proposalbellspalsy-130102023043-phpapp02 (1)
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kecantikan dan ketampanan adalah idaman setiap manusia. Karena dengan
kecantikan dan ketampanan dapat meningkatkan rasa percaya diri. Banyak usaha
untuk mencapai hal itu, misalnya dengan cara perawatan, facial, dan operasi plastik.
Walau harus mengeluarkan uang yang cukup banyak mereka tidak masalah yang
penting bisa mempercantik atau mempertampan diri. Akhir-akhir ini banyak orang
terkena penyakit bell’s palsy.
Bell’s palsy adalah sebuah kelainan dan ganguan neurologi pada nervus
cranialis VII (saraf facialis) di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Paralyse Bell ini hampir selalu terjadi unilateral, namun demikian
dalam jarak satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini
dapat berulang atau kambuh, yang menyebabkaan kelemahan atau paralisis, ketidak
simetrisan kekuatan/aktivitas muscular pada kedua sisi wajah (kanan dan kiri), serta
distorsi wajah yang khas. Hal ini sangat menyiksa diri karena membuat orang
menjadi kurang percaya diri. Wajah kelihatan tidak cantik karena mulut mencong,
mata tidak bisa berkedip, mata berair, dll (Attaufiq,2011).
Kata Bell’s Palsy itu sendiri diambil dari nama seorang dokter dari abad 19, Sir
Charles Bell, orang pertama yang menjelaskan kondisi ini dan menghubungkan
dengan kelainan pada saraf wajah.
2
Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari empat Rumah Sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s Palsy
sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21–50 tahun,
peluang untuk terjadinya pada wanita dan pria sama. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan
adanya riwayat terkena udara dingin atau angin berlebihan (Annsilva,2010).
Untuk mengatasi hal itu dibutuhkan peran fisioterapi. Karena itu penulis tertarik
untuk mengangkat judul karya tulis ilmiah ”PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI PADA BELL’S PALSY SINISTRA DENGAN MODALITAS
ELECTRICAL STIMULATION DAN MASSAGE”.
1.2 Identifikasi Masalah
Functional impairment, yaitu adanya kelemahan pada otot (paralysis) pada
salah satu sisi wajah, gangguan sensorik (sensasi rasa), asimetris antara kedua sisi
wajah, dan hipotonus ( penurunan kekuatan otot).
Limitation in activity, yaitu lebih mencakup pada kemampuan fungsionalnnya,
seperti : ketidakmampuan menggerakkan beberapa otot pada salah satu sisi wajah.
Participant restriction, yaitu lebih mengarah pada permasalahan bersosialisasi
terhadap lingkungan sekitarnya, seperti : kurang percaya diri untuk mengikuti
kegiatan di lingkungan masyarakat.
3
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang timbul pada Bell’s Palsy maka penulis ingin
mengetahui:
1. Bagaimanakah pemberian Electrical Stimulation dapat membantu meningkatkan
kekuatan otot dan mendidik otot secara individual pada wajah sebelah kiri ?
2. Bagaimanakah pemberian massage dapat memelihara sifat fisiologis otot,
Mengurangi rasa kaku pada wajah, dan mencegah spasme pada sisi yang sehat ?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian proposal ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan ujian akhir semester lima
pada mata kuliah Metodologi Riset (Met. riset)
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengaruh Electrical Stimulation dan Massage
terhadap permasalahan dari pasien dengan kondisi Bell’s Palsy seperti
kelemahan otot-otot wajah pada sisi kiri yang mengakibatkan adanya
keterbatasan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah.
4
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan bagi penulis khususnya dalam penelitan
tentang Penatalaksanaan Bell’s Palsy dengan modalitas Electrical
Stimulation dan Massage.
.
1.5.2 Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakaan atau
sebagai bahan referensi berkaitan dengan kondisi Bell’s Palsy dengan
modalitas Electrical Stimulation dan Massage..
1.5.3 Bagi masyarakat
Dapat memberikan informasi yang benar kepada pasien, keluarga,
masyarakat sehingga dapat lebih mengenal dan mengetahui gambaran
Bell’s Palsy dan fisioterapi dapat mengatasinya dengan modalitas
Electrical Stimulation dan Massage.
5
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Bell’s Palsy
2.1.1 Definisi
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan facialis perifer akibat proses non
supuratif, non neoplasmatik, non degeneratif primer tetapi sangat
dimungkinkan akibat dari adanya oedema jinak pada bagian nervus facialis di
foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen stilomastoideus,
yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Sidharta,
1999).
Bell’s Palsy adalah suatu kelumpuhan akut nervus facialis perifer yang
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Penyakit ini biasanya hanya
mengenai satu sisi wajah (unilateral), tetapi dapat pula mengenai kedua sisi
wajah yang sehat dengan bilateral Bell’s Palsy ( Jimmi Sabirin, 1996).
Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk
kelumpuhan nervus facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang
penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan neurologik lain. Pada
sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya akan sembuh, namun
pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan
gejala sisa (Lumbantobing, 2006).
6
2.1.2 Etiologi
Menurut etiologi artinya ilmu tentang penyebab penyakit (Dachlan,2001).
Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang penyebab Bell’s Palsy antara
lain sebagai berikut:
1. Teori Infeksi Virus Herpes Zoster
Salah satu penyebab munculnya Bell’s Palsy adalah karena
adanya infeksi virus herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam
jaringan saraf. Apabila radang herpes zoster ini menyerang ganglion
genikulatum, maka dapat melibatkan paralisis pada otot-otot wajah
sesuai area persarafannya. Jenis herpes zoster yang menyebabkan
kelemahan pada otot-otot wajah ini sering dikenal dengan Sindroma
Ramsay-Hunt atau Bell’s Palsy (Duus Peter, 1996).
2. Teori Iskemia Vaskuler
Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis
falopii, secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus
facialis. Kerusakan yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer
terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang
mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada
sarafnya. Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan
sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena pada bagian bawah
dari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang
7
selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah, menambah
iskemia dan menjadikan parese nervus facialis (Esslen, 1970).
3. Teori herediter
Teori herediter mengemukakan bahwa Bell’s Palsy yang
disebabkan karena faktor herediter berhubungan dengan kelainan
anatomis pada canalis facialis yang bersifat menurun (Hamid, 1991).
4. Pengaruh udara dingin
Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh
darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses
mengubah dari suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan
foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis yang melewati
daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan
terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan
atau lumpuh.
2.1.3 Patofisiologi
Patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat
penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh
udara dingin yang menyebabkan Bell’s Palsy (Dachlan, 2001)
Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah
leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi dan mengakibatkan
foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah
8
tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang
menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan.
2.1.4 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy
adalah: adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat
pasien kesulitan melakukan gerakan-gerakan volunter seperti, (saat gerakan
aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut
mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mecucu atau
bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu
m. frontalis, m. orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zygomaticus dan m.
nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis,
asam dan asin pada ⅔ lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati
rasa atau merasakan tebal-tebal di wajahnya.
Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut (Chusid ,1983)
adalah:
a) Lesi diluar foramen stilomastoideus :
Muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut tertarik ke sisi
mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi
dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata
pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan
keluar terus-menerus.
9
b) Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani :
Tanda dan gejala sama seperti penjelasan pada poin diatas,
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah ⅔ bagian
anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukkan terlibatnnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.
c) Lesi yang tinggi dalam canalis facialis dan mengenai muskulus
stapedius :
Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin diatas,
ditambah dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam).
d) Lesi yang mengenai ganglion genikuli :
Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga poin diatas,
disertai dengan nyeri dibelakang dan didalam liang telinga dan
dibelakang telinga.
e) Lesi di meatus akustikus internus :
Tanda dan Gejala sama seperti kerusakan pada ganglion genikuli,
hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya
nervus vestibulocochlearis.
10
f) Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons :
Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai tanda dan gejala
terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus
vestibulococlearis, nervus accessorius dan nervus hypoglossus.
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi atau complication berarti penyakit yang timbul kemudian
sebagai tambahan pada penyakit yang sudah ada (Dachlan, 2001). Komplikasi
yang muncul pada pasien Bell’s Palsy merupakan kumpulan gejala sisa paska
terjadinya kelemahan otot-otot wajah. Lumbantobing (2006) menjelaskan
bahwa beberapa di antara penderita Bell’s Palsy, kelumpuhannya sembuh
dengan meninggalkan gejala sisa yang berupa kontraktur, sinkenesis dan
spasme spontan.
Kontraktur terlihat jelas saat otot wajah berkontraksi yang ditandai
dengan lebih dalamnya lipatan nasolabial dan alis mata lebih rendah
dibandingkan sisi yang sehat. Sinkenesis (assosiated movement) dapat terjadi
karena kesalahan proses regenerasi sehingga menimbulkan gerakan otot wajah
yang berasosiasi dengan gerakan otot lain. Misalnya saat mata ditutup, sudut
mulut ikut terangkat. Sedangkan spasme spontan pada otot wajah terjadi bila
pasien Bell’s Palsy mengalami penyembuhan yang inkomplit. Otot-otot wajah
bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis.
11
Gejala sisa yang ditimbulkan paska serangan Bell’s Palsy yaitu sindroma
air mata buaya (crocodile tears syndrome) yang merupakan kesalahan
regenerasi saraf salivarius menuju ke glandula lakrimalais. Manifestasinya
berupa keluarnya air mata pada sisi lesi saat pasien makan (Djamil, 2003).
12
2.2 Anatomi dan Fisiologi
2.2.1 Anatomi Nervus Facialis
Nervus Facialis terdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang terdiri
dari:
(1) Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari gyrus
presentralis kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan mengirim
serabut-serabut saraf ke otot-otot mimik di dahi dan orbikularis occuli.
(2) Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari
gyrus presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-
serabut saraf ke otot-otot mimik bagian bawah dan platisma (Chusid,
1983).
Serabut-serabut nervus facialis didalam batang otak berjalan melingkari
nucleus nervus abducens sehingga lesi di daerah ini juga diikuti dengan
kelumpuhan nervus abducens. Setelah keluar dari batang otak, nervus facialis
berjalan bersama nervus intermedius yang bersifat sensoris dan sekretorik.
