proposal ruui - website staff ui |staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · web...

33
PROPOSAL RUUI PROGRAM UNGGULAN/UTAMA TAHUN 2009 TINJAUAN ATAS HUKUM PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA PERKOSAAN Nama Pengusul Yoni A. Setyono NIP Pengusul 131861375

Upload: phungdung

Post on 24-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PROPOSAL RUUIPROGRAM UNGGULAN/UTAMA

TAHUN 2009

TINJAUAN ATAS HUKUM PEMBUKTIANPADA TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Nama PengusulYoni A. Setyono

NIP Pengusul131861375

Fakultas HukumUniversitas Indonesia

LEMBAR PENGESAHAN RUUI TAHUN 2008

01. Judul Riset : Tinjauan Atas Hukum Acara PembuktianPada Tindak Pidana Perkosaan

02. Bidang Unggulan/Utama : Utama03. Periset Utama : Yoni A. Setyono04. Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*05. Unit Kerja : Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum-Pilihan Penyelesaian

Sengketa (LKBH-PPS) Fakultas Hukum06. Alamat Unit Kerja : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Depok 16424

Telepon 7863442/3 Fax 727005207. Alamat Rumah : Jl. Parawisata 318 Bumi Bekasi Baru-Bekasi 17115.

Telepon 021-92628103 Fax .(021) 827010408. Alamat e-mail : [email protected]. Telepon Seluler/HP : 081670089010. Lama Riset : 10 bulan11. RUUI Tahun : 200912. Total Biaya : Rp. 69,385,000,-

Menyetujui, Depok, 20 Februari 2009Manajer Riset Periset Utama

Nama Manajer Riset Dr. Yoni A. Setyono, S.H., M.H.NIP. NIP. 131861375

Mengetahui,Dekan Fakultas

Nama DekanNIP Dekan

2

ABSTRAK

Masalah tindak pidana perkosaan memiliki dimensi yang sangat luas tidak hanya

terbatas pada persoalan hukum saja. Faktor kultur masyarakat menjadi determinan yang

ikut menentukan penyelesaian hukum tindak pidana perkosaan tersebut. Faktor kultural

tersebut ternyata justru menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum disamping

karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang membuat ketentuan yuridis positif

menjadi sangat terbatas untuk menjangkaunya. Pembuktian merupakan kendala utama

dalam pengungkapan dan penyelesaian tindak pidana perkosaan berdasarkan mekanisme

hukum.

Melalui penelitian ini diharapkan bisa ditelaah secara kritis sistem dan tata cara

pembuktian dalam hukum acara pidana positif di Indonesia yaitu khususnya untuk

implementasinya terhadap tindak pidana perkosaan. Apakah peraturan-peraturan hukum

acara pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) telah merupakan

hukum acara yang baik yang mampu mewujudkan tujuan dan fungsinya untuk memberikan

kedamaian dan mencari kebenaran serta keadilan? Konklusi dan solusi seperti apa yang

bisa diajukan untuk mengatasi persoalan pembuktian dalam tindak pidana perkosaan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan akan terjawab melalui penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan teknik

pendekatan (analisis) kualitatif. Meskipun berpijak pada wilayah hukum yang normatif

namun segi-segi yuridis sosiologis dan yuridis filosofis turut dipergunakan untuk

mendukung dan memperluas serta memperdalam pembahasan yang dilakukan.

3

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu jenis tindak pidana yang sering

menemui jalan buntu ketika diupayakan sebuah penyelesaian melalui jalur hukum.

Berbagai hambatan muncul karena memang di dalam tindak pidana ini warna kultur adalah

karakteristik yang dominan sehingga penyelesaian-penyelesaian di luar hukum lebih akrab

sebagai pilihan. Diantara bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut, LBH-

APIK (2006) melaporkan bahwa di Indonesia perkosaan merupakan jenis kekerasan

tertinggi pada perempuan yaitu sebanyak 54%.1

Yulianti Ratnaningsing, seorang Staff Divisi Advokasi Kebijakan Pendidikan dan

Pendampingan Masyarakat pada Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) Samitra

