seniman daerah, seniman-seniman luar daerah, wartawan, guru-
guru dan profesional lain dari tiga propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
DIY, dan siapa saja yang peduli ikut berpartisipasi dalam pelestrian dan
pengembangan bahasa dan sastra Jawa, sedangkan dari peserta luar negeri
mengundang negara-negara yang ada seperti; Belanda,Suriname, Malaysia,
Australia, Spanyol, Portugal, China atau negara lainnya yang mempunyai
kompeten peduli pada bidang sastra, bahasa bahkan budaya di Jawa.
31
8. Penciptaan Javanese day (pembiasaan penggunaan bahasa Jawa krama bagi
instansi/institusi pemerintah dapat dilaksanakan tiap minggu, bulan tertentu
minimal satu bulan dua atau tiga kali, kemudian tiap memperingati hari jadi
kota Yogyakarta, hari bahasa Ibu di dunia).
9. Pembuatan kebijakan penyeragaman penggunaan bahasa Jawa tiap
memperingati hari jadi DIY atau hari bahasa Ibu, peringatan bulan bahasa,
setiap satu bulan sekali, setiap penyelenggaraan sarasehan, semiloka, seminar,
workshop atau talkshow bahasa dan sastra Jawa.
10. Pertukaran sastrawan dan budayawan antar propinsi atau tiga propinsi Jateng,
DIY, Jatim dengan pengadaan sarasehan, semiloka, seminar, workshop atau
talkshow bahasa dan sastra Jawa.
11. Penerbitan/ penyebarluasan media masa/ majalah berbahasa Jawa
(pemanfaatan media djoko lodhang, sempulur, Penyebar Semangat, Mekar
Sari kalau masih ada, koran-koran seperti Bernas Radar Yogya, Kedaulatan
Rakyat) dan lainnya.
12. Kursus-kursus dan pelatihan bahasa Jawa bagi (pemandu wisata, orang
asing/public figure, kalangan ekonom, kalangan akademis, kalangan
nonakademis lain yang berminat/ berkeinginan belajar seni, bahasa, sastra dan
budaya Jawa.
13. Safari Macapat antar hotel sebagai media penarik wisata budaya Jawa
(pementasan, pertunjukan tembang Jawa baik macapatan maupun sekar
gendhing Jawa dengan kolaborasi gamelan Jawa dan selingan-selingan
geguritan Jawa).
14. Penyiaran kegiatan bahasa dan sastra dan budaya Jawa melalui media
elektronik dan media cetak (pemanfatan stasiun televisi untuk menyiarkan
kegiatan yang berkaitan bahasa, sastra dan kebudayaan Jawa seperti Yogya
TV, TATV Surakarta, Tv Banyumas, Tv Jawa Timur,TVRI Yogyakarta,
TVRI Semarang, TVRI Surabaya, bila perlu disebarluaskan melalui stasiun
TV swasta lain seperti TansTV,TVOne, Indosiar, MetroTV dan lainnya).
15. Pembuatan situs website bahasa dan sastra Jawa; dilakukan dengan
memanfatkan beberapa website sebagai media pembelajaran bahasa dan
32
sastra Jawa, situs-situs yang sudah ada dapat dimanfaatkan dalam
pembelajaran bahasa.
KESIMPULAN
Akhirnya, jika nilai tradisi budaya (Jawa) bisa dibangun melalui kearifan
lokal yakni dengan persepsi nilai-nilai keberagaman daerah di nusantara sebagai
ejawantahan bhineka tunggal ika, tersebut berhasil ditanamkan lewat optimalisasi
pendidikan, penanaman kemandirian budi pekerti yang berfungsi mencerdaskan
bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam
kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya ke depan dapat membangun
bangsa dengan memanfaatkan sumber daya manusia. Ini dapat terwujud tentunya
juga perlu memandang bahwa Modernisasi perlu juga sebagai kebutuhan
pembangunan tanpa meninggalkan tradisi budaya lokal,perlu dikembangkan pula
penanaman budi pekerti melalui multimedia elektronik, Optimalisasi peranan pers
sebagai media efektif membangun jatidiri bangsa, dan juga perlu penekanan
penanaman cinta budaya nusantara melalui pendidikan akan memperkuat
membantu menciptakan karakteristik dan jati diri bangsa Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Endraswara, Suwardi. 2006. “Paradoksal, Kotak Hitam, Klobotisme, Dan Perda
Bahasa Jawa” Semarang: Suara Merdeka, Minggu.
___________. 2007. Pemberdayaan Aksara, Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan
Jawa di Propinsi DIY. Yogyakarta: Dinasbud.
___________. 2008. “Rancangan Program Pengembangan Kebudayaan tahun
2010-2013. Yogyakarta: Dinasbud.
___________. 2008. “Pengembangan Nilai Budaya”, proposal. Yogyakarta:
Dinasbud.
___________. 2007. Peraturan Mendagri Nomor 40 tahun 2007. Jakarta:
Depdagri.
___________. 2008. “Program Kegiatan Seksi Bahasa Jateng”. Semarang:
Dinasbud.
33
___________. 2007. “Pemasyarakatan Bahasa dan Sastra Balai Bahasa
Surabaya”. Surabaya: Balai Bahasa.
Hardjowirogo. 1989. Manusia Jawa. Jakarta: Masagung.
Keyle, Robert, J. 1998. “Kekuasaan dan Kebijaksanaan Jawa”. Atmajaya:
Makalah Diskusi Budaya.
Nasikun, J. “Strategi Kebudayaan di Era Otonomi Daerah” Yogyakarta: Makalah
Lokakarya Puat Studi Budaya UNY, 24-25 September.
Partokusumo, Kamajaya Karkono. 1995. Perpaduan Kebudayaan Jawa dan
Islam. Yogyakarta: IKAPI.
Prasetya, Nur. 2008. “Strategi Budaya Kompetitif Menuju DIY Pusat Studi
Budaya Terkemuka”. Yogyakarta: Dinasbud.
Sujamto. 1982. Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan.
Semarang: Effhar & Dhahara Prize.
Sayuti, Suminto A.2005. “Menuju Situasi Sadar Budaya: Antara Yang Lain dan
Kearifan Lokal”. Yogyakarta: Artikel Ilmiah 24 Februari 2005.
Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto, 2005. Teori-teori kebudayaan, Yogyakarta:
Kanisius.
34
(TANGGAP) ING SASMITA AMRIH LANTIP DALAM
SERAT WULANGREH: SUATU KAJIAN PRAGMA-SEMIOTIK
Oleh:
Aris Wuryantoro
IKIP PGRI Madiun
Abstrak
Tanggap ing sasmita merupakan tembung atau tuturan lama yang sudah turun
temurun dan masih sangat diperlukan dalam kehidupan saat ini terutama dalam
era pasar bebas dengan berbagai macam informasi untuk berkomunikasi. Tanggap
sasmita amrih lantip merupan salah satu tembung dalam tembang Serat
Wulangreh yang ditulis oleh Sri Paku Buwana IV (PB IV) yang sangat fenomenal.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis Serat Wulangreh karya Sri Paku
Buwana IV khususnya pada tembang Kinanti 1 dengan pendekatan pragmatik dan
semiotik. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan
simak catat yang bersumber pada dokumen tembang Kinanti 1 karya Sri Paku
Buwana IV. Hasil analisis menunjukkan bahwa tembung “tanggap ing sasmita
amrih lantip” dalam Serat Wulangreh sarat akan tuturan yang menunjukkan
adanya piwulang (pengajaran) kompetensi pragmatik dan semiotik baik untuk
penutur maupun mitra tutur.
35
Kata kunci: tanggap ing sasmita, kompetensi, pragmatik, semiotik
PENDAHULUAN
Dengan masuknya Indonesia dalam pasar bebas Asia Tenggara atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka semua sendi-sendi kehidupan
masyarakat dalam negara anggota ASEAN akan bergerak bebas tak terkecuali
dengan arus informasi yang melibatkan banyak komunikasi. Komunikasi
merupakan sarana vital dalam pergaulan pasar bebas baik secara individu ataupun
institusi. Para pihak yang terlibat dalam komunikasi, penutur dan petutur,
hendaknya harus saling mengerti apa yang dimaksudkan oleh penutur meskipun
tuturan tersebut secara tidak langsung yang diwujudkan dalam tanda-tanda
tertentu (tanggap ing sasmita).
Tanggap ing sasmita (mengerti dalam tanda-tanda) merupakan tembung
atau tuturan yang adiluhur dari nenek moyang kita yang masih sangat ampuh
khasiatnya dan tidak menggurui bagi petutur. Tanggap ing sasmita merupakan
ajakan kepada kita agar kita selalu respon terhadap semua tanda atau gejala-gejala
yang ada di sekitar kita, baik gejala yang kentara atau pun tidak, gejala yang
dilambangkan atau dituliskan atau diucapkan. Tuturan tanggap ing sasmita
dimunculkan oleh si penutur kepada petutur agar si petutur tidak mendapatkan
kesulitan atau masalah dalam berbagai hal, terutama dalam berkomunikasi dengan
pihak asing atau orang penting. Karena dengan tanggap ing sasmita, petutur dapat
menangkap semua maksud dalam informasi yang diberikan oleh si penutur
sehingga tidak terjadi salah pengertian (misunderstanding).
Tuturan tanggap ing sasmita dapat kita temukan dalam tembang Jawa,
Kinanthi yang ada dalam Serat Wulangreh karya Sri Paku Buwana IV. Serat
Wulangreh merupakan salah satu karya dari Sri Paku Buwana IV yang paling
familiar dalam masyarakat Jawa (bahkan kalangan akademik) karena banyak
ajaran-ajaran moral dalam serat yang diperhatikan oleh masyarakat Jawa, bahkan
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari (Purwadi, 2007:82). Sri Paku Buwana
IV dikenal dengan sebutan Sunan Bagus adalah putra dari Sri Paku Buwana III
dengan Gusti Ratu Kencana yang lahir pada tanggal 18 Rabiul Akhir 1694 Saka
36
(2 September 1768 Masehi) dan wafat pada tanggal 25 Besar 1747 Saka (2
Oktober 1820 Masehi).
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pragmatik
Levinson (1983) menyatakan bahwa pragmatics is the study of the
relation between language and context that are basic to an account of language
understanding. berdasarkan dari pernyataan tersebut bahawa ada untuk
memahami makna bahasa (komunikasi) ada hubungan yang sangat erat antara
bahasa dan konteks. Dalam memahami makna bahasa, penutur atau mitra tutur
dituntut untuk tidak saja mengetahui makna kata dan hubungan gramatikal
antarkata namun juga mampu menarik simpulan yang menghubungkan antara
bahasa dan konteks yang ada. Di sisi lain, Leech (1983) mengungkapkan bahwa
one cannot really understand the nature of language itself unless he understands
pragmatics, i.e. how language is used in communication. Menurut Leech
pemahaman pragmatik dalam mempelajari bahasa terutama dalam berkomunikasi
sangat penting. Pragmatik adalah pengetahuan tentang bagaimana bahasa
digunakan dalam berkomunikasi. Pemahaman pragmatik sangat berperan dalam
penyampaian maksud penutur dapat diterima dengan baik oleh mitra tuturnya.
Dari dua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memahami
komunikasi melalui bahasa diperlukan kemampuan pragmatik. Pragmatik sangat
dipengaruhi oleh bahasa itu sendiri dan konteks yang menyertainya. Peran
konteks ini memungkinkan mitra tutur dalam mendapatkan makna yang harus
diinterpretasikan dan juga mendukung interpretasi yang dimaksudkan. Menurut
Joan Cutting (2002:3-15) ada tiga tipikal konteks, yaitu: (1) konteks situasional
ialah konteks mengenai apa yang penutur ketahui tentang apa yang dapat dilihat di
sekelilingnya, atau situasi di mana interaksi terjadi pada saat tuturan terjadi; (2)
konteks pengetahuan mempunyai dua macam, yaitu konteks pengetahuan umum
budaya dan pengetahuan antarpersonal. Konteks pengetahuan umum budaya
adalah pengetahuan yang dimiliki dalam pikiran seputar kehidupan manusia
37
secara umum. Konteks pengetahuan antarpersonal adalah pengetahuan yang
dimiliki personal melalui interaksi verbal sebelumnya atau bersamaan aktivitas
dan pengalaman; dan (3) konteks ko-teks adalah konteks seputar teks itu sendiri,
meliputi kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Bicara pragmatik, bahasa dan konteks, artinya bicara tindak tutur. Austin
(dalam Cutting, 2002:16) mendefinisikan tindak tutur sebagai tindakan yang
dilakukan dalam menyatakan sesuatu. Tindakan yang dilakukan ketika ujaran
dihasilkan dapat dianalisis dengan tiga tingkatan yang berbeda. Austin membagi
tindak tutur menjadi tiga tingkatan, yaitu: (1) locutionary act, tuturan yang
menentukan makna yang diujarkan yang dipengaruhi oleh pengalaman dari
penutur; (2) illocutionary act, tuturan yang ditujukan terhadap mitra tutur untuk
melakukan suatu hal, dan (3) perlocutionary act, tindakan yang dilakukan oleh
mitra tutur sesuai tujuan yang dimaksudkan oleh penuturnya (speaker).
Di sisi lain, Searle (dalam Cutting, 2002:16-17) mengklasifikasi tindak
tutur menjadi lima macam, yaitu: (1) tindak tutur deklaratif, kata atau ungkapan
yang mengubah dunia melalui ujarannya, seperti pernyataan, pengumuman atau
kesaksian; (2) tindak tutur representatif, tindakan di mana kata-kata yang
menyatakan bahwa penutur percaya pada kejadian tersebut, misalnya penjabaran,
penuntutan, dugaan dan penegasan; (3) tindak tutur komisif, mencakup tindakan-
tindakan di mana kata-kata membuat penutur untuk melakukan suatun tindakan,
misalnya perjanjian, penawaran, ancaman dan penolakan; (4) tindak tutur direktif,
mencakup tindakan di mana kata-kata ditujukan untuk pada mitra tutur untuk
melakukan sesuatu, seperti perintah, permintaan, undangan, larangan, anjuran,
dsb; dan (5) tindak tutur ekspresif, meliputi tindakan di mana kata-kata
menyatakan apa yang penutur rasakan, misalnya permohonan maaf, penghargaan,
ucapan selamat dan penyesalan.
Celce-Murcia et al. (1995) mengungkapkan bahwa ada lima komponen
dalam kompetensi komunikatif yang terdiri dari: (a) kompetensi wacana
(discourse competence) yakni kompetensi yang berhubungan dengan pemilihan,
pengurutan, dan penyusunan kata, struktur; (b) kompetensi linguistik (linguistic
competence) terdiri dari elemen dasar komunikasi., seperti jenis dan pola kalimat,
38
struktur pembentuk, infleksi morfologis, dan suberleksikal; (c) kompetensi
aksional (actional competence) berhubungan erat dengan pragmatik antarbahasa
(interlanguage pragmatics) merupakan kompetensi dalam pengalihan dan
pengetahuan komunikatif yang dimaksudkan, yakni kecocokan antara tindakan
dan bentuk linguistik yang berdasarkan pada pengetahuan dari inventaris skemata
verbal yang mencakup tindakan ilokusioner; (d) kompetensi sosiokultural
(sociocultural competence) mengacu pada pengetahuan pembicara bagaimana
mengungkapkan pesan secara tepat dalam konteks sosial budaya dari komunikasi;
dan (e) kompetensi strategik (strategic competence) meliputi tiga fungsi strategi
penggunaan dari tiga perspektif yang berbeda (psikolinguistik, interaksional, dan
kontinuitas komunikasi).
2. Kompetensi Pragmatik
Kompetensi pragmatik menurut Baron (2003), . . . is understood as the
knowledge of the linguistic resources available in a given language for realising
particular illocutions, knowledge of the sequential aspects of speech acts, and
finally, knowledge of the appropriate contextual use of the particular language's
linguistic resources." Dalam kompetensi pragmatik ada tiga pengetahuan yang
harus dikuasai oleh pengguna bahasa, yaitu pengetahuan sumber linguistik (baca
bahasa) untuk mewujudkan ilokusi (makna yang maksudkan) si penutur,
pengetahuan rentetan aspek-aspek tindak tutur yang ada, dan pengetahuan
penggunaan kontekstual dari sumber linguistiknya bahasa tertentu secara tepat.
Kompetensi pragmatik merupakan salah satu kompetensi komunikatif
yaitu kompetensi aksional yang mengacu pada tindakan dan bentuk linguistik
(informasi) yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk diketahui dan
selanjutnya untuk dilaksanakan seperti yang dimaksudkan oleh penutur tanpa
harus memberi penjelasan secara gamblang (eksplisit) agar tidak terjadi
kesalahpahaman (misunderstanding) di antara penutur dan mitra tuturnya.
3. Semiotik
39
Saussure (1916) menyatakan,“Language is a system of signs that express
ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf-
mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. But it is the most
important of these systems. A science that studies the life of signs within society is
conceivable;.....I shall call it semiology (from the Greek semeion, 'sign')”. Dari
pernyataan di atas menunjukkan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang
mengungkapkan gagasan terutama dalam kehidupan masyarakat yang dapat
dipahami. Ilmu pengetahuan untuk mengkaji tentang tanda disebut semiologi yang
berasal dari bahasa Latin, semeion, yang artinya tanda. Semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tanda.
Menurut Saussure semiotik dibagi menjadi dua, yaitu penanda (signifier)
dan tertanda (signified). Penanda merupakan wujud fisik dapat dikenal secara
langsung, sedangkan tertanda adalah makna yang dapat terungkap melalui konsep,
fungsi atau nilai-nilai yang terkandung dalam wujud fisik tersebut. Eksistensi
semiotika adalah hubungan antara penanda dan tertanda berdasarkan konvensi,
sering disebut dengan signifikasi.
Barthes juga membagi semiotik menjadi dua tingkatan penandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan yang
menjelaskan hubungan antara penanda dan tertanda pada realitas yang
menghasilkan makna eksplisit, makna tersurat. Konotasi adalah tingkat penandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan tertanda yang di dalamnya beroperasi
makna implisit, makna tersirat. Secara garis besar semiotika digolongkan menjadi
tiga konsep dasar, yaitu: (1). Pragmatik semiotik (semiotic pragmatic)
menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya
dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan dalam batas perilaku subjek; (2).
Sintaktik semiotik (semiotic syntactic) menguraikan tentang kombinasi tanda
tanpa memperhatikan ‟maknanya‟ ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek.
Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh bagi subjek yang
menginterpretasikannya; dan (3). Sematik semiotik (semiotic sematic)
menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‟arti‟ yang
40
disampaikan (Sumber:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16803/4/
Chapter %20II. Pdf).
PEMBAHASAN
Tembang Kinanti merupakan salah satu tembang Macapat yang ada dalam
Serat Wulangreh karya PB IV dan merupakan karya yang sangat fenomenal
terutama bagi masyarakat Jawa. Pada kajian ini, penulis menyoroti tembang
Kinanti pupuh (bait) 2 dan 3 yang dibahas di bawah ini.
Kinanti
(Pupuh 2)
padha gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesthi
pesunen saliranira sudanen dhahar lan guling
Terjemahan versi penulis
mari kita melatih dalam hati dalam isyarat agar pintar jangan hanya makan tidur keberhasilan harus diraih
kerjakan dengan sepenuh hati kurangi makan dan tidur
Secara garis besar, tembang Kinanti di atas memiliki tiga tuturan yang
saling terkait satu sama lain. Namun karena pakem tembang Kinanti harus
mengikuti guru lagu dan guru wilangan , maka tiga tuturan tersebut dipecah
menjadi enam baris. Adapun tiga tuturan tersebut adalah padha gulangen ing
kalbu – ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra – kaprawiran den
kaesti, dan pesunen saliranira – sudanen dhahar lan guling. Perhatikan uraian di
bawah ini.
Baris pertama dan kedua sebenarnya merupakan satu tuturan, padha
gulangen ing kalbu dan (padha gulangen) ing sasmita amrih lantip yang arti
harfiahnya adalah adalah mari kita melatih dalam hati dan melatih dalam
41
isyarat agar pintar. Kata gulangen memiliki makna berlatih agar menjadi
terampil, sedangkan kata kalbu memiliki makna jiwa atau rasa. Sementara kata
sasmita bermakna isyarat atau tanda baik yang jelas ataupun tanda yang samar-
samar dan kata lantip memiliki makna pandai atau pintar.
Memang tuturan padha gulangen ing kalbu dan (padha gulangen) ing
sasmita amrih lantip memiliki makna secara ekplisit (lokusioner) ajakan mari kita
melatih dalam hati dan melatih dalam isyarat agar pintar. Namun apabila kita
kaji, tuturan tersbut memiliki makna jauh lebih dalam dan berbobot. Makna yang
tersembunyi dari tuturan ini adalah marilah kita mengasah hati, jiwa ataupun
rasa kita dan mengasah rasa tanggap (sense of response atau sense of crisis)
terhadap isyarat atau tanda-tanda agar kita menjadi orang yang waskita (pandai
lagi bijaksana). Artinya, hendaknya kita melatih hati, jiwa dan rasa kita serta
melatih rasa tanggap terhadap tanda-tanda atau isyarat apapun agar kita
menjadi orang yang pandai dalam bersikap dan bijaksana dalam tindakan.
Baris ketiga dan keempat adalah tuturan aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesthi yang memiliki makna harfiah jangan hanya makan dan
tidur, keberhasilan harus diraih. Tuturan mangan nendra tidak hanya bermakna
makan dan tidur, namun memiliki makna yang jauh lebih dalam. Yang dimaksud
dengan kata mangan di sini adalah makan-makan atau foya-foya, menghambur-
hamburkan uang di jalan yang tidak benar, hanya bersenang-senang, seperti
dugem dan tempat maksiat. Sedangkan kata nendra tidak hanya bermakna tidur
namun dapat juga bermakna terlena, bermalas-malasan, mengulur-ulur waktu,
santai dan tidak disiplin.
Kata kaprawiran secara harfiah bermakna keberanian (kekendelan),
namun sesuai dengan konteks yang ada, kata kaprawiran dapat bermakna
keberhasilan karena didukung dengan kata den kaesthi yang secara harfiah
bermakna yang dituju atau tujuan. Menurut hemat penulis, tuturan aja pijer
mangan nendra kaprawiran den kaesthi memiliki makna jangan hanya makan
dan tidur, keberhasilan harus kita raih. Dengan kata lain, untuk meraih
42
keberhasilan atau kesuksesan harus dilakukan dengan kerja keras dan sungguh-
sungguh serta disiplin, tidak hanya bermalas-malasan serta berfoya-foya
menghambur-hamburkan uang dan membuang-buang waktu percuma.
Pada baris kelima dan keenam, tuturan pesunen saliranira – sudanen
dhahar lan guling memiliki arti harfiah kerjakan dengan sepenuh hati – kurangi
makan dan tidur. Kata guling merupakan simbol dari tidur karena guling (bantal
panjang) merupakan perlengkapan untuk tidur, ataupun kata guling (berguling)
yang artinya tiduran begitu juga dengan dhahar yang artinya makan. Namun
apabila ditilik secara konteks, tuturan pesunen saliranira – sudanen dhahar lan
guling memiliki makna yang jauh lebih dalam (illokusioner), yaitu hendaknya diri
kita harus bekerja sungguh-sungguh dan harus disertai prihatin, berani
meninggalkan gemerlapnya dunia.
Tembang Kinanti di atas apabila dikaji lebih jauh memiliki makna yang
adiluhur dan sudah sangat maju karena banyak mengandung kompetensi
komunikatif, khususnya kompetensi pargamatik dan semiotik. Makna
keseluruhan dari tembang tersebut adalah Apabila Memang tuturan padha
gulangen ing kalbu dan (padha gulangen) ing sasmita amrih lantip memiliki
makna secara ekplisit (lokusioner) ajakan mari kita melatih dalam hati dan
melatih dalam isyarat agar pintar. Namun apabila kita kaji, tuturan tersebut
memiliki makna jauh lebih dalam dan berbobot.
Makna yang tersembunyi dari tembang tersebut adalah marilah kita
mengasah hati, jiwa ataupun rasa kita dan mengasah tanggap terhadap isyarat
atau tanda-tanda agar kita menjadi orang yang waskita (pandai lagi bijaksana);
untuk meraih keberhasilan atau kesuksesan harus dilakukan dengan kerja keras
dan sungguh-sungguh serta disiplin, tidak hanya bermalas-malasan serta
berfoya-foya menghambur-hamburkan uang dan membuang-buang waktu
percuma; dan hendaknya diri kita harus bekerja sungguh-sungguh dan harus
disertai prihatin, berani meninggalkan gemerlapnya dunia.
43
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tembang Kinanti
dengan lirik padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer
mangan nendra, kaprawiran den kaesthi, pesunen saliranira, dan sudanen
dhahar lan guling banyak mengandung unsur-unsur atau kompetensi pragmatik
dan semiotik. Tuturan yang ada dalam lirik merupakan tindak tutur lokusioner
yang harus dicerna lebih jauh oleh mitra tutur (pembaca) karena tuturan
tersebut memiliki makna yang tersirat (ilokusioner). Agar maksud yang ada
dalam tuturan lokusioner sampai ke mitra tutur secara utuh dari penutur (PB IV),
maka kita harus memiliki kompetensi pragmatik yang memadai. Begitu juga
dengan tanda-tanda atau isyarat-isyarat yang ada dalam lirik tembang Kinanti
tersebut sangat banyak, seperti kalbu, lantip, mangan, nendra, dhahar dan
guling. Dengan belajar tembang Kinanti ini kita dapat banyak belajar kompetensi
pragmatik dan semiotik agar kita dapat menjadi orang yang tanggpa ing sasmita,
dalam artian kira memiliki rasa peduli (tanggap) yang tinggi pada isyarat atau
fenomena-fenomena yang ada di masyarakat kita agar kita menjadi orang yang
pandai lagi bijaksana.
DAFTAR RUJUKAN
Barron, Anne. 2003. Acquisition in Interlanguage Pragmatics: Learning How to
Do Things With Words in a Study-Abroad Context. London: John
Benjamins
Celce - Murcia, M, Z. Dornyei, dan S. Thurrell. 1995. Communicative
Competence: A Pedigogically Motivated Model with Content
Specifications. Issues in Applied Linguistics 6/2, pages 5-35.
Leech, G. N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Levinson, S. C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16803/4/Chapter%20II. Pdf
(diakses tanggal 15 Maret 2016).
http://www.pesantrenglobal.com/serat-wulangreh-susuhunan-pakubuwono-iv/
44
MEMASYARAKATKAN KANDUNGAN ISI NASKAH JAWA KLASIK
SEBAGAI BENTUK IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Oleh:
R. Adi Deswijaya, S.S., M.Hum.
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, FKIP, Univet Sukoharjo
Abstrak
Arus globalisasi begitu derasnya masuk dan mempengaruhi seluruh lini
kehidupan bangsa kita (sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan sebagainya).
Tidak semua arus globalisasi mendatangkan dampak positif bagi kehidupan kita,
melainkan pula mendatangkan dampak negatif bagi perkembangan bangsa.
Perlunya sebuah tatanan yang mengawasi masuknya mobilitas dunia yang
45
semakin tak terkendali ini. Lingkungan pendidikan tak henti-hentinya
menyerukan adanya pendidikan budi pekerti di setiap mata pelajaran di sekolahan
ataupun mata kuliah di tingkat akademisi. Penyeruan adanya pendidikan budi
pekerti seperti ini sebenarnya sudah lama ada di dunia Jawa, khususnya di dalam
dunia pernaskahan Jawa. Raja, pujangga maupun pihak-pihak terdekat dari
lingkungan kerajaan telah berulangkali menyerukan tentang pendidikan karakter
melalui hasil karyanya yang berupa naskah Jawa Klasik. Hal ini dikarenakan
pengikisan moral yang melanda tidak hanya terjadi pada jaman seperti sekarang
ini, melainkan jaman dahulu pun pernah terjadi pergolakan moral. Jika kita arif
dan mau membuka kembali naskah-naskah Jawa Klasik tersebut, akan besar
faedahnya bagi kehidupan kita untuk menanggulangi berbagai bentuk pengikisan
moral di era globalisasi seperti jaman sekarang ini. Wasiyat Dalêm Kangjêng
Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara Kaping 3, Sêrat Kandha Cetha,
Sêrat Jalma Suyatna, Sêrat Wulang Rèh, Sêrat Bagawadgita, dan Sêrat
Kridhawasita merupakan sebagian contoh dari kebanyakan naskah-naskah
wulang yang beredar di dunia Jawa yang sepantasnya dapat kita jadikan contoh
ajarannya sebagai pegangan hidup kita di jaman serba android serta dalam rangka
menyongsong pasar bebas MEA.
kata kunci : pendidikan budi pekerti, naskah Jawa klasik.
PENDAHULUAN
Masuknya pengaruh asing ke dalam semua lini bidang kehidupan yang
tidak dapat diduga-duga dan tidak dapat diprediksi kecepatannya, telah
melunturkan budaya asli masyarakat kita. Hasil-hasil budaya asli masyarakat kita
telah tergantikan dengan datangnya produk budaya-budaya Barat. Sebagai contoh,
hasil budaya Jawa berupa dolanan bocah dengan berbagai wujudnya antara lain
engklek, jamuran, sluku-sluku bathok, egrang, dan sebagainya. Wujud-wujud dari
dolanan bocah masyarakat Jawa tersebut saat ini telah tergantikan posisinya
dengan hadirnya game sebagai produk dunia Barat. Kehadiran produk-produk
Barat telah merubah kepribadian diri anak menjadi kepribadian yang egois. Nilai-
nilai luhur dari nenek moyang yang berupa ajaran kebersamaan, kebahagiaan, dan
hidup sehat yang terkandung di dalam dolanan bocah sudah tidak dapat kita
temukan lagi. Di mana pun dan kapan pun waktunya, fenomena anak-anak yang
tengah asyik memainkan game-nya akan selalu dijumpai. Akibat pengaruh game
tersebut, sifat egois dan malas, secara perlahan telah tertanam dalam pribadi anak-
anak.
46
Food, film, dan fashion adalah sekelumit contoh lain yang dapat menjadi
bumerang dalam menjerumuskan moral anak-anak bangsa Indonesia. Keaslian
hasil-hasil budaya masyarakat Indonesia yang sebelumnya menciptakan
masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, kini telah terhapus oleh masuknya
pengaruh food, film, dan fashion dari negara luar. Makanan tradisional atau istilah
sekarang kuliner tradisional, merupakan salah satu warisan leluhur yang
sepatutnya kita pertahankan keberadaannya bagi anak cucu di masa yang akan
datang. Kehadiran makanan modern yang merambah ke dalam kehidupan kita di
jaman serba teknologi ini telah mengambil alih kuliner tradisional kita.
Kekerasan, percintaan tanpa sensor, politik dan sebagainya telah
merambah ke dalam dunia perfilman Indonesia yang notabene penontonnya
adalah kaum remaja. Film yang seharusnya dapat menjadikan tuntunan positif di
dalam kehidupan generasi muda, kini beralih fungsi menjadi tontonan dan
tuntunan yang negatif. Kehadiran krisis moral pun semakin tak terelakkan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat kita.
Busana Jawa yang konon dahulu begitu adi luhung dan penuh akan makna
filosofinya, sekarang telah tergantikan oleh busana manca yang sangat fenomenal.
Fenomenal dalam artian, sudah tidak lagi mengedepankan rasa kesopanan dalam
berbusana. Semuanya serba nglegena tanpa tedheng aling-aling. Unen-unen
ajining raga ana ing busana sudah tidak berlaku lagi di jaman era android seperti
sekarang ini.
Kondisi moral generasi muda yang mengkhawatirkan, pengangguran dan
kemiskinan yang semakin bertambah, rusaknya moral para pemimpin, dan
bencana yang sering terjadi di Indoensia adalah fenomena keadaan negara saat ini.
Masuknya akses-akses internet semakin tak terkendali dan dengan bebasnya dapat
diterima khalayak. Tawaran-tawaran bentuk produk sampai dengan bentuk
pengikisan moral pun telah melanda moral masyarakat kita khususnya para
generasi muda.
Beberapa fenomena abad 21 yang terjadi di dalam kehidupan kita ini,
tentunya tidak menjadikan kita hanya berpangku tangan begitu saja, akan tetapi
perlunya semangat cancut tali wanda untuk menyikapinya, terlebih-lebih dalam
47
menyambut datangnya MEA. Pertukaran SDM, pertukaran budaya, dan
sebagainya akan semakin tak terelakkan. Dampak pasar bebas MEA tidak hanya
akan terasa pada persaingan perekonomian saja, melainkan akan melahirkan
kebijakan-kebijakan baru yang mungkin dapat berpengaruh pada sikap atau
karakter asli masyarakat kita. Datangnya MEA akan menambah pekerjaan rumah
bagi kita, yaitu selain bersaing dalam bidang ekonomi melalui promosi produk-
produk dalam negeri sendiri, di sisi lain kita diharuskan dapat menyaring segala
bentuk mobilitas dari luar yang dapat merongrong kepribadian generasi muda.
Bagaimanakah cara-cara yang sepatutnya dapat kita lakukan dalam menghadapi
fenomena-fenomena tersebut?
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Budi Pekerti dalam Naskah Jawa Klasik
Pasar bebas Asean sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan
perekonomian negara Indonesia. Mobilitas manusia sedunia dengan bebasnya
dapat masuk ke dalam wilayah yang mereka inginkan. Kita tidak bisa
membendungnya selain memberikan bekal bagi para generasi muda untuk dapat
memilah-milah mana yang terbaik dan terburuk baginya. Perlu adanya sarana
pengatur mobilitas kehidupan bersama ini, yaitu adanya nilai-nilai moral atau
nilai-nilai budi pekerti dalam menghadapi bentuk mobilitas yang semakin bebas
dan tak terkendali nantinya.
Berkaitan dengan budi pekerti, Nurul Zuriah mengatakan bahwa budi
pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan
sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: (a) adat
istiadat, (b) sopan santun, dan (c) perilaku (2011:17). Budi pekerti berkaitan erat
dengan moral.
Perilaku seseorang dalam menyikapi suatu masalah sangatlah tergantung
dari karakternya masing-masing. Di dalam pembangunan karakter, perlu
dipertimbangkan segi moralitas sebagai salah satu penunjang yang diutamakan
(Lukitaningsih, 2012:58). Menurut Ratna Megawangi dalam Deswijaya (2012:
48) mengatakan bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani to mark yang
48
berarti „menandai atau mengukir perilaku‟. Deswijaya menambahkan pendidikan
karakter dapat membentuk perilaku dan kepribadian anak melalui pendidikan
moral dan budi pekerti sehingga dampaknya akan tampak dalam perilaku
seseorang, misalnya perilaku jujur, bertanggungjawab, menghormati hak orang
lain, dan bekerja keras (2012:48).
Perlunya memasyarakatkan naskah-naskah Jawa Klasik, sebenarnya dapat
menjadi program tersendiri bagi para pendidik, baik di lingkup formal maupun
nonformal. Lingkup formal, khususnya di lingkungan sekolah, sejak SD sampai
Perguruan Tinggi perlu adanya penyisipan kandungan isi naskah-naskah Jawa
Klasik ke dalam mata pelajaran bermuatan budi pekerti, seperti: mata pelajaran
agama, bahasa Jawa, dan sebagainya. Sedangkan lingkup nonformal, diadakannya
sarasehan tentang naskah-naskah Jawa Klasik dengan cara menggali ajaran-ajaran
yang terkandung di dalam teks naskah tersebut.
Fathurahman membahasa tentang pengertian naskah dalam konteks
filologi Indonesia, kata “naskah” dan “manuskrip” dipakai dalam pengertian yang
sama, yakni merujuk pada dokumen yang di dalamnya terdapat teks tulisan
tangan, baik berbahan kertas (kebanyakan kertas Eropa), daluwang (kertas lokal
dari daun saeh), lontar (kertas lokal dari daun lontar), bambu dan lainnya
(2015:22-23). Naskah merupakan salah satu dokumen peninggalan tertulis para
leluhur jaman dahulu yang ditulis di atas kertas, daluwang, lontar, kulit kayu, dan
rotan yang berisikan segala aspek kehidupan manusia. Deswijaya mengatakan
bahwa kandungan isi naskah-naskah Jawa Klasik begitu luhur dan sangat besar
manfaatnya apabila dijadikan pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari. Seiring
dengan adanya krisis moral pada jaman sekarang, khususnya anak-anak muda,
ajaran-ajaran para pujangga maupun penyair jaman dahulu yang tertuang di dalam
teks-teks naskah Jawa tersebut bisa dijadikan tuladha dalam memilah-milah
tindakan mana yang baik dan mana yang buruk (2012:48).
Ke-adiluhung-an naskah-naskah Jawa Klasik dikarenakan kandungan
isinya, terutama dalam hal piwulang budi pekerti. Piwulang merupakan salah satu
kategori isi yang terkandung di dalam naskah Jawa klasik. Piwulang di dalam
naskah Jawa Klasik lebih banyak mengarah kepada pendidikan moral atau
49
pendidikan budi pekerti. Awalnya, para pujangga Jawa maupun para raja Jawa
terdahulu, tujuan penulisan karyanya hanya khusus diperuntukkan bagi para putra-
putrinya. Namun, setelah jaman kemerdekaan, fungsinya telah beralih hingga
keluar pagar keraton. Di dalam piwulangnya, para pujangga atau raja-raja Jawa
selalu mengutamakan piwulang budi pekerti. Berikut sebagian dari beberapa
contoh naskah-naskah Jawa klasik yang mengandung piwulang budi pekerti atau
pendidikan moral.
1. Wasiyat Dalêm Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara
Kaping 3
Naskah Wasiyat Dalem Kangjeng Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara
Kaping 3 berisikan ajaran tentang 6 perilaku hidup dalam bermasyarakat, antara
lain yang terdapat pada halaman 3-5 berikut.
a. Têmên. Secara lahiriah, jika melaksanakan pekerjaan, haruslah bersungguh-
sungguh, tidak menganggap mudah. Secara batiniah, tidak berselingkuh
(korupsi) serta berbuat tidak terpuji dan sebagainya, tutur katanya teratur dan
bersahaja, tidak suka berpura-pura dan bohong. Orang yang temen dapat
dikatakan suci lahir batinnya.
b. Mantêp. Secara lahiriah, semua yang telah disanggupi harus dapat diselesaikan,
tidak menggerutu, semua yang dikerjakan tetap dilaksanakan. Tidak teledor
dan selalu bersungguh-sungguh serta tidak suka membandingkan, tidak iri
terhadap milik orang lain. Orang yang mantep dapat disebut orang yang setia
terhadap janji. Secara batiniah, apa yang dicita-citakan diraih hingga tercapai.