Selanjutnya berjalan berdekatan dengan nervus oktavus bersama-sama masuk
ke dalam canalis austikus internus dan berjalan ke arah lateral, masuk ke
canalis falopii (pars petrosa). Kemudian nervus facialis masuk ke dalam
cavum timpani setelah membentuk ganglion genikulatum. Di dalam cavum
timpani nervus facialis membelok tajam ke arah posterior dan horizontal (pars
timpani). Saraf ini berjalan tepat di atas foramen ovale, kemudian membelok
tegak lurus ke bawah (genu eksternum) di dalam canalis falopii pars
13
mastoidea. Bagian saraf yang berada didalam canalis falopii pars timpani
disebut nervus facialis pars horizontalis, sedang yang berjalan didalam pars
mastoidea disebut nervus facialis pars vertikalis atau desenden. Saraf ini
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus. Setelah keluar
dari foramen stylomastoideus, syaraf ini bercabang-cabang dan berjalan di
antara lobus superfisialis dan profundus glandula parotis dan berakhir pada
otot-otot mimik di wajah.
Dalam perjalanan nervus facialis memberikan cabang :
1) Dari ganglion genikulatum mengirimkan serabut saraf melalui
ganglion sfenopalatinum sebagai saraf petrosus superfisialis mayor
yang akan menuju glandula lakrimalis.
2) Cabang lain dari ganglion genikulatum adalah saraf petrosus
superficialis minor yang melalui ganglion otikum membawa serabut
sekreto-motorik ke kelenjar parotis.
3) Dari nervus facialis pars vertikalis, memberikan cabang-cabang :
a) Saraf stapedius yang mensarafi m.stapedius. Kelumpuhan
saraf ini menyebabkan hiperakusis.
b) Saraf korda timpani yang menuju ⅔ lidah bagian depan dan
berfungsi sensorik untuk perasaan lidah (rasa asam, asin dan
manis). Selain itu saraf korda timpani juga mempunyai serabut
14
yang bersifat sekreto-motorik yang menuju ke kelenjar liur
submaksilaris dan sublingualis (Chusid, 1983)
Perjalanan nervus facialis dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.1
Perjalanan nervus facialis (Putz dan Pabst, 2006)
15
2.2.2 Otot-Otot Wajah
Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.1
Otot-Otot Wajah Beserta Fungsinya
No Nama Otot Fungsi Persarafan
1 M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis
2 M.Corrugator
supercili
Mendekatkan kedua
pangkal alis
N. Zigomatikum dan
N.Temporalis
3 M.Procerus Mengerutkan kulit antara
kedua alis
N. Zigomatikum,
N.Temporalis,
N. Buccal
4 M. Orbicularis
Oculli
Menutup kelopak mata N.Fasialis,
N.Temporalis, N.
Zigomatikus
5 M. Nasalis Mengembang
Kan cuping hidung
N. Fasialis
6 M. Depresor anguli Menarik ujung mulut ke N. Fasialis
16
oris bawah
7 M. Zigomaticum
mayor dan M.
Zigomatikum minor
Tersenyum N. Fasialis
8 M. Orbicularis oris Bersiul N. Fasialis
N. Zigomatikum
9 M. Buccinator Meniup sambil menutup
mulut
N. Fasialis,
N. Zigomatikum,
N. Mandibular,
N. Buccal
10 M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis dan
N. Buccal
11 M. Platysma Meregangkan kulit leher N. Fasialis
17
Sedangkan gambar otot-otot wajah dari lateral dapat dilihat pada gambar 2. 3
dibawah ini:
Gambar 2.2
Otot – otot wajah dilihat dari lateral (Putz dan Pabst, 2006
18
Keterangan Gambar 2.2
1. M.Frontalis 7. M. Zygomaticum mayor
2. M.Corrugator supercili 8. M.Zygomaticum minor
3. M.Procerus 9. M.Orbicularis oris
4. M.Orbicularis oculi 10. M.Buccinator
5. M.Nasalis 11. M.Mentalis
6. M.Depresor anguli oris 12. M.Platysma
2.2.3 Metode dan Teknik Intervensi Fisioterapi
Modalitas yang dipilih untuk mengurangi problematika fisioterapi
pada kasus Bell’s Palsy karena pengaruh udara dingin Electrical
Stimulation dan Massage.
1. Electrical Stimulation dengan Arus Faradik
a. Definisi
Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak
simetris yang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi 50-
100 cy/detik (Akademi Fisioterapi Surakarta, 1998).
b. Fisika dasar arus faradik
Istilah faradik mula-mula digunakan untuk arus yang
keluar dari faradik coil, suatu induction coil. Arus ini merupakan
bolak-balik yang tidak simetris. Tiap cycle terdiri dari dua fase
yang tidak sama. Fase pertama dengan intensitas rendah dan
19
durasi panjang, sedang fase kedua intensitas tinggi dan durasi
pendek. Berfrekwensi sekitar 50 cycle/detik. Durasi fase kedua
sekitar 1 milisecond (0,001 detik).
c. Modifikasi
Arus faradik pada umumnya dimodifikasi dalam bentuk
surged atau interupted (terputus-putus). Bentuk surged faradik
dapat diperoleh dari mesin-mesin modern. Pengontrol durasi
surged sebaiknya terpisah dengan pengontrol interval sehingga
diperoleh kontraksi yang efektif dari masing-masing penderita.