Abhaya yang sering mendampingi masyarakat khususnya perempuan untuk kasus

kekerasan terhadap perempuan di Surabaya mengatakan bahwa pembuktian terhadap kasus

kekerasan pada perempuan lemah. Salah satu penyebab sulitnya pembuktian kasus

kekerasan pada perempuan adalah sekitar 70 persen perbuatan kekerasan dilakukan oleh

orang terdekat korban, seperti pacar, suami, orang tua, saudara, bahkan kakek. Tindakan

tersebut dilakukan di tempat dimana orang lain sulit untuk ikut campur, seperti rumah,

hotel, apartemen, sekolah, dan tempat-tempat pribadi. Situasi ini menyebabkan sedikitnya

kasus kekerasan pada perempuan yang memiliki bukti nyata, seperti jejak fisik apalagi

saksi mata.2

Apa yang dikemukakan oleh Yulianti memang benar adanya. Pembuktian kasus

kekerasan terhadap perempuan memang sering menemui kendala yang berpangkal pada

1 Gender Health Environmental Linkages Program, Perkosaan, Sebuah Kekerasan Berbasis Gender, Factsheet Issue X, Juni 2008, http://www.chr.ui.ac.id/g-help/publikasi/Factsheet/factsheet_X.pdf

2 Kompas, 26 November 2008, Kecil, Tindak Lanjut Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, http://kompas.co.id/read/xml/2008/11/26/04332195/kecil.tindak.lanjut.kasus.kekerasan.terhadap.perempuan.

4

tidak terpenuhinya alat bukti sebagaimana dipersyaratkan oleh undang-undang. Dalam

kasus (perkara) perkosaan misalnya, faktor kultur masyarakat menjadi kendala dalam

penyelesaian dan penegakan hukum. Hal ini karena masyarakat masih beranggapan bahwa

perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan lainnya merupakan aib yang

memalukan sehingga tidak patut untuk menjadi konsumsi publik. Bagi mereka, perkara ini

adalah persoalan pribadi (domestik) sehingga diupayakanlah penyelesaian secara

kompromistis seperti mendamaikan atau mengawinkan pelaku dengan korban.

Pandangan seperti di atas membuat korban, keluarga dan masyarakat enggan

melaporkan peristiwa perkosaan kepada pihak yang berwenang untuk diproses secara

hukum. Apabila terjadi pelaporan, pelaporan itu dilakukan dalam jangka waktu yang cukup

lama sejak peristiwanya terjadi sehingga bukti-bukti fisik sulit ditemukan atau bahkan telah

hilang sama sekali. Menurut Liestianingsih, Staf Peneliti Pusat Studi Wanita Universitas

Airlangga, hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih memiliki paradigma bahwa

kekerasan pada perempuan khususnya dalam rumah tangga merupakan persoalan pribadi.

Karena itu, banyak kasus yang tak terungkap karena masyarakat enggan untuk turut campur

dalam permasalahan rumah tangga.3

Ketiadaan bukti nyata (fisik) dan sulitnya menemukan saksi mata selain dari saksi

korban sendiri menyebabkan pembuktian perkara perkosaan atau kekerasan terhadap

perempuan yang seringkali terjadi di ranah domestik menemui jalan buntu. Hal ini masih

diperumit dengan paradigma penegak hukum dalam memahami dan menafsirkan

pembuktian dalam hukum acara pidana yang cenderung sempit dan legistis.

Pembuktian memang menjadi kendala utama dalam penyelesaian kasus perkosaan

atau kekerasan terhadap perempuan menurut mekanisme hukum. Padahal sebagaimana

dikatakan oleh Bambang Waluyo, acara pembuktian menempati posisi yang penting dari

jalannya peradilan atau persidangan.4 Persoalan pembuktian tindak pidana inilah yang akan

disoroti dalam penelitian ini.

3 Ibid.4 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Cet. 1, Sinar Grafika: Jakarta,

1992.

5

II. Ruang Lingkup Riset

Penelitian ini memfokuskan diri pada persoalan pembuktian tindak pidana

perkosaan dimana perkara-perkara perkosaan yang akan dianalisis tidak dibatasi pada ruang

lingkup daerah atau lingkungan pengadilan tertentu tetapi merupakan perkara-perkara yang

relevan dengan tema penelitian sejauh masih terjadi di wilayah Indonesia. Perkosaan dalam

penelitian ini diartikan secara luas yaitu meliputi perkosaan yang terjadi pada laki-laki

maupun perempuan.