Tidak mudah putus asa dan tidak mudah bosan.
c. Gêlêm. Secara lahiriah, maksudnya tidak sungkanan, tidak merasa takut,
namun tak meninggalkan kewaspadaan. Semua pekerjaan yang berat dan
gawat, tidak pernah ditinggalkannya. Orang yang gêlêm, secara lahiriah dapat
disebut sebagai pekerja keras. Secara batiniah, segala beban batinnya tidak
merasa khawatir, tidak menggerutu, harapannya dapat melaksanakan semuanya
hingga selesai. Secara batiniah disebut sebagai orang yang kuat tekatnya.
50
d. Nglakoni. Secara lahir, kelanjutan: gêlêm (berkemauan), pelaksanaannya
menyesuaikan situasi dan kondisi, tanpa henti, tekun dan sabar menurut
kepentingan pekerjaan, pandai memilih dan menyeleksi mana yang wajib dan
mana yang sunah, tidak dicampur bawur. Dalam hati mau menerima mudah
dan sulitnya pemikiran, perjalanan hidupnya tidak sempit dan tidak berpamrih,
pada akhirnya selalu ikhlas hatinya. Tidak berwatak bersemangat pada awalnya
saja, apa yang diwajibkan harus mampu melaksanakan, jadi dapat disebut dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan baik, akhirnya hidupnya tidak akan merasa
sengsara.
e. Aja kagetan. Bukan terkejut oleh kerasnya suara, tetapi keterkejutan hati. Agar
dapat demikian haruslah merasa sebagai makluk yang lemah, semua sudah
ditakdirkan menurut perbuatannya sendiri, mengetahui jika di dunia ini ada
dalam kekuasaan gaib yang abadi, akhirnya hatinya menjadi sabar.
f. Aja gumunan. Agar dapat demikian, haruslah percaya bahwa diciptakannya
makhluk ini atas curahan kasih sayang Allah yang tiada batas kekuasaan-Nya.
Apa yang diinginkan dengan berbekal kesungguhan pastilah tercapai, akhirnya
terjadi tataran kemuliaan setimpal dengan perbuatannya-masing-masing yang
akhirnya tidak akan memiliki watak iri, dengki, jahil, dan sebagainya. Apa saja
yang terjadi diyakini dari kasih sayang Yang Maha Memelihara Alam, berkat
kesungguhan dari yang menerima anugerah.
2. Serat Kandha Cetha.
Serat Kandha Cetha dikarang oleh Ki Darsasawega. Berikut beberapa ajaran
yang disampaikan oleh Ki Darsasawega di dalam naskahnya.
a. Menciptakan suasana kerukunan di dalam hidup bermasyarakat
Pupuh Sinom
17. Yèn wus cukup butuh ngomah / banjur salin gênti mikir / butuh mênyang kalumrahan / karo tangga kanan kering / titinên jroning batin / tata-caraning pirukun / kang bêcik timbangana / aja nganti kalah ati / awit tangga sadulur katêmu rina //
‘jika kebutuhan rumah sudah tercukupi / kemudian ganti memikirkan / kebutuhan kepada sesama / terhadap tetangga kanan dan kiri / amatilah dalam hati / tatacara hidup rukun / pilihlah yang baik-baik /
51
jangan sampai kalah hati / karena tetangga merupakan saudara kita yang bertemu setiap hari’ //
18. Trêsnoa sapadha-padha / aja sok dhêmên marahi / amêminihi prakara / mêngko mundhak dicirèni / para ngalah sathithik / yèn tinimbang padha-padu / pedahe ora ana / mung gawe rêngkaning ati / ati gêla anyudakake sih trêsna //
‘sayangilah sesama / jangan senang memulai / mencari-cari masalah / nantinya akan diketetahui / lebih baik mengalah sedikit / daripada menjadikan pertengkaran / tidak ada faedahnya / hanya akan mengotori hati / hati kecewa yang akan mengurangi rasa kasih sayang’ //
19. Kowe dhewe bisa kandha / kahananing wong ngaurip / rukun agawe santosa / mula bêcik ngati-ati / awit yèn padu mêsthi / anggêmpil karukunanmu / dadi nyuda santosa / wêkasane banjur ringkih / sasrawungan pêrlu nganggo têpa-têpa //
‘kamu sendiri bisa berkata / bahwa keadaan orang hidup / rukun akan membuat sentausa / oleh karenanya berhati-hatilah / karena jika bertengkar pasti / akan menghancurkan kerukunanmu / sehingga akan mengurangi sentaousa / akhirnya akan lemah / berhubungan sesama harus memperhatikan situasi //
Bait 17 dan 18 di atas menunjukkan ajakan untuk menciptakan suasana
hidup rukun bermasyarakat. Tatacara berkomunikasi dengan tetangga harus
diperhatikan, saling sayang-menyayangi dan jangan suka mencari-cari masalah.
Lebih baik mengalah, daripada menciptakan suasana perkelahian yang tidak ada
gunanya, yang akhirnya akan menyakitkan hati orang lain dan menyebabkan
hilangnya rasa kasih sayang di antara sesama. Ki Darsasawega dalam bait 19 juga
mengatakan bahwa rukun agawe santosa, perkelahian akan merusak dan
menghilangkan kerukunan sehingga akan mengurangi kekuatan dan akhirnya akan
melemahkan hubungan bermasyarakat. Dalam berkomunikasi dengan tetangga
harus mengenal papan lan wektu „tempat dan waktu‟.
b. Ajakan untuk mengetahui unggah-ungguh tatakrama
Sinom
21. Unggah-ungguh tata-krama / iya kudu diwêruhi / wong mêruhi tata-
krama / ora beda wêruh tarip / bisa angrêta aji / barang kang arêp
tinuku / tumraping sêsrawungan / tata-krama iku dadi / pangruwating
saru siku lan dêksura //
52
„unggah-ungguh tatakrama / haru kamu ketahui / orang yang
mengetahui akan tatakrama / tidak berbeda dengan orang yang
mengetahui akan harga / dapat mengira-ngira kegunaannya / barang
yang hendak dibeli / dalam berhubungan di dalam masyarakat /
tatakrama akan menjadi / penghilang perilaku yang tidak pantas,
kesalahan dan watak kurang ajar‟ //
Bait di atas menjelaskan bahwa orang harus tahu akan unggah-ungguh
tatakrama. Orang yang mengetahui tatakrama tidak berbeda dengan orang yang
mengetahui akan harga sebuah benda. Dia dapat mengetahui manfaat barang yang
hendak dibelinya. Bait di atas juga menjelaskan bahwa dengan tatakrama akan
dapat menghilangkan pocapan yang tidak baik, menghidari bahan perbincangan
orang lain maupun tingkah laku yang kurang baik.
3. Serat Jalma Suyatna
Serat Jalma Suyatna „Manusia Yang Berhati-hati‟ dikeluarkan oleh toko
buku M. Tanojo pada tahun 1923 juga menjelaskan permasalahan tatakrama.
Tatakrama yaiku ngadekake patrap tuwin pangucap minangka pakurmatan. Tata,
anduweni teges prenah sarta wijang, yaiku ora resah. Krama tegese ulahing
tembung kanthi trapsilaning pratingkah. Manungsa kudu eling marang tindaking
tatakrama, supaya aja nganti kapitunan tumraping rengkuh-rinengkuh.
„tatakrama yaitu menjadikan tingkah laku dan ucapan sebagai penghormatan.
Tata, memilik makna tertata, yaitu tidak gundah. Krama bermakna olah kata
dengan menggunakan aturan tingkah laku. Manusia harus ingat terhadap semua
tatakrama, agar jangan sampai mengalami kerugian dalam hidup berdampingan‟.
Menggunakan tatakrama berarti memperhatikan patrap dan pocap sebagai
bentuk penghormatan kepada orang lain. Tata, mempunyai makna tertata, yaitu
segala tingkah laku maupun pembicaraan bisa terarah atau tertata dengan baik.
Krama, berarti olah kata dengan memperhatikan kesesuaian tingkah laku.
Manusia harus ingat dan tahu benar akan tatakrama agar jangan sampai
mengalami kekecewaan dalam hidup bersaudara di antara sesama.
4. Serat Wulang Reh
53
Serat Wulang Reh merupakan hasil karya sastra dari Sinuhun Pakubuwana
IV yang berisikan tentang ajaran tingkah laku dan juga cara menjalankan roda
pemerintahan. Karena begitu banyaknya ajaran yang disampaikan Sinuhun
Pakubuwana IV di dalam Serat Wulang Reh-nya, maka dapat diambilkan
beberapa contoh ajaran dari Sinuhun Pakubuwana IV, seperti yang tercantum
pada pupuh Kinanthi, bait 1 berikut.
1. padha gulangên ing kalbu / ing sasmita amrih lantip / aja pijêr mangan
nendra / ing kaprawiran dèn kèsthi / pêsunên saliranira / sudanên
dhahar lan guling //
„latihlah hati / terhadap segala pertanda agar tajam atau awas / jangan
hanya makan dan tidur / raihlah keberanian / jagalah badanmu dengan
sungguh-sungguh / kurangilah makan dan tidur„ //
Bait 1 di atas adalah ajakan untuk melatih hati dengan sungguh-sungguh
agar tajam dan awas dalam menyikapi suatu permasalahan atau gejala di dalam
masyarakat, baik itu yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Mengurangi
kebiasaan makan dan tidur secara berlebihan merupakan cara melatih hati agar
tajam dan awas.
Menghilangkan kebiasaan berhura-hura adalah salah satu ajakan PB IV di
dalam pupuh Kinanthi bait 2 di bawah ini.
2. dadia lakunirèku / cêgah dhahar lawan guling / lan aja asukan-sukan /
anganggoa sawêtawis / ala watêke wong suka / nyuda prayitna ing batin //
„jadikanlah pegangan untuk hidupmu / kurangilah makan dan tidur / dan
jangan terlalu senang hidup berhura-hura / hiduplah sederhana / tidak baik
watak orang yang senang berhura-hura / akan mengurangi kehati-hatian di
hati‟ //
Bait 2 di atas mengajak untuk mengurangi makan dan tidur serta melarang
untuk hidup berhura-hura. Hiduplah dengan sederhana. Orang yang hidup terlalu
berlebihan hidupnya tidak akan baik dan akan mengurangi sifat kehati-hatiannya.
Meninggalkan kelebihan yang terdapat dalam diri kita merupakan ajakan
lain dari PB IV dalam Serat Wulang Reh. Berikut ajaran yang terdapat dalam
pupuh Gambuh, bait 4-10.
4. ana pocapanipun / adiguna adigang adigung / pan adigang kidang adigung
pan èsthi / adiguna ula iku / têlu pisan mati sampyoh //
54
„ada sebuah ungkapan / adiguna adigang adigung / adigang adalah kidang
adigung adalah gajah / adiguna adalah ular / ketiganya sama-sama mati‟/
5. si kidang umbagipun / ngandêlakên kêbat lampahipun / pan si gajah
ngandêlakên agêng inggil / ula ngandêlakên iku / mandine kalamun nyokot //
„sang kidang kesombongannya / mengandalkan jalannya yang cepat / sang gajah
mengandalkan besar dan tinggi / ular mengandalkan / bisanya jika menggigit‟
//
6. iku upamènipun / aja ngandêlakên sira iku / sutèng nata iya sapa ingkang
wani / iku ambêking wong digung / ing wusana dadi asor //
„itulah perumpamaannya / janganlah kamu mengandalkan / putra dari seorang
raja siapakah yang berani / itulah sifat orang adigung / akhirnya akan rendah‟
//
7. adiguna puniku / ngandêlakên kapintêranipun / samubarang kabisan dipun
dhèwèki / sapa pintêr kaya ingsun / toging têmah nora enjoh //
„adiguna yaitu / mengandalkan kepandaiannya / semua keahlian dimiliki sendiri
/ siapa yang pandai seperti aku / pada saatnya akhirnya tidak bisa‟ //
8. basa adigang iku / angungasakên ing suranipun / parang tangtang cêndhala
anyênyampahi / tinêmênan nora purun / satêmah dadi gêguyon //
„makna adigang yaitu / mengumumkan kekuatannya atau kesaktiannya / siapa
pun ditantang sifatnya jelek dan senang merendahkan / jika disuruh
membuktikan tidak mau / akhirnya menjadi bahan tertawaan‟ //
9. ing wong urip puniku / aja nganggo ambêk kang tatêlu / anganggoa rèrèh
ririh ngati-ati / dèn kawawang barang laku / dèn waskitha solahing wong //
„manusia hidup itu / janganlah berbekal ketiga sifat tersebut / berbekallah sifat
yang tenang, pelan dan selalu berhati-hati / perhatikanlah semua tindak tanduk
/ harus awas terhadal tindak-tanduk orang lain‟ //
Piwulang untuk meninggalkan sifat adigang, adigung dan adiguna
tertuang dalam bait 4-10 di atas. Sifat adigang memperlambangkan seekor
menjangan, adigung memperlambangkan seekor gajah, dan adiguna
memperlambangkan seekor ular. Menjangan mengandalkan kecepatan larinya,
gajah mengandalkan kebesaran tubuhnya, dan ular mengandalkan upasnya.
Demikian pula ketiga sifat tersebut dapat menempel pada diri manusia apabila
tidak bisa menguasainya. Adigang, mengandalkan kesaktian yang dimilikinya,
adigung mengandalkan anak dari seorang raja atau orang yang berkuasa di
pemerintahan, dan adiguna mengandalkan kepandaiannya. Orang hidup janganlah
mengandalkan pada ketiga sifat tersebut, gunakanlah tingkah laku yang serba
sabar, tenang dan selalu berhati-hati.
5. Serat Baghawadgita
55
Dalam Serat Baghawadgita dapat ditemui karakter seorang Arjuna
sewaktu berbicara dengan Kresna di tengah-tengah medan pertempuran.
Aturipun Arjuna : Dhuh pukulun, kados pundi sagêd kula lumawan Sang
Bisma miwah Druna, môngka sakalihan wau pantês ingaji-aji.
„Arjuna berkata : Aduh Tuan, bagaimana saya dapat melawan Sang Bisma dan
Guru Druna, padahal keduanya sangatlah pantas untuk dihormati.‟
Awit ing donya punika kados langkung eca nêdha sêkul sapulukan sangking
anggènipun papariman, tinimbang kamulyan agêng sarana amêjahi para guru
kang dibya, sêngsêmipun dhatêng kasugihan tuwin kamuktèn, ingkang
makatên wau badhe cêmêr dening rah.
„Karena di dunia ini lebih nikmat memakan nasi satu suapan tangan dari hasil
meminta-minta, daripada mendapat kemuliaan besar dengan cara membunuh
para guru yang sakti karena tergoda oleh kekayaan dan hidup yang tercukupi.
Hal seperti itu akan membuat banjir darah.‟
Merunut pembicaraan Arjuna di atas, dapat dijelaskan bahwa Arjuna
sangat keberatan apabila melawan Bisma dan Durna yang merupakan kakek serta
gurunya sendiri. Menurut Arjuna, mereka berdua seharusnya dihormati dan
dihargai, tidak untuk dibunuh. Arjuna menganggap bahwa makan sesuap nasi dari
hasil meminta-minta akan lebih nikmat daripada mendapatkan kemuliaan besar
dengan cara membunuh para gurunya yang begitu linuwih atau sakti. Kesenangan
dengan tujuan untuk mendapatkan kekayaan dan kamukten melalui cara seperti itu
merupakan perbuatan nistha.
6. Serat Margawirya
Menghadapi dampak dari adanya pasar bebas MEA, pendidikan budi
pekerti sangatlah dibutuhkan sebagai bekal kelak. Serat Margawirya sangat syarat
akan adanya hal ini. Berikut uraian pendidikan karakter yang dapat kita jadikan
tauladan dari Serat Margawirya, tembang Dhandhanggula.
33. têgêse kang ingaranan gêmi / pama rayap marang ratunira / tan awèh kênèng
srêngenge / eman manawa kuru / wadyanira samya tur bukti / salamine
mangkana / têmah mênthêk mênthu / kang aran nastiti uga / iku sêmut rina
wêngi wira-wiri / tansah papag-pinapag //
„makna gemi diartikan / seperti rayap terhadap rajanya / berusaha agar tidak
terkena matahari / sangat disayangkan apabila menjadi kurus / semua anak
buahnya memberikan makan / seterusnya seperti itu / akhirnya menjadi
56
gemuk / sedangkan yang dinamakan nastiti / seperti semut siang malam
selalu ke sana ke mari / selalu berjumpa‟ //
34. takon tinakon sabên pinanggih / sangkan paranira tinakonan / kaya mangkana
esthane / prayoga yèn tiniru / kang ingaran angati-ati / iku yêkti calarat / yèn
mencok ing kayu / gurda nadyan sadipôngga / maksih wang-wang dèn êncot-
êncot kapati / samar manawa rêbah //
„dan saling bertanya setiap bertemu / dari mana dan akan ke mana selalu
ditanyakan / itulah kenyataannya / akan lebih baik jika dicontoh / yang
dimaksud berhati-hati / seperti clarat gombel / apabila hinggap di ranting /
meskipun sebesar gajah / masih kawatir kemudian diinjak-injak sekuat tenaga
/ kawatir jika rubuh‟ //
35. iku kang ingaran ngati-ati / yèku prayogane ponang clarat / yèn manungsa
panulade / amawa unggah-ungguh / yèn mênênga nora prayogi / cupêt
pangandêlira / yèn tan unggah-ungguh / nging yitna aywa tininggal / tri
prakara ingaran gêmi nastiti / ngati-ati lirira //
„begitulah yang dimaksud dengan sikap berhati-hati / lebih baik mencontoh si
clarat gombel / apabila manusia mencontoh / menggunakan unggah-ungguh /
jika hanya diam tidak baik / tidak dipercaya / jika tanpa unggah-ungguh /
tetapi berhati-hati janganlah ditinggalkan / tiga perkara itulah yang
dinamakan gemi „hemat‟ nastiti „teliti‟ / dan ngati-ati „berhati-hati‟ sebagai
pesanku //
Bait 33, baris 1-7, tembang Dhandhanggula di atas, merupakan gambaran
karakter gemi „hemat atau cermat‟ yang dicontohkan seperti perilaku rayap „anai-
anai‟. Gambaran perilaku gemi „hemat atau cermat‟ seekor prajurit rayap „anai-
anai‟ yang selalu memberikan perhatiannya kepada rajanya. Prajurit rayap sangat
menyayangkan apabila rajanya melakukan pekerjaan sendirian di dalam mencari
sesuap nasi demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Prajurit rayap akan
berusaha menjaga rajanya supaya tidak keluar dari singgasananya dan terbebas
dari sengatan cahaya matahari dengan cara bekerja keras mencarikan segala
kebutuhan hidup rajanya.
Penyampaian karakter gemi „hemat atau cermat‟ yang terdapat pada
kesetiaan prajurit rayap tersebut yang secara tidak eksplisit memang
diperuntukkan bagi pembentukan sikap seseorang, yaitu kesetiaan masyarakat
kepada pemimpinnya atau kesetiaan bawahan kepada atasannya.
Bait 33, baris 8-10, serta bait 34 baris 1-4, pada Tembang Dhandhanggula
di atas merupakan gambaran bentuk perilaku nastiti „teliti‟ dari seekor semut.
Sering kita jumpai seekor semut yang sedang berjalan tiba-tiba berhenti ketika
57
bertemu dengan temannya. Fenomena perilaku seekor semut seperti itu memang
sengaja digambarkan oleh Raden Mas Arya Jayadiningrat I bagi manusia dalam
pembentukan karakter nastiti „teliti‟. Seperti halnya seekor semut, kapan pun dan
di mana pun kita berada, jika bertemu dengan seseorang yang belum dikenal, kita
diharapkan dapat selalu menyapa dan selalu menanyakan kabar kepada seseorang
yang sudah dikenalnya. Cara seperti ini dapat mempererat tali silaturahmi.
Penggambaran karakter ngati-ati „berhati-hati‟ yang diperumpamakan
pada perilaku clarat gombel tampak pada bait 34 (baris 5-10) dan bait 35 (baris 1-
2). Seekor clarat gombel yang setiap kali menginjakkan kakinya di sebuah batang
atau ranting pohon, akan selalu mencoba menggerak-gerakkan batang atau ranting
pohon tersebut. Seberapa kuatkah ranting atau batang pohon tersebut dia injak,
sekali pun berada di pohon beringin yang begitu kokohnya. Dalam berpikir,
berperilaku, dan bertindak, manusia haruslah selalu berhati-hati seperti halnya
clarat gombel, meskipun dalam keadaan tenang maupun genting.
7. Serat Kridhawasita
Karakter keteguhan hati dapat ditemukan dalam Serat Kridhawasita,
tembang Pangkur, bait 3-5 di bawah ini.
3. pra mudha dèn kawruhana / sanjatane pêrang tan amung bêdhil / mortir
miwah metraliyur / granat bêdhil mêsinnya / motor mabur mriyêm alit miwah
agung / iku kabèh kalairan / tan rampung mung iku kaki //
„ketahuilah anak muda / senjata perang tidak hanya senapan / mortir dan mesiu
/ geranat senapan mesin / pesawat terbang meriam kecil maupun besar / itu
semua adalah wujud lahiriah / tidak akan selesai jika hanya itu nak‟ //
4. gaman batin aywa tinggal / satuhune ampuhnya gêgirisi / datan abot
bêktanipun / tur datan karondhahan / tan dinyana ginembol nora barênjul /
pusaka tabon wetanan / yèn dèn èsthi tan ngowani //
„senjata batiniah atau hati janganlah ditinggalkan / ampuhnya sungguh
mengerikan / tidak berat membawanya / dan juga tidak perlu dijaga / tidak
dinyana jika dimasukkan saku tidak menonjol / pusaka tertua dari timur / jika
diniati tidak akan pergi‟ //
5 lamun arsa migunakna / gaman batin kang bisa angrampungi / kurdaning
mungsuh kang liwung / sayêkti nora beda / lawan gaman kalairan prigêlipun /
linalatih sabên dina / supaya tan mindho kardi //
„jika hendak menggunakan / senjata batin yang dapat menyelesaikan /
kemarahan musuh yang membabibuta / sesungguhnya tidak berbeda / dengan
terampilnya senjata lahiriah / dilatih setiap hari / supaya tidak merugikan‟ //
58
Bait 3 menjelaskan bahwa perang melawan musuh tidak akan dapat
terselesaikan jika hanya menggunakan senjata lahiriah berupa senapan, meriam,
pesawat dan sebagainya. Diperjelas lagi di dalam bait 4 dan 5, bahwa orang tidak
akan berani menghadapi musuh dengan hanya berbekal senjata lahiriah berupa
senapan, meriam, pesawat, dan sebagainya, jika di dalam hatinya tidak ada
keberanian untuk mati. Dalam keadaan apa pun kita, senjata batiniah akan selalu
menyertai kita dan selalu menenangkan hati kita. Sebagaimana senjata lahiriah
yang harus dilatih agar terampil di dalam menggunakannya, senjata batiniah pun
perlu dilatih setiap hari sebagai bekal menghadapi amukan musuh yang
mengerikan sekali pun.
KESIMPULAN
Beberapa contoh ajarah-ajaran yang terdapat di dalam naskah-naskah Jawa
Klasik tersebut di atas merupakan bentuk ajaran budi pekerti yang mengarah
kepada pembentukan karakter seseorang. Ajaran-ajaran tersebut kiranya dapat kita
implementasikan ke dalam kehidupan kita serta dapat kita jadikan pegangan
dalam menghadapi datangnya pasar bebas MEA. Piwulang-piwulang yang dapat
kita ambil dari naskah-naskah tersebut antara lain:
1. Têmên. Melakukan pekerjaan haruslah dengan bersungguh-sungguh sesuai
dengan tugasnya sehingga akan tercipta watak jujur dan kehati-hatian dalam
bekerja.
2. Mantêp. Rasa yakin terhadap pekerjaan kita akan menciptakan rasa nyaman
dan cinta terhadap pekerjaan sendiri. Cinta terhadap hasil produk negara kita
sendiri akan menjauhkan rasa iri terhadap milik orang lain. Kita akan puas
dengan hasil jerih payah kita sendiri.
3. Gêlêm. Harus bersedia menerima pekerjaan dalam wujud apa pun, baik
ringan maupun berat, terlebih-lebih dalam bersaing di pasar bebas Asean.
Sebagai pekerja yang keras, dia tidak akan merasa sungkan dan takut, namun
juga tidak akan meninggalkan kewaspadaan.
59
4. Nglakoni. Tekun dan sabar dalam menghadapi situasi dan kondisi, dapat
memilih mana pekerjaan yang wajib dilakukan dan mana yang tidak wajib
jalankan. Mau menerima mudah dan sulitnya pemikiran, tidak berpamrih dan
selalu ikhlas hatinya.
5. Aja kagetan. Sukses tidaknya suatu hasil dari pekerjaan dapat diterimanya
dengan kuat dan sabar. Tahu sebagai makhluk yang lemah.
6. Aja gumunan. Tidak mempunyai rasa keheranan atas semua yang terjadi di
dunia ini. Yakin bahwa apa saja yang terjadi adalah berkat dari kasih sayang
Tuhan, berkat kesungguhan dari yang menerima anugerah.
7. Hidup rukun bersama. Sebagai masyarakat sosial dan bernegara, kita harus
dapat hidup saling berdampingan secara rukun damai sebagai pemerkuat
dalam menghadapi MEA. Persatuan dan kesatuan adalah salah satu sikap
yang harus diterapkan dalam menghadapi pasar bebas Asean.
8. Saling kasih sayang. Sifat peduli dan kasih sayang akan menciptakan perilaku
tolong-menolong di antara sesama.
9. Tahu akan unggah-ungguh dan tatakrama. Adanya penerapan unggah-ungguh
dan tatakrama dalam menjalankan pasar bebas sangatlah penting dimiliki oleh
masing-masing negara. Hal ini dimaksudkan agar tidak melewati batas dari
kebebasannya dalam bermobilitas.
10. Waspada dan selalu berhati-hati. Selalu waspada dan berhati-hati terhadap
segala produk yang ditawarkan oleh negara lain kepada kita. Di mana pun
kita berada haruslah selalu berhati-hati seperti perilaku seekor clarat gombel.
11. Janganlah tergoda oleh kekayaan dan hidup yang serba berkecukupan. Sikap
tidak tergoda oleh tawaran produk-produk atau kebijakan-kebijakan dari luar
maupun dalam negeri yang dapat menjanjikan kita dapat kaya raya dan hidup
yang serba berkecukupan harus ditanam dalam diri pribadi masyarakat
Indonesia, khususnya generasi muda.
12. Jauhilah sifat adigang, adigung, dan adiguna. Sifat-sifat adigang atau
mengandalkan kekuatannya, sifat adigung atau mengandalkan kekuasaannya,
dan sifat adiguna atau mengandalkan kepandaiannya adalah sifat-sifat yang
dapat menciptakan kesenjangan sosial di berbagai bidang.
60
13. Hemat atau cermat. Masuknya pasar bebas ke dalam negara kita harus
menjadikan kita pandai-pandainya untuk berhemat atau cermat terhadap
produk atau kebijakan yang ditawarkan di dalam kehidupan kita sehari-hari.
14. Teliti. Masuknya mobilitas orang luar ke dalam negara kita harus kita sikapi
secara teliti atau dewasa. Kita diharuskan teliti dalam memilih teman. Siapa
dan untuk tujuan apa kedatangan mereka ke dalam negara kita harus terus
terawasi.
15. Keteguhan Hati. Senjata batiniah adalah senjata ampuh kita dalam
menenangkan hati kita untuk menghadapi ancaman dari musuh. Senjata
batiniah perlu dilatih setiap hari sebagai bekal menghadapi amukan musuh
yang mengerikan sekali pun.
Kelima belas piwulang para leluhur tersebut sangatlah tepat jika
diterapkan ke dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai makhluk individu maupun
sebagai makhluk sosial yang hidup bernegara. Memayu hayuning bawana
karyenak tyasing sasama adalah tujuan terakhir dari adanya pendidikan karakter.
DAFTAR RUJUKAN
Darsosawego. 1963. Serat Kandha Cetha. Solo: Selamat.
Deswijaya, Adi. 2012. Pentransferan Kandungan Isi Naskah Jawa Klasik sebagai
Pembentuk Karakter, dalam Prosiding Seminar Nasional Peningkatan
Peran Bahasa dan Sastra dalam Pencerdasan dan Pembentukan Karakter
Bangsa. Yogyakarta: Lokus Tiara Wacana Group.
Fathurahman, Oman. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Jayadiningrat I. 1919. Serat Margawirya. Surakarta: N. V. Mij. t/v. d/z/ ALBERT
RUSCHE & Co.
Lukitaningsih, Dwi Yanny. 2012. Pendidikan Etika, Moral, Kepribadian dan
Pembentukan Karakter. Malang: Banyumedia Publishing.
NN. Wasiyat Dalêm Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara
Kaping 3.
Partawiraya. 1919. Serat Baghawadgita. Surakarta: NV Sidyan H.
PB IV. 1858. Serat Wulang Reh Sekar Macapat. Bataviah: Tuan Lange.
61
Purbadarsana. 1946. Serat Kridhawasita. Surakarta: PBPNI
Tanojo, M. 1923. Serat Jalma Suyatna.Surakarta: M. Tanojo.
REVITALISASI NILAI-NILAI SEJARAH DAN PENDIDIKAN BUDI
PEKERTI MELALUI KESENIAN KETOPRAK
Oleh:
Bagus Wahyu Setyawan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Kesenian ketoprak merupakan salah satu produk kebudayaan Jawa yang memiliki
nilai etika dan estetika tinggi.Kesenian ketoprak merupakan jenis kesenian rakyat
yang dalam pementasannya mengandung nilai budi pekerti luhur yang patut
diteladani oleh generasi muda penerus bangsa. Cerita atau lakon dalam naskah
ketoprak diambil dari cerita masa lalu, babad, atau legenda di salah satu daerah
yang kental akan nilai kearifan lokal. Selain itu, melalui kesenian ketoprak dapat
62
digali beberapa pembelajaran mengenai nilai-nilai sejarah bangsa yang dewasa ini
sudah mengalami kemerosotan bahkan bisa dikatakan kurang mendapat perhatian
dari berbagai kalangan.
Kata kunci: Ketoprak, budi pekerti, nilai sejarah.
Abstract
Ketoprak is one of product of Javanese culture which having high ethic and
aesthetics values. Ketoprak is one kind of people art when is performing contains
glorious budi pekerti values how can be exampling for young generation in the
nation. Story in the ketoprak taken from past story, babad, or legend in one
territory how contains most of local wisdom values. In addition, from ketoprak
can be entractive some of lesson about national historical values which now have
being decreased because less of attention from many people.
Keywords: ketoprak, budi pekerti, historical values.
PENDAHULUAN
Kesenian dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Kesenian merupakan produk ekspresi jiwa manusia yang kemudian dituangkan
dalam bentuk dan kemasan yang beragam, bisa berbentuk tari, musik (gendhing
karawitan, pop, dangdut), sandiwara (teater, sandiwara Jawa, ketoprak), ataupun
paduan antara ketiganya (wayang wong). Hubungan kesenian dengan manusia
juga diungkapkan oleh Simatupang (2013: 3) bahwa jagad seni adalah jagad
refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika tiada henti yang hanya akan berakhir pada
saat sirnanya manusia dari atas bumi. Oleh karenanya, selama manusia masih
hidup dan berpijak di atas bumi, maka seni itu akan tetap tumbuh dan
berkembang.
Seperti halnya bentuk kesenian lainnya, ketoprak juga merupakan sebuah
ekspresi jiwa pengarangn yang kemudian dikemas menjadi sebuah sajian yang
memadukan antara unsur drama (dialog), gerak, dan musik sebagai instrument
pengiringnya.Adapun cerita yang dalam ketoprak menurut Lisbijanto (2013: 1)
menceritakan tentang kisah-kisah kehidupan yang terjadi dijaman kerajaan
dahulu, yang merupakan kisah legenda yang ada di dalam masyarakat dengan
latar belakang kehidupan kerajaan Jawa pada waktu dahulu.
63
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ketoprak
Banyak pendapat yang menjelaskan mengenai sejarah awal munculnya
ketoprak.Akan tetapi hal itu tidak perlu menjadi perdebatan mengenai kapan
mulanya kesenian ketoprak lahir.Perlu digaris bawahi bahwasannya kesenian
ketoprak lahir dari kalangan masyarakat sebagai kesenian masyarakat, bukan
kesenian yang muncul dari lingkungan kraton.Bentuk kesenian ketoprak pertama
kali disajikan pada tahun 1908 di Kampung Widyataman (sekarang Kampung
Madyataman), Surakarta, Tumenggung Wreksodiningrat yang mengumpulkan
beberapa anak muda untuk diajak bermain kesenian ketoprak, yang pada saat itu
bentuknya masih sederhana.Kesenian ketoprak pada masa itu masih sekedar acara
kesenian yang dilakukan oleh para petani sebagai bentuk rasa syukur dari hasil
panen yang diterimanya.Mereka bercanda dan menyanyikan lagu sambil
menggunakan alat yang seadanya, para petani pada saat itu menggunakan lesung,
gendang, suling, dan rebana.Mengacu pada piranti utama yang digunakan pada
saat itu adalah lesung, maka periodesasi ketoprak pada masa itu kemudian
dinamakan ketoprak lesung.
Adapun mengenai sejarah perkembanga kesenian ketoprak bisa dilihat
dalam buku National Geographic Traveler edisi Mei 2013, yang mengisahkan
perjalanan kesenian ketoprak dimulai dari tahun 1887 yang masih menggunakan
lesung, masa surut ketoprak pada tahun 1942-1945 akibat pendudukan Jepang
hingga kethoprak yang hampir punah pada tahun 1966–1967 akibat pergolakan
politik pasca tragedi 1965, seniman LEKRA diburu, diasingkan, bahkan banyak
yang dibunuh, sampai pada kesenian ketoprak yang berkembang dan bisa diterima
masyarakat pada saat kemunculan Ketoprak Humor di acara televisi swasta sekitar
tahun 2001 hingga sekarang di era kesenian ketoprak yang sudah mengalami
proses penggarapan.
Mengenai sejarah ketoprak Endraswara (2014: 176) mengatakan bahwa
kesenian ketoprak sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat, tak luput
dari dampak perubahan (transformasi) budaya. Sejak lahirnya ketoprak lesung
64
disusul kemudian oleh ketoprak ongkek (barangan), lalu ketoprak pendapan
(semuwanan), hingga ketoprak keliling (tobong), maka kini berkembang pula
ketoprak radio (audio) dan ketoprak televisi (audiovisual) menunjukkan bahwa
ketoprak terus menerus melakukan pergulatan dengan budaya yang semakin
modern. Selain beberapa hal yang diungkapkan di atas, perkembangan kesenian
ketoprak juga dipengaruhi oleh tuntutan penonton yang lebih menyenangi
kesenian ketoprak yang dipentaskan dengan menyesuaikan teknologi yang
berkembang pada saat ini, seperti penggunaan tata panggung, tata lampu (lighting)
yang memukau, tata rias dan kostum yang variatif, hingga cerita yang lebih
relevan dengan pola kehidupan sekarang.
B. Nilai-nilai Sejarah dalam Kesenian Ketoprak
Sebelum membahas mengenai nilai-nilai sejarah yang terdapat dalam
ketoprak akan dibahas mengenai ketoprak yang merupakan salah satu bentuk
tradisi lisan. Pernyataan tersebut mungkin terasa janggal dan bisa dikatakan asing,
karena pada umumnya ketoprak digolongkan sebagai salah satu bentuk kesenian
ataupun suatu jenis karya sastra, yaitu berupa naskah ketoprak. Oleh karena itu,
dalam pembahasan ini akan dibahas bukti yang mendasari ketoprak merupakan
salah satu bentuk tradisi lisan.
Tradisi lisan menurut Vansina (2014: 1) mengacu kepada sebuah proses
dan kepada hasil dariproses tersebut. hasilnyaberupa pesan-pesan lisan yang
berdasarkan pada pesan-pesan lisan terdahulu, yang berusia paling tidak satu
generasi. Tradisi lisan merupakan salah satu bagian dari folklor. Folkor seperti
yang diungkapkan Simatupang (2013: 17) terbentuk dari kata „folk‟ – yang berarti
suatu komunitas, kelompok orang, dan „lore‟ yang dapat dipahami secara luas
sebagai tradisi, yakni perilaku dan materi yang diwarisi turun-temurun dari
beberapa generasi.Dapat dikatakan baik tradisi lisan maupun folklor merupakan
sebuah tradisi (materi, pesan, atau perilaku) yang diwariskan secara turun-temurun
kurang selama satu generasi atau lebih.
Ketoprak bisa disebut salah satu jenisfolklor terkait dengan proses
perkembangan ketoprak dari masa ke masa. Pada awalnya, pementasan ketoprak
65
tidak menggunakan naskah, seperti dikemukakan oleh Endraswara (2014: 19)
bahwa pada ketoprak konvensional, pada dasarnya tidak mempergunakan naskah
singkat, sederhana yang terdiri hanya pokok-pokok persoalan dan pokok-pokok
pembicaraan saja. Jalan cerita yang akan dipentaskan biasanya hanya akan
dipaparkan oleh dalang atau sutradara ketoprak pada saat sebelum pementasan,
dalam istilah ketoprak tobong disebut dengan penuangan. Jadi, pemain datang
beberapa saat sebelum pentas, kemudian dalang mulai bercerita dari awal sampai
akhir mengenai cerita atau lakon yang akan dipentaskan. Pada saat penuangan
seluruh pemain harus memperhatikan arahan atau cerita si dalang, hal ini
ditujukan supaya mengerti keseluruhan alur cerita.Setelah membabar cerita dalang
atau sutradara memilih pemain untuk memerankan tokoh apa dan pada adegan
berapa pemain tersebut masuk, atau biasa disebut dengan istilah dhapukan.
Mengacu pada proses penuangan dapat dikatakan bahwa cerita atau lakon
ketoprak sebenarnya merupakan sebuah cerita yang diturunkan secara turun
temurun oleh dalang atau sutradara ketoprak, kemudian dilanjutkan oleh generasi
berikutnya. Selanjutnya ketika ada mantan pemain yang menjadi seorang dalang
atau sutradara ketoprak, mereka akan melakukan teknik yang sama pada saat
penuangan. Cerita yang dibabar juga akan sama dan mengacu kepada cerita yang
pernah didengar ketika masih menjadi pemain. Hal seperti ini sudah berlangsung
mulai dari awal ketoprak tobong atau ketoprak panggung dikenalkan, yaitu sekitar
tahun 1930-an.
Proses ketoprak yang disampaikan secara lisan oleh sutradara kepada
pemainnya, bisa dikatakan bahwa ketoprak merupakan salah satu jenis tradisi
lisan. Hal ini mengacu pada jalan cerita yang cenderung sama dari waktu ke
waktu, misalnya saja cerita Andhe-andhe Lumut, Rara Mendhut Pranacitra, Arya
Penangsang Gugur, Panembahan Senoprati, Ki Ageng Mangir Wonoboyo, dan
masih banyak cerita-cerita lainnya cenderung sama jalan ceritanya. Pendapat
bahwa ketoprak merupakan sebuah tradisi lisan juga diungkapkan oleh
Simatupang (2013: 161) yang menegaskan bahwa ketoprak adalah sebuah tradisi
masyarakat Jawa karena ia hadir dalam masyarakat Jawa sejak lebih dari tiga
generasi lalu.