Bentuk – bentuk surged juga bermacam-macam antara lain
trapezoid, trianguler, saw tooth dan sebagainya.
d. Efek fisiologis
Efek fisiologis terhadap sensoris akan menimbulkan rasa
tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal, sedangkan efek
terhadap motorik adalah kontraksi tetanik yang akan lebih
mudah menimbulkan kontraksi. Arus faradik lebih enak bagi
pasien karena durasinya pendek.
e. Efek terapeutik
(1) Fasilitasi kontraksi otot.
Apabila otot mengalami kesulitan untuk
mengadakan kontraksi, stimulasi elektris dapat
20
membantunya terutama kontraksi otot yang terhambat oleh
nyeri atau injury yang baru, dimana stimulasi dapat
memberikan fasilitas lewat mekanisme muscle spindel.
(2) Mendidik kembali kerja otot
Stimulasi faradik diberikan untuk mendapatkan
kontraksi dan membantu memperbaiki perasaan gerak.
Otot hanya mengenal gerak, sehingga stimulasi diberikan
untuk menimbulkan gerakan yang normal. Stimulasi ini
merupakan permulaan latihan-latihan aktif.
(3) Melatih otot-otot yang paralysis
Pada kasus saraf perifer, impuls dari otak tidak
sampai pada otot yang disarafi. Akibatnya kontraksi
voluntari hilang. Apabila saraf belum mengalami
degenerasi, stimulasi dengan arus faradik disebelah distal
kerusakan akan menimbulkan kontraksi. Dengan demikian
stimulasi dengan arus faradik dapat digunakan untuk
melatih otot-otot yang paralisis.
(4) Penguatan dan hypertrofi otot-otot
Untuk mendapatkan penguatan dan hypertrofi, otot
perlu berkontraksi dalam jumlah yang cukup serta beban
(tahanan). Kelenturan-kelenturan tersebut harus dipenuhi
bila stimulasi dimaksudkan untuk penguatan. Apabila
suatu otot sangat lemah berat dari bagian tubuh yang
21
bergerak memberikan cukup beban. Dalam hal ini
stimulasi dapat meningkatkan kekuatan otot.
(5) Memperbaiki aliran darah dan lymfe
Aliran darah dapat dipelancar oleh adanya
pemompaan dari otot yang berkontraksi dan relaksasi.
Efek yang ditimbulkan akan diperoleh secara maksimal
dengan menggunakan arus faradik.
(6) Mencegah dan melepaskan perlengketan jaringan
Apabila terjadi offusi kedalam jaringan maka
perlengketan jaringan akan mudah terjadi. Perlengketan
tersebut dapat dicegah dengan selalu mengerakan struktur-
struktur didaerah tersebut. Jika latihan latihan-latihan aktif
tidak dimungkinkan, stimulation electrical dapat diberikan.
Perlengketan yang telah terjadi dapat dibebankan dan
diulur dengan kontraksi otot (Akademi Fisioterapi
Surakarta, 1998).
f) Metode pelaksanaan arus faradik
(1) Stimulasi secara group
Pada metode ini semua otot dari suatu group otot
berkontraksi bersama. Satu elektrode dipasang pada nerve
trunk atau daerah origo, sedangkan satu lagi dipasang pada
daerah motor point atau ujung dari muscle belly. Semua
22
otot dari grup otot berkontraksi bersama sehingga sangat
efektif untuk mendidik otot yang bekerja secara group.
(2) Stimulasi motor point
Keuntungan menggunakan metode motor point
adalah masing-masing otot berkontraksi sendiri-sendiri
dan kontraksinya optimal. Sedangkan kerugian metode ini
ialah apabila otot yang dirangsang banyak, maka sulit
untuk mendapatkan jumlah kontraksi yang cukup untuk
masing-masing otot.
2. Massage
a. Definisi
Massage adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan
yang ditujukan pada jaringan lunak tubuh, untuk tujuan
mendapatkan efek baik pada jaringan saraf, otot, maupun
sirkulasi (Gertrude, 1952).
b. Teknik-teknik massage
Ada beberapa teknik massage, seperti: stroking,
effleurage, petrissage, kneading, finger kneading, picking up,
tapping, friction dan tapotemen (hacking, claping, beating,
pounding). Pada kasus Bell’s Palsy teknik massage yang
23
diberikan yaitu stroking, effleurage, finger kneading dan
tapping.
Stroking atau gosokan ringan adalah manipulasi yang
ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan
tangan satu atau permukaan kedua belah tangan dan arah
gerakannya tidak tentu. Efek stroking adalah penenangan dan
mengurangi rasa nyeri. (Tappan, 1988)
Effleurage adalah manipulasi gosokan dengan penekanan
yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan
tangan, sebaiknya diberikan dari dagu ke atas ke pelipis dan dari
tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga. Ini harus
dikerjakan secara gentle dan menimbulkan rangsangan pada
otot-otot wajah. Efek dari effleurage adalah membantu
pertukaran zat-zat dengan mempercepat peredaran darah dan
limfe yang letaknya dangkal, menghambat proses peradangan.
Finger kneading adalah pijatan yang dilakukan dengan
jari-jari dengan cara memberikan tekanan dan gerakan
melingkar, diberikan ke seluruh otot wajah yang terkena lesi
dengan arah gerakan menuju ke telinga. Efek dari finger
kneading adalah memperbaiki peredaran darah dan memelihara
tonus otot.