III. Asumsi yang digunakan

Pembuktian dalam tindak pidana perkosaan seringkali menemui jalan buntu karena

persoalan minimnya alat bukti yang ada. Hal ini tidak terlepas dari sistem dan tata cara

pembuktian yang dianut oleh hukum positif acara pidana di Indonesia. Persoalan kultur

masyarakat dan paradigma penegak hukum dalam memahami serta mengintepretasikan

peraturan perundang-undangan memberi sumbangan yang tidak kecil terhadap hambatan

dalam pembuktian perkara perkosaan.

IV. Tujuan dan manfaat riset

Melalui penelitian ini peneliti berharap bisa melakukan analisis atas keterbatasan-

keterbatasan dalam sistem dan tata cara pembuktian yang dianut oleh hukum positif acara

pidana di Indonesia khususnya berkaitan dengan tindak pidana perkosaan. Dari analisis

tersebut peneliti bermaksud mencari solusi atas hambatan-hambatan yang selama ini terjadi

dalam pembuktian tindak pidana perkosaan untuk kemudian secara simultan menilai

apakah hukum acara pidana yang ada (diterapkan) merupakan hukum acara pidana yang

baik atau tidak. Hukum acara pidana dapat dikatakan baik jika oleh karenanya hukum

pidana dapat terealisasi secara baik.5

V. Tinjauan Kepustakaan atas riset-riset sebelumnya

5 Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Ed. 1, Cet. 1, Liberty: Yogyakarta, 1988.

6

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mencermati tindak pidana perkosaan.

Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pembuktian tindak pidana

perkosaan menemui jalan buntu karena sulitnya melakukan pembuktian dalam perkara

tersebut. Ada beberapa upaya untuk melihat ketentuan yuridis pembuktian perkara

perkosaan namun masih sebatas implementasi peraturan yang pada akhirnya juga

menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu sulitnya pembuktian. Sejauh ini belum ada

upaya untuk menilai secara kritis sistem dan tata cara pembuktian tindak pidana perkosaan

yang dianut oleh hukum positif acara pidana di Indonesia guna mengajukan sebuah solusi

atas kendala pembuktian dalam perkara perkosaan.

STUDI LITERATUR

Kendala penyelesaian hukum atas kasus-kasus perkosaan dan kekerasan pada

perempuan yang berpangkal pada masalah pembuktian mengharuskan kita menelaah

kembali sistem dan tata cara pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana di

Indonesia. Hal ini mutlak dilakukan agar bisa diurai dan dipahami hakikat permasalahan

yang ada. Masalah pembuktian tersebut telah membawa kita menginjakkan kaki pada ranah

hukum acara pidana. Tentu saja kendala pembuktian berkaitan secara langsung dengan

karakteristik tindak pidana yang terjadi, tidak bisa ia dipisahkan darinya. Kendala

pembuktian ini muncul karena peraturan positif memang (ditafsirkan) tidak mampu

menjangkau peristiwa konkrit di lapangan.

Sebelum membahas lebih jauh persoalan pembuktian, terlebih dulu peneliti ingin

menguraikan studi literatur terhadap beberapa pengertian dan pemahaman seputar isu

pembuktian pada hukum acara pidana, khususnya pada perkara (kasus) perkosaan. Studi

literatur ini mencakup uraian-uraian sebagai berikut:

Tinjauan atas hukum acara pidana, suatu uraian yang bersumber dari beberapa

bahan yaitu:

7

a. “Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana”, karangan Bambang

Poernomo, Ed. 1, Cet. 1, Yogyakarta: Liberty, 1988.

b. “Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia”, karangan Bambang Waluyo,

Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

c. ”Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana”, karangan

Djoko Prakoso, Ed. 1, Cet. 1, Yogyakarta: Liberty, 1988.

d. “Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia”, karangan Bambang

Waluyo, Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

e. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP).

f. Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

Tinjauan Singkat Atas Hukum Acara Pidana

A. Pengertian hukum acara pidana

Menurut teori, hukum acara pidana mengatur cara-cara bagaimana negara

menggunakan haknya untuk melakukan penghukuman dalam perkara-perkara yang terjadi.6

Van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu hukum acara pidana ialah mempelajari peraturan-

peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran

undang-undang hukum pidana.7

Perkembangan ilmu hukum acara pidana sudah meliputi pembagian hukum acara

pidana formil dan hukum acara pidana materiil. Hukum acara pidana formil dimaksudkan

berbagai aturan hukum yang meliputi tata beracara perkara pidana, dan hukum acara pidana

materiil dimaksudkan segala aturan hukum tentang sistem, beban, alat-alat dan kekuatan

pembuktian serta sarana ilmu pengetahuan yang mendukung pembuktian.8

Bambang Poernomo menegaskan bahwa tugas atau fungsi hukum acara pidana

adalah untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan penuntutan

hukum dengan tepat, menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan, dan

6 Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Ed. 1, Cet. 1, Yogyakarta: Liberty, 1988.