66
Ketoprak juga dapat digunakan sebagai sarana mempelajari sejarah.Cerita
ketoprak yang merupakan sebuah representasi peristiwa yang terjadi di masa
lampau, menceritakan kehidupan dan segala pergejolakan pada masa kerajaan
Jawa.Lakon yang dipentaskan pada kesenian ketoprak seputar babad kerajaan,
legenda, maupun sejarah yang terjadi di berbagai daerah (Lisbijanto, 2013:
29).Dengan begitu ketika menonton pementasan ketoprak atau membaca naskah
ketoprak secara tidak langsung juga belajar mengenai sejarah, yaitu sejarah pada
masa kerajaan Jawa.
Dalam membuat rangkaian cerita dalam ketoprak seorang sutradara sudah
pasti melakukan observasi terlebih dahulu, mengenai cerita, tokoh-tokoh yang
terlibat, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu, nama daerah dan tempat
dimana peristiwa itu terjadi, bahasa yang digunakan, kondisi sosial budaya,
bahkan sampai kepada kostum atau asesoris yang digunakan. Misalnya pada
pementasan ketoprak dengan lakon “Sang Gajahmada” yang merupakan sebuah
lakon dari jaman Majapahit kostum yang digunakan tidak mungkin menggunakan
sorjan, batik, dan blangkon yang kesemuanya baru hadir pada saat jaman
Mataram Islam. Oleh karenanya, sutradara atau penulis lakon harus mempunyai
pengetahuan yang luas mengenai lakon yang akan dipentaskan. Hal ini ditujukan
untuk menyajikan sebuah gambaran peristiwa masa lalu yang representatif.
Cerita ketoprak juga dapat digunakan untuk menggambarkan ulang cerita
legenda atau asal-usul suatu daerah, seperti diungkapkan dalam Majalah National
Geographic Traveler yang melakukan penelusuran pementasan ketoprak di daerah
Kabupaten Blora.Dalam penelusurannya di Desa Wado, tedapat sebuah
pementasan ketoprak dengan lakon asal-usul Desa Wado yang diambil dari cerita
Raden Ranggakusuma putra Panembahan Senopati yang sedang bertarung dengan
seekor naga.Pada waktu itu Raden Ranggakusuma kewalahan dan terluka parah,
hingga berteriak “Waduuh…waduuuh…waduuh”.Kemudian tempat dimana
Raden Ranggakusuma bertarung dengan naga tadi dinamakan Desa Wado, karena
pada saat itu Raden Ranggakusuma berteriak kesakitan.Selain cerita di atas juga
dapat dilihat dari naskah Nyi Ageng Karang, karangan Trisno Santoso yang
dipentaskan dalam rangka ulang tahun Kabupaten Karanganyar.Cerita pada
67
naskah ini mengenai Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang pada saat itu
berjuang melawan penjajah Belanda dan memilih untuk pergi dari Kraton
Kartasura.Dalam pengembaraannya Pangeran Sambernyawa dan prajuritnya
sampai disebuah daerahbernama Desa Karang. Di sana Raden Mas Said beserta
prajuritnya diterima dengan baik oleh sesepuh desa yang bernama Nyi Ageng
Karang, yang juga masih kerabat Kraton. Pada saat kompeni menyerang, Raden
Mas Said beserta masyarakat Desa Karang dengan bantuan Nyi Ageng Karang
berhasil mengalahkan prajurit Belanda.Sebagai rasa terima kasih Raden Mas Said
kemudian berpesan kepada Nyi Ageng Karang dan masyarakat Desa Karang,
“mbesuk yen ana rejane jaman papan panggonan iki bakal tak jenengi
Karanganyar”.Jadi, asal mula nama Karangayar berasal dari Nyi Ageng Karang.
Nilai-nilai sejarah selain dari jalan cerita, juga dapat dilihat dari
penyebutan nama istilah, nama tempat, atau nama tokoh-tokoh yang sesuai
dengan fakta sejarah. Misalnya, dalam lakon Arya Penangsang yang merupakan
seorang adipati dari Kadipaten Jipang Panolan. Nama Jipang Panolan merupakan
nama daerah yang benar-benar ada, yaitu tepatnya di Kabupaten Blora, di sana
ada daerah yang bernama Desa Jipang. Dalam cerita tersebut juga disebut nama-
nama daerah lain, misalnya Bumi Pati yang sekarang menjadi Kabupaten Pati,
Kraton Pajang sampai sekarang masih tetap ada, terletak di Desa Pajang.Dalam
kisah Arya Penangsang juga disebutkan mengenai tombak Kyai Pleret yang
digunakan Danang Sutawijaya untuk membunuh Arya Penangsang.Sampai
sekarang tombak Kyai Pleret merupakan disimpan sebagai salah satu benda
pusaka di Kraton Surakarta. Pusaka-pusaka lain yang digunakan untuk
penyebutan pusaka dalam ketoprak dan sampai sekarang masih ada diantaranya,
Keris Kyai Sabuk Inten (Yogyakarta), Keris Kyai Brongot SetanKober (Cirebon),
Keris Kyai Crubuk, Tumbak Kyai Baru Klinting, hingga Umbul-umbul Gula-
Klapa milik Kerajaan Majapahit yang menjadi asal-usul bendera kebangsaan
Indonesia.
Selanjutnya, pemerolahan nilai sejarah dapat diambil dengan cara
menganalisis naskah ketoprak dengan menggunakan pendekatan Historis. Analisis
karya sastra menggunakan pendekatan historis mengandung asumsi bahwa karya
68
sastra merupakan fakta sejarah karena karya sastra merupakan salah satu hasil
ciptaan manusia yang mengungkapkan semangat zamannya, (Suaka, 2014: 53).
Ratna (2012: 66) juga menambahkan bahwa pendekatan historis pada umumnya
dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama
dengan kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan sosial politik,
ekonomi, dam kebudayaan pada umumnya. Oleh karena itu, dengan menggunakan
pendekatan historis diharapkan mampu mengungkap nilai-nilai sejarah yang
terdapat dalam naskah ketoprak.
Ketika menganlisis naskah ketoprak menggunakan pendekatan historis,
yaitu dengan cara melihat hubungan apakah cerita dalam ketoprak memiliki
relevansi dengan kejadian yang terjadi di masa tersebut. Apakah terjadi
kesesuaian antara tokoh yang terlibat, nama tempat terjadinya peristiwa, dan
kondisi sosial masyarakat pada saat itu. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena
naskah ketoprak merupakan sebuah karya sastra yang dalam hakikatnya karya
sastra adalah imajinasi, tetapi imajinasi yang memiliki konteks sosial
sejarah.Misalnya, dalam naskah ketoprak “Mbalapan” yang menceritakan asal
mula pembangunan Stasiun Kereta Api Solo Balapan. Dalam naskah tersebut
apabila dibaca lebih mendalam terjadi kesesuaian antara waktu, tempat, peristiwa,
dan tokoh walaupun beberapa tokoh merupakan tokoh rekaan. Kesesuaian unsur-
unsur dilihat dari cerita yang mengisahkan bahwa pembangunan stasiun Solo-
Balapan dilakukan di kota Surakarta pada masa pemerintahan KGPAA
Mangkunegara IV, dimana pada saat itu Belanda masih berkuasa. Dari peryataan
di atas ditemukan kesesuaian antara informasi yang termuat di dalam naskah
dengan fakta sejarah yang terdapat dalam buku ataupun bukti sejarah lainnya.Bisa
dikatakan dengan membaca naskah ketoprak juga dapat memetik nilai-nilai
sejarah di dalamnya.
Adapun yang menjadi penting ketika menganalisis naskah ketoprak
dengan menggunakan pendekatan historis juga harus dicocokkan dengan
dokumen atau bukti sejarah yang autentik untuk mendapat sebuah kebenaran
mengenai sejarah.Hal ini juga ditujukan supaya tidak terjadi salah persepsi dalam
penafsiran cerita atau peristiwa sejarah. Selanjutnya, Kuntowijoyo (2003: 32) juga
69
menambahkan bahwa sejarah hanya akan berbuat adil jika mampu mengunkapkan
gambaran total tentang masa lampau – termasuk sejarah revolusi. Sejarah, seperti
sastra, mampu menciptakan sebuah epos revolusi – tidak melalui imajinasi, tetapi
melalui fakta.
C. Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Ketoprak
Budi pekerti menurut Dwijanagara (2015: 24) merupakan ranah sikap atau
domain pendidikan afektif.Budi pekerti luhur terkait dengan muna-muni dan
tindak-tanduk atau ucap dan patrap atau ucap dan sikap.Bisa dikatakan budi
pekerti terkait dengan sikap dan karakter yang dimiliki oleh individu.
Kesenian Tradisional Jawa mempunyai karakteristik selain sebagi media
hiburan (tontonan) juga sebagai sarana menyampaikan pesan atau pendidikan
moral (tuntunan).Hal itu juga berlaku dalam kesenian ketoprak yang notabene
merupakan salah bentuk kesenian tradisional.Lisbijanto (2013: 37) juga
mengatakan bahwa kesenian ketoprak adalah salah satu kesenian tradisional yang
berfungsi sebagai media pendidikan, dimana lakon atau cerita yang ditampilkan
dipakai sebagai tuntunan bagi para penonton yang menikmatinya.Pesan moral
dalam ketoprak disampaikan melalui tokoh yang berperan di dalamnya yang sifat
maupun karakternya patut untuk dijadikan teladan bertindak dalam keseharian.
Hal ini seperti tercermin dari tokoh Danang Sutawijaya yang pemberani, Patih
Mandaraka yang cerdik, cerdas, dan pintar, dan masih banyak lagi tokoh yang
bisa dijadikan referensi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, penerapan unggah-ungguh basa yang baik juga tercermin dalam
pementasan ketoprak, yaitu pada saat dialog antara Raja atau juragan dengan
bawahannya yang menggunakan ragam ngoko, sedangkan abdinya menggunakan
ragam krama inggil.Terlihat suatu pemakaian ragam bahasa Jawa yang tepat
antara dua orang yang memiliki status sosial berbeda.Hal ini bisa memberika
sebuah pelajaran kepada para penonton dan generasi muda pada khususnya untuk
selalu menggunakan ragam bahasa Jawa yang baik dan benar ketika berbicara
dengan siapapun.Endraswara (2014: 196) mengutarakan bahwa penerapan
unggah-ungguh yang sudah mentradisi itu dituntut ketepatan dan kebenarannya.
70
Begitu juga dialog ketoprak. Unggah-ungguh ini sesungguhnya perwujudan etika
dan tatakrama. Selanjutnya, Lisbijanto (2013: 45) juga menambahkan kesenia
ketoprak merupakan sebuah karya seni yang sarat dengan pesan moral, sarat
dengan filosofi tentang kebaikan, sehingga kesenian ketoprak dapat memberikan
pencerahan bagi para penontonnya untuk tetap hidup dalam akidah-akidah yang
telah digariskan.
KESIMPULAN
Kesenian ketoprak yang sudah berkembang di masyarakat Jawa sejak
beberapa tahun yang lalu ternyata mengandung banyak nilai-nilai sejarah di
dalamnya.Nilai-nilai sejarah tersebut dapat dilihat dari jalan ceritanya yang
mengacu dari cerita sejarah kerajaan, babad, atau legenda asal-usul suatu
daerah.Hal ini terlihat dari kesesuaian tokoh, tempat, waktu, dan peristiwa dalam
pementasan ketoprak dengan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lalu. Untuk
mencari kebenaran sejarah dalam ketoprak diperlukan sebuah observasi
mendalam dan proses pencocokan dengan dokumen sejarah maupun bukti sejarah
yang masih ada.
Kesenian ketoprak juga sarat akan nilai budi pekerti. Hal ini tidak terlepas
dari fungsi kesenian ketoprak selain sebagai tontonan juga sebagai
tuntunan.Pendidikan budi pekerti terlihat dari sifat dan karakter tokoh yang dapat
dijadikan teladan karena cenderung mempunyai karakter yang baik.Selain itu juga
sebagai media penanaman unggah-unggah atau tatakrama, tercermin dari dialog
tokoh yang menggunakan ragam bahasa Jawa yang baik dan benar.
DAFTAR RUJUKAN
Bidang Kesenian Kanwil DEPDIKBUD DIY.Tuntunan Seni Kethoprak. Proyek
Pengembangan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dwijanagara, Suwarna. 2015. “Optimalisasi Pragmatis Pendidikan Budi Pekerti
Berbasis Kearifan Lokal dalam Perikehidupan Sekolah” disampaikan dalam
Seminar Penggalian Nilai-nilai Budi Pekerti dan Kearifan Lokal melalui
Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa. Prodi Pendidikan Bahasa Jawa,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
71
Endraswara, Suwardi. 2014. Metode Pembelajaran Drama: Apresiasi, Ekspresi,
dan Pengkajian. Yogyakarta: Caps.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Lisbijanto, Herry. 2013. Ketoprak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
National Geographic Traveler. 2013. Kelana Ketoprak Jawa: Upaya Melestarikan
Seni Pertunjuan dari Budaya Agraris. Edisi Mei 2013.
Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya.
Yogyakarta: Jalasutra.
Suaka, I Nyoman. 2014. Analisis Sastra: Teori dan Aplikasi. Yogakarta: Ombak.
Vansina, Jan. 2014. Tradisi Lisan sebagai Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
BUDAYA UJUNG SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
BAGI MASYARAKAT JAWA
Oleh:
Sawitri, S.Sn.M.Hum
Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
Abstrak
Indonesia masih senantiasa dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial, moral
yang muncul seperti: (1) masih tingginya kasus tindakan kekerasan, terjadi antar
rekan pelajar dan mahasiswa, antar masyarakat, dalam keluarga, maupun
kekerasan yang dilakukan oleh preman atau juga oknum penguasa, (2)
perampokan secara sadis, pemerkosaan, pembunuhan, (3) meningkatnya
dekandensi moral, etika/sopan santun para pelajar, Ada tiga asumsi yang
72
menyebabkan gagalnya pendidikan moral/budi pekerti ke dalam sikap dan
perilaku siswa juga masyarakat Jawa. Pertama, adanya anggapan bahwa persoalan
pendidikan moral adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah sudah
menjadi tanggung jawab guru agama, guru PPKn, bahkan semua pendidik begitu
juga dosen sedangkan itu masalah kompleks dan menjadi tanggung jawab kita
bersama. Kedua, rendahnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam
mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek moral/budi pekerti ke dalam
setiap mata pelajaran yang diajarkan. Dan ketiga, proses pembelajaran mata
pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama
cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk
latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari.Salah
satunya adalah budaya Ujung atau sungkeman yang masih berlaku pada
masyarakat Jawa. Budaya Ujung mampu mewakili budaya-budaya luhur
Indonesia lainnya yang memiliki tendensi budaya dan nilai-nilai pengajaran budi
pekerti, terutama budi anak kepada orang yang lebih tua. Budi pekerti yang
ditanamkan pada masyarakat jawa.
Kata kunci: budaya Ujung, Budi Pekerti, Masyarakat jawa
72
PENDAHULUAN
Sampai saat ini bangsa Indonesia masih senantiasa dihadapkan pada
berbagai permasalahan sosial dan moral yang muncul seperti: (1) masih tingginya
kasus tindakan kekerasan, baik yang terjadi antarrekan pelajar atau mahasiswa,
antarmasyarakat, dalam keluarga, maupun kekerasan yang dilakukan oleh preman
atau juga oknum penguasa, (2) perampokan secara sadis, pemerkosaan,
pembunuhan, (3) meningkatnya dekandensi moral, etika/sopan santun para
pelajar, (4) meningkatnya ketidakjujuran pelajar, seperti menyontek, suka bolos,
suka mengambil barang milik orang lain, (5) berkurangnya rasa hormat terhadap
orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang seharusnya dihormati, (6)
timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seks
bebas, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku bunuh diri, (7) semakin lunturnya
sikap saling hormat-menghormati dan rasa kasih sayang diantara manusia, serta
semakin meningkatnya sifat kejam dan bengis terhadap sesama, (8) maraknya
korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai persoalan lainnya yang mengarah
pada terjadinya dekadensi moral bangsa. Persoalan di atas mendeskripsikan
bahwa orientasi pembangunan nasional ke arah terbentuknya jati diri bangsa yang
disiplin, jujur, beretos kerja tinggi, serta berakhlak mulia belum dapat diwujudkan
bahkan cenderung menurun. Mencermati persoalan demikian, orang kemudian
berpaling pada pendidikan. Pendidikan nasional dianggap telah gagal dalam
menyemai moral serta karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur.
Ada tiga asumsi yang menyebabkan gagalnya pendidikan moral/budi
pekerti ke dalam sikap dan perilaku siswa. Pertama, adanya anggapan bahwa
persoalan pendidikan moral adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah
sudah menjadi tanggung jawab guru agama dan guru PPKn. Kedua, rendahnya
pengetahuan dan kemampuan guru dalam mengembangkan dan mengintegrasikan
aspek-aspek moral/budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan.
Dan ketiga, proses pembelajaran mata pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan
moralitas serta pendidikan agama cenderung bersifat transfer of knowledge dan
kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak
kehidupan sehari-hari.
73
Namun, sebenarnya secara langsung maupun tidak langsung budaya yang
mengakar pada bangsa Indonesia sangat menjunjung budi pekerti, meski sekarang
telah tergerus oleh laju globalisasi. Salah satunya adalah budaya Ujung atau
sungkeman yang masih berlaku pada masyarakat Jawa. Budaya Ujung setidaknya
mampu mewakili budaya-budaya luhur Indonesia lainnya yang memiliki tendensi
budaya dan nilai-nilai pengajaran budi pekerti, terutama budi anak kepada orang
yang lebih tua.
Budaya Ujung dilakukan setiap lebaran atau hari raya Idul Fitri memiliki
sejarah panjang bahkan lebih lama daripada lahirnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Budaya ujung ini dipahami baik oleh anak-anak, remaja dan tentunya
orang yang lebih tua. Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, maka banyak
pihak mulai memikirkan kembali tentang perlunya pendidikan moral, pendidikan
watak atau pendidikan budi pekerti. Oleh karena itu, baik kurikulum berbasis
kompetensi maupun kurikulum tingkat satuan pendidikan yang saat ini berlaku,
tetap menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan yang terintegrasi
dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran. Namun demikian, sebagaimana
dinyatakan dalam asumsi kegagalan pendidikan, pendidikan budi pekerti bukan
semata-mata merupakan tanggung jawab sekolah saja, ada baiknya seluruh
masyarakat dan kebudayaan yang mendukungnya dapat berpartisipasi dalam
usaha menanamkan budi pekerti lurus pada generasi penerus bangsa.
Masyarakat Jawa menanamkan sikap budi pekerti pada budaya Ujung atau
sungkeman. Lingkungan keluarga memberikan peran penting bagi anak, anggota
keluarga, masyarakat. Tanggung jawab menjadi tanggung jawab bersama sebagai
warga masyarakat apalagi masyarakat Jawa. Penekanan pada unggah-ungguh
sangat dijunjung. Generasi penerus menjadi tanggung jawab semua kalangan
sehingga tercapai generasi yang berkarakter, bermoral, beretika, berbangsa, dan
memiliki jiwa spiritual yang baik.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Budaya Ujung
Sungkeman atau ujung adalah istilah yang sudah sangat populer
khususnya bagi orang Jawa dan umumnya bagi masyarakat Indonesia. Istilah ini
74
telah ada sejak zaman nenek moyang dulu. Orang Jawa menggunakan istilah ini
untuk menggambarkan suatu aktivitas ritual keagamaan, khususnya bagi yang
beragama Islam.
Ada yang unik pada perayaan idul fitri dalam tradisi Jawa. Tradisi halal
bihalal dalam keluarga besar biasa dikenal dengan istilah “ujung”. Tradisi ini pada
umumnya dilakukan di kalangan kerabat dekat saja. Inti dari acara sungkeman
adalah saling minta maaf antar kerabat. Ujung tidak hanya dilakukan dengan
berjabat tangan. Ada sejumlah prosedur tertentu yang perlu dilakukan pada acara
ujung ini.
Dalam sejarahnya, budaya sungkem dikenalkan oleh Raja Amangkurat I
yang bergelar pangeran sambernyowo di kerajaan mataram pada abad 16. Ketika
itu raja dan para abdi keratin menggelar sungkem untuk saling bermaaf-maafan.
Hal itu diikuti masyarakat disekeliling keraton dan seiring perkembangan, budaya
ini meluas diseluruh penjuru tanah air. Hal ini tidak saja memberikan hal positif
dalam masyarakat, namun juga menjadi budaya, tradisi yang mengakar dan
menjadi karakter masyarakat di Indonesia.
Acara sungkeman sendiri dilakukan setelah menjalankan shalat sunat „Idul
Fitri berjama‟ah. Shalat „Idul Fitri ini dilaksanakan tepat pada waktu dhuha, yaitu
saat matahari naik ke atas setinggi sekitar satu tombak atau jika dalam waktu
normal biasanya sekitar jam 07.30 WIB. Setelah selesai shalat „Idul Fitri, orang
yang lebih muda berkunjung ke rumahnya orang yang dianggap lebih tua dari
dirinya, baik dari segi umur ataupun kedudukannya di masyarakat. Dalam proses
berkunjung itu, orang yang lebih muda menyatakan permohonan maafnya baik
yang disengaja maupun yang tidak seraya bersimpuh dan berjabatan tangan
kepada yang lebih tua. Untuk kemudian orang yang dianggap lebih tua dengan
kebesaran hatinya mengabulkan permohonan maaf itu.
Ujung dilakukan secara terurut dari yang dituakan. Misal dalam keluarga
besar ada Kakek, Nenek, Budhe, Om, Anak Budhe, Anak Om; maka urutan
sungkeman adalah
Budhe sungkem ke kakek, lalu ke nenek
Om sungkem ke kakek, lalu ke nenek, lalu ke budhe.
75
Anak budhe sungkem ke kakek, lalu ke nenek, lalu ke budhe, lalu ke
om.
dan terus mengalir hingga semua anggota keluarga besar sudah
sungkeman.
Sungkem dilakukan dengan menundukkan kepala ke lutut kerabat yang
dituakan. Berikut contoh isi kalimat yang diucapkan saat sungkeman:
“Ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sadaya
kalepatan kula, indak tanduk ingkang kirang mranani penggalih kula
nyuwun agunging pangaksami,nyuwun donga pangestunipun saged dipun
paringi nikmat kasarasan, katentream”
yang artinya:
“Mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf atas segala
kesalahan saya, dikasih nkmat sehat, sejahtera, bahagia, tentram dan
minta doa restunya”.
Biasanya, kalimat tersebut akan dijawab dengan permohonan maaf
kembali dan disambung dengan do‟a dari kerabat yang dituakan dan diamini oleh
yang sungkem. Semua tentu tidak luput dari penggunaan tingkat dalam bahasa
jawa sesuai tingkat usianya.
Melalui tradisi sungkeman ini pula, kita dapat mengetahui bahwa
masyarakat Jawa masih memiliki kebutuhan untuk hidup bermasyarakat. Selain
itu, tradisi ini juga menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan meredam
egoisitas yang bersifat individualis dan cenderung primitif. Mereka memiliki
pandangan dan keyakinan bahwa dengan ketulusan meminta maaf dan memaafkan
orang lain maka jiwa akan kembali suci seperti bayi yang baru lahir dengan tidak
membawa dosa. Sekiranya, tradisi mulia ini akan terus langgeng dan lestari agar
tercipta masyarakat yang rukun dan damai.
2. Pendidikan Budi Pekerti
a. Pengertian Pendidikan
Ada berbagai ragam makna rumusan pendidikan yang telah
dikemukakan oleh para pakar sesuai dengan sudut pandang dan konteks
penggunaan masing- masing rumusan tersebut. Pendidikan (education) dalam
bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “educare” berarti memasukkan
76
sesuatu (Hasan Langgulung,1988: 4). Dalam konsteks ini, istilah pendidikan
dapat dimaknai sebagai proses menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam
kepribadian anak didik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pendidikan dimaknai
sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran itu
sendiri". Dalam konteks formal, makna pendidikan sebagaimana tertulis dalam
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal I adalah:
"Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara".
Dalam konteks filsafat, Driyarkoro (Madya Ekosusilo & Kasihadi,
1989) mengemukakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk
“memanusiakan manusia”. Dalam konteks tersebut pendidikan tidak dapat
dimaknai sekedar membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetap juga
keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan
manusia yang memiliki peradaban. Pendidikan di tinjau dari sudut pandang
masyarakat menurut Hasan Langgulung (1988: 3) berarti : Pewarisan
kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat
tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-
nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke genarasi agar identitas
masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Pandangan Hasan Langgulung tersebut sesuai dengan makna
pendidikan yang diungkapkan oleh Kneller yang memaknai pendidikan
sebagai proses pewarisan budaya. Menurut Kneller (1967: 21):
Education is the process by which society, through schools, colleges,
universities, and other institutions, deliberately transmits its cultural
heritage - its accumulated knowledge, value, and skill from one generation
to another.
77
Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses dimana masyarakat
melalui sekolah-sekolah, perguruan tinggi, universitas, dan institusi lain
dengan sengaja mewariskan warisan budayanya-yakni berupa akumulasi
pengetahuan, nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi yang lain.
Hal senada juga diungkapkan oleh Laska (1976: 3), bahwa:
Education is one of the most important activities in which human beings
engage. It is by means of the educative process and its role in transmitting the
cultural heritage from one generation to the next that human societies are
able to maintain their existence.
Artinya, pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang paling utama
yang melibatkan tubuh manusia. Pendidikan merupakan sarana proses
mendidik dan perannya di dalam mewariskankan warisan budaya dari satu
generasi kepada generasi berikutnya sehingga masyarakat manusia bisa
memelihara keberadaan mereka.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan sekolah pada dasarnya merupakan salah satu harapan
masyarakat (sebagai wakil orang tua) untuk mewariskan atau
menanamkan nilai-nilai moral/budi pekerti yang bersumber pada norma,
etika, tradisi budaya yang dianutnya kepada generasi mereka. Oleh karena
itu bagi masyarakat, lembaga pendidikan disamping diharapkan mampu
mengembangkan kemampuan berfikir dan ketrampilan hidup, juga diharapkan
mampu mewariskan nilai-nilai budaya luhur kepada anak didiknya.
b. Pengertian Budi Pekerti
Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa
disebut budi pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti
perbuatan. Berangkat dari kedua makna kata budi dan pakerti tersebut, Ki
Sugeng Subagya (Februari 2010) mengartikan istilah budi pakerti sebagai
perbuatan yang dibimbing oleh pikiran; perbuatan yang merupakan realisasi
dari isi pikiran; atau perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran.
Menurut Ensiklopedia Pendidikan, budi pekerti diartikan sebagai
kesusilaan yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia;
78
sedangkan manusia susila adalah manusia yang sikap lahiriyah dan
batiniyahnya sesuai dengan norma etik dan moral.
Dalam konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional (1997) mengartikan istilah budi pekerti sebagai sikap dan
prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun bangsa
yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati
diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas, dan kesinambungan masa depan
dalam suatu sistem moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia
Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersumber
pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa
budi pekerti pada dasarnya merupakan sikap dan prilaku seseorang, keluarga,
maupun masyarakat yang berkaitan dengan norma dan etika. Oleh karena itu,
berbicara tentang budi pekerti berarti berbicara tentang nilai-nilai perilaku
manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui
ukuran norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, atau norma
budaya/adat istiadat suatu masyarakat atau suatu bangsa.
c. Pendidikan Budi Pekerti
Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Haidar (2004) mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah usaha
sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan sikap dan prilaku peserta
didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah)
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan
sesama manusia maupun dengan alam/lingkungan.
Secara konsepsional, Pendidikan Budi Pekerti dapat dimaknai
sebagai usaha sadar melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran
dan latihan, serta keteladanan untuk menyiapkan peserta didik menjadi
manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di
masa yang akan datang. Pendidikan budi pekerti juga merupakan suatu upaya
pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan
79
perilaku peserta didik agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas
hidupnya secara selaras, serasi, seimbang antara lahir-batin, jasmani-rohani,
material-spiritual, dan individu- sosial. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001).
Sedang secara operasional, pendidikan budi pekerti dapat
dimaknai sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai
pribadi seutuhnya yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran,
perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan
moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan
pengajaran. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih,
berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban
terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk (Balitbang Puskur, Depdiknas,
2001).
Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan nilai,
sikap dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur
(Haidar, 2004). Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti,
nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu
tertanamnya nilai- nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang
kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa hakekat dari tujuan pendidikan
budi pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik. Indikator manusia yang
baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat
atau bangsa, secara umum didasarkan atas nilai-nilai sosial tertentu yang
banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat atau bangsa tersebut. Oleh karena
itu, hakikat pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia
adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pusbangkurandik (1997)
mengkategorikan pendidikan budi pekerti menjadi tiga komponen yaitu:
a. Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan
Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d)
80
perbuatan baik, (e) pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
b. Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja
(kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi
dan seni), (d) rasa tanggungjawab, (e) keberanian dan semangat, (f)
keterbukaan, (g) pengendalian diri.
c. Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b)
kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolong-menolong, (e) tenggang rasa, (f)
hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatutan), (h) rasa malu, (i) kejujuran
dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri).
Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti
menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah
kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada
tahap tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat
memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif,
yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam
diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai,
membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai
kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan
tindakan, perbuatan, perilaku, dan seterusnya.
Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa
aspek pendidikan budi pekerti dicapai mulai dari memiliki pengetahuan tentang
sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya
berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.
Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut.
Seseorang mesti seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana
seseorang sampai ke tingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan.
Pada tingkat berikutnya bertindak, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
kebaikan, sehingga muncullah akhlak atau budi pekerti mulia.
Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977), bahwa
supaya nilai yang ditanamkan dalam pendidikan tidak tinggal sebagai
81
pengetahuan saja, tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang, maka produk
pendidikan mestinya memperhatikan tiga unsur berikut secara
terpadu,yaitu“ngerti-ngerasa-ngelakoni”. Hal tersebut mengandung pengertian
bahwa agar pendidikan budi pekerti dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Hal senada disampaikan oleh Lickona (1992), bahwa dalam proses
pendidikan moral/budi pekerti, hendaknya guru tidak semata-mata terfokus
pada pemberian materi tentang konsep-konsep pendidikan moral/budi pekerti
kepada peserta didik, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter
yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan
tindakan atau perilaku moral. Pernyataan tersebut semakin memperkokoh
bahwa pendidikan moral hendaknya tidak hanya terfokus pada aspek kognitif
saja, tetapi juga harus menyentuh pada aspek afektif dan psikomotorik.
PEMBAHASAN
1. Kondisi Budi Pekerti Masyarakat Jawa
Budaya tercipta melalui perjalanan panjang sejarah yang diwariskan para
pendahulu bangsa. Budaya ujung sebuah hasil budaya yang ada pada masyarakat
jawa yang keberadaannya masih lestari. Dilakukan setiap hari besar idul fitri,
setelah sholat. Yang pertama dilakukan kepada kedua orang tua baru ke saudara
dan para sahabat serta tetangga.
Bahasa Jawa Ujung atau "sungkem" dilakukan masyarakat Jawa pada saat
Idul Fitri. Sungkem biasanya dilakukan kepada orang tua, orang yang lebih tua
atau dituakan di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan maksud yang berbeda-
beda, bisa jadi meminta doa restu atau meminta maaf. Ujung atau sungkeman
merupakan budaya Jawa yang dilakukan secara turun-temurun" biasanya
dilakukan secara kelompok. Dilakukan satu keluarga, kelompok muda-mudi yang
datang bersama-sama, bahkan ada "gerombolan" anak kecil yang membuat
suasana menjadi "kemriyek" atau ramai. Ucapkan ketika menyampaikan
permintaan maaf mereka. Misalnya:
a. Untuk orang dewasa atau yang sudah berkeluarga
82
Biasanya bahasa yang digunakan cenderung halus dan dan agak panjang.
Kurang lebih:
"Ngaturaken sugeng riyadi dumateng bapak/ibu/mbah/pakdhe/budhe/paklik/bulik,
dll. -pilih salah satu sesuai sikon- hambok bilih anggenipun kawulo srawung
dumateng panjenengan kathah atur saha tindak tanduk kulo ingkang mboten
mranani wonten ing manah panjenengan, kulo ngaturaken agunging samudro
pangaksami".
b. Untuk remaja tanggung atau kelompok muda-mudi
Karena kosakata bahasa Jawa yang kurang, biasanya mengucapkan
kalimat yang sederhana. Seperti: "Mbah/Pak/Bu/Lik/Dhe, dll. -pilih salah satu
sesuai sikon- ngaturaken sugeng riyadi, sedoyo lepat kulo nyuwun pangapunten."
c. Untuk anak-anak
Kalimat singkat, "Sugeng riyadi, Mbah/Pak/Bu/Lik/Dhe". Adapun untuk
jawaban yang biasanya disampaikan oleh orang tua atau yang dituakan juga
berbeda-beda. Ada yang menjawab dengan bahasa Jawa halus campur dan ada
juga yang menjawab sebisanya.
d. Dengan bahasa Jawa halus campur
Biasanya orang yang sudah terbiasa dengan lingkungan kental dengan
bahasa Jawa halusnya. Seperti, "Semanten ugi kulo nggih nak, kulo dados wong
tuwo sok kadang enten salah, mugi-mugi dosa kulo lan dosa jenengan dipun lebur
wonten dinten rioyo niki".
Terkadang juga ketika yang sungkem adalah orang yang sudah
berkeluarga menambahkan doa, "Kulo naming saget dongaaken mugi lancar
anggenipun Mas... pados sandang pangan, mimpin keluarga sarto didik putra
putrinipun dados anak ingkang soleh solihah." Kemampuan masyarakat berbeda-
beda dalam memberikan jawaban "Yoh, podho-podho yo mas yo, dosamu lan
dosaku dilebur ing dino rioyo iki".
Budaya Ujung sebuah budaya untuk mengajarkan etika sopan-santun, budi
pekerti, dan salimg menghormati. Berbagai kalimat diatas beberapa contoh ajaran
yang ada pada budaya ujung. Masyarakat memiliki tanggung jawab untuk
pembentukan karakter anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Tercipta
budaya yang beretika, bermoral dan cerdas spiritualnya.
83
KESIMPULAN
Pendidikan moral/budi pekerti ke dalam sikap dan perilaku masyarakat
menjadi sebuah tanggung jawab dari semua pihak. Masyarakat terkadang berfikir
bahwa Jawa persoalan pendidikan moral adalah persoalan klasik yang
penanganannya adalah sudah menjadi tanggung jawab guru agama, guru PPKn,
bahkan semua pendidik begitu juga dosen sedangkan itu masalah kompleks dan
menjadi tanggung jawab kita bersama. Rendahnya pengetahuan dan kemampuan
guru dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek moral/budi
pekerti ke dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. Proses pembelajaran pada
pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama
cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk
latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan untuk kehidupan
sehari hari dengan sopan santun dalam berbicara, berperilaku dan bertindak.
Pendidikan moral tidak semua diberikan di sekolah melainkan lingkungan
keluarga, masyarakat di sekitar tempat tinggal. Memberikan contoh untuk
menanamkan sifat menghormati, menghargai kepada yang lebih tua. Sikap yang
ada pada masyarakat jawa adalah budaya Ujung atau sungkeman yang masih
berlaku pada masyarakat Jawa. Budaya Ujung mampu mewakili budaya-budaya
luhur Indonesia lainnya yang memiliki tendensi budaya dan nilai-nilai pengajaran
budi pekerti, terutama budi anak kepada orang yang lebih tua. Budi pekerti yang
ditanamkan pada masyarakat jawa selalu dilakukan setiap tahun setelah Sholat
Idul Fitri dan dijadikan wahana untuk berkumpul dengan keluarga, tetangga,
saudara sehingga menanamkan kebersamaan.
DAFTAR RUJUKAN
Bag.I. Kneller, G. F. 1967. The philosophy of education. New York: London-
Sydney
Dirjen Dikti, Depdikbud. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional. Bandung: Citra Umbara
Haidar Putra Daulay, 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1.
84
Hasan Langgulung. 1988. Asas-asas pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-
Husna.
Ki Hajar Dewantara, 1977. Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa,
Jamhari Ma‟ruf. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam dalam
www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp diunduh pada Kamis, 13 Juni 2013
jam 05.13
Lailatul Faizah dkk. 2011. Psikologi Lintas Budaya: Kebudayaan Jawa Tengah.
Jakarta: Universitas Gunadarma
Laska, J. A. (1976). Schooling and education, basic concepts and problems. New
York: D. Van Nostrand Company.
Madya Ekosusilo & Kasihadi. 1989. Dasar-dasar pendidikan. Semarang: Effar
Publishing.
Muhammad Ali, Kamus Lengkap bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka
Amani.
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, 1997. Pedoman
Pengajaran Budi Pekerti. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Pusat Pengembangan Kurikulum, 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata
Pelajaran Budi Pekerti untuk kelas I-VI SD. Balitbang Puskur, Depdiknas.
Soegarda Poerbakawatja, 1976. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung
Agung.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, edisi kedu
85
TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA JAWA
AKIBAT TINGKAT SOSIAL MASYARAKAT
Oleh :
Bayu Indrayanto, S.S. M.Hum.
Universitas Widya Dharma Klaten
Abstrak
Fenomena tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan pemakaian bahasa Jawa
yang terjdi di masyarakat Jawa. Dalam menggunakan bahasa Jawa penutur harus
memahami unggah-ungguh, akan tetapi sering terjadi kesalahan dalam
penggunaan leksikon. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, sebab itu dapat
terjadi karena adanya beberapa faktor, misalnya : kurangnya pengetahuan
penutur tentang konsep unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa, kurangnya
penguasaan kosa kata bahasa Jawa oleh penutur. Biasanya hal ini dialami oleh
pendatang yang telah lama menetap di luar Jawa atau oleh kaum muda
(khususnya anak-anak) yang belum mengerti dan menguasai tentang unggah-
ungguh.
Kata Kunci: tingkat tutur, unggah-ungguh, ngoko, krama
PENDAHULUAN
A. Tingkat Tutur/Unggah-Ungguh Bahasa Jawa
Bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang selama ini dikenal secara luas
oleh masyarakat Jawa adalah bentuk ngoko dan krama. Menurut Sasangka (2009 :
92) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa yang secara jelas dapat
dibedakan, pada prinsipnya hanya ada dua macam, yaitu unggah-ungguh yang
berbentuk ngoko dan yang berbentuk krama. Kedua unggah-ungguh itu dibedakan
secara jelas karena leksikon (kosakata) yang dirangkaikan menjadi sebuah kalimat
dalam kedua unggah-ungguh itu dapat dikontraskan satu sama lain secara tegas.