24
Tapping adalah manipulasi yang diberikan dengan tepukan
yang ritmis dengan kekuatan tertentu, untuk daerah wajah
dilakukan dengan ujung-ujung jari. Efek dari tapping adalah
merangsang jaringan dan otot untuk berkontraksi.
c. Aplikasi massage
Pemberian massage wajah pada kondisi Bell’s Palsy
bertujuan untuk mencegah terjadinya perlengketan jaringan
dengan cara memberikan penguluran pada jaringan yang
superfisial yakni otot-otot wajah. Dengan pemberian massage
wajah ini akan terjadi peningkatan vaskularisasi dengan
mekanisme pumping action pada vena sehingga memperlancar
sirkulasi darah dan limfe. Efek rileksasi dapat dicapai dan
elastisitas otot dapat tetap terpelihara serta mencegah timbulnya
perlengketan jaringan dan kontraktur otot dapat dicegah
(Douglas, 1902). Massage dilakukan selama 5-10 menit, 2-3 kali
sehari. Massage ini membantu mempertahankan tonus otot
wajah agar tidak kaku (Chusid 1983).
25
Gerakan massage dapat diamati dari gambar berikut ini :
Gambar 2.5
Arah gerakan Massage pada wajah (Maxwell,1987).
d. Indikasi Massage
Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian
massage, antara lain: spasme otot, nyeri, oedema, kasus-kasus
perlengketan jaringan, kelemahan otot jaringan, dan kasus-
kasus kontraktur.
e. Kontra Indikasi Massage
Masssage tidak selalu dapat diberikan pada semua kasus,
ada beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi
pemberian massage, yaitu: darah yang mengalami infeksi,
penyakit-penyakit dengan ganguan sirkulasi, seperti:
tromboplebitis, arteriosclerosis berat, adanya tumor ganas,
daerah peradangan akut, jerawat akut,sakit gigi, dan luka bakar.
26
2.3 Konsep Kerangka Berfikir
Bell’s palsy adalah sebuah kelainan dan ganguan neurologi pada nervus
cranialis VII (saraf facialis) di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Paralyse Bell ini hampir selalu terjadi unilateral, namun
demikian dalam jarak satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral.
Penyakit ini dapat berulang atau kambuh, yang menyebabkaan kelemahan atau
paralisis, ketidak simetrisan kekuatan/aktivitas muscular pada kedua sisi wajah
(kanan dan kiri), serta distorsi wajah yang khas. Hal ini sangat menyiksa diri
karena membuat orang menjadi kurang percaya diri. Wajah kelihatan tidak cantik
karena mulut mencong, mata tidak bisa berkedip, mata berair, dll
(Attaufiq,2011).
Evaluasi dari pemberian modalitas Electrical Stimulation arus Faradik
diharapkan dapat menimbulkan kontraksi otot dan membantu memperbaiki
perasaan gerak sehingga diperoleh gerak yang normal serta bertujuan untuk
mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot. Pada kasus Bell’s Palsy ini
rangsangan gerak dari otak tidak dapat disampaikan kepada otot-otot wajah yang
disyarafi. Akibatnya kontraksi otot secara volunter hilang sehingga diperlukan
bantuan dari rangsangan arus faradik untuk menimbulkan kontraksi otot.
Rangsangan arus faradik yang dilakukan berulang- ulang dapat melatih kembali
otot- otot yang lemah untuk melakukan gerakan sehingga dapat meningkatkan
kemampuan kontraksi otot sesuai fungsinya.
Massage diberikan dengan tujuan memberikan penguluran pada otot-otot
wajah yang letaknya superfisial sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah,
27
selain itu memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah.
Stroking memiliki efek penenangan dan dapat mengurangi nyeri, Efflurage dapat
membantu pertukaran zat-zat dan melancarkan metabolisme dengan
mempercepat peredaran darah, Finger Kneading berfungsi untuk memperbaiki
peredaran darah dan memelihara tonus otot. Sedangkan tapping dengan ujung jari
dapat merangsang jaringan otot untuk berkontraksi. Dengan massage tersebut
maka efek relaksasi dapat dicapai dan elastisitas otot tetap terjaga dan potensial
timbulnya perlengketan jaringan pada kondisi Bell’s Palsy ini dapat dicegah.
28
2.4 Skema Kerangka Berpikir
Bell’s Palsy
Faktor Intrinsik Ischemic Vaskuler Herediter
Faktor Ekstrinsik Virus Herpes Zoster Paparan udara dingin
Etiologi tidak diketahui jelas
Permasalahan kapasitas fisik Penurunan kekuatan otot Gangguan sensorik (paralysis Potensial terjadinya atrofi pada otot wajah sisi kiri Potensial terjadinya spasme otot pada sisi wajah kanan
(sehat)Permasalahan keterbatasan fungsi mata kiri tidak bisa menutup rapat, berkumur dan minum
mengalami kebocoran, makanan cenderung mengumpul disisi kiri saat mengunyah
Electrical Stimulasi
Massage
Evaluasi MMT Skala Ugo Fisch
Hasil Meningkatkan
kekuatan otot Mencegah
spasme otot Memperbaiki
ganggaun sensorik
Memperbaiki kosmetika
29
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat
Penelitian pada pasien Bell’s Palsy sebelah Sinistra dilakukan di RSUP
Bukittinggi.
3.1.2 Waktu
Waktu penelitian studi kasus ini dilaksanakan pada 18 desember 2012.