7 Van Bemmelen, Strafvordering, Leerboek v.h. Nederlandse Strafrecht, dalam Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Ed. 1, Cet. 1, Yogyakarta: Liberty, 1988.

8 Ibid.

8

melaksanakan keputusan secara adil. Selain itu dinyatakan pula oleh Poernomo bahwa

tujuan hukum acara pidana diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian. Pelaksanaan

hukum acara pidana yang merupakan sarana untuk mencari kebenaran dan keadilan

haruslah dikaitkan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum acara pidana harus bisa

menunjang terwujudnya hukum yang berperikemanusiaan yaitu hukum untuk manusia yang

melindungi hak-hak menusia.

B. Sistem dan alat bukti dalam hukum acara pidana positif

Hukum acara pidana positif Indonesia saat ini secara umum diatur berdasarkan

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apanila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Pasal 183 KUHAP dia atas menunjukkan bahwa hukum acara pidana positif

Indonesia menganut sistem pembuktian negatif (negatief bewijstheorie) atau yang disebut

juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijke).

Lamintang mengatakan bahwa,

1. ”disebut wettelijke atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian,

undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti

yang harus ada, dan

2. disebut negatif karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus

menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa, apabila jenis-jenis dan banyaknya

alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya, bahwa

suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah

bersalah melakukan tindak pidana tersebut.”9

Mengenai alat bukti, KUHAP mengaturnya secara limitatif yaitu dengan

menyebutkannya pada pasal 184 ayat (1). Menurut pasal tersebut alat bukti yang sah ialah:

9 Lamintang dalam Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

9

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Penyebutan alat bukti menurut urutan sebagaimana terdapat di dalam KUHAP

menimbulkan kecenderungan beberapa kalangan untuk menganggap bahwa alat bukti yang

satu lebih penting daripada alat bukti yang lain. Keterangan saksi karena berada pada

urutan pertama dinilai sebagai mutlak perlu ada. Hal ini adalah kesalahan pemahaman

karena tidak demikianlah yang dimaksudkan oleh KUHAP. Pada tataran praktis,

pemahaman yang salah tersebut telah menimbulkan persoalan yang cukup serius dalam

penyelesaian kasus-kasus pidana karena untuk mengungkap suatu kasus pidana dianggap

seolah-olah harus selalu ada alat bukti keterangan saksi. Untuk mengkoreksi pemahaman

yang tidak pada tempatnya itu maka pada RUU KUHAP yang baru penyebutan urutan alat

bukti diubah yaitu dengan menempatkan alat bukti keterangan saksi pada urutan nomor 2

(dua) setelah alat bukti surat.10

Dari 5 (lima) macam alat bukti yang disebutkan oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP,

masing-masing dijelaskan secara cukup jelas pengertiannya dalam pasal-pasal yang

terdapat di dalam KUHAP. Dari semua alat bukti tersebut, sekali lagi, keterangan saksi

merupakan alat bukti yang menarik untuk kembali disoroti.

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak

cukup untuk membuktikan membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan

yang didakwakan kepadanya. Pasal tersebut mengingatkan pada Pasal 169 HIR yang

menyatakan bahwa keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti

yang lain, di dalam hukum tidak dapat dipercaya. Kedua pasal tersebut pada intinya

mengatur hal yang sama dimana keduanya juga sering dikaitkan dengan apa yang disebut

unus testis nullus testis. Unus testis nullus testis adalah suatu asas yang dikenal dalam

10 RUU KUHAP: SMS Bisa Jadi Alat Bukti, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=13000 &cl =Berita

10

hukum acara, baik pidana maupun perdata, yang mana secara harfiah istilah tersebut berarti

satu saksi bukan saksi.