Unggah-ungguh bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni
ngoko (ragam ngoko) dan krama (ragam krama). Jika terdapat bentuk unggah-
ungguh yang lain dapat dipastikan bahwa bentuk-bentuk itu hanya merupakan
varian dari ragam ngoko atau krama.
a. Ragam Ngoko
86
Yang dimaksud ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa
yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam
ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam
ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (misalnya: afiks di-, -e, dan –ake).
Ragam ngoko boleh digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh
mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada mitra tuturnya.
Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.
1) Ngoko Lugu
Ngoko Lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua
kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa
terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk O1, O2,
maupun (O3).
Contoh:
(1) Yen mung kaya ngana wae, aku mesthi ya bisa!
„Jika cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!‟
(2) Yen mung kaya ngana wae, kowe mesthi ya bisa!
„Jika cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!‟
(3) Yen mung kaya ngana wae, dheweke mesthi ya bisa!
„Jika cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!‟
2) Ngoko Alus
Ngoko Alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya
terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon
krama inggil, krama andhap. Namun, leksikon krama inggil, krama andhap
yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk
menghormati mitra tutur (O2 atau 03).
Leksikon krama inggil yang muncul di dalam ragam ini biasanya hanya
terbatas pada kata benda (nomina), kata kerja (verba), atau kata ganti orang
(pronomina). Jika leksikon krama andhap muncul dalam ragam ini, biasanya
leksikon itu berupa kata kerja, dan jika leksikon krama muncul biasanya kata
kerja atau kata benda.
Contoh:
(4) Mentri pendhidhikan sing anyar iki asmane sapa?
„Menteri pendidikan yang baru ini siapa namanya?‟
87
(5) Kae bapakmu gek maos ning kamar.
„Itu bapakmu sedang membaca di dalam kamar.‟
b. Ragam Krama
Yang dimaksud ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa
yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam
krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam
ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya: afiks dipun-, -ipun, dan -
aken).
Ragam krama digunakan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah
status sosialnya daripada mitra tuturnya. Ragam krama mempunyai dua bentuk
varian yaitu krama lugu dan krama alus.
1) Krama Lugu
Istilah lugu pada krama lugu tidak didefinisikan seperti lugu pada ngoko lugu.
Makna lugu pada ngoko lugu mengisyaratkan makna bahwa bentuk leksikon
yang terdapat di dalam unggah-ungguh tersebut semuanya berupa ngoko.
Sementara itu, lugu dalam krama lugu tidak diartikan sebagai suatu ragam
yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama, tetapi digunakan untuk
menandai suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon krama, madya,
dan/atau ngoko serta dapat ditambah leksikon krama inggil atau krama
andhap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam krama
lugu adalah leksikon krama, madya, dan atau netral, sednagkan leksikon
krama inggil atau krama andhap yang muncul dalam ragam ini hanya
digunakan untuk menghormati mitra tutur.
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk
ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika
dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar
kehalusan. Contoh:
(6) Sing dipilih Sigit niku jurusan jurnalistik utawi perhotelan.
‟Yang dipilih Sigit itu jurusan jurnalistik atau perhotelan‟.
(7) Sakniki nek boten main plesetan, tiyang sami kesed nonton kethoprak.
‟Sekarang jika tidak main plesetan, orang malas melihat ketoprak‟.
88
2) Krama Alus
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa
Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah
dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang
menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk
krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul dalam
tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap -- secara
konsisten – selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra tutur.
Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai ragam krama
yang kadar kehalusanya tinggi. Contoh:
(8) Aksara jawi punika manawi kapangku dados pejah.
‟Aksara Jawa itu jika dipangku malah mati.‟
(9) Ingkang sinuhun tansah angengetaken bilih luhur nisthaning asma gumantung
wijiling pangandika.
‟Sang raja selalu mengingatkan bahwa baik buruknya nama seseorang
bergantung pada apa yang diucapkan.‟
(10) Para miyarso, wonten ing giyaran punika kula badhe ngaturaken rembag
bab kasusastran Jawi.
‟Para pendengar, dalam (kesempatan) siaran ini saya akan berbicara tentang
kasusastraan Jawa.‟
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Faktor-faktor situasional dan sosial berpengaruh terhadap penggunaan
ragam ngoko atau ragam krama, yaitu siapa yang berbicara dengan bahasa apa,
kepada siapa, kapan dan dimana.
a. Jenis Kelamin
Dalam budaya Jawa, seorang istri kepada suami menggunakan ragam krama
dan tidak sebaliknya.
(11) A : Bapak, mangke sonten kundur jam pinten?
B : Mengko jam 4.
Terjemahan :
A : „Nanti jam 4.‟
B : „Bapak, nanti sore pulang jam berapa?‟
Kata mengko merupakan leksikon ngoko, sehingga suami tersebut
menggunakan ragam ngoko.
89
b. Usia
Usia yang lebih muda harus menggunakan ragam krama kepada yang lebih tua
dan tidak sebaliknya.
(12) A : Ibu badhe tindak pundi?
B : Menyang pasar.
Terjemahan :
A : „Ibu mau pergi kemana?‟
B : „Ke pasar.‟
c. Status Sosial
Status sosial lebih rendah harus menggunakan krama kepada orang yang
status sosialnya lebih tinggi. Misalnya tuturan atasan kepada bawahannya.
(13) A : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran untuk surat.
B : O, ya sudah, inilah !
A : Terima kasih
B : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor
sebelah, saya sudah kenal dia, orangnya baik, banyak relasinya,
dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin
maju kudu wani ngono.
A : Pancen ngaten, pak !
B : Pancen ngaten priye ?
A : Tegesipun, mbok modalipun agenga kados menapa menawa ...
B : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan usahane
ora bakal dadi. Ngono karepmu ?
A : Lho, inggih ngaten.
B : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim kemarin ?
A : Sudah pak. Bersama surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.
Terjemahan :
A : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran untuk surat.
B : O, ya sudah, inilah !
A : Terima kasih
B : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor
sebelah, saya sudah kenal dia, orangnya baik, banyak relasinya,
dan tidak banyak mencari untung. Lha sekarang kalau usahanya
ingin sukses harus berani seperti itu.
A : Seperti itu, pak !
B : seperti itu bagaimana ?
A : Artimya, meskipun modalnya besar sekalipun bila ...
B : Bila tidak banyak hubungannya dan dalam mencari tidak akan
jadi. Begitu keinginanmu ?
A : Lha, seperti itu.
B : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim kemarin ?
A : Sudah pak. Bersama surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.
90
d. Hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan yang kuat dalam tuturan di bawah ini menggunakan
ragam ngoko.
(14) A : Piye PRe ? Wis rampung.
B : Wis tapi during rampung kabeh.
A : Aku wis kabeh, mau tak cocoke PRe Ahmad. Yang lain nomer
sembilan.
B : Aku garap mung sampai nomer pitu thok. Endi PR mu ?
A : Sik takjipuke ning tas, Ki !
B : Aku nurun ya, nomer wolu karo sanga.
A : He ... he ... he ...
Terjemahan :
A : Bagaimana PRe ? Sudah selesai.
B : Sudah tapi belum selesai semua.
A : Saya sudah semua, tadi saya samakan PRnya Ahmad. Yang lain
nomer sembilan.
B : Saya mengerjakan hanya sampai nomer tuju saja. Mana PRmu ?
A : Sebentar saya ambilkan di tas. Ini !
B : Saya mencontoh ya, nomer delapan dan sembilan.
A : He ... he ... he ...
C. Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa
a. Ketidaktepatan penggunaan tingkat tutur/unggah-ungguh dalam bahasa Jawa
dapat dikarenakan penguasaan yang kurang terhadap leksikon-leksikon bahasa
Jawa, atau kurangnya pemahaman terhadap konsep ragam ngoko dan ragam
krama.
Contoh:
(15) Nyuwun pamit Pak, kula badhe kondur.
„Permisi pulang Bu, saya mau pulang.‟
Konteks: seorang anak yang berpamitan kepada tuan rumah.
Frase badhe kondur tidak tepat, lebih tepat jika menggunakan badhe mantuk.
Frase badhe kondur merupakan leksikon krama yang tidak tepat digunakan
jika untuk menyatakan hal tentang dirinya sendiri. Penutur mungkin
maksudnya baik, jika berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan
ragam krama, namun penutur salah bahwa dalam unggah-ungguh bahasa Jawa
juga mengenal merendahkan status dirinya dan leksikon-leksikon yang
menunjuk dirinya tidak boleh dikramakan.
91
(16) Yen angsal, mangpundhutke gangsal iji mawon kangge kula
‟Jika boleh, Anda mintakan lima biji saja untuk saya.‟
Data 16 merupakan leksikon krama andhap yang digunakan oleh O1 yaitu
oleh kula ‟saya‟. Namun, pada kata mangpundhutke menjadikan kalimat tidak
berterima, ketidakberterimaannya itu dikarenakan O1 (kula) menggunakan
bentuk krama inggil pundhut ‟minta, beli, ambil‟ untuk diri sendiri. Sehingga
kata mangsuwunke diganti mangsuwunke pada data 16 menjadi berterima.
(17) a. Panjenengan kersa kula tukokaken gethuk goreng ?
‟Anda mau saya belikan (kue) getuk goreng ?‟
b. Mbak Darmi badhe menehaken buku waosan punika (menika) dhateng Pak
Daliman.
‟Kak Darmi akan memberikan buku bacaan ini kepada Pak Daliman.‟
Begitu pula halnya dengan sufiks -aken (-kaken) yang terdapat pada
contoh (17) di atas, sufiks itu tidak dapat bergabung dengankata tuku „beli‟
seperti pada *tukokaken „belikan‟ (17a) dan tidak dapat bergabung dengan
kata weneh „beri‟ seperti pada *menehaken „memberikan‟ (17b) sehingga
kalimat (17a-17b) pun tergolong kalimat yang tidak berterima.
Ketidakberterimaan kedua kalimat tersebut disebabkan pada kata tuku dan
weneh merupakan leksikon ngoko yang mempunyai padanan bentuk krama
dan krama inggil. Karena mempunyai padanan bentuk krama dan krama
inggil, leksikon krama dan krama inggil itulah yang seharusnya dilekati afiks -
ipun (-nipun). Jika kaidah ini dilanggar, kalimat akan menjadi tidak berterima.
Padanan leksikon ngoko tuku adalah tumbas, dan padanan leksikon ngoko
weneh adalah atur/caos. Sehubungan dengan itu, agar kalimat 17a menjadi
berterima, kata tuku harus diganti dengan kata tumbas dan kata wenehaken
diganti dengan aturaken/caosaken pada kalimat 17b, sehingga ubahannya
menjadi.
Panjenengan kersa kula tumbasaken gethuk goreng ?
Mbak Darmi badhe nyaosaken/ngaturaken buku waosan punika (menika)
dhateng Pak Daliman.
Dalam unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat fenomena dimana penutur
akan merendahkan diri lewat bentuk ragam bahasanya. Penutur akan
92
menggunakan pilihan kata/leksikon ngoko untuk menyatakan dirinya dan memilih
leksikon krama untuk mitra tuturnya.
b. Anak-anak ketika berbicara dengan orang tua
(18) A : Bu lawuhe apa?
B : kuwi le, neng njero lemari.
Terjemahan :
A :„Bu, lauknya apa?‟)
B : „Itu nak, di dalam almari.‟
Konteks: seorang anak ketika pulang sekolah, lapar dan segera menuju dapur.
Kurangnya pengetahuan tentang unggah-ungguh bahasa Jawa dapat
menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Bisa saja anak itu berasal dari latar
belakang sosial keluarganya; ayahnya berasal dari luar Jawa dan Ibu dari Jawa.
Sangat dimungkinkan bahasa Jawa bukan menjadi prioritas utama dalam bertutur,
apalagi dalam hal membedakan krama dan ngoko. Atau mungkin memang orang
tuanya tidak mengajarkan unggah-ungguh bahasa Jawa, anak mendapat
pembelajaran bahasa Jawa dari lingkungannya.
c. Ketika orang tua berbicara kepada anaknya (masih kecil)
(19) A : Mangke adik menawi sampun rampung matur nggeh.
B : Nggeh Bu!
Terjemahan :
A :„Nanti adik kalau sudah selesai, bilang ya.‟
B : „Ya Bu!‟
Konteks: orang tua sedang memberi pesan kepada anaknya yang sedang belajar.
Pada tuturan orang tua tersebut bukan dalam rangka menghormati
anaknya, tetapi dalam rangka mengajarkan kepada anak tentang unggah-ungguh
bahasa Jawa.
d. Keakraban yang melunturkan status sosial dan unggah-ungguh bahasa Jawa.
(20) A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk?
B : Durung Yu, kenthongen!
Terjemahan :
A : „Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?‟
B :„Belum Yu, pukullah!‟
Konteks: Pembicaraan di pos ronda. A berumur 30 tahun, seorang dosen dan
B berumur 25 tahun, seorang karyawan pabrik. Mereka teman bermain sejak
kecil.
93
Bila A dan B bukan teman bermain sejak kecil atau tingkat keakrabannya
kurang bahkan tidak akrab, B sangat dimungkinkan akan menggunakan ragam
krama saat bertutur kepada A.
(21) A : Ne, kenthongane wis mbok thuthuk?
B : Dereng Pak, dikenthong mawon!
Terjemahan :
A : „Ne, kenthongan itu sudah kamu pukul?‟
B : „Belum Pak, pukullah!‟
e. Tidak akrab dan kebutuhan akan sesuatu, penutur memunculkan bentuk
bahasa krama kepada mitra tutur.
(22) A : Ndherek tanglet Mas!
B : Njih Mas.
A : Dalemipun Bu Marini menika pundi nggih?
B : O.. pertigaan niku ngetan, griya nomor kalih madhep ngaler.
Terjemahan :
A : „Mau tanya Mas!‟
B : „Ya Mas.‟
A : „Rumahnya Bu Marini itu dimana ya?‟
B : „O.. pertigaan itu ke timur, rumah nomor dua menghadap ke utara.‟
Konteks: A bertanya ke B mengenahi alamat Bu Marini, dan B menunjukkan
denah yang ada.
Ketidakakraban penutur dengan mitra tutur dapat memunculkan ragam
krama, padahal bisa jadi salah satu dari mereka memiliki usia yang lebih
muda, status sosial yang lebih rendah, atau yang lainnya.
f. Status sosial mitra tutur lebih rendah, maka mitra tutur harus menggunakan
ragam krama kepada atasannya (penutur) meskipun jauh lebih muda dari
penutur.
(23) A : Pak, sukete ngarep omah wis mbok resiki?
B : Injih, sampun.
Terjemahan :
A : „Pak, rumput depan rumah itu sudah kau bersihkan?‟
B :„Iya, sudah.‟
Konteks: A adalah seorang juragan, B adalah tukang kebun Pak Bayu.
Meskipun Nene berumur lebih tua, selayaknya dia menggunakan
ragam krama kepada Bayu karena status sosialnya. Status sosial dalam hal ini
94
sangat berperan penting dalam menentukan unggah-ungguh yang harus
digunakan oleh penutur.
KESIMPULAN
Masyarakat jawa menggunakan bahasa jawa harus mengenal unggah-
ungguh, akan tetapi sering terjadi kesalahan dalam penggunaan leksikon. Hal ini
tidak dapat disalahkan sepenuhnya sebab itu dapat terjadi karena adanya beberapa
faktor, misalnya : kurangnya pengetahuan penutur tentang konsep unggah-ungguh
dalam berbahasa Jawa, kurangnya penguasaan kosa kata bahasa Jawa oleh
penutur. Biasanya hal ini dialami oleh pendatang yang telah lama menetap di luar
Jawa atau oleh kaum muda (khususnya anak-anak) yang belum mengerti dan
menguasai tentang unggah-ungguh. Kebiasaan menggunakan bahasa selain
bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari atau bahasa Jawa berupa ngoko,
dikarenakan : (1) alasan keakraban antara O1 dan O2 ; (2) kemungkinan adanya
perbedaan wilayah asal antara penutur dan mitra tutur ; (3) penggunaan bahasa
ngoko lebih banyak digunkan sebab lebih mudah dipahami dalam menyampaikan
informasi.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta
: PT. Rineka Cipta.
Chaedar Alwasilah, A. 1985. Sosiologi Bahasa.Bandung : Angkasa.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Halliday, M.A.K,. et al. 1970. “ The Usurs and Uses of Language”. dalam J.A
Fishman, Reading in the Sosiology of Linguage.The Hague : Mounton.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa.
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa
(Editor: Yeyen Maryani). Jakarta: Yayasan Paramalingua.
Soepomo, Poedjosoedarmo,. 1976. Pengaruh Bahasa Indonesia Terhadap Bahasa
Jawa. Stensilan.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolingustik.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
95
INOVASI PROSES PENGAJARAN TEMBANG MACAPAT
MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI
FUNGSI PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DI ERA MEA
Oleh:
Astiana Ajeng Rahadini
Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), bahasa daerah mempunyai peranan
penting sebagai penguat jiwa nasionalisme sehingga tidak luntur oleh gencaran
arus yang datang dari luar. Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk
melestarikan bahasa daerah adalah melalui jalur pendidikan. Tembang macapat
adalah salah satu materi pembelajaran bahasa Jawa. Namun, menguasai tembang
macapat bukanlah hal yang mudah. Diperlukan kepekaan terhadap titi laras dan
penguasaan berbagai jenis tembang macapat. Untuk meminimalisir kesalahan
ketika mengajarkan tembang macapat, penggunaan media audio dapat digunakan
sebagai inovasi pembelajaran dan membantu guru mencapai tujuan pembelajaran.
Kata kunci: bahasa daerah, tembang macapat, inovasi pembelajaran
PENDAHULUAN
Bahasa daerah mempunyai kedudukan yang tidak kalah penting dengan
fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain sebagai
lambang identitas dan kebanggaan daerah, bahasa daerah juga berfungsi sebagai
pendukung bahasa nasional. Terutama di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA),
bahasa daerah mempunyai peranan penting sebagai penguat jiwa nasionalisme
sehingga tidak luntur oleh gencaran arus yang datang dari luar.
Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Indonesia
diharapkan tetap menjadi salah satu unsur budaya Indonesia yang dibanggakan.
Kehalusan budi pekerti, kesopanan dalam unggah-ungguh basa, dan keagungan
nilai moral yang terkandung dalam bahasa dan budaya Jawa adalah hal-hal yang
sangat disayangkan seandainya bahasa Jawa sampai punah tergerus arus
modernisasi. Apalagi melihat kenyataan bahwa banyak pemuda Jawa yang sudah
merasa asing dan kesulitan menggunakan atau memahami bahasa Jawa, bahasa
96
ibunya sendiri. Belum lagi jika melihat fenomena bahwa banyak anak-anak yang
tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga dengan bahasa pengantar bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, proses pengenalan dan internalisasi bahasa dan
kebudayaan daerah menjadi suatu hal yang penting.
Melihat fungsi dan peranan penting bahasa dan budaya daerah maka sudah
selayaknya bahasa dan budaya daerah tetap dilestarikan dan dipertahankan.
Pemertahanan bahasa-bahasa daerah agar tetap exist (bertahan), selain ditentukan
oleh jumlah penutur, kekuatan dan potensinya, bahasa daerah juga ditentukan oleh
3 (tiga) faktor, yaitu faktor budaya atau tradisi tulis, faktor pemakaian dalam
bidang pendidikan, dan faktor peranannya sebagai sarana pendukung kebudayaan
daerah.
Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk melestarikan bahasa daerah
adalah melalui jalur pendidikan. Untuk wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa
Timur, telah menetapkan bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah di wilayah
tersebut sebagai bagian dari muatan lokal wajib yang harus diajarkan di tingkat
SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Pemasukan bahasa Jawa ke dalam
kurikulum muatan lokal di tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, telah
diamanatkan dalam Konggres Bahasa Jawa III di Yogyakarta. Melalui
rekomendasi dari hasil putusan Konggres Bahasa Jawa III inilah maka Gubernur
Jawa Tengah mengeluarkan SK Gubernur No 895.5/01/2005 tertanggal 23
Februari 2005. Surat Keputusan tersebut mengatur tentang Penetapan Kurikulum
Mata Pelajaran Bahasa Jawa pada Jenjang Pendidikan SMA/SMALB/SMK/MA.
Pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SMA/SMK/MA mungkin sesuatu yang baru
dalam dunia pendidikan kita, namun untuk pembelajaran bahasa Jawa di tingkat
SD/MI dan SMP/MTs telah lama dilaksanakan.
Macapat adalah salah satu kebudayaan Jawa yang menjadi materi pelajaran
Bahasa Jawa di semua jenjang pendidikan. Namun, mengajarkan Macapat
bukanlah hal yang mudah. Guru harus benar-benar menguasai tembang tembang
Macapat dan paham atau peka terhadap titi laras atau nada. Namun, hal tersebut
tidaklah mudah. Kepekaan terhadap titi laras dapat dikatakan sebagai suatu
97
„anugerah‟ bagi guru bahasa Jawa. Penguasaan titi laras yang benar akan
menyebabkan transfer ilmu yang benar pula dalam proses belajar mengajar.
Namun, sangat disayangkan, bahwa pada kenyataannya, guru yang menguasai
titi laras dan tembang macapat dengan baik hanya berada pada batas minimum.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sudah selayaknya dilakukan inovasi dalam
pembelajaran untuk mengoptimalisasikan pembelajaran tembang macapat untuk
menginternalisasi nilai-nilai keraifan lokal sebagai penguat jati diri bangsa.
PEMBAHASAN
1. Pembelajaran Tembang Macapat
Padmopuspito melalui Suwardi (2010: 9) menyatakan bahwa macapat itu
berasal dari kata maca papat-papat „membaca empat-empat‟. Hal ini juga dapat
dinalar sebab ketika membaca macapat hampir selalu silabik, empat suku kata,
lalu bernafas. Macapat juga sering dikaitkan kedalam akronim dari maca sipat
„membaca sifat‟. Maksudnya sifat-sifat manusia sering terungkap dalam pesan
yang terkandung dalam tembang macapat. Ajaran sufisme Jawa juga sering
menjadi tumpuan tembang macapat.
Macapat merupakan suatu khasanah kebudayaan lokal Jawa yang kaya akan
nilai luhur. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya berisi tentang nilai-nilai
moral kehidupan yang dapat menjadi pedoman bagi manusia. Oleh karena itu,
tembang macapat ini dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah sebagai salah satu
materi yang diajarkan dalam pelajaran bahasa Jawa, baik di tingkat SD, SMP,
maupun SMA. Jumlah tembang macapat yang diajarkan di dalam kurikulum
sekolah ada 11 macam, yaitu: dhandhanggula, sinom, pangkur, asmaradhana,
durma, kinanthi, mijil, pocung, maskumambang, megatruh, dan gambuh.
Tembang macapat yang diajarkan di sekolah biasanya disesuaikan tingkat
kesulitannya pada setiap jenjang pendidikan. Misalnya untuk SD tembang
macapat yang diajarkan yaitu tembang Pocung dan Gambuh yaang pendek. Untuk
tingkat SMP dan SMA hampir semua tembang macapat sudah diajarkan. Berikut
ini contoh kurikulum SMP kelas VII semester 1 yang memuat materi tembang
macapat.
98
Standar Kompetensi : Mengungkapkan gagasan ragam wacana lisan sastra dalam
kerangka budaya Jawa.
Kompetensi Dasar : Melagukan tembang Asmaradhana
2. Media Pembelajaran Audio
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah suatu
alat yang merupakan saluran untuk menyampaikan suatu pesan atau informasi dari
suatu sumber kepada penerima (Soeparno, 1980: 1). Hamalik (1986: 12)
mendefinisikan media pembelajaran sebagai alat, metode, dan teknik yang
digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru
dan murid. Jadi, berbagai alat yang digunakan untuk membantu kelancaran
penyampaian materi pelajaran disebut dengan media.
Media pembelajaran merupakan salah satu komponen dalam kegiatan belajar
mengajar. Wibawa dan Mukti (1992: 24) mengklasifikasikan media pembelajaran
untuk tujuan praktis. Secara praktis klasifikasi media dibagi menjadi: (1) media
audio, (2) media visual; (3) media audio visual; dan (4) media serbaneka (di
dalamnya memuat permainan). Setiap jenis media dapat disesuaikan dengan
materi pembelajaran yang akan disampaikan.
Menurut Supadi (1987: 22) hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan
media antara lain: (1) tujuan yang ingin dicapai; (2) cara mencapai tujuan; (3)
kesesuaian; (4) tingkat kesukaran; (5) biaya; (6) ketersediaan; (7) kualitas teknik.
Sedangkan menurut Soeparno (1980: 13) beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam emmilih media antara lain: (1) memperhatikan karakteristik setiap media;
(2) memilih media sesuai dengan tujuan yang akan dicapai; (3) memilih media
yang sesuai dengan metode dan strategi yang kita pakai; (4) disesuaikan dengan
keadaan siswa; (5) disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat
media itu akan digunakan; (6) disesuaikan dengan kreativitas penggguna.
Penggunaan dari suatu alat pasti ada alasannya. Begitu pula dengan
penggunaan media. Media digunakan karena memiliki fungsi dan manfaat yang
dapat membantu kelancaran proses pembelajaran. Rowntree (dalam Supadi, 1983:
11) mengemukakan bahwa sebagai bagian dari sistem pembelajaran, media
99
mempunyai beberapa fungsi yaitu untuk membangkitkan motivasi belajar siswa,
menyediakan stimulus belajar siswa, emmbantu siswa untuk mengulang atau
mempelajari kembali pelajaran yang telah diterima, dan dapat memberikan umpan
balik dengan segera baik bagi siswa maupun guru. Selain itu Miarso (1984: 52)
menambahkan fungsi dan manfaat penggunaan media yaitu dapat menyajikan
informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut
kebutuhan, mengatasi keterbatasan waktu dan ruang, serta untuk mengontrol arah
maupun kecepatan belajar siswa.
Pembelajaran yang menjadi objek penelitian ini adalah pembelajaran yang
menggunakan media audio untu mengajarkan materi tembang Macapat. Menurut
Rahardjo dalam Miarso (1984: 54) media audio adalah media yang hanya
memanipulasikan kemampuan-kemampuan suara semata-mata. Setiap media
memiliki kelemahan dan kelebihan. Menurut Miarso (1984: 60) kelebihan media
audio ini, yaitu: (1) mudah dipersiapkan dengan sedikit pengetahuan
penyuntingan, (2) dapat dipergunakan hampir untuk semua keperluan, (3) tidak
memerlukan peralatan putar ulang yang rumit, (4) mudah diproduksi dan murah
ongkosnya. Kelemahan media audio ini, yaitu hanya menekankan pada aspek
pendengaran saja dan cenderung untuk menurun kualitas suaranya karena
pemakaian (usang). Namun, penggunaan media audio untuk pembelajaran
tembang Macapat dirasa tepat karena input yang dibutuhkan siswa hanya input
suara atau audio. Siswa hanya membutuhkan informasi dan pedoman tentang lagu
atau suara dan tinggi rendahnya nada yang tepat.
3. Pelaksanaan Proses Pembelajaran Tembang Macapat dengan Media
Audio
Macapat merupakan salah satu materi dalam mata pelajaran bahasa Jawa.
Untuk tingkat SMP, baik kelas 7, 8, maupun 9, pada kurikulumnya tercantum
kompetensi dasar dimana siswa ditekankan mampu melagukan tembang Macapat.
Macapat termasuk ke dalam aspek kompetensi berbicara. Jadi, output dari
pembelajaran tembang Macapat diharapkan siswa mampu melagukan tembang
macapat, minimal satu buah, dengan titi laras (nada) dan lirik yang benar.
100
Meskipun jumlah tembang Macapat yang diajarkan sedikit namun ini
bukanlah hal yang mudah. Guru bahasa Jawa yang memiliki kemampuan
kepekaan nada yang bagus sangatlah sedikit. Pada umumnya mereka dapat
menyanyikan tembang Macapat tersebut secara benar, tetapi tidak tepat. Banyak
nada-nada yang keliru. Belum lagi melihat fenomena bahwa mata pelajaran
bahasa Jawa banyak diampu oleh guru yang tidak berijazah S1 bahasa Jawa. Hal
ini terjadi untuk melengkapi tuntutan 24 jam mengajar. Sangat disayangkan ketika
guru mengajarkan hal yang salah kepada muridnya.
Untuk menghindari atau meminimalisir kesalahan dalam mengajar, guru-guru
bahasa Jawa dapat pembelajaran macapat dengan menggunakan bantuan media
audio. Media audio yang digunakan dapat berupa CD hasil rekaman dimana lagu
atau tembangnya dapat didownload atau direkam sendiri. Sebelum memasukan
lagu dan mengemasnya menjadi CD pembelajaran, guru dapat mengkaji ulang
ketepatan titi laras dan tembang yang sesuai syair dengan tujuan pembelajaran
sehingga materi yang disajikan benar dan tepat.
Penggunaan media audio ini untuk memaksimalkan tercapainya tujuan
pembelajaran. Media audio ini juga untuk menyiasati porsi pembelajaran macapat
yang begitu sedikit. Jatah untuk materi tembang Macapat tiap satu semester
adalah 1-2 buah tembang Macapat dengan alokasi waktu masing-masing tembang
dua kali pertemuan. Tentu waktu yang sangat terbatas bagi siswa untuk dapat
menguasai tembang macapat dengan benar dan tepat. Selain dimainkan pada saat
pembelajaran Macapat, CD-CD ini juga dibagikan kepada siswa agar siswa dapat
mengulang dan mempelajari sendiri tembang Macapat tersebut di rumah. Dengan
menggunakan CD tembang macapat, siswa dapat belajar sendiri di rumah dan
mengulangnya berkali-kali di saat waktu senggang.
Pembelajaran Macapat menggunakan media audio ini dapat dilaksanakan di
ruang TIK atau membawa piranti pemutar audio. Hal ini untuk memudahkan
pelaksanaan pembelajaran karena memang alat untuk memainkan CD tersebut
berada di ruang TIK. Selama pembelajaran setiap siswa menghadap komputer,
satu komputer untuk dua orang siswa. Selanjutnya selama proses belajar mengajar
pada tiap-tiap komputer dimainkan CD tembang Macapat dan pembelajaran pun
101
berlangsung dengan dipandu oleh guru. Untuk lebih rincinya pelaksanaan proses
pembelajaran Macapat menggunakan CD adalah sebagai berikut:
1. Pembukaan kurang lebih 15menit.
Setelah siswa duduk menghadap komputer (satu komputer untuk dua siswa)
dan guru berada di belakang meja komputer guru maka pembelajaran dimulai.
Pertama-tama diawali dengan salam dan berdoa bersama. Selanjutnya guru
menjelaskan apa yang akan dilaksanakan selama proses pembelajaran dan
guru pun memberikan instruksi untuk memutar CD tembang Macapat pada
CD-Rom. Pada komputer guru juga dimainkan CD tembang Macapat. Guru
juga memberikan pengetahuan awal mengenai tembang Macapat dan
pengetahuan sekilas tentang tembang Macapat yang akan dipelajari. Guru
menuliskan lirik tembang Macapat yang akan dipelajari di papan tulis dan
siswa mencatatnya.
2. Isi kurang lebih 60 menit.
Setelah semuanya siap, yang pertama kali diputar adalah CD Macapat
yang berada di komputer guru. Semua siswa menyimak tembang Macapat
tersebut. Tembang Macapat yang dimainkan adalah tembang Kinanthi.
Tembang tersebut diputar dua kali. Setelah itu pemutaran CD dihentikan
sementara. Semua siswa beserta guru melagukan bersama-sama tembang
Macapat tersebut satu kali secara keseluruhan. Selanjutnya, guru memandu
siswa untuk melagukan tembang Macapat tersebut baris demi baris. Guru
terlebih dahulu melagukan kemudian siswa menirukan. Setelah itu guru dan
semua siswa kembali melagukan tembang Macapat secara keseluruhan dan
bersama-sama disertai dengan pemutaran CD Macapat.
Selanjutnya guru membagi siswa yang berjumlah 32 orang tersebut
menjadi 5 kelompok. Tiap-tiap kelompok kemudian diminta untuk
melagukan tembang Kinanthi baris demi baris dan secara keseluruhan
masing-masing satu kali. Ketika setiap kelompok melagukan tembang
kinanthi tersebut guru juga membenarkan kesalahan nada. Guru juga
memberikan apresiasi berupa pujian bagi siswa yang dapat melagukan
tembang Kinanthi dengan baik. Setelah menyanyikan tembang Kinanthi per
102
kelompok, selanjutnya siswa diminta untuk melagukan tembang Kinanthi dua
orang-dua orang. Pada sesi ini guru juga membenarkan kesalahan nada.
Setelah semua siswa sudah selesai melagukan tembang Kinanthi, guru
bersama semua siswa kembali melagukan tembang Kinanthi bersama-sama
dengan disertai pemutaran CD Macapat.
Setelah selesai melagukan, guru memberikan pengetahuan tentang guru
lagu, guru wilangan, dan guru gatra tembang Macapat. Selanjutnya guru
memandu siswa menemukan guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra
tembang Kinanthi tersebut beserta maknanya. Setelah semua materi selesai,
guru dan siswa kembali menyanyikan tembang Kinanthi keseluruhan secara
bersama-sama satu kali.
3. Penutup
Di akhir pembelajaran guru memberikan pesan agar siswa sering
mengulang pembelajaran tembang Macapat tersebut di rumah menggunakan
CD masing-masing dan pertemuan berikutnya akan diadakan penilaian
penguasaan tembang Kinanthi secara individual.
4. Penilaian Pembelajaran Tembang Macapat
Tagihan capaian kompetensi penguasaan tembang Macapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu penilaian teoretik dan penilaian unjuk kerja. Penilaian teoretik
berkaitan dengan teori-teori tembang Mcapat, khususnya tembang Kinanthi,
sedangkan penilaian unjuk kerja yaitu dengan menilai performa siswa dalam
melagukan tembang Kinanthi. Format penilaian yang digunakan guru adalah
sebagai berikut:
No Pedoman Penskoran
Skor Soal Teoretis
1
2
3
Tembang kinanthi iki:
Golekana guru lagu, guru gatra lan guru wilangan!
Apa isine tembang kinanthi!
Golekana piwulang-piwulang kang ngandhut budhi pekerti ing
tembang kinanthi!
20
15
15
Penilaian performansi
1
2
Mampu melagukan tembang Kinanthi dengan lirik yang tepat
Mampu melagukan tembang Kinanthi dengan nada yang tepat
20
30
Skor maksimum 100
103
Jadi, bobot untuk teori dan unjuk kerja adalah 50-50.
C. KESIMPULAN
Penggunaan media audio sangat membantu pelaksanaan pembelajaran
tembang Macapat. Tidak hanya guru, siswa juga sangat terbantu dengan adanya
media audio ini. Selain dapat meminimalisir kesalahan guru, media audio ini
dapat mengatasi masalah keterbatasan waktu yang dialokasikan untuk
pembelajaran Macapat. Siswa dapat mengulang kembali materi yang telah
diterima di sekolah dengan mudah. Kapanpun dan dimanapun siswa dapat belajar
Macapat kembali dengan pedoman yang benar. Selain itu selama pembelajaran
siswa juga menjadi lebih antusias karena berada pada situasi ruangan yang
berbeda dan metode pembelajarannya bukan hanya menggunakan metode
ceramah.
DAFTAR RUJUKAN
Hamalik, Oemar. 1986. Media Pendidikan. Bandung: Alumni.
Miarso, Yusufhadi, dkk. 1984. Teknologi Komunikasi Pendidikan. Jakarta: CV.
Rajawali.
Soeparno. 1980. Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Supadi, Imam. 1983. Media pendidikan. FIP: IKIP Yogyakarta.
____________. 1987. Media Pendidikan. FIP: IKIP Yogyakarta.
Suwardi. 2010. Tuntunan Tembang Jawa. Yogyakarta: Lumbung Ilmu.
Wibawa, Basuki dan Mukti F. 1992. Media Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
104
MENDEKATKAN KESENIAN TRADISIONAL KETHOPRAK
KEPADA MASYARAKAT PENDIDIKAN
Budi Waluyo
Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Kethoprak merupakan salah satu jenis seni pertunjukkan tradisional atau daerah
atau rakyat yang masih potensial untuk direaktualisasi, restrukturisasi dan
refungsialisasi pada saat sekarang. Sifatnya yang lebih luwes dan dinamis
daripada jenis seni pertunjukkan lain, sangat memungkinkan untuk mendukung
pernyataan di atas. Pada perkembangan sekarang, beberapa kelompok menjadi
sangat pesat perkembangnnya karena mereka menerapkan konsep “mengunjungi”.
Artinya mereka tidak mengundang penonton untuk datang, tetapi kelompok ini
justru datang, bersilaturahmi dan menggelar pementasan di tempat mereka.
Konsep seperti inilah yang sekarang mendapat tempat di hati masyarakat.
Beberapa hambatan perkembangan seni tradisi Jawa khususnya kethoprak di
sekolah banyak dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor itu antara lain: 1) ada
semacam jarak yang tidak terlihat tetapi ada antara siswa dengan kethoprak; 2)
Siswa merasa, mempersiapkan pagelaran kethoprak adalah sesuatu yang rumit; 3)
Belum banyak festival drama Jawa atau kethoprak bagi para siswa; 4) belum
menjadikan sekolah sebagai ruang untuk pagelaran kethoprak; 5) sekolah kurang
greget memikirkan perkembangan seni tradisi Jawa khususnya kethoprak; dan 6)
kekurangan naskah kethoprak di kalangan para siswa.
Kata kunci: kethoprak, konsep mengunjungi
PENDAHULUAN
Sejarah Kemunculan Seni Tradisional Kethoprak
Perjalanan manusia dari suatu tempat ke tempat lain, melewati ruang
waktu; pada hakikatnya merupakan upaya untuk memenuhi kerinduannya pada
sesuatu yang lain, yang unik, yang khusus dan sesuatu yang dapat membuatnya
terpesona. Dari sekian daya tarik kunjungan; banyak pesona yang dirangkum dan
diringkas dalam bentuk seni pertunjukkan. Karena dalam sebuah pentas
pertunjukkan, tidak saja ruang dan waktu yang membuat menjadi khas dan unik,
105
tetapi pentas itu juga merangkum berbagai ekspresi seni yang lain, misalnya seni
rupa, seni musik, seni sastra dan seni olah tubuh.