3.2 Rancangan Studi Kasus
Pada penelititan ini metode yang digunakan adalah studi kasus. Studi
kasus yang dilakukan dengan cara meneliti suatu permasalahan melalui suatu
kasus yang terdiri dari unit tunggal. Unit tunggal disini berarti mengambil satu
sampel yang di analisa secara mendalam baik dari segi keadaan kasus, faktor
penyebab, kejadian yang berhubungan dengan kasus serta tindakannya
(Notoadnodjo). Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek
yang di teliti. Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa agar
diperoleh sampel yang benar-benar dapat berfungsi sebagai gambaran keadaan
populasi yang sebenarnya. Dengan demikian sampel harus refresentatif (Ari
Kunto, 2002).
Sampel dalam studi kasus ini adalah satu orang dengan karakteristik dari
keseluruhan pasien yang menderita Bell’s Palsy. Teknik ini diambil dengan
30
alasan memperluas ruang lingkup penelitian serta ingin mendapatkan hasil yang
lebih akurat, sehingga hanya mengambil sampel dengan jumlah yang lebih kecil.
Penelitian ini dilakukan sebanyak 6 kali tindakan terapi dengan menggunakan
modalitas Electrical Stimulation dan Massage dan harapannya adalah dapat
memperbaiki kosmetika dan meningkatkan kekuatan otot-otot wajah.
3.3 Uraian Studi Kasus
Tindakan pemeriksaan untuk kondisi Bell’s Palsy disamping informasi dari
bagian medik, terapi juga membutuhkan informasi dari pasien untuk dapat
mengetahui pencetus Bell’s Palsy sehingga akan memudahkan dalam
penanganan. Data yang dapat dikumpulkan untuk menegakkan diagnosis
diperoleh melalui :
3.3.1 Anamnesis
Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan tanya
jawab dengan sumber data. Dengan anamnesis dapat diperoleh data-data
yang dibutuhkan dalam menentukan diagnosa dan terapi latihan yang akan
diberikan. Anamnesis dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a. Autoanamnesis adalah anamnesis yang dilakuakn lagsung kepada
pasien yang bersangkutan.
b. Heteroanamnesis adalah anamnesis yang dilakukan kepada orang
lain, dilakukan jika sulit melakukan anamnesis langsung kepada
pasien.
Anamnesis dapat diklasifikasikan menjadi anamnesis umum dan
anamnesis khusus.
31
1. Anamnesis umum
Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara
lengkap. Dalam anamnesis ditemukan data seperti (1) nama, (2) umur,
(3) jenis kelamin, (4) agama, (5) pekerjaan, (6) alamat. Data yang
diperoleh akan digunakan untuk tujuan terapi akhir yang
diprogramkan dan disesuaikan dengan kegiatan keseharian dari
pasien.
1) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan satu atau lebih gejala
dominan yang mendororng pasien mencari pertolongan atau
pengobatan.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Adalah pertanyaan yang mewakili keadaan pasien
sekarang mulai dari awal kejadian penyakit, hal-hal yang
dirasakan pasien saat awal kejadian penyakit sampai pasien
tersebut mencari pengobatan. Adapun keluhan utama pada
pasien dengan Bell’s Palsy, yaitu rasa kaku atau tebal di satu
sisi wajah dan sulit menggerakkan otot-otot wajah.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Adalah pertanyaan yang diarahkan kepada penyakit-
penyakit yang berkaitan dengan munculnya penyakit atau
keluhan sekarang (Mardiman, 1994).
32
4) Riwayat pribadi
Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-
hari yang dilakukan pasien menyangkut hobi atau kebiasaan
yang berkaitan dengan penyebab bell’s palsy.
5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga adalah penyakit-penyakit yang
bersifat menurun dari orang tua atau keluarga yang lain
(Heredo Familial), yang berhubungan dengan bell’s palsy.
2. Anamnesis khusus
Anamnesis khusus merupakan data informasi tentang keluhan
utama pasien, dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang belum
diungkapkan penderita dan untuk melengkapi anamnesis yang belum
tercakup diatas, antara lain: kepala dan leher, Kardiovaskuler,
Respirasi, Gastrointestinal, Urogenitalis, Muskuloskeletal, Nervorum.
3.3.2 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien meliputi pemeriksaan
Vital Sign, Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi, Pemeriksaan Gerak,
serta Kemampuan Fungsional dan lingkungan aktivitas.
a. Pemeriksaan Vital Sign
Tanda-tanda vital terdiri dari (1) tekanan darah, (2)
denyut nadi, (3) pernapasan, (4) temperatur. Data tersebut
33
digunakan untuk mengetahui apakah ada hipertensi, hipotensi,
tacikardi, obesitas dan sebagainya.
b. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan
mengamati. Ada dua macam yaitu inspeksi statis dan inspeksi
dinamis.
1) Inspeksi statis adalah inspeksi dimana pasien dalam
keadaan diam.