Andi Hamzah mengatakan bahwa istilah unus testis nullus testis sering kali disalah

artikan karena dipahami secara literal. Pemahaman semacam ini membuat pembuktian

kasus-kasus pidana menjadi sulit karena harus ada lebih dari satu saksi dimana apabila

hanya ada satu saksi maka saksi itu tidak dinilai sebagai alat bukti keterangan saksi.

Padahal satu saksi apabila diperkuat oleh alat bukti lain adalah alat bukti.11 Selain

penjelasan Andi Hamzah, Pasal 185 ayat (3) KUHAP sebenarnya juga telah secara jelas

mengantisipasi permasalahan yang mungkin ditimbulkan oleh pemahaman harfiah atas

istilah unus testis nullus testis. Pasal tersebut mengatakan bahwa ketentuan Pasal 185 ayat

(2) KUHAP tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

Ketentuan Pasal 185 ayat (3) KUHAP tersebut sejalan dengan pernyataan Andi Hamzah.

METODOLOGI RISET

I. Kerangka Konseptual

Penelitian ini berangkat dari fakta bahwa persoalan pembuktian merupakan kendala

utama dalam penyelesaian kasus-kasus tindak pidana perkosaan. Telaah atas sistem dan tata

cara pembuktian dalam hukum acara pidana positif merupakan tema sentral yang menjadi

poin penelitian ini.

Melalui penelitian ini sistem pembuktian negatief wettelijke dengan alat bukti yang

limitatif sebagaimana dianut oleh KUHAP akan ditelaah secara kritis terhadap

penerapannya dalam kasus tindak pidana perkosaan. Apakah peraturan-peraturan hukum

acara pidana dalam UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) telah merupakan hukum acara yang

baik yang mampu mewujudkan tujuan dan fungsinya untuk memberikan kedamaian dan

11 Idem. Lihat juga pembahasan R. Soesilo perihal pasal 169 HIR, yang menyatakan bahwa jikalau menurut pertimbangan hakim keterangan seorang saksi saja itu dapat dipercaya, maka secara dihubungkan bersama-sama dengan lain-lain bukti yang sah, dapatlah dijadikan bukti uynag lengkap, artinya apabila disamping penyaksian seorang saksi itu ada alat bukti yang lain, misalnya suatu persangkaan atau sumpah tambahan, maka hakim boleh memperhatikan keterangan saksi tunggal itu. Dalam R. Soesilo, RIB/ HIR Dengan Penjelasannya, Bogor: Politeia, 1995.

11

mencari kebenaran serta keadilan maka akan dilihat melalui tinjauan yuridis atas

implementasi peraturan tersebut di dalam praktek peradilan.

Penelitian ini dimaksudkan sebagai sebuah penelitian yuridis normatif namun ia

melihat pula sisi-sisi yuridis sosiologis dan bahkan yuridis filosofis. Bagi peneliti,

pencarian sebuah solusi atas permasalahan (kendala) hukum dari sebuah peraturan (norma)

positif pada peristiwa konkrit harus dipijakkan pada pertimbangan-pertimbangan yuridis,

sosiologis dan filosofis. Melalui penelitian yang semacam ini maka diharapkan konklusi

dan solusi sebagai keluarannya akan bersifat komprehensif.

Meskipun melihat aspek-aspek sosiologis dan filosofis namun penelitian ini tidak

bermaksud menginjakkan kakinya dalam analisis sosiologis dan filosofis yang mendalam.

Penelitian yuridis di sini akan tetap berpijak pada dunianya yang normatif.

II. Metodologi Penelitian

Penelitian yang akan peneliti lakukan merupakan suatu penelitian yuridis normatif,

yaitu dalam artian bahwa asas-asas hukum normatif digunakan sebagai titik tolak analisis

terhadap objek permasalahan yang diteliti. Dari analisa yang semacam ini kemudian

dikaitkanlah fakta-fakta empiris hasil perolehan lapangan khususnya berkaitan dengan

implementasi dari hukum positif yang ada untuk mendukung pembahasan yang dilakukan.