Kethoprak merupakan salah satu jenis seni pertunjukkan tradisional atau
daerah atau rakyat yang masih potensial untuk direaktualisasi, restrukturisasi dan
refungsialisasi pada saat sekarang. Sifatnya yang lebih luwes dan dinamis
daripada jenis seni pertunjukkan lain, sangat memungkinkan untuk mendukung
pernyataan di atas.
Menurut sejarahnya, kethoprak muncul pertama kali sekitar tahun 1930-
an. Menurut sumber yang dapat memberikan petunjuk asal mula kethoprak dapat
dikemukakan sebagai berikut.
a. Kethoprak lahir di Surakarta pada tahun 1908, diciptakan oleh Raden Mas
Tumenggung Wreksodiningrat, pada saat beliau mengadakan kethoprak. Dalam
latihan tersebut, beliau menggunakan alat tetabuhan sebuah lesung (kayu utuh
dilubang tempat penunbuk padi), sebuah terbang (rebana) dan sebuah seruling.
Pelaku utama pada saat itu ialah Mbok Gendro alias Nyi badur dan Ki
Wisangkoro. Nama-nama gendhing yang digunakan ialah Megamendhung,
Kupu Tarung, Trim, Bak-bak, Simah-simah, Bluluk Tiba, dan Randa Ngangsu.
Lakon yang dibawakan menceritakan seorang petani yang sedang mencangkul
di sawah, disusul istrinya dengan membawa makanan. Busana yang dikenakan
oleh para pelakunya adalah pakaian sehari-hari para petani. Properti yang
dibawanya adalah cangkul dan bakul. Cara penampilannya dengan menari.
Kadang-kadang berlebih-lebihan dan lucu, sehingga penonton menyebutnya
dengan tontonan badutan (banyolan/lawakan). Sesuai dengan nama penari
utamanya, tari yang dibawakan dalam kethoprak tersebut disebut joget Gendro
(tari Gendro). Cakapan atau dialog yang dibawakan sebagian dengan bentuk
nyanyian atau tembang (puisi), sebagian dengan bentuk bahasa kolokuial
(bahasa sehari-hari, prosa) atau dalam kesusastraan Jawa disebut dengan
bentuk gancaran. Dengan demikian cakapan yang digunakan dalam kethoprak
meliputi tiga jenis, yaitu puisi, prosa dan drama.
b. Berdasarkan buku Jawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Drama Tradisional
(R.M. Soedarsono, 1972) dikemukakan antara lain, “Kethoprak merupakan
106
tarian rakyat yang belum begitu tua usianya. Kethoprak merupakan drama tari
kerakyatan yang sesungguhnya, diciptakan oleh Raden Mas Tumenggung
Wreksodiningrat dari Surakarta tahun 1914”.
c. Sumber ketiga, dalam buku Ensiklopedi Umum terbitan Yayasan Kanisius
Yogyakarta (1973:669) menerangkan sebagai berikut.“Kethoprak, sandiwara
rakyat khas Jawa Tengah, waktu lahirnya, siapa penciptanya tidak dapat
dinyatakan dengan pasti. Cerita-ceritanya diambil dari dunia kaum tani dengan
maksud memajukan pertanian, juga cerita-cerita sejarah.”“Pakaian pelakunya
sangat sederhana, celana hitam sampai lutut (tapak belo), baju kurung dan kain
kepala. Gamelannya terdiri atas lesung (alat penumbuk padi), kendang, rebana,
dan keprak, yang diselingi bunyi pukulan pada lesung sehingga disebut
kethoprak.”
d. Sumber keempat ialah berdasarkan Serat Pustaka Raja Purwa. Dikatakan
bahwa terlepas dari mana, kapan lahir, dan siapa penciptanya, kethoprak benar-
benar tumbuh dari dan untuk rakyat yang sebagian besar hidupnya dari
pertanian. Pernyataan demikian didasarkan atas kenyataan bahwa iringan yang
masih primitif, seperti lesung, tong-tong (kentongan), seruling, dan keprak
menunjukkan alat-alat yang biasa digunakan oleh para petani.
Sekilas Sejarah Perkembangan Kelompok Kethoprak
Pada sekitar tahun 1925, untuk pertama kalinya kethoprak dipentaskan
oleh kelompok, yaitu oleh Perkumpulan Kethoprak Krido Madyo Utomo dari
Solo, yang terkenal dengan sebutan Kethoprak Lesung.
Pada sekitar tahun 1928, grup wayang orang Bekso Langen Wanodyo di
bawah pimpinan Mbok Kertonoyo dari Solo, mengubah sajian dalam bentuk
wayang orang menjadi bentuk kethoprak. Grup ini merupakan kelompok
kethoprak pertama yang anggotanya adalah kaum wanita.
Pada tahun 1929 di Yogyakarta muncullah kelompok kethoprak Krido
Mudo. Kelompok ini dalam penyajiannya tidak menggunakan instrument lesung,
kentongan, rebana, atau instrument musik Barat, melainkan menggunakan
107
instrument musik Jawa, yaitu gamelan. Bunyi tong-tong (kentongan) diganti
dengan keprak.
Tahun 1931 muncullah grup kethoprak pimpinan Sosroganjur dari
kampong Dagen. Setahun kemudian muncul lagi kelompok kethoprak Mardi
Wandowo.
Pasca G 30 S PKI, muncullah beberapa grup kethoprak keliling, antara
lain Dahono Mataram yang berganti nama Waringin Dahono, Wiro Budoyo dan
Budi Rahayu.
Tahun 1971, Bagong Kussudiarjo mendirikan kelompok Kethoprak
Mataram Sapta Mandala Kodam VII (sekarang Kodam IV).
Sekitar tahun 1985, muncullah beberapa kelompok kethoprak di beberapa
kota, misalnya di Solo muncul kethoprak Jati Budaya Pimpinan Gepeng
(kelanjutan dari grup kethoprak Cokrojio pimpinan Teguh), di Semarang muncul
Ngesti Pandowo dan Sri Wanita, meskipun merupakan grup wayang orang,
namun juga memainkan kethoprak seminggu sekali. Di Tulungagung muncul
kelompok kethoprak Gaya Baru Siswo Budoyo pimpinan Ki Siswando
Hardjosuwito.
Pada tahun 2000-an ini, setelah keberadaan kethoprak mulai tergeser arus
modernisasi dan teknologi, muncullah kethoprak humor Sami Aji (kelompok yang
sebagian besar adalah anggota Srimulat) yang menggunakan pendekatan baru
dalam penggarapan, yaitu menampilkan banyak sisi humornya. Kelompok ini
cukup mendapat perhatian dari masyarakat, meskipun sudah beralih bahasa dari
bahasa asli Jawa, menjadi bahasa campuran Indonesia-Jawa. Hal ini tidak lain
karena kelompok ini mendapat dukungan yang cukup kuat dari pihak swasta,
antara lain siaran televisi swasta yang cukup rutin.
PEMBAHASAN
Pendekatan Kethoprak Kepada Masyarakat
Kethoprak, pada masa sekarang lebih bersifat praktis sehingga untuk
mementaskan sebuah pertunjukkan kethoprak tidak lagi harus melalui latihan
maupun peralatan yang rumit. Pementasan kethoprak pada era sekarang oleh para
108
pelaku kethoprak lebih disederhanakan dalam bentuk penyajian dan
penggarapannya, sesuai dengan kemampuan masing-masing kelompok pelaku
kethoprak.
Apabila kita mencoba mencermati lebih detail, sejak kemuncullan
kethoprak pertama kali sampai sekarang, pergeseran-pergeseran baik dari sisi
garapan ataupun penyajian ini selalu saja terjadi.
Kita amati, kemunculan pertama kali kethoprak yang menggunakan alat
tetabuhan sebuah lesung (kayu utuh dilubang tempat penunbuk padi), sebuah
terbang (rebana) dan sebuah seruling, sudah mengalami perubahan yang
signifikan tiap periodenya, sampai akhirnya menggunakan gamelan Jawa lengkap
dan utuh.
Lakon yang dibawakan pun sudah mengalami perubahan yang sangat luar
biasa. Dari lakon-lakon yang sangat sederhana (kehidupan sederhana kaum
petani), sudah bergeser atau berganti menjadi lakon-lakon yang sangat kompleks,
misalnya sudah mengambil cerita-cerita kerajaan di Jawa (Majapahit,
Blambangan, Demak, Mataram, dsb) maupun cerita-cerita dari negeri manca.
Kesenian memang diciptakan sejalan dengan keadaan zamannya. Untuk
saat-saat ini, di tengah perekonomian yang begitu berat, fungsi kesenian yang
pada awalnya adalah sebagai adat kebiasaan, atau ritual barangkali, sudah
bergeser fungsi menjadi alat atau sarana hiburan. Masyarakat melihat kesenian
sebagai sebuah tontonan yang menghibur, yang bisa melupakan mereka dari
beban kerja maupun beban kebutuhan ekonomi.
Mulai tahun 2000-an, ketika kebutuhan tontonan masyarakat sudah
berfokus pada kesenian sebagai sebuah hiburan yang segar dan dinamis,
kethoprak humor mengalami masa-masa kejayaan. Penonton dimanjakan dengan
hiburan kethoprak ini. Garapan yang membebaskan bahasa, karakter, sikap, dan
penyajian yang cair membuat penonton merasa betul-betul “merdeka” dalam
memberikan apresiasi.
Namun lama-kelamaan, sesuatu yang memang biasanya biasa, terjadi.
Kebosanan akhirnya juga menghinggapi pada diri masyarakat penikmat kesenian.
109
Cerita yang berulang-ulang, dialog yang terkesan monoton, humor (guyon) yang
sudah dihafali membuat penonton akhirnya jenuh juga.
Berangkat dari hal di atas, nampaknya ada sinyal yang ditangkap oleh
beberapa kelompok kethoprak. Ketika masyarakat sudah jenuh dengan konsep
pertunjukkan seperti ini, termasuk sulit melihat secara langsung (tempat yang
terbatas dan biaya yang mahal), muncullah kelompok-kelompok kesenianlah yang
mengunjungi mereka. Tentu dengan konsep menghibur, gampang dilihat dan
murah!
Salah satu yang menonjol (meskipun belum berskala nasional), adalah
kelompok Thoprak Pendapan. Kelompok kethoprak dari Solo yang dipimpin
Hanindawan ini muncul sebagai sebuah alternatif tontonan. Pergeseran penyajian
dan lokasi pementasan pun mereka lakukan. Mereka tidak memfokuskan diri
berpentas di sebuah gedung kesenian, tetapi “mengunjungi” penonton di tengah-
tengah masyarakat. Kelompok ini tidak selalu memerlukan gedung untuk tempat
pertunjukkan, tetapi cukup perempatan jalan, halaman rumah, lapangan dan
tempat-tempat lain di masyarakat yang mudah untuk didapatkan dan “baru”
sebagai lokasi pertunjukkan.
Konsep “mengunjungi” ini mempunyai banyak kelebihan, diantaranya
adalah tidak mungkin mereka akan ditinggalkan penonton, karena penonton akan
bersikap menghargai kedatangan mereka dengan cara melihat pementasan sampai
berakhir.
Konsep cerita pun mengalami transformasi dan pergeseran. Kelompok ini
menganut konsep cerita yang luwes. Kadang ending pun “semau” mereka. Konsep
cerita yang baru, kadang cerita carangan (fiktif ataupun merupakan sempalan-
sempalan cerita yang sudah ada) kerap mereka gunakan.
Begitu juga dengan konsep gamelan yang mereka gunakan. Tidak selalu
mereka menggunakan gamelan Jawa komplit, namun hanya beberapa gamelan
saja sesuai dengan kebutuhan mereka. Termasuk untuk gendhing-gendhingnya,
yang kadang menggunakan lagu anak, lagu pop, lagu nasional yang mereka gubah
sesuai dengan konsep cerita pada kethoprak ini. Hal-hal tersebut memberikan nilai
rasa yang baru!
110
Komunikasi yang cair kadang mereka gunakan tidak hanya untuk dialog
antarpemain, tetapi juga dengan penonton. Sahut-sahutan spontan antara penonton
dan pemain membuat pertunjukkan ini menjadi terasa akrab.
Kelompok kethoprak lain yang saat ini menggunakan metode
“mengunjungi” penonton adalah Kethoprak Ngampung Surakarta. Kelompok ini
digawangi oleh anak-anak muda yang merupakan generasi lanjut dari Kethoprak
Balekambang. Konsep “mengunjungi dan tidak memasang tarif” inilah yang
diterapkan oleh penulis dan sutradara Kethoprak Ngampung yaitu Dwi Mustanto
dan dimanajemeni oleh Tatak.
Keampuhan konsep “mengunjungi dan tidak memasang tarif” ini betul-
betul dirasakan oleh kelompok Ngampung ini. Mereka selalu berkeliling dari
kampung ke kampung, kadang juga memenuhi undangan untuk pentas di suatu
tempat tanpa memperhitungkan dengan rumit segi finansialnya. Bagi mereka,
yang penting dana cukup untuk membiayai pementasan itu sudah cukup.
Yang menarik dari konsep yang mereka terapkan ini adalah,
dilatarbelakangi keprihatinan Kelompok Kethoprak Ngampung Surakarta dengan
kurangnya apresiasi generasi muda terhadap kesenian kethoprak. Mereka
berpendapat jarang sekali ada anak muda yang masih mau menggeluti seni
kethoprak sebagai sebuah profesi ataupun hanya sekadar hobi.
Dari keprihatinan hal-hal inilah, anak-anak muda yang masih sangat peduli
dengan kesenian tradisi kethoprak ini mengunjungi masyarakat untuk
mementaskan kethoprak. Kelompok ini juga tidak mempermasalahkan tempat
atau arena untuk bisa pentas. Di gedung mereka senang, di perempatan jalan
mereka juga senang, di pos ronda, di terminal, di balai desa, atau di manapun
tidak menjadi masalah asal bisa untuk menggelar pementasan.
Yang harus diperhitungkan sekarang adalah bagaimana kelompok-
kelompok kesenian kethoprak ini pandai membaca apa yang dibutuhkan
masyarakat. Melihat dan mengamati keseharian terhadap masyarakat harus selalu
dilakukan. Fenomena-fenomena apa saja yang terjadi pada masyarakat harus
selalu diikuti, dan kepekaan sosial nampaknya harus terus diasah oleh para kaum
111
seniman. Perubahan dan trasformasi harus selalu dilakukan agar suasana
kejenuhan para penonton terhadap seni tradisi kethoprak bisa diminimalkan.
Pendekatan Kesenian Tradisional Kethoprak di Sekolah
Dewasa ini sekolah-sekolah menengah atas (SMA dan SMK) selalu hingar
bingar dengan aktivitas teater modernnya. Mereka selalu rutin menggelar pentas-
pentas teater baik pentas rutin maupun pentas dalam rangka lomba atau festival.
Namun, hal ini tidak terjadi untuk pementasan seni tradisi. Sangat jarang, siswa-
siswa di sekolah mementaskan kesenian drama tradisi, apalagi kethoprak. Ada
beberapa hal mengapa peristiwa ini bisa terjadi.
Pertama, siswa menganggap bahwa pementasan tradisi, baik drama Jawa
maupun kethoprak hanyalah milik kalangan tua saja. Ada semacam jarak yang
tidak terlihat tetapi terasa bahwa ada semacam rasa ketertarikan yang kurang dari
para siswa terhadap kesenian tradisi kethoprak.
Kedua, siswa menganggap bahwa untuk mementaskan kethoprak
memerlukan persiapan yang lebih rumit. Di samping para pelaku harus berlatih
akting dan berdialog dengan bahasa Jawa, mereka juga harus memikirkan musik
pengiringnya, yang sebagian besar menggunakan gamelan yang tidak setiap siswa
bisa memainkannya. Namun, beranjak dari tulisan yang sudah dipaparkan di atas
tentang musik pengiring, bahwa sebenarnya tidak selalu kethoprak harus diiringi
dengan gamelan Jawa. Perkembangan selera jiwa muda sekarang, musik
pengiring gamelan bisa digantikan dengan alat musik modern, misalnya dengan
gitar, drumb atau keyboard. Atau bahkan bisa juga menggunakan alat-alat perkusi
misalnya kendang, jimbe, kentongan atau yang lainnya, yang notabene tidak
serumit seperti ketika menggunakan gamelan.
Ketiga, kurangnya lomba-lomba atau festival drama tradisi Jawa atau
kethoprak. Hal inilah yang mengakibatkan perkembangan seni tradisi baik drama
Jawa maupun kethoprak gaungnya terasa sangat kurang.
Keempat, belum menjadikan sebuah sekolah menjadi tempat pementasan
seni tradisi Jawa atau kethoprak. Andai saja kelompok-kelompok kethoprak atau
seni tradisi Jawa bisa menjadikan sekolah sebagai tempat pementasannya,
112
tentunya akan memberikan pengaruh bagi para siswa. Paling tidak mereka sudah
melihat pementasan seni tradisi Jawa.
Kelima, pihak sekolah juga kurang greget untuk memperkenalkan dan
mengembangkan seni tradisi yang luhur ini di sekolahnya masing-masing.
Padahal, seni pertunjukkan apapun bentuknya, termasuk kethoprak, adalah salah
satu sarana yang efektif dalam rangka mengenalkan budaya Jawa, membangun
kembali sifat budi perkerti maupun sifat unggah-ungguh di kalangan siswa.
Keenam, tidak dipungkiri bahwa siswa kesulitan untuk mendapatkan
naskah kethoprak. Model-model latihan era dulu, yang hanya menulis garis besar
lalu mengembangkan dialog sendiri, bagi para siswa adalah sebuah kendala.
Sebab mereka adalah pemula, yang masih belajar untuk mengasah kemampuan
berimprovisasi. Maka kehadiran naskah-naskah kethoprak yang sederhana,
tentunya bisa menolong perkembangan seni tradisi Jawa khususnya kethoprak di
sekolah.
KESIMPULAN
Akhirnya, dari berbagai paparan di atas dapat ditarik sebuah simpulan
bahwa dalam memelihara dan mengembangkan kesenian tradisi kethoprak
maupun kesenian Jawa lain diperlukan berbagai upaya dari berbagai pihak. Setiap
individu maupun kelompok yang berusaha mengembangkan seni tradisi ini harus
didukung sepenuhnya, karena tanggung jawab kelangsungan seni tradisi Jawa
apapun bentuknya menjadi tanggung jawab generasi sekarang. Jika tidak dari
sekarang kita memulai memelihara dan mengembangkan seni tradisi Jawa ini, lalu
apa yang akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang? Kita tentunya
tidak ingin melihat generasi yang akan datang, melihat seni tradisi Jawa sebagai
sesuatu yang gelap, karena mereka tidak menerima warisan apa-apa dari generasi
sebelumnya.
DAFTAR RUJUKAN
Budi Susanto. 1997. Kethoprak. Yogyakarta: Kanisius
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. tt. Direktori Seni Pertunjukan
Tradisional
113
R.M.A. Harymawan. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda.
R.M. Soedarsono. Edisi Ketiga. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudiro Satoto. 1989. Pengkajian Drama II. Surakarta: UNS Press.
http://njowo.multiply.com/journal/item/860/kethoprak
http://jv.wikipedia.org/wiki/kethoprak
114
BAHASA IBU
KEPUNAHAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN
Oleh:
Djoko Sulaksono
Pendidikan Bahasa Jawa, FKIP UNS
Abstrak
UNESCO menetapkan hari bahasa ibu jatuh pada tanggal 21 Pebruari. Hal in
menandakan betapa besar perhatian UNESCO kepada bahasa-bahasa ibu yang
tersebar diseluruh penjuru dunia. Bahasa ibu tidaklah sama dengan bahasa daerah,
akan tetapi banyak yang menyamakan arti dari kedua bahasa tersebut. Bahasa
Jawa (sebagai bahasa ibu dan bahasa daerah) mempunyai banyak ragam/jenis
yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda (walaupun
hakikat/fungsi bahasa sebagai alat komunikasi).
Kata kunci: bahasa ibu, kepunahan, pelestarian, pengembangan
PENDAHULUAN
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Namun, apabila
ditelaah lebih dalam, ternyata bahasa juga mempunyai fungsi yang lain, misalnya
sebagai salah satu sumber nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup
dalam kehidupan. Apa manfaat mempelajari bahasa ? dengan tidak dipelajaripun
(dilingkungan formal) orang tetap bisa berbahasa. Salah satu alasan bahasa
dipelajari yaitu supaya bahasa tidak punah. Ibarat hewan/binatang purba yang
sudah punah maka tidak akan bisa dihidupkan lagi dan yang dapat dilakukan
adalah memperkirakan bentuknya berdasarkan hasil pada fosil-fosil yang
ditemukan. Akankah bahasa ibu/daerah akan mengalami nasib seperti itu ?
Bahasa jawa sebagai salah satu bahasa ibu dan juga bahasa daerah
mempunyai ragam/jenis yang jumlah cukup banyak. Hal ini tentu saja
menandakan “ada yang lain” dalam bahasa tersebut. dan salah satu “yang lain
tersebut” yaitu sebagai salah satu sumber nilai pendidikan budi pekerti. budi
pekerti sama artinya dengan karakter, moral ataupun akhlak, yaitu petunjuk dalam
hal yang baik-buruk, hal yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan yang
115
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, orang lain, diri sendiri maupun
lingkungan.
A. Hakikat Bahasa Ibu
Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
dan bermacam-macam suku. Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, suku
Jawa mempunyai bahasa daerah yang disebut bahasa Jawa. Hakikat atau definisi
bahasa ibu tidaklah sama dengan bahasa daerah walaupun secara umum bahasa
ibu seseorang adalah bahasa daerah. Dalam tulisan ini, karena yang akan dibahas
adalah bahasa Jawa, maka diasumsikan bahwa yang dimaksud dengan bahasa ibu
dalam tulisan ini adalah bahasa daerah (Jawa).
Bahasa daerah (vernacular) adalah bahasa yang dipergunakan penduduk
asli suatu daerah, biasanya dalam wilayah yang multilingual; dipertentangkan
dengan bahasa persatuan, bahasa nasional, atau lingua franca (Kridalaksana,
2008: 25). Selanjutnya, bahasa daerah sering diartikan sebagai bahasa ibu,
padahal kedua bukanlah hal yang sama. Mengenai pengertian bahasa ibu,
Kridalaksana, (2008: 26) menyatakan bahwa bahasa ibu (native language, mother
language) adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya
melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, terutama dengan
keluarga dekatnya. Senada dengan pendapat Kridalaksana, Subroto (2013: 8)
menegaskan bahwa bahasa daerah (bd) sering bertumpang tindih dengan bahasa
ibu (mother tongue, mother language, native language). Bahasa ibu adalah bahasa
yang dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang sejak ia mulai belajar
berbahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan terdekatnya (ayah, ibu, kakak,
nenek, kakek, teman bermain, tetangga, dan sebangsanya). Pada umumnya,
bahasa ibu seseorang atau kelompok orang juga merupakan bahasa daerah orang
tersebut. Namun, keadaan ini juga tidak selalu demikian. Seorang anak Jawa
barangkali memiliki bahasa ibu bahasa Inggris kalau ia dilahirkan dan dibesarkan
di lingkungan masyarakat berbahasa Inggris.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa ibu
tidaklah sama dengan bahasa daerah walaupun secara umum bahasa ibu
116
merupakan bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang diperoleh
seseorang/kelompok semenjak dilahirkan yang digunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang terdekat. Sebagai contoh, anak dari suku Jawa karena orang
tuanya lama hidup di Jakarta maka bahasa ibunya bisa saja bahasa Indonesia. Hal
ini bisa disebabkan kedua orang tuanya, dalam kesehariannya selalu
menggunakan bahasa Indonesia padahal suku Jawa mempunyai bahasa sendiri
yaitu bahasa Jawa.
Hari Bahasa Ibu sedunia oleh The United Nations Educational Scientific,
and Cultural Organization (UNESCO) ditetapkan pada tanggal 21 Februari. Hal
ini berdasarkan konferensi pada bulan November 1999 yang dilaksanakan di Paris
(markas UNESCO). Dengan ditetapkannya hari bahasa ibu tentu saja kita
diharapkan untuk berperan dalam usaha pelestarian dan pengembangan suatu ilmu
pengetahuan, khususnya bahasa ibu/daerah. Dalam
www.endangeredlanguages.com sebagaimana dikutip oleh Gonggong (2013: 4)
dinyatakan bahwa “UNESCO memandang pentingnya setiap bangsa menanamkan
kesadaran pendidikan bahasa ibu kepada generasi penerusnya. Di sisi lain,
UNESCO menangkap keprihatinan dunia yang terus kehilangan bahasa-bahasa
ibunya. UNESCO memperkirakan sekitar 3000 bahasa akan punah di akhir abad
ini. Hanya separuh dari jumlah bahasa yang dituturkan oleh penduduk dunia saat
ini yang masih eksis pada 2100 nanti. National Geographic merinci lagi bahwa
ada 1 bahasa ibu di dunia yang punah setiap 14 hari. Di banyak tempat di dunia,
bahasa ibu sedang berjalan menuju kepunahannya.
B. Kepunahan, Pelestarian dan Pengembangan bahasa Ibu/daerah
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai hal-ikhwal yang berkaitan dengan
kepuanahan, pelestarian dan pengembangan bahasa ibu/ daerah.
1. Kepunahan
Bahasa, di samping seperti salah satu cirinya, yaitu berkembang ternyata
juga mengalami kepunahan. Kepunahan/musnahnya suatu bahasa disebabkan oleh
berbagai hal. Demi menjaga bahasa dari kepunahan (termasuk sastra dan budaya),
berbagai cara dan usaha dilakukan, baik oleh pemerintah atau lembaga/instansi,
117
antara lain memasukan mata pelajaran bahasa daerah pada jenjang SD, SMP, dan
SMA, pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa, Sunda, dan lain
sebagainya), seminar, konferensi atau kongres bahasa dan lain sebagainya.
Tanda-tanda kepunahan suatu bahasa dapat dilihat dari gejala-gejala yang
dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penyebab utamanya adalah
masalah pemakaian. Jumlah pemakai suatu bahasa yang terus berkurang lambat-
laun akan menyebabkan suatu kata atau leksikon akan terus berkurang kemudian
hilang sama sekali.
Selanjutnya kepunahan suatu bahasa bisa berpengaruh pada kebudayaaan
suatu bangsa. Demikian juga pada hal kesastraan, pandangan hidup, budi pekerti,
dan lain sebagainya. Demikian kuatnya pengaruh suatu bahasa maka bahasa ibarat
sentral atau hal yang vital, ketika terjadi sesuatu padanya maka banyak yang
terkena dampak atau akibatnya. Banyak data-data yang menunjukkan tanda-tanda
kepunahan suatu bahasa. UNESCO (Purwo, 2000: 10 dalam Setiadi, 2007: 7)
menyatakan bahwa sepuluh bahasa akan mati setiap tahun. Selanjutnya
dinyatakan bahwa dalam abad ini diperkirakan 50 sampai 90% dari bahasa yang
dituturkan saat ini akan punah. Penjajahan atas negara lain terbukti menjadi
penyebab cepatnya penurunan keanekaragaman bahasa. Misalnya pada akhir abad
ke -18 di Australia terdapat 250 bahasa, tetapi saat ini tinggal 20 bahasa saja.
Brazilia yang memiliki 540 bahasa, sejak penjajahan portugis mulai tahun 1530
telah kehilangan tiga perempatnya (bjeljac-babic dalam Purwo, 2000 dalam
Setiadi, 2007: 7). Berikut akan disampaikan hal-ikhwal yang berpengaruh
terhadap kepunahan dan usaha-usaha pelestarian bahasa.
2. Pelestarian
Usaha pelestarian bahasa Jawa (termasuk sastra, budaya maupun
filsafatnya) dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui jalur formal dan
nonformal. Jalur formal antara lain dengan cara penerapan kurikulum yang
mencantumkan mata pelajaran muatan lokal wajib. Misalnya dalam mata
pelajaran bahasa Daerah (Jawa). Dalam mata pelajaran bahasa Jawa tersebut
secara otomatis akan dipelajari juga sastra maupun kebudayaannya. Dalam jalur
nonformal/nonkependidikan, usaha pelestarian bahasa Jawa dapat dilakukan
118
dengan berbagai hal, misalnya mewajibkan penggunaan bahasa daerah (Jawa)
pada hari-hari tertentu, dalam pidato-pidato, rapat dan lain sebagainya.
Selain hal-hal tersebut, peran yang sangat besar dalam usaha pelestarian
bahasa Jawa adalah dari orang tua. Orang tua sebagai orang pertama yang
mengajari anaknya berbahasa mempunyai andil yang sangat besar terhadap
pelestarian bahasa Jawa. Mereka tidak perlu khawatir anaknya yang diajari bahasa
Jawa tidak akan bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia akan diajarkan atau
digunakan dalam proses belajar mengajar sehingga si anak akan secara otomatis
bisa menggunakannya. Jalur lain yang sangat berperan dalam usaha pelestarian
bahasa Jawa melalui kesenian-kesenian, baik tradisional maupun modern yang
menggunakan bahasa Jawa, misalnya wayang purwa. Menurut Nurhayati (2009:
77) dalam pertunjukan wayang purwa terdapat 17 tingkat tutur.
Selanjutnya, hal-hal yang menjadikan bahasa Jawa tetap ada sampai
sekarang antara lain adalah sebagai berikut
a. Tradisi kesusastraan Jawa yang sudah berurat dan berakar
b. Pecinta-pecinta bahasa Jawa yang masih cukup banyak dan masih giat
mengusahakan agar bahasa Jawa tetap terpelihara
c. Penutur bahasa Jawa sebagai bahasa ibu yang berjumlah sangat besar
(Poedjasoedarma, dkk. 1979: 2)
Sementara itu, Mardiyanto (2014: v) menyatakan usaha-usaha yang
dilakukan dalam rangka pelestarian bahasa daerah/Jawa antara lain sebagai
berikut
a. Kongres bahasa Jawa I pada tahun 1991
Kongres bahasa Jawa I merupakan terapi yang baik untuk kembali
memahami etika Jawa melalui bahasa Jawa/adat-istiadat/tradisi dengan
kearifan lokal.
b. YSBJ Kanthil (1992 oleh alm. Bapak H. Ismail)
Pada waktu itu oleh gubernur ditugaskan untuk menjalankan hasil
Kongres Bahasa Jawa dan mendorong untuk diadakan Kongres Bahasa
Jawa lagi sampai selanjutnya.
1. Kongres Bahasa Jawa II di Malang/Jawa Timur pada tahun 1996.
119
2. Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta pada tahun 2001
3. Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang pada tahun 2006
4. Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya pada tahun 20011
Selain hal-hal tersebut di atas, masih terdapat kegiatan-kegiatan lain
dengan tujuan yang sama, antara lain pertemuan ilmiah/seminar pada tahun 2008
yaitu Konferensi Nasional Kebudayaan Jawa di Purwokerto, tahun 2009
Konferensi Nasional Budaya Jawa di Sala, dan pada tahun 2010 diadakan Dialog
Nasional Tentang Jati Diri Bangsa di Semarang (Mardiyanto (2014: V).
Berdasarkan keterangan-keterang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
ketahanan budaya dipengaruhi oeh jati diri suatu masyarakat sehingga segala
sesuatu yang berkaitan dengan “Jawa” misalnya seni, upacara maupun tata cara
akan pas, pantas dan berkualitas jika dilakukan atau diungkapkan dengan bahasa
atau konteks Jawa. Merupakan suatu tanggung jawab masyarakat jawa sendirilah
pemertahanan dan pelestarian bahasa, sastra dan budaya Jawa disertai dengan
dukungan dari pemerintah atau pihak-pihak terkait. Hal ini dapat dilakukan
dengan hal yang paling mendasar antara lain dengan mengajari anak-anak atau
keturunan kita, dimulai dari rumah atau ranah keluarga untuk menggunakan
bahasa Jawa krama/krama inggil.
Selanjutnya dalam hal pengajaran di lembaga formal. Pengajaran
hendaknya difokuskan pada penggunaan bahasa krama dan krama inggil. Jangan
sampai mata pelajaran bahasa Jawa penyampaiannya malah menggunakan selain
bahasa Jawa. salah satu langkah untuk mendukung program tersebut adalah mata
pelajaran bahasa Jawa/daerah dijadikan mata pelajaran wajib yang didukung oleh
pengajar-pengajar yang berkompeten dalam bidang bahasa Jawa.
3. Strategi Pengembangan
Sumarlam (2009: 84-86) menyatakan beberapa pendapat/anggapan
sebagian anggota masyarakat berkaitan dengan kendala-kendala dan hambatan-
hambatan dalam memelihara dan mengembangkan budaya daerah antara lain (a)
Ada sementara anggapan bahwa mempelajari bahasa dan budaya daerah adalah
kuno dan tidak banyak memberikan manfaat, karena peluang kerja dalam bidang
itu sangat terbatas, lebih-lebih pada zaman modern seperti sekarang ini, (b)
120
sempitnya wadah yang dapat menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa dan
budaya daerah sehingga menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan terjun di
dalamnya, (c) belum begitu seriusnya media massa, baik TV, radio, surat kabar,
dan majalah yang memberikan adanya hiburan dan wisata intelektual dengan
berbasis pada bahasa dan budaya daerah, (d) belum tersedianya subsidi dari
pemerintah daerah bagi para budayawan yang menekuni dan mengembangkan
kebudaaan daerahnya, (e) dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, alokasi jam
pelajaran yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan
budaya daerah sebagai muatan lokal hanya mendapat alokasi waktu yang sangat
minim, yaitu 2 jam pelajaran setiap minggunya, (f) belum adanya jaringan
bersama semacam komunikasi formal yang tetap diberbagai daerah yang dapat
dijadikan sebuah forum untuk membahas dan merekomendasikan upaya
pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan budaya daerah (g) kuatnya pengaruh
bahasa dan budaya asing (bahasa dan budaya barat) terhadap kehidupan bahasa
dan budaya daerah sehingga mengakibatkan semakin terdesaknya eksistensi
bahasa dan budaya daerah tersebut, dan (h) kendala-kendala dan hambatan-
hambatan lainnya dalam memelihara dan mengembangakan bahasa dan budaya
daerah yang ada di nusantara
Selanjutnya, berkaitan dengan beberapa masalah tersebut di atas, strategi-
strategi pengembangan yang dapat dilakukan antara lain (a) perlu disadari
bersama bahwa substansi Indonesia adalah pluralitas, (b) perlu membentuk
wadah-wadah baru yang dapat menampung para pekerja budaya daerah sehingga
menumbuhkan rasa optimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya, (c) perlu
disediakan hiburan dan wisata intelektual bahasa dan budaya daerah dengan cara
menerbitkan buku-buku cerita, novel, majalah, Koran bermedia bahasa daerah;
serta pengemasan acara TV dan radio yang berbasis pada bahasa dan budaya
daerah yang dapat menimbulkan rasa bangga memiliki bahasa dan budaya daerah
bagi komunitas pendukungnya, (d) diperlukan subsidi dari pemerintah daerah/kota
kepada para sarjana yang sungguh-sungguh berminat mengkaji, mendalami, dan
mengembangkan kebahasaan dan kebudayaan daerah, (e) menambah alokasi
waktu pelajaran muatn lokal dari 2 jam pelajaran menjadi minimal 4 jam pelajaran
121
dalam setiap minggunya, (f) perlu dirintis dan dibentuk jaringan bersama atau
lembaga formal di berbagai daerah yang mempunyai wewenang untuk
memelihara dan mengembangkan bahasa-bahasa dan budaya-budaya daerah yang
terdapat di Indonesia, (g) perlu adanya “politik budaya nasional” yang
merencanakan dan mengatur pembinaan dan pengembangan budaya daerah,
budaya nasional, dan budaya asing sedemikian rupa sehingga ketiga budaya
tersebut dapat hidup dan berkembang di Indonesia seseuai dengan fungsi dan
kedudukannnya masing-masing, dan (h) resolusi pemikiran dan strategi lainnya
yang memungkinkan berkembangnya bahasa-bahasa dan budaya-budaya daerah di
Indonesia perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh (Sumarlam, 2009:
86-88).
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa data di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
berbagai faktor yang menjadi kendala pengembangan bahasa dan budaya
daerah/Jawa. Adapun faktor-faktor tersebut memang berupa fakta atau hanya
suatu anggapan yang belum tentu jelas kebenarannya. Sebagai contoh pada
pernyataan “(a) ada sementara anggapan bahwa mempelajari bahasa dan budaya
daerah adalah kuno dan tidak banyak memberikan manfaat, karena peluang kerja
dalam bidang itu sangat terbatas, lebih-lebih pada zaman modern seperti sekarang
ini, (b) sempitnya wadah yang dapat menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa
dan budaya daerah sehingga menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan
terjun di dalamnya”. Apabila kita baca sekilas kedua pernyataan di atas, mungkin
memang benar tetapi apabila kita renungkan dalam-dalam mungkin akan berbeda.
Banyak peluang terbuka apabila kita mau bersungguh-sungguh mempelajari
bahasa, budaya dan sastra daerah, salah satunya menjadi pambiwara atau MC.
Profesi menjadi pambiwara merupakan profesi yang masih jarang digeluti padahal
dengan semakin meningkatnya jumlah manusia tentu saja akan semakin banyak
upacara-upacara yang membutuhkan pambiwara.
Selanjutnya pada pernyataan (b) mengenai “sempitnya wadah yang dapat
menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa dan budaya daerah sehingga
122
menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya”. Sebenarnya
banyak tempat yang membutuhkan sarjana-sarjana dari lulusan sarjana-sarjana
bahasa dan budaya daerah, misalnya pengajar/guru, pambiwara, wartawan,
penerbit, balai bahasa, konsultan pendidikan, dan lain sebagainya. Pada saat
perkuliahan, mungkin mahasiswa sudah memilih salah satu mata kuliah pilihan
dari beberapa yang ditawarkan, misal penyiaran, jurnalistik dan penyuntingan.
Mata kuliah tersebut untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan-
keterampilan khusus seperti penyiar, wartawan, dan editor
DAFTAR RUJUKAN
Gonggong, Anhar. 2013.”Bahasa Ibu/Daerah: Permenungan Sejarah, Kaitannya
dengan “Pembentukan” Karakter. Makalah dibentangkan pada Seminar
Nasional Bahasa Ibu “Bahasa Daerah Sebagai Sumber Kearifan Bangsa”
yang diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis FKIP UNS pada tanggal
20 April 2013.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Mardiyanto. 2014.”Apakah kita Perlu Murwakala atau un Declare War?. Makalah
dibentangkan pada seminar nasional “Eksistensi Bahasa Daerah di
Tengah Budaya Global” yang diselenggrakan oleh Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, FKIP UM Purworejo pada tanggal
10 Mei 2014.
Moeliono, Anton. 1981. Pengembangan dam Pembinaan Bahasa. Jakarta:
Jambatan.
Nurhayati, Endang. 2009. Sosiolinguitik: Kajian Kode Tutur dalam Wayang Kulit.
Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Poedjasoedarma, Soepomo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Setiadi, Putut. 2007. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa dalam Kerangka
Budaya Sebagai Bagian dari Upaya Pelestarian Kebudayaan dan Bahasa
Jawa”. makalah dibentangkan pada seminar nasional “Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya” yang diselenggrakan
oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, FBS UNY, 08 september 2007.
123
Subroto, Edi. 2013: 8. “Upaya Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Jawa dalam
Konteks Pembelajaran di Sekolah”. Makalah dibentangkan pada Seminar
Nasional Bahasa Ibu “Bahasa Daerah Sebagai Sumber Kearifan Bangsa”
yang diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis FKIP UNS pada tanggal
20 April 2013.
Sumarlam . 2009. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya. Surakarta:
Jurusan Sastra Daerah, FSSR UNS.
124
OPTIMALISASI POTENSI KEARIFAN LOKAL BAHASA DAN BUDAYA
JAWA SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN NILAI BUDI PEKERTI
DAN PENGUATAN JATI DIRI DALAM MENYONGSONG MEA
Oleh:
Favorita Kurwidaria, S,S., M.Hum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Di dalam mengahadapi era pasar bebas MEA, maka tidak terlepas dari adanya peluang,
tantangan dan hambatan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Bagi masyarakat
Jawa pada khususnya, peluang, tantangan dan hambatan tersebut dapat dihadapi dengan
kembali merujuk pada potensi bentuk-bentuk dan nilai kearifan lokal budayanya,baik
yang berwujud bahasa, sastra maupun bentuk budaya lainnya. Hal ini dimaksudkanselain
untuk melestarikan bentuk kebudayaan Jawa juga memaksimalkan kekayaan yang ada
dalam budaya lokal untuk dapat diangkat dan didayagunakan dalam menghadapi era
Masyarakat Ekonomi Asean.
Kata kunci: potensi kearifan lokal Jawa dalam MEA, kearifan lokal bahasa dan sastra
Jawa, penguatan jatidiri
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai Masyarakat Ekonomi Asean tentu akan memberikan
kesan bagisetiap orangtentanghadirnya sebuah tantangan baru, persaingan,
kecanggihan teknologi, serta mobilitas manusia secara bebas. Masyarakat
Ekonomi Asean yang selanjutnya disingkat MEA merupakan istilah untuk
menyebut pembentukan pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Kebijakan ini
dibentuk dengan tujuan agar stabilitas ekonomi dan daya saing negara-negara di
kawasan Asia Tenggara dapat meningkat, sehingga dapat sejajar dengan negara
yang telah maju secara ekonomi, seperti Cina, Korea dan India. Salah satu
upayanya yaitu dengan menarik investor-investor asing agar mau menanamkan
modalnya di negara tersebut. Mekanismenya, pasar bebas ini tidak hanya
memperjualbelikan barang dan jasa saja akan tetapi juga membuka peluang bagi
masuknya tenaga kerja asing dari maupun ke Indonesia. Tidak terkecuali tenaga
profesional, seperti pengacara, teknisi, tenaga medis, bahkan sampai tenaga
pendidik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam era pasar bebas MEA,
125
persaingan di dunia kerja akan semakin ketat, sehingga tuntutan kualitas SDM
juga semakin meningkat.
Dengan diberlakukannya kebijakan MEA sejak akhir tahun 2015, masyarakat
Indonesia dituntut untuk segera dapat mempersiapkan dirinya dalam menghadapi
era pasar bebas tersebut. Tuntutan yang diperlukan tidak hanya pada peningkatan
aspek produk yang bernilai ekonomi, baik berupa barang, jasa, maupun investasi
lainnya, akan tetapi juga kesiapan dan kemampuan dari segi mentalitas dan
kualitas SDM. Apabila sumber daya manusianya berkualitas, maka akan lebih
siap menghadapi tantangan maupun persaingan dalam bentuk apapun.
Sebenarnya berlakunya kebijakan MEA ini dapat menjadi momentum serta
peluang pemerintah dan masyarakat, untuk dapat mendayagunakan kembali
potensi kearifan lokal budaya daerahnya. Hal ini diperlukanagar masyarakat tidak
mudah terbawa arus dan pengaruh budaya asing yang masuk dan mengikis budaya
kita. Selain itu pemanfaatan potensi budaya lokal juga berfungsi sebagai sumber
kearifan yang dapat dijadikan pedoman untuk meningkatkan nilai budi pekerti dan
karakter dalam memperkuat jatidiri bangsa.
Salah satu aspek utama yang mampu mendukung kualitas SDM adalah sikap
mental dan kepribadian yang dimiliki oleh seorang individu. Koentjaraningrat
(2004:26) memberikan batasan sikap mental sebagai suatu disposisi atau keadaan
jiwa di dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya. Sikap
ini biasanya dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada
sistem nilai budaya. Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan
keragaman dan kekhasannya baik yang berwujud bahasa, sastra, maupun bentuk
budaya lainnya, sesungguhnya merupakan sumber-sumber kearifan yang
mengandung nilai-nilai kehidupan, baik religi, sikap moral, sosial, etika, serta
pendidikan, yang sesuai dengan jatidiri dan kehidupan bangsa.
Khasanah budaya Jawa yang termasuk di dalamnya bahasa dan sastra,
merupakan produkbudaya yang sangat bernilai dan potensial untuk dapat
didayagunakan dalam menghadapi era MEA. Dapat dikatakan demikian karena
produk budaya tersebut memiliki keanekaragaman bentuk yang bersumber dari
sistem nilai dan kearifan masyarakat Jawa itu sendiri. Selain itu produk budaya itu
126
juga bersifat khas, yang belum tentu dimiliki oleh negara atau bangsa lain.
Adapun wujud kebudayaan menurut J.J. Hoeningman (dalam Koentjaraningrat,
2000: 186) yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.Masyarakat Jawa memiliki ketiga
wujud tersebut. Budaya yang berwujud artefak mengacu pada sesuatuyang
konkret, dapat dilihat, diraba, dan didokumentasikan, yaitu seperti keraton, batik,
naskah tradisional Jawa, tari-tarian, alat musik tradisional, dan sebagainya.
Sedangkan yang berupa aktivitas mengacu pada sesuatu yang merupakan tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan
sistem sosial.Dalam budaya Jawa wujud budaya yang berupa aktivitas misalnya
tradisi bersih desa, gugur gunung, serta upacara-upacara adat Jawa. Gagasan
mengacu pada kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, pemikiran, nilai-
nilai, norma-norma yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud
gagasan ini seperti: ungkapan tradisional, sastra lisan/cerita rakyat, peribahasa,
gugon tuhon, kawruh basa, unggah-ungguh basa Jawa dan sebagainya.
Ketiga wujud budaya Jawa tersebutdapat dipotensikan dan didayagunakan
dalam upaya peningkatan ekonomi kreatif serta moral dan budi pekerti dalam
rangka menghadapi MEA. Wujud budaya yang bersifat konkret misalnya, dapat
dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Sedangkan
wujud budaya yang bersifat abstrak, dapat dijadikan sebagai sumber nilai kearifan
dan budi pekerti yang dapat diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai
modal dalam peningkatan kualitas SDM.
Pembelajaran bahasa Jawa juga dapat menjadi sarana strategis dalam
pengintegrasian nilai-nilai budi pekerti dan penguatan karakter siswa, karena
dalam pembelajaran bahasa Jawa terkandung nilai kearifan budaya yang dekat
dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga bersifat aplikatif. Namun demikian,
generasi muda saat ini cenderung menganggap pembelajaran bahasa Jawa sulit,
tidak menyenangkan bahkan tidak penting. Hal ini tentunya menjadikan tantangan
bagi para pendidik untuk dapat mengembangkan pembelajaran bahasa Jawa, agar
tidak hanya berimplikasi pada aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan
psikomotorik. Salah satunya yaitu dengan menggali potensi-potensi kearifan lokal
yang ada dalam budaya Jawa, baik berupa bahasa, sastra maupun bentuk budaya
127
lainnya. Dengan demikian pembelajaran bahasa Jawa dapat memberikan andil
nyata bagi upaya peningkatan nilai budi pekerti dan karakter siswa.
A. Pembahasan
Di dalam menghadapi era pasar bebas MEA, maka tidak terlepas dari adanya
peluang, tantangan dan hambatan. Bagi masyarakat Jawa pada khususnya,
peluang, tantangan dan hambatan tersebut dapat dihadapi dengan kembali
merujuk pada nilai budaya serta kearifan lokal Jawa. Hal ini dapat dimengerti
karena nilai tersebut berasal dari nilai budaya Jawa yang khas yang belum tentu
dimiliki oleh bangsa/negara lain.
Kearifan lokal yang sering disebut dengan kebijakan setempat (local widom),
pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius),
merupakan perangkat pengetahuan dan praktek-praktek pada suatu komunitas–
baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari
pengalamannya, berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk
menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi,
yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak (Ahimsa-Putra, tt:5).
Kearifan lokal budaya Jawa pada umumnya dapat dilihat melalui pemahaman
dan perilaku masyarakat Jawa. Pemahaman dan perilaku itu dapat dilihat melalui:
(1) norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti laku Jawa, pantangan dan
kewajiban, (2) ritual dan tradisi masyarakat Jawa serta makna di baliknya, (3)
lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita rakyat Jawa yang biasanya
mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh
masyarakat Jawa, (4) informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri
sesepuh masyarakat, pemimpin spiritual, (5) manuskrip atau kitab-kitab kuno
yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa, (7) cara-cara komunitas lokal
masyarakat Jawa dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, (8) alat dan bahan
yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu, dan (9) kondisi sumber daya alam
atau lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
(Sartini, 2004). Untuk dapat mengetahui potensi kearifan lokal yang dapat
dikembangkan dalam upaya peningkatan nilai budi pekerti, penguatan jatidiri
sekaligus peluang ekonomi bagi masyarakat, maka perlu diuraikan lebih lanjut.
128
Potensi Kearifan Lokal dalam Bahasa Jawa
Salah satu permasalahan yang cukup urgent dalam bidang perdagangan bebas
yang terjalin antarsuku, budaya dan negara adalah aspek bahasa. Bahasa
merupakan sarana komunikasi terpenting dalam hubungan antarindividu dan
masyarakat. Nababan (1986:49) menyatakan bahawa fungsi bahasa yang paling
utama adalah sebagai alat komunikasi sesama manusia, sebab tanpa komunikasi
sosial, sistem kemasyarakatan tidak akan terwujud.
Adanya mobilitas manusia yang akan keluar masuk Indonesia, tentulah
berdampak pada masalah pemakaian bahasa. Selama ini bahasa yang digunakan
dalam kegiatan komunikasi dengan orang asing adalah bahasa Inggris. Hal ini
dapat dimengerti karena bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional
yang pemakaiannya paling luas, termasuk di kawasan Asean. Namun demikian,
bahasa Indonesia sebenarnya justru dapat berpeluang menjadilingua franca di
wilayah Asia Tenggara, mengingat penutur bahasa Indonesia menduduki urutan
paling banyak dari negara lain di kawasan Asean.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memegang peranan penting dalam
hubungannya dengan kontak bahasa antarnegara, akan tetapi eksistensi dari
bahasa daerah juga tidak dapat dikesampingkan. Hal ini mengingat bahwa bahasa
Indonesia telah banyak menyerap kosakata dari bahasa Jawa.Bahasa Jawa
memiliki keragaman jumlah leksikon, yang tidak semuaterdapat padanannya
dalam bahasa Indonesia. Misalnya leksikon dalam taksonomi binatang, tumbuhan,
dalam bidang kesehatan, pertanian, sikap hidup masyarakat, dan lain-lain. Dalam
bidang kesehatan misalnya, terdapat leksikon “tindhien”untuk menyebut
gangguan psikologi saat tidur atau yang disebut sleep paralysis, “beleken” yang
bermakna iritasi pada mata atau istilah medis disebut konjungtivitis. Istilah
tersebut memiliki padanan dalam bahasa Inggris sertaistilah medis, akan tetapi
tidak terdapat padanannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu tidak semua
masyarakat Indonesia mengetahui istilah medis tersebut. Apabila istilah itu dapat
diserap oleh bahasa Indonesia, maka akan dapat menambah kekayaan kosakata
bahasa Indonesia serta mendukung proses komunikasi berbahasa yang efektif.
129
Dengan demikian, bentuk-bentuk leksikon bahasa Jawa lainnya, yang
mungkin tidak terdapat padanannya dalam bahasa Indonesia, memiliki peluang
untuk dapat diserap oleh bahasa Indonesia, sehinggatidak berlebihan jika
dikatakan bahwa bahasa Jawa dapat berperansebagai salah satu pendukung atau
pemerkaya bahasa Indonesia.
Keragaman dan keunikan bahasa Jawa juga telah diakui dunia internasional.
Hal ini terbukti dari banyaknya orang asing yang berminat untuk belajar bahasa
Jawa. Salah satunya yaitu di Australian National University, yang membuka mata
kuliah bahasa Jawa. Dalam Artikel Radio Australia tanggal 13 Maret 2015(Error!
Hyperlink reference not valid.), sebagian besar mahasiswa menuturkan bahwa
“Belajar bahasa Jawa tidak hanya memberi wawasan budaya tapi juga membuat
kita lebih di hargai, terutama saat berbicara dengan kemampuan yang sangat
dasar. Bahasa Jawa adalah bahasa yang penuh rasa hormat”. Pernyataan tersebut
menyiratkan bahwa dalam bahasa Jawa mengandung muatan sikap santun dalam
berbahasa. Hal ini dapat dipahami karena dalam bahasa Jawa terdapat ragam
unggah-ungguh basa. Jika seseorang berbicara kepada mitratutur yang lebih tua,
maka menggunakan leksikon krama untuk menghormati mitra tutur tersebut.
Dengan demikian, seorang penutur bahasa Jawa, harus dapat menyeleksi
pemilihan kata (diksi) yang tepat untuk mengungkapkan gagasan/pesan yang
disampaikan kepada mitra tuturnya. Ia harus memperhatikan dengan siapa lawan
bicaranya, konteks, serta latar belakang penutur/mitra tutur. Hal ini mengandung
nilai kearifan mengenai perilaku kesantunan dan menghargai orang lain di dalam
proses komunikasi. Sikap dan perilaku yangdemikian, apabila telah menjadi
sebuah kebiasaan, maka akan berpengaruh pada kemampuan dalamberkomunikasi
serta bersosialisasi dengan orang lain. Ia akan lebih santun,
menghormati/menghargai orang lain, sertamudah untuk memahami
konteks/situasi komunikasi. Permasalahan ini tentulah sangat diperlukan oleh
masyarakat dalam menghadapi era keterbukaan seperti pasar bebas MEA, dimana
dibutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan komunikasi serta kesantunan
sikap yang baik yang menjadi ciri dari kualitas SDM.
130
Peran dan potensi bahasa Jawa dalam era pasar bebas memang tidak dapat
dikesampingkan. Selain menjadi salah satu pendukung atau pemerkaya bahasa
Indonesia, serta sikap santundalam berbahasa, bahasa Jawa juga memiliki
keunikan dan kekhasan ragam dan bentuk. Keunikan dan kekhasan itulah yang
telah membuat Google, perusahaan multinasional dibidang internet memberikan
lisensi untuk menambahkan terjemahan bahasa Jawa pada perangkat Google
translete mereka. Hal ini dapat menjadi sumber motivasi para generasi muda
untuk lebih berminat mempelajari dan melestarikan bahasa daerahnya, serta
memiliki kebanggaan terhadap budayanya.
Keunikan dan kekhasan kosakata bahasa Jawa juga berpotensi memacu
peningkatan produk lokal. Para produsen barang dan jasa lokal dapat
menggunakan istilah-istilah/leksikon bahasa Jawa dalam brand/merk produk
mereka untuk memberikan ciri khas produk lokal daerahnya. Hal ini selain dapat
mengangkat eksistensi bahasa Jawa, juga dapat menunjukkan kekhasan produk
lokal Jawa tersebut. Misalnya kata„wedang‟yang dalam Bausastra Jawa
(2011:776) bermakna air rebusan; air panas. Makna kata wedang ini lebih
spresifik dari kata minuman/air minumdalam bahasa Indonesia. Kata
„wedang‟berciri disajikan dalam keadaan panas/hangat, sehingga tidak bisa
dipakai untuk menyebut wedang dhawet yang biasa disajikan dalam keadaan
dingin. Melalui ekspresi linguistik dengan leksikon tersebut, terdapat beragam
jenis wedang yang ada di masyarakat Jawa, seperti wedang jahe, wedang ronde,
wedang asle, wedang uwuh, wedang bajigur, wedang bandrek, wedang dongo,
yang kesemuanya terbuat dari bahan herbal dan disajikan dalam keadaan
hangat/panas. Dengan kata wedang, yang dapat memberikan ciri lebih spesifik
dari kata „minuman‟ dalam bahasa Indonesia, serta beragam jenisnya itu, dapat
didayagunakan dalam brand produk lokal unggulan masyarakat Jawa yang dapat
memberikan ciri budaya lokal yang khas. Brand tersebut saat ini juga telah
diadopsi oleh produk nasional seperti wedang Nutrisari yang terbuat dari sarijahe
dan sereh, dengan ciri spesifiknya harus disajikan dalam keadaan panas. Hal ini
dapat menunjukkan potensi kekayaan kuliner Jawa yang bersumber dari kearifan
lokal budaya masyarakat Jawa.
131
Kearifan lokal dalam bahasa Jawa juga tampak dalam ekspresi lisan yang
berwujud tuturan taklangsung, yaitu penyampaian tuturan secara tersirat
(implicated). Salah satu bentuk tuturan tak langsung adalahperibahasa. Triyono
dkk (1988:3) memberikan batasan peribahasa sebagai suatu ungkapan kebahasaan
yang pendek, padat dan berisi pernyataan, pendapat, atau satu kebenaran umum.
Peribahasa dalam bahasa Jawa mencakup saloka, bebasan, paribasan, pepindhan,
sanepa, dan isbat. Dalam kesusastraan Jawa, paribasan termasuk dalam
kesusastraan tradisional yang berbentuk gancaran (Subalidinata, 1994:7). Sebagai
ungkapan yang padat, peribahasa dalam bahasa Jawa mengandung nilai-nilai
kearifan lokal serta pendidikan yang dapat didayagunakan sebagai cerminan sikap
hidup dan nilai moral masyarakat Jawa dalam membentuk budi pekerti dan
karakter luhur. Sebagai satu pegangan hidup, nilai-nilai itu lazim diungkapkan
secara tidak langsung atau dalam bentuk perumpamaan. Misalnya: “golek banyu
apikulan warih, golek geni adedamar”, yang bermakan, mencari air berbekal
pikulan air, mencari api berbekal pelita. Pada contoh tersebut, sifat
ketaklangsungan digambarkan denganpikulan warih „pikulan air‟dan adedamar
„berpelita‟ sebagai syarat untuk tindak golek banyu „mencari air‟ dan golek geni
„mencari api‟.Peribahasa ini dapat dimaknai, jika seseorang ingin dapat meraih
cita-cita, menggapai tujuan atau kesuksesan, maka ia harus memiliki bekal, baik
yang berupa ilmu maupun keterampilan yang mumpuni. Hal ini bertujuan agar
cita-cita dan harapandapat tercapai secara optimal. Peribahasa ini sangat relevan
jika dihayati oleh para generasi muda saat ini, dimana, banyak pemuda yang
menggantungkan cita-cita yang tinggi tapi malas dalam berusaha atau mencari
bekal awalnya, akhirnya justru menggunakan jalan pintas. Peribahasa tersebut
hanya merupakan salah satu dari sekian banyak contoh lainnya.
Potensi Kearifan Lokal dalam Kesusastraan Jawa
Potensi kearifan lokal budaya Jawa selain dapat digali dari aspek
bahasanya, juga dapat ditemukan dari berbagai ragam karya sastra. Berdasarkan
bentuknya, karya sastra dapat dibagi menjadi sastra lisan dan sastra tertulis.
Masyarakat Jawa memiliki kedua jenis sastra tersebut. Salah satu bentuk dari
sastra lisanadalah cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai bagian dari foklore dapat
132
dikatakan menyimpan sejumlah informasi mengenai sistem budaya, filsafat,
norma, serta perilaku masyarakat. Apabila ditelaah lebih jauh, cerita rakyat
sesungguhnya mengandung nilai kearifan, terutama nilai-nilai budi pekerti dan
ajaran moral. Kearifan lokal yang ada dalam cerita rakyat menyangkut moral
maupun etika yang ditunjukkan melalui; apa yang dialami oleh tokoh-tokohnya,
konflik, perjuangan hidup, maupun cara tokoh dalam menyikapi permasalahan.
Cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Jawa, sebagian besar berkaitan
dengan eksistensi/keberadaan tempat atau asal usul tempat tertentu, seperti candi,
gua-gua, sendhang, desa, gunung, laut, serta makam. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan hidup masyarakat masa lampau, yang menganggap bahwa tempat-
tempat tersebut memiliki penghuni atau penunggu yang merupakan cikal bakal
keberadaan tempat itu. Penghuni atau penunggu ini biasanya berwujud tokoh atau
makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan ghaib/supranatural, sehingga
seringkali tempat-tempat itu dikeramatkan dan dianggap suci. Misalnya dalam
cerita rakyatsendhang Senjoyo, Rara jonggrang, Nyi Rara Kidul, Jaka Poleng,
Ajisaka, Kawah Sikidang, Dewi Sri, Rawa pening dan lain sebagainya.
Adanya tokoh-tokoh yang diyakini memiliki kekuatan ghaib serta dianggap
suci oleh masyarakat setempat, seringkali memunculkan mitos yang berupa
larangan, anjuran, atau perintah yang sifatnya turun temurun dari nenek moyang
mereka. Hal ini membuat masyarakat di daerah sekitar cenderung tunduk
mematuhinya serta tidak berani melanggar, karena dipercaya akan mendatangkan
keburukan bagi dirinya. Misalnya saja cerita rakyat sendhang kunti, di daerah
Boyolali. Dalam cerita tersebut terdapat mitos yang berupa larangan tidak boleh
menebang/merusak pepohonan di daerah sekitar sendhang. Masyarakat di daerah
setempat maupun pendatang, tidak akan berani melanggar aturan tersebut karena
dipercaya akan mendatangkan keburukanatau marabahaya. Hal ini sebenarnya
mengandung sebuah kearifan lokal, yaitu menciptakan cara berperilaku yang
sejalan dengan prinsip konservasi alam. Dengan tidak menebang pohon-pohon di
sekitar sendang, maka ketersediaan dan kemurnian air di tempat itu akan tetap
terjaga, sehingga hal ini dapat menjadi langkah konkret bagi upaya pelestarian
ekosistem alam.
133
Keberadaan cerita rakyat yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita,
mengandung nilai kearifan yang dapat dijadikan pembelajaran dalam kehidupan,
seperti nilai patriotisme, semangat berjuang, rela berkorban, laku prihatin, nilai
religius serta nilai moral. Nilai-nilai tersebut dapat menjadi sebuah cerminan yang
dapat diteladani dalam menghadapi persaingan, globalisasi dan modernisasi
dewasa ini. Sikap mental dan budi pekerti yang demikian tentulah sangat
diperlukan masyarakat Indonesia.
Cerita rakyat daerah sesungguhnya juga menyimpan potensi sebagai
penggerak pariwisata daerah. Cerita rakyat yang berkaitan dengan tempat-tempat
tertentu, memiliki potensi pengembangan untuk konservasi alam serta aset
pariwisata. Pemerintah daerah dapat mengupayakannya dengan melakukan
sosialisasi cerita rakyat melalui tulisan baik dalam bentuk buku, artikel di media
massa, media sosial internet, maupun seminar-seminar. Hal ini bertujuan untuk
lebih memperkenalkan cerita rakyat daerah. Apabila cerita tersebut telah banyak
dikenal/diketahui masyarakat luas, maka akan dapat menarik antusiasme orang
untuk datang langsung ke tempat tumbuh dan berkembangnya cerita tersebut.
Demikian juga dengan cerita rakyat yang berkaitan dengan ritual atau upacara
adat tertentu, seperti:grebeg Maulud di Surakarta, ruwatan rambut gembel di
daerah Wonosobo dan lain-lain. Ritual adat ruwatan rambut gembel didasari pada
tradisi lisan masyarakat mengenai keistimewaan dari anak yang berambut gembel.
Anak yang berambut gembel dipercaya merupakan keturunan dari Kyai Kaladite,
tokoh yang dianggap nenek moyang masyarakat Dieng. Anak tersebut harus
diruwat dengan upacara adatruwatan. Dengan adanya upacara ruwatan, maka
akan menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara, untuk dapat
menyaksikan langsung prosesi adat tersebut. Dengan demikian, maka infrastruktur
dan fasilitas yang diperlukan oleh wisatawan akan menjadi meningkat
permintaannya, misalnya: penginapan, rumah makan, jasa angkutan, jasa
dokumentasi, souvenir khas daerah, dan lain-lain. Hal ini tentunya dapat
menggerakkan roda perekonominan masyarakat dan menjadi sebuah peluang
kreatif untuk dapat dikembangkan sebagai manifestasi daerah yang berbasis pada
budaya lokal.
134
Kearifan lokal budaya Jawa juga banyak ditemukan dalam kesusastraan
tradisional Jawa dalam bentuk tertulis. Naskah-naskah Jawa yang memuat
pemikiran, sikap hidup, dan sistem budaya, merupakan bukti fisik adanya sumber
pengetahuan nenek moyang pada masa lampau. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Widyastuti (2014) mengenai naskah Jawa yang menyimpan
informasi tentang pengobatan tradisional, diungkapkan bahwa terdapat naskah-
naskah Jawa yang mengandung informasi fitotherapi atau pengobatan tradisional
Jawa dengan tumbuhan dan hewan. Hal ini merupakan buah dari pemikiran nenek
moyang yang merupakan kearifan lokal masa lampau. Beraneka makanan dan
obat tradisional tersebut dapat dipotensikan dan dikembangkan sedemikian rupa,
agar dapat menjadi produk lokal unggulan yang bernilai jual.
Di dalam naskah-naskah Jawa terkandung ungkapan-ungkapan (paribasan),
yang memiliki nilai-nilai filsafat, budaya, moral, religi, serta pendidikan. Bahkan
melalui ajaran moral dan filsafat dalam karya sastranya, pujangga sekaligus raja
Mangkunegara IV tercantum sebagai salah satu filsuf dunia yang termuat dalam
buku Dictionare Des Philosophes (Kamus Para Filsuf Dunia) Jilid I dan II yang
dikeluarkan oleh Preses Univertaires de France, Paris, Prancis (Sentanu, 2008:
70). Ungkapan tradisional yang terdapat di dalam kesusastraan Jawadapat
didayagunakan sebagai sumber kearifan masyarakat Jawa, yang dapat
diintegrasikan dalam kehidupan. Misalnya, ungkapan “Susila anor raga, wignya
met tyasing sesami” dalam serat Wedhatama pupuh II/Sinom, bait 17. Dalam
ungkapan tersebut terkandung makna susila (santun), anor raga (rendah hati), dan
wignya (kemampuan), met tyasing sesami (menjadi senang, bahagia, tentram hati
orang lain). Secara umum dapat dimaknai sebagai seseorang yang berperilaku
santun, rendah hati, akan menumbuhkan rasa tentram dan kesenangan orang lain.
Selain itu terdapat ungkapan “ngelmu iku kalakone kanthi laku”, yang memiliki
makna bahwa ilmu akan dapat tercapai melalui sebuah proses, dengan kata lain
melalui praktik yang berkesinambungan. Seseorang di dalam mencari ilmu perlu
berjuang melewati proses, dan laku (praktik), dan perlu disertai dengan sikap
prihatin.
135
Harapan dan Tantangan Pembelajaran Bahasa Jawa dalam Menyongsong
MEA
Salah satu upaya strategis pengintegrasian nilai-nilai budaya Jawa dapat
dioptimalisasikan melalui pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Dengan
dibukanya era perdagangan bebas MEA, menjadi sebuah tantangan sekaligus
peluang bagi pembelajaran bahasa Jawa untuk dapat difungsikan sebagai sarana
peningkatan budi pekerti dan karakter siswa. Guru hendaknya dapat lebih
memberikan motivasi dan inovasi dalam pembelajaran. Motivasi dapat berupa
pemahaman mengenai potensi yang terkandung dalam bahasa dan budaya Jawa
yang juga telah dikenal di dunia internasional. Hal ini sebagai langkah untuk
menumbuhkan kebanggan mereka terhadap bahasa dan budaya Jawa, mengingat
minat (aspek afektif) para generasi muda terhadap budaya Jawa terus menerus
mengalami pelemahan. Sedangkan inovasinya, yaitu dengan mengintegrasikan
nilai-nilai budi pekerti dari aspek kebahasaan maupun kesusastraan Jawa dalam
pembelajaran bahasa Jawa. Guru juga dapat mengembangkan materi
pembelajaran, dan mendesainnya dalam model serta media yang menarik.
Misalnya pembelajaran bahasa Jawa dengan memanfaatkan aplikasi internet, atau
mendesain media untuk apresiasi sastra dengan aplikasi film animasi pendek.
KESIMPULAN
Dibukanya era pasar bebas Asean atau MEA, sebenarnya tidak hanya
memberikan tantangan namun juga peluang bagi eksistensi budaya lokal,
khususnya bahasa, sastra dan budaya.Di dalam bahasa Jawa terkandung kekayaan
ragam bahasa serta leksikon, yang memiliki nilai kearifan lokal, untuk dapat
dikembangkan dalam membentuk sikap/perilaku berbahasa yang baik. Bahasa
Jawa juga dapat berperan sebagai pendukung atau pemerkaya bahasa Indonesia.
Dalam bidang kesusastraan Jawa juga terkandung berbagai potensi kearifan lokal,
misalnya dalam cerita rakyat dapat berfungsi sebagai (1) sumber nilai-nilai
budaya, moral, etika, budi pekerti, (2) mendukung upaya pelestarian ekosistem
alam, dan (3)penggerak potensi pariwisata daerah.
136
DAFTAR RUJUKAN
Ahimsa-Putra, Hedi Shri, tt. Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Kirrilly McKenzie. 2015. Mahasiswa Australia: Bahasa Jawa adalah Bahasa yang Penuh
RasaHormat.(Artikeldalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-
03-12/mahasiswa-australia-bahasa-jawa-adalah-bahasa-yang-penuh-
rasahormat/1423799. (Diakses tanggal 20 Maret 2016).
Koentjaraningrat.2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.
______________. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Nababan. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafat. Jurnal
Filsafat.37(2):111-120(http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2009/08/kearifan-
lokal-dalam-arsitektur.html). Diakses 20 Maret 2016.
Sentanu, Erbe. 2008. The Science and Miracle of Zona Ikhlas
(AplikasiTeknologiKekuatanHati– Quantum Ikhlas Book Series). Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo-KompasGramediaSholeh. 2013. “Persiapan
Indonesia Dalam Menghadapi AEC (Asean Economic Community) 2015”. e-
Journal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 509-522.
Subalidinata. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama
Triyono, Adi. 1988. Peribahasadalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Widyastuti, Sri Harti. Cara Pengobatan Tradisional dalam Serat Centini”, dimuat
dalam KEJAWEN, Jurnal Kebudayaan Jawa, diterbitkan oleh Jurusan
Pendidikan Bahasa Daerah FBS UNY,Vol.1, 1 Mei 2014 halaman 14-25.
______________., dkk. tt. Kearifan Lokal dalam Fithosterapi yang Terdapat
Pada Naskah-NaskahJawa.
(https://dinamikaguruSD.kalimnuryati/posts/642456712465. Diakses 20 Maret
2016).
137
PENGUATAN SIKAP POSITIF SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN
BAHASA IBU DALAM MASYARAKAT TUTURNYA
Oleh:
Kenfitria Diah Wijayanti
Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Kebanggaan, kesetiaan, dan rasa memiliki menjadi pondasi dasar untuk
menumbuhkan sikap positif dalam berbahasa. Sikap positif diperlukan untuk
mempertahankan keberadaan bahasa ibu bagi masyarakat Jawa. Dalam
perkembangannya, bahasa ibu mendapat pengaruh besar bahkan dominasi dari
bahasa kedua yakni bahasa Indonesia. Goyahnya minat masyarakat tutur
menggunakan bahasa ibu yang dimilikinya akan mengantar pada kepunahan
bahasa tersebut. Artikel ini memfokuskan permasalahan pada Penguatan Sikap
Positif sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa Ibu dalam Masyarakat Tuturnya.
Strategi yang dapat dilakukan sebagai upaya menumbuhkan sikap positif terhadap
bahasa ibu antara lain dengan kegiatan: (1) dongeng, (2) permaianan tradisional,
dan (3) lagu anak tradisional atau tembang dolanan.
Kata kunci: sikap positif, bahasa ibu, upaya pemertahanan bahasa
PENDAHULUAN
Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan budaya yang kental. Budaya
diterapkan pada semua aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan yang tidak
bisa terlepas dari budaya adalah bahasa. Bahasa Jawa menjadi bahasa ibu bagi
masyarakat Jawa. Perannya sebagai media dalam berkomunikasi menjadikan
bahasa selalu berkembang mengikuti perubahan jaman, namun peminat atau
pengguna bahasa Jawa berbanding terbalik. Generasi muda semakin enggan
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa kesehariannya. Keluarga muda banyak
menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing dalam komunikasi kepada
anaknya. Bahasa Jawa dianggap kurang modern, selain itu menggunakan bahasa
Jawa dianggap kurang bergengsi.
138
Bahasa Jawa dianggap rumit, karena memiliki struktur dan aturan tersendiri.
Ragam bahasa Jawa memiliki speech level „tingkat tutur‟. Penggunaan tingkat
tutur sangat memperhatikan unsur lawan tuturnya. Di sisi lain dalam pembelajaran
bahasa Jawa juga terdapat aksara Jawa yang cara penulisannya pun dianggap sulit,
karena banyaknya aturan untuk menulisnya. Sementara itu, apabila dilihat dari
diksi atau kosa kata bahasa Jawa sangat variatif. Hal ini bisa diamati melalui
penyebutan salah satu benda dengan detailnya. Dalam bahasa Jawa terdapat kata
pelem „mangga‟ - pelok „biji mangga‟ dan duren „durian‟ – pongge „isi durian‟,
dsb. Kerumitan strukur, bentuk, dan aturan inilah yang menjadikan masyarakat
tutur mulai beralih ke bahasa kedua (bahasa Indonesia) yang dianggap lebih
mudah secara aplikasinya. Sikap seperti ini dikategorikan sebagai sikap negatif
dalam berbahasa. Apabila sikap negatif dibiarkan tumbuh, maka dapat dipastikan
keberadaan bahasa Jawa akan menuju masa kepunahannya. Oleh karena itu,
diperlukan upaya pemertahanan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu melalui strategi
yang mudah diterapkan. Melalui artikel ini, penulis membahas mengenai
Penguatan Sikap Positif Sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa Ibu Dalam
Masyarakat Tuturnya.
PEMBAHASAN
1. Sikap Bahasa
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri
atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2011). Suwito (1983: 88) mengungkapkan
bahwa, sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku tutur, tetapi perilaku tutur
tidak mutlak mencerminkan sikap bahasa. Sikap bahasa memiliki ciri:
a. Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu
bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya
pengaruh bahasa lain.
b. Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang
mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang
identitas dan kesatuan masyarakat.
c. Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang
139
mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun
merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu
kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Hal-hal yang terkait dengan sikap bahasa yang dapat dikaji adalah faktor-
faktor sosial, kultural, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
sikap bahasa. Faktor-faktor tersebut di samping berpengaruh terhadap bahasa
juga berpengaruh terhadap sikap bahasa. Faktor kultural seperti pemilikan
pakaian daerah, frekuensi pemakaian pakaian daerah, pemeliharaan kebudayaan
leluhur, dan lain-lain berpengaruh terhadap sikap bahasa.
Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan
proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap,
maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat
diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati antara lain lewat perilaku
berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku ketentuan
bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula
sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur. Sikap
bahasa terjadi akibat adanya faktor: (a) kebutuhan pribadi penutur; (b) situasi
saat pembicaraan berlangsung (immediate situation); dan (c) situasi yang
melatarbelakangi pembicaraan (background situation).
Sikap bahasa dapat dikategorikan menjadi dua yakni sikap positif dan
sikap negatif. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan
bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur di mana
dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari
diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka
berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok
orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian
bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan
bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali
(Suwito, 1983: 90-93). Sepertihalnya generasi muda masyarakat Jawa yang
mulai goyah menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya dapat
dikategorikan sebagai sikap negatif. Dalam pergaulan atau berkomunikasi, kaum
140
muda masyarakat Jawa lebih cenderung senang menggunakan bahasa Indonesia,
karena dianggap lebih mudah, aplikatif, dan bergengsi. Namun sebenarnya
tindakan seperti inilah yang lama kelamaan akan menghilangkan eksistensi
bahasa Jawa dalam masyarakat tuturnya sendiri.
2) Fenomena Kedwibahasaan
Dwibahasa merupakan penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
kehidupan berbahasanya. Kedwibahasaan muncul diawali karena adanya kontak
bahasa. Bahasa satu bersinggungan dengan bahasa lain pada saat penutur
mempelajari bahasa kedua (B2). Masyarakat Indonesia dapat digolongkan sebagai
masyarakat dwibahasa, karena dilihat dari kondisi geografis yang terdiri dari
pulau-pulau dan keanekaragaman budaya serta bahasanya. Kondisi bahasa daerah
yang beragam disatukan dengan adanya bahasa pemersatu yakni bahasa
Indonesia.
Penggunaan dua bahasa atau lebih bisa menimbulkan dampak berupa
kemungkinan pergantian dan percampuran pemakaian bahasa oleh penutur. Hal
ini akan menimbulkan interferensi atau transfer bahasa. Seringnya terjadi
interferensi dianggap sebagai peristiwa kebahasaan yang bersifat negatif, karena
masuknya unsur-unsur B1 ke dalam B2 atau sebaliknya sehingga menyimpang
dari kaidah atau aturan kebahasaan masing-masing. Jacobvit (dalam Pranowo,
2014: 104) menyebutkan adanya lima unsur dasar yang memingkinkan terjadinya
transfer, yaitu:
a. kemampuan berbahasa pertama,
b. kemampuan berbahasa kedua,
c. adanya hubungan antara B1 dan B2,
d. keterlibatan B2 di dalam B1, dan
e. keterlibatan B1 di dalam B2.
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau
multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia
dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Namun dampak negatifnya
141
seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa
daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka bolak-
balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering
terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi/ campur
kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru.
Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Jawa yang
terkontaminasi bahasa Indonesia, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di
masyarakat pengguna bahasa sekarang. Berikut beberapa contoh fenomena
kontaminasi B1 dan B2.
a. Adanya pemakaian akhiran „o‟ dalam bahasa Indonesia
ambil + o : ambilo (yang baku sebenarnya adalah ambilah)
pulang + o : pulango (yang baku sebenarnya adalah pulanglah)
Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti
akhiran a dalam bahasa Jawa.
b. Adanya pemakaian akhiran „-en‟
ambil + en : ambilen (yang baku adalah ambilah)
Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang
merupakan akhiran dalam bahasa Jawa.
c. Menembak + i menembaki, seharusnya menembakki.
d. Adanya pemakaian akhiran „-ke‟
biar + ke : biarke (yang baku adalah biarkan)
duduk + ke : dudukke (yang baku adalah dudukkan)
ambil + ke : ambilke (yang baku adalah ambilkan)
Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini
digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.
e. Menggunaan kata ganti orang + nya.
Mbake menjadi mbaknya
Mase menjadi masnya
f. Menyebut nama tempat menggunakan aksen dialek terutama yang berawalan
/b/, /d/, /g/, dan /j/.
Bandung menjadi mBandung
142
Dayu menjadi nDayu
Gemolong menjadi ngGemolong
Jember menjadi nJember
3) Strategi Menumbuhkan Sikap Positif sebagai Upaya Pemertahanan
Bahasa Ibu dalam Masyarakat Tuturnya
Bahasa dapat dikatakan mendekati kepunahan apabila sudah tidak ada
ketertarikan penuturnya untuk menggunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu penyebab menurunnya ketertarikan seorang penutur dalam menggunakan
bahasa ibu yang dimilikinya adalah karena adanya pengaruh kuat dan dominan
bahasa kedua. Strategi pemertahanan bahasa khususnya bahasa Jawa sebagai
bahasa ibu masyarakat tuturnya adalah dengan memperkenalkan bahasa tersebut
sejak dini kepada generasi penerus masyarakat tutur itu. Pengenalan bahasa dapat
dilakukan melalui lingkungan formal maupun non formal. Keduanya memiliki
daya pengaruh kuat dalam perkembangan bahasa pada anak. Lingkungan non
formal memiliki porsi lebih besar dalam pengenalan dan pemertahanan bahasa
kepada anak. Hal terpenting dalam usaha pemertahanan bahasa adalah dengan
menumbuhkan rasa kecintaan dan memiliki terhadap bahasa tersebut, sehingga
sikap positif akan tertanam seutuhnya dalam benak anak.
Pembelajar usia dini (young learner) memiliki kemampuan menguasai
keterampilan berbahasa yang diawali dari mendengar, mengucap, membaca,
kemudian menulis. Secara alami anak merupakan makhluk peniru yang peka
terhadap lingkungan sekitarnya. Hal-hal yang dianggap menarik akan lebih cepat
ditirukan. Anak usia 1-5 tahun memiliki kemampuan untuk menyampaikan
kegiatan yang sedang mereka lakukan, apa yang mereka dengar, dapat membuat
rencana, dan dapat menggunakan alasan-alasan logis.
a. Dongeng
Dongeng merupakan karya fiksi yang berasal dari imajinasi pengarangnya.
Dongeng yang baik memuat pesan moral yang mampu membentuk karakter
pada anak. Melalui dongeng dapat disisipkan pendidikan karakter yang positif,
baik itu berupa bahasa maupun substansinya. Bercerita atau mendongeng dapat
memberikan stimulan pada anak dalam berimajinasi. Ajaran mengenai nilai-
143
nilai kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang disampaikan melalui dongeng
tersebut dapat bermanfaat bagi perkembangan anak. Judul cerita anak: Andhe-
andhe Lumut, Lutung Kasarung, Cindhelaras, Kleting Kuning, Tiyang Tani lan
Tikus .
b. Permainan Tradisional
Permainan tradisional memiliki nilai-nilai kebaikan baik secara motorik,
kognitif, maupun ditinjau dari nilai moralnya. Secara sosial permainan
tradisional membuat anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Berbeda
sekali dengan zaman modernisasi yang memperkenalkan dunia gadget, anak
yang memainkannya tidak perlu berinteraksi dengan lingkungannya karena
asyik dengan dunianya sendiri. Melalui permainan tradisional anak diajarkan
rasa percaya diri, tanggung jawab, kejujuran, setia kawan, dan mengajarkan
bagaimana cara berkomunikasi/ berinteraksi yang baik dengan teman
sepermainannya. Beberapa permainan tradisional yang ada dalam masyarakat
Jawa antara lain: dakon, bekelan, udhing, jamuran, betengan, gobak sodhor,
delikan.
c. Lagu Anak Tradisional (tembang dolanan)
Salah satu wujud warisan budaya adalah lagu, masyarakat Jawa memiliki lagu
anak tradisional yang disebut dengan tembang dolanan. Dalam tembang
dolanan
Beberapa judul tembang dolanan yang ada dalam masyarakat Jawa yakni: jago
kluruk, menthok-menthok, cublak-cublak suweng, gundhul pacul, kupu kuwi,
dan jaranan.
Mengajarkan bahasa kepada anak harus dilakukan dengan strategi yang menarik.
Pengajaran dengan metode yang menyenangkan dapat menarik perhatian dan
mudah dipahami anak. Melalui kegiatan mendongeng, bermain permaianan
tradisional, dan tembang dolanan dapat disisipkan pembelajaran berbahasa Jawa
yang baik dan benar. Dalam teori pemerolehan bahasa, anak akan mampu
menguasai bahasa ibu hanya dalam waktu relatif singkat yakni tiga hingga empat
tahun. Usia tersebut merupakan the golden years „usia keemasan‟ dalam
pertumbuhan anak. Oleh karena itu, bahasa Jawa sudah seharusnya diperkenalkan
144
pada anak sejak dini. Namun, pengenalannya harus disesuaikan dengan tingkatan
usia.
Pengenalan bahasa dapat dilakukan melalui tiga lingkungan, yaitu
keluarga, sekolah, dan organisasi. Keluarga merupakan pusat pendidikan pertama
dan terpenting. Pengenalan bahasa dalam keluarga inilah yang justru sangat
mempengaruhi tumbuh kembang si anak. Peranan orang tua dalam pendidikan
anak adalah memberikan pendidikan sikap dan keterampilan dasar. Oleh karena
itu, bahasa ibu yang diperkenalkan kepada anak akan sangat mempengaruhi
penggunaan bahasanya kelak. Dengan menumbuhkan sejak dini kecintaan dan
rasa memiliki bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, maka akan menyelamatkannya dari
kepunahan.
KESIMPULAN
Sikap positif diperlukan untuk mempertahankan eksistensi sebuah bahasa.
Penanaman sikap positif terhadap bahasa Ibu dapat dilakukan semenjak dini.
Dalam menumbuhkan sikap positif dibutuhkan strategi dan metode yang
menyenangkan, sehingga anak tertarik untuk ikut berpartisipasi dan secara tidak
sadar mempelajari kaidah-kaidah bahasa tersebut. Pembelajaran bahasa dapat
dilakukan melalui kegiatan mendongeng, bermain permainan tradisional, dan
menyanyikan tembang dolanan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut norma
kebahasaan dapat ditanamkan secara tidak langsung, sehingga dari awalnya hanya
mengenal, kemudian terbiasa, dan akhirnya menjadi bisa.
DAFTAR RUJUKAN
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi ke Empat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Pranowo. 2014. Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
145
Saddhono, Kundharu. 2013. Pengantar Sosiolinguistik Teori dan Konsep Dasar.
Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta:
Henary Offset Solo.
146
SEJARAH DAN PANDANGAN TENTANG KEBIJAKAN BAHASA
(STRATEGI MENGHADAPI MEA)
Oleh:
Rahmat, S.S., M.A.
Pendidikan Bahasa Jawa, Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Berlakunya kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berarti bahwa telah
terjadinya kesepakatan antar negara-negara di ASEAN yang mana terbuka
kesempatan bekerja bagi komunitas dengan dimudahkannya akses bekerja di
negara-negara anggota. Realita yang terjadi ialah, masuknya pekerja-pekerja dari
negara lain di Indonesia. Hal ini tentunya akan membawa beberapa dampak, salah
satunya kebahasaan. Kedatangan pekerja asing itu tentunya berimbas pada
pengaruh bahasa yang dituturkan.Untuk mengatasi kekhawatiran akan dampak
kebahasaan, maka sebaiknya disusun beberapa usaha yang berkaitan dengan
kebijakan bahasa mengingat kondisi kebahasaan di Indonesia yang terdiri dari
bahasa nasional dan bahasa daerah. Adapun kebijakan yang dapat dilakukan
meliputi empat aspek, yaitu perencanaan status, perencanaan korpus, perencanaan
pemerolehan bahasa, dan pemerolehan gengsi. Dengan demikian, bahasa daerah
dan bahasa nasional akan tetap berdiri kokoh.
Kata kunci: kebijakan bahasa, bahasa daerah, bahasa nasional, perencanaan
bahasa, MEA.
PENDAHULUAN
Bahasa secara sederhana didefinisikan sebagai kode bersama yang
memungkinkan pengguna untuk mengirimkan ide-ide, pesan, gagasan, dan
keinginan (Owen, 1992). Dari sudut pandang linguistik murni wilayah bahasa
yang bersifat aneka bahasa merupakan firdaus bagi siapa saja yang mempunyai
minat terhadap penelitian. Keanekaan bahasa tersebut merupakan segi kebahasaan
dari keanekaan etnis dan budaya suatu masyarakat. Jika masyarakat yang secara
sosial budaya beraneka ragam itu secara politis dan geografis merupakan
kesatuan, maka akan timbul masalah kebahasaan terlebih pada negara yang
masyarakatnya multi etnis (Moeliono, 1985). Oleh sebab itu, diperlukan suatu
upaya nyata untuk menjembatani masalah kebahasaan yang akan muncul itu.
147
Dinamika kebahasaan muncul tidak saja di jaman modern ini tetapi dapat
ditelusuri lebih jauh dari jaman-jaman sebelumnya. Beberapa sumber literatur
menyampaikan ulasan mengenai bahasa dan filsafat yang melatarbelakanginya
sejak jaman kuna (Yunani dan Romawi), abad Pertengahan, dan jaman modern.
Meskipun demikian,masing-masing jaman memiliki pandangan-pandangan yang
berbeda bahkan mungkin bertentangan terhadap bahasa itu.
Kajian dan minat terhadap bahasa di jaman modern merupakan kelanjutan
dari jaman-jaman sebelumnya, mulai dari tata bahasa tradisional yang merujuk
pada tradisi Yunani terus dikembangkan sampai Romawi dan Eropa pada abad
pertengahan, serta diperluas sampai studi-studi bahasa daerah pada jaman
Renaisans dan sesudahnya. Adapun ciri khas kajian bahasa pada jaman modern
ialah prioritas pada bahasa lisan. Bahasa lisan dianggap lebih tua dan lebih luas
daripada bahasa tulis. Dalam kenyataannya, segala sistem tulisan berdasarkan
satuan bahasa lisan. Perhatian linguis (pada dasarnya) terhadap semua bahasa
dengan tujuan menyusun teori ilmiah mengenai struktur bahasa manusia yang
selanjutnya semua contoh peristiwa bahasa itu dicatat dan diamati lebih lanjut
(Lyons, 1995). Hal itu menunjukkan bahasa dari sudut pandang pengetahuan.
Bahasa dalam kaitannya dengan tindak komunikasi di era globalisasi
membuat bangsa menyadari akan situasi kebahasaan sehingga menuntut warganya
untuk memperoleh bahasa tambahan (mempelajari bahasa lainnya) yang berguna
bagi pergaulan internasional terutama untuk tujuan ekonomis atau akademis
(Shohamy, 2006). Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda bertemu dalam
sebuah kontak, maka bahasa akan memfasilitasi mereka untuk berkomunikasi.
Oleh sebab itu, diperlukan bahasa kedua yang umum dapat menjadi lingua franca
(Rowe, 2009). Adapun bahasa yang lazim digunakan untuk komunikasi
internasional tersebut adalah bahasa Inggris. Selain itu, kondisi global telah
membuat sejumlah bahasa, dialek dan kode dapat hidup berdampingan secara
harmonis menciptakan varietas baru, hibrida, dan multi kode, namun bisa pula
membuat bahasa tertentu tidak lagi berguna di luar wilayah spesifik negara
(Shohamy, 2006).
148
PEMBAHASAN
A. Perspektif Filosofis
Bahasa adalah sistem yang cenderung kita anggap sudah benar dan
semestinya, sesuatu yang sudah kita kenal sejak kecil dengan mempraktekkannya
dan tanpa memikirkannya (Lyons, 1995). Dalam pemakaian sehari-hari,
menguasai bahasa sering diartikan sebagai kemampuan berbicara menggunakan
bahasa itu dan sebagai kemampuan menggunakan simbol secara bermakna untuk
berkomunikasi. Jadi dalam konteks ini penguasaan bahasa bergantung pada empat
kata kunci, yaitu penggunaan, simbol, makna, dan komunikasi (Phoenix dalam
Alwasilah, 2010).
Pandangan Brown (2000) terhadap bahasa ada tujuh, yaitu bahasa itu
sistematis, bahasa adalah seperangkat simbol manusia, simbol-simbol itu
utamanya adalah vokal, tetapi bisa juga visual, simbol mengonvensionalkan
makna yang dirujuk, bahasa dipakai untuk berkomunikasi, bahasa beroperasi
dalam sebuah komunitas atau budaya wicara, bahasa pada dasarnya untuk
manusia, walaupun bisa jadi tidak hanya terbatas untuk manusia, bahasa dikuasai
oleh semua orang dalam cara yang sama; bahasa dan pembelajaran bahasa sama-
sama mempunyai karakteristik universal.
Definisi lain tentang bahasa diungkapkan oleh Shohamy (2006) antara lain
bahasa itu dinamis, energik, terus berkembang, kreatif, ekspresif, interaktif
bahkan bahasa itu diperdebatkan dan dinegosiasikan. Bahasa terus berkembang
sebagai akibat dari interaksi antara orang-orang dalam kelompok. Sebagai bagian
dari sebuah bentuk interaksi dan upaya untuk membuat hubungan yang bermakna,
maka unsur-unsur baru bahasa diciptakan, digunakan, dan dipertukarkan. Bahasa
cenderung berubah dari waktu ke waktu, manusia telah berperan dalam
mengembangkan, memperluas, mengecilkan, meminjam, dan mencampur bahasa
sebagai bagian dari proses dinamika interaksi manusia. Lebih lanjut, bahasa
disebut-sebut sebagai ekspresi kebebasan. Orang bebas untuk menggunakan
bahasa dan mengekspresikan diri dengan bentuk dan cara apapun yang mereka
inginkan. Oleh karena itu, orang diizinkan untuk berbahasa dengan cara mereka
sendiri, selama tidak membahayakan orang lain.
149
B. Perspektif Politis
Rahman (2010) berpendapat politik adalah suatu tujuan untuk mengejar
kekuasaan. Dengan kekuasaan seseorang dapat mendapatkan apa yang ia
inginkan. Adapun kaitan antara bahasa dan politik dapat didefinisikan dengan
istilah bahasa kekuasaan. Bahasa kekuasaan adalah bahasa yang dipakai dan
dikuasai oleh penutur agar mereka dapat memberdayakan diri mereka sendiri.
Artinya, dengan penguasaan terhadap bahasa kekuasaan maka seseorang bisa
mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Bahasa kekuasaan di Asia Selatan
ialah bahasa Inggris. Seseorang yang mampu menguasai bahasa Inggris, maka ia
akan bisa bekerja di sektor-sektor penting. Hal itu menandakan begitu pentingnya
bahasa kekuasaan, bahkan saat Inggris menguasai India Raja Ram Mohan Roy
meminta Inggris untuk mengajar bahasa Inggris di India. Contoh lainnya ada di
belahan Eropa, di mana bahasa Perancis merupakan bahasa kekuasaan di negara
Perancis, di sana tidak ada yang bisa mencapai posisi sosial yang tinggi jika
mereka tidak bisa berbahasa Perancis. Elit Perancis (baca=penguasa) mengklaim
Perancis dipersatukan oleh bahasa Perancis.
Kaitan politik dengan kekuasaan juga diungkapkan oleh Wareing dan
Jason Jones (2007) sebagai berikut. Politik adalah masalah kekuasaan, yaitu
kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya,
mengendalikan perilaku orang lain dan sering kali juga mengendalikan nilai-nilai
yang dianut orang lain. Contoh yang paling sederhana ialah bahasa iklan, yang
mana iklan berusaha mempengaruhi pemirsa untuk menggunakan produknya.
Shohamy (2006) berpandangan bahwa bahasa digunakan sebagai simbol
dan alat ideologi untuk menciptakan dan mengkonsolidasikan keanggotaan
kelompok, patriotisme kepada negara, dan kepentingan ekonomi. Hal itu
menunjukkan bahwa bahasa juga mencerminkan pemikiran kolektif berbasis
sosial dan cara berpikir. Di Amerika, kata „demokrasi‟ mencerminkan makna
tertentu dan emosi serta mempengaruhi konsep tentang tata pemerintahan (Owen,
1992).
150
C. Hubungan antara Perspektif Filosofis dan Politis
Pandangan filosofis tentang bahasa menunjukkan bahwa bahasa itu adalah
suatu sistem yang sudah dikenal sejak kecil dengan mempraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk berkomunikasi. Bahasa itu berkembang dari waktu ke
waktu atau bersifat dinamis akibat interaksi yang dilakukan manusia dan bahasa
itu merupakan ekspresi kebebasan di mana manusia bebas berbahasa dengan cara
mereka sendiri, namun jangan sampai merugikan dan membahayakan orang lain.
Bahasa juga sebagai sesuatu yang diperdebatkan dan dinegosiasikan. Sedangkan
pandangan politis tentang bahasa mencakup bahasa itu sebagai bahasa kekuasaan,
bahasa itu digunakan untuk mempengaruhi masyarakat, dan sebagai alat
pemersatu kelompok.
Bahasa sebagai bentuk komunikasi digunakan manusia untuk berinteraksi
dengan manusia yang lain untuk tujuan dan motif-motif tertentu. Sifat dinamis
bahasa menunjukkan bahwa suatu bahasa dalam suatu masa menjadi bahasa
kekuasaan atau dengan kata lain sebagai bahasa yang sangat penting perannya dan
harus dikuasai oleh masyarakat pada masa itu, contohnya bahasa Latin yang wajib
dikuasai oleh masyarakat Eropa pada abad pertengahan dan bahasa Inggris yang
menjadi bahasa penghubung internasional. Selain itu, bahasa sebagai sebuah
bentuk ekspresi, di mana bahasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain.
Terakhir bahasa sebagai sesuatu yang diperdebatkan dan dinegosiasikan adalah
kaitan bahasa yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu. Perdebatan yang
dimaksud ialah pemilihan suatu bahasa untuk dijadikan sebagai bahasa nasional
atau bahasa pengantar dalam suatu percakapan, sedangkan negosiasi yang
dilakukan untuk mendapatkan suatu keputusan bersama agar dapat diterima oleh
masyarakat atau kelompok-kelompok yang ada di dalamnya.
D. Masalah Kebahasaan dan Kebijakan Bahasauntuk Menghadapi MEA
Perkembangan jaman ke jaman menunjukkan dinamika yang terjadi
terhadap bahasa. Dalam perjalanannya, masalah bahasa merupakan gejala global
yang artinya terjadi pada manusia di seluruh dunia dan dalam lingkup yang
dibatasi, yakni negara. Adapun latar belakang masalah kebahasaan tersebut adalah
151
bahasa-bahasa di seluruh dunia ini banyak jumlahnya. Oleh sebab itu, perlu
diperikan jumlah dan keberadaannya. Yang kedua, suatu negara sangat mungkin
dibangun dari bermacam etnis (multi etnis). Setiap etnis tentunya memiliki bahasa
sendiri. Sehingga, diperlukan suatu alat perhubungan dalam komunikasi untuk
menjembatani komunikasi di antara mereka.
Berdasarkan latar belakang masalah kebahasaan, maka masalah
kebahasaan yang muncul ialah pemakaian bahasa oleh suatu masyarakat dan
kedudukan bahasa itu sendiri. Untuk mengatasi hal itu, maka diperlukan sebuah
solusi untuk mengatasinya. Dalam hal ini, solusi tersebut dikenal dengan istilah
perencanaan atau kebijakan bahasa. Istilah perencanaan atau kebijakan bahasa itu
bertumpang tindih (Moeliono, 2010).
Beberapa sumber (Moeliono, 1985; Kaplan, 2004; Shohamy 2006;
Rahman, 2010, Moeliono, 2010) menjelaskan tentang kebijakan bahasa. Rahman
(2010) berpandangan bahwa kebijakan bahasa sebagai salah satu cara
menggunakan bahasa untuk tujuan politik. Pandangan itu ditegaskan oleh
pendapat Shohamy (2006) bahwa kebijakan bahasa telah menjadi alat utama yang
digunakan oleh mereka yang berkuasa. Secara politis, kebijakan bahasa kiranya
menjadi langkah pemerintah untuk mempersatukan warga masyarakatnya.
Secara universal kebijakan bahasa di dunia yang dapat diterapkan oleh
masing-masing negara ialah, perencanaan status, perencanaan korpus,
perencanaan pemerolehan bahasa, dan perencanaan gengsi (Moeliono, 1985;
Rahman, 2010; Moeliono, 2010). Berikut ini empat perencanaan kebahasaan yang
secara khusus ditujukan untuk bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Adapun
bahasa daerah yang dimaksud dalam kajian ini diwakili bahasa Jawa.
1. Perencanaan Status.
Perdebatan tentang dialek tertentu yang akan menjadi dasar bahasa
nasional telah terjadi semenjak jaman renaisans di Perancis, semenanjung Iberia,
Jerman, Skandinavia, dan Kepulauan Inggris, Balkan, Polandia, Turki dan India
(Joseph, 2004).Perencanaan status adalah pemilihan bahasa yang akan dijadikan
sebagai bahasa nasional, bahasa propinsi, bahasa untuk pendidikan. Keputusan
akan pemilihan bahasa untuk beberapa tujuan itu ditetapkan oleh pemerintah.
152
Namun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk menetapkan suatu bahasa
dijadikan bahasa nasional. Tetapi, Indonesia tidak perlu khawatir karena sudah
memiliki bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa Jawa
statusnya sebagai bahasa daerah. Kiranya untuk perencanaan ini pemerintah telah
menetapkan peraturan perundangan-undangannya.
2. Perencanaan Korpus.
Moeliono (2010) menggolongkan perencanaan korpus menjadi tiga
bidang, yaitu peningkatan keberaksaraan dan keberangkaan (mengurangi buta
aksara dan buta angka), pembakuan bahasa, dan pemodernan bahasa (pemekaran
kosakata). Sementara itu, Rahman (2010) mengklasifikasikan perencanaan
korpus menjadi dua bidang yaitu standarisasi dan modernisasi. Standarisasi
meliputi penyeragaman ejaan dan tanda baca (untuk bahasa tulis), pembuatan
kamus dan tata bahasa. Modernisasi berarti penciptaan istilah-istilah baru untuk
sebuah konsep yang sebelumnya belum ada dalam bahasa. Setiap bahasa
dimaksudkan untuk mengekspresikan realitas budaya dimana ia diciptakan.
Masyarakat yang membuat pesawat, mobil, komputer atau benda teknologi akan
membuat istilah-istilah baru.
Adapun bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sampai saat ini telah
menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang hampir setiap tahunnya
menerbitkan cetakan dengan isi yang terkini, sedangkan bahasa Jawa dalam hal
standarisasi yang perlu sekali menyeragamkan penulisan lambang tulis untuk
artikel maupun karya sastra yang diterbitkan. Hal yang penting untuk bahasa
Jawa ialah perencanaan modernisasi, yaitu menciptakan atau menyusun
kosakata-kosakata baru yang berkaitan dengan teknologi. Kiranya ini yang belum
terlaksana dengan lancar.
3. Perencanaan Pemerolehan Bahasa.
Pemerolehan bahasa ialah proses memperoleh kemampuan berbahasa
atau dengan kata lain belajar bahasa. Orang belajar suatu bahasa untuk
mendapatkan pekerjaan, pergaulan, bahkan bisa pula bermotif politis.
Pemerolehan bahasa ini berusaha meningkatkan jumlah orang yang
menggunakan bahasa. Dalam rangka menghadapi MEA pemerintah sebaiknya
153
menyelenggarakan kursus bahasa Indonesia sekaligus menerbitkan sertifikat
resmi untuk pekerja asing yang masuk ke Indonesia. Sehingga, mereka yang
datang ke Indonesia wajib menguasai bahasa Indonesia. Sementara itu, untuk
bahasa Jawa pemerolehan bahasa dalam rangka pendidikan sebaiknya diajarkan
sejak dini, yaitu sejak PAUD maupun TK.
4. Perencanaan Gengsi
Perencanaan ini berupaya untuk mempromosikan atau menggalakkan
suatu bahasa sehingga khalayak menjadi senang menggunakan bahasa itu. Usaha
yang dapat dilakukan melalui media massa.Perencanaan gengsi ini dapat
diterapkan untuk menghadapi persoalan eksistensi bahasa daerah. Bahasa daerah
perlu digalakkan dan dipromosikan agar masyarakat penutur aslinya senang dan
tetap menggunakan bahasa daerah. Adapun cara yang telah ditempuh dapat
melalui publikasi karya sastra di koran-koran lokal atau nasional yang diterbitkan
secara berkala, dapat pula dengan cara penyusunan kebijakan untuk pemberian
nama tempat usaha menggunakan bahasa dan aksara Jawa, serta publikasi bahasa
Jawa di tempat-tempat atau fasilitas umum seperti di kereta api, terminal, mall,
dan pasar.
Keempat perencanaan itu memerlukan upaya dan langkah strategis dari
beberapa pihak. Moeliono (1985) menyatakan pentingnya melibatkan ahli bahasa
dalam kegiatan pemecahan masalah kebahasaan. Pandangan tersebut rupanya
berpangkal dari pendapat Haugen yang menyatakan bahwa ahli bahasa dapat
berperan dalam proses perubahan dan pengubahan bahasa dan dalam usaha
mengatasi masalah kebahasaan.
Dalam setiap perencanaan bahasa sangat penting untuk tetap berhubungan
dengan pihak pengambil keputusan. Hal itu penting untuk memastikan
kelangsungan hidup situasional dan ekonomi dari solusi yang diusulkan. Pihak
pengambil keputusan diharapkan selalu ada untuk memonitor dan melakukan
koreksi ketika kesulitan dihadapi. Penggunaan data-data untuk kebijakan bahasa
harus hati-hati dan cermat. Solusi yang diambil harus dari data yang
sesungguhnya, bukan data yang menyesuaikan solusi yang diajukan. Solusi harus
peka dengan kondisi budaya, sosial, dan historis karena solusi akan “dijual”
154
kepada masyarakat. Perubahan bahasa tentunya tidak mudah diterima oleh
masyarakat karena isu bahasa paling sering sarat dengan emosi (Kaplan, 1997).
KESIMPULAN
Berkaitan dengan perspektif filosofis, perspektif politis, dan sejarah
perkembangan kebijakan bahasa, maka saran yang dapat diberikan dalam rangka
usaha-usaha untuk menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean di
Indonesia adalah sebagai berikut.
Berkaitan dengan bahasa kekuasaan, maka pemerintah Indonesia perlu
menerapkan peraturan untuk orang asing yang akan belajar atau bekerja di
Indonesia wajib memiliki sertifikat penguasaan bahasa Indonesia. Yang kedua,
merevisi dan mengevaluasi pengajaran dan pembelajaran bahasa daerah. Bahasa
daerah sebagai bahasa yang komunikatif yang tetap wajib dipertahankan
eksistensinya. Adapun langkahnya ialah menerapkan kebijakan pembelajaran
bahasa daerah wajib mulai tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Hal ini sangat penting karena penanaman kebahasaan yang dilakukan sejak dini
merupakan salah satu bentuk penguatan dan pelestarian bahasa.Sebagai bentuk
promosi dan penggalakan bahasa daerah, maka pembelajaran bahasa daerah tidak
hanya menjadi tanggungjawab keluarga dan sekolah saja, namun masyarakat juga
harus ikut serta di dalamnya. Promosi harus dan wajib dilaksanakan terutama di
tempat-tempat atau fasilitas umum. Sehingga, dimanapun masyarakat melakukan
segenap aktivitas, mereka setidaknya mengingat bahasa daerah.
Dengan demikian paling tidak terdapat tiga langkah rekomendasi
sehubungan kebijakan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Jawa berdasarkan
empat prinsip perencanaan kebijakan bahasa. Ketiga unsur, yaitu pemerintah,
swasta, dan masyarakat hendaknya saling bekerjasama untuk mewujudkan
kebijakan tersebut. Sehingga, kekhawatiran akan pengaruh kebijakan MEA di
Indonesia terutama yang bersingunggan dengan bahasa dapat segera diatasi.
155
DAFTAR RUJUKAN
Alwasilah, A. Chaedar.2010.Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT. Remaja
Rosdakarya.
Brown, H. Douglas.2000. Principles of Language Learning and Teaching. New
York: Longman.
Joseph, John E.2004.”Language Politics” dalam The Handbook of Applied
Linguistics. Alan Davies dan Catherine Elder (Editor). USA: Blackwell
Publishing.
Kaplan, Robert B dan Richard B. Baldauf, Jr.1997. Language Planning From
Practice to Theory. United Kingdom: Multilingual Matters Ltd.
Lyons, John.1995. Pengantar Teori Linguistik. I. Soetikno (Penerjemah). Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Moeliono, Anton M.1985.Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan
Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Owens Jr, Robert E.1992. Language Development an Introduction. USA:
Macmillan Publishing Company.
Rahman, Tariq.2010. Linguistics for Beginners: Basic Concepts. Oxford: Oxford
University Press.
Rowe, Bruce M. dan Diane P. Levine.2009. A Concise Introduction to Linguistics.
USA: Pearson.
Shohamy, Elana.2006. Language Policy: Hidden agendas and new approaches.
London and New York: Routledge.
Wareing, Shan dan Jason Jones.2007.”Bahasa dan Politik” dalam Bahasa,
Masyarakat, dan Kekuasaan. Linda Thomas dan Shan Wareing (Editor).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pustaka Elektronik
www.scribd.com/doc/59781040/Moeliono-2010-Kebijakan-Bahasa-dan-
Perencanaan-Bahasa-di Indonesia- Kendala-dan- Tantangan. (diunduh
tanggal 15 September 2012).
156
NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM SERAT SANGU PATI II
KARYA KI PADMA SUJANA
Oleh:
Yuli Widiyono, M,Pd.
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Abstrak
Ancasipun makalah menika ngandharaken bab ingkang kamot wonten serat Sangu
Pati II karya Ki Padma Sujana inggih menika babagan pendhidhikan moral. Serat
menika ngemot prekawis tumindak tuwin solah bawa ingkang kedah
dipunlampahi wonten gesang ing dunya kangge sangu pati wonten alam
salajengipun. Ngrembang babagan kearifan lokal wonten piwulangan bahasa
daerah lumantar karya sastra inggih menika naskah manuskrip, satunggaling
ngupya ingkang nyengkuyung kompetensi, katrampilan, lan nuwuhaken
kawigatosanipun siswa wonten diri pribadi, sesami, lan Gusti. Nilai kearifan lokal
wonten karya sastra Jawa dados jangkepipun budaya Nasional, awit menika
pemerintah kedah nguri-uri lan nyengkuyung sedaya maneka warni budaya daerah
supados nilai-nilai luhur menika tansah ngrembaka. Kanthi nyinaoni nilai
pendhidhikan moral wonten serat Sangu Pati II menika, mugi tansah paring
wewarah kangge nuwuhaken bab budi pekerti, satemah saged nyengkuyung
wujudipun bangsa ingkang misuwur lan pribadi ingkang kiyat tuwin basa, sastra,
lan budaya ingkang adi luhung.
Kata kunci: nilai, pendidikan moral, serat Sangu Pati II
Abstrak
Tujuan dari makalah ini adalah mendeskripsikan nilai pendidikan moral yang
terdapat pada serat Sangu Pati II karya Ki Padma Sujana. Serat tersebut berisi
sikap dan watak yang harus dilakukan dalam menjalani perjalanan hidup dari lahir
sampai meninggal yaitu ajaran yang harus disiapkan untuk menjalani dunia
sampai dengan kehidupan selanjutnya yaitu kehidupan akhirat. Mengangkat
kembali nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Daerah melalui
pengkajian karya sastra lampau berupa naskah merupakan salah satu upaya
penting untuk mendukung kompetensi, kecapakan, dan menanamkan kepedulian
peserta didik terhadap diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Karya sastra Jawa dengan
nilai–nilai kearifan lokal memiliki kontribusi besar terhadap kekayaan budaya
nasional. Peran pentingnya kebijakan pemerintah dalam membina dan memelihara
kekayaan daerah memberikan dampak terhadap kelangsungan nilai-nilai luhur
yang terdapat di dalam naskah-naskah Jawa. Dengan mengilhami dan
157
mengaplikasikan nilai pendidikan moral dalam serat Sangu Pati II karya Padma
Sujana diharapkan mampu memberikan peran yang banyak dalam meningkatkan
budi pekerti, sehingga mampu mendukung terciptanya bangsa yang bermartabat
dan memiliki karakter yang kuat dengan nilai bahasa, sastra, budaya yang
adiluhung.
Kata kunci: nilai, pendidikan moral, serat Sangu Pati II
PENDAHULUAN
Teknologi informasi sekarang ini berkembang sangat cepat seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi informasi ternyata
tidak hanya berdampak positif tetapi juga dampak negatif. Dampak positif
memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan peradaban manusia dalam
memenuhi kebutuhan. Salah satu peranan positif yaitu adanya kontribusi
teknologi dalam dunia pendidikan di Indonesia.Dampak negatif tersebut
disebabkan kurangnya pemaanfaatan secara optimal. Dalam hal ini teknologi
secara mutlak tidak memberikan manfaat positif, tetapi bisa membawa dampak
buruk jika salah dalam penggunaannya.
Sesuai yang diamanatkan dalam pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas, bahwa tujuan pendidikan mengembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pemanfaatan teknologi secara
tepat hendaknya dapat membantu peserta didik untuk membentuk dan
mengambangkan kemampuan atau kecakapannya dalam proses pembelajaran,
sesuai yang diamanatkan dalam pasal tersebut. Namun, pemanfaatan teknologi
yang tidak tepat akan berdampak pada masalah perilaku hingga bisa berimbas
pada kemerosotan akhlak atau moral sumber daya manusia.
Masalah degradasi atau kemerosotan moral sumber daya manusia bangsa
ini perlu segera mendapat penanganan khusus. Hal ini tampak pada kasus-kasus
yang bisa diperoleh dari informasi, baik media cetak maupun elektronik. Kasus-
kasus tersebut menjadi indikator bahwa kondisi masyarakat bahkan pendidikan di
Indonesia sekarang ini sangat mengkhawatirkan. Pelajar yang seyogianya menjadi
158
harapan generasi ke depan banyak melakukan tindakan-tindakan yang tidak
terpuji. Tindakan yang dilakukan salah satunya yaitu tawuran atau perkelahian
antar pelajar, Bahkan kasus yang mengakibatkan tewasnya pelajar akaibat
tawuran. Insan terdidik ini seharusnya mampu menjadi panutan bagi anak-anak
lain yang tidak se beruntung mereka. Hal ini berarti, bahwa tindakan ini tidak
sepatutnya mereka lakukan.
Kasus tawuran yang terjadi antar pelajar disinyalir terjadi karena beberapa
faktor. Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menyebutkan
faktor penyebab terjadinya tawuran adalah karena tidak adanya relasi antara guru
dengan murid (Harian Tribun Jakarta, 4 Oktober 2012). Faktor lain menurut
Farhan Ahmad (2012) penyebab terjadinya tawuran antar siswa adalah kurangnya
peran sekolah. Sekolah memiliki peran yang besar dalam menghentikan tawuran.
Kondisi semacam itu jika terus berlanjut, kecenderungan yang terjadi
adalah pelajar atau masyarakat dapat berbuat apa saja tanpa harus memperhatikan
apakah tindakan yang dilakukan itu baik dan buruk atau benar dan salah.
Akibatnya, orang akan sulit membedakan tindakan seseorang itu baik atau buruk,
benar atau salah. Keadaan itu perlu diantisipasi, Salah satu upaya penanganan
khusus yang memungkinkan untuk meminimalisir kasus tersebut adalah melalui
pendidikan moral maupun budi pekerti, yaitu melalui pembelajaran,
pengungkapan, dan pelestarian nilai-nilai yang bermanfaat yang ada dari berbagai
sumber. Salah satu upaya untuk menjaga nilai atau ajaran (nilai didik) adalah
menuangkannya dalam bentuk karya sastra.
Pendidikan Moral adalah nilai yang berpangkal dari baik dan buruk serta
nilai kemanusiaan. Demikian pula nilai yang bersifat konsepsional adalah nilai-
nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai-nilai tentang moral.
Karya sastra Jawa yang banyak ditulis oleh para pujangga banyak menberikan
tentang ajaran atau piwulang. Salah satu wujud karya sastra yang ditulis oleh para
pujangga berupa serat. Serat merupakan salah satu karya satra Jawa yang ditulis
oleh para bangsawan atau pujangga pada masa lampau, yang isinya menceritakan
budaya atau kehidupan pada saat karya sastra dibuat yang dituangkan dalam
bentuk naskah.
159
Karya sastra dalam naskah-naskah Jawa banyak memuat ajaran-ajaran
serta nilai-nilai adiluhung yang bersifat mendidik. Hal tersebut senada dengan Edi
Sedyawati (2001:138) yang menyatakan bahwa setiap karya sastra Jawa
mengandung banyak teladan, kegunaan dari budi pekerti manusia, dalam kriteria
ini terutama bagi orang muda dan anak-anak. Salah satu karya sastra Jawa yang
mengandung nilai pendidikan moral adalah Serat Sangu Pati Jilid II Karya Ki
Padma Sujana.Serat tersebut menjelaskan tentang perjalanan manusia dari lahir
sampai meninggal. Manusia dalam menjalani kehidupan harus seimbang antara
masalah duniawi dan masalah akhirat. Menjalin hubungan yang baik dengan
sesama dan bekal mat menuju akhirat, kewaspadaan, nasihat, berbuat baik, dan
watak merupakan isi secara garis besar dari serat tersebut. Melalui Pengkajian
tentang nilai pendidikan moral dalam naskah ini, diharapkan dapat bermanfaat
untuk membangun dan membina moral generasi muda, agar siap menyongsong
era globasisasi ini tanpa menanggalkan nilai-nilai kearifan atau tradisi budaya
bangsa Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
A. PUISI JAWA TRADISIONAL
Dalam khasanah sastra Jawa salah satu jenis karya sastra yang bersifat
puitik adalah tembang. Tembang menurut Padmosoekotjo (dalam Prawiradisastra,
1991: 64) yaitu, gubahan bahasa atau karya sastra dengan peraturan tertentu dan
membacanya harus dilagukan dengan seni suara. Tembang dalam bahasa Jawa
adalah sekar yaitu, karangan yang terikat oleh aturan guru gatra, guru wilangan,
guru lagu beserta lagu-lagunya. Tembang sebagai bagian dari hasil kesenian Jawa
merupakan unsur seni budaya atau unsur kesenian yang perlu dilestarikan
pembinaan dan pengembangannya.