2) inspeksi dinamis adalah inspeksi dimana pasien dalam
keadaan bergerak.
c. Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung
kontak dengan pasien, dengan meraba, menekan, dan
memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui nyeri tekan
dan suhu.
d. Perkusi
Perkusi adalah cara pemeriksaan dengan jalan
mengetuk/vibrasi, seperti mengetuk untuk mengetahui
keadaan suatu rongga pada bagian tubuh tertentu.
e. Auskultasi
Auskultasi adalah cara pemeriksaan dengan
menggunakan indera pendengaran, biasanya menggunakan
alat bantu stetoskop untuk mengetahui Ronki,denyut jantung
34
f. Pemeriksaan Gerak
Meliputi pemeriksaan gerak aktif, pasif, isometrik
melawan tahanan. Pada pemeriksaan gerak aktif yang
diperiksa adalah sisi yang lemah, meliputi kemampuan
mengerutkan dahi, bersiul, tersenyum dan menutup mata. Pada
pemeriksaan gerak pasif yang diperiksa adalah sisi wajah yang
sakit, yaitu menutup mata, mengerutkan dahi dan tersenyum.
Pada pemeriksaan gerak pasif yang dilakukan pada sisi yang
lesi atau kanan gerakan mengerutkan dahi, mendekatkan
kedua alis, mencucu,bersiul, menutup mata, mengkerutkan
hidung ke atas, dan tersenyum.
g. Kemampuan aktivitas fungsional
Kemampuan fungsional yaitu kemampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Sedangkan lingkungan
aktivitas adalah keadaan lingkungan sekitar yang berhubungan
dengan kondisi pasien.
h. Pemeriksaan kognitif, intrapersonal dan interpersonal.
1) Kognitif merupakan pengetahuan seseorang atau perilaku
manusia yang dikaitkan dengan susunan saraf otak.
Kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi, memori
pemecahan masalah, pengambilan sikap dan perilaku,
orientasi ruang dan waktu.
2) Intrapersonal adalah kemampuan pasien dalam memahami
keadaan dirinya, motivasi dirinya.
35
3) interpersonal adalah kemampuan bagaimana berhubungan
dengan orang lain disekitarnya.
2. Pemeriksaan spesifik
Selain pemeriksaan gerak diperlukan juga diperlukan pemeriksaan
spesifik untuk lebih memperjelas permasalahan yang dihadapi.
Untuk kasus ini pemeriksaan spesifik yang dilaksanakan berupa :
Tanda bell, skala “Ugo Fisch” dan penilaian kekuatan otot wajah dengan
menggunakan skala “Daniel’s and Worthingham Manual Muscle Testing”.
1) Tanda Bell’s
Tanda bell yang terlihat pada pasien yaitu saat mengkerutkan
dahi, lipatan kulit dahi hanya terlihat pada sisi lesi, dan saat
memejamkan mata, bola mata masih terlihat sedikit pada sisi yang
sehat.
2) Ugo Fisch scale
Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik
dan mengevaluasi kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s
palsy. Penilaian dilakukan pada 5 posisi, yaitu saat istirahat,
mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Pada
tersebut dinilai simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi
yang sehat. (Lumbantobing 2006)
36
Ada 4 penilaian dalam % untuk posisi tersebut antara lain :
a) 0 % (zero) : Asimetris Komplit, tidak ada gerakan
volunter sama sekali.
b) 30 % (poor) : Simetris ringan, kesembuhan cenderung
ke asimetris, ada gerakan volunter.
c) 70 % (fair) : Simetris sedang, kesembuhan
cenderung normal.
d) 100 % (normal) : Simetris komplit (normal).
Angka prosentase masing-masing posisi harus dirubah menjadi
score dengan kriteria sebagai berikut :
1) Saat istirahat : 20 point
2) Mengerutkan dahi : 10 point
3) Menutup mata : 30 point
4) Tersenyum : 30 point
5) Bersiul : 10 point
Pada keadaan normal untuk jumlah kelima posisi wajah
adalah 100 point. Hasil penilaian itu diperoleh dari penilaian angka
prosentase dikalikan dengan masing-masing point. Nilai akhirnya
adalah jumlah dari 5 aspek penilaian tersebut.
37
3) Manual Muscle Testing (MMT) otot-otot wajah
Untuk menilai kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis
digunakan skala Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing,
Yaitu :
a) Nilai 0 (zero) : Tidak ada kontraksi yang tampak
b) Nilai 1 (trace) : Kontraksi minimal
c) Nilai 3 (fair) : Kontraksi sampai dengan simetris
sisi normal dengan maksimal
d) Nilai 5 (normal) : Kontraksi penuh, terkontrol dan
simetris.
3.3.3 Problem Fisioterapi
Permasalahan atau problem fisioterapi yang ditemukan pada
kondisi Bell’s Palsy pada umumnya adalah rasa tebal pada wajah dan
kesulitan menggerakkan otot-otot wajah.
3.3.4 Diagnosis Fisioterapi
Diagnosis Fisioterapi dapat ditegakkan melalui anamnesis
yang meliputi gangguan gerak dan fungsi, gerakan pencetus, jaringan atau
organ yang terkena dan disebabkan oleh patologi.
38
3.3.5 Intervensi Fisioterapi
Untuk mengatasi masalah yang muncul pada kondisi Bell’s
Palsy maka dipilih modalitas terapi Electrical Stimulation dan
Massage.