Melalui analisis yang dilakukan peneliti berharap menemukan kejelasan dan

pengetahuan yang mendalam mengenai permasalahan yang diteliti untuk kemudian dicari

solusi berdasarkan karakteristiknya. Penelitian ini bisa dikategorikan sebagai suatu

penelitian eksplanatoris karena berusaha menggambarkan dan menjelaskan lebih dalam

suatu gejala atau permasalahan.12 Dalam penelitian ini peneliti membahas asas-asas hukum,

sejarah hukum dan perbandingan hukum.13

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif maka analisis yang

digunakan pun berupa analisis kualitatif. Analisis kualitatif yang bersifat deskriptif

digunakan sebagai metode penelitian namun tidak terbatas pada penggambaran norma-

12 Sri Mamudji et. all., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit FH Universitas Indonesia, 2005), hal. 4.

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 51.

12

norma positif saja. Metode berfikir kritis digunakan untuk menelaah konsep-konsep positif

tersebut dengan melihat fakta sosial yang ada.

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini bermaksud meninjau perkara-perkara perkosaan yang terjadi namun

tidak membatasi diri pada kejadian di lokasi tertentu secara terbatas. Selama perkara

(kasus) perkosaan itu terjadi di wilayah Indonesia dan relevan dengan tema penelitian

ini maka ia akan menjadi objek penelitian. Perkara (kasus) yang diambil meliputi

perkara-perkara yang telah inkracht van gewijsde gezaak (berkekuatan hukum tetap)

maupun yang masih dalam proses pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan dan

penyidikan).

b. Kelengkapan Penelitian

a.) Jenis Data

Meskipun penelitian ini adalah penelitian yuridis yang normatif namun karena

fakta-fakta lapangan turut pula dipergunakan sebagai data pelengkap maka 2

(dua) jenis data yaitu data primer dan data sekunder14 digunakan sekaligus

secara kait mengkait untuk mendukung analisis yang dilakukan.

b.) Sumber Data

Data primer dalam penelitian ini didapat dari lapangan atau masyarakat

sedangkan untuk data sekunder didapatkan dari kepustakaan yang terdiri dari

bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan

pengadilan serta bahan hukum sekunder berupa doktrin dan pendapat para

sarjana yang terdapat di berbagai literatur.

c.) Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui metode studi

lapangan yaitu dengan menggunakan pengamatan, teknik wawancara dan

penyebaran kuesioner.

14 Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Lihat Sri Mamudji et all., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: BP-Fakultas Hukum UI, 2005), hal. 6.

13

Penelitian ini memilih responden dengan metode purposive random sampling

yaitu dari kalangan masyarakat (laki-laki atau perempuan) sebanyak 100 orang

untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan guna mengetahui persepsi

responden atas permasalahan yang menjadi tema penelitian. Untuk responden

diambil dari wilayah DKI Jakarta dengan variasi tingkat pendidikan, umur dan

latar belakang. Narasumber dalam penelitian ini merupakan pihak-pihak yang

berwenang dan berkepentingan dalam perkara perkosaan seperti penyelidik dan

penyidik (polisi), Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung,

Dinas/ Departemen Sosial, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Lembaga

Swadaya Masyarakat, akademisi, praktisi, dan pemerhati masalah hukum dan

sosial. Metode studi pustaka dipilih untuk mengumpulkan data sekunder.

Untuk keperluan analisis kualitatif peneliti juga akan mengambil perkara-

perkara perkosaan yang relevan dengan permasalahan penelitian sebagai bahan

analisis. Perkara-perkara yang dipilih tersebut adalah perkara yang sudah

inkcraht van gewijsde gezaak (berkekuatan hukum tetap) maupun belum.

III. Konsep dan Definisi Operasional

Untuk memperjelas dan mempermudahkan pembahasan, di dalam penelitian ini

dipergunakan konsep-konsep dan definisi operasional sebagai berikut:

1. Perkosaan adalah sebagaimana diatur di dalam:

a. KUHP

b. UU No. 23 tajhun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga

c. perkembangan (perluasan) konsep-konsep perkosaan secara keilmuan dan

menurut RUU KUHP.