Jenis tembang tradisional dibedakan menjadi 1) Tembang Gcdhe/Sekar
Ageng, 2) Tembang Tengahan/Sekar Tengahan, dan 3) Tembang Macapat/Sekar
Alit (Karsono Saputra, 2001: 103). Selanjutnya menurut Tedjohadisumarto (dalam
Sadjijo Prawiradisastra, 1991: 64) menyatakan: “Sekar Jawi menika wonten
160
tigang werni inggih punika Sekar Macapat, Sekar Tengahan, lan Sekar Ageng,
kejawi punika wonten malih Lagu Dolanan Lare lan Sekar Gendhing”. Sekar
(tembang) Jawa itu ada tiga macam yaitu, Sekar Macapat, Sekar Tengahan, dan
Sekar Ageng, selain itu ada lagi Lagu Dolanan Anak dan Sekar Gendhing.
Hubungan antara tembang/sekar dengan bahasa dan sastra Jawa menurut
Asia Padmosoekotjo (1960: 25) adalah kang diarani tembang iku reriptan utawa
dhapukaning basa mawa paugeran tartemtu (gumathok) kang pamacane kudu
dilagokake nganggo kagunan swara. Terjemahannya “yang disebut tembang
adalah gubahan bahasa (karya sastra) dengan peraturan tertentu yang cara
membacanya dengan (vocal art)”.
Dalam puisi Jawa yang menggunakan bentuk Tembang biasanya termasuk
golongan puisi. Bentuk Tembang ini memakai ikatan-ikatan yang lebih tertentu
sesuai dengan jenis Tembangnya. Jenis-jenis Tembang yang terdapat pada puisi
Jawa antara lain; sekar alit, sekar tengahan, dan sekar ageng Tembang macapat
termasuk di dalamnya (R. S. Subalidinata, 1981:34).
Dalam kenyataannya tiap-tiap jenis Tembang macapat memiliki Guru
Lagu, Guru Wilangan, dan Guru Gatranya sendiri-sendiri yang tidak mesti sama
antara yang satu dengan yang lain. Istilah lain yang dipakai dalam Tembang
macapat adalah pada dan pupuh. Pada sama dengan istilah bait dalam puisi, satu
pada dalam Tembang macapat sama dengan satu bait (dalam satu jenis Tembang
macapat tertentu biasa terjadi dari beberapa pada). Pupuh adalah sekumpulan
bait-bait dalam satu jenis Tembang tertentu. Tembang macapat terdiri dari sebelas
macam, nama-nama Tembang tersebut adalah; Kinanthi, Pocung, Asmaradana,
Mijil, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Durma, Gambuh, Megaruh dan
Dhandhanggula.
B. NILAI PENDIDIKAN MORAL
1. Pengertian Nilai dalam Karya Sastra
Nilai atau value termasuk pengertian filsafat. Persoalan-persoalan tentang
nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai
(Axiology, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukkan kata
161
benda abstrak yang artinya keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Dan
kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau
melakukan penilaian yang terdapat dalam Pendidikan Pancasila (Frankena
dalam Kaelan, 2000: 174)
Pendapat ini hampir sama dengan Sjarkawi (2005: 29) dalam
Pembentukan Kepribadian Anak yang menyatakan bahwa nilai atau value
(bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal
itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek
kepentingan. Menurut pandangan relativisme: (a) nilai bersifat relative karena
berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, perasaan, selera,
kecenderungan, dan sebagainya), baik secara sosial maupun pribadi yang
dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan; (b) nilai berbeda dari
suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya; (c) penilaian seperti benar-salah, baik-
buruk, tepat-tidak tepat, tidak dapat diterapkan padanya; (d) tidak ada, tidak
dapat ada nilai-nilai universal, mutlak, dan objektif maupun yang dapat
diterapkan pada semua orang pada segala waktu. Pandangan subjektivitas
menegaskan bahwa nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada
dalam dunia nyata secara objektif, tetapi merupakan perasaan, sikap pribadi,
ddan merupakan penafsiran atas kenyataan.
Nilai-nilai itu sendiri telah ada dalam diri manusia dan dalam hidup ini
(Mardiatmaja, 1986: 20). Dalam Tujuan Dunia Pendidikan, proses kehidupan
manusia, nilai-nilai disadari, diidentifikasi dan diserap menjadi milik yang
disadari untuk dikembangkan. Adapun nilai dalam karya sastra menurut Asia
Padmopuspito (1990:4) berupa ajaran, pesan, dan nilai-nilai kehidupan yang
dapat digunakan sebagai bahan piwulang (ajaran). Selain itu, karya sastra dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan generasi berikutnya pada masa sekarang atau
masa yang akan datang. Hal senada juga dinyatakan oleh (Zulfahnur dkk, 1996:
132) bahwa karya sastra merupakan ekspresi dan penghayatan serta pengalaman
batin si pengarang terhadap masyarakat dalam situasi dan waktu tertentu. Di
dalamnya dilukiskan keadaan kehidupan sosial suaru masyarakat, nilai-nilai
162
berupa pesan, ajaran atau anjuran serta bahasanya sehingga sastra berguna untuk
pembacanya.
2. Nilai Pendidikan Moral
Moral juga diartikan sebagai hubungan dalam pergaulan masyarakat dan
hubungan tersebut didasarkan kepada ukuran baik buruk (Ali, 1997: 218). Lebih
lanjut Edgel dan Magnis (dalam Darusuprapta, 1990: 1) mengemukakan bahwa
nilai moral merupakan kaidah dan pengertian yang menentukan hal-hal yang
dianggap baik buruk, serta menerangkan apa yang seharusnya dan sebaiknya
dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat didalam bertingkah laku punya
standar atau ukuran yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada. Dengan
demikian, nilai moral merupakan aturan yang dijadikan patokan oleh semua
manusia dalam pergaulannya dimasyarakat.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai lebenaran, dan hal
itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam karya sastra pengarang
menampilkan modal yang berhubungan dengaan nilai-nilai kehidupan. Greibstein
(dalam Damono, 1984: 5) menyebutkan bahwa karya sastra yang bisa bertahan
lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik hubungannya dengan seseorang
maupun dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya.
Gazalba (1978: 118) bahwa, nilai-nilai pendidikan moral adalah nilai-
nilai yang berkaitan dengan perbuatan, tingkah laku, dan sikap yang baik serta
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di masyarakat. Nilai moral ini meliputi
sikap moral hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia
dengan alam. sejalan dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2002: 324)
menyatakan bahwa ajaran moral dalam karya sastra mencakup masalah yang bisa
dikaitkan bersifat tidak terbatas. Secara garis besar dibedakan menjadi 3, yaitu: a)
Moral yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan; b) Moral yang
menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial
163
termasuk dalam hubungan dengan lingkungan alam, dan; c) Moral yang
menyangkut hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
PEMBAHASAN
Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Sangu Pati II
Serat Sangu Pati II Karya Padma Sujana berisi tentang piwulang atau
ajaran tentang perilaku kebaikan yang harus dilakukan semasa hidup untuk bekal
hidup di akhirat. Selain itu, dalam serat tersebut juga menguraikan tentang hal-hal
yang bisa menjadi penghalang kehidupan serta simbol yang menggambarkan sifat
keadaan di bumi.
Serat Sangu Pati Jilid 2 Karya Ki Padma Sujana menggunakan aksara
Jawa dan masih dapat dibaca. Serat ini terdiri diri dari tujuh pupuh. Pupuh satu
Dhandhanggula 8 pada, pupuh dua Pangkur 12 pada, pupuh tiga Sinom 10 pada,
pupuh empat Kinanthi 15 pada, pupuh lima Durma 25 pada, pupuh enam
Gambuh 12 pada, pupuh tujuh Dhandhanggula 28 pada. Serat Sangu Pati berisi
tentang piwulangan atau ajaran yang diberikan oleh Ki Padma kepada manusia
berupa bekal mati menuju akhirat. Berikut beberapa nilai pendidikan moral yang
terdapat dalam serat Sangu Pati II:
1. Nilai Pendidikan Moral yang Membahas Hubungan Manusia dengan Tuhan
dalam Serat Sangu Pati II
a. Beriman pada Tuhan
“bali marang alamipun, alam duk durung dumadi, kaya paran marga nira,
bangkité yén arsa bali, tumêkané alam lam, kang langgêng tanpo wuh
gingsir”.
„Kembali ke alamnya, ketika alam belum terbentuk, seperti sudah menjadi
jalannya, pergi akan kembali, datang ke alam, yang abadi tanpa berpindah‟.
Pada bait tembang di atas menunjukkan bahwa yang yakini yaitu Tuhan.
Dalam agama diajarkan petunjuk tentang hidup yang sempurna hingga akhir
hayat, Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk selalu meyakini awal dan
kembalinya bahwa ketetapan Tuhan itu mutlak. Hal tersebut memang nyata dalam
kehidupan ini Tuhan yang telah menetapakan kehidupan dan kematian, artinya
hidup dan mati ada ditangan Tuhan. Manusia sebagai ciptaan Tuhan harus tunduk
164
dan patuh kepadaNya, hendaklah selalu ingat akan perilaku atau tindakan yang
diperbuat.
b. Bersyukur pada Tuhan
“kang rila lêga wéng kalbu, têtêp mantêp nyantosani, ingkang sabar myang
darana, duga prayoga ywa lali, iku marga ning utama, hanjog mring
klanggêngan kaki”.
„Yang tulus ikhlas dari kalbu, tetap memberi kebahagiaan, kesabaran dan
kebahagiaan, jangan melupakan kemuliaan-Nya, karena itu merupakan yang
utama, kepada ketetapan leluhur‟.
Nilai pendidikan moral yang terdapat pada bait tembang di atas yaitu
menusia hendaklah selalu ingat kepada Tuhan yang mencipta alam semesta ini.
Percaya dan yakin kepada Tuhan, harus pasrah dan bersyukur kepada kehendak
Tuhan. Untuk bisa mencapai pada tingkat ikhlas hendaknya bersikap sabar,
diperintahkan untuk selalu melatih kebaikan dan meyakini semua
kekuasaanNya.
2. Nilai Pendidikan Moral yang Membahas Hubungan Manusia dengan Sesama
dalam Serat Sang Pati II
a. Tidak memaksakan kehendak
“samêngko ingsun tutur, marang sakéh anak putu ningsun, bok di aling réh
ning tatih nitah jawi, jawané baé tan putus, pêksa mêlik wéking nguwong”.
„Sementara jika saya berbicara dengan semua anak cucu saya, maka dibatasi
dengan tatanan hidup Jawa. Tatanan hidup Jawa saja tanpa terputus, jadi tidak
memaksakan kehendak orang lain.
Data di atas menjelaskan bahwa kelak jika berbicara dengan anak cucu
perlu memperhatikan tata cara atau adat Jawa, agar nilai nilai yang terdapat
dalam budaya Jawa tidak luntur, sehingga tertanam jiwa untuk menghargai dan
menghormati diri sendiri dan orang lain. Nilai-nilai luhur budaya Jawa dalam
khususnya dalam membimbing melalui proses komunikasi akan melatih anak
untuk rasa (angon rasa), sehingga anak dalam situasi apapun dapat
menunjukkan rasa hormat dan membawa diri menurut tatakrama. Masyarakat
Jawa mengatur interaksi dengan sesama melalui dua prinsip, yaitu prinsip
165
kerukunan dan prinsip hormat, sehingga dalam komunikasi di masyarakat
mampu menahan diri serta tidak memaksakan kehendak.
Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa nilai yang terdapat dalam Serat
Sangu Pati II memberikan ajaran bahwa sebagai orang tua yang masih
mengedapankan nilai-nilai luhur budaya Jawa serta mampu menanamkannya
pada anak cucu. Hal tersebut dapat menuntun dan mengendalikan anak dalam
situasi apapun, sehingga anak dapat membawa diri menurut tatakrama untuk
menghormati dan menghargai orang lain.
b. Menjalin kerukunan dengan sesama
“godha lair iku mangkéné wujudnya, gêsang srawungan dhingin, mangkéné
wajibnya, kudu tindak utawa, nilar laku ingkang nisthip, watake candhala:
kabéh kang dén singkiri”.
„Godaan lahir itu seperti ini wujudnya. pertama hidup saling menghormati,
menjalankan kewajibannya, atau harus bertindak meninggalkan yang hina,
semua sifat yang kasar disingkirkan‟.
Dari data di atas menjelaskan bahwa sebagai manusia harus hidup saling
menghormati, menjalankan kewajiban-kewajibannya, meninggalkan perbuatan
yang hina, dan menyingkirkan hal-hal yang bersifat kasar. Orang Jawa mampu
membawa diri menurut tatakrama, Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa
dalam Serat Sangu Pati II memberikan ajaran mengenai orang Jawa yang
memiliki akal budi pasti juga memiliki rasa untuk menghormati orang lain baik
yang sederajat maupun yang lebih tua. Mampu mengedapankan laku utama atau
kebaikan dan menjauhi sifat hina. Pengendalian diri terhadap perbuatan hina dan
selalu menjalankan kewajiban-kewajiban merupakan tindakan yang dapat
menyelaraskan kehidupan masyarakat.
3. Nilai Pendidikan Moral yang Membahas Hubungan Manusia dengan Diri
Pribadi dalam serat Sangu Pati II
a. Ajaran pengendalian diri
“ana ingkang darbé tékad, mung tuman-tumanêm sêpi, pinêsu ing tapa brata,
tékad dédén santosani, binudi siyang ratri, ning kês kamurkaning napsu, cêgah
166
dhahar myang néndra, titis datan nguciwani, bangkit béngkas rubéd kang
moncawarna”.
„Ada yang memiliki tekat, hanya melakukan kebiasaan-kebiasaan menyepi,
berdoa dalam keadaan marah. tekat menjadi kebahagiaan, menjaga siang malam
dari kemurkaan nafsu, menghindari makan dan tidur, tidak mengecewakan, dan
munculnya penghalang bermacam-macam‟.
Pada bait tembang di atas menjelaskan tentang ajaran atau perintah untuk
mengendalikan diri dari segala kenikmatan hidup berupa makan dan tidur.
Dalam masyarakat jawa terdapat istilah prihatin, dalam kamus Baoesastra
Djawa prihatin berarti lelaku atau melakukan suatu keadaan dengan seadanya
atau merasakan keadaan yang secukupnya bahkan bisa dikatakan keadaan susah.
Perilaku ini dilakukan untuk memperoleh pencerahan hati, keluhuran hati, hal
ini dilakukan dengan cara mengurangi makan dan mengurangi tidur.
b. Hati-hati dan Waspada
“Samangkyané sira kudu kang waspada, dalané mring kajatin, iya mring
kasidan, iku kalangkung gawat,akéh godha ngriribêdi, ambêdhung lampah:
lamun arsa manunggil”.
„Sementara kamu harus waspada, jalan menuju kebenaran, akan tercapai,
dengan kesungguhan, itu terlalu sulit, banyak godaan mengganggu, akan
menghambat perilaku, jika Tuhan berkehendak‟.
Dari data di atas menjelaskan bahwa manusia yang memiliki tekad dapat
mengendalikan diri walaupun dalam keadaan marah dan mengendalikan hawa
nafsu. Cara mengendalikan hal tersebut adalah dengan melakukan laku tapa
tidak makan dan tidur terjaga siang dan malam serta menghadapi godaan yang
muncul demi meraih kebahagiaan.
Nilai moral yang terdapat dalam kutipan Serat Sangu Pati Jilid 2
memberikan ajaran bahwa sebagai manusia harus dapat mengendalikan dua hal,
yaitu nafsu dan sifat egois. Pengendalian diri melalui laku tapa tersebut
bermaksud untuk memperkuat kehendak dalam usaha mempertahankan
keseimbangan batin.
KESIMPULAN
Serat Sangu Pati II merupakan serat yang memuat tentang ajaran tentang
perilaku yang harus dilakukan manusia di dunia untuk menyiapkan bekal untuk
167
menghadapi kematian. Selain itu, nilai-nilai yang berisi pengetahuan untuk mengatur atau
mengajar dijadikan bahan pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup atau pelajaran
hidup supaya selamat.
Upaya-upaya nyata dalam proses pembinaan moral dan pendidikan dalam Serat
Sangu Pati II dapat dilakukan oleh para pendidik (guru) atau tokoh masyarakat. Para
pengajar dapat mengajarkan sastra Jawa kaitannya dengan tembang berdasarkan teks-teks
tembang Serat Sangu Pati II dengan memberikan kajian terhadap nilai yang ada dalam
teks tersebut. Hal itu sangat relevan mengingat ajaran nilai-nilai moral sangat dibutuhkan
dalam proses pembentukan budi pekerti bagi peserta didik. Selain itu, para tokoh
masyarakat dapat menggunakan hasil penjabaran tembang dalam Serat Sang Pati II
tersebut sebagai bahan pembinaan moral, pendidikan masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Ali M.N. 1979. Dasar-dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: Mutiara. Asia Padmopuspita. 1990. “Citra Wanita dalam Sastra” Dalam Cakrawala Pendidikan.
Yogyakarta: Lembaga Pengabdian Masyarakat.
Burhan Nurgiyantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Darusuprapta. 1985. Serat Wulangreh. Surabaya: Citra Jaya.
Farkhan Ahmad, 2012. Peran Sekolah dalam Menghentikan Budaya Tawuran.
http://log.viva.co.id/news/read/356685-peran-sekolah-dalam-menghentikan-
budaya-tawuran. Diakses tanggal 6 Januari 2013.
Karsono H. Saputra 2001. Puisi Jawa Struktur dan Estetika. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.
Padmosoekotjo, S. 1956. A Ngengrengan Kasusutraan Djawa I. Jogjakarta: Hien Hoo.
Sing.
Padmosoekotjo, S. 1956. B Ngengrengan Kasusutraan Djawa II. Jogjakarta: Hien Hoo.
Sing.
Poerwadarminto, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers
Maatschappij. NV.
Sapardi Djoko Damono. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Bahasa
168
Sjarkawi. 2002. Pembentukan Kepribadian Anak (Peran Moral, Intelektual,
Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri).
Jakarta: Bumi Aksara.
Subalidinata, R. S. 1994. Kawruh Kasustraan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara.
Zulfahnur, dkk.1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
169
NILAI-NILAI LUHUR BUDAYA JAWA DALAM LAKON WAYANG
SAWITRI
KARYA KI NARTOSABDO SUMBANGANNYA
BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Oleh:
Aris Aryanto, S.S., M.Hum.
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Abstrak
Seni pertunjukan wayang dikenal sebagai seni yang adiluhung. Di
dalamnya terkandung berbagai macam hal yang berkaitan dengan
pedoman hidup dan tingkah laku karena wayang merupakan
representasi kehidupan manusia. Meskipun asal-usul mengenai
pertunjukan wayang belum bisa dipastikan. Akan tetapi, dalam
kenyataannya, pertunjukan wayang masih bisa bertahan sampai saat
ini mengikuti perkembangan jaman mengingat fakta bahwa
pertunjukan wayang masih menjadi pilihan oleh sebagian
masyarakat Nusantara, khususnya suku Jawa sebagai pedoman
berbagai tingkah laku. Salah satu di antaranya adalah lakon wayang
Sawitri sanggit Ki Nartosabdo. Nilai-nilai budaya Jawa masih
relevan sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat
terutama dalam penumbuhkembangan pendidikan budi pekerti.
Nilai-nilai keluhuran budaya Jawa dalam lakon wayang Sawitri
sanggit Ki Nartosabdo, antara lain: berbudi bawa leksana, berbudi
luhur, tidak pernah menyimpang dari kebaikan, berbakti kepada
orangtua dan setia kepada suami, adil paramarta, memiliki
kewibawaan dan memiliki tata krama, dan pantang menyerah.
Kata kunci : pertunjukan wayang, pendidikan budi pekerti.
PENDAHULUAN
Persoalan antara Jawa dan wayang dalam prosesnya tidak akan pernah
selesai untuk dibicarakan dan dikaji. Selamanya akan terus berproses karena Jawa
merupakan kekuatan faktual dalam konstelasi kehidupan Indonesia, dan wayang
merupakan bentuk kesenian Jawa yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan masyarakat Jawa (Kayam, 2001:2). Wayang bagi sebagian masyarakat
Jawa merupakan representasi kehidupan manusia. Di dalamnya, memuat nilai,
170
norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang
baik di kehidupan. Maka, tidak mengherankan jika kajian mengenai wayang yang
sarat dengan nilai yang terkandung di dalamnya masih merupakan objek kajian
yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Pertunjukan wayang sampai saat ini masih memiliki eksistensinya.
Terbukti, pertunjukan wayang sering dipentaskan dalam acara-acara untuk
memperingati hari jadi suatu daerah atau lembaga negeri dan swasta, pesta
pernikahan, acara kenegaraan, dan lain sebagainya. Ditambah lagi, seni wayang
diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO. Meskipun begitu,
sebagai masyarakat Jawa khususnya, dan warga negara Indonesia pada umumnya
tidak harus cepat berbangga hati. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan yang
terjadi di segala bidang kehidupan manusia sedikit banyak telah membawa
dampak yang begitu jelas bagi perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia,
terutama remaja usia produktif. fenomena westernisasi telah menyebabkan
terjadinya perubahan tata pikir, tata kelakuan dan sikap mental hidup masyarakat.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sutrisno (1985:29) bahwa
teknologi bukan semata-mata merupakan penerusan yang lebih sempit dari
peralatan yang terdapat diseluruh taraf kebudayaan, melainkan telah bergerak
meloncat ke tangga yang lebih tinggi dalam kapasitas implikatif, berupa
kecenderungan untuk mendisposisi/merubah tata pikir, tata kelakuan, dan sikap
mental hidup masyarakat. Maka, hal ini memunculkan kekawatiran di kalangan
para cendekia untuk segera mengambil langkah menggali kembali nilai-nilai
budaya sebagai basis pertahanan terakhir yaitu dengan pendidikan budaya.
Pendidikan budaya merupakan suatu usaha untuk menumbuhkembangkan
pemahaman akan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Pendidikan budaya (budi
pekerti) tidak bisa lepas dari sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat (Muslich,
2011:137). Nilai luhur budaya dianggap sebagai senjata yang paling ampuh untuk
mengatasi dekadensi moral dan etika di masyarakat. Dengan nilai-nilai budaya
tersebut, manusia dapat memahami dan memandang segala gejala yang tampak,
sekaligus memilah-milah dan menentukan tata cara atau strategi pengaturannya
(Kresna, 2010:7).
171
Nilai-nilai luhur yang ada dalam pewayangan, salah satunya yaitu lakon
wayang sawitri sanggit Ki Nartosabdo sesungguhnya bisa menjadi benteng
kebudayaan Indonesia sebagai sarana pembangun dan pemerkokoh karakter
bangsa. Meskipun menceritakan tentang perjuangan seorang wanita (Sawitri)
untuk menghidupkan kembali suaminya (Bambang Satyawan) dari maut, akan
tetapi di sisi lain banyak mengungkapkan tentang nilai-nilai budaya yang patut
dijadikan sebagai pedoman hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Damono
(1993:206) yang menyatakan bahwa wayang selain sebagai seni pertunjukan yang
digemari masyarakat luas, juga merupakan sangkutan dari berbagai pengertian
mengenai sikap dan pandangan hidup.
PEMBAHASAN
1. Sinopsis Lakon Wayang Sawitri
Diceritakan di negara Madras, terdapatlah seorang raja yang bernama
Aswapati dan istrinya bernama Dewi Hapsari. Sebenarnya Prabu Aswapati
menjalani brata atau laku selama delapan belas tahun karena dia tidak memiliki
anak. Oleh Sanghyang Brahma diberi anugerah anak, yang anak itu diberi nama
Dewi Sawitri. Dewi Sawitri sebenarnya merupakan titisan dari Bethari Gayatri
atau Saraswati. Ketika telah beranjak dewasa dan harus menikah, akhirnya Dewi
Sawitri menjatuhkan pilihan kepada Bambang Satyawan. Dewi sawitri
menjatuhkan pilihan kepada Bambang Satyawan menurut Narada tepat karena
Bambang Satyawan merupakan sosok yang tampan, sakti, baik hati, setia pada apa
yang diucapkan tetapi mempunyai satu ciri yang merusak segala kebaikan
Bambang Satyawan. Akan tetapi, terhitung sejak hari itu ketika Dewi Sawitri
memilih Bambang Satyawan menjadi suami, umur Bambang Satyawan hanya satu
tahun. Karena begitu besar kesetiaan dan cinta kasih Dewi Sawitri kepada
Bambang Satyawan, maka akhirnya Dewi Sawitri tetap menikah dengan Bambang
Satyawan. Suatu hari Dewi Sawitri mendapat petunjuk agar melakukan triratya.
Akhirnya Dewi Sawitri melakukan triratya yaitu selama tiga hari tiga malam
tidak tidur, tidak makan dan minum.
172
Triratya merupakan laku atau tapa yang berat, tetapi hal itu tetap
dilakukan oleh Dewi Sawitri. Laku yang dikerjakan oleh Dewi Sawitri akhirnya
membuahkan hasil ( wohing kadarman). Tepat pada hari terakhir nyawa Bambang
Satyawan dicabut oleh dewa yang bernama Yamadipati. Pada saat itu, Dewi
Sawitri dan Bambang Satyawan sedang berada di kebun. Laku triratya yang
dilakukan oleh Dewi Sawitri membuahkan hasil, Dewi Sawitri dapat melihat dan
berbicara dengan Yamadipati.
Yamadipati terkesan dengan pembicaraan Dewi Sawitri sehingga Dewi
Sawitri mendapat anugerah. Jika Ki Nartosabdo memberikan dua anugerah
kepada Dewi Sawitri oleh Yamadipati, yaitu Mertua Dewi Sawitri Begawan
Jumyatsena diberikan kesembuhan matanya dari kebutaan dan Dewi Sawitri
mendapat anugerah seratus anak yang perkasa.
2. Nilai-Nilai Keluhuran Budaya Jawa dalam lakon Wayang Sawitri Karya
Ki Nartosabdo
Nilai keluhuran dalam budaya Jawa adalah pandangan hidup yang tidak
menyimpang dari kaidah-kaidah kemanusiaan, yaitu kaidah tingkah laku, norma
masyarakat, dan tentu saja sesuai dengan ajaran agama. Nilai-nilai keluhuran
budaya Jawa sebagai kearifan lokal perlu digali karena memiliki karakteristik
yang cukup efektif untuk menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat dan
mampu menyelesaikan konflik yang terjadi (Roqib, 2007:5). Maka, studi budaya
menjadi posisi yang penting.
Cerita wayang memiliki nilai-nilai budaya, terutama terkait dengan pola
tingkah laku baik yang berguna bagi manusia untuk menjalani kehidupan karena
wayang merupakan refleksi kehidupan manusia. Hal ini cukup beralasan karena
dalam setiap pementasan terdapat nilai-nilai atau falsafah hidup yang tinggi
melalui sanggit (kreatifitas) lakon atau cerita wayang purwa yang disampaikan
oleh seorang dalang (orang yang memainkan wayang) yang tertuang pada alur
dramatik ke dalam antawecana janturan, pocapan, dan dialog wayang. Nilai-nilai
budaya yang terdapat dalam lakon wayang Sawitri karya Ki Nartosabdo antara
lain: berbudi bawa leksana, berbudi luhur, tidak pernah menyimpang dari
173
kebaikan, berbakti kepada orangtua dan setia kepada suami, adil paramarta,
memiliki kewibawaan dan memiliki tata krama, dan pantang menyerah.
a. Berbudi bawa leksana
Sosok Dewi Sawitri merupakan sosok wanita yang luar biasa, wanita
yang setia, tulus ikhlas melakukan apapun demi menghidupkan kembali
suaminya (Bambang Satyawan) dari kematian. Wanita yang benar-benar
mengamalkan ilmu berbudi bawa leksana yaitu melakukan apapun yang telah
diucapkan, bila berjanji ditepati. Seperti kutipan di bawah ini:
Kutipan :
“Sawitri : Kula sampun janji dhateng raos kula piyambak menawi
ngantos kula mblenjani awit sangking katarik cendhak lan panjanging
umur, menawi ngaten katresnan kula dhateng pun Satyawan nadyan
dereng kelampahan panemunipun nanging menika winatesan cendhak
lan panjanging umur ”.
Terjemahan :
“Sawitri : Saya sudah berjanji kepada hati saya sendiri bahwa jikalau
saya berbohong hanya tertarik kepada panjang dan pendeknya umur,
jika begitu cinta saya kepada Satyawan meskipun belum terjadi tetapi
hal ini dibatasi oleh panjang dan pendeknya umur”.
Sifat berbudi bawa leksana tidak hanya melekat kepada seorang
pemimpin saja akan tetapi melekat kepada semua orang seperti yang
dilakukan oleh Dewi Sawitri. Jika hal ini diterapkan di dunia pendidikan,
maka paling tidak kehidupan guru, murid, kepala sekolah, dan seluruh warga
sekolah akan merasa tentram. Semua orang melakukan apa yang sudah
diucapkan sehingga tidak akan mungkin berbohong. Perbuatan yang sudah,
akan, atau belum merupakan tanggungjawab masing-masing individu.
Berbudi bawa leksana dalam filsafat Jawa, dinyatakan sebagai seorang
pemimpin (raja) yang secara konsekuen selalu bertekad untuk
melaksanakan apa yang telah diucapkan (Sujamto, 1993:17). Biasanya
berbudi bawa leksana selalu diikuti dengan ungkapan “sabda brahmana
raja, tan kena wola-wali” artinya, segala ucapan yang telah terucap oleh
174
sang raja (pemimpin) tidak boleh diulang-ulang. Akan tetapi, yang terjadi
di masyarakat sekarang ini, cenderung menilai para wakil rakyat hanya
mengumbar janji tanpa adanya realisasi. Hal ini yang menyebabkan
kepercayaan masyarakat kepada wakil rakyat semakin rendah. Maka,
paling tidak jika manusia mengamalkan sifat berbudi bawa leksana,
kehidupan manusia akan merasa tentram dan sejahtera.
Lebih lanjut, Sujamto (1993:47) mengatakan bahwa bawaleksana
merupakan nilai etika Jawa yang masih dijunjung tinggi. Maka tidak
mengherankan jika sikap bawaleksana diakui sebagai mengandung nilai yang
baik, dan perlu dipegang teguh oleh semua orang.
b. Berbudi luhur
Kutipan :
“...eling-eling putri langkung luhuring budi nadyan kaya ngapa
suksukane raos,...”
Terjemahan :
“Seorang putri yang berbudi luhur meskipun seperti apapun keadaan
hati,...”
Di dalam cerita, disebutkan pula bahwa Dewi Sawitri memiliki sifat
berbudi luhur. Utamanya bagi insan manusia, memiliki sifat berbudi luhur
sangat dianjurkan karena akan membawa kebaikan yang ada di sekelilingnya.
Maka tidak heran jika ada orang memiliki budi yang luhur akan banyak
didekati oleh orang.
c. Tidak pernah menyimpang dari kebaikan, berbakti kepada orangtua,
dan setia kepada suami.
Kutipan :
“Sanghyang Yamadipati : Lha iya nggenah kowe taktitipriksa. Kowe
sawijining wanita kang runtut samubarangmu. Siji, kowe ora tau
nyimpang saka kautaman. Loro, kowe bekti marang Rama lan Ibumu.
Kaping telune, kowe setya marang guru lakimu”.
Terjemahan :
175
“Sanghyang Yamadipati : benar, kamu telah saya ketahui. Kamu
seorang wanita yang lurus keseluruhannya. Satu, kamu tidak pernah
menyimpang dari kebaikan. Kedua, kamu berbakti kepada kedua orang
tuamu. Ketiga, kamu setia kepada suamimu”.
Sebagai seorang manusia yang diciptakan ke dunia, sudah
sepantasnyalah harus selalu berjalan di jalan dharma atau kebaikan. Jika salah
melangkah atau melakukan hal-hal yang menyimpang, celakalah dan sia-sia
hidup di dunia ini. Maka, manusia diberikan akal untuk berpikir yang baik dan
melakukan segala sesuatu yang baik. Selain itu, berbakti kepada kedua orang
tua, dan bagi para istri, setia kepada suami merupakan perbuatan yang mulia.
Jika seluruh masyarakat mengamalkan nilai-nilai kesetiaan, kebaktian, dan
berjalan di jalan kebaikan, paling tidak kehidupan masyarakat akan selalu
dihiasi dengan perasaan tentram dan damai.
d. Adil paramarta
Prabu Aswapati di dalam Lakon Wayang Sawitri merupakan orangtua
Dewi Sawitri. Prabu Aswapati mengadakan sayembara agar dapat berbuat adil
bagi semua raja dari seribu negara yang ingin melamar Dewi Sawitri.
Keputusan ini diambil oleh Prabu Aswapati agar tidak terjadi pertumpahan
darah di negara Madras dalam memperebutkan Dewi Sawitri. Adil paramarta
yaitu dapat berbuat adil kepada siapapun seperti yang dilakukan oleh Prabu
Aswapati yang telah berbuat adil kepada para raja dari seribu negara dengan
mengadakan sayembara pilih. Hal ini dapat dirumuskan berdasarkan kutipan
yang terdapat dalam Lakon Wayang Sawitri.
Kutipan :
“Aswapati : ...dienggo adiling lelakon, aja nganti tuwuh rasa
panggresula kang tinampik, ning aja kebombongen rasane kang pada
tinampa. Anakku Sawitri takdhunake sayembara pilih...”
Terjemahan :
Prabu Aswapati : ...agar adil bagi semua, jangan sampai timbul rasa
sedih bagi yang ditolak, tetapi juga jangan sombong bagi yang
diterima. Putriku Sawitri saya jadikan sayembara pilih...”
Adil paramarta dapat diartikan yang lain, yaitu tidak berat sebelah.
Segala keputusan yang dihasilkan dapat diterima dengan lapang dada.
e. Berwibawa dan bertata krama.
176
Kutipan :
“Bambang Satyawan ingkang wus tetep kasusilane, lumampah andhap
anoraga angeka pada kaya sata matarangan. Kathah para janma kiwa
tengene kang padha nunggal karep, byak-byak dadi dalan mulat Sang
Satyawan, katarik ing reh kebagusane, kaperbawaning reh
kasusilane.”
Terjemahan :
Bambang Satyawan yang memiliki tatakrama yang baik, berjalan
sopan diibaratkan seperti ayam betina masuk ke kandangnya. Banyak
para raja yang berada di kanan dan kiri yang memiliki niat yang sama,
seperti mempersilahkan dan semua mata tertuju kepada Satyawan
karena tertarik dengan ketampanannya, kewibawaan dan tata
kramanya.”
Dalam menapaki kehidupan, manusia dituntut untuk selalu bersikap
sesuai dengan adat sopan santun atau tata krama yang telah disepakati
bersama oleh masyarakat meskipun sifatnya hanya konvensi. Tetapi, ancaman
sanksinya adalah cemoohan atau bahkan pengusiran warga dari kehidupan
masyarakat setempat. Maka, pembelajaran tata krama paling tidak sudah
ditanamkan kepada anak-anak di lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga.
Dengan pendidikan budaya, transmisi budaya atau pewarisan budaya akan
berjalan dengan baik demi terciptanya stabilitas hidup bermasyarakat yang
sejahtera.
f. Pantang menyerah
Di dalam lakon wayang Sawitri tersebut, menceritakan tentang daya
upaya yang dilakukan oleh Dewi Sawitri yang tak kenal menyerah untuk
menghidupkan kembali suaminya dengan menjalani laku triratya. Makna lain
yang tersirat adalah besarnya daya upaya ternyata mampu merubah jalannya
takdir kehidupan (gedhening wiradat bisa ngendhih tekane kodrat). Artinya
bahwa cita-cita yang diusahakan dengan penuh keberanian, semangat,
kejujuran, keikhlasan, kesetiaan, dan kasih sayang pada akhirnya akan
memetik buah yang setimpal.
Dalam tulisan Koentjaraningrat (1984:70) mengatakan bahwa
mentalitas mengenai ihtiar (berusaha) atau pantang menyerah sudah
ditunjukkan oleh para pujangga-pujangga Jawa dalam karya-karyanya.
177
Konsepsi ihtiar mewajibkan manusia untuk selalu berusaha meskipun hidup
itu pada hakikatnya harus dialami sebagai suatu ujian yang penuh dengan
penderitaan, agar penderitaan hidup itu diperbaiki.
KESIMPULAN
Dalam kenyataannya, pertunjukan wayang masih dapat bertahan
mengikuti perkembangan jaman sampai saat ini, mengingat fakta bahwa
pertunjukan wayang masih menjadi pedoman berbagai pola tingkah laku oleh
sebagian masyarakat Nusantara, khususnya suku Jawa. Salah satu di antaranya
adalah lakon wayang Sawitri sanggit Ki Nartosabdo. Nilai-nilai budaya yang
terdapat dalam pewayangan masih relevan dengan perkembangan dinamika
masyarakat terutama dalam penumbuhkembangan pendidikan budi pekerti. Selain
itu, wayang merupakan refleksi kehidupan manusia. Maka tidak mengherankan
jika ajaran-ajaran dalam cerita wayang masih dihayati oleh para penghayatnya.
Penumbuhkembangan mengenai nilai-nilai luhur budaya Jawa dapat
dipahami sebagai “pedoman tingkah laku” manusia dalam menjalani hidup di
dunia. Nilai-nilai keluhuran budaya Jawa kaitannya dengan pendidikan budi
pekerti adalah memberikan pemahaman dan sudut pandang betapa pentingnya
pendidikan budaya di masyarakat. Nilai-nilai keluhuran budaya Jawa dalam lakon
wayang Sawitri sanggit Ki Nartosabdo, antara lain: berbudi bawa leksana, berbudi
luhur, tidak pernah menyimpang dari kebaikan, berbakti kepada orangtua dan setia
kepada suami, adil paramarta, memiliki kewibawaan dan memiliki tata krama,
dan pantang menyerah.
DAFTAR RUJUKAN
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi,
dan Struktur. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
178
Kresna, Ardian. 2010. Semar dan Togog: yin yang dalam budaya Jawa.
Yogyakarta:Narasi.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: menjawab tantangan krisis
multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Roqib, Moh. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa: dimensi edukasi dan keadilan
gender. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Sujamto. 1993. Sabda Pandhita Ratu. Semarang:Dahara Press.
Sutrisno, Slamet. 1985. Sorotan Budaya Jawa dan Yang Lainnya. Yogyakarta :
Andi Offset.
179