1. Teknologi Alternatif :
a. IR (Infra Red)
b. SWD (Short Wave Diathermy)
c. MWD (Micro Wave Diathermy)
d. US (Ultra Sound), Massage, ES (Electricel Stimulation)
2. Teknologi Yang Dilaksanakan :
a. Massage Wajah
Massage diberikan dengan tujuan memberikan penguluran
pada otot-otot wajah yang letaknya superfisial sehingga
perlengketan jaringan dapat dicegah, selain itu memberikan efek
rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah. Stroking
memiliki efek penenangan dan dapat mengurangi nyeri,
Efflurage dapat membantu pertukaran zat-zat dan melancarkan
metabolisme dengan mempercepat peredaran darah, Finger
Kneading berfungsi untuk memperbaiki peredaran darah dan
memelihara tonus otot. Sedangkan tapping dengan ujung jari
dapat merangsang jaringan otot untuk berkontraksi. Dengan
massage tersebut maka efek relaksasi dapat dicapai dan
elastisitas otot tetap terjaga dan potensial timbulnya
39
perlengketan jaringan pada kondisi Bell’s Palsy ini dapat
dicegah.
b. Electrical Stimulation (ES) arus Faradik
Electrical Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat
menimbulkan kontraksi otot dan membantu memperbaiki
perasaan gerak sehingga diperoleh gerak yang normal serta
bertujuan untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot.
Pada kasus Bell’s Palsy ini rangsangan gerak dari otak tidak
dapat disampaikan kepada otot-otot wajah yang disyarafi.
Akibatnya kontraksi otot secara volunter hilang sehingga
diperlukan bantuan dari rangsangan arus faradik untuk
menimbulkan kontraksi otot. Rangsangan arus faradik yang
dilakukan berulang- ulang dapat melatih kembali otot- otot yang
lemah untuk melakukan gerakan sehingga dapat meningkatkan
kemampuan kontraksi otot sesuai fungsinya.
3.3.6 Tujuan Pelaksanaan Fisioterapi
Tujuan hasil pelaksanaan fisioterapi adalah hasil yang ingin
dicapai dengan pelayanan fisioterapi pada pasien atau klien dan
direncanakan untuk mengurangi problematika yang timbul dalam
diagnosa fisioterapi. Tujuan pelaksanaan terapi terbagi menjadi :
40
1. Tujuan Jangka Pendek
Tujuan jangka pendek berkaitan dengan keadaan pasien atau
hal yang dianggap bersifat penting dalam kelangsungan hidup
pasien dan penampilannya.
2. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang adalah hasil yang diharapkan dari
kelanjutan tujuan jangka pendek dan berkesinambungan dan
membutuhkan waktu yang relatif lama.
3.3.7 Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi adalah layanan yang dilakukan
sesuai dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan dengan maksud
agar kebutuhan pasien terpenuhi. Penatalaksanaan fisioterapi harus
berdasarkan rencana yang telah ditetapkan atau dengan melakukan
modifikasi dosis menururt pedoman yang telah ditetapkan dalam
program dengan tetap mengkomunikasikan dengan pihak-pihak terkait
dan mendokumentasikan hasil dan pelaksanaan metodologi serta
program, termasuk mencatat evaluasi sbelum, selama dan sesudah
pelaksanaan fisioterapi dan respon dari pasien.
41
3.3.8 Evaluasi
Evaluasi pada kasus Bell’s Palsy ini diambil setelah pasien
dilakukan terapi sebanyak 6 kali, yang terdiri dari :
a. Evaluasi hasil intervensi terdiri dari : 1) tanggal, 2) metode,
teknik dan dosis, 3) hasil pengukuran, 4) rekomendasi yang
berdasarkan tentang hasil yang telah dilakukan apakah perlu
perbaikan dari intervensi yang telah diberikan.
b. Kesimpulan Sementara
Kesimpulan Sementara berisikan tentang hasil
intervensi yang di dapatkan selama 6 kali dilakukan terapi.
42
BAB IV
PENUTUP
Pasien Bell’s palsy pada awalnya merasakan ada kelainan pada mulut yang
tampak mencong ke satu sisi, salah satu kelopak mata tidak dapat dipejamkan, mulut
tidak dapat mencucu, apabila berkumur atau minum maka air akan tumpah melalui
salah satu sisi mulut yang lesi. Keadaan tersebut disebabkan adanya paralisis otot-
otot wajah pada sisi yang sakit. Kondisi ini merupakan permasalahan yang dialami
pasien sehingga peran fisioterapis diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut
dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot- otot wajah serta
mencegah komplikasi lebih lanjut.
Electrical Stimulation arus Faradik yang diberikan dapat menimbulkan
kontraksi otot dan membantu memperbaiki perasaan gerak sehingga diperoleh gerak
yang normal serta bertujuan untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi otot.
Massage diberikan dengan tujuan memberikan penguluran pada otot-otot
wajah yang letaknya superfisial sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, selain
itu memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah. Stroking
memiliki efek penenangan dan dapat mengurangi nyeri, Efflurage dapat membantu
pertukaran zat-zat dan melancarkan metabolisme dengan mempercepat peredaran
darah, Finger Kneading berfungsi untuk memperbaiki peredaran darah dan
memelihara tonus otot. Sedangkan tapping dengan ujung jari dapat merangsang
jaringan otot untuk berkontraksi. Dengan massage tersebut maka efek relaksasi dapat
dicapai dan elastisitas otot tetap terjaga dan potensial timbulnya perlengketan
jaringan pada kondisi Bell’s Palsy ini dapat dicegah.