Perkosaan di dalam penelitian ini diartikan secara luas namun tetap

memperhatikan ketentuan hukum positif yang mengaturnya;

2. Incraht van Bewijs adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap;

14

3. Alat bukti adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalil-

dalil suatu pihak di muka pengadilan;

4. Pembuktian adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang

memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan;

5. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengakuannya

itu;

6. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang;

7. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,

baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya;

8. Surat adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHAP.

15

JADWAL RISET

Minggu

Bulan

I II

III

IV

Juli ’09                                                        Agustus ‘09                                                        September ‘09                                                        Oktober ‘09                                                        November ‘09                                                        Desember ‘09                                                        Januari ‘10                                                        Februari ‘10                                                        Maret ‘10                                                        April ‘10                                                        

Keterangan : kuning Persiapan, Korespondensi & Perijinan hijau Pengumpulan Data : Data Primer & Data Sekunder biru Pengolahan Data coklat Penyusunan Laporan merah Sabtu – Minggu : Libur

16

PERNYATAAN PERISET UTAMA

Yang bertanda tangan di bawah ini:Nama : Dr. Yoni A. Setyono, S.H., M.H.Tempat/Tanggal lahir : Surabaya, 16 Juni 1958NIP : 131861375Unit Kerja : LKBH-PPS FHUI

dengan ini menyatakan bahwa benar saya mengajukan proposal RUUI Tahun 2008 denganjudul ”Tinjauan Atas Hukum Pembuktian Pada Tindak Pidana Perkosaan” dan proposal tersebut di atas belum pernah dibiayai dan tidak sedang diajukan untuk dibiayai oleh instansi lain. Saya bersedia menjadi periset utama dan meluangkan waktu selama 11 (sebelas) jam/minggu dalam riset yang saya usulkan dengan judul tersebut di atas.

Demikianlah pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada unsur paksaan darisiapapun untuk keperluan pengajuan proposal Riset Unggulan Universitas Indonesia.

Dibuat di : DepokPada tanggal : 20 Februari 2009Yang Membuat Pernyataan

17

Dr. Yoni A. Setyono, S.H., M.H.NIP. 131861375

PERNYATAAN AGGOTA TIM RISET

Yang bertanda tangan di bawah ini:1. Nama : Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H.

Tempat/Tanggal lahir : 20 Februari 1976NIP : 0508050269Unit Kerja : LKBH-PPS FHUI

2. Nama : Galih Tri AjiTempat/Tanggal lahir : Semarang, 14 Januari 1986NIP : -Unit Kerja : LKBH-PPS FHUI

dengan ini menyatakan bahwa benar saya mengajukan proposal RUUI Tahun 2008 denganjudul ”Tinjauan Atas Hukum Pembuktian Pada Tindak Pidana Perkosaan” dan proposal tersebut di atas belum pernah dibiayai dan tidak sedang diajukan untuk dibiayai oleh instansi lain. Saya bersedia menjadi periset utama dan meluangkan waktu selama 11 (sebelas) jam/minggu dalam riset yang saya usulkan dengan judul tersebut di atas.

18

Demikianlah pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada unsur paksaan darisiapapun untuk keperluan pengajuan proposal Riset Unggulan Universitas Indonesia.

Dibuat di : DepokPada tanggal : 20 Februari 2009

Yang Membuat Pernyataan1. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H.

NIP. 0508050269

2. Galih Tri AjiNIP. -

PERNYATAAN TENAGA PENDUKUNG

Yang bertanda tangan di bawah ini:Nama : Meddy Setiawan, S.H.Tempat/Tanggal lahir : Blitar, 3 Maret 1981NIP : -Unit Kerja : LKBH-PPS FHUI

dengan ini menyatakan bahwa benar saya mengajukan proposal RUUI Tahun 2008 dengan judul ”Tinjauan Atas Hukum Pembuktian Pada Tindak Pidana Perkosaan” dan proposal tersebut di atas belum pernah dibiayai dan tidak sedang diajukan untuk dibiayai oleh instansi lain. Saya bersedia menjadi periset utama dan meluangkan waktu selama 11 (sebelas) jam/minggu dalam riset yang saya usulkan dengan judul tersebut di atas.

Demikianlah pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa ada unsur paksaan dari

19

siapapun untuk keperluan pengajuan proposal Riset Unggulan Universitas Indonesia.

Dibuat di : DepokPada tanggal : 20 Februari 2009Yang Membuat Pernyataan

Rp6000,00

Meddy Setiawan, S.H.NIP. -

RANCANGAN BIAYA RISET

Periset Utama/Penanggungjawab : Dr. Yoni A. Setyomo, S.H., M.H.Judul Riset : Tinjauan Atas Hukum Pembuktian Pada

Tindak Pidana Perkosaan

Rekapitulasi Biaya

20

1. Gaji dan Upah ( 20 - 35 % )No. Pelaksana

KegiatanJumlahPersonil

JumlahJam/Bulan

Upah(Rp)/jam

JumlahBulan

Total Biaya (Rp)

1. Peneliti Utama Yoni. A. S. 1 43 15,000 10 6,450,0002. Anggota Peneliti Febby M. N.

Galih Tri Aji 2 43 13,000 10 11,180,000

3. Tenaga Pendukung Meddy Setiawan 1 86 10,000 6 5,160,000

Jumlah 22,790,000

2. Bahan Habis Pakai ( 30 - 60 %)No. Uraian Volume Volume Biaya

Satuan (Rp)Biaya (Rp)

1 Tinta komputer:- Hitam- Warna

52

175,000200,000

875,000400,000

2 Amplop 20 30,000 600,0003 Perangko 150 2,000 300,0004 Materai 25 6,000 150,0005 Kertas 20 40,000 800,0006 Isolasi:

- putih polos- coklatBinder ClipStaples

3225

5,00015,00015,0005,000

15,00030,00030,00025,000

7 Pulsa:- P. Utama- P. Anggota=2- Pendukung

10@10

6

100,000100,00050,000

1,000,0002,000,000

300,000

8 Fax 200 8,000 1,600,0009 Jasa Pengiriman

Dokumen/ Surat 150 15,000 2,250,00010 Penggantian Dokumen

Pengadilan:

No. Uraian Jumlah (Rp) Prosentase1. Gaji dan upah 22,790,000 30.382. Bahan Habis Pakai 28,975,000 38.633. Seminar/Perjalanan 10,150,000 13.534. ATK dan Laporan 3,720,000 4.965. Biaya Manajemen 3,750,000 5Jumlah Biaya 69,385,000 92.5

21

- Pengadilan Negeri- Pengadilan tinggi- MA

303030

150,000150,000200,000

4,500,0004,500,0006,000,000

11 Internet:- P. Utama- P. Anggota = 2- Pendukung

10106

100,000100,000100,000

1,000,0002,000,000

600,000Jumlah 28,975,000

3. Seminar/Perjalanan ( 10 - 20 %)No. Uraian Volume Biaya

Satuan (Rp)Biaya (Rp)

1 Perijinan/ korespondensi:- Pengadilan Negeri- Pengadilan Tinggi- MA- LSM- Responden

222

3@2100@2

75,00075,00075,00075,00035,000

150,000150,000150,000450,000

7,000,0002 Wawancara:

- Pengadilan Negeri- Pengadilan Tinggi- MA- Akademisi/ Praktisi- LSM

3334

3

100,000100,000100,000100,000

100,000

300,000300,000300,000400,000

300,0003 Studi Pustaka:

PerpustakaanMedia Massa

103

50,00050,000

500,000150,000

Jumlah 10,150,000

4. ATK dan Laporan ( Maks. 5 % )No. Uraian Volume Biaya

Satuan (Rp)Biaya (Rp)

1 PensilBolpoinSpidol

252525

2,0002,4002,800

50,00060,00070,000

2 PenggarisPenghapusStaples

552

5,0005,000

20,000

25,00025,00040,000

3 PengetikanFotocopy

1,5002,000

2,0001,00

3,000,000200,000

22

Penjilidan 25 10,000 250,000Jumlah 3,720,000

5. Biaya Manajemen (5 %)No. Uraian Jumlah (Rp)

1. Biaya Manajemen 3,750,000Jumlah 3,750,000

PROFIL PERISET

1. Periset UtamaDr. Yoni A. Setyono, S.H., M.H.Mengabdi sebagai dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini mengemban amanat sebagai Ketua LKBH-PPS FH UI.

2. Anggota Tim Riseta. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H.

Mengabdi sebagai dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini menjadi Wakil Ketua LKBH-PPS FH UI.

b. Galih Tri AjiMahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini aktif sebagai mahasiswa magang di LKBH-PPS FH UI.

3. Tenaga PendukungMeddy SetiawanAlumnus Sekolah Tinggi Hukum Bandung. Saat ini tercatat sebagai Staf LKBH-PPS FH UI.

23